25
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan berbahasa.Untuk dapat berkomunikasi antaranggota kelompok masyarakat diperlukan suatu alat yang disebut bahasa. Bahasa (language) merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana, 2001: 21). Sebagai alat komunikasi dan alat interaksi, bahasa dapat dikaji secara internal dan eksternal. Kajian secara internal, artinya pengkajian bahasa itu hanya dilakukan terhadap struktur intern bahasa itu saja, seperti struktur fonologi, struktur morfologi, dan struktur sintaksis. Kajian secara eksternal, berarti kajian bahasa dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor yang berada di luar kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan (Chaer dan Agustina, 1995: 1) Salah satu cabang ilmu yang mempelajari bahasa dengan berbagai macam hubungannya dengan masyarakat pemakai bahasa disebut sosiolinguistik. Sosiolinguistik merupakan perpaduan antara ilmu sosiologi dan linguistik (Alwasilah, 1985: 1). Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia, lembaga-lembaga dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagi objek kajiannya (Chaer, 1995: 2) mengatakan, bahwa 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang · membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan, secara

  • Upload
    others

  • View
    19

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan

berbahasa.Untuk dapat berkomunikasi antaranggota kelompok masyarakat

diperlukan suatu alat yang disebut bahasa. Bahasa (language) merupakan sistem

lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu

masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri

(Kridalaksana, 2001: 21). Sebagai alat komunikasi dan alat interaksi, bahasa dapat

dikaji secara internal dan eksternal. Kajian secara internal, artinya pengkajian

bahasa itu hanya dilakukan terhadap struktur intern bahasa itu saja, seperti

struktur fonologi, struktur morfologi, dan struktur sintaksis. Kajian secara

eksternal, berarti kajian bahasa dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor yang

berada di luar kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan (Chaer dan Agustina,

1995: 1)

Salah satu cabang ilmu yang mempelajari bahasa dengan berbagai macam

hubungannya dengan masyarakat pemakai bahasa disebut sosiolinguistik.

Sosiolinguistik merupakan perpaduan antara ilmu sosiologi dan linguistik

(Alwasilah, 1985: 1). Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai

manusia, lembaga-lembaga dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat.

Linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa atau bidang ilmu yang

mengambil bahasa sebagi objek kajiannya (Chaer, 1995: 2) mengatakan, bahwa

1

2

sosiolinguistik menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan

pemakaiannya di dalam masyarakat.

Bahasa menjadi ciri identitas suatu bangsa, melalui bahasa orang dapat

mengidentifikasi kelompok masyarakat, bahkan dapat mengenali perilaku dan

kepribadian masyarakat penuturnya. Oleh karena itu, masalah kebahasaan tidak

terlepas dari kehidupan masyarakat penuturnya. Pada hakikatnya manusia adalah

makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia membutuhkan bahasa baik lisan

maupun tulisan guna bergaul dengan manusia lain, baik untuk menyatakan

pendapatnya, maupun untuk mempengaruhi orang lain demi kepentingan sendiri

maupun kepentingan kelompok atau kepentingan bersama.

Penutur dan bahasa selalu dihubungkan dengan kegiatan dalam

masyarakat, dengan kata lain, bahasa tidak dipandang sebagai gejala individu,

tetapi juga gejala sosial. Sebagai gejala sosial, bahasa dan pemakai bahasa tidak

hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik, tetapi juga faktor non-linguistik,

yaitu faktor sosial yang dapat mempengaruhi pemakaian bahasa misalnya status

sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin, dsb. Di samping

itu, pemakaian bahasa juga dipengaruhi faktor-faktor situasional, yaitu dengan

siapa ia berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dimana dan mengenai

masalah apa (Suwito, 1983: 3). Faktor-faktor tersebut berlaku untuk penggunaan

bahasa lisan maupun dalam bahasa tulis.

Bahasa sebagai bagian dari masyarakat merupakan gejala sosial yang tidak

dapat terlepas dari pemakainya. Pada masa sekarang ini pemakaian bahasa tidak

hanya digunakan dalam komunikasi percakapan sehari-hari saja, namun juga

3

digunakan untuk berkomunikasi di dalam media massa, baik itu media elektronik

seperti televisi, radio dan internet. Sedangkan komunikasi melalui media cetak

dapat berupa surat kabar, artikel maupun majalah. Salah satu media cetak untuk

berkomunikasi adalah majalah Panjebar Semangat. Panjebar Semangat

merupakan majalah mingguan berbahasa Jawa yang terbit di Surabaya. Yang di

dalamnya terdapat rubrik Crita Sambung, rubrik ini berisi tentang cerita rekaan

(fiksi) berbahasa Jawa yang dimuat secara berturut-turut di majalah Panjebar

Semangat.

Alih kode dan campur kode timbul akibat dari penggunaan bahasa dalam

rubrik Crita Sambung yang terdapat dalam majalah Panjebar Semangat. Hal ini

terjadi dalam masyarakat multilingual yaitu masyarakat yang menggunakan dua

bahasa atau lebih. Dapat diambil kesimpulan bahwa alih kode dan campur kode

merupakan bagian dari sosiolinguistik.

Berikut adalah contoh alih kode dan campur kode dalam cerbung Mulih

Ndesa karya Suryadi WS.

(1) Lamunane buyar jalaran hape-ne muni. Bareng diangkat jebul saka Bu

Rusti.

„Lamunannya buyar karena handphone-nya berbunyi.Setelah diangkat

ternyata dari Bu Rusti.‟

Sekarwangi : “Inggih, Bu. Inggih... sedaya sampun rampung,

dhaharan badhe kula tata samenika... inggih...”

„Iya, Bu. Iya... semua sudah selesai, makanan akan segera

saya tata... iya...‟

Dheweke menyang ruwang makan.

„Dia pergi ke ruang makan.‟

Sekarwangi : “Wisudhane wis rampung, Yu Sarmi,” tembunge marang

kancane.

„Wisudanya sudah selesai, mbak Sarmi, ujarnya kepada

temannya.‟

4

Berdasarkan data di atas, terdapat alih kode intern (internal code

switching). Peristiwa alih kode yang terjadi pada data di atas ditandai pada

kalimat yang bercetak tebal. Pada awalnya Sekarwangi (penutur) berbicara

dengan Bu Rusti (mitra tutur) melalui telepon dengan menggunakan

bahasa Jawa ragam Krama “Inggih, Bu. Inggih... sedaya sampun

rampung, dhaharan badhe kula tata samenika... inggih...” karena dalam

cerbung ini Bu Rusti adalah majikannya. Lalu Sekarwangi beralih kode

menggunakan bahasa Jawa ragam Ngoko “Wisudhane wis rampung, Yu

Sarmi,” ketika ia berbicara dengan Yu Sarmi, yaitu teman Sekarwangi.

Fungsi dari alih kode tuturan tersebut dipengaruhi oleh faktor situasional,

yaitu dengan siapa penutur berbicara. Faktor penyebab terjadinya alih

kode adalah hadirnya orang ketiga.

(2) Marta : “Akeh wong sugih mblegedhu ing Jakarta iki, katone waras-wiris

nanging sejatine duwe penyakit, kaya dene penyakit gula darah,

tekanan darah tinggi, lemah jantung, jantung koroner, vertigo,

radang lambung lan sabangsane, sing sok ora kenyana-nyana

kumat saenggon-enggon.”

„Banyak orang yang kaya raya di Jakarta ini, kelihatannya sehat

tetapi sebenarnya punya penyakit, seperti penyakit gula darah,

tekanan darah tinggi, lemah jantung, jantung koroner, vertigo,

radang lambung dan lain sebagainya, yang terkadang tidak

disangka-sangka bisa kambuh dimana-mana.‟

Data di atas merupakan campur kode kata yaitu ditandai dengan masuknya

unsur bahasa Indonesia „gula darah‟, „tekanan darah tinggi‟, „lemah

jantung‟, „jantung koroner‟, „vertigo‟, „radang lambung‟ ke dalam

tuturan bahasa Jawa. Fungsi campur kode kata tersebut adalah untuk

memudahkan penutur dalam menyampaikan maksud tuturannya.

Adapun penelitian yang sejenis dengan penelitian ini diantaranya sebagai

berikut:

5

1. “Alih Kode dan Campur Kode dalam Iklan Berbahasa Jawa Pada

Radio di Kabupaten Sukoharjo” (2012) oleh Sri Kusuma Wardani.

Skripsi tersebut mengkaji bentuk, fungsi dan faktor yang

melatarbelakangi alih kode dan campur kode yang terdapat dalam

iklan berbahasa Jawa pada radio di Kabupaten Sukoharjo.

2. “Alih Kode dan Campur Kode dalam Pembelajaran Bahasa

Indonesia Kelas X SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta” tesis oleh

Rulyandi (2014). Penelitian ini difokuskan pada peristiwa-peristiwa

yang menonjol terjadinya alih kode dan campur kode dalam

pembelajaran bahasa Indonesia kelas X SMA Muhammadiyah 4

Yogyakarta dan faktor-faktor yang melatabelakangi terjadinya alih

kode dan campur kode di dalam pembelajaran bahas Indonesia kelas X

SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta tersebut.

3. “Alih Kode dan Campur Kode dalam Cerbung Dolanan Geni

Karya Suwardi Endraswara” pada tahun 2010 oleh Etik Yuliati

skripsi ini mengkaji tentang peristiwa alih kode dan campur kode yang

terdapat dalam cerbung Dolanan Geni karya Suwardi Endraswara.

4. “Pemakaian Alih Kode dan Campur Kode Bahasa Jawa di Pasar

Elpabes Proliman Balapan Surakarta” pada tahun 2012 oleh

Sukmawan Wisnu Pradanta. Skripsi yang meneliti tentang bentuk,

fungsi dan faktor yang melatarbelakangi alih kode dan campur kode

yang terjadi di pasar Elpabes Proliman Balapan Surakarta.

5. “Alih Kode dan Campur Kode pada Komunikasi Guru-Siswa di

SMA Negeri 1 Wonosari Klaten” tahun 2011 oleh Adi Nugroho.

6

Penelitian ini difokuskan pada peristiwa alih kode dan campur kode

yang terjadi dalam pembelajaran di SMA Negeri 1 Wonosari Klaten.

Penelitian atau skripsi terdahulu yang telah dipaparkan di atas sebagai

salah satu acuan atau referensi bagi peneliti. Penelitian atau skripsi di atas

merupakan sarana pembanding dengan penelitian ini, karena masalah yang

terdapat dalam penelitian ini dengan penelitian sebelumnya berbeda. Yang

membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah data dan sumber

datanya.

Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, menunjukkan bahwa penelitian

tentang alih kode dan campur kode yang terdapat dalam cerbung Mulih Ndesa

karya Suryadi WS belum pernah dilakukan. Adapun penelitian ini diberi judul

“Alih Kode dan Campur Kode Bahasa Jawa dalam Cerbung Mulih Ndesa

Karya Suryadi WS”

B. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini terdapat pembatasan masalah. Hal ini dilakukan agar

penelitian dapat terfokus dan tidak keluar dari masalah yang akan dikaji. Masalah

dalam penelitian ini dibatasi pada alih kode, campur kode dan faktor penyebab

terjadinya alih kode dan campur kode tersebut.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan tiga masalah

penelitian sebagai berikut.

7

1. Bagaimanakah wujud alih kode dan campur kode dalam cerbung

Mulih Ndesa karya Suryadi WS?

2. Bagaimanakah fungsi alih kode dan campur kode dalam cerbung

Mulih Ndesa karya Suryadi WS?

3. Apakah faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode dan campur

kode dalam cerbung Mulih Ndesa karya Suryadi WS?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Mendeskripsikan wujud alih kode dan campur kode dalam cerbung

Mulih Ndesa karya Suryadi WS.

2. Mendeskripsikan fungsi alih kode dan campur kode dalam cerbung

Mulih Ndesa karya Suryadi WS.

3. Menjelaskan hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya alih kode dan

campur kode dalam cerbung Mulih Ndesa karya Suryadi WS.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah teori linguistik Jawa,

khususnya mengenai alih kode dan campur kode bahasa Jawa dalam

cerbung.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat memberi sumbangan materi pelajaran bahasa Jawa bagi guru atau

pengajar bahasa Jawa.

8

b. Dapat digunakan sebagai materi penulisan bagi para penulis cerbung

bahasa Jawa yang efektif dan komunikatif.

c. Dapat memberi informasi tentang alih kode dan campur kode yang

dipergunakan dalam cerbung Mulih Ndesa karya Suryadi WS.

d. Bagi masyarakat yaitu dapat menggunakan bahasa Jawa dalam

berkomunikasi dengan baik dan benar.

F. Kajian Teori

1. Pengertian Sosiolinguistik

Menurut Kridalaksana, sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang

mempelajari hubungan dan saling pengaruh antar perilaku bahasa dan perilaku

sosial (1983: 156). Sosiolinguistik bukan saja menyoroti masalah bahasa dalam

suatu masyarakat melainkan bahasa dengan perilaku sosial.

Chaer dan Agustina (2004: 4) berpendapat bahwa sosiolinguistik adalah

cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan

objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam

masyarakat tutur. Menurut Nababan, sosiolinguistik merupakan studi atau

pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota

masyarakat. Bisa juga dikatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari dan

membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya yang terdapat dalam

bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan, secara khusus dalam

konteks sosial dan kebudayaan yang menghubungkan faktor-faktor kebahasaan,

mengkaji fungsi-fungsi dan penggunaan bahasa dalam masyarakat.

9

Yang berkaitan dengan sosiolinguistik, dalam konferensi sosiolinguistik

berpendapat bahwa, masalah-masalah yang dikaji atau dibahas dalam

sosiolinguistik adalah: (a) Identitas sosial dari penutur, (b) Identitas sosial dari

pendengar yang terlibat dalam proses komuikasi, (c) Lingkungan sosial tempat

peristiwa tutur terjadi, (d) Analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek

sosial, (e) Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk

ujaran, (f) Tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan (g) Penerapan praktis dari

penelitian sosiolinguistik (Suwito, 1997: 56)

2. Bilingualisme

Nababan (1993: 27) mengungkapkan bahwa banyak sekali daerah dan kota

terdapat orang-orang yang memakai bahasa-bahasa berlainan. Dengan kata lain,

orang-orang tersebut dapat memakai bahasa lebihdari satu, misalnya bahasa

daerha dan bahasa Indonesia. Nababan berpendapat bahwa istilah kedwibahasaan

ialah kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam berinteraksi dengan orang lain.

Secara sosiolinguistik, kedwibahasaan (bilingualisme) sebagai penggunaan dua

bahasa, seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain. Maka dari itu,

bilingualisme sangat diperlukan untuk berkomunikasi dalam lingkungan

bermasyarakat atau dapat juga untuk perorangan.

Istilah lain bilingualisme dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai

kedwibahasaan, yang memiliki arti pemakaian yang bergantian dua bahasa atau

lebih (Alwasilah, 1985: 125), sedangkan orang yang mampu menggunakan bahasa

10

yang mana saja dalam situasi apa saja disebut orang yang berdwibahasa atau

dwibahasawan.

3. Tingkat Tutur

Menurut Soepomo Poedjosoedarmo pembagian tingkat tutur bahasa Jawa

dibagi menjadi tiga tingkat tutur yaitu tingkat tutur ngoko, tingkat tutur krama dan

tingkat tutur madya. Berikut ini adalah penjelasan mengenai ketiganya:

1. Tingkat tutur ngoko adalah tingkat tutur bahasa Jawa yang

mencerminkan rasa tidak berjarak antara O1 terhadap O2. Artinya O1

tidak memiliki rasa segan (jiguh pekewuh) terhadap O2. Jadi, buat

seorang yang ingin menyatakan keakrabannya terhadap O2. Tingkat

tutur ngoko inilah yang seharusnya dipakai.

2. Tingkat tutur krama adalah tingkat tutur yang memancarkan arti penuh

sopan santun. Tingkat tutur ini menandakan adanya perasaan segan

(pekewuh) O1 terhadap O2, dikarenakan O2 adalah orang yang belum

dikenal, berpangkat, priyayi, berwibawa, dan lain-lain.

3. Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur menengah atau krama dan

ngoko. Ia menunjukkan perasaan sopan secara sedang-sedang saja.

Tingkat ini bermula adalah tingkat tutur krama, tetapi dalam proses

perkembangannya telah mengalami tiga perkembangan penting.

Perkembangan itu adalah proses perkembangan kolokialisasi

(informalisasi), penurunan tingkat, dan ruralasi. Inilah sebabnya bagi

kebanyakan orang tingkat tutur madya ini dianggap tingkat tutur yang

setengah sopan dan setengah tidak. Adanya anggapan bahwa pengguna

11

madya itu adalah suatu penanda bahwa si pemakai itu orang desa.

Madya juga dianggap tingkat tutur yang setengah-setengah

(Poedjosoedarmo, 1979:14-16).

4. Kode dan Alih Kode

Kode adalah suatu sistem tutur yang penerapannya serta unsur

kebahasaannya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi

penutur dengan lawan tuturnya situasi tutur yang ada (Poedjosoedarmo dalam

Rahardi, 2001: 20)

Alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian atau peralihan

pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari satu bahasa atau bahkan

beberapa gaya darisatu ragam (Hymes dalam Rahardi, 2001: 20). Hymes

membagi alih kode berdasarkan sifatnya menjadi dua yaitu alih kode intern

(internal code switching) dan alih kode ekstern (external code switching).

Suwito (1983: 68-69) mengungkapkan bahwa alih kode mungkin

berwujud alih varian, alih ragam, alih gaya, atau alih register. Ciri-ciri alih kode

adalah penggunaan dua bahasa (atau lebih) itu ditandai oleh (a) masing-masing

bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, (b)

fungsi masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan

perubahan konteks. Disimpulkan bahwa bentuk alih kode adalah alih varian, alih

gaya atau alih register. Alih kode secara bahasa dapat dilihat dali alih bahasa dan

alih ragam dalam dua konteks yang berbeda.

Chaer dan Agustina (2004: 108) berpendapat bahwa penyebab alih kode

antara lain: (a) Pembicara atau penutur, (b) Pendengar atau lawan tutur, (c)

12

Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, (d) Perubahan dari informal ke

informal atau sebaliknya, (e) Perubahan topik pembicaraan.

Suwito (1983: 72-75) menjelaskan beberapa hal tentang fungsi alih kode

sebagai berikut:

a. Penutur (O1)

Seorang penutur kadang-kadang dengan sadar berusaha beralih

kode terhadap lawan tuturnya karena suatu maksud. Biasanya usaha

tersebut dilakukan dengan maksud mengubah situasi, yaitu situasi resmi ke

situasi tak resmi.

b. Mitra tutur (O2)

Setiap penutur ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh

mitra tutur.

c. Hadirnya penutur ketiga

Dua orang berasal dari etnik yang sama umumnya saling

berinteraksi dengan bahasa kelompok etniknya, tetapi apabila kemudian

hadir orang ketiga dalam pembicaraan itu, dan orang itu berbeda latar

belakang kebahasaannya, biasanya dua oran pertama akan beralih

kebahasa yang dikuasai oleh ketiganya.

d. Pokok pembicaraan

Pokok pembicaraan merupakan faktor yang termasuk dominan

dalam menentukan terjadinya alih kode.

e. Membangkitkan rasa humor

Alih kode sering dimanfaatkan oleh pelawak, guru atau pimpinan

rapat untuk membangkitkan rasa humor. Bagi pelawak, untuk membuat

13

penonton merasa puas dan senang. Bagi pemimpin rapat rasa humor untuk

menghilangkan ketegangan yang muncul dalam memecahkan masalah

f. Sekedar bergengsi

Sebagian penutur yang beralih kode sekedar untuk bergengsi. Hal

itu terjadi apabila baik faktor situasi, lawan bicara, topik dan faktor-faktor

sosio-situasional yang sebenarnya tidak mengharuskan dia untuk beralih

kode (1983: 72-74)

5. Campur Kode

Peristiwa campur kode terjadi apabila terdapat unsur-unsur bahasa lain

yang digunakan untuk komunikasi dalam bahasa sehari-hari, misalnya dalam

berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa, seorang penutur memasukkan unsur-

unsur bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa yang digunakan. Peristiwa di atas

merupakan salah satu gejala dari campur kode. Di dalam campur kode ciri-ciri

ketergantungan ditandai dengan hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi

kebahasaan (Suwito, 1983: 75)

Campur kode adalah suatu keadaan berbahasa bilamana orang mencampur

dua atau lebih bahasa dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu

ke dalam bahasa yang lain, unsur-unsur yang menyisip tersebut tidak lagi

mempunyai fungsi tersendiri (Suwito, 1983: 68). Suatu keadaan berbahasa

bilamana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa alam suatu

tindak bahasa itu, hanya kesantaian penutur dan kebiasaannya yang dituruti

disebut dengan campur kode (Nababan, 1993: 32)

14

Ciri yang menonjol dalam campur kode ini adalah kesantaian atau situasi

informal. Dalam situasi berbahasa formal, jarang terjadi campur kode, kalau

terdapat campur kode dalam keadaan itu karena tidak ada kata atau ungkapan

yang tepat untuk menggunakan bahasa yang sedang dipakai sehingga perlu

memakai kata atau ungkapan dari bahasa daerah atau bahasa asing (Nababan,

1991: 32)

Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu: (a) Campur kode ke dalam (inner

code mixing), campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala

variasinya, (b) Campur kode ke luar (outer code mixing), campur kode yang

berasal dari bahasa asing.

Dwi Sutana (2000: 76-89) membagi beberapa fungsi terjadinya campur

kode sebagai berikut: (a) Fungsi campur kode untuk penghormatan, (b) Fungsi

campur kode untuk menegaskan suatu maksud tertentu, (c) Fungsi campur kode

untuk menunjukkan identitas diri dan (d) Fungsi campur kode karena pengaruh

materi pembicaraan.

6. Faktor yang Melatarbelakangi Pemakaian Bahasa Jawa dalam

Cerbung Mulih Ndesa

Peristiwa tutur adalah terjadinya interaksi linguistik dalam satu bentuk

ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur,

dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Abdul

Chaer dan Leonie Agustina, 2004:47). Jadi, interaksi yang berlangsung antara

tokoh-tokoh dalam cerbung Mulih Ndesa pada waktu tertentu dengan

menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur.

15

Sebuah percakapan baru dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur jika

memenuhi syarat 8 komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan

menjadi akronim SPEAKING (Hymes dalam Chaer dan Agustina, 2004: 47). Ke

8 komponen itu adalah:

1. S:Setting dan Scene yaitu tempat bicara dan situasi bicara

2. P: Partisipan yaitu pembicara, lawan bicara dan pendengar

3. E: End atau tujuan yaitu tujuan aktif tuturan. Tujuan aktif yang

dimaksudkan dalam penelitian ini adalah tujuan tuturan khususnya

tujuan alih kode dan campur kode bahasa Jawa.

4. A: Act yaitu suatu peristiwa dimana seorang pembicara sedang

mempergunakan kesempatan bicaranya.

5. K: Key atau nada suara dan ragam bahasa yang dipergunakan dalam

menyampaikan pendapatnya, dan cara mengemukakan pendapatnya.

6. I: Instrumen yaitu alat untuk menyampaikan pendapat.

7. N: Norm, norma yaitu aturan permainan yang mesti ditaati oleh setiap

penutur.

8. G: Genre, yaitu jenis kegiatan. Jenis kegiatan dalam penelitian ini

bentuk tuturan yang terdiri dari dua yaitu dialog dan monolog. Dialog

adalah percakapan kemudian monolog adalah pembicaraan tunggal.

Disimpulkan bahwa komponen tutur merupakan faktor yang

melatarbelakangi tuturan (bersifat sosio-situasional) beserta fungsi kebahasaan

yang berpengaruh terhadap bentuk tutur. Penelitian ini dianalisis dengan

menggunakan komponen tutur yang dikemukakan oleh Hymes. Adapun

komponen tutur yang dipakai untuk menganalisis latar belakang penggunaan alih

16

kode dan campur kode adalah: (1) Penutur, (2) Mitra tutur, (3) Situasi tutur, (4)

Tujuan tutur, dan (5) Hal yang dituturkan.

7. Pengertian Cerita Sambung

Cerita sambung adalah salah satu hasil dari karya sastra modern yang

dimuat tidak hanya sekali pada suatu majalah atau media massa lainnya,

melainkan dimuat beberapa kali secara berturut-turut. Cerita sambung biasanya

sangat panjang karena teknik penceritaan yang mendetail antara satu kejadian

dengan kejadian selanjutnya dan juga lengkapnya penuturan dari satu bagian ke

bagian lain dalam cerita bersambung tersebut. Cerita bersambung juga

mempunyai tokoh utama ada pula tokoh pembantu yang terdapat dalam suatu

cerita bersambung dan biasanya lebih kompleks dan lebih banyak (Suripan Sadi

Hutomo, 1987: 5)

Cerbung memiliki struktur yang sama dengan novel, cerpen/roman, yaitu

memiliki tema, amanat, penokohan, alur dan latar dalam cerita. Perbedaannya

disajikan bagian demi bagian.

G. Metode Penelitian

Istilah metode dalam penelitian linguistik ditafsirkan sebagai strategi kerja

berdasarkan ancangan tertentu. Dengan demikian ancangan tersebut merupakan

kerangka berpikir untuk menentukan metode sekaligus teknik penelitian.Istilah

teknik dapat diartikan sebagai langkah dalam kegiatan yang terdapat pada

kerangka strategi kerja tertentu.Secara lebih khusus teknik itu adalah

pengumpulan data dan teknik analisis data (Edi Subroto, 1992: 32).

17

Dalam metode penelitian ini meliputi hal-hal seperti: (1) jenis penelitian,

(2) sumber data dan data, (3) metode pengumpulan data, (4) teknik klasifikasi data

(5) metode analisis data, dan (6) metode penyajian hasil analisis.

1. Jenis Penelitian

Penelitian berjudul “Alih Kode dan Campur Kode Bahasa Jawa

dalam Cerbung Mulih Ndesa Karya Suryadi WS” termasuk jenis

penelitian deskriptif kualitatif.

Deskriptif kualitatif yaitu pemerian data yang berupa kata-kata dan

bukan angka-angka, yang berusaha memberikan dan menjelaskan

berbagai segi kebahasaan yang muncul sebagai fenomena penelitian

sehingga apa yang dihasilkan adalah paparan apa adanya (Sudaryanto,

1992: 62).

Deskriptif dalam arti penelitian yang dilakukan semata hanya

berdasarkan fakta yang ada atau fenomena yang memang secara

empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan atau

yang dicatat berupa pemerian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya

sebagai potret: paparan seperti nyatanya (Sudaryanto, 1993: 62).

Kualitatif merupakan penelitian yang metode pengkajian atau

metode penelitian terhadap suatu masalah yang tidak didesain atau

dirancang menggunakan prosedur-prosedur statistik (Edi Subroto,

1992: 5)

Oleh karena itu penelitian alih kode dan campur kode bahasa Jawa

dalam cerbung Mulih Ndesa mereduksi fenomena bahasa yang

18

digunakan oleh penulis melalui tuturan para tokoh yang terdapat dalam

cerbung tersebut berupa kata, frasa, kalimat dan bukan angka-angka.

2. Data dan Sumber Data

Data adalah fenomena lingual khusus yang mengandung dan

berkaitan langsung dengan masalah yang dimaksud (Sudaryanto, 1992:

5). Data dalam penelitian ini adalah data tulis berupa tuturan yang di

dalamnya terdapat alih kode dan campur kode yang digunakan oleh

para tokoh dalam cerbung Mulih Ndesa karya Suryadi WS.

Sumber data dalam penelitian ini adalah cerbung Mulih Ndesa dari

episode awal hingga akhir. Cerbung berjudul Mulih Ndesa ini

merupakan karya Suryadi WS yang dimuat secara teratur dalam

majalah berbahasa Jawa, Panjebar Semangat. Mulai dari edisi nomor

27 yaitu tanggal 4 Juli 2015 sampai dengan edisi nomor 52 tanggal 26

Desember 2015, dan terdiri dari 26 episode yang dimuat secara

berturut-turut.

3. Alat Penelitian

Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Alat utama

dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Disebut alat utama karena

alat tersebut yang paling dominan dalam penelitian khususnya dalam

pencarian data. Sedangkan alat bantu dalam penelitian ini yakni

bolpoint untuk menandai data dalam sumber data dan komputer.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis dan

menjelaskan suatu fenomena (Harimurti Kridalaksana, 2001 136).

19

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak.

Metode simak atau penyimakan, dilakukan dengan menyimak

pengguna bahasa (Sudaryanto, 1988 2). Adapun teknik dasar yang

dipakai adalah teknik pustaka, sedangkan teknik lanjutan yang

digunakan adalah catat.

Metode simak untuk membantu memperoleh data tulis dengan

menggunakan teknik pustaka, yaitu mengguanakan sumber tulis untuk

memperoleh data (Edi Subroto, 1992: 42). Melalui metode simak ini

penulis mengamati penggunaan alih kode dan campur kode pada

cerbung Mulih Ndesa yang kemudian dilanjutkan dengan teknik catat.

Adapun langkah-langkah pengumpulan data tulis adalah sebagai

berikut, pertama, peneliti menyimak sumber data tulis yang telah

ditentukan pada sampel data. Kedua, peneliti mencari tuturan tokoh

yang mengandung alih kode dan campur kode untuk dijadikan data

penelitian. Kemudian memberi tanda garis bawah dengan bolpoint

pada tuturan tokoh yang di dalamnya mengandung peristiwa alih kode

dan campur kode. Ketiga, peneliti menggunakan teknik catat yakni

dengan mencatat tuturan-tuturan yang mengandung alih kode dan

campur kode.

5. Teknik Klasifikasi Data

Klasifikasi data dilakukan sesuai dengan poko persoalan yang

diteliti.Hasil klasifikasi data harus memberikan manfaat dan

kemudahan analisis data (Tri Mastoyo, 2007: 47). Klasifikasi berarti

penyusunan bersistem dalam kelompok atau golongan menurut kaidah

20

atau standar yang ditetapkan (KBBI, 2008: 706). Klasifikasi data

dilakukan setelah semua data yang dibutuhkan telah terkumpul.

Menutur Subroto pengklasifikasian data merupakan maslah pengaturan

data menutur asas-asas tertentu, hal ini mempunyai kepentingan yang

cukup strategis di dalam penelitian (2007: 51)

Data yang dikumpulkan dikelompok-kelompokkan terlebuh dahulu

dengan maksud untuk mendapatkan tipe-tipe data yang tepat dan

cermat. Klasifikasi data akan dapat memberikan arah serta gambaran

mengenai langkah-langkah analisis dalam tahap selanjutnya.

Klasifikasi data pada penelitian ini dilakukan dengan penyimakan

terhadap data-data yang mengandung alih kode dan campur kode.

Adanya pengurutan data bermanfaat untuk mencocokkan data-data

dengan analisisnya, yaitu memberikan syarat tambahan apa yang akan

dikerjakan berikutnya dan bagaimana tahapan ini dilakukan dengan

mengurutkan sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun penomoran data

disesuaikan menurut nomor urut contoh data, sumber data,

namapengarang, edisi, tanggal, bulan dan tahun. Contoh:

(7MN/SWS/28/2015)

Keterangan

7 : nomor urut data

MN : Mulih Ndesa (judul cerbung)

SWS : Suryadi WS (nama pengarang)

28 : edisi terbit majalah Panjebar Semangat

2015 : tahun terbit majalah

21

6. Metode Analisis Data

Analisis merupakan upaya peneliti menangani langsung masalah

yang terkandung pada data (Sudaryanto, 1992: 6). Analisis data

bertujuan untuk mengetahui masalah-masalah yang berhubungan

dengan alih kode, campur kode, dan fungsi pemakaian bahasa dalam

cerbung Mulih Ndesa. Dengan demikian dapat diketahui pengaruh

peristiwa-peristiwa terhadap pemakaian bahasa Jawa, sehingga

pernyataan dalam perumusan masalah dapat terjawab, penulis

menganalisis data dengan menggunakan metode distribusional dan

metode padan.

a. Metode Distribusional

Metode distribusional yaitu metode analisis data yang alat

penentunya unsur dari bahasa itu sendiri (Sudaryanto, 1992:

15). Metode distribusional digunakan untuk menganalisis

bentuk alih kode dan campur kode dalam tuturan para tokoh.

Teknik dasar yang digunakan adalah teknik bagi unsur

langsung (BUL). Teknik ini digunakan untuk membagi satuan

lingual data menjadi beberapa unsur dan unsur-unsur yang

bersangkutan dipandang sebagai bagian yang membentuk

satuan lingual yang dimaksud ( Sudaryanto, 1993: 13). Teknik

ini digunakan untuk menganalisis bentuk pemakaian bahsa

Jawa. Teknik lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah teknik ganti. Yaitu dengan cara mengganti satuan

lingual dengan satuan lingual lain. Teknik ini memiliki kadar

22

kesamaan kelas kata atau kategori unsur yang terganti dengan

yang mengganti (Sudaryanto, 1993: 41)

Adapun contoh penerapannya adalah sebagai berikut:

(1) “Ya wis aku manut Mas, aku arep didhawuhi ngapa?”

„Ya sudah saya menurut Mas, saya akan disuruh apa?‟

(Episode 7)

Unsur langsung kalimat tersebut adalah ya wis aku manut Mas

„ya sudah saya menurut Mas‟ dan aku arep didhawuhi ngapa?

„saya akan disuruh apa?‟. Terdapat jeda diantara kedua unsur

langsung tersebut.Pada data di atas terdapatcampur kode ke

dalam (inner code-mixing) yaitu bahasa Jawa ragam Krama

„didhawuhi‟. Hal ini bisa dibuktikan ketika kata „didhawuhi‟

diganti dengan kata „dikongkon‟, maka tidak terjadi peristiwa

campur kode dalam tuturan pada data tersebut. Namun, kata

„dikongkon‟ tersebut tidak digunakan dalam tuturan pada data

di atas karena penutur (O1) masih bertindak sopan terhadap

mitra tuturnya (O2).

b. Metode Padan

Metode padan adalah metode analisis data yang alat

penentunya di luar, terlepas dan tidak menjadi bagian yang

bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13). Metode padan

digunakan untuk menganalisis tuturan bahasa Jawa dengan

memperhatikan konteks sosial antara penutur dan mitra tutur

berdasarkan waktu dan tempat terjadinya peristiwa tutur.

Teknik dasar yang digunakan adalah teknik Pilah Unsur

23

Penentu (PUP). Teknik ini digunakan untuk mengetahui faktor

yang melatarbelakangi pemakaian bahasa Jawa dalam cerbung

Mulih Ndesa dan fungsi pemakaian bahasanya.

Teknik lanjutannya adalah teknik Hubung Banding

Memperbedakan (HBB). Teknik ini digunakan untuk

menganalisis alih kode dan campur kode dalam cerbung Mulih

Ndesa.

Fungsi pemakaian bahasa Jawa dalam cerbung ini dapat

dilihat dari komponen tutur yang melatarbelakanginya.

Penerapan dari metode tersebut dalam menganalisis data

adalah sebagai berikut:

(2) O1 : “Supaya olehe jagongan kepenak, wiwit saiki kowe ora

sah basa krama. Ngoko wae”

„Biar ngobrolnya enak, mulai sekarang kamu tidak usah

pakai bahasa Krama. Ngoko saja‟

O2 : “Ah mboten,” saure Sekarwangi. “Kula menika rak

namung babu. Babu menika batur.”

„Ah tidak, jawab Sekarwangi.„Saya ini kan hanya babu.

Babu itu pembantu‟

O1 : “O ya aku lali. Kowe ki batur lan aku bendara. Ngono

ya?”

„O iya aku lupa. Kamu ini kan pembantu dan saya majikan.

Gitu ya?‟

O2 : “Inggih.”

„Ya‟

O1 : “Batur ki kudu ngajeni bendarane, ya?”

„Pembantu itu harus menghormati majikannya, ya?‟

O2 : “Inggih.”

„Ya‟

O1 : “Didhawuhi apa-apa kudu manut, ya?”

„Disuruh apa-apa harus nurut, ya?‟

O2 : “Inggih ngaten.”

„Ya begitu‟

O1 : “Bener?” ucape Damarjati karo ngguyu. “Saiki

bendaramu iki dhawuh: Sekar, wiwit saiki kowe ora susah

basa karo aku. Kudu manut.”

24

„Betul? Sekarang majikanmu ini menyuruh: Sekar, mulai

sekarang kamu tidak usah pakai bahasa Krama sama aku.

Harus nurut.‟

O2 : “Wah, ketleyek aku.”

„Wah ketipu saya‟

O2 : “Ya wis aku manut Mas. Aku arep didhawuhi ngapa?”

„Ya sudah saya nurut Mas. Saya akan disuruh apa?‟

O1 : “Ora dakkon ngapa-ngapa, mung dak jak jagongan. Ning

daktakon dhisik, jane kowe ki mau arep nyang endi?”

„Tidak aku suruh ngapa-ngapain, cuma ingin aku ajak

ngobrol. Tetapi aku mau tanya dulu, sebenernya kamu tadi

mau kemana?‟

Tuturan O1 adalah Damarjati (majikan) dan O2 adalah

Sekarwangi (pembantu).

Tuturan di atas merupakan dialog yang menunjukkan

terjadinya peristiwa alih kode intern (internal code

switching) antara bahasa Jawa ragam Krama dengan bahasa

Jawa ragam Ngoko. Awalnya Sekarwangi (O1)

menggunakan bahasa Jawa ragam Krama ketika berbicara

dengan Damarjati (O2) karena Sekarwangi menghormati

Damarjati yang adalah majikannya. Lalu Damarjati

meminta Sekarwangi untuk berbahasa Jawa Ngoko ketika

berbicara dengannya. Karena menghormati majikannya,

akhirnya Sekarwangi pun menggunakan bahasa Jawa

Ngoko ketika berbicara kepada Damarjati.

7. Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil dari analisis data disajikan dalam bentuk kaidah-kaidah yang

berkaitan dengan alih kode dan campur kode dalam cerbung Mulih

25

Ndesa yang berupa kalimat-kalimat yang kemudian dilengkapi dengan

pemerian yang lebih rinci

Teknik yang digunakan dalam penyajian data ini menggunakan

teknik informal dan formal. Teknik informal adalah rumusan kata-kata,

biasanya walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya. Teknik

formal adalah rumusan dengan tanda antara lain (*, bagan, tabel,

diagram dan gambar) dan lambang huruf sebagai singkatan nama

(S,P,O,K) (Sudaryanto, 1993: 145). Hasil analisis data akan berupa

tuturan para tokoh dalam cerbung Mulih Ndesa saat berinteraksi

dengan tokoh lain yan didasarkan pada alih kode, campur kode dan

faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya alih kode dan campur

kode.