30

Click here to load reader

Beberapa Aspek Ekonomi Pendidikan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Beberapa Aspek Ekonomi Pendidikan

1

BEBERAPA ASPEK EKONOMI PENDIDIKANDadan Rusmana

A. Nilai Ekonomis dari PendidikanBiaya dalam pendidikan dapat dipandang sebagai investasi dalam sumber daya

manusia (Human Investment dan Human Capital). Hal ini karena, pembiayaan pendidikan yang diinvestasikan untuk peningkatan kualitas dan produktivitas manusia jangka panjang. Negara-negara maju di Eropa, Amerika, dan beberapa negara di Asia (Jepang, Korea Selatan, China, dan Singapura) memiliki sistem perencanaan pembiayaan pendidikan yang matang, komprehensif, serta dijalankan secara konsisten, berkelanjutan, dan berkesinambungan. Hal yang sebaliknya, investasi dalam peningkatan mutu pendidikan menghadapi berbagai permasalahan di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia, baik yang menyangkut kebijakan, kemampuan manajemen, dan faktor lainnya.

Pendidikan dapat dipandang sebagai investasi pada sumberdaya atau investment in Human Capital, dan oleh karena itu dapat dianalisis menggunakan model analisis biaya manfaat (benefit cost analysis). Model analisi ini, menurut Nanang Fattah (Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, 2006:25) merupakan metodologi yang sangat penting dalam melakukan analisis untuk investasi pendidikan dan dapat membantu pengambilan keputusan untuk memutuskan dan memilih diantara alternatif alokasi sumber-sumber pendidikan yang terbatas agar mampu memberikan kemampuan yang paling tinggi. Analisis jenis ini didasarkan pada asumsi bahwa a) sumbangan seseorang terhadap pendapatan nasional adalah sebanding dengan tingkat pendidikannya, dan b) perbedaan pendapat di masyarakat disebabkan oleh perbedaan dalam pendidikan dan bukan perbedaan kemampuan atau latar belakang sosial. Pendekatan analisis ini disebut juga dengan pendekatan analisis rate of education (pengukuran pendidikan; yang mula-mula diujicobakan di Rusia) yang bertujuan untuk mengukur pendidikan dari sudut hasil atau keuntungan yang diperoleh.

Pendidikan melibatkan dan memerlukan pembiayaan, baik dari pemerintah maupun masyarakat, untuk mempersiapkan sumber daya yang yang berkualitas dan skillfull. Dengan demikian, pendidikan dapat diposisikan sebagai usaha investasi pada sumber daya manusia. Sebagaimana investasi pada bidang lainnya, investasi pada bidang pendidikan harus dapat memberikan keuntungan yang dapat diukur dengan nilai moneter atau hasil konversinya, terlebih jika pendidikan itu harus memiliki dampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat, pertumbuhan ekonomi, dan mobilitas sosial.

Sekalipun para ahli ekonomi mengalami kesukaran dalam upaya mengukur kontribusi pendidikan pada pertumbuhan ekonomi makro, namun mereka sepakat bahwa pendidikan, tidak diragukan lagi, memiliki nilai ekonomi dan memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi tersebut. Kesukaran pengukurannya disebabkan adanya ciri dan karakter pendidikan yang kompleks. Hanya saja, keterkaitan antara pendidikan dengan ekonomi, umumnya, baru dapat diukur pada faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi seperti tenaga kerja,

Page 2: Beberapa Aspek Ekonomi Pendidikan

2

pengetahuan, dan teknologi. Misalnya, keterkaitan jenis pendidikan dengan ketenagakerjaan adalah bahwa income seseorang ternyata banyak dipengaruhi oleh jenis pendidikan dan tingkat pendidikan yang diperolehnya. Secara umum, income lulusan SD lebih rendah bila dibandingkan dengan income lulusan SMA, dan demikian pula lulusan SMA berincome lebih rendah bila dibandingkan dengan income lulusan perguruan tinggi. Faktor-faktor ini hanya dapat diwujudkan dengan masuknya human factor, sebab pembangunan ekonomi pada dasarnya dilakukan oleh manusia dan untuk manusia. Sedangkan pembangunan manusia hanya dapat mungkin dilakukan oleh pendidikan, bukan oleh ekonomi.

Dengan demikian, model analisis biaya manfaat pendidikan diorientasikan untuk mengukur hasil atau produk pendidikan (manusia, produksi, atau jasa keuntungan) dengan pemenuhan tenaga kerja (pasar), penambahan pendapatan, pertumbuhan ekonomi makro dan mikro, mobilitas sosial, serta peningkatan kesejahteraan rakyat. Pengukuran model analisis biaya manfaat pendidikan ini memiliki keunggulan, yakni a) perencanaan pendidikan diorientasikan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, peningkatan pendapatan, dan kebutuhan pasar (market demand), b) pendidikan mempunyai ukuran yang konkret yakni penyerapan pasar tenaga kerja terhadap produk pendidikan, peningkatan pendapatan masyarakat, serta pertumbuhan ekonomi, dan c) pendidikan pun mempunyai ukuran semi-konkret, yakni peningkatan taraf hidup dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Hanya saja model analisis ini masih mempunyai beberapa kendala. Pertama, jika analisis diprioritaskan, seringkali pengukurannya bersifat kuantitatif moneterial (pendapatan dalam bentuk uang atau material). Dengan pendekatan ini, maka suatu jenis pendidikan tertentu sajalah yang harus dikembangkan, yakni pendidikan yang mampu menghasilkan lulusan yang jika sudah bekerja menghasilkan return (produksi, materi, pendapatan, atau jasa keuntungan) jauh lebih besar dari input biaya yang digunakan atau diinvestasikan. Sebaliknya, jika pendidikan itu tidak menguntungkan, maka seringkali dipertimbangkan untuk tidak dikembangkan. Kedua, sangat (atau cukup) sulit menghitung benefit yang dihasilkan oleh seseorang di lapangan kerja, terutama mereka yang bekerja di sektor informal. Ketiga, model ini hanya menekankan hubungan pendidikan dengan penghasilan serta mengabaikan hubungan antara penghasilan seseorang dengan kemampuan motivasi, kelas sosial, dan sebagainya. Keempat, perbedaan pendapatan yang menguntungkan orang-orang itu sendiri bukanlah menunjukkan kemampuan produktivitasnya, tetapi lebih merupakan suatu konvensi soial. Kelima, keuntungan dari pendidikan tidak hanya berupa keuntungan financial, tetapi dapat berupa keuntungan sosial, seperti pemeliharaan anak yang baik (yang terhindar dari kenakalan dan kejahatan), peningkatan kesehatan, dan penurunan tingkat kriminalitas (termasuk KDRT).

1. Dampak Pemerataan Mutu Pendidikan terhadap Pertumbuhan EkonomiMemasuki abad ke-21, paradigma pembangunan yang merujuk knowledge-

based economy (pembangunan ekonomi berbasis ilmu-pengetahuan) tampak kian dominan. Jepang adalah negara Asia pertama yang menjadi pelopor pembangunan perekonomian berbasis ilmu pengetahuan. Setelah Jepang, menyusul negara-negara

Page 3: Beberapa Aspek Ekonomi Pendidikan

3

Asia Timur lain seperti Singapura, China, Taiwan, Hongkong, dan Korea Selatan. Paradigma ini menegaskan tiga hal. Pertama, kemajuan ekonomi dalam banyak hal bertumpu pada basis dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, hubungan kausalitas antara pendidikan dan kemajuan ekonomi menjadi kian kuat dan solid. Ketiga, pendidikan menjadi penggerak utama dinamika perkembangan ekonomi, yang mendorong proses transformasi struktural berjangka panjang.

Oleh karena itu, tidaklah salah jika salah satu tesis-aksiomatik yang diyakini di dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan memberi kontribusi secara signifikan terhadap pembangunan ekonomi, semakin kuat. Berbagai kajian akademis dan penelitian empiris telah membuktikan keabsahan tesis itu. Buku terakhir William Schweke, Smart Money: Education and Economic Development (2004), sekali lagi memberi afirmasi atas tesis ilmiah para sarjana terdahulu, bahwa pendidikan bukan saja akan melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas, memiliki pengetahuan dan keterampilan serta menguasai teknologi, tetapi juga dapat menumbuhkan iklim bisnis yang sehat dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi.

Karena itu, investasi di bidang pendidikan tidak saja berfaedah bagi perorangan, tetapi juga bagi pertumbuhan ekonomi dan pada gilirannya berdampak pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Pencapaian pendidikan pada semua level disumsikan mampu meningkatkan pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pemerataan pendidikan dapat berkorelasi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan perbaikan taraf hidup masyarakat. Berkaitan dengan hal ini, Walter Frank Ward berpendapat, ”Perbedaan kemakmuran individu bersumber pada perbedaan kesempatan memperoleh pendidikan” (Sudardja, 2009:8). Oleh karena itu, pendidikan merupakan jalan menuju kemajuan dan pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi. Sedangkan kegagalan membangun pendidikan akan melahirkan berbagai problem krusial: pengangguran, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, dan welfare dependency yang menjadi beban sosial, ekonomi, dan politik bagi negara dan pemerintah.

Sebagai studi kasus terhadap kontribusi peningkatan pendidikan dan distribusi pendapatan terhadap pertumbuhan ekonomi, di bawah ini dideskripsikan perbandingan antara Korea mewakili Asia serta Kenya dan Zimbabwe mewakili Afrika. Pilihan tiga negara ini menarik karena semula Korea, yang secara ekonomi tertinggal, ternyata mampu mengungguli dan kemudian meninggalkan kedua negara Afrika itu. Beberapa indikator ekonomi makro menunjukkan perubahan amat signifikan antara ketiga negara berbeda benua itu. Yang-Ro Yoon, seorang peneliti ekonomi Bank Dunia, dalam Effectiveness Born Out of Necessity: A Comparison of Korean and East African Education Policies (2003), mengemukakan sejumlah temuan menarik berdasarkan observasi di tiga negara itu. Pada dekade 1960-an GNP per kapita Korea hanya 87 dollar AS, sementara Kenya 90 dollar AS. Memasuki dekade 1970-an GNP per kapita Korea mulai meningkat menjadi 270 dollar AS, namun masih lebih rendah dibanding Zimbabwe yang telah mencapai 330 dollar AS.

Indikator lain seperti gross savings rate (persentase terhadap GDP) juga menunjukkan, Korea lebih rendah dibanding kedua negara Afrika itu. Pada pertengahan 1970-an, gross savings rate masing-masing negara adalah: Korea 8

Page 4: Beberapa Aspek Ekonomi Pendidikan

4

persen, Kenya 15 persen, dan Zimbabwe 14 persen. Meski demikian, dalam hal pembangunan pertanian Korea relatif lebih unggul. Sektor pertanian memberi sumbangan terhadap GDP sebesar 37 persen di Korea, 35 persen di Kenya, dan 20 persen di Zimbabwe.

Memasuki dekade 1980-an, pembangunan ekonomi di Korea berlangsung amat intensif dan pesat. Bahkan antara periode 1980 dan 1996 dapat dikatakan sebagai masa keemasan saat negeri gingseng itu mampu melakukan transformasi ekonomi secara fundamental. Pada tahun-tahun itu pertumbuhan ekonomi Korea melesat jauh meninggalkan Kenya dan Zimbabwe.

Pada tahun 1996 GNP per kapita Korea telah mencapai 10,600 dollar AS (meski lalu menurun menjadi 7.980 dollar AS tahun 1998 saat terjadi krisis moneter). Sedangkan GNP per kapita Kenya dan Zimbabwe masing-masing 320 dollar AS dan 610 dollar AS. Perbedaan yang signifikan juga terlihat pada gross savings rate yakni 36 persen di Korea, 12 persen di Kenya, dan 17 persen di Zimbabwe. Pertumbuhan ekonomi Korea yang mengesankan ini terkait keberhasilan dalam menurunkan angka pertumbuhan penduduk selama tiga dekade: dari 2,7 persen tahun 1962 menjadi 0,9 persen pada 1993. Sementara pertumbuhan penduduk di Kenya justru meningkat dari 3,2 persen tahun 1965 menjadi 4,2 persen tahun 1980, meski kemudian menurun menjadi 2,6 persen pada tahun 1995.

 Dari perbandingan di atas, tidak diragukan lagi, salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi adalah komitmen yang kuat dalam membangun pendidikan, sebagaimana diterapkan oleh korea. Berbagai studi menunjukkan, basis pendidikan di Korea memang amat kokoh. Pemerintah Korea mengambil langkah-langkah ekspansif antara 1960-an dan 1990-an guna memperluas akses pendidikan bagi segenap warga negara. Program wajib belajar pendidikan dasar (universal basic education) sudah dilaksanakan sejak lama dan berhasil dituntaskan tahun 1965, sementara Indonesia baru mulai tahun 1984. Sedangkan wajib belajar jenjang SLTP berhasil dicapai tahun 1980-an; dan jenjang SLTA juga hampir bersifat universal pada periode yang sama. Yang menakjubkan, pada jenjang pendidikan tinggi juga mengalami ekspansi besar-besaran; lebih dari setengah anak-anak usia sekolah pada level ini telah memasuki perguruan tinggi.

Komitmen Pemerintah Korea terhadap pembangunan pendidikan itu tercermin pula pada public expenditure (belanja negara). Pada tahun 1959, anggaran untuk pendidikan mencapai 15 persen dari total belanja negara di Korea, guna mendukung universal basic education (dikdasmen) dan terus meningkat secara reguler menjadi 23 persen tahun 1971. Setelah program ini sukses, Pemerintah Korea mulai menurunkan anggaran pendidikan pada kisaran antara 14 sampai 17 persen dari total belanja negara atau sekitar 2,2 sampai 4,4 persen dari GNP. Menyadari bahwa pendidikan dasar merupakan bagian dari public good (kebutuhan dasar bersama), tercermin pada social return lebih tinggi dibanding private return, maka Pemerintah Korea mengalokasikan anggaran untuk pendidikan dasar jauh lebih besar dibanding level menengah dan tinggi.

Penting dicatat, selain faktor basis pendidikan yang lebih kuat, kelas menengah ekonomi di Korea juga terbentuk dengan baik dan mapan. Pada dekade antara 1960-

Page 5: Beberapa Aspek Ekonomi Pendidikan

5

an dan 1980-an, kalangan pengusaha Korea telah membangun hubungan dagang dan membuka akses pasar ke negara-negara kawasan seperti Jepang, bahkan telah menyeberang ke Amerika dan Eropa. Korea sukses melakukan inovasi teknologi (otomotif dan elektronik) karena memperoleh transfer teknologi melalui hubungan dagang dengan negara-negara maju tersebut.

2. Relasi antara Investasi di Sektor Pendidikan dan Investasi pada bidang Lainnya dengan menggunakan model fungsi produksiNilai investasi pendidikan pada dasarnya memiliki nilai kepentingan yang tidak

kalah penting dengan investasi dalam sektor lainnya, seperti dalam bidang kesehatan, industri, dan pertanian. Semua bentuk investasi tersebut, secara makro, memiliki tujuan dan nilai manfaat yang sama; sedangkan secara mikro semua investasi tersebut memiliki tujuan spesifik dan nilai guna yang berbeda. Secara makro, semua investasi dalam bidang pendidikan, kesehatan, industri, dan pertanian dimaksudkan agar mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, peningkatan taraf hidup manusia, dan pencapaian kesejahteraan masyarakat.

Hanya saja dilihat dari fungsi produksinya, hasil investasi dalam bidang pertanian dan industri dapat terlihat dalam jangka waktu pendek. Selain itu, produk dari investasi dalam bidang pertanian dan industri bersifat konkret (nyata atau kasat mata), dan karenanya itu relatif mudah untuk diukur. Dilihat dari fungsinya, produk investasi dalam bidang industri dan pertanian lebih banyak diorientasikan pada hal yang bersifat konsumtif. Misalnya, jika pemerintah atau perusahaan berinvestasi dalam bidang pembukaan industri textile atau energi (gas, BBM, uap, dll), maka hasilnya dapat diprediksi secara terukur dan dapat dirasakan dalam relatif dalam jangka pendek. Demikian pula, jika pemerintah berinvestasi dalam pembukaan kebun sawit, kopi, jarak, dan lainnya, hasilnya bersifat konkret, dapat diprediksi, dan dalam jangka waktu relatif singkat pula.

Berbeda dengan investasi dalam bidang pertanian dan industri, investasi dalam bidang pendidikan dan kesehatan merupakan investasi jangka panjang dan produknya lebih banyak bersifat abstrak. Orientasi produk kedua investasi ini lebih banyak menyangkut investasi pada sumber daya manusia (human resource/capital investment), berjangka panjang, dan sifat produknya lebih pada pembangunan manusia (human development) dan produktif.

Hanya saja, menurut Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi (Balai Pustaka: Jakarta, 1999, h. 247), investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di

Page 6: Beberapa Aspek Ekonomi Pendidikan

6

negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi.

Sebagai fungsi investasi, pendidikan memberikan sumbangan yang berarti dalam kenaikan tingkat kehidupan, kualitas manusia dan pendapatan nasional, terutama dalam hal-hal berikut:

a) Proses belajar mengajar menjamin masyarakat yang terbuka (yaitu masyarakat yang senantiasa bersedia untuk mempertimbangkan gagasan-gagasan dan harapan-harapan baru serta menerima sikap dan proses baru tanpa harus mengorbankan dirinya).

b) Sistem pendidikan menyiapkan landasan yang tepat bagai pembangunan dan hasil-hasil rises (jaminan melekat untuk pertumbuhan masyarakat modern yang berkesinambungan). Investasi pendidikan dapat mempertahankan keutuhan dan secara konstan menambah persediaan pengetahuan dan memungkinkan riset dan penemuan metode serta teknik baru yang berkelanjutan.

c) Apabila dalam setiap sektor ekonomi kita dapatkan segala faktor yang dibutuhkan masyarakat kecuali tenaga kerja yang terampil, maka investasi dalam sektor pendidikan akan menaikan pendapatan perkapita dalam sektor tersebut, kecuali bila struktur sosial yang hidup dalam masyarakat tersebut tidak menguntungkan.

d) Sistem pendidikan menciptakan dan mempertahankan penawaran ketermapilan manusia di pasar pemburuhan yang luwes dan mampu mengakomodasi dan beradaptasi dalam hubungannya dengan perubahan kebutuhan akan tenaga kerja dan masyarakat teknologi modern yang sedang berubah (Komaruddin, 1991:14).

B. Nilai ekonomi pendidikan akan terukur secara akseleratif sehingga pendidikan sebagai human capital akan memiliki return on investment yang cukup lama

1. Mengukur internal rates of returnMelalui cost benefit analysis terbukti bahwa pendidikan mempunyai korelasi

positif dengan peningkatan taraf hidup dan pertumbuhan ekonomi. Secara khusus, para pengambil kebijakan pendidikan dan para ekonom telah mengisi kerangka kerja dari paradigma pengembangan modal manusia (human capital), dengan analisis pengembalian pendidikan dan pelatihan, serta penjelasan tentang perilaku individual dalam pasar tenaga kerja dan dalam perusahaan-perusahaan, juga dengan mengkaji kontribusi modal manusia terhadap pertumbuhan ekonomi, dan penelitian tentang pengaruh kualitas pendidikan terhadap pengembalian (rate of returns) pendidikan.

Terdapat berbagai macam faktor untuk mengukur bagaimana internal rates of return diukur dengan baik pada tingkat makro (negara). Di antara ukuran-ukuran tersebut, di antaranya: 1). Pendapatan per-kapita, 2). Perubahan peta ketenagakerjaan, misalnya dari pertanian ke industri 3). Konsumsi energi atau pemakaian barang

Page 7: Beberapa Aspek Ekonomi Pendidikan

7

berteknologi tinggi seperti mobil, telepon, televisi. Dengan demikian kriteria untuk menilai keberhasilan internal rates of return: 1). Peningkatan dalam efisiensi sistem produksi masyarakat yang diukur dengan GDP dan GNP. 2). Kepuasaan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, 3). Pencapaian tujuan-tujuan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat, yang dikaitkan dengan penggunakan sumber daya yang terbatas.

Secara mikro (personal dan keluarga), internal rate of return dapat diukur dari beberapa indikator, yaitu

a) Pendapatan yang dihasilkan dari penghargaan terhadap jenjang dan jenis pendidikan. Misalnya pendapatan Guru besar lebih dibanding dengan dosen atau guru; demikian pula, dengan sertifikasi, dosen dan guru yang telah tersertifikasi, memiliki pendapatan yang lebih tinggi dari dosen dan guru yang berlum tersertifikasi. Salah satunya dibedakan dari jenjang pendidikan, misalnya untuk dosen minimal S2 dan bagi guru minimal S1. Di Amerika Serikat, pada tahun 1992, misalnya seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan SD hanya 1,1 juta rupiah.

b) Pendapatan yang dihasilkan dari jenjang profesionalisme; misalnya insinyur mendapatkan income yang lebih tinggi dibanding non-insinyur; demikian pula, dokter mendapatkan penghagaan yang lebih dibanding tenaga kesehatan lainnya;

c) Tingkat konsumtif. Personal atau keluarga yang berpendidikan tinggi memiliki konsumsi yang lebih tinggi dibanding personal dan keluarga yang berpendidikan lebih rendah.

d) Tingkat investasi. Personal atau keluarga yang berpendidikan tinggi memiliki dana investasi (termasuk tabungan) yang lebih banyak dibanding personal dan keluarga yang berpendidikan lebih rendah.

e) Penghasilan seumur hidup. Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara, yakni a) cross sectional, yakni dengan cara mengukur penghasilan dalam waktu bersamaan kepada sejumlah orang yang bervariasi umumnya, kemudian dicari rata-rata penghasilan dari orang yang usianya sama, dan b) longitudinal, yakni dengan mengikuti sejumlah orang yang seusia dan penghasilannya diukur pada setiap tingkat usianya (Wardiman dan Ace S, 1995).

2. Nilai Ekonomi Pendidikan Objektif dan Subjektif berkaitan dengan Nilai Guna dan Nilai Tukar

Perkataan “nilai ekonomi” dapat ditafsirkan sebagai ” makna” atau “arti” (worth) dari sesuatu pendidikan atau benda. Hal ini mempunyai pengertian bahwa pendidikan, sebagaimana benda lainnya, akan mempunyai nilai bagi seseorang

Page 8: Beberapa Aspek Ekonomi Pendidikan

8

jika pendidikan benda tersebut memberi makna atau arti bagi seseorang atau masyarakat secara ekonomi. Sebagai ilustrasi, nilai pendidikan, sebagaimana suatu properti, dapat pula ditafsirkan sebagai suatu harga yang dibayar oleh pembeli yang mampu, bersedia dan berkelayakan membeli dari penjual yang bersedia, berkelayakan dan mempunyai hak untuk menjualnya. Jadi dalam hal ini di antara penjual dan pembeli harus mengetahui keadaan pasaran yang sebenarnya atau kedua belah pihak telah mendapat nasehat dari pihak profesional yang telah ahli dalam pasaran benda atau pendidikan tersebut.

Nilai pendidikan, sebagaimana barang/benda lainnya, tidak semestinya selalu dinyatakan dalam bentuk uang (rupiah). Sebagai contoh terhadap sebuah properti (misalnya rumah), seseorang mungkin sanggup melepaskan dan menawarkan 2 buah mobil toyota kijangnya untuk mendapatkan rumah tersebut, tetapi di lain pihak ada seseorang lagi yang bersedia menawarkan 3 buah mobil toyota kijang. Demikian pula dengan pendidikan, terdapat sejumlah orang yang mengeluarkan uangnya untuk mendapat pendidikan di bidang tertentu, misalnya kedokteran atau hubungan internasional. Jadi dapat pula dinyatakan bahwa nilai adalah kekuatan/daya tukar sesuatu barang terhadap barang lain. Inilah yang kemudian dikenal dengan nilai tukar. Tetapi oleh karena kita sekarang menggunakan uang sebagai alat tukar, maka nilai biasanya akan diwujudkan dalam satuan mata uang. Dalam konteks pendidikan, nilai tukar terletak dalam kekuatan atau daya tawar/tukar dengan hal lain.

Sementara itu, pendidikan juga member manfaat kepada masyarakat, baik dalam hal peningkatan pengetahuan, keterampilan, pendapatan, dan taraf hidup. Dalam hal yang lebih jauh, pendidikan mempunyai manfaat untuk mobilitas sosial, pertumbuhan ekonomi makro, alat untuk menyejahterakan masyarakat, dan menjadikan sebuah negara menjadi negara maju dan berperadaban. Dengan demikian, pendidikan memiliki nilai guna (manfaat). Inilah yang kemudian dikenal sebagai nilai manfaat (guna) pendidikan.

Di lain sisi, pendidikan pun mempunyai harga/nilai yang standard. Nilai standard pendidikan inilah yang kemudian dikenal dengan nilai pasar pendidikan (market value of education). Secara umum, nilai pasar didefinisikan dalam Webster sebagai: ” A price at which both buyer and sellers are willing to do business” Suatu harga di mana baik pembeli maupun penjual berkehendak melakukan transaksi. Sementara Dictionary of the English Language, mendefinisikannya sebagai “What a property can be sold for on the open market” (harga yang mungkin dari suatu properti jika dijual pada pasar terbuka).

Berdasarkan pada paparan di atas, dalam perkembangannya, istilah ‘nilai’ penidikan ini biasanya tidak berdiri sendiri tetapi menyatu dalam suatu istilah yang lebih spesifik, yakni a) nilai pasar pendidikan (market value of education), b) nilai guna pendidikan (use value of education), dan c) nilai tukar pendidikan (educational value in exchange) dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan bahwa semua nilai ekonomis pendidikan berjalin kelindan, saling berkaitan, dan saling melengkapi.

Page 9: Beberapa Aspek Ekonomi Pendidikan

9

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana pendidikan mampu mempunyai nilai ekonomis tersebut? Nilai ekonomi pendidikan, menurut Theodore Schultz (1963) terletak pada dalil-dalil bahwa masyarakat meningkatkan kemampuannya sebagai produsen dan konsumen dengan berinvestasi sendiri dan pendidikan merupakan investasi terbesar dalam pengembangan modal manusia. Dalil ini menyatakan bahwa kebanyakan kemampuan ekonomi masyarakat tidak ditetapkan pada saat lahir atau pada saat kanak-kanak ketika hendak memasuki sekolah. Kemampuan-kemampuan yang diperoleh ini merupakan segalanya namun disepelekan. Kemampuan itu penting untuk merubah secara radikal ukuran-ukuran yang biasa dari sejumlah tabungan dan pemupukan modal. Demikian juga merubah struktur upah dan gaji serta sejumlah pendapatan dari pekerjaan yang berkaitan dengan sejumlah pendapatan dari harta kekayaan. Telah lama menjadi teka-teki berkenaan dengan pertumbuhan ekonomi, perubahan struktur upah dan gaji, serta perubahan distribusi pendapatan secara personal – dapat menjadi hal yang substansial, yang diatasi dengan menghitung jumlah investasi dalam modal manusia (Schultz, 1963: 10-11).

Nilai-nilai ekonomi pendidikan dapat bersifat objektif dan dapat bersifat subjektif. Nilai ekonomi objektif adalah nilai yang dberikan manusia scara umum kapada pendidikan, sebagaimana kepada barang/jasa karena dapat memenuhi kebutuhan seluruh manusia dan disepakati standar nilai dan manfaatnya. Misalnya, pendidikan untuk baca-tulis merupakan pendidikan yang memiliki nilai tukar dan nilai guna yang disepakati diperlukan oleh setiap orang. Hampir tidak ada orang yang tidak setuju dengan hal tersebut, atau dengan kata lain semua orang sepekat mengenai pentingnya pendidikan baca tulis bagi setiap orang. Kesepakatan (konvensi) inilah yang menjadikan pendidikan baca tulis mempunyai nilai tukar dan nilai guna yang bersifat objektif atau dapat diterima oleh semua orang.

Sementara itu, nilai subjektif adalah nilai yangg diberikan seseorang terhadap pendidikan atau barang/jasa karena hanya dapat memenuhi kebutuhan atau kepuasan perseorangan atau kelompok tertentu. Misalnya, pendidikan atau pelatihan untuk paralayang atau terjun payung untuk tujuan kompetisi hanya memiliki nilai tukar dan nilai guna yang hanya dapat dirasakan oleh perseorangan yang concern atau hobbi terhadap hal tersebut, tetapi tidak berlaku bagi yang lain. Oleh karena hanya perseorangan datau sekelompok saja yang menilai pendidikan atau pelatihan paralayang dan terjun payung, tersebut maka nilai tukar dan nilai guna pendidikan ini dikategorikan bersifat subjektif.

3. Pendidikan sebagai Barang Konsumtif atau Produktif lainnyaPendidikan dapat diposisikan sebagai produk atau hasil berupa barang

(sekalipun lebih banyak berupa barang asbtrak dan jasa). Jika asumsi ini diterima, maka pendidikan sebagai produk atau “barang” dapat dikategorikan pada beberapa bentuk, yakni sebagai a) barang konsumtif, b) barang produktif c) sumber investasi, dan d) sebagai barang konsumsi dan investasi secara

Page 10: Beberapa Aspek Ekonomi Pendidikan

10

komplementer. Dalam realitasnya, bentuk-bentuk pendidikan sebagai produk ini seringkali sumir, saling berjalin-kelindan, dan overlapping.

Pertama, pendidikan sebagai barang konsumsi. Maknanya adalah pendidikan sebagai hak dan atau kebutuhan dasar manusia atau merupakan salah satu hak demokrasi yang dimiliki oleh setiap warga negara. Sehingga sampai tingkat tertentu pengadaan harus dilakukan oleh pemerintah. Oleh karena itu maka di banyak negara pendidikan dasar (SD dan SLTP) dijadikan sebagai pendidikan wajib belajar. Sebagai konsekuensinya pendidikan pada tingkat ini pendidikan bukan hanya sebagai hak, tetapi juga sebagai kewajiban bagi setiap warga negara pada tingkat umur tertentu (di Indonesia antara 6 sampai 15 tahun).

Dilihat dari segi sifat kebutuhan, pengadaannya pendidikan pada tingkat ini merupakan barang publik. Kemudian dilihat dari motivasinya, maka pendidikan sebagai konsumsi ini dimotivasi oleh keinginan untuk memuaskan kebutuhan akan pengembangan kepribadian, kebutuhan sosial, kebutuhan akan pengetahuan dan pemahaman. Selanjutnya mengenai orientasi waktu dan tempatnya adalah kekinian (sekarang) dan kedisinian. Permintaan pendidikan ini dipengaruhi oleh besar kecilnya pendapatan disposible.

Kedua, pendidikan sebagai barang produktif. Pendidikan, layaknya sebuah industri, merupakan alat/media produksi untuk menciptakan output dan outcomes yang memiliki keunggulan, keunikan, nilai pasar, nilai guna, dan nilai tukar yang dapat dipasarkan dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemuliaan kehidupan. Bagi sebagian orang, pendidikan merupakan sumber kehidupan atau matapencaharian, di mana ia menggunakan pendidikan sebagai “alat produksi” yang dapat dijadikan sumber pendapatan.

Ketiga, pendidikan sebagai investasi. Investasi berarti penanaman modal atau uang. Modal atau uang yang ditanamkan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, baik berupa uang atau modal maupun dalam bentuk barang atau jasa. Kenneth J. Arrow (1962) mengemukakan bahwa istilah investasi atau investment merupakan alokasi current resources yang mempunyai alternatif produktif yang berguna untuk pelaksanaan kegiatan yang dapat menambah keuntungan yang diperoleh di masa yang akan datang. Biaya atau cost suatu investasi merupakan keuntungan yang diperoleh dibagi dengan penggunaan sumber daya dalam berbagai kegiatan lain. Pendidikan sebagai upaya investasi bertujuan untuk memperoleh pendapatan neto atau rate of return yang lebih besar di masa yang akan datang. Biaya pendidikan dalam jenis pendidikan ini dipandang sebagai jumlah uang yang dibelikan untuk memperoleh atau ditanamkan dalam sejumlah modal manusia (human capital) yang dapat memperbesar kemampuan ekonomi di masa yang akan datang. Pendidikan sebagai investasi didasarkan atas anggapan bahwa manusia merupakan suatu bentuk kapital (modal) sebagaimana bentuk-bentuk kapital lainnya yang sangat menentukan terhadap pertumbuhan produktivitas suatu bangsa. Melalui investasi dirinya seseorang dapat memperluas alternatif untuk kegiatan-kegiatan lainnya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya di masa yang akan datang.

Page 11: Beberapa Aspek Ekonomi Pendidikan

11

Keempat, pendidikan sebagai konsumsi dan investasi secara komplementer. Setelah wajib belajar dilalui, pendidikan mempunyai tujuan bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan, pemahaman, pengembangan kepribadian, dan pemuasan terhadap kebutuhan sosial (status, gengsi, atau social demand), tetapi juga untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik, sehingga dapat memperoleh pendapatan neto seumur hidup yang lebih tinggi di masa yang akan datang. Indikatornya adalah naiknya taraf hidup, kemampuan untuk menabung atau berinvestasi pada barang, dan mampu menyekolahkan anak dan kelurganya sebagai upaya human investment yang lebih baik dari dirinya.

C. Peran dan Strategi Pembiayaan PendidikanBiaya pendidikan merupakan bukan satu-satunya faktor yang dapat

meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini mengandung arti bahwa terdapat sejumlah faktor lain yang turut berperan dalam menentukan kualitas pendidikan.

1. Peran biaya dalam penyelenggaraan pendidikan sebagai human investment Dalam ukuran alam tradisional, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang

mempu menjamin kesintasan (survival) atau kelangsungan hidup manusia menghadapi alam yang mengandung bahaya bagi kehidupan Manusia. Ketika kehidupan Manusia belum dicampuri peran uang, pendidikan tidak dipengaruhi Uang, maka aspek humanistic menjadi sangat kental. Itu terjadi ketika kehidupan manusia terutama bersifat fisik atau jasmaniah. Anak diajar dan diberi tauladan ibu dan bapak bagaimana memelihara tubuh atau jasmaninya agar menjadi manusia yang kuat dan mempunyai daya hidup (fit) untuk membangun kehidupan yang lebih baik bagi keluarga maupun dirinya. Anak diberi petunjuk dan tauladan bagaimana berlaku untuk membantu memperoleh makan bagi keluarga, seperti berburu khewan, menangkap ikan dan mengumpulkan bahan makanan dari hutan dan ladang. Pendidikan waktu itu terutama bersifat pemberian petunjuk dan tauladan.

Ketika umat Manusia ada pada perkembangan itu masalah kesintasan mengalami perubahan yang radikal. Hal ini mempengaruhi pendidikan yang menjadi kegiatan yang jauh lebih luas dan kompleks. Ia tidak lagi cukup diwujudkan dengan hubungan erat antara guru dan murid atau pendidik dan pelajar. Pendidikan (bermutu) juga harus disertai kemampuan untuk menghadirkan alat pendidikan yang relevan serta guru yang benar-benar cakap (professional) dalam bidangnya. Tuntutan ini mau tidak mau tidak dapat lepas dari tersedianya uang, dana, atau biaya yang memadai. Makin menjadi kenyataan bahwa lembaga pendidikan yang dapat diandalkan terdapat dalam masyarakat yang cukup kuat kemampuan modal (uang)nya. Perkembangan pengetahuan, ilmu, dan teknologi menuntut tumbuhnya satu Sistem Sekolah mulai pendidikan dasar, pendidikan menengah sampai pendidikan tinggi. Itu terutama terjadi di Eropa yang kehidupannya menjadi amat dinamis. Mulailah berdiri universitas-universitas sebagai lembaga pendidikan tinggi yang menjadi sumber studi ilmiah, didukung lembaga pendidikan menengah dalam bentuk Gymnasium serta pendidikan dasar yang bermutu. Meskipun hal ini mula-mula terutama dilakukan oleh Gereja di Eropa, namun hal itu tidak mungkin terwujud kalau tidak ada dukungan

Page 12: Beberapa Aspek Ekonomi Pendidikan

12

masyarakat dan negara. Terutama setelah terjadi reformasi di lingkungan gereja di Eropa dan berkembang pikiran untuk mengurangi peran agama dalam kehidupan, maka peran negara dan masyarakat dalam pendidikan amat berkembang.

Dengan perjalanan waktu dan temuan-temuan revolusioner dalam bidang pengetahuan, ilmu, dan teknologi, maka pendidikan pun tidak dapat dilepaskan dari persoalan pembiayaan. Oleh karena itu, dalam konsep modern biaya merupakan dalam satu faktor penting dalam penyelenggaraan pendidikan sebagai human investment (investasi sumber daya manusia). Pembicaraan dan perencanaan pendidikan tidak bias lagi dilepaskan dari pembicaraan pembiayaan; ia melekat dalam setiap komponen, proses, dan evaluasi pendidikan. Tesis bahwa “pendidikan tidak akan mampu berjalan tanpa adanya biaya, dana, modal, atau uang” kemudian diyakini sebagai kebenaran aksiomatis yang tidak dapat diganggu gugat.

Terbukti kemudian bahwa bangsa-bangsa yang memberikan perhatian besar serta melakukan usaha luas, termasuk mengalokasikan dana untuk pendidikan cukup tinggi, menjadi maju dan sejahtera. Dalam kehidupan masyarakat dunia yang tidak/belum bebas dari persaingan antar-bangsa ternyata bangsa-bangsa yang menjalankan pendidikan luas dan bermutu bagi rakyatnya, lebih mampu melakukan persaingan itu dan juga lebih mampu untuk melakukan kerjasama antar-bangsa yang menguntungkannya. Maka pendidikan menjadi kunci bagi kesintasan dan keselamatan bangsa. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa investasi pendidikan adalah investasi terpenting yang dapat dilakukan satu bangsa dan warganya.

Kasus kongkrit mengenai kebijakan pembiayaan dalam skala makro adalah hal yang dialami Indonesia dalam hubungannya dengan Malaysia. Pada era tahun 1950-an ketika Malaysia baru berdiri sebagai negara, pendidikan di Malaysia sangat tergantung pada bantuan yang diberikan Indonesia dalam bentuk penempatan tenaga Pendidik di berbagai lembaga pendidikan tinggi negara itu. Akan tetapi sikap para pemimpin Malaysia lebih tegas dan kongkrit menghadapi pendidikan dari pada para pemimpin Indonesia, terutama dalam politik-kebijakan pembiayaan pendidikan. Sejak awal, pemerintahan Malaysia menganggarkan sekitar 20% untuk sektor pendidikannya dari anggaran belanja negara. Dengan begitu ia bangun pendidikan dasar dan menengah (dikdasmen) yang tidak tergantung dari kekuatan keuangan orang tua, sebab dengan cara itu mula-mula pendidikan dasar dan kemudian juga pendidikan menengah sepenuhnya dibiayai negara. Dengan jumlah manusia yang makin banyak mengalami Pendidikan secara teratur dan bermutu maka sumber daya manusia juga meningkat kualitasnya. Hal ini meningkatkan kemampuan ekonomi dan kehidupan di Malaysia pada umumnya, yang kemudian berakibat makin meningkat pula kekayaan negara dan masyarakat. Hal itu menjadikannya lebih mampu lagi menyelenggarakan pendidikan yang diperlukan negara dan masyarakat masakini bagi makin banyak manusia. Maka sekarang Pendidikan secara umum di Malaysia sudah tidak memerlukan bantuan Indonesia, malahan mungkin lebih tinggi dari kemampuan pendidikan di Indonesia.

Adalah satu kekurangan bangsa Indonesia untuk tidak melihat pengaruh dan peran pendidikan secara kongkrit dan realistis. Ada kecenderungan juga untuk terlampau idealistis melihatnya, seperti pendidikan tidak memerlukan gedung dan

Page 13: Beberapa Aspek Ekonomi Pendidikan

13

peralatan yang macam-macam, sebab yang penting adalah peran dan mutu guru/dosen . Andai kata benar bahwa yang penting adalah peran dan mutu guru saja, rupanya tidak disadari bahwa untuk memperoleh guru yang benar-benar menguasai tugasnya dalam jumlah yang sesuai untuk Indonesia dengan penduduknya 250 juta orang, diperlukan usaha luas yang memerlukan uang, dana, atau biaya besar. Diperlukan berbagai keperluan, seperti adanya jumlah dan mutu tenaga pendidik (calon) guru yang memadai dibantu berbagai fasilitas dan alat pendidikan seperti perpustakaan dan laboratorium, yang kesemuanya memerlukan dukungan uang, dana, dan biaya yang tidak sedikit.

Maka untuk menjadi bangsa yang kuat Indonesia memerlukan satu sistem sekolah yang berjalan efektif dan bermutu, mulai dari pendidikan dasar ke pendidikan menengah ke pendidikan tinggi. Hal itu harus meliputi seluruh wilayah nasional yang begitu luas dengan jumlah penduduk begitu besar. Lagi pula jenis pendidikan di masa kini makin banyak, terutama di tingkat pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Sebab itu untuk membiaya Pendidikan Sekolah diperlukan uang, dana, dan biaya yang tidak sedikit.

Namun demikian, aspek biaya bukanlah satu-satunya faktor dalam peningkatan mutu pendidikan. Terdapat sejumlah faktor lain dalam upaya peningkatan mutu pendidikan selain aspek biaya. Faktor tersebut adalah a) faktor motivasi manusia (pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik, dan wali), b) faktor political will (kemauan politik) dari pemerintah dan kemampuan membiayai pendidikan, terutama public school/education c) faktor sosial-budaya yang mendukung pada iklim budaya pendidikan, d) faktor sarana dan prasarana pendidikan, e) faktor kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan lainnya, dan f) perencanaan dan pengelolaan pendidikan. Semua faktor-faktor tersebut harus berjalan seiringan agar tujuan pendidikan dapat dicapai secara maksimal. Sebaliknya, apabila salah satu faktor tersebut tidak berjalan secara efektif, maka ia akan menjadi hambatan bagi efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan pendidikan.

2. Strategi Pembiayaan Pendidikan agar dapat berdampak terhadap peningkatan mutu pendidikanAgar pembiayaan dapat berdampak pada peningkatan mutu pendidikan, maka

perencanaan pembiayaan harus menempuh strategi yang tepat. Adapun strategi alternative yang dapat digunakan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembiayaan agar berdampak pada peningkatan mutu pendidikan adalah sebagai berikut:

a) Skala prioritas. Pembiayaan pendidikan harus memperhitungkan skala prioritas, yakni mendahulukan sektor-sektor yang berkaitan pada peningkatan kualitas sumber daya, terutama pada peningkatan etos belajar dan etos kerja.

b) Renumerasi. Sistem penghargaan dan penggajian yang dilakukan dalam dunia pendidikan selama ini bersifat fix-income (tetap) berdasarkan golongan, lama bekerja, dan aspek formal lainnya. Sistem dan model penghargaan dan penggajian seperti itu tidak diukur berdasarkan etos kerja dan produktifitas, oleh karena itu system dan model ini tidak mendorong

Page 14: Beberapa Aspek Ekonomi Pendidikan

14

peningkatan kualitas pendidikan. Oleh karena itu, penerapan sistem renumerasi yang baik dan benar dapat meningkatkan etos kerja dan produktifitas kerja pendidik dan tenaga tenaga kependidikan lainnya. Dengan demikian, maka penerapan renumerasi dapat berdampak langsung pada peningkatan mutu pendidikan. Namun demikia, sistem renumerasi ini harus diimbangi oleh kebijakan “pembudayaan” etos kerja dan produktivitas.

c) Penerapan standar mutu pembiayaan pendidikan. Penerapan standar mutu pendidikan melalui Total Quality Management (TQM), termasuk standar mutu pembiayaan, diasumsikan dapat memperbaiki sistem pengelolaan dan distribusi pembiayaan. Secara akumulatif, bersama penerapan jaminan mutu dari komponen-komponen pendidikan lainnya, jaminan mutu pembiayaa dapat berdampak langsung pada peningkatan kualitas pendidikan.

d) Subsisi dan pembiayaan pendidikan yang berkeadilan. Masa kini, pembiayaan pendidikan dasar dan menengah pertama (dikdasmen) di Indonesia ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat tidak menanggung pembiayaan formal pendidikan (atau dikenal dengan sekolah “gratis”). Hal ini karena subsidi terhadap dikdasmen pertama cukup besar. Sedangkan untuk pendidikan menengah atas dan PT hanya sedikit. Pembiayaan seperti ini nampaknya seperti “adil”, padahal belum adil, karena setiap keluarga mendapatkan pembebasan spp, termasuk keluarga “berpenghasilan tinggi”. Kelas inilah yang hari ini menikmati pembebasan SPP, karena mereka mampu masuk sekolah negeri dengan berbagai faktor. Sedangkan keluarga miskin dan menengah banyak masuk di sekolah swasta dan dibebani membayar biaya pendidikan. Selebihnya, terdapat keluarga miskin yang memang bukan hanya tidak mampu membayar SPP tetapi juga tidak mampu membeli alat sekolah dan ongkos perjalanan. Oleh karena itu, subsidi pemerintah harus memperhitungkat tingkat kebutuhan individu seperti di atas. Mungkin saja, ke depan, siswa dari keluarga kaya harus ikut menanggung biaya keluarga miskin; siswa dari keluarga menengah hanya mendapat pembebasan SPP; sedangkan siswa dari keluarga miskin harus mendapat full subsidi (SPP, alat sekolah, dan ongkos).

e) Peningkatan peran masyarakat dan swasta dalam pendidikan, termasuk dalam pengawasan pembiayaan pendidikan. Semakin bagus kualitas pengawasan bersama, termasuk dalam pengelolaan pembiayaan pendidikan, maka tingkat akuntabilitas publik akan semakin besar. Hal ini diasumsikan akan mampu meningkatkan kualitas pendidikan.

D. Pendekatan Perencanaan Pendidikan di Indonesia 1. Pendekatan-Pendekatan dalam Perencanaan Pendidikan di Indonesia

Profesor Toshiko Kinosita mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan

Page 15: Beberapa Aspek Ekonomi Pendidikan

15

pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Kompas, 24 Mei 2002).

Faktor lain dari lemahnya sumber daya manusia adalah kurang tepatnya perencanaan pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Dalam perjalanan sejarah politik pendidikan, perencanaan pendidikan di Indonesia memang tidaklah menggunakan salah satu pendekatan saja, tetapi menerapkan beberapa pendekatan, kadang-kadang ketiga-tiganya secara bersama-sama. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa, a) perencanaan pendidikan tidak diharuskan supaya terikat kepada salah satu pendekatan, akan tetapi semua pendekatan yang ada dapat digunakan menjadi pedoman dalam menjabarkan tujuan nasional pendidikan, dan b) setiap tingkat dan jenis pendidikan memerlukan pendekatan yang berbeda. Hanya saja, hal ini mempersyaratkan adanya pemahaman komprehensif terhadap ruang lingkup dan keterbatasan-keterbatasan setiap perencanaan pendidikan yang ada agar dapat diadaptasi, dimodifikasi, dan diterapkan secara tepat guna, efektif, dan efisien di Indonesia.

Secara teoritis, setidaknya, perencaaan pendidikan memiliki beberapa pendekatan, yakni social demand approach (pendekatan kebutuhan sosial), man power approach (pendekatan pemenuhan kebutuhan tenaga kerja), cost benefit approach (pendekatan manfaat biaya), dan comprehensive approach (pendekatan komprehensif). Dari keempat pendekatan tersebut, pendekatan social demand approach dan man power approach merupakan pendekatan utama yang pernah dan sedang dijalankan oleh pemerintah Indonesia, sebagaimana dijelaskan pada bagian tulisan selanjutnya. Namun sebelum menjelaskan implementasi dari kedua pendekatan dimaksud, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian dari pendekatan-pendekatan dalam perencanaan pendidikan tersebut.

Pertama, Pendekatan Kebutuhan Sosial. Pendekatan ini menitikberatkan pada tujuan pendidikan yang mengandung misi pembebasan terutama bagi negara-negara berkembang. Pendektan ini lebih menekankan pada pemerataan kesempaan atau kuantitatif dibandingkan dengan aspek kualitatif. Menurut A.W. Guruge, perencanaan pendidikan dengan pendekatan kebutuhan sosial ini adalah “The traditional approach to educational development by providing institution and facilities to meet pressures of admission and make allovance, for the free exercise of students and parents preferences.

Kedua, Pendekatan Kebutuhan Ketanakerjaan. Pendekatan ini lebih menekankan pada keterkaitan lulusan sistem pendidikan dengan tuntutan terhadap tenaga kerja pada berbagai sektor pembangunan dengan tujuan yang dicapai bahwa pendidikan itu diperlukan untuk membantu lulusan memperoleh kesempatan kerja yang lebih baik sehingga dapat memperbaiki tingkat taraf hidupannya. Pendekatan ini bertujuan mengarahkan kegiatan-kegiatan pendidikan kepada usaha untuk memenuhi kebutuhan nasional akan tenaga kerja (man power atau person power), sehingga diharapkan dapat memberikan keyakinan penyediaan fasilitas dan pengarahan arus murid benar-benar didasarkan atas perkiraan keburuhan tenaga kerja.

Page 16: Beberapa Aspek Ekonomi Pendidikan

16

Ketiga, pendekatan Efisiensi Biaya (cost benefits approach). Pendekatan ini bersifat ekonomi, karena memiliki pandangan bahwa pendidikan memerlukan investasi yang besar dan karena itu keuntungan dari investasi tersebut harus dapat diperhitungkan bilamana pendidikan itu memang mempunyai nilai ekonomi. Pendekatan ini merupakan penentuan besarnya investasi dalam dunia pendidikan sesuai dengan hasil, keuntungan, atau efektivitas yang akan diperoleh. Pendekatan ini mempunyai implikasi sesuai dengan prinsip ekonomi, yaitu program pendidikan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi menempati urutan prioritas penting, karena pendekatan untung rugi mempunya keterkaitan dengan pendekatan ketenagaan.

Pendekatan Komprehensif. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang cukup ideal karena merupakan gabungan dari pendekatan-pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini memperhitungkan segala sumber daya yang dimiliki untuk menentukan perencanaannya, tanpa mengabaikan perubahan pada aspek politik, ekonomi, dan sosial-budaya

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa pendekatan social demand approach dan man power approach merupakan pendekatan utama yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Pendekatan pertama dipergunakan oleh pemerintah Indonesia dalam bentuk wajib belajar pendidikan dasar (wajardikdas) sembilan tahun. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak Indonesia mampu mengenyam pendidikan minimal hingga pendidikan SLTP/SMP. Kebijakan dan pendekatan ini diimplementasikan karena didorong oleh tuntutan masyarakat Indonesia dan dunia internasional (terutama Unesco), yang mengharuskan Negara menyelenggarakan pendidikan bagi masyarakatnya hingga minimal SLTP/SMP. Oleh karena perencanaan pendidikannya didorong oleh tuntutan dan kebutuhan sosial masyarakat, maka pendekatan ini dinamai pendekatan kebutuhan sosial (social demand approach).

Perencanaan pendidikan model ini, umumnya, dipergunakan oleh negara-negara berkembang (developing countries), seperti Negara Indonesia pada masa orde lama dan orde baru. Hal ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia agar mampu memobilisasi atau meningkatkan jumlah penduduk berpendidikan (educated people)sesuai dengan standard dunia Internasional. Pendekatan social demand approach ini diimplementasikan dengan cara menganalisis beberapa unsur, yakni a) pertumbuhan penduduk, b) partisipasi dalam pendidikan (yakni dengan menghitung prosentasi penduduk yang bersekolah), c) Arus murid dari kelas satu ke kelas yang lebih tinggi dan dari satu tingkat ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan d) pilihan atau keinginan masyarakat dari individu tentang jenis-jenis pendidikan. Hanya saja pendekatan ini, umumnya hanya diorientasikan pada peningkatan kuantitas orang terdidik, serta sering mengabaikan aspek kualitas output dan outcomes pendidikan.

Melihat kelemahan dalam pendekatan social demand approach, maka pada masa orde baru akhir dan masa orde reformasi, maka pemerintah Indonesia kemudian menerapkan pendekatan kedua, yakni man power approach (pendekatan pemenuhan tenaga kerja). Hal ini nampak dalam kebijakan link and match (pada masa Wardiman Djoyonegoro sebagai Mendikbud) dan kebijakan penguatan SMK pada masa Megawati dan SBY. Pendekatan perencanaan pendidikan ini dimaksudkan agar output dan outcome SMU/SMK mampu memenuhi permintaan pasar tenaga kerja dan

Page 17: Beberapa Aspek Ekonomi Pendidikan

17

pasar modal. Hal ini menyebabkan adanya perubahan kurikulum pendidikan, sehingga muncul kebijakan penerapan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) sebagai bentuk dari demokrasi “pendidikan”.

Hanya saja, social demand approach ini memiliki beberapa kelemahan. Pertama, perubahan lahan kerja dan kebutuhan pasar (market demand) tersedia lebih cepat dari proses pendidikan yang biasanya hanya berupaya mengejar dan menyesuaikan terhadap perubahan tersebut. Umumnya, ketika perencaan pendidikan dilakukan ia akan menyesuaian dengan kebutuhan tenaga kerja saat perencanaan dibuat, sedangkan ketika output dan outcomes telah dihasilkan kebutuhan tenaga kerja sudah jauh berubah. Kedua, pendidikan yang tidak langsung berkaitan dengan dunia kerja tidak mendapatkan prioritas, dan pendidikan dengan pembebasannya itu akan dikesampingkan dan ini secara politis akan menimbulkan kesukaran pula.

Dalam konteks Indonesia, jika pendekatan ini diterapkan secara murni akan menemui beberapa masalah, yakni 1) Jenis dan jumlah lapangan kerja yang terbatas dibanding dengan jumlah peserta didik; 2) persyaratan yang jelas mengenai mutu personil yang dituntut oleh pasaran tenaga kerja terus berubah, yang direspon dan diikuti secara lamban oleh dunia pendidikan; 3) perbandingan jumlah personil berdasarkan jenjang keahlian yang tidak seimbang; dan 4) kebutuhan rill akan tenaga kerja.

Selain kedua pendektakan di atas, pendekatan cost benefits approach pun digunakan oleh pemerintah Indonesia, sekalipun masih dalam skala kecil. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa a) sumbangan seseorang terhadap pendapatan nasional sebanding dengan tingkat pendidikannya, dan b) perbedaan pendapatan di masyarakat yang disebabakan oleh perbedaan dalam pendidikan dan bukan perbedaan kemampuan atau latar belakang sosial. Dengan demikian, pendekatan cost benefit didasarkan pada keuntungan penambahan pendapatan seseorang karena pendidikan. Ditekankan agar perencanaan ekonomi dan perencanaan pendidikan harus mengikuti bentuk logika yang sama apabila tidak kepada alokasi biaya nasional untuk setiap sektor.

Masing-masing pendekatan di atas memiliki kelemahan. Oleh karena itu, pendekatan Komprehensif muncul sebagai salah satu solusi dari pendekatan-pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang cukup ideal diterapkan di Indonesia karena merupakan gabungan dari pendekatan-pendekatan sebelumnya.

2. Pendekatan Komperehensif sebagai alternatif dalam Perencanaan PendidikanSebagaimana disebutkan bahwa pendekatan Komprehensif merupakan

pendekatan yang cukup ideal diterapkan di Indonesia, karena merupakan gabungan dari pendekatan-pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini memperhitungkan segala sumber daya yang dimiliki untuk menentukan perencanaannya, tanpa mengabaikan perubahan pada aspek politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Bercermin pada pengalaman Korea, Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah strategis dalam upaya membangun pendidikan nasional, dengan menggunakan pendekatan

Page 18: Beberapa Aspek Ekonomi Pendidikan

18

yang komprehensif. Penerapan perencanaan pendidikan komprehensif ini dapat dimaknai sebagai investasi di bidang pendidikan yang telah secara nyata berhasil mendorong kemajuan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan sosial. Untuk itu, investasi di bidang pendidikan harus didukung perencanaan pendidikan yang komprehensif, pembiayaan memadai, dan faktor lainnya, terutama yang diperuntukkan bagi penuntasan program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Mengikuti agenda Millenium Development Goals (MDGs), tahun 2015 Pemerintah Indonesia harus menjamin bahwa seluruh anak usia sekolah dasar akan memperoleh pendidikan dasar. Bersamaan dengan itu, akses ke pendidikan menengah dan pendidikan tinggi juga harus diperluas, guna mendukung upaya menciptakan knowledge society yang menjadi basis akselerasi pembangunan ekonomi di masa depan.

Sebagaimana di beberapa negara Asia yang sedang berkembang, di Indonesia meski kebanyakan guru dibayar terlalu murah, dari hasil penelitian menyatakan bahwa tambahan anggaran untuk peralatan dan gedung memberikan hasil lebih besar terhadap peningkatan mutu pendidikan. Dalam hal ke tingkat pendidikan mana anggaran harus dialokasikan, Booth (2000) menulis bahwa di Indonesia pada 1980-an dan 1990-an dalam laporan World Bank subsidi pemerintah yang terlalu besar bagi pendidikan tinggi menyebabkan koefisien ini yang meningkat. Selain soal anggaran, tingkat pendidikan di suatu negara mungkin menghadapi masalah lain di luar pendanaan. Di sini dibutuhkan intervensi pemerintah yang spesifik untuk mengatasi masalah-masalah itu. Dunia Pendidikan dapat menghasilkan SDM yang berkualitas untuk membuat rancangan strategi pembangunan ekonomi Indonesia yang sesuai dan matang bagi seluruh komponen lapisan masyarakat terutama pemerintah dapat mengambil kebijakan ini.

Agar pendekatan komprehensif dalam perencanaan pendidikan ini dapat berjalan, maka ia harus mengikuti prinsip-prinsip umum, yakni:

1) Politically defendable, yakni memiliki dukungan politis dari semua kalangan, terutama para pemangku kebijakan dan pengambil keputusan. Dalam hal ini, dukungan politis yang kondusif dari legislatif dan eksekutif menjadi prasyarat bagi implementasi pendekatan ini

2) Socially and culturally acceptable , yakni dapat diterima dan sesuai dengan sosial-budaya masyarakat Indonesia.

3) Technically workable, yakni secara tekhnis pendekatan ini dapat dijalankan secara efisien dan efektif.

4) Administrativelly, managerially, organizationally practicable, yakni praktis secara administratif, manajemen, dan organisasi

5) Economically feasible, yakni secara ekonomis dapat diprediksi atau diukur 6) Financially feasible, yakni secara financial dapat diprediksi dan diukur, dan 7) Legally permissible, yakni legal secara hukum.