Upload
phamkhanh
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II TINJAUAN TEORITIS
Teori dan Konsep
Dalam bagian berikut dibahas mengenai beberapa teori dan konsep yang
terkait dengan kajian.
2.1. Tinjauan tentang Persepsi a. Pengertian
Ada beberapa macam pendapat ahli yang berhasil dikumpulkan
mengenai konsep persepsi, yaitu sebagai berikut :
Menurut Hammer dan Organ (1978) dalam Indrawijaya (1990), bahwa
persepsi adalah suatu proses dengan mana seseorang mengorganisasikan
dalam pikirannya, menafsirkan, mengalami dan mengolah pertanda atau
segala sesuatu yang terjadi di lingkunganya. Bagaimana segala sesuatu
tersebut mempengaruhi pula perilaku yang akan dipilihnya.
Thoha (1996) mengatakan, bahwa persepsi merupakan proses kognitif
yang dialami oleh setiap orang dalam memberi informasi tentang
lingkungannya, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan
dan penciuman.
Pendapat lain mengatakan, bahwa persepsi adalah menunjukkan
bagaimana kita melihat, mendengar, merasakan, mengecap dan mencium
dunia di sekitar kita (Morgan, King dan Robinson dalam Adi, 1994).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, persepsi terbentuk atas
dasar informasi atau data yang diperoleh dari lingkungan, kemudian diserap
oleh panca indera manusia serta pengolahan sebagian dari pengolahan
ingatan yaitu berdasarkan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang dan
terjadilah proses psikologis sehingga manusia yang bersangkutan menyadari
apa yang dilihat, didengar, diterima dan sebagainya, maka individu tersebut
mengalami persepsi, yang diwujudkan dalam perilaku terhadap suatu obyek.
Melengkapi pengertian di atas, Rahmat (1996) mengemukakan
pengertian persepsi yaitu pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-
hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan
pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory
7
stimuli). Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya
melibatkan sensasi tetapi juga atensi, ekspektuasi, motivasi dan memori.
Selanjutnya, masih menurut Rahmat, persepsi ditentukan oleh faktor
personal dan situasional. Krech dan Crutchfield (1977) menyebutnya faktor
fungsional dan faktor struktural. Dengan demikian, ada beberapa aspek yang
turut menentukan terjadinya persepsi, yaitu : aspek perhatian, aspek motivasi,
aspek pengetahuan, aspek personal dan aspek situasi.
Merujuk pada Kartono (1984), bahwa persepsi merupakan suatu proses
dimana individu mengenal, membandingkan, menggolongkan dan
menginterpretasikan terhadap rangsangan yang datang.
Dari beberapa pengertian persepsi di atas, secara keseluruhan dapat
disimpulkan bahwa persepsi individu atau seseorang dapat terjadi apabila ada :
a. obyek yaitu adanya stimuli atau peristiwa yang diamati atau yang dialami.
b. Situasi atau lingkungan yang mendukung
c. Personal (pengamat atau yang diamati)
b. Proses Persepsi Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh adanya
obyek yang direspon oleh penginderaan, yaitu proses yang berujud
diterimanya sebagai stimulus oleh individu melalui alat reseptornya yang
diteruskan melalui pengolahan ingatan (memory) dan terjadi proses
psikologis sehingga individu tersebut mengalami persepsi. Dengan kata
lain persepsi terjadi melalui tahap-tahap dimana setiap tahapannya dapat
dibedakan. Proses terjadinya persepsi menurut Indrawijaya (1990) terbagi
dalam empat tahap, yaitu :
1) Proses Masukan (Input Proces), yaitu proses persepsi dimulai dari tahap
penerimaan rangsangan, yang ditentukan baik oleh faktor luar maupun
faktor dari dalam manusianya sendiri, yang dapat dikategorikan atas lima
faktor, yaitu pertama, faktor lingkungan, yang secara sempit hanya
menyangkut warna, bunyi, sinar, dan secara luas dapat menyangkut faktor
ekonomi, sosial, dan politik. Semua unsur faktor ini mempengaruhi
seseorang dalam menerima dan menafsirkan suatu rangsangan.
Kedua, faktor konsepsi, yaitu pendapat atau teori seseorang tentang
manusia dengan segala tindakannya. Seseorang yang mempunyai
konsepsi, pendapat, dan teori bahwa manusia pada dasarnya baik,
8
cenderung menerima semua rangsangan sebagai sesuatu yang baik atau
paling tidak sebagai sesuatu yang bermanfaat. Orang yang mempunyai
konsepsi, pendapat, dan teori bahwa manusia itu jahat, cenderung
mencurigai latar belakangnya. Selanjutnya yang berpendapat bahwa
seseorang tidak seluruhnya baik dan tidak seluruhnya jahat, akan
cenderung mencari tahu dan berusaha mengerti secara keseluruhan latar
belakang setiap rangsangan.
Ketiga, faktor yang berkaitan dengan konsep seseorang tentang
dirinya sendiri (The concept of self). Seseorang mungkin saja beranggapan
bahwa dirinyalah yang terbaik, sedangkan orang lain selalu kurang baik
dari dirinya. Orang demikian akan berkeyakinan bahwa apapun bentuk dan
sifat rangsangan, ia selalu bertindak berdasarkan apa yang menurut dirinya
baik. Sebaliknnya, ada pula orang yang beranggapan bahwa orang lain
selalu baik dari dirinya.
Keempat, Faktor yang berhubungan dengan motif dan tujuan, yang
pokoknya berkaitan dengan dorongan dan tujuan seseorang dalam
menafsirkan suatu. Dapatlah dimengerti bahwa orang selalu berusaha
menarik manfaat dari suatu rangsangan untuk kepentingannya sendiri,
karena akan memberikan suatu harapan baginya.
Kelima, Faktor pengalaman masa lampau. Setiap kali orang
dihadapkan pada suatu rangsangan, maka ia akan membandingkan
dengan pengalaman masa lalunya.
2) Selektivitas
Manusia memperoleh berbagai rangsangan dari lingkungannya
terbatasi oleh kemampuannya, artinya manusia tidak mampu memproses
seluruh rangsangan dan akan cenderung memberikan perhatian pada
rangsangan tertentu saja. Manusia bersifat memilih, walaupun sering tidak
disadari bahwa setiap rangsangan akan mempunyai relevansi, nilai dan arti
baginya. Ini berarti, tingkat pentingnya suatu rangsangan pada setiap orang
atau orang yang satu dengan yang lainnya dapat saja berbeda.
3) Proses Penutupan (closure)
Tingkat kemampuan manusia dalam menerima rangsangan selalu
terbatas, namun manusia selalu berusaha mengisi kekurangannya dengan
pengalamannya sendiri. Ini terjadi bila ia telah memahami keseluruhan
9
situasi. Proses untuk saling melengkapi kekurangan ini disebut proses
penutupan.
4) Konteks
Persepsi terjadi dalam suatu kesatuan atau dalam suatu konteks. Isi
kesatuan atau konteks ini dapat berupa faktor lingkungan fisik, emosional
dan lingkungan sosial.
c. Faktor-faktor yang mempengaruh Persepsi
Persepsi banyak dipengaruh oleh beberapa faktor, Rahmat (1989)
mengemukakan, secara garis besar ada tiga hal yang mempengaruhi
persepsi, yaitu : faktor perhatian, faktor fungsional dan faktor struktural.
Selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Faktor Perhatian
Andersen dalam Rahmat (1989) memberikan definisi perhatian
adalah proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi
menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah. Perhatian
itu sendiri dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal.
Faktor Eksternal yang mempengaruhi perhatian adalah :
a. Gerakan. Manusia secara visual tertarik pada obyek-obyek yang
bergerak.
b. Intensitas stimuli. Dimana manusia akan memperhatikan stimuli yang
lebih menonjol dari stimuli yang lain.
c. Kebaruan (Novelty). Hal-hal yang baru, yang luar biasa, dan yang
berbeda akan menarik perhatian.
d. Perulangan. Hal-hal yang disajikan berkali-kali, bila disertai dengan
sedikit variasi akan menarik perhatian.
Faktor Internal yang mempengaruhi perhatian adalah :
a) Faktor biologis, yaitu suatu kecenderungan seseorang menaruh
perhatian pada hal-hal tertentu sesuai dengan tuntutan kebutuhan
dalam dirinya.
b) Faktor Sosiopsikologis, yaitu kemampuan seseorang menaruh
perhatian pada berbagai stimuli secara serentak. Makin besar
keragaman stimuli yang mendapat perhatian, makin berkurang
ketajaman persepsi seseorang pada stimuli tertentu.
10
c) Faktor Sosiogenis adalah sikap, kebiasaan dan kemauan seseorang
dapat mempengaruhi apa yang diperhatikan.
2) Faktor fungsional yang mempengaruhi persepsi
Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu
dan hal-hal lain yang termasuk apa yang disebut sebagai faktor-faktor
personal. Jadi yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli,
tetapi karakteristik orang memberikan respon pada stimuli itu.
3) Faktor Struktural yang mempengaruhi persepsi
Faktor-faktor struktural semata-mata berasal dari sifat stimuli fisik
dan efek-efek syaraf individu. Para psikolog Gestalt, seperti Kohler,
merumuskan prinsiup-prinsip ini kemudian terkenal dengan teori Gestalt.
Menurut teori ini, bila kita mempersepsi sesuatu, kita mempersepsinya
sebagai suatu keseluruhan. Kita tidak melihat bagian-bagiannya lalu
menghimpunnya. Dalam hal ini untuk memahami seseorang, kita harus
melihat dalam konteksnya, dalam lingkungannya dan dalam masalah yang
dihadapinya.
Senada dengan hal di atas, Thoha (1996), mengemukakan faktor-faktor
yang mempengaruhi persepsi adalah sebagai berikut :
1) Faktor Psikologis
Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di dalam dunia ini
sangat dipengaruhi oleh keadaan psikologi
2) Faktor Famili
Banyak sikap dan persepsi-persepsi seseorang diturunkan oleh
orang tuanya karena famili sangat besar pengaruhnya terhadap persepsi
seseorang.
3) Faktor Kebudayaan
Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan
salah satu faktor yang kuat di dalam mempengaruh sikap, nilai, dan cara
seseorang memandang dan memahami keadaan di dunia ini.
Menurut Wirawan (1983), terdapat beberapa aspek dalam persepsi yang
dapat dijadikan alasan bahwa suatu persepsi itu ada. Adapun aspek-aspek
tersebut adalah :
1) Aspek pengetahuan
Yaitu bahwa pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang mempunyai
kesadaran. Hal itu dapat terlihat dari kemampuannya untuk melakukan suatu
11
proses berfikir, berkehendak dan merasa sehingga dengan kemampuannya
tersebut manusia memperoleh banyak pengetahuan.
2) Aspek Pemahaman
Yaitu berkaitan dengan obyek tingkah laku atau respon yang dimiliki,
mewakili suatu pengertian terhadap pesan dalam komunikasi, oleh karena itu
pengertian tentang pemahaman merupakan proses menerima suatu obyek
kedalam pemikiran seseorang dan memberikan tanggapan terhadap suatu
obyek dalam bentuk tingkah laku.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa persepsi sangat bersifat
pribadi. Persepsi seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh faktor
lingkungan dan faktor personal. Oleh karenanya, seseorang sering kali melihat
segala sesuatu atau suatu kejadian dengan cara yang berbeda walaupun dalam
obyek yang sama, tergantung pada personalnya dan lingkungan dimana orang
tersebut berada
Jika dikaitkan dengan judul kajian, maka secara umum kajian akan
mengkaji tentang persepsi masyarakat terhadap program-program Corporate
Social Responsibility dalam pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh PT.
Aqua Golden Mississipi di Desa Babakan Pari Kecamatan Cidahu Kabupaten
Sukabumi.
2.2. Tinjauan tentang Pemberdayaan Konsep pemberdayaan muncul karena kritik terhadap pembangunan yang
lebih menekankan pada ekonomi dengan menggunakan pendekatan trickle down
effect, definisi yang lebih luas diungkapkan oleh Pranarka dan Prijono (1996) bahwa
pemberdayaan adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan
beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik di dalam kehidupan
keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional maupun dalam bidang politik,
ekonomi dan lain-lain.
Pemberdayaan diadopsi dari istilah empowerment, yang secara harfiah
dapat diartikan sebagai ’pemberkuasaan’ dalam arti pemberian atau peningkatan
’kekuasaan’ atau power, yang merupakan sebuah konsep yang lahir sebagai bagian
dari perkembangan alam pikiran dan kebudayaan masyarakat. Menurut Pranarka
(dalam Pranarka dan Prijono, 1996) proses pemberdayaan mengandung dua
kecenderungan yaitu : (1) kecenderungan primer yaitu pemberdayaan yang
menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan,
12
kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya.
(2) kecenderungan sekunder yaitu pemberdayaan yang menekankan pada proses
menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan
atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya.
Lebih lanjut Stewart (1998) dalam Rudito (2003) menyatakan bahwa
pemberdayaan menuntut perluasan peran, wewenang dan kekuasaan dan
bertambahnya keluwesan tentang bagaimana (dan oleh siapa) peran-peran tersebut
dilakukan. Pemberdayaan merupakan suatu proses dan mempunyai tujuan,
sebagaimana dinyatakan Solomon (1976) dalam Purnama (2006) bahwa
pemberdayaan mengandung dua unsur ”proses” dan unsur ”hasil atau tujuan akhir
yang hendak dicapai”. Sebagai proses, maka pemberdayaan digunakan untuk
memperoleh keberdayaan atau kemampuan mengembangkan keberdayaan, serta
memperoleh dan menggunakan keberdayaan tersebut. Sedangkan pemberdayaan
dipandang sebagai suatu hasil atau tujuan akhir yaitu sebagai keberdayaan. Lebih
lanjut, Torre (1985) dalam Purnama (2006) menyimpulkan dalam sintesisnya bahwa
pemberdayaan dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana orang menjadi kuat
atau mampu untuk berpartisipasi, memiliki kemampuan untuk mengontrol dan
mempengaruhi peristiwa serta institusi-institusi yang berkaitan dengan
kehidupannya. Pemberdayaan memiliki konsekuensi untuk memdidik orang untuk
memperoleh ketrampilan, pengetahuan, serta tenaga yang cukup untuk
mempengaruhi kehidupannya.
Menurut Ife (1995), ’empowerment aims to increase the power of
disadvantaged’, dalam tulisan yang sama Ife menjelaskan pemberdayaan pada
aspek tujuan, bahwa pemberdayaan manusia dilakukan dengan meningkatkan
sumber-sumber daya, kesempatan-kesempatan, pengetahuan dan ketrampilan
untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengatasi masa depan dan
berpartisipasi dalam aspek-aspek kehidupan masyarakat.
Pendapat lain mengatakan, bahwa pemberdayaan adalah sebuah konsep
pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan
paradigma baru pembangunan yakni yang bersifat ”people-centered, participatory,
empowering, and sustainable. (Chambers, 1995 dalam Rudito, 2003)
Di dalam literatur pembangunan, konsep pemberdayaan bahkan memiliki
perspektif yang lebih luas. Pearse dan Stiefel yang dikutip oleh Prijono (1996)
mengatakan bahwa menghormati kebhinekaan, kekhasan lokal, dekonsentrasi
kekuatan dan peningkatan kemandirian merupakan bentuk-bentuk pemberdayaan
13
partisipatif. Sedangkan pendapat Borrini dan Shanty yang masih dikutip oleh Prijono
(1996) mendefinisikan dalam pespektif lingkungan, bahwa pemberdayaan mengacu
pada pengamanan akses terhadap sumberdaya alami dan pengelolaan secara
berkelanjutan.
Menurut Kartasasmita (1996) bahwa memberdayakan adalah upaya untuk
meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang
tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan
keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan
memandirikan masyarakat. Karakteristik pemberdayaan masyarakat merupakan
suatu gerakan yang diarahkan kepada dua komponen yaitu penggerak dan
masyarakat yang digerakkan secara simultan. Perpaduan kedua komponen tersebut
akan menghasilkan kemampuan, kemandirian, kinerja dan karya sehingga
berdampak pada peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dan kelembagaan.
Berdasarkan uraian-uraian mengenai pemberdayaan di atas, nampak bahwa
pemberdayaan berorientasi kepada pembangunan masyarakat yang diharapkan
masyarakat dapat menjadi mandiri, memiliki kemampuan, memiliki akses terhadap
sumberdaya yang berkelanjutan dan aktif berpartisipasi untuk menciptakan
kehidupan yang lebih berkualitas sehingga dari keadaan tidak berdaya atau kurang
berdaya menjadi mempunyai daya, yang dilaksanakan melalui suatu proses
terencana dengan cara memberikan atau berbagi kekuasaan atau kekuatan dari
mereka yang memiliki kekuatan penuh (powerfull) yaitu pemerintah dan perusahaan
kepada mereka yang memiliki kekuatan lemah (powerless) yaitu masyarakat.
Dimana pembangunan masyarakat tersebut bercirikan dari masyarakat, oleh
masyarakat dan untuk masyarakat, artinya tidak bersifat top down tetapi berpusat
pada masyarakat (people centered development), dalam rangka mewujudkan
keberfungsian sosial.
Dalam pencapaian tujuan dari pemberdayaan, penerapan strategi
pemberdayaan memerlukan komitmen untuk memelihara dan memperbaiki
efektivitas pelayanan dan bisa mengeliminasi penilaian negatif dan diskriminatif bagi
kelompok minoritas. Sebagaimana Ife (1995) juga menyatakan bahwa
pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuatan dari keadaan yang
merugikan.
14
2.3. Urgensi Pemberdayaan dalam Masyarakat Masyarakat yang ideal adalah jika masing-masing anggotanya dapat
menjalankan fungsi dan perannya sesuai dengan posisi masing-masing yang
disandangnya, namun pada tataran faktual, karena kemajuan dan ekspansi ilmu
pengetahuan dan teknologi yang cepat pada saat ini, umat manusia mengalami
keterasingan dari nilai-nilai luhur kemanusiaan. Salah satu penyebabnya adalah
karena mereka tercabut dari nilai-nilai agama dan budayanya sebagai anggota
masyarakat. Oleh karenanya dalam kondisi seperti itu masyarakat membutuhkan
bantuan, keterlibatan dan kepedulian dari pihak lain untuk mengatasi
permasalahannya, sesuai dengan jenis permasalahan yang mereka rasakan
sehingga diharapkan dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Jika fungsi setiap
anggota masyarakat dapat dijalankan dengan baik maka keberfungsiaan sosial akan
tercapai.
PBB (1987) mengungkapkan beberapa permasalahan masyarakat di negara
berkembang adalah : kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, kesehatan dan
nutrisi, perumahan dan sanitasi yang tidak layak, anak-anak yang tidak diinginkan
dan tidak terdidik, serta masalah sosial psikhologis yang menyebabkan semakin
kompleksnya permasalahan dalam suatu masyarakat.
Selama ini sudah banyak intervensi kegiatan atau program-program
pemberdayaan yang telah dilaksanakan tetapi belum efektif dan belum
menampakkan hasil yang optimal. Menurut Sulistiati (2006), beberapa analisis
perkiraan kelemahan program pemberdayaan yang selama ini dijalankan yaitu :
1) Perencanaan program kurang didasarkan pada analisis kebutuhan (need
analisys). Ini menjadi faktor penting, sebab pihak perencana program seringkali
membuat perencanaan dari atas (top down planning) dibanding perencanaan
dari bawah (bottom up planning).
2) Program lebih banyak memberikan bantuan material dibanding aspek
pemberdayaan (empowering).
3) Kurang ada koordinasi dan komunikasi lintas unit yang sama-sama fokus pada
sasaran (coodination).
4) Kurang menyadari hakekat masyarakat sebagai sistem yang terkait erat dengan
lingkungannya, sehingga setiap perencanaan program sebaiknya juga
memperhatikan penguatan sub-sistem yang lainnya sebagai lingkungan seperti
lapangan pekerjaan, pendidikan, perumahan dan kesehatan
5) Kurang diperhatikan aspek kesinambungan (sustainability)
15
6) Kurang dikembangkan jaringan kerjasama dengan berbagai pihak yang terkait
(networking).
Tanggung jawab terhadap pembangunan sosial bukan hanya tugas
pemerintah tetapi juga tugas semua komponen yang terkait di dalamnya, antara lain
masyarakat, Dunia Usaha (Perusahaan) dan stakeholders lainnya. Perusahaan
merupakan salah satu komponen yang ada di lingkungan masyarakat, yang dapat
diandalkan sebagai mitra kerja pemerintah dalam membangun masyarakat atau
mengembangkan masyarakat, tugas tersebut sebagai instrument strategis dalam
menciptakan suatu masyarakat yang sejahtera, kokoh, kuat dan dapat diandalkan
dalam segala aspek kehidupan.
Perusahaan sebagai Dunia Usaha, dapat mewujudkan keterlibatannya dalam
pembangunan masyarakat melalui program-program yang dikemasnya sebagai
Tanggung Jawab Sosial Dunia Usaha/perusahaan (Corporate Social Responcibility).
Salah satu dimensi dari Corporate Social Responcibility (CSR) ini adalah Community
Development (Comdev) atau Pengembangan Masyarakat.
Untuk itu dunia usaha atau perusahaan yang memiliki posisi strategis dalam
pendanaan sangatlah diharapkan peran dan kepeduliannya terhadap masyarakat
disekitar perusahaan berada. Hal tersebut sebagai bentuk Tanggung Jawab Sosial
Dunia Usaha/Perusahaan yang sekarang ini sedang digalakkan oleh pemerintah
yang dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR). Melalui program-
program yang ada dalam CSR inilah diharapkan program pemberdayaan
masyarakat di Desa Babakan Pari Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi dapat
dilaksanakan oleh PT. Aqua Golden Mississpi.
2.4. Tinjauan tentang Masyarakat Pengertian masyarakat sering dihubungkan dengan kelompok orang yang
hidup bersama di suatu tempat dan mempunyai nilai dan norma. Menurut Suparlan
(1990), masyarakat adalah kumpulan dari sejumlah orang dalam suatu tempat
tertentu yang menunjukkan adanya kepemilikan norma-norma hidup bersama
walaupun didalamnya terdapat berbagai lapisan atau lingkungan sosial.
Pengertian lain disampaikan oleh Sadily (1993), masyarakat adalah
segolongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia yang dengan atau karena
sendirinya bertahan secara golongan dan pengaruh-mempengaruhi satu sama lain.
16
Merujuk pendapat Iver dan Page yang dikutip Soekanto (1990), menyatakan
bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari
wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari
pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan yang
selalu berubah ini kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan
hubungan sosial dan masyarakat selalu berubah. Dari kedua pengertian di atas,
masyarakat merupakan sekumpulan orang yang menempati wilayah tertentu,
dengan aturan yang berlaku di tempat tersebut berupa norma dan nilai atau dengan
kata lain mempunyai adat istiadat sebagai hasil dari interaksi yang mereka lakukan
sejak lama.
Menurut Linton yang dikutip Soekanto (1990), masyarakat merupakan setiap
kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga mereka
dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan
sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas. Sumarjan yang dikutip
Soekanto (1990) menyatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup
bersama, yang menghasilkan kebudayaan.
Walaupun definisi-definisi tersebut di atas berlainan, akan tetapi pada
dasarnya memiliki kesamaan, yaitu pengertian masyarakat yang mencakup
beberapa unsur sebagai berikut
a. Manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tidak ada ukuran mutlak
ataupun angka pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada,
akan tetapi secara teoritis angka minimnya adalah dua orang yang hidup
bersama.
b. Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia tidaklah
sama dengan kumpulan benda mati seperti meja, kursi dan sebagainya. Oleh
karena dengan berkumpulnya, maka akan muncul manusia baru. Manusia itu
juga dapat bercakap-cakap, merasa dan mengerti. Juga mempunyai keinginan
untuk menyampaikan kesan atau perasaan-perasaan, sebagai akibat hidup
bersama itu, tumbuhlah sistem komunikasi dan timbulah peraturan-peraturan
yang mengatur hubungan antar manusia dalam kelompok tersebut.
c. Mereka sadar bahwa mereka adalah merupakan satu kesatuan.
d. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama
menimbulkan kebudayaan oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya
terikat satu dengan yang lainnya.
17
Menurut Koentjaraningrat (1990) masyarakat adalah kesatuan hidup manusia
yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinu,
dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Definisi tersebut sejalan dengan yang diajukan oleh J.L. Gillin dan J.P. Gillin
yang dikutip Koentjaraningrat (1990) yang merumuskan bahwa masyarakat atau
society adalah ”...... The largest groupings in which common customs, traditions,
attitudes, and feelings of unity are operative. Dari definisi tersebut, masyarakat
merupakan kesatuan manusia yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : interaksi
antar warganya, adat istiadat, norma-norma, hukum dan aturan-aturan khas yang
mengatur seluruh pola tingkah laku warganya.
2.5. Tinjauan tentang Corporate Social Responsibility (CSR) Corporate Social Reponsibility (CSR) yang dimaknai sebagai Tangung Jawab
Sosial Perusahaan/Dunia Usaha adalah sebagai wujud kepedulian dan tanggung
jawab dunia usaha terhadap masyarakat. Merujuk kepada Schermerhorn (1993)
dalam Suharto (2007), mendefinisikan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan sebagai
suatu kepedulian organisasi bisnis untuk bertindak dengan cara mereka sendiri
dalam melayani kepentingan organisasi dan kepentingan publik eksternal. Secara
konseptual, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan adalah sebuah pendekatan,
dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis dan
interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan
prinsip sukarela dan kemitraan.
Konsep Tanggung jawab Sosial Perusahaan (TSP) seringkali diidentikan
dengan Pengembangan Masyarakat (Community Development), yang akhir-akhir ini
banyak diterapkan oleh perusahaan dengan istilah Comdev. Sesungguhnya
Community Development (Comdev) merupakan salah satu dimensi dari Tanggung
jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Resposibility/CSR), karena CSR ini
terdiri atas tujuh dimensi yaitu : Pengembangan Masyarakat (Community
Development), Keberagaman (Diversity), Lingkungan (Environment), Hubungan
Internasional (International Relationship), Marketplace Practices, Fiscal
Responsibility, dan Tanggung jawab (Accountability).
Menurut Suharto (2007), Kalau ditelaah secara seksama, tujuan utama dari
Pengembangan masyarakat (Community Development) adalah bukan sekedar
membantu atau memberi sesuatu kepada masyarakat, melainkan berusaha agar
masyarakat memiliki kemampuan atau kapasitas untuk mampu menolong dirinya
18
sendiri. Dengan kata lain, semangat utama Comdev adalah pemberdayaan
masyarakat. Oleh karena itu, kegiatan Comdev biasanya diarahkan pada proses
pemberkuasaan, peningkatan kekuasaan, atau penguatan kemampuan para
penerima pelayanan.
Pengembangan masyarakat yang dilaksanakan oleh perusahaan, yang biasa
dikemas dalam program Corporate Social Responsibility, Menurut Budimanta (2003)
dalam Rudito (2003) bertujuan untuk :
1. Mendukung upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah terutama pada tingkat
desa dan masyarakat untuk meningkatkan kondisi sosial-ekonomi-budaya yang
lebih baik disekitar wilayah perusahaan
2. Memberikan kesempatan bekerja dan berusaha bagi masyarakat
3. Membantu pemerintah dalam rangka pengentasan kemiskinan dan
pengembangan ekonomi wilayah.
Pada dasarnya, sejalan dengan semangat Otonomi Daerah, tanggung jawab
sosial perusahaan merupakan upaya strategis untuk mendukung pelaksanaan
pembangunan sosial, dimana permasalahannya semakin beragam dan kompleks
sehingga diperlukan dukungan dari Dunia Usaha/Perusahaan. Hal tersebut harus
disadari, bahwa tanggung jawab sosial dunia usaha telah menjadi suatu kebutuhan
yang dirasakan oleh semua pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun dunia
usaha itu sendiri. Persolannya adalah bagaimana kepedulian dan tindakan dunia
usaha untuk ikut berperan dalam pembangunan sosial.
Tujuan dari pembangunan sosial menurut pandangan ESCAP dalam Adi
(2001) pada dasarnya adalah ”development of the well being of the people” (untuk
membangun atau mengembangkan taraf hidup manusia). Berdasarkan tujuan
tersebut, maka ESCAP melihat bahwa penekanan dari pembangunan sosial pada
dasarnya ada pada pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia (people
centered development), yaitu upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat, dengan
memfokuskan pada pemberdayaan dan pembangunan itu sendiri.
Sehubungan dengan adanya pandangan betapa pentingnya kepedulian dan
keterlibatan dunia usaha/perusahaan dalam pembangunan sosial, maka tanggung
jawab sosial dunia usaha adalah merupakan etika bisnis yang menjadi panduan
perilaku atau tindakan dunia usaha/perusahaan untuk menjalankan usaha bisnisnya
itu sendiri dengan tetap memperhatikan norma, budaya masyarakat, dan budaya
perusahaan yang berpihak pada lingkungan sekitarnya.
19
Tanggung jawab dunia usaha/perusahaan (CSR) dilaksanakan dalam suatu
tindakan-tindakan tertentu atau cara-cara tertentu dalam melayani kepentingan-
kepentingan, baik internal perusahaan maupun eksternal perusahaan. Tindakan atau
cara-cara tersebut biasanya direncanakan dan dilaksanakan dalam bentuk suatu
program.
Menurut Johanes (2004) Tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate
Social Responsbility (CSR) lahir dengan latar belakang beberapa hal, seperti :
1) Adanya kesenjangan antara dunia usaha dengan lingkungan sosial, sehingga
memicu disharmonisasi yang dapat menimbulkan inattentive (kurang
diperhatikan), suspicious (curiga), hearthbuming (rasa iri hati yang mendalam)
serta conflict of interest pada kedua belah pihak;
2) Harmonisasi yang tidak terpelihara, sangat rawan bagi kalangan dunia usaha,
karena sewaktu-waktu dapat mengancam keberlanjutan investasi bisnis yang
dikelola;
3) Orientasi bisnis selalu menginginkan agar usaha yang dijalankan dapat berjalan
tanpa hambatan;
4) Kepedulian sosial dari kalangan dunia usaha terhadap wrga masyarakat
disekitarnya, akan menjadi langkah awal yang baik guna memelihara social
relationship yang selaras, serasi dan langgeng. Keselarasan hubungan sosial ini
diwujudkan melalui kepeduliaan dunia usaha untuk ikut secara aktif menangani
berbagai permasalahan sosial.
Berdasarkan kondisi obyektif yang ada, menunjukkan bahwa tidak ada
perusahaan/dunia usaha yang mampu tumbuh dan berkembang tanpa dukungan
dan kepercayaan dari masyarakat di lingkungan sekitar perusahaan. Untuk itu, demi
keberlangsungan perusahaan yang bersangkutan harus terdapat kesediaan untuk
turut serta memikul tanggung jawab sosial yang dituntut oleh masyarakat. Jika suatu
perusahaan keberadaannya ingin diakui dan didukung oleh masyarakat sekitarnya,
maka sebaiknya jangan bersikap eksklusif dan bersikap arogan dalam menghadapi
lingkungannya.
Menurut Suharto (2005), bahwa Tanggungjawab Sosial Perusahaan
merupakan kepedulian perusahaan yang didasari tiga prinsip dasar yang dikenal
dengan istilah triple bottom lines, yaitu 3P :
1. Profit. Perusahaan tetap harus berorientasi untuk mencari keuntungan ekonomi
yang memungkinkan untuk terus beroperasi dan berkembang.
20
2. People. Perusahaan harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia.
Beberapa perusahaan mengembangkan program TJSP/CSR, seperti pemberian
beasiswa bagi pelajar sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan
kesehatan, penguatan kapasitas ekonomi lokal, dan bahkan ada perusahaan
yang merancang berbagai skema perlindungan sosial bagi warga setempat.
3. Plannet. Perusahaan peduli terhadap lingkungan hidup dan keberkelanjutan
hayati. Beberapa program TJSP/CSR yang berpijak pada prinsip ini biasanya
berupa penghijauan lingkungan hidup, penyediaan sarana air bersih, perbaikan
pemukiman, dan pengembangan pariwisata (ekoturisme)
Saidi dan Abidin (2004) dalam Suharto (2005), menggambarkan tiga tahap
atau paradigma yang berbeda dari mulai munculnya TJSP/CSR hingga sekarang ini.
Tahap pertama adalah corporate charity, yakni dorongan amal berdasarkan motivasi
keagamaan. Tahap kedua adalah corporate philantrophy, yakni dorongan
kemanusiaan yang biasanya bersumber dari norma dan etika universal untuk
menolong sesama dan memperjuangkan pemerataan sosial. Tahap ketiga adalah
corporate citizenship, yakni motivasi kewargaan demi mewujudkan keadilan sosial
berdasarkan prinsip keterlibatan sosial. Di dalamnya mulai mengedepankan
pemberdayaan masyarakat.
Merujuk pada Wahyutomo (2004) berdasarkan pengamatan dan
pengalaman, menunjukkan bahwa terdapat paling sedikit lima wujud kepedulian
sosial perusahaan, yaitu sebagai berikut :
1) Penggunaan tenaga kerja setempat dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan
perusahaan, sepanjang tenaga kerja lokal memeuhi berbagai persyaratan
administrasi dan perundang-undangan, termasuk jumlah dan mutunya.
2) Pemanfaatan masyarakat sekitar perusahaan sebagai pemasok bahan yang
diperlukan oleh perusahaan, baik dalam arti bahan mentah maupun bahan
setengah jadi, tanpa mengabaikan keharusan terjaminnya mutu dari bahan
tersebut.
3) Keterlibatan dalam aktivitas sosial yang berlangsung di masyarakat sekitar
seperti perayaan hari-hari besar nasional dan keagamaan, apacara khitanan,
upacara pernikahan, olahraga dan berbagai kegiatan sosial lainnya.
4) Penyediaan sarana dan prasarana umum dan sosial, termasuk pembuatan jalan
dan pemeliharaannya, fasilitas olahraga, tempat-tempat ibadah, pelayanan dan
kesehatan seperti klinik dan apotik, bahkan jika mungkin rumah sakit, yang
21
kesemuanya dapat di akses oleh warga masyarakat sekitar dan tidak hanya
diperuntukkan bagi karyawan perusahaan dan para anggota keluarganya.
5) Berperan aktif dalam membangun masyarakat sekitar sehingga dapat
menjadikan masyarakat yang mandiri dengan kemampuan yang semakin tinggi.
Salah satu caranya ialah dengan memberikan bantuan untuk membangun
sarana pendidikan dan bantuan keuangan berupa beasiswa bagi anak-anak
yang hidup disekitar perusahaan yang memiliki potensi untuk mengembangkan
kreativitasnya, tetapi dengan kemampuan finansial orang tua yang sangat
terbatas.
Sejatinya, setiap perusahaan dalam menunaikan kewajiban sosialnya yang
diaplikasikan dalam bentuk program-program Corporate Social Responsibility (CSR),
bukanlah karena pertimbangan yang altruistik semata-mata, akan tetapi juga dalam
rangka menjaga dan memelihara citra positif perusahaan yang pada gilirannya
mengejawantah dalam bentuk dukungan dan kepercayaan masyarakat sekitar.
Corporate Social Responsibility (CSR) dalam pemberdayaan masyarakat disekitar
perusahaan, tidak saja akan memberi manfaat terhadap kelangsungan hidup
perusahaan, tapi juga akan mengurangi resiko perusahaan. Untuk memastikan
bahwa CSR dilakukan dengan benar, maka perusahaan harus menggali potensi
daerah dan masyarakat. Keberhasilan CSR bukanlah hanya pada perbaikan kondisi
ekonom atau peningkatan penghasilan masyarakat, tapi juga pada peningkatan
kemampuan (capabilities) dasar masyarakat dalam menjalani kehidupannya
sehingga pada gilirannya masyarakat dapat mandiri.
2.6. Tinjauan tentang Pekerjaan Sosial Menurut Zastrow (1999) dalam Suharto (2005), pekerjaan sosial adalah
aktivitas profesional untuk menolong individu kelompok dan masyarakat dalam
meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi sosial dan
menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif untuk mencapai tujuan
tersebut. Dalam konferensi Dunia di Montreal Kanada, Juli tahun 2000, International
Federation of Socisl Workers (IFSW) Tan dan Envall (2000) dalam Suharto (2005),
mengunkapkan tentang pekerjaan sosial sebagai berikut :
”Profesi pekerjaan sosial mendorong pemecahan masalah dalam kaitannya
dengan relasi kemanusiaan, perubahan sosial, pemberdayaan dan
pembebasan manusia, serta perbaikan masyarakat. Menggunakan teori-
teori perilaku manusia dan sistem-sistem sosial, pekerjaan sosial
22
melakukan intervensi pada situasi di mana orang berinteraksi dengan
lingkungannya. Prinsip-prinsip hak azasi manusia dan keadilan sosial
sangat penting bagi pekerjaan sosial”
Secara umum pekerja sosial dapat berperan sebagai mediator, fasilitator
atau pendamping, pembimbing, perencana, dan pemecah masalah. Kinerja pekerja
sosial dalam melaksanakan peningkatan keberfungsian sosial dapat dilihat dari
beberapa strategi pekerjaan sosial sebagai berikut (Dubois dan Miley : 2005 dalam
Suharto : 2006) :
1. Meningkatkan kemampuan orang dalam menghadapi masalah yang dialaminya.
2. Menghubungkan orang dengan sistem dan jaringan sosial yang memungkinkan
mereka menjangkau atau memperoleh berbagai sumber, pelayanan dan
kesempatan.
3. Meningkatkan kinerja lembaga-lembaga sosial sehingga mampu memberikan
pelayanan sosial secara efektif, berkualtas dan berperikemanusiaan.
4. Merumuskan dan mengembangkan perangkat hukum dan peraturan yang
mampu menciptakan situasi yang kondusif bagi tercapainya kemerataan ekonomi
dan keadilan sosial.
Menurut Suharto (2005), secara garis besar, dalam pekerjaan sosial ada
tiga metoda utama yang termasuk kedalam pendekatan makro, yaitu communitywork
– yang populer dengan nama ”pengembangan masyarakat” atau community
development, manajemen pelayanan kemanusiaan (human service management)
dan analisis kebijakan sosial (socisl policy analysis). Perbedaan dari ketiganya yaitu,
dua metode pertama merupakan pendekatan dalam praktek langsung (direct
practice) dengan kliennya, maka analisis kebijakan sosial merupakan metode dalam
praktek tidak langsung (indirect practice).
Pusat perhatian pengembangan masyarakat adalah orang-orang dan
sumber-sumber kemasyarakatan yang biasanya bermatra lokal. Program-program
peningkatan pendapatan masyarakat seperti usaha ekonomi produktif, kelompok
usaha bersama (KUBE), kredit mikro, adalah contoh konkrit penerapan metode
pengembangan masyarakat. Sementara itu, sasaran analisis kebijakan sosial lebih
luas lagi, yaitu pada keberfungsian sistem yang mempengaruhi masyarakat yang
akan dibantu. Perumusan kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan
perlindungan sosial, jaminan sosial, dan pemerataan pendapatan adalah contoh
konkrit pendekatan analisis kebijakan sosial.
23
Kaitan antara TJSP/CSR dengan Pekerjaan Sosial, Tanggungjawab Sosial
Perusahaan/Corporate Social Resposibility (CSR) merupakan salah satu model dari
tipologi pelayanan pekerjaan sosial industri. Seperti yang diungkapkan oleh
Straussner (1989) dalam Suharto (2007), bahwa satu cara untuk
mengkonseptualisasikan beragam pelayanan sosial yang diberikan pekerja sosial
beserta peranan dan keterampilan yang dijalankannya adalah dengan membuat
sebuah tipologi model setting Pekerjaan Sosial Industri (PSI), yaitu sebagai berikut :
5. Model pelayanan sosial bagi pegawai (the employee service model);
6. Model pelayanan sosial bagi majikan atau organisasi perusahaan (the employer-
work organization service model);
7. Model pelayanan sosial bagi konsumen (the consumer service model);
8. Model Tanggungjawab sosial perusahaan (the corporate social responsibility
model)
9. Model kebijakan publik di bidang kepegawaian (work related public policy model).
Pekerjaan Sosial Industri (PSI) dapat didefinisikan sebagai lapangan praktik
pekerjaan sosial yang secara khusus menangani kebutuhan-kebutuhan
kemanusiaan dan sosial di dunia kerja melalui berbagai intervensi dan penerapan
metoda pertolongan yang bertujuan untuk memelihara adaptasi optimal antara
individu dan lingkungannya, terutama lingkungan kerja. Dalam konteks ini, pSI dapat
menangani beragam kebutuhan individu dan keluarga, relasi dalam perusahaan,
serta relasi yang lebih luas antara tempat kerja dan masyarakat (NASW : 1987
dalam Suharto : 2007), yang dikenal dengan istilah tanggungjawab sosial
perusahaan (corporate social responsibility) (Suharto : 2007).
Konsep TJSP/CSR seringkali oleh perusahaan diidentikan dengan metoda
Pengembangan masyarakat, yang akhir-akhir ini banyak diterapkan oleh perusahaan
dengan istilah ComDev. Dalam pengembangan masyarakat terkait erat dengan
pemberdayaan masyarakat. Suatu pengembangan masyarakat tanpa adanya
pemberdayaan masyarakat secara maksimal, maka tidak akam membuahkan hasil
seperti yang diharapkan. Menurut Suharto (2005), pemberdayaan masyarakat dalam
ComDev, didasari oleh pendekatan yang partisipatoris, humanis, dan emansipatoris
yang berpijak pada beberapa prinsip sebagai berikut :
1. Bekerja bersama berperan serta
2. Membantu rakyat agar mereka dapat membantu drinya sendiri dan orang lain.
3. Pemberdayaan bukan kegiatan satu malam
24
4. Kegiatan diarahkan bukan saja untuk mencapai hasil, melainkan juga agar
menguasai prosesnya.
5. Agar berkelanjutan, pemberdayaan jangan hanya berpusat pada komunitas lokal,
melainkan pula pada sistem sosial yang lebih luas termasuk kebijakan sosial.
Masih menurut Suharto (2005), fokus utama pekerjaan sosial adalah
meningkatkan keberfungsian sosil (social functioning) melalui intervensi yang
bertujuan atau bermakna. Keberfungsian sosial merupakan konsepsi penting bagi
pekerjaan sosial. Suharto dan kawan-kawan, mendefinisikan keberfungsian sosial
sebagai kemampuan orang (individu, keluarga, kelompok atau masyarakat) dan
sistem sosial (lembaga dan jaringan sosial) dalam memenuhi/merespon kebutuhan
dasar, menjalankan peranan sosial serta menghadap goncangan dan tekanan sosial
(Suharto, 2005).
Mengacu pada Parson, Jorgensen dan Hernandez (1994) dalam Suharto
(2005), ada beberapa peran pekerjaan sosial dalam pembimbingan sosial, yaitu
sebagai berkut :
1, Fasilitator
Menurut Barker (1987) dalam Suharto (2005), mendefinisikan fasilitator
sebagai tanggung jawab untuk membantu seseorang menjadi mampu menangani
tekanan situasional atau transisional. Strategi-strategi khusus untuk mencapai
tujuan tersebut meliputi : pemberian harapan, pengurangan penolakan dan
ambivalensi, pengakuan dan pengaturan perasaan-perasaan, pengidentifikasian dan
pendorongan kekuatan-kekuatan personal dan asset-asset sosial, pemilahan
masalah menjadi beberapa bagian sehingga lebih mudah dipecahkan, dan
pemeliharaan sebuah fokus pada tujuan dan cara-cara pencapaiannya.
2. Broker
Seperti halnya dipasar modal, seorang broker berusaha memaksimalkan
keuntungan dari transaksi tersebut sehingga klien dapat memperoleh keuntungan
sebesar mungkin. Namun demikian, pekerja sosial melakukan transaksi dalam pasar
lain, yakni jaringan pelayanan sosial. Selain itu, seorang broker berusaha
menghubungkan klien dengan barang-barang dan pelayanan serta mengontrol
kualitas barang dan pelayanan tersebut. Dengan demikian ada tiga kata kunci dalam
pelaksanaan peran sebagai broker, yaitu : menghubungkan (linking), barang-barang
dan pelayanan (goods and service), dan pengontrolan kualitas (quality control).
25
Dalam melaksanakan peran sebagai broker, ada dua pengetahuan dan
ketrampilan yang harus dimiliki oleh pekerja sosial, yaitu
- Pengetahuan dan ketrampilan melakukan assessmen kebutuhan masyarakat
(community needs assessment)
- Pengetahuan dan ketrampilan membangun konsorsium dan jaringan antar
organisasi.
3. Mediator
Peran mediator terutama diperlukan pada saat terdapat perbedaan yang
mencolok dan mengarah pada konflik antara berbagai pihak. Lee dan Swenson
(1986) dalam Suharto (2005) memberikan contoh bahwa pekerja sosial dapat
memerankan sebagai ” fungsi kekuatan ketiga” untuk menjembatani antara anggota
kelompok dan sistem lingkungan yang menghambatnya.
Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam melakukan peran mediator
meliputi : kontrak perilaku, negosiasi, pendamai pihak ketiga, serta berbagai macam
resolusi konflik.
4. Pembela
Manakala pelayanan dan sumber-sumber sulit dijangkau oleh klien, pekerja
sosial harus memainkan peranan sebagai pembela (advokat). Peran pembelaan
atau advokasi merupakan salah satu praktek pekerjaan sosial yang bersentuhan
dengan kegiatan politik. Menurut Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994) dalam
Suharto (2005), bahwa peran pembelaan dapat dibagi dua : advokasi kasus (case
advocacy) ditujukan untuk pembelaan terhadap individu dan advokasi kausal (cause
advocacy) ditujukan untuk pembelaan terhadap sekelompok anggota masyarakat.
5. Pelindung
Tanggung jawab pekerja sosial terhadap masyarakat didukung oleh hukum.
Hukum tersebut memberikan legitimasi kepada pekerja sosial untuk menjadi
pendukung (protector) terhadap orang-orang yang lemah dan rentan. Dalam
melakukan peran sebagai pelindung (guardian role), pekerja sosial bertindak
berdasarkan kepentingan korban, calon korban dan populasi yang beresiko lainnya.
Peranan sebagai pelindung mencakup penerapan berbagai kemampuan yang
menyangkut (a) kekuasaan, (b) pengaruh, (c) otoritas, dan (d) pengawasan sosial
26
2.7. Kerangka Pemikiran Kajian Pada dasarnya masyarakat memiliki potensi yang harus digali dan
dikembangkan. Adapun potensi yang senantiasa ada dalam lingkungan masyarakat
yaitu sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi. Potensi-
potensi ini pada kenyataannya seringkali memiliki keterbatasan, baik sumberdaya
manusia (pendapatan, pendidikan, kesehatan dan kemampuan), sumberdaya alam
(dalam pemanfatan dan pengembangannya) maupun sumberdaya ekonomi. Melalui
program pemberdayaan yang dilaksanakan oleh perusahaan diharapkan dapat
meningkatkan pendapatan, meningkatkan kemampuan, meningkatkan akses dan
menjadi percaya diri untuk ikut terlibat aktif dalam suatu kegiatan pembangunan.
Melalui program pemberdayaan ini, diharapkan pada gilirannya nanti akan tercipta
kemandirian dan peningkatan kemampuan sehingga masyarakat dapat
melaksanakan keberfungsian sosialnya dengan baik dan terciptanya kesejahteraan
sosial.
Kaitannya dengan pemberdayaan yang dilakukan oleh perusahaan sebagai
bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat disekitar
perusahaan, yang kesemuanya dikemas dalam bentuk program-program dalam
Corporate Social Responsibility (CSR). Untuk bisa terlaksananya program-program
tersebut, haruslah melalui suatu perencanaan yang di dalamnya meliputi
pembiayaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, dan
pelaporan. Tetapi apakah masyarakat dilibatkan dalam prosesnya secara langsung ?
Berbagai jenis program dalam Corporate Social Responsibility yang sudah
dilaksanakan oleh PT. Aqua Golden Mississipi, tetapi hingga sekarang belum
diketahui secara pasti bagaimana manfaatnya terhadap masyarakat. Untuk
mengetahui sejauh mana manfaat yang telah dirasakan oleh masyarakat, dibutuhkan
penilaian secara langsung dari masyarakat terhadap program-program tersebut.
Oleh karenanya perlu dikaji lebih jauh untuk mengetahui bagaimana sebenarnya
persepsi masyarakat dengan adanya program-program tersebut.
Persepsi seseorang terhadap suatu obyek dipengaruh oleh faktor personal
dan lingkungan, dimana dalam hal ini lingkungan tempat program CSR
dilaksanakan. Dengan adanya kedua faktor tersebut akan memunculkan
pengetahuan masyarakat terhadap program CSR sehingga masyarakat penerima
program dapat memberikan penilaian terhadap manfaat program. Selanjutnya dapat
dirancang perbaikan program agar manfaatnya berkelanjutan. Tentunya perbaikan
program tersebut dipengaruhi pula oleh kebijakan perusahaan. Untuk lebih jelasnya,
27
berikut skema kerangka pemikiran untuk perbaikan program kedepannya
berdasarkan persepsi masyarakat terhadap program-program CSR yang telah
diterimanya :
Gambar 1 : Kerangka Pemikiran Rancangan Perbaikan Program berdasarkan
persepsi masyarakat terhadap Program CSR
Pengetahuan terhadap program CSR, meliputi : - Penumbuhan Ekonomi Lokal - Pendidikan - Kesehatan - Bimbingan dan Pelatihan - Pelestarian Lingkungan
Persepsi terhadap manfaat Program CSR : - Peningkatan akses terhadap sumber :
pendidikan, kesehatan, modal, kesempatan berusaha dan bekerja
- Peningkatan Kemampuan - Semakin terlibat aktif dalam pembangunan
(perencanaan dan pelaksanaan) - Meningkatnya jejaring dalam berusaha - Kualitas dan kuantitas air tetap terjaga
Rancangan perbaikan terhadap Program CSR
Kebijakan Perusahaan
Faktor personal : - Pendidikan, pekerjaan dan
usia
Faktor Lingkungan : - Akses terhadap informasi program - Akses terhadap keterlibatan dalam
program.