70
32 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Ketersediaan Infrastruktur Pembangunan Ekonomi Menurut Todaro (1977) pembangunan bukan hanya bersifat fenomena semata, namun pembangunan tersebut harus juga meliputi sisi materi dan sisi non- materi dari kehidupan manusia. Dengan demikian pembangunan secara ideal merupakan suatu proses multidimensi, yang menyertakan dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, dan dimensi lainnya. Secara ringkas, multi dimensi pada proses pembangunan memiliki arti bahwa pembangunan dengan segenap aktivitasnya harus melibatkan dimensi ekonomi dan dimensi non-ekonomi. Terdapat tiga atribut penting pada proses dan aktivitas pembangunan (Sukirno, 2001), yaitu: (1) terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik secara kontinyu, (2) adanya peningkatan pendapatan masyarakat, dan (3) peningkatan pendapatan masyarakat berlangsung secara berkelanjutan. Secara umum, pembangunan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peran pemerintah sebagai mobilisator pembangunan sangat strategis dalam mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat serta pertumbuhan ekonomi negaranya. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk melihat hasil pembangunan yang telah dilakukan dan juga berguna untuk menentukan arah pembangunan dimasa yang akan datang. Pertumbuhan ekonomi yang positif menunjukan adanya peningkatan perekonomian, sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang negatif menunjukkan adanya penurunan. Simon Kuznets menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh

BAB II KAJIAN PUSTAKA · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Ketersediaan Infrastruktur Pembangunan Ekonomi Menurut Todaro (1977) pembangunan bukan hanya bersifat fenomena semata, namun pembangunan

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

32

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Ketersediaan Infrastruktur Pembangunan Ekonomi

Menurut Todaro (1977) pembangunan bukan hanya bersifat fenomena

semata, namun pembangunan tersebut harus juga meliputi sisi materi dan sisi non-

materi dari kehidupan manusia. Dengan demikian pembangunan secara ideal

merupakan suatu proses multidimensi, yang menyertakan dimensi ekonomi,

sosial, lingkungan, dan dimensi lainnya. Secara ringkas, multi dimensi pada

proses pembangunan memiliki arti bahwa pembangunan dengan segenap

aktivitasnya harus melibatkan dimensi ekonomi dan dimensi non-ekonomi.

Terdapat tiga atribut penting pada proses dan aktivitas pembangunan

(Sukirno, 2001), yaitu: (1) terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik secara

kontinyu, (2) adanya peningkatan pendapatan masyarakat, dan (3) peningkatan

pendapatan masyarakat berlangsung secara berkelanjutan. Secara umum,

pembangunan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peran

pemerintah sebagai mobilisator pembangunan sangat strategis dalam mendukung

peningkatan kesejahteraan masyarakat serta pertumbuhan ekonomi negaranya.

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk melihat hasil

pembangunan yang telah dilakukan dan juga berguna untuk menentukan arah

pembangunan dimasa yang akan datang. Pertumbuhan ekonomi yang positif

menunjukan adanya peningkatan perekonomian, sebaliknya pertumbuhan

ekonomi yang negatif menunjukkan adanya penurunan. Simon Kuznets

menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh

33

akumulasi modal (investasi pada tanah, peralatan, prasarana dan sarana dan

sumber daya manusia), sumber daya alam, sumber daya munusia (human

resources) baik jumlah maupun kualitas penduduknya, kemajuan teknologi, akses

terhadap informasi, keinginan untuk melakukan inovasi dan mengembangkan diri

serta budaya kerja. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai proses

perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara berkesinambungan menuju

keadaan yang lebih baik selama periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat

diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian

yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Adanya

pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu

negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode

tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan

kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan

pendapatan nasional. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi

keberhasilan pembangunan ekonomi. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan

ekonomi adalah sebagai berikut :

1. Faktor sumber daya manusia. Sama halnya dengan proses pembangunan,

pertumbuhan ekonomi juga dipengaruhi oleh sumber daya manusia

(SDM). SDM merupakan faktor terpenting dalam proses pembangunan, di

mana cepat lambatnya proses pembangunan akan sangat ditentukan oleh

kualitas dan kuantitas SDM yang dimilikinya yang berperan sebagai

subjek pembangunan;

34

2. Faktor Sumber daya Alam. Sebagian besar negara berkembang bertumpu

kepada sumber daya alam (SDA) dalam melaksanakan proses

pembangunannya. Meskipun demikian, SDA secara terisolasi tidak

menjamin keberhasilan proses pembanguan ekonomi, apabila tidak

didukung oleh kemampaun SDM dalam mengelola SDA yang tersedia.

SDA yang dimaksudkan diantaranya adalah kesuburan tanah, kekayaan

mineral, tambang, kekayaan hasil hutan dan kekayaan laut;

3. Faktor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi (IPTEK) yang semakin pesat mendorong adanya percepatan

proses pembangunan, pergantian pola kerja yang semula menggunakan

tangan manusia digantikan oleh mesin-mesin canggih berdampak kepada

aspek efisiensi, kualitas dan kuantitas serangkaian aktivitas pembangunan

ekonomi yang dilakukan dan pada akhirnya berakibat pada percepatan laju

pertumbuhan perekonomian;

4. Faktor Budaya. Budaya memberikan dampak tersendiri terhadap

pembangunan ekonomi yang dilakukan. Budaya ini dapat berfungsi

sebagai pembangkit atau pendorong proses pembangunan tetapi dapat juga

menjadi penghambat pembangunan. Budaya yang dapat mendorong

pembangunan diantaranya sikap kerja keras dan kerja cerdas, jujur, ulet

dan sebagainya. Adapun budaya yang dapat menghambat proses

pembangunan diantaranya sikap anarkis, egois, boros, KKN, dan

sebagainya;

35

5. Sumber daya kapital. Sumber daya kapital (SDK) dibutuhkan manusia

untuk mengolah SDA dan meningkatkan kualitas IPTEK. SDK yang

berupa barang-barang modal sangat penting bagi perkembangan dan

kelancaran pembangunan ekonomi mengingat sifatnya yang dapat

meningkatkan produktivitas.

Pembangunan, dari sudut pandang tujuannya, diartikan sebagai kondisi

suatu negara yang ditandai dengan adanya: a) kemampuan konsumsi yang besar

pada sebagian besar masyarakat, b) sebagian besar kegiatan perekonomian adalah

kegiatan non-pertanian, dan c) sangat berbasis perkotaan. Teori pembangunan

ekonomi dari Rostow ini sangat populer dan paling banyak mendapatkan

komentar dari para ahli. Teori ini pada mulanya merupakan artikel (Rostow, 1960)

yang dimuat dalam Economics Journal (Maret) dan kemudian dikembangkannya

lebih lanjut dalam bukunya yang berjudul The Stages of Economic Growth (1960).

Menurut pengklasifikasian Todaro, teori Rostow ini dikelompokkan ke dalam

model jenjang linear (linear stages model).

Sebagai bagian dari teori modernisasi, teori ini mengkonsepsikan

pembangunan sebagai modernisasi yang dicapai dengan mengikuti model

kesuksesan Barat. Para pakar ekonomi menganggap bahwa teori pertumbuhan

ekonomi Rostow merupakan contoh terbaik dari apa yang diistilahkan sebagai

teori modernisasi. Menurut Rostow (1960: 4-16), proses pertumbuhan

ekonomi bisa dibedakan ke dalam 5 tahap, yaitu : masyarakat tradisional (the

traditional society), prasyarat untuk tinggal landas (the preconditions for take-off),

tinggal landas (the take-off), menuju kedewasaan (the drive to maturity), dan masa

36

konsumsi tinggi (the age of high mass-consumption). Dasar pembedaan tahap

pembangunan ekonomi menjadi 5 tahap tersebut adalah: karakteristik perubahan

keadaan ekonomi, sosial, dan politik yang terjadi.

Rostow berpendapat, pembangunan ekonomi atau proses transformasi

suatu masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern merupakan suatu proses

yang multidimensional. Pembangunan ekonomi bukan hanya berarti perubahan

struktur ekonomi suatu negara yang ditunjukkan oleh menurunnya peranan sektor

pertanian dan peningkatan peranan sektor industri saja. Disamping perubahan

seperti itu, pembangunan ekonomi berarti pula sebagai suatu proses yang

menyebabkan antara lain : perubahan orientasi organisasi ekonomi, politik, dan

sosial yang pada mulanya berorientasi kepada suatu daerah menjadi berorientasi

ke luar. Perubahan pandangan masyarakat mengenai jumlah anak dalam keluarga,

yaitu dari menginginkan banyak anak menjadi keluarga kecil. Perubahan dalam

kegiatan investasi masyarakat, dari melakukan investasi yang tidak produktif

(menumpuk emas, membeli rumah, dan sebagainya) menjadi investasi yang

produktif. Perubahan sikap hidup dan adat istiadat yang terjadi kurang

merangsang pembangunan ekonomi (misalnya penghargaan terhadap waktu,

penghargaan terhadap prestasi perorangan dan sebagainya).

Terdapat beragam pengertian tentang infrastruktur publik. World Bank

(1994) mendefinisikan infrastruktur dalam konteks ekonomi sebagai terminologi

yang memayungi berbagai aktivitas yang terkait biaya-biaya overhead yang

dikeluarkan pemerintah untuk kepentingan-kepentingan sosial (sosial overhead

capital). Pembangunan infrastruktur publik di Indonesia sangat mendapat

37

perhatian sehingga dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)

tahun 2015-2019, pemerintah Indonesia bertekad melakukan percepatan dalam

penyediaan, kuantitas dan kualitas infrastruktur publik.

Tekad pemerintah ini didasari bukan hanya dari sisi pandang ekonomi semata,

tetapi juga dari berbagai perspektif kepentingan nasional yang strategis dan bersifat

prioritas, yang ditujukan untuk menunjang program revitalisasi pertanian, pengentasan

kemiskinan dan keterisolasian, maupun tujuan untuk mengatasi berbagai masalah

lingkungan seperti polusi air, udara dan tanah, atau banjir.

Mengacu kepada daftar skala prioritas nasional, pembangunan infrastruktur di

Indonesia menduduki peringkat ke enam dari sebelas program. Pada pembangunan

infrastruktur di Indonesia, terdapat tujuh substansi inti dari program aksi di bidang

infrastruktur yaitu pembangunan infrastruktur yang berkaitan dengan : (1) tanah dan

tata ruang, (2) jalan, (3) perhubungan, (4) perumahan rakyat, (5) pengendalian banjir,

(6) telekomunikasi, dan (7) transportasi perkotaan. Meskipun demikian, pada periode

1993 – 2002, data menunjukkan bahwa besaran nilai investasi infrastruktur

dibandingkan dengan PDB Indonesia ternyata menunjukkan penurunan. Pada tahun

fiskal 1993/1994 rasionya 5,34 sedangkan pada tahun fiskal 2002, rasio ini menurun

tajam lebih dari 50 persen menjadi hanya 2,33. Di Asia, angka-angka tersebut masih di

bawah rasio di beberapa negara lainnya di Asia pada tahun 2005, misalnya Laos dan

Mongolia dengan rasio 4 – 7 persen serta China, Thailand, dan Vietnam dengan rasio

diatas 7 persen (Mustajab, 2009).

Sementara itu, investasi yang dilakukan oleh swasta ternyata tidak

menunjukkan kondisi yang menggembirakan, setidaknya pada periode 1990 – 2000.

38

Pada periode ini, investasi swasta mencapai puncaknya pada tahun 1996 dengan nilai

investasi sebesar US$ 8,4 miliar (Dikun, 2003). Namun, seiring dengan menurunnya

stabilitas politik di Indonesia pasca Kabinet Orde Baru yang diikuti dengan terjadinya

krisis ekonomi, pada tahun 2000 jumlah investasi swasta di Indonesia yang dilakukan

oleh sektor swasta (asing dan nasional) tidak mencapai US$ 1 miliar.

2.1.1 Peran infrastruktur dalam pembangunan

Infrastruktur diketahui memiliki peran yang luas dan mencakup berbagai

konteks dalam pembangunan, baik dalam konteks fisik-lingkungan, ekonomi,

sosial, budaya, politik, dan konteks lainnya. Salah satu infrastruktur yang besar

perannya dalam pengembangan dan pembangunan ruang, baik dalam lingkup

negara ataupun lingkup wilayah adalah infrastruktur transportasi.

Transportasi adalah infrastruktur yang mampu menciptakan mobilitas

sosial dan ekonomi masyarakat (barang dan manusia/penumpang), dan

menghubungkan resources dan hasil produksi ke pasar (perdagangan/ trade).

Infrastruktur transportasi akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat seperti

memungkinkan terjadinya perdagangan antar wilayah, perluasan pasar,

terciptanya kompetisi, penyebaran pengetahuan, dan meningkatnya aksesibilitas

penduduk terhadap sarana pendidikan dan kesehatan dimana pada akhirnya akan

meningkatkan pula kualitas kesehatan dan pendidikan masyarakat.

Infrastruktur merupakan driving force dalam pertumbuhan ekonomi.

Perannya dalam mengembangkan sebuah wilayah tak terbantahkan. Beberapa

fakta empiris menyatakan bahwa perkembangan kapasitas infrastruktur di suatu

wilayah akan berjalan seiring dengan perkembangan output ekonomi. World Bank

39

(1994) bahkan secara tegas menyatakan bahwa secara average peningkatan stok

infrastruktur sebesar 1 persen akan berasosiasi dengan peningkatan PDB sebesar 1

persen pula. Fakta empirik ini merupakan pernyataan yang menjanjikan sekaligus

menantang (challenging) bagi semua negara untuk menindaklanjutinya melalui

meningkatkan pasokan infrastrukturnya.

Semakin maju negara, maka peran jasa infrastruktur untuk menyumbang

nilai tambah akan semakin besar. Data World Bank (1994) menunjukkan

umumnya infrastruktur jenis transportasi dan komunikasi memiliki peran yang

lebih besar dalam menyumbang nilai tambah dengan proporsi terhadap PDB

sebesar 5,34 persen untuk low-income countries; 6,78 persen untuk middle-income

countries; dan 9,46 persen untuk high-income countries, dibandingkan dengan

infrastruktur kelistrikan dan air dengan nilai proporsi terhadap PDB yang

bervariasi antara 1,29 persen untuk low-income countries; 2,24 persen untuk

middle-income countries; dan 1,87 persen untuk high-income countries.

Pada sebuah industri, peran infrastruktur juga sangat vital karena diyakini

mampu meningkatkan produktivitas yang akan bermuara pada meningkatnya

kinerja ekonomi secara keseluruhan. Sementara itu, peran infrastruktur dalam

ekonomi bukan sekedar ketersediaan (availibility) infrastruktur dari sisi pandang

kuantitas dan kualitasnya. Peran penting yang dijalankan oleh infrastruktur dapat

menjadi sandungan ketika besaran investasi atau pengeluaran yang dikucurkan

oleh pemerintah untuk infrastruktur publik mengalami penurunan. Hal inilah yang

menjadi salah satu penyebab menurunnya peran sektor pertanian dalam

menunjang output ekonomi baik secara nasional maupun secara regional saat

40

investasi di sektor ini menurun. World Bank (2008) memperoleh temuan dari

pengamatannya terhadap beberapa negara di dunia, bahwa terdapat trend yang

cukup signifikan bahwa negara berbasis ekonomi pertanian (agriculture-based

countries) sedang mengalami metamorfosis menuju ke negara berbasis ekonomi

transisi (transforming countries), sedangkan trend serupa juga terjadi dimana

negara berbasis ekonomi transisi (transforming countries) juga sedang

bertransformasi ke negara berbasis ekonomi kota (urbanized countries).

Tabel 2. 1 Nilai Tambah dari Beberapa Jenis Infrastruktur Berdasarkan

Kelompok Negara (dalam persen)

Sektor Low-income Countries

Middle-income Countries

High-income Countries

Transportasi,

Pergudangan,

dan Komunikasi

5,34

(9)

6,78

(26)

9,46

(3)

Gas, Kelistrikan,

dan Air

1,29

(22)

2,24

(36)

1,87

(5)

Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan peringkat nilai tambah Sumber : World Bank (1994)

Fakta empiris menurunnya kinerja infrastruktur disajikan dalam format

infrastructure gap antara negara-negara Amerika Latin dengan negara-negara Asia

Timur dimana dalam kurun waktu 1980-1997 terjadi peningkatan gap sampai sebesar

40-50 persen untuk panjang jalan, 50-60 persen untuk telekomunikasi, dan 90-100

persen untuk kelistrikan. Dampaknya adalah penurunan kinerja ekonomi yang sangat

signifikan dalam bentuk terjun-bebasnya pertumbuhan output ekonomi. Di Indonesia,

dengan menggunakan data nasional tahun 2000-2007, Mustajab (2009) melakukan

41

penelitian yang berkaitan dengan peran infrastruktur di Indonesia, dan hasil

penelitiannya menunjukkan temuan yang positif dimana pengembangan infrastruktur

memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional.

2.1.2 Pengaruh infrastruktur terhadap kemajuan ekonomi

Keterkaitan antara infrastruktur dan ekonomi sudah lama menjadi

perbincangan bagi para pengambil kebijakan. Bagi para penentu kebijakan,

pengembangan dan pembangunan prasarana diharapkan akan menjadi driving

force bagi pengembangan ekonomi. Dalam ranah akademis, keterkaitan antara

keduanya masih menjadi bahan perdebatan. Dalam World Development Report

tahun 1994 dinyatakan bahwa keterkaitan antara investasi pada infrastruktur dan

pertumbuhan ekonomi belum merupakan suatu keniscayaan. Artinya, apakah

investasi di infrastruktur menyebabkan pertumbuhan ekonomi atau apakah

pertumbuhan ekonomi menyebabkan tumbuhnya investasi di infrastruktur belum

sepenuhnya dapat dijelaskan (established).

Upaya pembenahan kondisi infrastruktur disadari peran penting dalam

mengurangi kesenjangan pendapatan dan dampak jangka panjangnya bagi PDB per

kapita (Calderón & Servén, 2004). Perbaikan infrastruktur memiliki kontribusi dalam

meningkatkan produktivitas dan diharapkan mampu mendukung pertumbuhan

ekonomi dalam jangka panjang. Merujuk pada publikasi World Development Report

(World Bank, 1994), infrastruktur berperan penting dalam meningkatkan

pertumbuhan ekonomi di mana pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dijumpai

pada wilayah dengan tingkat ketersediaan infrastruktur yang mencukupi.

Identifikasi terhadap program pembangunan infrastruktur di beberapa negara

42

menyimpulkan bahwa pada umumnya program ditargetkan dalam jangka

menengah dengan fokus pada peningkatan kebutuhan dasar dan konektivitas

manusia, mulai dari air, listrik, energi, hingga transportasi (jalan raya, kereta api,

pelabuhan, dan bandara). N. Weil (2009) juga menyatakan bahwa disparitas

ketersediaan kapital fisik dan human capital berperan dalam menjelaskan adanya

perbedaan pertumbuhan ekonomi antar negara.

Selain penelitian yang dilakukan dengan menggunakan data antar negara,

terdapat beberapa penelitian dengan menggunakan data regional di suatu negara.

Wu (1998) yang menyatakan bahwa derajat disparitas antar wilayah di China

berbeda antara wilayah Coastal, Central, dan Western. Sementara itu, dengan

menggunakan data 24 provinsi di China, Démurger (2001) menyimpulkan bahwa

selain reformasi dan derajat keterbukaan, kondisi infrastruktur berperan signifikan

dalam mempengaruh disparitas pertumbuhan regional. Calderon (2011)

menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi berhubungan positif dan signifikan

dengan stok dan kualitas infrastruktur di suatu wilayah.

Di Indonesia, banyak penelitian yang mendalami pengaruh infrastruktur

terhadap perekonomian dengan hasil yang bervariasi. Sibarani (2002) menemukan

bahwa infrastruktur, dalam hal ini listrik dan pendidikan, memberikan pengaruh

yang positif dan signifikan pada pendapatan per kapita masyarakat Indonesia,

sedangkan variabel jalan dan telepon tidak signifikan. Kebijakan pembangunan

infrastruktur yang terpusat di Jawa dan Indonesia bagian barat menimbulkan

disparitas pendapatan per kapita masing-masing daerah di Indonesia, terutama di

Kawasan Indonesia Timur. Lebih lanjut, Yanuar (2006) dengan menggunakan

43

data panel 26 provinsi menunjukkan bahwa modal fisik, infrastruktur jalan,

telepon, kesehatan, dan pendidikan memberikan pengaruh positif pada output

perekonomian. Sementara itu, Prasetyo R. B. (2008) menyimpulkan bahwa listrik,

panjang jalan, stok modal, dan otoritas daerah berpengaruh positif terhadap

pembangunan ekonomi Kawasan Indonesia Barat, sementara variabel air bersih

tidak signifikan. Penelitian oleh Prasetyo & Firdaus (2009) menyimpulkan bahwa

pertumbuhan ekonomi Indonesia dipengaruhi oleh ketersediaan infrastruktur, di

antaranya elektrifikasi, jalan beraspal, dan air bersih.

2.2.2.1 Kondisi jalan

Jalan sebagai salah satu prasarana infrastruktur transportasi merupakan

unsur sentral dalam membentuk struktur ruang dan mengarahkan pola

pengembangan wilayah atau kawasan. Sebagai bagian dari sistem transportasi

nasional, pembangunan jalan mendorong komunikasi dan interaksi antar

masyarakat sehingga diharapkan dapat membangun toleransi dan

menghilangkan kendala akibat perbedaan budaya yang ada di masyarakat. Hal

ini dapat mendukung pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan

pemerataan pembangunan antar daerah, membentuk dan memperkukuh

kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan nasional

dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan nasional.

Menurut Ernawati (2009) jaringan jalan harus mampu mengedepankan

fungsi pelayanan ekonomi yang memperhatikan dengan seksama secara

seimbang aspek ekonomi, sosial dan lingkungan yang ada. Keberadaan jalan

tidak memberikan dampak negatif kepada masyarakat maupun lingkungan

44

lainnya yang ada di sekitarnya. Pembangunan jalan harus diselenggarakan

dengan tetap memperhatikan daya dukung lingkungan dan kondisi sosial

ekonomi masyarakat. Untuk menjamin terpenuhinya peran jalan dalam

mendukung pertumbuhan ekonomi pemerintah berkewajiban

menyelenggarakan pembangunan jalan agar dapat berdaya guna dan berhasil

guna untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pembangunan jaringan jalan pada hakekatnya ditujukan sebagai

rencana dan arah dari pengembangan wilayah. Pembangunan jalan harus

mempertimbangkan kondisi wilayah, baik dari segi potensi wilayah dan

sumber daya alam maupun kondisi strategisnya. Sehingga dengan adanya

jaringan jalan yang telah terstruktur dengan baik, maka berbagai kegiatan

investasi akan berkembang dengan efisien dan efektif, yang pada akhirnya

akan menghasilkan nilai manfaat yang tinggi bagi perkembangan suatu

wilayah.

Menurut Suprapti (2012) dampak atau pengaruh keberadaan suatu

infrastruktur jalan akan dapat menimbulkan dampak positif (manfaat) dan

dampak negatif pada masyarakat. Manfaat pembangunan dan peningkatan jalan

dapat kita ketahui dengan mengevaluasi keuntungan yang diberikan sebelum

adanya proyek dan setelah adanya proyek. Beberapa bukti menunjukkan bahwa

perbaikan jalan atau pembangunan jalan baru akan berdampak cukup

signifikan terhadap beberapa aspek, misalnya sebagai berikut :

45

a. Investasi pada jalan penghubung pedesaan yang membuka daerah terisolasi

atau mampu mengurangi biaya transportasi memiliki peluang lebih besar

membangkitkan pembangunan sosial ekonomi;

b. Dengan adanya jalan akan memudahkan akses transportasi jalan antar

daerah, sehingga bisnis berjalan dengan lancar;

c. Terbentuknya akses jalan semakin memudahkan dan mempersingkat waktu

tempuh ke pusat-pusat perdagangan, pendidikan dan ke tempat wisata;

d. Terbentuknya kegiatan ekonomi baru di sepanjang jalan;

e. Menekan angka pengangguran karena adanya lapangan kerja baru.

2.2.2.2 Ketersediaan dan kondisi moda transportasi

Transportasi memegang peranan penting dalam pertumbuhan

perekonomian khususnya perkotaan. Hal tersebut dikarenakan transportasi

berhubungan dengan kegiatan-kegiatan produksi, konsumsi, dan distribusi.

Pemerintah perlu mengedepankan pentingnya transportasi untuk memperlancar

kegiatan perekonomian. Berbagai aktifitas terkait dengan pemenuhan

kebutuhan dasar memerlukan ketersediaan infrastruktur yang baik, sekarang

transportasi berperan penting dalam mengakomodasi aktifitas sosial dan

ekonomi masyarakat. Peran lain pada tahap ini adalah sebagai fasilitas bagi

sistem produksi dan investasi sehingga memberikan dampak positif pada

kondisi ekonomi baik pada tingkat nasional maupun daerah.

Pembangunan sarana dan prasarana transportasi dapat membuka

aksesibilitas sehingga meningkatkan produksi masyarakat yang berujung pada

peningkatan daya beli masyarakat. Transportasi dalam ruang lingkup ekonomi

46

transportasi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan transportasi yang

senantiasa meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan

ekonomi diperlukan pengembangan jalan, terminal, pelabuhan, pengaturan

serta sarana untuk mendukung sistem transportasi yang efisien, aman dan

lancar serta berwawasan lingkungan. Sistem transportasi yang efisien ini

menggunakan pertimbangan ekonomi sebagai acuan dalam investasi sarana dan

prasarana transportasi. Salah satu media transportasi adalah angkutan umum.

Infrastruktur transportasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan

ekonomi. Keberadaan infrastruktur transportasi dapat menstimulasi aktivitas

ekonomi dan akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah.

Menurut penelitian yang dilakukan Sulistyo (2008), Infrastruktur transportasi

merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi. Keberadaan infrastruktur

transportasi dapat menstimulasi aktivitas ekonomi dan akhirnya akan

meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah. Efek infrastruktur transportasi

berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayah sendiri, tetapi juga

terhadap wilayah tetangganya. Hal tersebut ditunjukkan oleh Provinsi Jawa

Timur (Jatim) yang pada awal 2011 hingga saat ini mencapai 7,12 persen

belum diimbangi dengan kontribusi dari infrastruktur transportasi. Infrastruktur

transportasi hanya menyumbang sekitar 3 persen dari pertumbuhan ekonomi di

Jatim. Pertumbuhan ekonomi Jatim yang tergolong baik tersebut sejauh ini

belum didukung infrastruktur transportasi yang cukup memadai.

Pertumbuhan ekonomi di Jatim pada 2010 mencapai 6,5 persen. Target

pertumbuhan ekonomi pada 2011 sebesar 7 persen -7,5 persen. Pertumbuhan

47

ekonomi yang tergolong baik tersebut ternyata hanya 3 persen saja yang

berasal dari kontribusi infrastruktur transportasi. Pertumbuhan ekonomi akan

lebih baik lagi jika didukung oleh infrastruktur transportasi yang baik. Studi

lain menunjukan upaya menaikkan highway capital pada suatu wilayah

berasosiasi positif terhadap produk (output) di wilayah sendiri (wilayah dimana

highway tersebut dibangun). Tetapi berasosiasi negatif terhadap produk

(output) di wilayah tetangganya.

Lebih lanjut diungkapkan Sulistyo (2011) bahwa pertumbuhan ekonomi

yang baik harus didukung infrastruktur transportasi yang cukup memadai.

Kondisi transportasi di Indonesia masih jauh dari kondisi yang ideal, untuk itu

perlu dibuat strategi dan terobosan yang tepat untuk memajukan transportasi.

Infrastruktur transportasi di Indonesia memberikan kontribusi sekitar 3,81

persen bagi pertumbuhan ekonomi. Kondisi tersebut masih jauh dibawah

negara maju yang mampu memberikan kontribusi sebesar 12 persen. Suatu

upaya peningkatan pelayanan transportasi angkutan umum adalah dengan

melakukan reformasi transportasi angkutan umum. Prinsip yang terus

dikembangkan dalam reformasi transportasi umum adalah memperbaiki sistem

manajemen transportasi umum dan meningkatkan penggunaan angkutan

umum.

Apparicio et al (2007) meneliti hubungan antara aksesibilitas wilayah

dengan pertumbuhan kesempatan kerja di Canada. Salah satu temuan risetnya

menunjukkan bahwa terbangunnya sebuah moda transportasi (sebagai misal

pelabuhan atau lapangan udara) tidak secara otomatis meningkatkan

48

aksesibilitas wilayah. Adanya interaksi antar moda merupakan kondisi awal

yang dibutuhkan agar terjadi peningkatan aksesibilitas.

Apparacio et al (2007) juga memverifikasi bahwa infrastruktur

transportasi yang mensinergikan sisi permintaan dan sisi penawaran mampu

menciptakan peningkatan peluang pasar bagi produk yang dihasilkan wilayah

yang sebelumnya memiliki tingkat aksesibilitas rendah. Hal ini selanjutnya

akan berpengaruh pada peningkatan lapangan kerja bagi komunitas lokal.

Analisis yang dilakukannya menunjukkan bahwa pada dekade 1971 – 2001,

pembangunan moda-moda transportasi di Canada ternyata mampu

meningkatkan pertumbuhan lapangan kerja bagi komunitas lokal antara 4,6

persen hingga 8,0 persen.

Kajian tentang jenis infrastruktur fisik lainnya seperti infrastruktur

komunikasi, listrik, dan air serta pengaruhnya pada pertumbuhan ekonomi

suatu wilayah juga banyak diteliti dengan kesimpulan yang diperoleh

bervariasi antar penelitian sesuai dengan jenis hubungan dan wilayah yang

dijadikan pusat kajian. Meskipun demikian, seperti yang diutarakan oleh Hull

(1999), terdapat sebuah kesamaan yaitu pembangunan infrastruktur bukan

merupakan syarat cukup melainkan lebih bersifat syarat perlu agar terjadi

pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Infrastruktur semata tidak akan

mampu untuk menggerakkan roda pertumbuhan ekonomi suatu wilayah

walaupun mengacu kepada hasil penelitian yang dilakukan oleh The World

Bank (1994), sistem infrastruktur memiliki peranan yang sangat erat pada

pertumbuhan ekonomi suatu negara, di mana dengan adanya kenaikan

49

ketersediaan infrastruktur mengakibatkan Pendapatan Domestik Bruto

perkapita juga meningkat dengan besaran yang variatif antara 0,07 dengan 0,44

(World Bank, 1994).

2.2.2.3 Ketersediaan dan kondisi suplai listrik

Sejak adanya listrik, manusia mengalami kemajuan yang sangat cepat

dalam berbagai bidang. Yang paling menonjol adalah dalam bidang teknologi

dan elektronika. Manfaat energi listrik bagi kehidupan manusia sehari-sehari

sangatlah banyak, seperti belajar, memasak, dan bekerja. Bila diamati secara

lebih dalam, maka kehidupan manusia sudah sangat bergantung pada listrik.

Hal ini dapat dilihat jika ada pemadaman listrik sehari saja, maka akan banyak

sekali masyarakat yang mengeluh, terutama dari kalangan pengusaha yang

mengeluh rugi akibat dari pemadaman listrik tersebut.

Pengertian listrik tidak bisa lepas dari kehadiran PLN. PLN (Perusahaan

Listrik Negara) sebagai penyuplai listrik di seluruh Indonesia memiliki motto

“Listrik Untuk Hidup Yang Lebih Baik”. Tentunya motto tersebut sangatlah tepat

mengingat listrik memang telah mengubah sejarah kehidupan manusia. Listrik telah

memberikan manfaat yang begitu besar bagi kelangsungan hidup manusia.

Listrik merupakan salah satu kebutuhan masyarakat yang sangat penting dan

sebagai sumber daya ekonomis yang paling utama yang dibutuhkan dalam suatu

kegiatan usaha. Dalam waktu yang akan datang kebutuhan listrik akan meningkat

seiring dengan adanya peningkatan dan perkembangan baik dari jumlah penduduk,

jumlah investasi yang semakin meningkat akan memunculkan berbagai industri-

industri baru. Penggunaan listrik merupakan faktor yang penting dalam kehidupan

50

masyarakat, baik pada sektor rumah tangga, penerangan, komunikasi, industri dan

sebagainya. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, pembangunan

teknologi industri berkaitan erat dengan tenaga listrik yang merupakan salah satu

faktor yang penting yang sangat mendukung perkembangan pembangunan

khususnya sektor industri, dalam kehidupan modern tenaga listrik merupakan

unsur mutlak untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat oleh karena itu

energi listrik merupakan tolak ukur kemajuan masyarakat.

Kapasitas pembangkit tenaga listrik sangat dipengaruhi oleh laju

ekonomi, sedangkan sektor industri merupakan sektor yang mempunyai andil

sangat besar dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian di Indonesia.

Apabila industri berkembang dengan pesat akan berakibat kepada

meningkatnya laju ekonomi yang akhirnya berpengaruh terhadap peningkatan

perkiraan kapasitas pembangkit tenaga listrik (Muchlis, 2008). Untuk

masyarakat yang sering menggunakan listrik untuk produksi dan juga

konsumsi baik itu penggunaan listrik untuk menjalankan mesin produksi dan

untuk kebutuhan sehari-hari tanpa disadari telah terjadi pemborosan listrik

yang seharusnya dapat dicegah atau dihemat mengingat perekonomian yang

tidak stabil, maka dapat dimulai suatu penghematan atau penggunaan alternatif

lain yang lebih efisien dengan suatu tindakan konservasi bagi sumber daya

alam bersifat dapat pulin (renewable resource) dapat dilakukan dengan hati-

hati, misalkan konservasi hutan dapat dilakukan dengan beberapa pilihan

antara lain reboisasi dan penghijauan.(Suparmoko, 2002).

51

2.2.2.4 Ketersediaan air bersih

Perkembangan pembangunan di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa

dari berbagai infrastruktur lingkungan yang dibutuhkan masyarakat (air minum,

air limbah, persampahan dan drainase), infrastruktur air bersih merupakan sarana

yang paling banyak mendapatkan perhatian. Air bersih adalah salah satu jenis

sumber daya berbasis air yang bermutu baik dan biasa dimanfaatkan oleh manusia

untuk dikonsumsi atau dalam melakukan aktivitas mereka sehari-hari termasuk

diantaranya adalah sanitasi.

Menurut Permenkes RI No. 416/Menkes/Per/IX/1990 tentang syarat-syarat

dan pengawasan kualitas air bersih, air minum adalah air yang kualitasnya

memenuhi syarat-syarat kesehatan dan langsung dapat diminum. Menurut

Permendagri No. 23 tahun 2006 tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara

Pengaturan Tarif Air Minum pada Perusahaan Daerah Air Minum, Departemen

dalam Negeri Republik Indonesia, Air minum adalah air yang melalui proses

pengolahan atau tanpa pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat

langsung diminum.

2.2.2.5 Ketersediaan fasilitas telekomunikasi

Telekomunikasi merupakan alat komunikasi yang digunakan untuk

menyampaikan pesan suara (terutama pesan yang berbentuk percakapan).

Kebanyakan telepon beroperasi dengan menggunakan transmisi sinyal listrik

dalam jaringan telepon sehingga memungkinkan pengguna telepon untuk

berkomunikasi dengan pengguna lainnya.

52

Teknologi komunikasi infrastruktur adalah suatu alat atau perangkat keras

yang digunakan untuk melakukan komunikasi melalui perantara tertentu. Telepon

adalah alat yang digunakan untuk berkomunikasi antara dua orang atau lebih yang

bisa dilakukan secara berjauhan atau biasa dibilang tidak face to face.

2.2 Budaya

Konsep budaya sejak awal telah menjadi bahasan utama dalam bidang

antropologi, dan telah memperoleh perhatian dalam perkembangan awal studi

perilaku organisasi (organizational behavior). Konsep budaya pertama kali

muncul ke permukaan sebagai suatu dimensi utama di dalam memahami perilaku

organisasi sehingga banyak karya terakhir berpendapat tentang peran kunci

budaya dalam mencapai keunggulan organisasi (Schein, 2004). Budaya dan

masyarakat merupakan dua buah sisi yang tidak terpisahkan. Pemahaman yang

benar terhadap suatu masyarakat akan membantu memahami budaya masyarakat

tersebut secara utuh dan benar.

Kesadaran mengenai pentingnya peranan budaya dalam sebuah organisasi

semakin mengemuka dan mendapat tempat yang semakin penting dalam kajian

ilmu manajemen. Kajian tersebut kemudian diaplikasikan dalam konteks praktik-

praktik ilmu manajemen sehingga melahirkan istilah budaya perusahaan

(corporate culture) yang dalam perkembangannya telah meluas menjadi kajian

budaya organisasi (organization culture).

Hodgetts & Luthan (2003) mengungkapkan bahwa budaya merupakan suatu

pengetahuan di mana masyarakat menggunakan pengalamannya untuk menghasilkan

suatu sikap diri dan perilaku sosial. Pengetahuan ini akan membentuk nilai-nilai,

53

menciptakan sikap, dan mempengaruhi perilaku masyarakat sebagai anggota

masyarakat atau keluarga masyarakat tertentu yang tidak mungkin dihindari.

Koentjaraningrat (2005) mengartikan konsep kebudayaan itu dalam arti

yang amat luas, yaitu seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia

yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan

oleh manusia sesudah suatu proses belajar. Konsep ini amat luas, karena meliputi

hampir seluruh aktifitas manusia dalam kehidupannya. Hal-hal yang tidak

termasuk kebudayaan adalah hanyalah beberapa refleks yang berdasarkan naluri,

dan kalaupun suatu kegiatan didasarkan naluri seperti makan misalnya, seperti

peralatan, tata cara dan sopan santun makan, yang diperoleh melalui proses

belajar, maka hal itupun temasuk dalam kebudayaan.

Selanjutnya Koentjaraningrat (2005) menyebutkan bahwa wujud

kebudayaan terdiri dari : wujud pertama, wujud idiil dari kebudayaan yang

sifatnya abstrak, tak dapat dilihat tidak dapat diraba atau difoto, lokasinya ada

didalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang

bersangkutan hidup, dan juga kalau sudah dalam bentuk gagasan dan tulisan,

maka lokasinya ada dalam buku dan bentuk penyimpan tulisan lainnya.

Kebudayaan idiil ini, disebut sebagai tata kelakuan. Wujud kedua dari

kebudayaan, disebut dengan sistem sosial, terdiri dari aktifitas-aktifitas manusia

yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain, selalu

mengikuti pola-pola tertentu yang berdasarkan atas tata kelakuan. Sebagai

rangkaian aktifitas manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial ini bersifat

kongkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi dan

54

didokumentasikan. Wujud ketiga dari kebudayaan adalah kebudayaan fisik, dan

memerlukan keterangan banyak, karena merupakan seluruh aktifitas fisik,

perbuatan, dan karya manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling kongkrit,

berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan didokumentasikan.

Susanto, et al (2008) mendefinisikan budaya sebagai sekumpulan

pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat dan kapabilitas serta

kebiasaan yang diperoleh sebagai anggota sebuah perkumpulan atau komunitas

tertentu. Kumpulan budaya yang ada inilah nantinya membentuk budaya nasional

yang membedakan mereka di dalam menetapkan tujuan. Berdasarkan uraian

tersebut diatas, maka implementasi budaya merupakan bentuk perilaku, artinya

perilaku individu akan diwarnai oleh perilaku budaya yang bersangkutan. Hersey

& Blanchard (1992), mengatakan bahwa perilaku pada dasarnya berorientasi pada

tujuan. Dengan kata lain, perilaku pada umumnya dimotivasi oleh keinginan

untuk memperoleh tujuan tertentu. Perilaku yang terjadi pada hakekatnya adalah

hasil interaksi diantara individu yang ada.

I Wayan Geriya (2000) mengungkapkan, dalam transformasi kebudayaan

Bali, perubahan bentuk kebudayaan berimplikasikan dan mempunyai aspek yang

sangat besar dan luas. Cakupan itu tidak saja berupa dimensi, cara, jaringan relasi

fungsional, juga struktur yang terkait dengan pembesaran skala secara horizontal

dan vertikal, tanpa meninggalkan esensi jati diri kebudayaan yang berkelanjutan.

McKean, (1973) menyebutkan bahwa dorongan kreativitas berpikir dan

bekerja orang Bali yang disertai pula dengan tingginya intensitas komunikasi

lintas budaya antara pendukung kebudayaan Bali dengan kebudayaan luar

55

merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika kebudayaan Bali. Secara

historis, kehidupan masyarakat Bali pada masa kini yang menunjukkan

percampuran unsur-unsur kebudayaan dengan ciri-ciri tradisi kecil, tradisi besar,

dan tradisi modern sesungguhnya merupakan bagian dari proses dinamika

kebudayaan yang telah berlangsung sejak berabad-abad.

Budaya yang kerap diacu dalam studi-studi tentang kebudayaan di

Indonesia adalah pengertian kebudayaan yang diajukan oleh pakar ilmu

antropologi Indonesia yakni Koentjaraningrat dan Parsudi Suparlan. Menurut

Koentjaraningrat (1997), kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan dari

sistem nilai, tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang

diperoleh melalui proses belajar. Sementara Parsudi Suparlan (1986),

mendefinisikan kebudayaan sebagai seperangkat model pengetahuan yang

digunakan manusia sebagai pedoman dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

2.2.1 Kebiasaan

Kebiasaan adalah perilaku yang sering kita ulang-ulang baik secara

sengaja atapun tidak sengaja dan perilaku atau kebiasaan tersebut sudah kita

lakukan sejak kecil hingga dewasa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,

kebiasan (folkways) merupakan suatu bentuk perbuatan berulang-ulang (bentuk

yang sama) dilakukan secara sadar dan mempunyai tujuan jelas dan dianggap baik

dan benar (KBBI, 2008). Kebiasaan menurut para psikolog didefinisikan sebagai

perilaku mendapatkan keterampilan-keterampilan gerak dan kemampuan untuk

mempergunakan secara sadar.

56

Seorang psikolog menyatakan bahwa kebiasaan itu terbagi dalam tiga

kelompok, yaitu sebagai berikut :

a. Kebiasaan yang bersifat otomatis seperti gerakan berjalan dan yang sejenis

dengannya. Kebiasaan ini sangat menyerupai dengan gerakan reflek, hanya

saja ada beberapa hal yang membedakan antara keduanya. Kebiasaan otomatis

ini kadang kala berlaku dan muncul sebagai hasil dari proses pengamatan dan

berfikir yang kemudian kebiasaan itu terbentuk dengan sendirinya. Hal ini

jelas berbeda dengan apa yang sering kita sebut dengan gerakan refleks yang

keberadaannya justru tanpa adanya pengaruh pada perasaan serta tanpa

disertai proses berfikir sama sekali.

b. Kebiasaan gerak indra tubuh. Dalam kebiasaan ini, perasaaan sedikit

memerankan perannya, seperti kebiasaan makan, berpakaian dan apa yang

menyerupai kebiasaan itu. Dalam hal ini, penglihatan seseorang terhadap

makanan akan mendorong ia untuk memakannya. Begitulah pula pada saat

seseorang melihat peralatan makan yang ada dihadapannya, maka

penglihatannya akan merangsangnya untuk menggunakan peralatan itu. Sama

halnya pada saat ia memandang perhiasan, maka akan ada dorongan untuk

memakainya.

c. Kebiasaan gerakan berfikir. Kebiasaan ini berbeda dengan 2 jenis yang

disebutkan diatas. Pendoronganya adalah pikiran atau sesuatu yang yang

bersifat maknawi (bukan materi). Contoh kebiasaan ini seperti kebiasaan

berbicara atau berorasi. Seseorang punya kebiasaan seperti ini akan berupaya

untuk memilih kalimat dan kata-kata yang sekiranya pantas yang kemudian

57

proses ini mengubahnya menjadi suatu kebiasaan yang ia lakukan pada saat

berbicara. Contoh kebiasaan ini sangat banyak, yaitu segala kebiasaan yang

motif pendorongnya membutuhkan daya nalar dan kemampuan untuk

memilih. Kebiasaan lain yang bisa dikelompokkan kedalam kebiasaan berfikir

adalah kebiasaan beretika dan kebiasaan sosial. Contoh kebiasaan ini cukup

banyak. Misalnya kebiasaan menjaga kebersihan bersikap jujur, menjalani

hidup dengan baik, serta segala bentuk kebiasaan yang memiliki korelasi

dengan etika berperilaku dan kebiasaan sosial yang menjadi ciri tersendiri bagi

manusia.

Kebiasaan dipengaruhi 3 faktor, yaitu faktor lingkungan, tata aturan dan

nilai-nilai.

1) Lingkungan atau tempat tinggal (misalnya rumah) mempengaruhi kita dalam

beraktivitas yang akhirnya membentuk suatu kebiasaan. faktor usia. Walaupun

ini bukan faktor penentu, usia dapat mempengaruhi kebiasaan seseorang.

Pengalaman dalam bersosialisasi / pergaulan. Jika seseorang memiliki

kematangan emosional yang baik, maka akan terbentuk pribadi yang baik

yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat, sehingga

dimanapun kita berada dapat terjalin keharmonisan dalam pergaulan dengan

masyarakat yang mempengaruhi perilaku kita dalam masyarakat yang

mengarah pada kebiasaan.

2) Tata Aturan

Tata aturan kemasyarakatan atau organisasi sosial yang meliputi: kekerabatan,

organisasi politik, norma atau hukum, perkawinan, kenegaraan, kesatuan

58

hidup dan perkumpulan. Sistim organisasi adalah bagian kebudayaan yang

berisikan semua yang telah dipelajari yang memungkinkan bagi manusia

mengkoordinasikan perilakunya secara efektif dengan tindakan-tindakan

orang lain (Syani, 1995).

3) Nilai-nilai

Nilai dalam bahasa Yunani Axia yang berarti berharga, namun ada

perbedaan konsep antara harga dan nilai dalam bahasa Indonesia. Nilai sama

dengan sesuatu yang menyenangkan kita, nilai identik dengan apa yang

diinginkan, nilai merupakan sarana pelatihan kita, nilai pengalaman pribadi

semata, nilai ide platonic esensi. Menurut Driyarkara (1980), nilai adalah

hakekat suatu hal, yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh manusia.

Menurut Koentjaraningrat (2005), sisten nilai budaya terdiri dari konsep-

konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar keluarga masyarakat,

mengenai hal-hal yang harus mereka anggap bernilai dalam hidup.

Darmodiharjo (2006) mengatakan bahwa nilai adalah kualitas atau

keadaan sesuatu yang bermanfat bagi manusia, baik lahir maupun batin.

Sementara itu Widjaya (1985) mengemukakan bahwa menilai berarti

menimbang, yaitu kegiatan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain

(sebagai standar), untuk selanjutnya mengambil keputusan. Keputusan itu

dapat menyatakan : berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, indah

atau tidak indah, baik atau tidak baik dan seterusnya. Menurut Fraenkel,

sebagaimana dikutip oleh Soenarjati & Cholisin (1989), nilai pada dasarnya

59

disebut sebagai standar penuntun dalam menentukan sesuatu itu baik, indah,

berharga atau tidak.

Pengertian nilai itu bersifat subyektif artinya bahwa nilai dari suatu

obyek itu tergantung pada subyek yang menilainya. Pandangan bahwa nilai itu

subyektif sifatnya antara lain dianut oleh Bertens (1990), yang mengatakan

bahwa nilai berperanan dalam suasana apresiasi atau penilaian dan akibatnya

suatu obyek akan dinilai secara berbeda oleh berbagai orang. Untuk

memahami tentang nilai, ia membandingkannya dengan fakta. Ia

mengilustrasikan dengan obyek peristiwa letusan sebuah gunung pada suatu

saat tertentu. Hal itu dapat dipandang sebagai suatu fakta, yang oleh para ahli

dapat digambarkan secara obyektif. Misalnya para ahli dapat mengukur

tingginya awan panas yang keluar dari kawah, kekuatan gempa yang

menyertai letusan itu, jangka waktu antara setiap letusan dan sebagainya.

Selanjutnya bersamaan dengan itu, obyek peristiwa tersebut dapat dipandang

sebagai nilai.

Bertens menyebutkan bahwa nilai memiliki sekurang-kurangnya tiga

ciri., pertama nilai berkaitan dengan subyek. Kalau tidak ada subyek yang

menilai, maka juga tidak ada nilai. Kedua, nilai tampil dalam suatu konteks

praktis, dimana subyek ingin membuat sesuatu. Dalam pendekatan yang

semata-mata teoritis, tidak akan ada nilai. Dalam hal ini ia mengajukan

pertanyaan kepada pandangan idealis, apakah pendekatan yang murni teoritis

dapat diwujudkan ? Ketiga, nilai menyangkut sifat-sifat yang “ditambah” oleh

60

subyek pada sifat-sifat yang dimiliki oleh obyek. Nilai tidak dimiliki oleh

obyek pada dirinya.

Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas,

dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga

atau berguna bagi kehidupan manusia. Sifat-sifat nilai menurut Daroeso dalam

Kalangie (1994) adalah sebagai berikut: 1) nilai itu suatu realitas abstrak dan

ada dalam kehidupan manusia. Nilai yang bersifat abstrak tidak dapat diindra.

Hal yang dapat diamati hanyalah objek yang bernilai. 2) Nilai memiliki sifat

normatif, artinya nilai mengandung harapan, cita-cita, dan suatu keharusan

sehingga nilai memiliki sifat ideal. Nilai diwujudkan dalam bentuk norma

sebagai landasan manusia dalam bertindak. 3) Nilai berfungsi sebagai daya

dorong dan manusia adalah pendukung nilai. Manusia bertindak berdasar dan

didorong oleh nilai yang diyakininya.

Dalam filsafat, nilai dibedakan dalam tiga macam, yaitu: 1) nilai logika

adalah nilai benar salah; 2) nilai estetika adalah nilai indah tidak indah; dan 3)

nilai etika/moral adalah nilai baik buruk. Nilai moral adalah suatu bagian dari

nilai, yaitu nilai yang menangani kelakuan baik atau buruk dari manusia.

Moral selalu berhubungan dengan nilai, tetapi tidak semua nilai adalah nilai

moral. Moral berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai

moral inilah yang lebih terkait dengan tingkah laku kehidupan kita sehari-hari.

Nilai religius yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak serta

bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia.

61

2.2.2 Keterbukaan

Keterbukaan merupakan wujud sikap jujur, rendah hati, adil, serta mau

menerima pendapat dan kritik dari orang lain. Keterbukaan atau transparansi

berasal dari kata dasar terbuka dan transparan. Secara harafiah transparansi berarti

jernih, tembus cahaya, nyata, jelas, mudah dipahami, tidak keliru, dan tidak sangsi

atau tidak ada keraguan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keterbukaan

berarti hal terbuka, perasaan toleransi dan hati-hati, serta adalah landasan untuk

berkomunikasi.

Dengan demikian keterbukaan atau transparansi adalah tindakan yang

memungkinkan suatu persoalan menjadi jelas mudah dipahami dan tidak

disangsikan lagi kebenarannya. Kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan,

keterbukaan atau transparansi berarti kesediaan pemerintah untuk senantiasa

memberikan informasi faktual mengenai berbagai hal yang berkenaan dengan

proses penyelenggaraan pemerintahan.

Keterbukaan diri atau self disclosure menurut De Janasz (2006) adalah the

process of letting others know what you think, feel, and want. Keterbukaan diri

adalah proses memberi kesempatan kepada pihak lain untuk mengetahui cara kita

berpikir, mengenai perasaan kita tentang sesuatu dan tentang keinginan.

Keterbukaan diri berbeda dengan pengenalan diri (self description). Pengenalan

diri adalah memberikan informasi tentang nama, tempat dan tanggal lahir, nomor

telepon, alamat dan tempat kerja yang sifatnya umum. Keterbukaan diri juga

berarti memberitahukan cara kita bereaksi terhadap suatu situasi, kemudian

menjelaskan dan mendiskusikan pandangan serta pengalaman yang kita miliki

62

tentang situasi tersebut. Keterbukaan diri terhadap pihak tertentu dapat membantu

mereka memahami tentang motivasi, kekuatan, kelemahan dan cara kerja kita.

Berdasarkan uraian di atas, keterbukaan dengan demikian akan

mempengaruhi berbagai aspek kehidupan di suatu negara. Dilihat dari aspek sosial

budaya, keterbukaan akan memberikan ruang gerak bagi masuknya budaya-

budaya Barat yang sama sekali berbeda dengan budaya masyarakat Indonesia.

Dilihat dari aspek ideologi, keterbukaan akan memberikan ruang bagi tumbuh dan

berkembangnya ideologi-ideologi dari luar yang kadang tidak sesuai dengan

kepribadian bangsa. Oleh sebab itu, munculnya era keterbukaan akan membawa

dampak yang sangat buruk, jika kita tidak dapat mempersiapkan diri.

Keterbukaan juga adalah sikap yang dibutuhkan dalam harmonisasi

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berdasarkan penjelasan

tersebut, ciri-ciri keterbukaan sebagai berikut.

a. Terbuka (transparan) dalam proses maupun pelaksanaan kebijakan publik.

b. Menjadi dasar atau pedoman dalam dialog dan berkomunikasi.

c. Berterus terang dan tidak menutup-nutupi kesalahan dirinya maupun

kesalahan yang dilakukan orang lain.

d. Tidak merahasiakan sesuatu yang berdampak pada kecurigaan orang lain.

e. Bersikap hati-hati dan selektif dalam menerima dan mengolah informasi

dari mana pun sumbernya.

f. Toleransi dan tenggang rasa terhadap orang lain.

g. Mau mengakui kelemahan atau kekurangan dirinya atas segala yang

dilakukan.

63

h. Sangat menyadari keberagaman dalam berbagai bidang kehidupan.

i. Mau bekerja sama dan menghargai orang lain.

j. Mau dan mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi.

2.2.3 Kerjasama

Kerjasama berasal dari bahasa Inggris “Cooperation” yang memiliki arti

yang sama yakni kerjasama. Kerjasama merupakan kegiatan bersama antara dua

orang atau lebih untuk mencapai tujuan yang sama. Kerjasama kemudian

berkembang dengan munculnya pengertian-pengertian baru yang lebih

kontemporer sesuai dengan pergerakan zaman. Kerjasama pada masa lalu identik

dalam usaha perdagangan, pada masa sekarang kerjasama menyentuh semua

bidang baik ekonomi, sosial, maupun politik.

Menurut Zainudin (dalam website www.etd.library.ums.ac.id)

mengemukakan yang dimaksud kerjasama yaitu kepedulian satu orang atau satu

pihak dengan orang atau pihak lain yang tercermin dalam suatu kegiatan yang

menguntungkan semua pihak dengan prinsip saling percaya, menghargai dan

adanya norma yang mengatur, makna kerjasama dalam hal ini adalah kerjasama

dalam konteks organisasi, yaitu kerja antar anggota organisasi untuk mencapai

tujuan organisasi (seluruh anggota).

Menurut Dougherty & Pfaltzgraff. (1997), kerjasama merupakan

serangkaian hubungan yang tidak didasarkan atas unsur paksaan dan telah

terlegitimasi. Menurut Kusumohamidjojo (1987) mengenai pengertian kerjasama

yaitu sikap kooperatif dapat bangkit bila ada perkiraan bahwa kerjasama akan

membawa pada dampak yang menguntungkan bila dibandingkan dengan hanya

64

mengandalkan kekuatan sendiri. Tetapi pada umumnya juga disadari bahwa

kerjasama senantiasa membawa konsekuensi tertentu namun demikian suatu

kerjasama senantiasa diusahakan justru karena manfaat yang diperoleh secara

proporsional adalah masih lebih besar daripada konsekuensi yang harus

ditanggung. Perbandingan yang nampak antara manfaat dan konsekuensi dari

suatu kerjasama internasional, salah satu faktor utama yang menentukannya

adalah sifat dari tujuan kerjasama yang hendak dicapai dalam persoalan yang

tidak mengandung banyak risiko. Orang misalnya lebih berani memulai suatu

kerjasama di bidang kebudayaan dari pada di bidang militer.

Cooley menyampaikan bahwa kerjasama dapat terjadi dan timbul apabila

orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama

dan pada saat bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian

terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut.

Kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya

organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna.

(Cooley, 1994).

2.2.4 Kearifan lokal

Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak

dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal sebagai suatu

pengetahuan yang ditemukan oleh masyarakat lokal tertentu melalui kumpulan

pengalaman dalam mencoba dan diintegrasikan dengan pemahaman terhadap

budaya dan keadaan alam suatu tempat.

65

Menurut Oding,S (2002) kearifan lokal dicirikan dengan dasar

kemandirian dan keswadayaan, memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses

pemberdayaan, menjamin daya hidup dan keberlanjutan, mendorong teknologi

tepat guna, menjamin tepat guna yang efektif dari segi biaya dan memberikan

kesempatan untuk memahami dan memfasilitasi perancangan pendekatan program

yang sesuai.

Perekonomian berkelanjutan yaitu pembangunan yang dapat memenuhi

kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang

untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Secara harfiah, pembangunan berkelanjutan

mengacu pada upaya memelihara/mempertahankan kegiatan membangun

(development) secara terus menerus. Pembangunan selalu memiliki implikasi

ekonomi, serta pada kenyataannya, pembangunan memiliki dimensi sosial dan

politik yang kental. Pembangunan, dapat dikatakan sebagai vektor dari tujuan

sosial dari suatu masyarakat (society), dimana tujuan tersebut merupakan atribut

dari apa yang ingin dicapai atau dimaksimalkan oleh masyarakat tersebut. Atribut

tersebut dapat mencakup: kenaikan pendapatan per kapita, perbaikan kondisi gizi

dan kesehatan, pendidikan, akses kepada sumberdaya, distribusi pendapatan yang

lebih merata, dan sebagainya. Sehingga konsep berkelanjutan dapat diartikan

sebagai persyaratan umum dimana karakter vektor pembangunan tadi tidak

berkurang sejalan dengan waktu (Pearce et al., 1992)

Tiga tujuan inti pembangunan yaitu peningkatan ketersediaan serta

perluasan distribusi berbagai barang kebutuhan pokok seperti pangan, sandang,

papan, kesehatan, dan perlindungan keamanan. Peningkatan standar hidup yang

66

tidak hanya berupa peningkatan pendapatan tetapi juga meliputi penyediaan

lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas

nilai kultural dan kemanusiaan yang kesemuanya itu tidak hanya untuk

memperbaiki kesejahteraan materiil melainkan juga untuk menumbuhkan harga

diri pada pribadi dan bangsa yang bersangkutan. Perluasaan pilihan-pilihan

ekonomi dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan, yakni

dengan membebaskan mereka dari belitan sikap menghamba dan ketergantungan

bukan hanya terhadap orang atau negara lain, namun juga terhadap setiap

kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan mereka.

(Todaro,2006)

Pembangunan sebagai suatu proses pada hakikatnya merupakan

pembaharuan yang terencana dan dilaksanakan dalam tempo yang relatif cepat.

Tidak dapat dipungkiri pembangunan telah membawa kita pada kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi, pertumbuhan ekonomi, peningkatan kecanggihan

sarana komunikasi, dan sebagainya. Akan tetapi, pada sisi yang lain,

pembangunan yang hanya dipandu oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi dan

keamanan, yang dalam kenyataannya telah meningkatkan kesejahteraan sebagian

dari keseluruhan kehidupan masyarakat, telah pula menciptakan jarak yang lebar

antara kecanggihan dan keterbelakangan.

Setiap tindakan manusia yang berpedoman pada nilai, norma, aturan,

hukum, dan adat-istiadat disebut “tindakan berpola” atau action. Sebagai mahluk

berbudaya, sebagian besar tindakan manusia tergolong tindakan berpola dan

hanya sebagian kecil saja yang bukan tergolong tindakan berpola atau behavior

67

(seperti gerak refleks dan gerakan naluriah lainnya). Demikian pula kearifan lokal

dapat dikatakan sebagai suatu bentuk mekanisme kontrol terhadap pengelolaan

sumber-sumber daya alam. Kearifan lokal tersebut kerap tersembunyi di balik

konsepsi keyakinan yang tertuang dalam mitos-mitos dan upacara ritual berkaitan

dengan hal-hal yang dianggap suci dan keramat. Namun sesungguhnya di balik

mitos dan praktik-praktik ritual tersebut sesungguhnya tersembunyi manfaat

ekologis yang besar, yakni sebagai mekanisme control terhadap pengelolaan

lingkungan yang cukup efektif.

Jadi dengan adanya kepercayaan seperti dikemukakan di atas, manusia

tidak dapat mengeksploitasi lingkungannya sekehendak hati, sehingga kelestarian

ekologis akan tetap terjaga. Contohnya di Bali, seperangkat kepercayaan

tradisional yang merupakan bagian integral dari sistem kepercayaan agama Hindu

juga terbukti memberi manfaat positif bagi kelestarian dan pelestarian sistem

ekologi. Masyarakat desa adat Sangeh (Badung), Kukuh (Tabanan), dan Padang

Tegal (Gianyar), dan lainnya, selalu menjaga keberadaan kawasan hutan-hutan

setempat beserta isinya karena sebagai tempat bersemayamnya dewa-dewa yang

melindungi kehidupan mereka. Masyarakat di sekitarnya pantang mengganggu

keberadaan flora dan fauna serta sumber daya lainnya yang ada di dalam

lingkungan hutan, karena percaya bahwa para dewa selalu mengawasi dan akan

memberi ganjaran kepada siapa saja yang berani mengusik keberadaan hutan

tersebut. Diakui atau tidak, kepercayaan tersebut telah terbukti memberikan

manfaat ekologis bahkan juga manfaat ekonomis bagi masyarakat setempat.

Manfaat ekologis yang dimaksud adalah terjaganya kelestarian ekosistem hutan

68

dan satwa keranya, sedangkan manfaat ekonomisnya berupa devisa yang

diperoleh melalui pengelolaan kawasan hutan berikut satwa kera di dalamnya

sebagai daya tarik wisata.

Kearifan lokal juga tercermin dalam konsep zonasi yang memandang

gunung sebagai zone luan (hulu atau kepala) yang bernilai suci atau sakral.

Berlandaskan konsepsi tersebut maka kawasan pegunungan yang membentang di

wilayah Bali Tengah merupakan kawasan yang dianggap suci dan merupakan ulu

atau kepala baik bagi wilayah Bali Utara maupun Bali Selatan.

Kearifan lokal merupakan suatu kelembagaan informal yang mengatur

hubungan atas pengolahan sumber daya di suatu masyarakat. Hal ini dapat

diuraikan bahwa tradisi (invented tradition) sebagai seperangkat aksi atau

tindakan yang biasanya ditentukan oleh aturan-aturan yang dapat diterima secara

jelas atau samar-samar maupun suatu ritual atau sifat simbolik, yang ingin

menanamkan nilai-nilai dan norma-norma perilaku tertentu melalui pengulangan,

yang secara otomatis mengimplikasikan adanya kesinambungan dengan masa lalu.

Diantara fenomena atau wujud kearifan lokal, yang merupakan bagian inti

kebudayaan adalah nilai-nilai dan konsep-konsep dasar yang memberikan arah

bagi berbagai tindakan. Menggali dan menanamkan kembali kearifan lokal secara

mewarisi dapat dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya

daerahnya sendiri sebagai bagian upaya membangun identitas suatu daerah, yang

memiliki korelasi menciptakan langkah – langkah strategis dan nyata dalam

memberdayakan dan mengembangkan potensi (sosial, budaya, ekonomi, politik

69

dan keamanan) daerah secara optimal serta sebagai filter dalam menyeleksi

berbagai pengaruh budaya dari luar.

2.2.5 Pola pikir

Pola adalah bentuk atau patron atau model atau juga cara. Dengan

demikian pola pikir itu sebenarnya adalah bentuk pikir atau cara kita berpikir

yang disebut “ mindset“. Kata mindset terdiri atas dua kata yakni “mind” dan

“set”. Mind merupakan sumber pikiran dan memori atau pusat kesadaran yang

menghasilkan pikiran, perasaan, ide, dan menyimpan pengetahuan dan memori

tentang segala macam hal-hal yang pernah dilakukan sendiri maupun kejadian apa

saja yang dibaca, dilihat, dan dijalani diri sendiri maupun orang lain. Set adalah

kepercayaan-kepercayaan yang mempengaruhi sikap seseorang; atau suatu cara

berpikir yang menentukan prilaku dan pandangan, sikap dan masa depan

seseorang.

Mindset atau pola pikir itu adalah kepercayaan (belief) atau sekumpulan

kepercayaan (set of biliefs) atau cara berpikir yang mempengaruhi prilaku (behavior)

dan sikap (attitude) seseorang yang akhirnya menentukan level hasil akhir dari

hidupnya. Setiap orang atau manusia secara individu pada dasarnya memiliki ide,

pendapat, rencana, cita-cita. Unsur-unsur tersebut diolah oleh otak / akal / pikiran dan

selalu dipengaruhi atau ditentukan oleh attitude atau sikap perilakunya.

Pola pikir dalam penelitian ini mengacu pada sistem nilai atau disebut

kebudayaan dalam wujud idea, antara lain mencakup nilai, norma, aturan, hukum,

dan adat-istiadat. Sifatnya sangat abstrak (tidak dapat dilihat, atau diambil) dan

tersimpan di setiap kepala individu warga masyarakat termasuk pengrajin industri

70

kayu. Meskipun bersifat abstrak, namun ia ada dan berfungsi sebagai pedoman

yang menata tindakan atau tingkah laku manusia. Kerjasama, kebiasaan, dan

keterbukaan merupakan kebudayaan dalam wujud sistem tindakan atau perilaku

terdiri dari berbagai tindakan atau tingkah laku manusia yang berpedoman atau

ditata oleh nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan, hukum, dan adat-istiadat yang

berlaku.

Sikap perilaku menurut Thomas dalam Ahmadi (1999) diartikan sebagai

tingkatan kecenderungan yang bersifat positif maupun negatif, yang berhubungan

dengan obyek psikologi. Obyek psikologi di sini meliputi : simbol, kata-kata,

slogan, orang, lembaga, ide dan sebagainya. Sementara menurut Sarnoff dalam

Sarwono (2000) mengidentifikasikan sikap sebagai kesediaan untuk bereaksi

(disposition to react) secara positif (favorably) atau secara negatif (unfavorably)

terhadap obyek – obyek tertentu. D.Krech dan R.S Crutchfield dalam (Sears,

1999) berpendapat bahwa sikap sebagai organisasi yang bersifat menetap dari

proses motivasional, emosional, perseptual, dan kognitif mengenai aspek dunia

individu.

La Pierre dalam Azwar (2003) memberikan definisi sikap sebagai suatu

pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan

diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap

stimuli sosial yang telah terkondisikan. Lebih lanjut Soetarno (1994) memberikan

definisi sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk

bertindak terhadap obyek tertentu. Sikap senantiasa diarahkan kepada sesuatu

71

artinya tidak ada sikap tanpa obyek. Sikap diarahkan kepada benda-benda, orang,

peritiwa, pandangan, lembaga, norma dan lain-lain.

Meskipun ada beberapa perbedaan pengertian sikap, tetapi berdasarkan

pendapat-pendapat tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa sikap adalah

keadaan diri dalam manusia yang menggerakkan untuk bertindak atau berbuat

dalam kegiatan sosial dengan perasaan tertentu di dalam menanggapi obyek

situasi atau kondisi di lingkungan sekitarnya. Selain itu sikap juga memberikan

kesiapan untuk merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap obyek atau

situasi.

Dalam interaksi sosial, individu membentuk pola sikap tertentu terhadap

berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Diantara berbagai faktor yang

mempengaruhi pembentukan sikap adalah sebagai berikut :

a. Pengalaman pribadi. Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap,

pengalaman pribadi harus meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu,

sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut

melibatkan faktor emosional. Dalam situasi yang melibatkan emosi,

penghayatan akan pengalaman akan lebih mendalam dan lebih lama

berbekas.

b. Kebudayaan. B.F. Skinner dalam, Azwar (2005) menekankan pengaruh

lingkungan (termasuk kebudayaan) dalam membentuk kepribadian

seseorang. Kepribadian tidak lain dari pada pola perilaku yang konsisten

yang menggambarkan sejarah reinforcement (penguatan, ganjaran) yang

72

dimiliki. Pola reinforcement dari masyarakat untuk sikap dan perilaku

tersebut, bukan untuk sikap dan perilaku yang lain.

c. Orang lain yang dianggap penting. Pada umumnya, individu bersikap

konformis atau searah dengan sikap orang orang yang dianggapnya

penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk

berafiliasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang

dianggap penting tersebut.

d. Media massa. Sebagai sarana komunikasi, berbagai media massa seperti

televisi, radio, mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan

kepercayaan orang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal

memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap terhadap hal

tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa informasi tersebut, apabila

cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam mempersepsikan dan

menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.

e. Institusi Pendidikan dan Agama. Sebagai suatu sistem, institusi pendidikan

dan agama mempunyai pengaruh kuat dalam pembentukan sikap

dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral

dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah

antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh dilakukan, diperoleh dari

pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.

f. Faktor emosi dalam diri. Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi

lingkungan dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang, suatu

bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang

73

berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk

mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian bersifat sementara dan segera

berlalu begitu frustasi telah hilang akan tetapi dapat pula merupakan sikap

yang lebih persisten dan lebih tahan lama, contohnya bentuk sikap yang

didasari oleh faktor emosional adalah prasangka.

g. Pola tindak. Pola tindak merupakan corak atau cara berpikir dan bertindak

yang dilakukan berulang-ulang oleh banyak orang. Suatu peristiwa disebut

pola tindakan tertentu jika dilakukan oleh setiap anggota kelompok

masyarakat dan diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya.

Pola tindakan terdiri atas beberapa unsur antara lain:

1) Gotong Royong

Persatuan dan kesatuan hanya terwujud melalui gotong royong, suatu

sikap kebersamaan dan tenggang rasa, baik dalam suka maupun duka,

kehidupan keluarga dan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dengan gotong royong itu setiap orang menemui dirinya dalam

persatuan dan kesatuan dalam pribadi/keluarga maupun masyarakat.

2) Prasaja

Keadilan sosial bagi seluruh masyarakat tidak akan terwujud apabila

kehidupan yang sederhana, hemat, cermat, disiplin, profesional dan

tertib tidak dilaksanakan. Kesederhanaan itu bahkan memudahkan

terjadinya gotong royong yang mewujudkan kesatuan dan persatuan.

74

3) Musyawarah untuk Mufakat

Mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan golongan atau

perorangan dapat menemui perbedaan yang tidak dapat diakhiri

dengan perpecahan dan perpisahan, maupun pertentangan. Agar

persatuan dan kesatuan tetap terbina, maka musyawarah untuk mufakat

tentang kepemimpinan, pengelolaan dan pengenalian adalah syarat

mutlak.

4) Kesatria

Persatuan dan kesatuan, maupun keadilan sosial tidak dapat terwujud

tanpa keberanian, kejujuran, kesetiaan, pengabdian dan perjuangan

yang tidak mengenal menyerah demi kehidupan bersama. Dengan

kesatria, cinta terhadap tanah air, bangsa dan negara maupun sikap

perjuangan dan profesional dapat berlangsung sepanjang masa.

5) Dinamis

Kehidupan pribadi/keluarga, bangsa dan negara juga bersifat dinamis

sesuai dengan zaman, sehingga waktu sangat penting dalam rangka

persatuan dan kesatuan, maupun keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia.

2.3 Orientasi Kewirausahaan

Pengertian orientasi kewirausahaan (entrepreneurial orientation = EO)

berkaitan dengan aspek psikometrik yang dilihat dari inovasinya, sifat proaktifnya

dan keberanian mengambil risiko. Dari ketiga dimensi ini bisa dilihat orientasi

kewirausahaan seseorang (Covin dan Slevin,1989). Miller dan Friesen (1982)

75

berpendapat bahwa kewirausahaan menjadi berbeda karena memiliki titik berat

pada inovasi produk baru. Hal ini ditandai oleh beberapa organisasi yang

mempunyai kemauan berinovasi secara berani dan regular pada pengambilan

risiko yang cukup besar dalam strategi pemasaran produknya.

Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan

dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari peluang menuju kesuksesan. Beberapa

literatur manajemen memberikan tiga landasan dimensi-dimensi dari

kecenderungan organisasional untuk proses manajemen kewirausahaan, yakni

kemampuan inovasi, kemampuan mengambil risiko, dan sifat proaktif

(Weerawardeena, 2003; Matsuno, Mentzer dan Ozsomer, 2002). Kewirausahaan

dikenal sebagai pendekatan baru dalam pembaruan kinerja perusahaan. Hal ini,

tentu harus direspon secara positif oleh perusahaan yang mulai mencoba bangkit

dari keterpurukan ekonomi akibat krisis berkepanjangan. Kewirausahaan disebut-

sebut sebagai spearhead (pelopor) untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi

perusahaan berkelanjutan dan berdaya saing tinggi.

Orientasi kewirausahaan memiliki tiga karakteristik utama, yaitu inovasi,

pengambilan risiko, dan proaktif (Covin dan Slevin, 1991; Milleret al., 1982;

Miller dan Friesen, 1982). Sementara menurut G. T. Lumpkin and Gregory G.

Dess (2008) bahwa orientasi kewirausahaan menyebutkan lima karakteristik yaitu

kemandirian, inovasi, pengambilan risiko, proaktif dan keagresifan dalam

bersaing.

Menurut Covin dan Slevin (1991), orientasi kewirausahaan ditunjukkan oleh

sejauh mana manajer puncak cenderung untuk mengambil risiko yang terkait dengan

76

bisnis (dimensi risiko), mendukung perubahan dan inovasi dalam rangka untuk

mendapatkan keuntungan kompetitif bagi perusahaan mereka (dimensi inovasi), dan

bersaing secara agresif dengan perusahaan lain (dimensi proaktif). Selanjutnya Covin

dan Slevin (1991) dalam Kreiser et al. (2002) mengungkapkan bahwa orientasi

kewirausahaan (entrepreneurial orientation) berkaitan dengan aspek psikometrik yang

dilihat dari motivasinya, sifat proaktifnya dan keberanian mengambil risiko. Dari tiga

dimensi ini bisa dilihat orientasi kewirausahaan seseorang.

Lumpkin dan Dess (1996) memberi pengertian bahwa orientasi

kewirausahaan mengacu pada suatu strategi orientasi perusahaan untuk

memperoleh gaya, praktek, dan metoda pengambilan keputusan. Selanjutnya

diungkapkan juga bahwa orientasi kewirausahaan mencerminkan bagaimana suatu

perusahaan beroperasi dibandingkan dengan apa yang direncanakan.

Definisi orientasi wirausaha yang digunakan Miller dan Friesen (1982)

dicirikan oleh unsur innovationess, proactiveness dan risk taking. Kebanyakan

penelitian dilakukan berdasar pada kerja dari Miller et al. (1982) misalnya Covin

dan Slevin (1991) dan Miles, Arnold dan Thompson (1993). Kurang lebih terdapat

12 penelitian yang dilakukan berdasarkan instrumen yang dikembangkan Milleret

al. (1983), Covin dan Slevin (1991). Hal ini menunjukkan bahwa instrumen

tersebut dapat terus digunakan untuk mengukur tingkat wirausaha organisasi

(Wiklund, 1995 dalam Lumpkin dan Dess,1996).

Membangun kewirausahaan dinyatakan sebagai satu dari empat pilar

dalam memperkuat lapangan pekerjaan. Wirausaha sendiri berarti suatu kegiatan

manusia dengan mengerahkan tenaga pikiran atau badan untuk mencapai/

77

menciptakan suatu pekerjaan yang dapat mewujudkan insan mulia. Dengan kata

lain, wirausaha berarti manusia utama (unggul) dalam menghasilkan suatu

pekerjaan bagi dirinya sendiri atau orang lain. Orang yang melakukan wirausaha

dinamakan wirausahawan. Bentuk dari aplikasi atas sikap-sikap kewirausahaan

dapat diindikasikan dengan orientasi kewirausahaan dengan indikasi kemampuan

inovasi, proatifitas, dan kemampuan mengambil risiko (Looy et al. 2003).

Lumpkin dan Dess (1996) menyatakan bahwa penerapan konsep orientasi

wirausaha terdapat dalam literatur strategi. Selanjutnya dijelaskan bahwa orientasi

wirausaha mengacu pada proses, praktek dan aktivitas pembuatan keputusan.

Meskipun banyak penelitian empiris mengenai kewirausahan terfokus pada

analisis tingkat individual, namun para peneliti saat ini lebih berfokus pada

kewirausahaan sebagai perilaku tingkat organisasi. Wiklund (1995) dan Miller (1983)

dalam Lumpkin dan Dess (1996) mendefinisikan organisasi wirausaha sebagai

organisasi yang pertama dalam inovasi produk pasar, berani mengambil sejumlah risiko

dan pertama secara proaktif memperkenalkan inovasi produk yang memukul

kompetitor dengan telak. Dia menggunakan tiga dimensi wirausaha dari total tujuh

dimensi seperti yang diusulkan oleh Miller dan Friesen (1982). Lumpkin dan Dess

(1996) menambah dua dimensi orientasi wirausaha yakni kecenderungan untuk

bertindak otonomi (autonomy) dan kecenderungan untuk menjadi agresif ketika

berhadapan dengan pesaing (competitive aggressiveness). Jadi mereka mendefinisikan

orientasi wirausaha sebagai innovativeness, proactiveness, risk taking, autonomy dan

competitive aggressiveness dengan penjelasan sebagai berikut.

78

2.3.1 Kemandirian

Kewirausahaan telah berkembang karena orang yang berpikir mandiri

untuk meninggalkan posisi aman dalam rangka untuk mempromosikan ide-ide

baru atau usaha ke pasar baru, daripada membiarkan atasan organisasi dan proses

untuk menghambat mereka. Dalam organisasi juga, itu adalah kebebasan yang

diberikan kepada individu dan tim yang dapat melatih kreativitas mereka.

Dengan demikian, konsep kemandirian adalah dimensi utama dari

orientasi kewirausahaan. Kemandirian mengacu pada tindakan independen dari

individu atau tim dalam menghasilkan ide atau visi dan membawanya sampai

selesai. Secara umum, itu berarti kemampuan dan kemauan untuk menjadi

mandiri dalam mengejar peluang. Dalam konteks organisasi, mengacu pada

tindakan yang diambil bebas dari kendala organisasi. Jadi, meskipun faktor-faktor

seperti ketersediaan sumber daya, tindakan oleh pesaing yang kompetitif, atau

pertimbangan organisasi internal dapat mengubah jalannya inisiatif perusahaan

baru.

Mintzberg (1973) dan Mintzberg dan Waters (1985) menggambarkan

strategi seseorang melakukan wirausaha yaitu karena tindakan tegas dan berisiko

diambil oleh seorang pemimpin yang kuat. Hal tersebut ditambah dengan

kemampuan untuk memaksakan bahwa visi organisasi melalui kontrol tindakan

pribadi sang pemimpin (Mintzberg & Waters, 1985: 260, penekanan

ditambahkan).

Bourgeois dan Brodwin (1984) mengemukakan bahwa strategi dimulai

dalam organisasi melalui kewirausahaan individu. Model ini menunjukkan bahwa

79

dorongan untuk usaha baru sering terjadi pada tingkat yang lebih rendah dalam

suatu organisasi (Bower, 1970) dan mencerminkan pentingnya kemandirian

kepada anggota organisasi yang mungkin ditemukan dalam pengaturan usaha

internal perusahaan. Miller (1983) menemukan bahwa sebagian besar perusahaan

kewirausahaan memiliki pemimpin yang mandiri. Artinya, di perusahaan-

perusahaan kecil sederhana, tingginya tingkat aktivitas kewirausahaan dikaitkan

dengan kepala eksekutif yang mempertahankan otoritas pusat yang kuat dan juga

bertindak sebagai pemimpin pengetahuan perusahaan dengan menyadari teknologi

yang muncul dan pasar.

Dalam sebuah studi dari pengambilan keputusan oleh 32 perusahaan India,

Shrivastava dan Grant (1985) menemukan ketergantungan yang kuat serupa di otokrasi

manajerial antara 10 perusahaan di mana manajer kunci tunggal adalah pengambilan

keputusan utama agen. Dari 10 perusahaan tersebut, 8 diklasifikasikan sebagai

"kewirausahaan". Untuk mempromosikan intrapreneurship (Pinchot, 1985), banyak

perusahaan besar telah terlibat dalam perubahan struktur organisasi seperti perataan

hierarki dan mendelegasikan wewenang untuk unit operasi. Langkah ini dimaksudkan

untuk mendorong otonomi, tetapi proses otonomi organisasi membutuhkan lebih dari

perubahan desain. Perusahaan harus benar-benar memberikan otonomi dan mendorong

pemain organisasi untuk latihan itu (Quinn, 1979).

2.3.2 Kecenderungan untuk berinovasi (innovativeness)

Kemampuan inovasi berhubungan dengan persepsi dan aktivitas terhadap

aktivitas-aktivitas bisnis yang baru dan unik (Schumpeter dan Milton, 1989).

Kemampuan berinovasi adalah titik penting dari kewirausahaan dan esensi dari

80

karakteristik kewirausahaan (Koh, 1997). Para peneliti menganggap bahwa inovasi

merupakan jantung dari kewirausahaan (Covin dan Miles, 1999; Jennings dan Young,

1990; Schollhammer, 1982; Schumpeter; 1934, 1942) dalam Kreiseret al, 2010)).

Dimensi innovatiness mencerminkan kecenderungan organisasi untuk menggunakan

dan mendukung ide-ide baru, eksperimen dan proses kreatif yang mungkin berhasil

dalam memperkenalkan produk atau jasa baru, hal-hal baru atau proses teknologi

(Lumpkin dan Dess, 1996). Dengan demikian, innovatiness merupakan kemauan dasar

untuk meninggalkan teknologi atau praktik-praktik yang lama dan sudah ada untuk

mencari hal-hal baru untuk menuju ke arah yang lebih baik.

Berdasarkan hasil penelitian Frese, Brantjes dan Hoorn (2002)

kecenderungan organisasi untuk inovasi (innovativeness) secara positif

berhubungan dengan sukses organisasi karena dengan ide baru, organisasi dapat

menangkap segmen penting dalam pasar. Tingkat inovasi yang tinggi akan

meningkatkan kinerja organisasi (Kreiser et al., 2010).

2.3.3 Kecenderungan bertindak proaktif (proactiveness)

Proaktifitas seseorang untuk berusaha berprestasi merupakan petunjuk lain

dari aplikasi atas orientasi kewirausahaan secara pribadi. Demikian pula bila suatu

perusahaan menekankan proaktifitas dalam kegiatan bisnisnya, maka perusahaan

tersebut telah melakukan aktifitas kewirausahaan yang akan secara otomatis

mendorong tinginya kinerja (Weerawardena, 2003,424). Perusahaan dengan

aktifitas kewirausahaan yang tinggi berarti tampak dari tingginya semangat yang

tidak pernah padam karena hambatan, rintangan, dan tantangan. Sikap aktif dan

dinamis adalah kata kuncinya. (Doukakis, 2002).

81

Dimensi kedua dari orientasi wirausaha, yaitu proactiveness. Sikap

proaktif mengacu pada perspektif forward looking (cara pandang ke depan) dalam

pengambilan inisiatif dengan mengantisipasi dan mengejar peluang baru dan

berpartisipasi dalam pasar yang muncul (Lumpkin dan Dess, 1996). Senada

dengan Yeoh dan Joeng (1995) dalam Kreiseret al. (2010) yang mendefinisikan

proaktif untuk bersaing dengan pesaingnya. Organisasi proaktif cenderung

menjadi pemimpin daripada pengikut, karena memiliki keinginan dan pandangan

ke depan untuk menangkap peluang baru sekalipun tidak selalu menjadi yang

pertama melakukan hal tersebut.

2.3.4 Kecenderungan berani mengambil risiko (risk taking)

Seseorang yang berani mengambil risiko dapat didefinisikan sebagai

seseorang yang berorientasi pada peluang dalam ketidakpastian konteks

pengambilan keputusan. Hambatan risiko merupakan faktor kunci yang

membedakan perusahaan dengan jiwa wirausaha dan tidak. Fungsi utama dari

tingginya orientasi kewirausahaan adalah bagaimana melibatkan pengukuran

risiko dan pengambilan risiko secara optimal (Looy et al. 2003).

Konsep risk taking telah lama dihubungkan dengan kewirausahaan.

Dimensi ini mencerminkan kemauan aktif organisasi untuk mengejar peluang

meskipun peluang tersebut mengandung risiko dan hasilnya tidak pasti (Caruana

et al., 2001). Dimensi ini menangkap tingkat pengambilan risiko dalam berbagai

keputusan alokasi sumber daya seperti halnya pilihan produk dan pasar

(Venkatraman, 1989). Meskipun pengambilan risiko biasanya dipandang sebagai

ciri atau sifat individu, namun Venkatraman memandangnya sebagai suatu

82

konstruk tingkat organisasi. Risiko diperhitungkan dalam arti bahwa pengusaha

secara objektif mengidentifikasi faktor-faktor kunci risiko dan sumber-sumber

risiko dan kemudian secara sistematis mencoba untuk mengelola atau mengurangi

faktor-faktor ini.

Perilaku pengambilan risiko oleh organisasi dapat berupa tindakan

pengambilan risiko yang berisiko kecil seperti mendepositokan uang di bank

hingga tindakan yang berisiko tinggi seperti meminjam uang di bank, investasi

dalam teknologi yang belum dieksplorasi ataupun membawa produk baru ke

dalam pasar yang baru (Lumpkin dan Dess, 1996). Senada dengan Frese, Brantjes

dan Hoorn (2002) yang menyatakan bahwa pengambilan risiko dapat dilihat

sebagai usaha organisasi terhadap hal yang tidak diketahui misalnya penyelidikan

dalam teknologi yang belum dieksplorasi.

Begley dan Boyd (1987) dalam Kreiseret al. (2010) menemukan bahwa

kecenderungan organisasi untuk berani mengambil risiko (risk taking) memiliki

pengaruh positif pada kinerja organisasi. Kecenderungan sikap risk taking

berhubungan secara positif dengan sukses organisasi karena manajer ataupun

pemilik organisasi dapat membuat perjanjian yang menguntungkan bagi

organisasinya (Frese, Brantjes dan Horn, 2002).

Menurut Gima dan Anthony (2001), organisasi dengan kemampuan

orientasi kewirausahaan yang tinggi cenderung mampu berkinerja lebih baik

dibandingkan dengan para pesaing dalam hal; pangsa pasar, kecepatan di dalam

memasuki pasar, dan tingkat kualitas produk. Dijelaskan pula bahwa orientasi

83

kewirausahaan akan mampu membawa organisasi menuju kinerja unggul

(Becherer dan Maurer, 1999; Vitale et. al., 2003; Todorovic dan Ma, 2008).

2.3.5 Keagresifan bersaing

Stinchcombe (1965) dalam Lumpkin and Dess (2008) menyatakan bahwa

perusahaan-perusahaan muda sangat rentan terhadap "kewajiban kebaruan" dan

karena itu harus mengambil langkah-langkah untuk membangun legitimasi dan

kekuasaan relatif terhadap pemasok, pelanggan, dan pesaing lainnya. Karena

usaha baru yang jauh lebih mungkin untuk gagal daripada bisnis yang didirikan.

Lumpkin and Dess (2008) mengutip MacMillan (1982) dan Porter (1985)

menyatakan bahwa banyak sarjana berpendapat bahwa sikap agresif dan

persaingan yang ketat sangat penting untuk kelangsungan hidup dan keberhasilan

pendatang baru. Dengan demikian, agresivitas bersaing adalah kelima dimensi

kewirausahaan yang sering disebutkan dalam literatur.

Agresivitas kompetitif mengacu pada kecenderungan perusahaan untuk

secara langsung dan intens menantang pesaingnya. Keagresifan bersaing ditandai

dengan respon, yang mungkin mengambil bentuk konfrontasi secara head-to-

head. Pentingnya variabel ini sebagai dimensi orientasi kewirausahaan disorot

dalam sebuah studi dari proses kewirausahaan dari perusahaan AS di pasar global,

di mana Dean (1993) menemukan bahwa keagresifan bersaing menjelaskan jauh

lebih varians (37 persen) dalam kewirausahaan perusahaan daripada strategi lain

atau variabel struktural dianalisis.

84

2.4 Kinerja Usaha

2.4.1 Pengertian kinerja usaha

Kinerja merupakan gambaran mengenai sejauh mana keberhasilan atau

kegagalan organisasi dalam menjalankan tugas dan fungsi pokoknya dalam rangka

mewujudkan sasaran, tujuan, visi, dan misinya. Dengan kata lain, kinerja

merupakan prestasi yang dapat dicapai oleh organisasi dalam periode tertentu.

Menurut Fauzi (1995: 207) “Kinerja merupakan suatu istilah umum yang

digunakan untuk sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu

organisasi pada suatu periode, seiring dengan referensi pada sejumlah standar

seperti biaya-biaya masa lalu atau yang diproyeksikan, suatu dasar efisiensi,

pertanggungjawaban atau akuntabilitas manajemen dan semacamnya”.

Menurut Mulyadi (2001: 337) Kinerja adalah keberhasilan personil, tim,

atau unit organisasi dalam mewujudkan sasaran strategik yang telah ditetapkan

sebelumnya dengan perilaku yang diharapkan. Kinerja perusahaan merupakan

sesuatu yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dalam periode tertentu dengan

mengacu pada standar yang ditetapkan. Kinerja perusahaan hendaknya merupakan

hasil yang dapat diukur dan menggambarkan kondisi empirik suatu perusahaan

dari berbagai ukuran yang disepakati.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah kemampuan, usaha, dan

kesempatan personel, tim, atau unit organisasi dalam melaksanakan tugasnya

untuk mewujudkan sasaran strategik yang telah ditetapkan. Keberhasilan

pencapaian strategik yang menjadi basis pengukuran kinerja perlu ditentukan

ukurannya, dan ditentukan inisiatif strategik untuk mewujudkan sasaran-sasaran

85

tersebut. Sasaran strategik beserta ukurannya kemudian digunakan untuk

menentukan target yang dijadikan basis penilaian kinerja. Oleh karena itu,

pengukuran kinerja adalah tindakan pengukuran yang dapat dilakukan terhadap

aktivitas dari berbagai rantai nilai yang ada pada perusahaan. Hasil pengukuran

tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang akan memberikan

informasi tentang pelaksanaan suatu rencana dimana perusahaan memerlukan

penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan pengendalian tersebut.

Demirbag et al. (2006) yang menyimpulkan bahwa keberhasilan usaha kecil

dan menengah (small-medium enterprises) memiliki dampak langsung terhadap

pembangunan ekonomi baik pada negara maju maupun negara berkembang. Usaha

kecil dan menengah memiliki kemampuan untuk menciptakan lapangan kerja dengan

biaya minimum, mereka adalah pelopor dalam dunia inovasi dan memiliki fleksibilitas

tinggi yang memungkinkan usaha tersbut untuk memenuhi kebutuhan pelanggan

(Brock dan Evans, 1986; ACS dan Audretsch, 1990).

2.4.2 Aspek-aspek kinerja usaha

2.4.2.1 Pertumbuhan penjualan

Menurut Warren et al. yang diterjemahkan oleh Farahmita dkk. (2006)

“penjualan adalah jumlah yang dibebankan kepada pelanggan untuk barang

dagang yang dijual, baik secara tunai maupun kredit”. Definisi penjualan

tersebut menekankan bahwa penjualan merupakan suatu proses pembebanan

sejumlah biaya baik secara tunai maupun kredit kepada pelanggan atas barang

atau jasa yang didapatkannya. Pertumbuhan atas penjualan merupakan indikator

dari penerimaan pasar atas produk atau jasa yang dihasilkan, dan pendapatan yang

86

dihasilkan dari penjualan tersebut dapat digunakan untuk mengukur tingkat

pertumbuhan penjualan.

Adapun rumus yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat

pertumbuhan piutang adalah sebagai berikut :

1) Perputaran Piutang Usaha

Menurut Stice et al. yang diterjemahkan oleh Akbar (2009)

“perputaran piutang menggambarkan rata-rata jumlah penjualan/siklus

penagihan yang dilaksanakan perusahaan selama tahun berjalan.

Semakin tinggi perputaran, semakin cepat periode penagihan

piutang”. Menurut Kasmir (2010) “perputaran piutang merupakan

rasio yang digunakan untuk mengukur berapa lama penagihan piutang

selama satuperiode atau berapa kali dana yang ditanam dalam piutang

ini berputar dalam satu periode”. Dengan demikian dapat diketahui

bahwa semakin tinggi rasio perputaran piutang menandakan bahwa

modal yang digunakan oleh perusahaan semakin efisien.

2) Likuiditas

Menurut Horne dan Wachowicz yang diterjemahkan oleh

Fitriasari dan Kwary (2005: 206) “likuiditas adalah kemampuan

aktiva untuk diubah ke dalam bentuk tunai tanpa adanya konsesi harga

yang signifikan”. Menurut Stice et al. yang diterjemahkan oleh Akbar

(2009: 805) “hal penting yang harus diperhatikan tentang perusahaan

adalah likuiditasnya atau kemampuan untuk memenuhi kewajiban

87

lancarnya”. Jadi, tingkat likuiditas menggambarkan seberapa besar

kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek.

2.4.2.2 Pertumbuhan modal

Munawir (2001) menyebutkan modal adalah hak atau bagian yang

dimiliki oleh pemilik perusahaan yang ditunjukkan dalam pos modal (modal

saham), surplus dan laba yang ditahan, atau kelebihan nilai aktiva yang

dimiliki oleh perusahaan terhadap seluruh utang-utangnya. Dalam praktik

kadang-kadang nampak adanya suatu klasifikasi di dalam neraca yang pada

umumnya membingungkan pembaca (sulit untuk ditafsir-kan) dengan nama

reserve (cadangan). Seharusnya cadangan ini diklasifikasikan sesuai dengan

klasifikasi Neraca yaitu aktiva, utang dan milik sendiri (modal) sehingga

cadangan pada prinsipnya juga terdiri dari tiga golongan yaitu: (Munawir,

2001).

1) Cadangan sebagai pengurang aktiva (reserve that offseting assets). Misalnya

cadangan penyusutan (reserve for depreciation), cadangan ini merupakan

pengurangan terhadap aktiva yang disusut, sehingga dalam neraca nampak di

sebelah debet mengurangi aktiva yang bersangkutan. Cadangan penyusutan itu

akan lebih tepat bila diberi nama lain yaitu "akumulasi penyusutan", atau

"akumulasi depresiasi".

2) Cadangan sebagai utang (liability reserve), misalnya reserve for taxes

(cadangan untuk pajak) merupakan suatu utang yang dicatat sebagai cadangan,

ini tidak benar, seharusnya cadangan untuk pajak ini dimasukkan dalam utang

lancar (current liability), yaitu Utang Pajak atau Taksiran Utang Pajak.

88

3) Cadangan yang merupakan surplus, yang betul-betul merupakan hak para

pemilik perusahaan, misalnya "cadangan untuk ekspansi" adalah

merupakan pemisahan sebagian dari laba yang ditahan (retained earning),

dan dalam neraca masuk dalam klasifikasi modal (appropriated surplus).

Atmaja (1999) menyebutkan bahwa modal adalah dana yang

digunakan untuk membiayai pengadaan aktiva dan operasi perusahaan. Modal

terdiri dari item – item yang ada di sisi kanan suatu neraca, yaitu hutang,

saham biasa, saham preferen dan laba ditahan. Harnanto (2001) menyebutkan

bahwa modal sendiri adalah modal dalam suatu perusahaan yang

dipertaruhkan untuk segala risiko, baik risiko usaha maupun risiko kerugian –

kerugian lainnya. Tiap – tiap perusahaan harus memiliki sejumlah minimum

modal yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidupnya.

Struktur permodalan dan pengalokasian modal suatu perusahaan akan

sangat berperan penting di dalam menjaga stabilitas financial dan going

concern perusahaan. Peran penting permodal dan pengalokasian modal

terutama disebabkan oleh perbedaan karakteristik di antara tiap – tiap

sumber/jenis permodalan tersebut. Perbedaan karakteristik di antara tiap–tiap

jenis/sumber permodalan itu secara umum mempunyai akibat atau pengaruh

pada dua aspek penting didalam kehidupan setiap perusahaan, yaitu sebagai

berikut :

1) Terhadap kemampuannya untuk menghasilkan laba dan;

2) Terhadap kemampuan perusahaan untuk membayar kembali hutang/

kewajiban-kewajiban panjangnya (solvabilitas).

89

`Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa stabilitas financial

dan going concern suatu perusahaan dipengaruhi oleh pertumbuhan struktur

permodalannya, dimana salah satunya adalah modal sendiri. Bringham (1996:

184) menyebutkan berbagai faktor dapat mempengaruhi pertumbuhan modal

sendiri suatu perusahaan.

2.4.2.3 Pertumbuhan tenaga kerja

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tenaga kerja adalah setiap orang

yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa baik

untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Batas usia

kerja yang dianut oleh Indonesia adalah minimum 10 tahun, tanpa batas umur

maksimum. Jadi setiap orang atau penduduk yang sudah berusia 10 tahun ke

atas tergolong tenaga kerja.

Tenaga kerja terdiri atas 2 kelompok yaitu angkatan kerja dan bukan

angkatan kerja. Angkatan kerja adalah tenaga kerja atau penduduk dalam usia

kerja yang bekerja, atau mempunyai pekerjaan namun untuk sementara tidak

bekerja, dan yang sedang mencari pekerjaan. Bukan Angkatan Kerja adalah

tenaga kerja atau penduduk dalam usia kerja yang tidak bekerja, tidak

mempunyai pekerjaan dan sedang tidak mencari pekerjaan, yaitu orang-orang

yang kegiatannya menerima pendapatan tapi bukan merupakan imbalan

langsung atas jasa kerjaanya (Dumairy, 1996).

Jumlah angkatan kerja yang bekerja merupakan gambaran kondisi dari

lapangan kerja yang tersedia. Semakin bertambah besar lapangan kerja yang

tersedia maka akan menyebabkan semakin meningkatnya total produksi di

90

suatu negara, dimana salah satu indikator untuk melihat perkembangan

ketenagakerjaan di Indonesia adalah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja

(TPAK). Tingkat partisipasi angkatan kerja adalah menggambarkan jumlah

angkatan kerja dalam suatu kelompok umur sebagai presentase penduduk

dalam kelompok umur tersebut, yaitu membandingkan jumlah angkatan kerja

dengan jumlah tenaga kerja.

Pertumbuhan tenaga kerja dianggap sebagai salah satu faktor positif

untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya tenaga kerja akan

mendorong terjadinya peningkatan produktivitas dan dampaknya akan

mendorong pertumbuhan ekonomi.

2.4.2.4 Pertumbuhan laba

Pengertian laba secara operasional merupakan perbedaan antara

pendapatan yang direalisasi yang timbul dari transaksi selama satu periode

dengan biaya yang berkaitan dengan pendapatan tersebut. Pengertian laba

menurut Harahap (2008: 113) “kelebihan penghasilan diatas biaya selama

satu periode akuntansi”. Sementara pengertian laba yang dianut oleh struktur

akuntansi sekarang ini adalah selisih pengukuran pendapatan dan biaya. Besar

kecilnya laba sebagai pengukur kenaikan sangat bergantung pada ketepatan

pengukuran pendapatan dan biaya. Menurut Harahap (2005: 263) laba

merupakan angka yang penting dalam laporan keuangan karena berbagai

alasan antara lain: laba merupakan dasar dalam perhitungan pajak, pedoman

dalam menentukan kebijakan investasi dan pengambilan keputusan, dasar

dalam peramalan laba maupun kejadian ekonomi perusahaan lainnya di masa

91

yang akan datang, dasar dalam perhitungan dan penilaian efisiensi dalam

menjalankan perusahaan, serta sebagai dasar dalam penilaian prestasi atau

kinerja perusahaan.

Chariri dan Ghozali (2003: 214) menyebutkan bahwa laba memiliki

beberapa karakteristik antara lain sebagai berikut:

a. laba didasarkan pada transaksi yang benar-benar terjadi,

b. laba didasarkan pada postulat periodisasi, artinya merupakan prestasi

perusahaan pada periode tertentu,

c. laba didasarkan pada prinsip pendapatan yang memerlukan pemahaman

khusus tentang definisi, pengukuran dan pengakuan pendapatan,

d. laba memerlukan pengukuran tentang biaya dalam bentuk biaya historis

yang dikeluarkan perusahaan untuk mendapatkan pendapatan tertentu, dan

e. laba didasarkan pada prinsip penandingan (matching) antara pendapatan

dan biaya yang relevan dan berkaitan dengan pendapatan tersebut.

Perbandingan yang tepat atas pendapatan dan biaya tergambar dalam

laporan laba rugi. Penyajian laba melalui laporan tersebut merupakan fokus

kinerja perusahaan yang penting. Kinerja perusahaan merupakan hasil dari

serangkaian proses dengan mengorbankan berbagai sumber daya. Adapun

salah satu parameter penilaian kinerja perusahaan tersebut adalah

pertumbuhan laba. Pertumbuhan laba dihitung dengan cara mengurangkan

laba periode sekarang dengan laba periode sebelumnya kemudian dibagi

dengan laba pada periode sebelumnya (Warsidi dan Pramuka, 2000).

92

2.5 Kesejahteraan Rumah Tangga

Kesejahteraan didefinisikan sebagai perwujudan tingkat pemenuhan

utilitas seluruh masyarakat dalam suatu perekonomian, yang besarnya tergantung

dari kesejahteraan yang diterima oleh masing-masing individu (Sen, 1982).

Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009, Kesejahteraan Sosial adalah

kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual,dan sosial warga negara agar

dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat

melaksanakan fungsi sosialnya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009 yang merupakan

amandemen Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992, menyatakan ketahanan dan

kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan

ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materil guna hidup mandiri dan

mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan

kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin. Maka kesejahteraan masyarakat adalah

suatu kondisi yang memperlihatkan tentang keadaan kehidupan masyarakat yang

dapat dilihat dari standar kehidupan masyarakat (Badrudin: 2012).

Kesejahteraan itu sendiri merupakan fungsi dari seluruh utilitas individu

sebagai anggota masyarakat dalam suatu perekonomian. Utilitas masing-masing

individu merupakan fungsi dari berbagai konsumsi atas barang. Kesejahteraan

sosial dianggap meningkat jika, paling tidak, ada satu individu yang mengalami

peningkatan kesejahteraan dimana individu lainnya tidak mengalami penurunan

tingkat kesejahteraan. Dari sini, langkah awal untuk melihat kesejahteraan

masyarakat adalah pengukuran terhadap kesejahteraan individu.

93

Arsyad dan Sukirno mengemukakan bahwa tingkat pendapatan perkapita

tidak sepenuhnya mencerminkan tingkat kesejahteraan karena kelemahan yang

bersumber dari ketidaksempurnaan dalam penghitungan pendapatan nasional dan

pendapatan perkapita dan kelemahan yang bersumber dari kenyataan bahwa

tingkat kesejahteraan masyarakat bukan hanya ditentukan oleh tingkat pendapatan

tetapi juga faktor-faktor lain (Badrudin: 2012).

Menurut Todaro (2006: 20) banyak negara Dunia Ketiga yang dapat

mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun gagal meningkatkan

taraf hidup penduduk di daerah tersebut. Untuk memantau tingkat kesejahteraan

masyarakat dalam satu periode tertentu, Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Susenas mengambil informasi

keadaan ekonomi masyarakat sebagai dasar untuk memperoleh indikator

kesejahteraan.

Delapan indikator kesejahteraan rumah tangga menurut Badan Pusat

Statistik tahun 2016 adalah kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan,

ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan,

kemiskinan, dan sosial lainnya yang menjadi acuan dalam upaya peningkatan

kualitas, yang selanjutnya diuraikan sebagai berikut :

2.5.1 Kesehatan dan gizi

Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang

memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Upaya

kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan

yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat. Tujuan kesehatan secara

94

nasional adalah memajukan kesejahteraan bangsa, yang berarti memenuhi

kebutuhan dasar manusia.

Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama

dengan keterikatan aturan, emosional dan individu mempunyai peran masing-

masing yang merupakan bagian dari keluarga (Friedman, 1998). Keluarga adalah

unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami istri dan anaknya, atau ayah

dan anaknya, atau ibu dan anaknya (Suprajitno, 2004).

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari dua

orang atau lebih yang dihubungankan melalui ikatan perkawinan, hubungan darah,

adopsi dan saling berinteraksi satu dengan lainnya, mempunyai keunikan nilai dan

norma hidup yang didasari oleh sistem kebudayaan keluarga yang terorganisasi

dibawah asuhan kepala rumah tangga dalam menjalankan peran dan fungsi

anggota keluarga serta mempunyai hak otonomi dalam mengatur keluarganya,

misalnya dalam hal kesehatan keluarga (Zaidin Ali, 2009).

2.5.2 Pendidikan

Salah satu indikator yang dapat dijadikan ukuran kesejahteraan sosial yang

merata adalah dengan melihat tinggi rendahnya persentase penduduk yang melek

huruf. Tingkat melek huruf dapat dijadikan ukuran kemajuan suatu bangsa. Angka

Melek Huruf (AMH) adalah perbandingan antara jumlah penduduk usia 15 tahun

ke atas yang dapat membaca dan menulis dengan jumlah penduduk usia 15 tahun

ke atas. Batas maksimum untuk angka melek huruf, adalah 100 sedangkan batas

minimum 0 (standar UNDP). Hal ini menggambarkan kondisi 100 persen atau

95

semua masyarakat mampu membaca dan menulis, dan nilai nol mencerminkan

kondisi sebaliknya.

Rata-rata lama sekolah mengindikasikan makin tingginya pendidikan yang

dicapai oleh masyarakat di suatu daerah. Semakin tinggi rata-rata lama sekolah

berarti semakin tinggi jenjang pendidikan yang dijalani. Asumsi yang berlaku

secara umum bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin

tinggi pula kualitas seseorang, baik pola pikir maupun pola tindakannya. Tobing

dalam Hastarini (2005), mengemukakan bahwa orang yang memiliki tingkat

pendidikan lebih tinggi, diukur dengan lamanya waktu untuk sekolah akan

memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibanding dengan orang yang

pendidikannya lebih rendah. Rata-rata lama sekolah adalah rata-rata jumlah tahun

dihabiskan oleh penduduk yang berusia 15 tahun ke atas untuk menempuh semua

jenis pendidikan formal yang pernah dijalani. Batas maksimum untuk rata-rata

lama sekolah adalah 15 tahun dan batas minimum sebesar 0 tahun (standar

UNDP). Batas maksimum 15 tahun mengindikasikan tingkat pendidikan

maksimum yang ditargetkan adalah setara Sekolah Menengah Atas (SMA).

Pendidikan (formal dan non formal) bisa berperan penting dalam

mengurangi kemiskinan dalam jangka panjang, baik secara tidak langsung melalui

perbaikan produktivitas dan efesiensi secara umum, maupun secara langsung

melalui pelatihan golongan miskin dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk

meningkatkan produktivitas mereka dan pada gilirannya akan meningkatkan

pendapatan mereka (Lincolin, 1999). Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang

dan semakin lama seseorang sekolah, maka pengetahuan dan keahlian juga akan

96

meningkat sehingga akan mendorong peningkatan produktivitas seseorang.

Perusahaan akan memperoleh hasil yang lebih banyak dengan mempekerjakan

tenaga kerja dengan produktivitas yang lebih tinggi, sehingga perusahaan akan

bersedia memberikan upah/gaji yang lebih tinggi kepada yang bersangkutan. Pada

akhirnya seseorang yang memiliki produktivitas yang tinggi akan memperoleh

kesejahteraan yang lebih baik, yang dapat diperlihatkan melalui peningkatan

pendapatan maupun konsumsinya.

2.5.3 Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan merupakan aspek yang penting dalam pembangunan

ekonomi karena tenaga kerja merupakan salah satu balas jasa faktor produksi.

Topik mengenai masalah kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi baik dalam

skala nasional maupun regional mendapat perhatian banyak orang. Pertumbuhan

ekonomi yang tinggi membutuhkan penambahan investasi dan kebijakan ekonomi

yang kondusif merupakan hal penting. Dengan penambahan investasi baru

diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya juga

dapat menciptakan lapangan kerja baru.

Dalam istilah Badan Pusat Statistik (2007), beberapa istilah ketenagakerjaan

yang mesti dipahami sebagai dasar dalam memahami masalah tersebut di Indonesia di

antaranya (1) tingkat partisipasi angkatan kerja yang merupakan indikator yang dapat

menggambarkan keadaan penduduk yang berumur 15 tahun ke atas yang berpartisipasi

dalam kegiatan ekonomi, (2) tingkat pengangguran terbuka, dan (3) penyerapan tenaga

kerja yaitu mereka yang terserap diberbagai lapangan pekerjaan pada suatu periode.

97

Dalam teori ketenagakerjaan menurut BPS (2007) digunakan Konsep

Dasar Angkatan Kerja (Standar Labour Force Concept) seperti yang digunakan

dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas). Konsep ini merupakan konsep

yang disarankan dan rekomendasikan International Labour Organization (ILO).

Lebih lanjut disebutkan bahwa penduduk dibedakan atas usia kerja dan penduduk

bukan usia kerja. Sedang penduduk usia kerja dibedakan atas dua kelompok, yaitu

angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja terdiri dari penduduk

yang bekerja dan pengangguran. Bukan angkatan kerja terdiri dari penduduk yang

tidak mempunyai/melakukan aktivitas ekonomi, baik karena sekolah, mengurus

rumah tangga atau lainnya (pensiun, penerima transfer/kiriman, penerima

deposito/bunga bank, jompo atau alasan yang lain).

Sementara itu, United Nation (1962) mendefinisikan angkatan kerja atau

penduduk yang aktif secara ekonomi sebagai penduduk yang memproduksi

barang dan jasa secara ekonomi yang juga mencakup mereka yang tidak bekerja

tapi bersedia bekerja. Sedang yang dimaksud dengan penduduk bekerja adalah

penduduk yang melakukan kegiatan melakukan pekerjaan penghasilan atau

keuntungan paling sedikit selama satu jam dalam seminggu yang lalu. Bekerja

dalam satu jam tersebut harus dilakukan secara berturut-turut dan tidak terputus.

2.5.4 Taraf dan pola konsumsi

Kesejahteraan masyarakat juga ditandai oleh hidup layak. Banyak

indikator alternatif yang dapat digunakan untuk menghitung unsur standar hidup

layak. Dengan mempertimbangkan ketersediaan data secara internasional, maka

98

United Nations Development Programs (UNDP) memilih GDP perkapita riil yang

telah disesuaikan sebagai indikator standar hidup layak.

Rumus Atkinson yang digunakan untuk penyesuaian rata-rata konsumsi

riil secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Keterangan:

D = Konsumsi perkapita riil yang telah disesuaikan dengan PPP/Unit (hasil tahapan 6)

Z = Threshold atau tingkat pendapatan tertentu yang digunakan sebagai batas kecukupan (Biasanya menggunakan garis kemiskinan yang dalam perhitungan ini nilai Z ditetapkan sebesar Rp.1.500,- perkapita sehari atau Rp.547.500,- perkapita setahun).

2.5.5 Perumahan dan lingkungan

Dalam Undang – Undang No. 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan

permukiman, perumahan diartikan sebagai kelompok rumah yang berfungsi sebagai

lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan sarana dan

prasarana. Secara fisik perumahan merupakan sebuah lingkungan yang terdiri dari

kumpulan unit-unit rumah tinggal dimana dimungkinkan terjadinya interaksi sosial

diantara penghuninya, serta dilengkapi dengan prasarana sosial, ekonomi, dan budaya.

Hal utama yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan perumahan

adalah manajemen lingkungan yang baik dan terarah. Karena lingkungan

perumahan merupakan aspek yang sangat menentukan dan keberadaannya tidak

dapat diabaikan. Hal tersebut dapat terjadi karena baik buruknya kondisi

99

lingkungan akan berdampak terhadap penghuni perumahan. Lingkungan

perumahan harus disehatkan dengan beberapa program yaitu pengelolaan air

limbah, pengelolaan air bersih, pengelolaan sampah dan penanganan drainase.

2.6 Faktor Kontekstual

Faktor konteksual adalah faktor-faktor yang penting yang sedang dimiliki

atau dilakukan oleh pengusaha industri kecil dan menengah yang dapat berkaitan

langsung terhadap kelangsungan hidup dari perusahaan. Faktor-faktor tersebut

dapat dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal perusahaan. Beberapa jenis

dimensi dari faktor konteksual adalah sistem pemasaran, teknologi, akses

permodalan, akses informasi, adanya perencanaan bisnis, sikap kewiraswastaan

yang dimiliki oleh pengelola, dan bantuan yang diberikan pemerintah, dan lain-

lain.

2.6.1 Pemasaran produk

Masalah umum yang dihadapi pengusaha industri kecil dan menengah

adalah masalah pemasaran (Saleh, 1985). Umumnya IKM di Indonesia melakukan

pemasaran produknya secara tradisional, yaitu menunggu pembeli. Dengan

adanya persaingan yang serba ketat, seharusnya pengusaha industri kecil dan

menengah mengantisipasinya dengan mengembangkan pasar secara proaktif.

Adanya pasar yang baru akan berpengaruh terhadap pertumbuhan penjualan pada

IKM.

2.6.2 Akses permodalan

Masalah penting lainnya yang sering dihadapi pengusaha industri kecil dan

menengah adalah akses terhadap permodalan. Kekurangan modal pada IKM akan

100

menyebabkan terhambatnya kegiatan produksi maupun berinovasi, yang pada

akhirnya berdampak terhadap terhambatnya kesuksesan usaha (Swuerczek dan

Ha, 2003). Sumber utama modal dari IKM umumnya dari tabungan pribadi,

pinjaman dari keluarga atau kelompok, koperasi, dan lembaga-lembaga keuangan

lainnya

2.6.3 Pemanfaatan teknologi informasi

Faktor penting lainnya dalam perusahaan adalah teknologi. Kurangnya

teknologi, termasuk teknologi informasi yang dimiliki atau diterapkan oleh IKM

akan menghambat perkembangannya. (Rizki Masyita Sari, 2012) dalam

penelitianya menyimpulkan bahwa penerapan teknologi, khususnya internet dapat

meningkatkan kinerja IKM.

2.6.4 Adanya perencanaan bisnis

Rencana usaha atau business plan dapat menunjukkan arah kegiatan dan

pengembangan usaha. Penelitian Trisninawati dan Irwan Septhayuda (2012)

menyebutkan bahwa IKM yang memiliki rencana usaha dalam pengembangan

usaha memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan usaha.

2.6.5 Bantuan pemerintah

Umumnya pengusaha industri kecil dan menengah adalah dalam segala hal

adalah lemah, sehingga perlu uluran tangan pemerintah untuk memberdayakannya

agar dapat berkembang. Beberapa bantuan pemerintah misalnya dalam hal

meningkatkan kapasitannya (capacity building) pelatihan meningkatkan

keterampilan manajemen, operasional, asistensi keuangan, dan lain sebagainya.

101

Semakin banyak bantuan atau dukungan dari pemerintah, maka UMKM semakin

maju atau berkembang (Trimurti, 2014).