59
12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat Hikayat berasal dari India dan Arab, berisikan cerita kehidupan para dewi, peri, pangeran, putri kerajaan, serta raja-raja yang memiliki kekuatan gaib. Kesaktian dan kekuatan luar biasa yang dimiliki seseorang, yang diceritakan dalam hikayat kadang tidak masuk akal. Namun dalam hikayat banyak mengambil tokoh-tokoh dalam sejarah. Dan salah satu bentuk sastra karya prosa lama yang isinya berupa cerita, kisah, dongeng maupun sejarah. Umumnya mengisahkan tentang kephalawanan seseorang, lengkap dengan keanehan, kekuatan/ kesaktian, dan mukjizat sang tokoh utama. Ciri - ciri hikayat ada adalah sebagai berikut ini: 1. Berisi kisah - kisah kehidupan lingkungan istana (istana sentris) 2. Banyak peristiwa yang berhubungan dengan nilai - nilai Islam 3. Nama nama tokoh dipengaruhi oleh nama - nama Arab 4. Ditemukan tokoh dengan karakter diluar batas kewajaran karakter manusia pada umumnya 5. Tidak ada`pembagian bab atau judul 6. Juru cerita tidak pernah disebuntak secara eksplisit (anonim) 7. Sulit membedakan peristiwa yang nyata dan peristiwa yang imajinatif 8. Banyak menggunakan kosakata yang kini tidak lazim digunakan dalam komunikasi sehari hari

12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

12

BAB IIKAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1. Hikayat

Hikayat berasal dari India dan Arab, berisikan cerita kehidupan para

dewi, peri, pangeran, putri kerajaan, serta raja-raja yang memiliki kekuatan

gaib. Kesaktian dan kekuatan luar biasa yang dimiliki seseorang, yang

diceritakan dalam hikayat kadang tidak masuk akal. Namun dalam hikayat

banyak mengambil tokoh-tokoh dalam sejarah. Dan salah satu bentuk sastra

karya prosa lama yang isinya berupa cerita, kisah, dongeng maupun sejarah.

Umumnya mengisahkan tentang kephalawanan seseorang, lengkap dengan

keanehan, kekuatan/ kesaktian, dan mukjizat sang tokoh utama. Ciri - ciri

hikayat ada adalah sebagai berikut ini:

1. Berisi kisah - kisah kehidupan lingkungan istana (istana sentris)

2. Banyak peristiwa yang berhubungan dengan nilai - nilai Islam

3. Nama nama tokoh dipengaruhi oleh nama - nama Arab

4. Ditemukan tokoh dengan karakter diluar batas kewajaran karakter

manusia pada umumnya

5. Tidak ada`pembagian bab atau judul

6. Juru cerita tidak pernah disebuntak secara eksplisit (anonim)

7. Sulit membedakan peristiwa yang nyata dan peristiwa yang imajinatif

8. Banyak menggunakan kosakata yang kini tidak lazim digunakan dalam

komunikasi sehari – hari

Page 2: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

13

9. Seringkali menggunakan pernyataan yang berulang – ulang

10. Peristiwa seringkali tidak logis

11. Sulit memahami jalan ceritanya

12. Bersifat istana centris

13. Anonim (nama pengarang tidak di cantumkan)

14. Berkembang secara stetis

15. Bersifat imajinatif, hanya bersifat khayal

16. Lisan, karena di sebarkan lewat mulut ke mulut

17. Berbahasa klise, meniru bahasa penutur sebelumnya

18. Bersifat logis

Hikayat mencakup istilah sejarah, mistik, satire, alegori dan lain-lain.

Dalam The Encyclopedia of Islam dinyatakan Gibb et all. , (1965) sebagai

berikut:

Hikayat is regarded here as referring in classical Persian literature tothe short prose story which cannot be said to form a true literary genrein Persian tradition, since hikayat are inserted in many other types ofliterary composition (history, mystic, writing’s, satire, ect. ) in additionto the collection of hikayat properly so called.

Adapun unsur-unsur dalam Hikayat yaitu :

1. Unsur Intrinsik

a) Tema dan Amanat

Tema ialah persoalan yang menduduki tempat utama dalam karya

sastra. Tema mayor ialah tema yang sangat menonjol dan menjadi

persoalan. Tema minor ialah tema yang tidak menonjol.

Page 3: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

14

Amanat ialah pemecahan yang diberikan oleh pengarang bagi persoalan

di dalam karya sastra. Amanat biasa disebut makna. Makna dibedakan

menjadi makna niatan dan makna muatan. Makna niatan ialah makna

yang diniatkan oleh pengarang bagi karya sastra yang ditulisnya.

Makna muatan ialah makana yang termuat dalam karya sastra tersebut.

b) Tokoh dan Penokohan

Tokoh ialah pelaku dalam karya sastra. Dalam karya sastra biasanya

ada beberapa tokoh, namun biasanya hanya ada satu tokoh utama.

Tokoh utama ialah tokoh yang sangat penting dalam mengambil

peranan dalam karya sastra.

Penokohan atau perwatakan ialah teknik atau cara-cara menampilkan

tokoh. Ada beberapa cara menampilkan tokoh. Cara analitik, ialah cara

penampilan tokoh secara langsung melalui uraian pengarang. Jadi

pengarang menguraikan ciri-ciri tokoh tersebut secara langsung.

c) Alur dan Pengaluran

Alur disebut juga plot, yaitu rangkaian peristiwa yang memiliki

hubungan sebab akibat sehingga menjadi satu kesatuan yang padu bulat

dan utuh.

Pengaluran, yaitu teknik atau cara-cara menampilkan alur. Menurut

kualitasnya, pengaluran dibedakan menjadi alur erat dan alur longggar.

Alur erat ialah alur yang tidak memungkinkan adanya pencabangan

cerita. Alur longgar adalah alur yang memungkinkan adanya

pencabangan cerita.

Page 4: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

15

Alur lurus ialah alur yang melukiskan peristiwa-peristiwa berurutan

dari awal sampai akhir cerita. Alur tidak lurus ialah alur yang

melukiskan tidak urut dari awal sampai akhir cerita. Alur tidak lurus

bisa menggunakan gerak balik (backtracking), sorot balik (flashback),

atau campuran keduanya.

d) Latar dan Pelataran

Latar disebut juga setting, yaitu tempat atau waktu terjadinya peristiwa-

peristiwa yang terjadi dalam sebuah karya sastra. Latar atau setting

dibedakan menjadi latar material dan sosial, sedangkan pelataran ialah

teknik atau cara-cara menampilkan latar.

e) Pusat Pengisahan

Pusat pengisahan ialah dari mana suatu cerita dikisahkan oleh pencerita.

Pencerita di sini adalah pribadi yang diciptakan pengarang untuk

menyampaikan cerita.

2. Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik ialah unsur yang membentuk karya sastra dari luar

sastra itu sendiri. Untuk melakukan pendekatan terhadap unsur ekstrinsik,

diperlukan bantuan ilmu-ilmu kerabat seperti sosiologi, psikologi, filsafat,

dan lain-lain.

Walaupun istilah hikayat awalnya berasal dari India dan Arab, tetapi

dengan perkembangan bentuk di Nusantara (tanah Melayu), maka hikayat

mempunyai hakikat yang berbeda karena cerita-cerita yang digunakan dalam

hikayat seperti cerita narasi atau sejarah misalnya dalam sastra Melayu dikenal

Page 5: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

16

Hikayat raja-raja Pasai, Hikayat Siak, Tradisi Lisan, Hikayat Malin Demen,

hikayat yang berunsur Islam seperti Hikayat Nabi Yusuf, bahkan cerita

autobiografi seperti Hikayat Abdullah. Hikayat Abdullah/ “The life of

Abdullah” adalah autobiografi dari Abdullah, anak dari seorang juru tulis

Melayu yang terhormat. Ia pernah ditugaskan oleh Pemerintahan Belanda di

Batavia untuk menjelajahi negri-negri Melayu di gugusan pulau Nusantara

dengan tujuan mengumpulkan naskah-naskah Melayu. Ia seorang anak Melaka;

raut mukanya Arab. Ia memiliki daya pikir yang tangguh serta pengetahuan

mengenai bahasa ibundanya yang amat terperinci dan luas. Selama kira-kira

tiga puluh tahun yang lalu, ia mengabdi kepada orang Eropa sebagai guru

bahasa Melayu. Sir Stamford Raffles, Crawfurd, Dr. Morrison, Dr. Milne dan

beberapa orang terkemuka lainnya pernah menjadi muridnya. Salah seorang

missionaris yang memainkan peran dalam karir Abdullah mengusulkan

kepadanya supaya ia menulis riwayat hidupnya sendiri, ia enggan karena

katanya, ia bukan orang yang terkenal, apalagi hidupnya tidak diwarnai

peristiwa yang penting. Missionaris tersebut menjawab bahwa orang Eropa

akan sangat tertarik minatnya pada sebuah buku yang berisi segala sesuatu

yang dapat diingatnya mengenai raja-raja Melayu, haji-haji tua yang pulang

dari Mekah, cerita Melayu lama, adat, prasangka dan bias-bias, ketakhayulan,

pembajakan di laut, malah hal apa saja tentang orang Melayu. Tidak lama

kemudian Abdullah mulai menulis riwayat mengenai ayahnya, peristiwa

semasa kecil, bagaimana ia berkenalan dengan Dr. Milne, dan sebagainya. Ia

segera menjadi asyik sekali mengerjakan usaha ini. Makin lama makin banyak

Page 6: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

17

terkumpul bahan, sehingga buku inilah hasilnya, “Hikayat Abdullah”. Bukunya

merupakan sesuatu yang baru dan dari beberapa aspek menarik sekali. Hikayat

Abdullah ini mempunyai dua wujud karena terdiri dari dua naskah. Edisi

pertama naskah dan edisi 1849 yang telah dicetak ulang 14 kali di Singapura,

sedangkan edisi ke dua edisi 1880 dicetak dengan litografi dan dicetak ulang

dengan huruf Jawi juga dalam aksara latin pada tahun 1903, 1907-1908, 1916

dan 1917. (Sweeney, 2008). Penelitian ini menggunakan edisi pertama.

2.1.2. Konsep Metafora

Kata 'metafora' berasal dari kata Yunani: meta- dan phor. Meta- adalah

prefiks yang biasa dipakai untuk menggambarkan perubahan, sedangkan kata

phor berasal dari kata pherein yang berarti 'membawa'. Dengan demikian,

metafora bisa diartikan sebagai 'membawa perubahan makna'. Berbagai bahasa

juga menggunakan metafora sebagai salah satu modus berbahasa, khususnya

untuk menciptakan makna baru. Metafora merupakan bagian penting dalam

pengalaman berbahasa. Namun, ini tidak mudah dijelaskan oleh para ahli

linguistik, sulit untuk menjelaskan dari mana datangnya sebuah makna.

Linguistik dapat menjelaskan makna literal, namun makna kiasan di dalam

metafora sulit untuk dijelaskan. Dalam berbagai karya sastra metafora

digunakan sebagai bahasa kiasan, yakni salah satu unsur untuk mendapatkan

kepuitisan. Keberadaannya menyebabkan suatu karya sastra seperti sajak

menjadi menarik perhatian.

Page 7: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

18

Keterangan ini dikutip oleh Hester dari tulisan Wheelwright dalam

bukunya "Metaphor and Reality" (Bloomington, 1962:35—36) yang ditulis

kembali oleh Hester dalam bukunya "The Meaning of Poetic Metaphor

(1967:17). Hester juga menyebutkan bahwa metafora sangat baik karena

memiliki kekuatan untuk menyatakan suatu hal, khususnya untuk menciptakan

karya sastra, seperti yang dinyatakan dalam kalimat The best metaphors

display a fision of diaphor and epiphor. . . . . . gives the metaphor its power.

Hester, (1976:16—17) (dalam Antara, 2007) menyebutkan metafora merujuk

pada dua komplemen yang sejajar yakni epiphor dan diaphor. Epiphor berarti

metafora yang mengimplikasikan makna (semantik) konteks seluas-luasnya.

Diaphor berarti 'tipe yang ada dalam batin'.

Mooij (1976:14) berpendapat bahwa dalam kalimat Napoleon is a wolf

menggambarkan Nopeleon kejam ('Napoleon is cruel'). Kekejaman Napoleon

diibaratkan dengan kekejaman serigala. Fitur srigala yang paling tepat untuk

melukiskan kekejaman yang dimiliki Napoleon. Unsur-unsur yang membangun

metafora disusun dari beberapa identitas simbol lingual, di antaranya berupa

kelas kata, seperti nomina, adjektiva, dan verba. Simbol lingual metafora dapat

berupa sesuatu (the things), seseorang (person), ide (ideas), periode (periods),

wilayah (areas), kualitas (qualify), disposisi (dispositions), hubungan

(relations) dan lain-lain. Foss, 1976:61 (dalam Antara, 2007) menambahkan

bahwa penggunaan metafora dalam bentuk tuturan kalimat lebih memiliki

kekuatan dibandingkan dalam bentuk sebuah kata.

Page 8: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

19

Konsep metafora menurut Searle (1979) yang menyebutkan bahwa

kedudukan metafora dalam keseluruhan bahasa kias atau figuratif dapat

diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu (1) metafora yang diposisikan dalam

pengertian luas atau sebagai payung untuk semua bahasa kias, dan (2)-metafora

dalam arti yang sempit. Posisi sebagai payung tersirat dalam pandangan yang

dikonsepkan Searle (dalam Ortony, ed. 1979:92—123). Di sini Searle

menyatakan istilah metafora sebagai sebuah ekspresi kebahasaan yang

bermakna figuratif. Dia juga mengemukakan bahwa dua tipe teori metafora,

yaitu teori perbandingan (comparison theories) dan teori interaksi semantik

(semantic interaction theories). Kedua teori ini menekankan bahwa konteks

yang terdapat dalam ungkapan metafora mengandung dua sisi makna, yaitu sisi

yang satu bermakna metaforis dan sisi yang lainnya bermakna harafiah.

Hakikat metafora menurutnya adalah membandingkan dua hal, yakni yang

dibandingkan/ terbanding dengan yang dipakai untuk membandingkan/

pembanding. Hakikat pembicaraan metafora merujuk pada semua tuturan yang

bermakna kias.

Konsep metafora menurut Saussure (1988:63—69) dikaitkan dengan

istilah sign berarti tanda, simbol, atau lambang. Teori tanda banyak

dikembangkan oleh Pierce, dalam bidang linguistik oleh Saussure.

2.1.2. Teori Metafora

Beragam pendapat dan penjelasan tentang metafora telah banyak

dijumpai. Salah satu di antaranya adalah pendapat dan penjelasan yang

Page 9: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

20

diungkapkan oleh Beardsley (1981:134—135) yang menyebutkan bahwa ada

tiga jenis teori yang perlu dipertimbangkan dalam kaitannya dengan metafora,

yaitu: (a) teori emotif, (b) teori supervenience, dan (c) teori literal. Teori

pertama, sebagai akibat intensitas emosi, memandang metafora dan bentuk-

bentuk kias pada umumnya merupakan dislokasi dan disfungsi bahasa. Dilihat

dari struktur bahasa formal metafora seolah-olah salah tempat, salah

penggunaan, dan dengan demikian akan menimbulkan salah penafsiran.

Sebaliknya, dengan pertimbangan bahwa metafora dan penyusunan bahasa

sastra pada umumnya dimaksudkan untuk memperoleh makna karya secara

maksimal, maka penyimpangan seperti ini justru merupakan keunggulan

penggunan bahasa. 'Pisau bedah' misalnya, yang semula mengacu pada

pengertian benda konkret kemudian menjadi 'dasar teori' yang digunakan untuk

mengungkap suatu fenomena secara ilmiah. Ketajaman pisau bedah dirujuk

sebagai ketajaman dan ketepatan pemilihan sebuah teori untuk mengungkap

fenomena keilmuan secara tepat agar hasil yang diperoleh juga tepat.

Ketajaman teori dalam mengungkap suatu fenomena jelas mengevokasi emosi

untuk memahaminya.

Di samping itu, pisau bedah bermakna ketelitian yang tinggi karena

salah dalam memilih satu pisau bedah akan berakibat menghilangkan nyawa

seseorang. Foss (1949:61—62) menyebutkan bahwa makna metaforis

terkandung di dalam proses bukan dalam kata-kata tunggal. Teori ini

memandang metafora sebagai jenis bahasa khas.

Page 10: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

21

Teori kedua, teori supervenience mencoba memahami kemampuan

sekaligus kelebihan bahasa sastra, khususnya metafora dibandingkan dengan

bahasa secara harafiah. Dalam metafora makna tidak lahir secara literal, makna

tidak ada dalam kamus, sehingga seolah-olah tidak ada hubungan atara kata-

kata dengan acuan, masing-masing unsur berdiri secara independen. Makna

lahir secara tak terduga, seolah-olah tidak diharapkan. Metafora lebih sebagai

pemecahan teka-teki. Makna literal yang terkandung lenyap, digantikan oleh

makna metaforis.

Teori ketiga, teori literal merupakan teori harafiah dan sekaligus

mempertentangkan bahasa sehari-hari dengan metafora itu sendiri, bahasa kias

pada umumnya. 'Mobilnya seperti mobilku' misalnya, dianggap sebagai

perbandingan langsung, simile, sedangkan metafora adalah kiasan (simile)

tersembunyi. Beardsley (1981:138) menjelaskan bahwa simile terdiri atas dua

jenis yaitu simile terbuka dan simile tertutup. Metafora dikategorikan pada

simile tertutup karena memiliki cara kerja yang sama. Makna perbandingan

langsung dan simile terbuka terkandung dalam konteks. Sebaliknya konteks

dalam metafora secara terus menerus dihilangkan sebab kehadirannya

mengurangi terjadinya produksi makna. Metafora dengan demikian bukan

perbandingan tak langsung melainkan perbandingan itu sendiri. Berbeda

dengan teori pertama, sebagai teori emotif, teori kedua dan ketiga bersifat

kognitif.

Lakoff dan Johnson (1980) berfokus pada dua hal utama. Yang pertama

ialah metafora sebagai proses kognitif dan merupakan hasil pengalaman. Oleh

Page 11: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

22

sebab itu mereka menyebutkan bahwa metafora adalah sebagai proses kognitif

eksperimental. Atas dasar proses kognitif ini, tuturan dapat dianalisis tema-

temanya yang tersirat yang mempunyai makna metafora.

Metafora juga dinyatakan sebagai ekspresi linguistik. Artinya adalah

bahwa metafora memiliki karakteristik bahasa dan merupakan sebuah

perspektif. Di samping itu juga metafora adalah: merupakan masalah imajinasi

rasionalitas. Dalam hal ini, konsep tersebut di atas tidak hanya menyangkut

masalah intelektualitas tetapi juga di dalamnya memuat semua pengalaman

yang alami sehingga pemahaman makna metafora didasarkan atas aspek

pengalaman, di antaranya pengalaman estetika. Dengan dasar itu, keberadaan

metafora dinyatakan sebagai pengungkapan jenis dari sesuatu yang bermakna

figuratif dan metafora dikaitkan dengan jenis bahasa figuratif lainnya seperti

personifikasi dan metonimi.

Lakoff dan Johnson (1980:53) juga menyebutkan bahwa metafora

terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Ditambahkan bahwa berdasarkan

pengalaman konsep metafora meliputi tiga hal, yaitu (1) ide (makna) untuk

menandai sesuatu yang berupa objek, (2) ekspresi linguistik yaitu berupa kata-

kata sebagai wadahnya (kontainer), dan (3) cara komunikasi atau cara penutur

menyampaikan maksud secara figuratif.

Sebagai salah satu kajian linguistik, metafora dapat dianalisis

berdasarkan unsur-unsur kalimat atau struktur kalimat. Melalui kajian

linguistik dapat diketahui bahwa unsur yang terdapat dalam metafora berupa

ekspresi harafiah dan ekspresi imajinasi metaforis. Esensi konsep metafora

Page 12: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

23

berupa pemahaman dan pengungkapan jenis sesuatu yang bemakna metaforis.

Untuk memahaminya sangat diperlukan penerapan dasar teori perbandingan.

Dicontohkan, kalimat A adalah B akan dianggap sama maknanya dengan

kalimat A sama seperti B. Pengertian ini menunjukkan bahwa metafora

menduduki posisi yang lebih luas untuk semua pengertian yang mengandung

makna perbandingan. Ini didasarkan atas pemahaman tentang metafora melalui

proses kognitif.

Berbeda dengan teori di atas, Luxemburgh, dkk. (1984:187)

mengutarakan bahwa untuk memberikan intensitas terhadap gaya bahasa dapat

digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu metafora (perumpamaan) dan

metonimia (sinekdoke). Sinekdoke yang paling kerap digunakan adalah

konsep-konsep berdampingan dengan ciri bagian mewakili totalitas atau

sebaliknya. Meskipun metafora dan perumpamaan dianggap sama tetapi

keduanya pada dasarnya juga memiliki perbedaan. Perbandingan dalam

metafora terjadi secara implisit, dalam perumpamaan secara eksplisit, biasanya

dengan menggunakan kata-kata penghubung, di antaranya adalah 'seperti',

'umpama', 'laksana', dan 'bak'. Dalam kalimat 'Ayahku mendidikku sebagai

seorang guru" adalah perumpamaan, sedangkan 'Ayahku guruku' adalah

metafora. Dalam perumpamaan, dengan perbandingan secara eksplisit maka

motif lebih terbatas, misalnya, sebagai guru dengan unsur pendidik. Sedangkan

dalam metafora dengan tidak adanya kata penghubung 'sebagai', maka

interpretasi terjadi secara lebih bebas sehingga dimungkinkan untuk

menunjukkan motif-motif secara terbatas. Seorang ayah di samping mampu

Page 13: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

24

mendidik anaknya secara moral spiritual, ia harus mampu pula mengajarkan

ilmu pengetahuan. Dengan kalimat lain, makin singkat baris yang digunakan

untuk melukiskan suatu objek, maka makin kayalah penafsiran yang

dihasilkan.

Teori lain tentang metafora digagas oleh Cormac (1985) dalam bukunya

berjudul “A Cognitive Theory of Metaphor” membahas tentang metafora

berdasarkan proses kognitif. Dengan dasar kognitif ini metafora dipandang

menduduki posisi kunci atau sebagai payung dari semua tuturan yang

metaforis, baik metafora yang konvensional maupun metafora yang berbentuk

struktur dari hasil imajinasi atau kreativitas. Dengan kreasi berbahasa telah

tercipta keragaman bentuk metafora dengan arti yang baru.

Dari uraian konsep metafora di atas (Beardsley, 1981; Lakoff dan

Johnson, 1980; Luxemburg, dkk. , 1984; dan Cormac, 1985) dapat disimpulkan

bahwa metafora merupakan payung bagi semua jenis ungkapan yang

mengandung konsep perbandingan. Anggapan yang mendudukkan posisi

metafora bahasa Melayu Klasik sebagai payung didasarkan pada konsep

perbandingan antara yang ditandai (terbanding) dengan yang menandai

(pembanding).

2.2. Kerangka Teoritis

2.2.1. Parera (2004)

Parera (2004:119) yang membedakan metafora atas empat kelompok,

yakni (1) klasifikasi metafora bercitra antropomorfik, (2) metafora bercitra

Page 14: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

25

hewan, (3) metafora bercitra abstrak ke konkret, dan (4) metafora bercitra

sinestesia atau pertukaran tanggapan/ persepsi indra. Metafora antropomorfik

dalam banyak bahasa dapat dicontohkan sebagai "mulut botol", "jantung kota",

"bahu jalan", dan lain-lain.

Metafora bercitra hewan biasanya digunakan juga oleh pemakai bahasa

untuk menggambarkan satu kondisi atau kenyataan dalam alam.

Metafora bercitra abstrak ke konkret, adalah mengalihkan ungkapan-ungkapan

yang abstrak ke ungkapan yang lebih konkret. Seringkali pengalihan ungkapan

itu masih bersifat transparan tetapi dalam beberapa kasus penelusuran

etimologi perlu dipertimbangkan untuk memenuhi metafora tertentu.

Dicontohkan oleh Parera, secepat kilat 'satu kecepatan yang luar biasa',

moncong senjata 'ujung senjata', dan lain-lain.

Metafora bercitra sinestesia, merupakan salah satu tipe metafora

berdasarkan pengalihan indra, pengalihan dari satu indra ke indra yang lain.

Dalam ungkapan sehari-hari orang sering mendengar ungkapan "enak

didengar" untuk musik walaupun makna enak selalu dikatakan dengan indra

rasa; "sedap dipandang mata" merupakan pengalihan dari indra rasa ke indra

lihat.

Konsep teori yang diungkapkan Parera (2004) digunakan untuk

menjawab permasalahan penelitian 1, 2, dan 3 seperti yang termaktub dalam

subbab 1.2.

Page 15: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

26

2.2.2. Kovecses (2006)

Kovecses (2006) menekankan bahwa berdasarkan tingkatan

kovensionalitasnya, ada tiga kelompok metafora, antara lain (i) fungsi, (ii)

sifat, dan (iii) generalitasnya. Ia juga menyebutkan bahwa metafora konseptual

merefleksikan apa yang dipersepsikan, dialami, dan dipikirkan orang tentang

kenyataan dunia. Semua yang dialami, dipersepsikan, dan dipikirkan merasuk

dalam memori semantik yang dapat digunakan kapan saja. Untuk dapat

menggunakannya, seseorang kemudian mengaktifkan memori itu untuk

direalisasikan dalam bentuk verbal yang digunakan dalam komunikasi.

Sehingga ungkapan-ungkapan metaforis kadang lebih dipilih dibandingkan

dengan ungkapan yang tidak metaforis karena ungkapan metaforis

mengandung muatan yang diutamakan, diperhatikan, dan emosi yang ada

dalam ungkapan sesuai dengan yang diinginkan pengguna ungkapan.

Metafora digunakan untuk memahami konsep abstrak yang dikaitkan

dengan konsep lain yang lebih nyata. Secara linguistik kognitif hal ini disebut

dengan memahami suatu ranah konsep dengan cara lainnya. Pandangan

kognitif ini mengisyaratkan bahwa ranah konsep (A) adalah ranah konsep (B)

yang kemudian membentuk metafora konseptual (Kovecses, 2002:4). Contoh

yang diberikan di sini adalah ungkapan linguistik “he shot down all of our

arguments, ” (‘dia menembak jatuh semua argumen kami’) menjadi metafora

konseptual bahwa AN ARGUMENT IS WAR (‘SEBUAH ARGUMEN

ADALAH PERANG’).

Page 16: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

27

Dua ranah metafora konseptual berupa ranah sumber dan ranah sasaran.

Ranah sumber terdiri atas konsep nyata yang digunakan untuk memahami

konsep yang lebih abstrak yang menyepakati ranah sasarannya yang oleh

Kovecses (2002:4) disebut dengan teori emosi dan ide. Ciri-ciri ranah tersebut

sangat penting dan keduanya tidak dapat mengubah yang satu dengan lainnya.

Proses metafora biasanya dari yang lebih nyata ke yang lebih abstrak bukan

sebaliknya (Kovecses, 2002:6).

Metafora memiliki dua komponen, yaitu: target dan sumber. Pendapat

Kovecses (2006) memperkuat pernyataan dan penjelasan Lakoff dan Johnson

(1980; 2003), yang menyebutkan target biasanya lebih abstrak, dan sumber

lebih konkret. Untuk dapat memahami maksud yang terkandung dalam

metafora ditemukan kesamaan karakteristik yang dimiliki antara target dan

sumber. Membandingkan karakteristik yang dimiliki keduanya, akan

ditemukan dasar suatu metafora yang dipilih dan digunakan.

Pemilihan suatu sumber tertentu untuk suatu target dilakukan karena

didasarkan pada pengalaman yang dirasakan tubuh ketika mengalami kondisi

yang dirasakan, misalnya, dicontohkan oleh Kovecses (2006:117) dalam

kalimat affection is warmth. Kalimat ini muncul karena ada sesuatu yang

didasari oleh pengalaman ketika mendapatkan kasih sayang dari orang lain

(affection), seseorang merasakan hangat (warmth), sehingga muncul metafora

itu.

Metafora konseptual mengindikasikan suatu proses yang ada dalam

ranah untuk menjelaskan suatu entitas yang didasarkan pada perasaan,

Page 17: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

28

pengalaman, dan pikiran tentang realitas yang benar-benar ada atau yang

dibayangkan ada, dengan menggunakan entitas lain yang lebih konkret atau

dapat divisualisasikan atau dirasakan oleh tubuh. Oleh karena itu, menurut

Kovecses (2006) ada komponen-komponen yang dapat dijelaskan, yaitu :

(1) ranah sumber,

(2) ranah target, dan

(3) dasar metafora.

Ketiga komponen ini merupakan komponen dasar dalam metafora

konseptual. Ranah sumber yang memiliki ciri lebih konkret merupakan dasar

untuk menjelaskan target yang bersifat lebih abstrak. Misalnya, dalam metafora

life is a journey, dapat dipahami bagaimana kehidupan (life) yang bersifat

abstrak itu digambarkan sehingga lebih mudah untuk dipahami karena

dibandingkan dengan perjalanan (journey). Dalam kalimat tersebut dapat

dimengerti apa yang dimaksud dengan kehidupan (life) yang menjadi target

berdasarkan kesamaan ciri yang dimiliki oleh perjalanan (journey) sebagai

sumber. Kesamaan ciri atau karakteristik yang ada dalam kedua komponen itu

menjadi patokan dasar metafora, sebagai contoh dalam perjalanan setidaknya

ada unsur-unsur tujuan, rintangan, jarak yang ditempuh, dan dalam kehidupan

juga ada kesulitan hidup sebagai rintangan, kemajuan hidup, tujuan hidup, dan

seterusnya. Pengalaman yang dirasakan tubuh dapat memotivasi hubungan

antara sumber dan target. Untuk menguatkan penjelasan ini, Kovecses

memberi contoh dalam kalimat affection is warmth ‘kasih sayang itu

kehangatan’ dapat ditunjukkan hubungan kasih sayang dengan kehangatan.

Page 18: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

29

Penjelasannya adalah apa yang dirasakan oleh tubuh ketika mendapatkan

pelukan sebagai bentuk rasa sayang, misalnya, tubuh merasa hangat, nyaman,

dan tenang. Apa yang dirasakan merasuk ke dalam memorinya, kemudian

mencari kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana affection itu.

Selain itu, kesamaan antara sumber dan target juga dapat menunjukkan

hubungan antara sumber dan target. Menurut Kovecses lagi, kesamaan tidak

selalu menjadi dasar untuk menunjukkan hubungan antara target dengan

sumbernya. Lebih lanjut, Kovecses (2006) menambahkan ada korespondensi

konseptual yang mendasar dan esensial yang dinamakan pemetaan antara ranah

sumber dan ranah target. Pemetaan harus disusun sehingga dapat menunjukkan

ungkapan linguistik metaforis tertentu. Inferensi yang oleh Kovecses disebut

entailment dan entailment yang potensial merupakan pemetaan tambahan.

Ranah sumber sering memetakan gagasan melebihi gagasan yang ada dalam

ranah target. Pemetaan tambahan dinamakan entailment atau inferensi. Aspek

konsep yang terlibat dalam metafora hanya aspek tertentu yang ada baik di

sumber maupun target yang ada dalam metafora; tidak semua aspek digunakan,

hanya yang utama yang digunakan.

Istilah blends yakni penyatuan ranah sumber dan ranah target juga

dipakai oleh Kovecses. Penyatuan ranah dapat mengakibatkan blends atau

percampuran, yaitu: materi konseptual yang baru sebagai akibat dari kedua

ranah, yaitu: sumber dan target. Di samping itu realisasi nonlinguistik juga

diperkenalkan untuk memahami konsep metafora. Metafora konseptual kadang

diwujudkan dalam ungkapan nonlinguistik, misalnya dalam ungkapan

Page 19: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

30

important is central , misalnya direalisasikan dengan posisi yang berbeda

dengan orang yang tidak memiliki posisi sosial lebih tinggi.

Cakupan metafora konseptual sering menimbulkan model kultural atau

frame yang ada di dalam pikiran. Misalnya, konsep tentang waktu, karena

waktu dikonseptualisasikan sebagai entitas yang bergerak maka lahirlah

metafora time is a moving path, yang menimbulkan ungkapan metaforis waktu

‘berjalan dengan cepat’, waktu sudah tiba, waktu berlari sangat cepat, dan

sebagainya.

Konsep teori yang disarankan Kovecses (2004) ini digunakan untuk

menjawab permasalahan penelitian 5 sebagaimana termaktub dalam subbab

1.2.

2.2.3. Lakoff & Johnson (2003)

Senada dengan teori ini (lihat Lakoff & Johnson (2003); Langacker,

(2008:51); dan Geeraerts (2010:204) yang mendasari teori mereka dengan

linguistik kognitif. Pendekatan ini memandang metafora secara alamiah yaitu

proses kognitif fundamental, yang juga merupakan aspek fundamental dari

bahasa, bukannya sekadar pemanis retoris, permasalahan linguistik semata, dan

merupakan aspek pinggiran dari pikiran dan bahasa (Lakoff & Johnson, 2003).

Gagasan inilah yang disebut dengan metafora konseptual. Jika mengikuti

Geeraerts (2010:204), maka hakikat kognitif merupakan pilar pertama dari

pencirian metafora konseptual. Jika metonimi merupakan pemetaan intra-

ranah, sehingga hanya melibatkan satu ranah pengetahuan, maka metafora

Page 20: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

31

adalah pemetaan konseptual antar dua ranah yang berbeda (Kövecses, 2010;

Langacker, 2008:51), yaitu aspek pengetahuan dari ranah sumber, yang

umumnya lebih konkret, dipetakan untuk membentuk struktur pengetahuan

ranah target, yang cenderung lebih abstrak, seperti metafora BAHAGIA

ADALAH ATAS (Lakoff & Johnson, 2003). Pemetaan adalah pilar kedua dari

teori metafora konseptual. . Pengetahuan ranah sumber yang dipetakan adalah

khasanah prototipikal yang relevan bagi pemahaman ranah target. Pada

metafora BAHAGIA ADALAH ATAS, pengetahuan dari ranah sumber,

PERGERAKAN DAN ARAH KE ATAS yang dipandang berciri positif,

dipetakan ke ranah target EMOSI khususnya BAHAGIA. Metafora konseptual

terjelma dalam ekspresi metaforis. Di sini dicontohkan, ekspresi I‘m feeling up

dan Feeling on the top of the world (Deignan, 2005:14) adalah bukti ekspresi

linguistik metaforis nyata dari metafora konseptual BAHAGIA ADALAH

ATAS. Pilar ketiga menyatakan bahwa metafora mengakar pada beragam

pengalaman badaniah biologis manusia serta budaya (Geeraerts, 2010:207).

Dicontohkan juga, dengan berbasis pada postur tegak tubuh manusia, maka

manusia memiliki skema-gambaran ATAS-BAWAH (Lakoff, 1987). Skema

ini dapat berfungsi sebagai ranah sumber dan mendasari beragam perluasan

makna metaforis dengan memetakannya ke beragam ranah pengalaman,

misalnya ranah kuantitas (LEBIH ADALAH ATAS→price is rising up),

evaluasi (BAIK ADALAH ATAS→high quality). (Lakoff & Johnson, 2003).

Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya bahwa metafora

merupakan persoalan konsep yang terdapat dalam pikiran. Metafora berada

Page 21: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

32

dalam kerangka pengalaman hidup. Pikiran manusia bekerja sesuai dengan cara

tubuh berinteraksi dengan dunia. Inilah yang dimaksud dengan pengalaman

(experience). Pengalaman ini bukan pengalaman perorangan, tetapi

pengalaman yang berkaitan dengan pengalaman sosiokultural dan historis dari

suatu komunitas. Konsep inilah yang dianut oleh salah satu cara pikir

lunguistik kognitif tentang metafora.

Pada hakikatnya, perbedaan yang paling mendasar dari kedua

pandangan tersebut di atas adalah dalam pandangan linguistik kognitif,

metafora lebih dari sekedar gaya bahasa, sarana retorika, atau puisi, tetapi

merupakan bagian dari pikiran dan tingkah laku. Linguistik kognitif

memandang metafora sebagai suatu yang lebih dari itu, sesuatu yang lebih

dalam dan berpengaruh. Metafora meresap di dalam kehidupan sehari-hari

manusia, tidak hanya di dalam bahasa tetapi juga dalam pikiran dan tingkah

laku, di mana pikiran manusia tidak hanya berisi unsur intelegensi tetapi juga

berfungsi mengatur hidup manusia sampai ke hal yang sekecil-kecilnya.

Metafora adalah bagian dari sistem kognisi kita sebagai manusia. Metafora

adalah modus kita dalam berpikir dan bertindak. Manusia berpikir dengan

melihat kemiripan satu pengalaman dengan yang lainnya. Fenomena metafora

dalam bahasa adalah salah satu cara berpikir manusia.

Dalam pandangan linguistik klasik, sebuah klausa yang berbunyi

“dunia pangguang sandiwara”, hanya akan dimaknai sebagai sebuah bentuk

perbandingan yang berfungsi untuk mendukung unsur kepuitisan atau

memberikan sensasi tersendiri bagi pendengarnya. Tetapi dalam pandangan

Page 22: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

33

linguistik kognitif, klausa tersebut tidak sekedar dimaknai secara tekstual atau

“dipermukaan” saja seperti haknya pandangan linguistik klasik. Apabila ada

metafora yang berbunyi “dunia panggung sandiwara”, hal itu harus didukung

oleh sejumlah pernyataan-pernyataan yang mendukung metafora tersebut atau

diwujudkan dalam bentuk metafora ekspresi linguistik.

Lebih lanjut, ada set pemetaan antara target dan sumber yang

digunakan untuk menggambarkan analogi dan kesimpulan. Dalam klausa

tersebut di atas, kata “dunia” dikonseptualisasikan dengan panggung/tempat

pementasan karena kedua ranah tersebut memiliki sejumlah persamaan; mati

laju darahku – takluk sudah hebatku – dia butakan hatiku – hilang akal

sehatku. Artinya, dalam linguistik kognitif, “dunia panggung sandiwara” ini

tidak sekedar sarana retorika melainkan juga merupakan bagian dari sistem

pikir, yang kemudian mempengaruhi tingkah laku sehari-hari dalam konteks

memandang seorang wanita misalnya.

Namun, dari kedua pandangan tersebut sekilas juga memiliki

persamaan, sekalipun mungkin dikonseptualisasikan dengan istilah yang

berbeda. Misalnya, dalam pandangan linguistik klasik ada konsep mengenai

istilak pokok (tenor) dan istilah kedua (vehicle). Istilah pokok atau tenor

menyebutkan hal yang dibandingkan, sedang istilah kedua atau vehicle yaitu

hal yang untuk membandingkan. Dalam linguistik kognitif, juga terdapat

istilah source domain dan target domain yang pada dasarnya juga mengacu

pada hal yang sama dengan istilah tenor dan vehicle. Contohnya, LIFE IS A

JOURNEY. Linguistik kognitif akan menyebut LIFE sebagai target domain

Page 23: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

34

dan JOURNEY sebagai source domain. Sementara itu, linguistik klasik akan

menyebut LIFE sebagai tenor (istilah pokok) dan JOURNEY sebagai vehicle

atau (istilah kedua).

Namun demikian, pada intinya, konsep pokok tentang metafora antara

linguistik kognitif dengan linguistik klasik tersebut memang jauh berbeda.

Metafora dalam linguistik klasik hanya berupa penghias karya sastra atau

sarana retorika, sedangkan metafora dalam linguistik kognitif benar-benar

merupakan bagian dari sistem berfikir manusia yang terrealisasikan dalam

bentuk tingkah laku hidupnya. Bahkan dalam persamaan yang saya sebut di

atas pun, kalau mau ditelusuri juga memiliki konsep awal yang berbeda.

Source domain dan target domain didasarkan pada ranah/kelompok ide,

sedangkan term pokok dan istilah kedua sesuai dengan namanya didasarkan

pada ‘term’ istilah/hal apa yang yang dibandingkan. Demikianlah, sekalipun

kedua pandangan teori tersebut berbeda, tapi seperti halnya agama meskipun

tentu saja agama bukan teori, setiap teori memiliki tempat dan mimbarnya

masing-masing di hati tiap-tiap penganutnya.

Konsep teori yang disarankan Kovecses (2004) dan Lakoff & Johnson,

(2003) ini digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian 5 sebagaimana

termaktub dalam subbab 1.2.

2.2.4. Langacker (2004)

Dalam penelitian ini yang menjadi kerangka teroritis adalah teori

Langacker (2004) memaknai metafora sebagai bahasa kiasan dalam retorika

Page 24: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

35

tradisional, yang sekarang lebih sebagai metodologi kognitif yang diakui oleh

para psikolog kognitif dan linguis. Metafora dalam retorika tradisional, sebagai

gambaran bahasa kiasan, sekarang menjadi metodologi kognitif yang sangat

penting ditandai oleh para pakar psikologi dan linguis. Eksperimentalisme

internal meyakinibahwa konsep abstrak adalah metaforis. Langacker (2004)

menjelaskan struktur semantik sebagai sebuah konsep struktur yang berfungsi

sebagai kutub semantik sebuah ungkapan linguistik. Struktur semantik bersifat

internal selama makna merupakan fenomena mental yang harus dideskripsikan

dengan merujuka pada proses kognitif, dan konsep diasumsikan menjadi suatu

gambaran mental atau perumpamaan. Dalam menentukan prinsip-prinsip

linguistik kognitif, Langacker (2004) menyebutkan bahwa struktur semantik

tidak universal; linguistik kognitif merupakan bahasa khusus untuk suatu

derajat yang dapat dipertimbangkan. Struktur semantik didasarkan pada bahasa

perumpamaan yang konvensional dan ditandai dengan pengetahuan struktur.

Konsep teori yang disarankan Langacker (2004) ini digunakan untuk

menjawab permasalahan penelitian 4 sebagaimana termaktub dalam subbab

1.2.

2.3 Ragam Metode Analisis Metafora

Teori metafora Lakoff dan Johnson (1980, 1999) menjadi dasar untuk

menjelaskan struktur kognitif setiap kali menggunakan model lingusitik dan

dengan demikian akan memungkinkan mengungkapkan pola kolektif dan

individu dalam berpikir dan bertindak. Lakoff dan Johnson tidak

Page 25: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

36

mengembangkan sistem yang dapat dikerjakan untuk melakukan penelitian

kualitatif. Dalam disertasi ini yang diuraikan adalah dasar pendekatan dan

pengajuan prosedur untuk rekonstruksi konsep metafora. Biasanya dalam kasus

penelitian kualitatif, beberapa pedoman hanya dapat menunjukkan permainan

antara kemampuan peneliti untuk memahami pengertian dari hal-hal yang

berkaitan dengan aturan metodologi. Tinjauan interpretasi khusus

mengembangkan analisis metafora yang kemungkinan besar dapat dilakukan.

Dalam metode kualitatif, bahasa berada pada satu bagian dan subjek

waktu dan medium. Ini digunakan sebagai bahan yang mengacu kepada bahasa

di luar konten : pola hubungan, struktur, strategi komunikatif, dan lain-lain.

Lakoff dan Johnson (1980, 1999) melakukan hal ini dalam merumuskan

kerangka menyeluruh sebagai linguistik kognitif. Lebih lanjut mereka

menyebutkan bahwa teori metafora ini mengilhami berbagai pendekatan

terhadap analisis metafora sebagai prosedur penelitian kualitatif.

2.3.1 Metafora sebagai instrumen dan kritikan

Karakteristik pendekatan ini, yang bekerja dengan metafora adalah

metafora individu yang mengambil konteks tanpa rekonstruksi sistematis; ini

sering digunakan, dan secara kritis dikomentari sebagai bukti terhadap posisi

yang berlawanan. Piterman (2004) misalnya menulis tentang praktek

perawatan kesehatan yang menyatakan bahwa metafora pasar bisnis menjadi

metafora dominan sejauh menyangkut kebijakan sosial dan menyatakan bahwa

pasar adalah buta terhadap ekuitas (hak menurut keadilan, kewajaran),

Page 26: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

37

kebutuhan dan belas kasihan, serta emosi yang terjadi. Tidak diragukan lagi

bahwa metafora pasar menjadi salah satu yang dominan. Dalam frase yang

biasa digunakan untuk menjelaskan reformasi sistem kesehatan, kita

menemukan beberapa metafora dari pemeliharaan ketika memperhitungkan

distribusi dari sumber yang ada. Bagaimana diputuskan sisi dominannya, agar

atau metafora pemeliharaan ? Dengan melihat dari dekat, ditemukan metafora

– yang berbaur – dalam teks atas reformasi sistem kesehatan, dengan

membedakan fokus yang tergantung pada konteks politik. Terlihat sangat

masuk akal untuk menentukan fungsi ideologi bagi kedua uraian metafora.

Pada teks Piterman, tidak membangun apakah metafora lanjutan menentukan

pembahasan reformasi sehingga secara potensial membatasi atau melemahkan

dampak dari metafora yang tercatat. Refleksi metode empiris adalah umumnya

mengalami kekurangan dalam pendekatan; semuanya ini diarahkan pada titik

yang penting ketika itu ada disini. Metafora ini diarahkan pada apa yang telah

lewat, tanpa pretensi diri refleksi diferensiasi atas kemungkinan dan membatasi

pemikiran metafora.

2.3.2 Metafora sebagai alat terapi

Penggunaan terapi metafora telah menjadi tradisi yang lama, terutama

di dalam terapi keluarga. Penggunaan metafora ini harus disebutkan di sini

karena definisi yang berbeda dan cara tradisi dalam penanganan metafora yang

sering mengakibatkan kesalahpahaman. Dalam konteks terapi, tujuan bagi

terapis adalah mengembangkan metafora dan alegori, yang menghadirkan

Page 27: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

38

masalah klien dalam kerangka yang bersahabat dengan solusi. Pendekatan

terbaru mengasumsikan bahwa pengembangan metafora solusi harus sedekat

mungkin dengan bahasa klien. Di sini metafora terlihat sebagai ‘alat’ yang

digunakan dengan sengaja dan secara bebas. Pembahasan metafora dalam ilmu

sosial, khususnya setelah Lakoff dan Johnson, ditujukan untuk konsep

metafora lainnya, salah satunya yang mengacu pada catatan yang berbeda di

mana metafora itu dapat dibentuk. Sebagai individu, kelompok, dan dalam

kultur yang memiliki pola pemikiran metafora tidak menyadari, yang dapat

diambil sebagai sesuatu yang penting. Tujuan analisis metafora adalah untuk

mengembangkan pola berpikir metafora. Lakoff dan Johnson menjelaskan

konsep metafora ini sebagai “waktu adalah uang” sebagaimana ditemukan

dalam kalimat berikut “Ban kempis menyita waktu saya selama satu jam’; ‘di

sini tidak dapat menggunakan waktu dengan lebih menguntungkan’ dan ‘anda

perlu menganggarkan waktu anda’. Mereka yang mengunakan pola metafora

itu akan lebih menyadarinya; kedalamannya dalam budaya juga telah mulai

diketahui. ‘dalam kultur WAKTU ADALAH UANG’ dalam berbagai cara;

pesan telepon, upah per jam, sewa ruang hotel, anggaran tahunan, bunga

pinjaman dan pembayaran hutang kepada masyarakat dengan waktu

pelayanannya.

Terlihat dalam hal ini, metafora yang tidak hanya menjadi alat tetapi

lebih dari itu akan membentuk struktur di mana kita hidup. Analisis metafora,

yang dijelaskan di sini tidak dimaksudkan untuk menggunakan metafora secara

terapi atau retorika, namun berusaha membawa penggunaan metafora dan juga

Page 28: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

39

praktek yang terkait dengan hal ini pada tingkat kesadaran; misi ini adalah

lebih mendapatkan sorotan yang kadangkala lebih kritis dari ideologi yang

lebih menonjol.

2.3.3 Metafora yang digunakan untuk menjelaskan hasil penelitiankualitatif

Penelitian kualitatif akan menghasilkan besaran informasi heterogen,

yang juga memuat beberapa struktur yang lebih komplek. Metafora dapat

digunakan untuk mengurangi kompleksitas dan pola struktur yang jelas. Aita,

McLlvain, Suman dan Crabtree (2003) menjelaskan tiga pola berpikir metafora

dan aksi yaitu praktek sebagai hak monopoli (franchise), praktek sebagai misi

dan praktek sebagai pemeliharaan keluarga. Sangat mengagumkan untuk

melihat pada cakupan mana konsepsi metafora ini menentukan bagaimana

dokter dalam institusi respektif berpikir dan bertindak. Permukaan metafora

selama pembahasan dan proses evaluasi yang adalah untuk sebagian besar

bagian yang ada, tidak terdokumentasi, meninggalkan kita dengan sebuah

sistem yang jelas untuk mengidentifikasikan metafora. Metafora ini tidak

terlalu penting berasal dari orang yang diwawancarai meskipun mereka merasa

lebih baik dijelaskan oleh metafora. Di samping itu, terlihat bahwa melalui tiga

lembaga yang telah ada penelitian kualitatif berfungsi sepanjang ruang lingkup

kajian metafora.

Beberapa konsepsi metafora murni terlihat tidak sama dalam dunia nyata. Hal

ini diungkap dalam penelitian yang dilakukan Callahan, Maldonado dan

Page 29: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

40

Efinger (2003:37) yang menjelaskan pelatihan terhadap keputusan untuk

mengakhiri hidup dengan metafora.

Aubusson (2002:65) juga berpendapat bahwa penelitian kualitatif dapat

dilakukan berkaitan dengan metafora ini. Dalam melakukan hal itu, dia

memanfaatkan berbagai pertimbangan bagaimana menyesuaikan metafora

dengan data penelitian. Penelitian yang dilakukan tentang psikologi dan

bantuan sosial dalam kerangka kerja ini (meski peneliti masih merasa skeptis)

tapi sudah dapat diperlihatkan fenomena tertentu yang dapat dilihat pada

beberapa metafora yang terkontradiksi. Dapat juga dicatat di sini bahwa

metafora dapat digunakan untuk menunjukkan hasil penelitian kualitatif.

2.3.4 Metafora menjelaskan proses penelitian kualitatif

Tidak hanya sebagai sesuatu yang terkomplikasi untuk menghadirkan

penelitian kualtiatif tetapi proses penelitian itu sendiri terbukti lebih komplek;

metafora berfungsi untuk memberikan beberapa orientasi bagi peneliti dalam

berbagai usaha dan presentasi mereka. Schalwyk (2002:17) menjelaskan

metafora sebagai kerangka disertasi yang berbeda dengan penggunaan skenario

pembelian mobil dan juga untuk berbagai perjalanan sebagai jenis heurisitk

metafora guna membahas opsi yang terbuka untuk keputusan dan tekanan

untuk memilih penelitian kualitiatif. Dommer (1997:32) menggunakan

berbagai bentuk yang digunakan oleh wanita untuk menggambarkan bentuk

penelitian kualitatif termasuk penelitian kuantitatif.

Page 30: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

41

Berbagai metafora yang digunakan untuk proses penelitian kualitatif

memperlihatkan bahwa pengurangan dari proses penelitian menjadi satu

metafora secara aktual masih menjadi penyederhanaan yang tampak

dipaksakan. Pada sisi lain, fakta bahwa setiap metafora terlihat memiliki

genggaman (gripping) yang berpengruh terhadap penciptanya, yang

memberikan hasil yang mengarah pada metafora dan implikasi kognitifnya

yang belum didokumentasikan. Bagaimana cara mengurangi kompleksitas

dunia secara metaforis tanpa melihat isinya? Apa model metafora yang

digunakan untuk membahas penelitian kualitatif yang ada ? Rathmayr (1991)

mencatat lima metafora untuk menjelaskan peneliti berbagai penelitian sosial

kualitatif; pemburu, khalayak ramai, ornitolog (ahli tentang burung), detektif,

dan peretas program komputer (hiker).

2.3.5 Penelitian untuk metafora khusus

Peneliti lainnya berusaha untuk mengarahkan mereka pada metafora

dengan filsafat khusus. Penelitian berikut ini mengarahkan konsep dari Pepper

(1942). Dalam penelitian dengan kedua unsur kuantitatif dan kualitatif, Super

dan Harkness (2003) menganalisis metafora sentral menurut metafora dasar

(asal) dari Pepper (mekanisme formalisme, kontekstualisme, organisme).

Dalam melihat orang tua dan psikiatrik profesional yang terlihat untuk ekspresi

berkaitan dengan perkembangan manusia. Mereka menemukan preferensi

sambil untuk medan metafora tertentu dan membahas implikasi untuk

pemahaman perilaku anak. Seifert (2000) mengemukakan hal yang sama atas

Page 31: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

42

dasar penelitian terhadap konstruksi sosial dari anak-anak, yang juga

didasarkan atas penelitian Popper dan empat medan metafora yang tersebut di

atas. Bila kita mengasumsikannya, seperti yang dilakukan oleh Lakoff dan

Johnson, maka akan ada bebagai jumlah metafora yang terjalin dalam dunia

sehari-hari, mengurangi wawancara untuk metafora akan spesifik yang juga

memperlihatkan batasan problematik, baik secara konten maupun secara

metodik. Sebagai perbandingan, Lakoff dan Johnson menghitung 24 metafora

primer representatif untuk memahami dunia : Saya menemukan duapuluh

konsep metafora yang berbeda dalam bahasa Jerman untuk topik penyakit jiwa

yang lebih spesifik.

2.3.6 Metafora untuk proses refleksi diri dari para peneliti – atau –metafora yang diteliti

Penggunaan metafora dalam penelitian sejauh ini telah mengasumsikan

bahwa kita meneliti secara langsung metafora tertentu pada metafora bentuk

sadar dan material untuk memberikan hasil atau menjelaskan proses. Danziger

(2000) menyuarakan pertimbangan dalam konteks sejarah psikologi, di mana

teori ilmiah lahir ke dalam rangkaian pola pikir metafora, yang jarang

dibentuk.

Danziger (2000:331) menyebutkan . . . analisis metafora ini menjadi

hal yang menarik secara historis, terutama kita dapat menggunakan untuk

memperbaiki pemahaman pola berpikir psikologis yang telah menjadi karakter

dari periode, atau sebuah kultur, atau komunitas intelektual tertentu. Metafora

ini digunakan secara pervasif dengan rangkaian periode dan khususnya dari

Page 32: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

43

pengguna yang tidak mengarah pada metafora apa tetapi dengan beberapa

ekspresi kebenaran literal.

Danziger tidak memperoleh sisi kreatif dan metafora berpikir tetapi

pada kondisi laten, gambaran linguistik yang tidak dikenal sebagai metafora.

Beberapa analisis telah dilaksanakan untuk bidang psikologi tertentu, sebagai

metafora spirit dalam konteks penelitian yang lebih baik dan sebagai kajian

komprehensif untuk psikologi dari memori yang membandingkan asal usul

Perancis dengan translasi Inggris dari Piaget dan memperlihatkan bahwa

beberapa metafora biologi yang selalu berubah menjadi salah satu sisi

mekanika atau juga menghilangkannya bersama-sama. Pemahaman akan Piaget

di antara penutur bahasa Inggris adalah sebagai hasil temuan Jurzak, yang

berbeda dari pemahaman Piaget di antara penutur bahasa Perancis. Untuk

penelitian kualitatif, Aite dkk. (2003) menyatakan bahwa: besarnya keinginan

kita menyoroti bahasa metafora dari penelitian kita yang secara kritis mengarah

pada bahasa metafora dari pekerja lapangan kita dan uraian dari praktik dan

bahasa metafora untuk peserta penelitian. Chanil (1990. 1991a) menyatkaan

bahwa terapis penelitian membuat mereka menyadari metafora yang mereka

gunakan di dalam terapi dan melihat apakah metafora ini akan membuka pintu

untuk penelitian yang ada. Demikian juga referensi yang menunjukkan bahwa

penelitian ini ditentukan oleh metafora, batas kognitif dari apa yang telah ada.

Cara lain yang dimungkinkan untuk bekerja dengan metafora dalam

penelitian kualitatif adalah mengembangkannya langsung dari subjek

penelitian. Deacon (2000) dalam penelitian pasar menekankan bahwa peserta

Page 33: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

44

menjelaskannya sebagai sesuatu yang terjadi relevan dari segi warna, sebagai

hikayat, sebagai pertunjukan televisi, objek, dan juga musik, dan lain-lain.

Dengan menggunakan transformasi metafora dia mampu mendapatkan narasi

yang berharga dan bernilai.

Christensen dan Olson (2002) termasuk juga Zaltman (2003)

mengajukan pertanyaan kepada subjek penelitian untuk memberikan gambaran

yang memperlihatkan sikap dan peranan terhadap produk dengan mereka yang

diwawancarai. Mereka diminta menjelaskan setiap gambaran dan pengertian,

sehingga memperlakukannya sebagai sebuah metafora. Dalam membicarakan

gambar, maka metafora verbal muncul dengan cerminan yang dijelaskan lebih

mendalam.

2.3.7 Rekonstruksi sudut pandang metafora subjek penelitian dan jugafenomena budaya

Salah satu penelitian yang dapat dipertimbangkan di sini adalah

penelitian yang telah dilakukan oleh Beneke (1982) – yang terinspirasi oleh

Lakoff dan Johnson yakni yang menyangkut pelanggaran seksual. Dalam

percakapan keduanya meyakini bahwa pelecehan seksual juga tidak terlepas

dari penggunaan metafora yang efektif. Beneke (1982) menemukan dunia

imagi dalam bahasa mereka, yang membuat pelanggaran seksual dapat

dipahami, bahkan lebih penting di mata mereka. Seksualitas adalah

keberhasilan, performa, dan kemenangan; metafora berburu dan perang

(‘pembunuh anak gadis’, ‘penakluk’, ‘tidak menempatkan sesuatu sebagai

hambatan’, ‘menyerah’) lebih mendominasi. Laki-laki lebih menyukai

Page 34: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

45

perempuan, menggunakan metafora, sebagai sesuatu yang mengontrol suatu

objek, berupa makanan , hewan atau anak. Seksualitas adalah kegilaan yang

tidak terkontrol atau pelanggaran fisik. Organ seksual laki-laki dibicarakan

secara metaforis sebagai senjata, sperma sebagai ‘beban’ dan ‘amunisi’. Kesan

dan rekonstruksi dari dunia ini tentu membuat laki-laki berpikir dan bertindak

dari segi sesuatu yang tidak terinspirasi dalam proyek penelitian dalam bidng

ini.

Dalam perdebatan konstruktif dengan Lakoff dan Johnson, Quinn

(1987, 1991) menemukan delapan metafora yang berbeda untuk ‘perkawinan’

di antara penduduk pribumi Amerika Serikat, di wilayah tengah Selatan. Dia

menemukan metafora “kebersamaan’, ‘kekekalan’, manfaat bersama’,

‘kompatibilitas’, ‘kesulitan’, ‘usaha’, ‘keberhasilan dan kegagalan’ dan ‘resiko.

Dia melihat lapisan model budaya untuk pemahaman dunia yang lebih dalam

dibandingkan dengan konsep metafora; ‘metafora jauh dari produksi

pemahaman, yang biasanya sangat dibatasi oleh pemahaman’. Dia juga

mengkritik linguistik kognitif yang meninggalkan kesan bahwa semua

pemahaman ini didominasi oleh proyeksi metafora. Quinn dapat berbagi

kritikan, tetapi tidak mengikuti tesisnya bahwa ada model budaya,

independensi dari ekspresi metafora dalam bahasa.

Penelitian lain juga telah berkembang; Horton (2002) menganalisis

metafora untuk perubahan paru usia dan menghadirkan lima studi kasus

dimana masing-masing pernyataan diarahkan pada metafora terpusat. Seperti

dalam dua penelitian sebelumnya, informasi terhadap metode yang digunakan

Page 35: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

46

untuk membangun metafora dalam konteks masih sangat kekurangan.

Sementara analisis sebelumnya juga berhubungan dengan kasus analisis

kelompok, Nerlich, Hamiltoin dan Rowe (2002) yang menghadirkan analisis

metafora yang digunakan oleh media dan politik dalam penanganan penyakit

Kaki dan Mulut di Inggris Raya.

Pada penelitian terdahulu yang dapat dianalisis adalah pekerja sosial

dan psikolog yang ditentukan oleh departemen Tenaga kerja sosial untuk

bekerja dengan orang yang mengalami cacat psikososial. Data penelitian ini

dapat diidentifikasi metafora yang terdapat pada pekerja sosial dan bantuan

psikologi dalam perawatan masyarakat. Juga ada sembilan metafora konseptual

yang diperoleh, antara lain: (1) membangun untuk menyertai seseorang pada

jalur yang tidak dapat dilalui dan membawa mereka ke dalam jalur yang benar,

(2) membantu mendukung setiap orang yang mengalami beban berat, (3)

membantu membuat situasi yang gelap menjadi terang benderang, (4)

membantu orang untuk belajar, (5) membantu memfasilitasi ikatan antara

orang yang sendirian terpisah dari jaringan sosial dan membebaskan orang

yang terperangkap ke dalam kondisi yang sangat terbatas, (6) membantu

berbicara tentang sesuatu, membawa, membicarakan tentang, berbicara,

berbicara kepada, memberikan argumen (7) membantu bekerja melalui

masalah psikologi dan menghasilkan sesuatu dalam hubungan terapi, (8)

membantu adalah menyebabkan orang membuka pikirannya dan menetapkan

keterbatasan bagi seseorang yang tidak dapat melakukannya sendiri, dan (9)

Page 36: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

47

membantu memberikan suatu substansi (yaitu cinta, perhatian, perawatan) bagi

mereka.

Yang dikembangkan analisis metafora sebagai metode alternatif di

sini adalah untuk menemukan pola pikir sub-budaya dan mendefinisikannya

sebagai sebuah langkah penelitian yang handal dan dapat dijalankan. Berkaitan

dengan kredibilitasnya, kondisi analisis dimaksud, khususnya dalam rangkaian

fakta bahwa banyak fenomena komplek berdasarkan aturan dapat dijelaskan

menggunakan lebih dari satu metafora. Ketiga, dalam pendekatan yang

dipaparkan di sini lebih memfokuskan pada metafora tidak sadar dari bahasa

sehari-hari atau yang ditemukan dalam dokumen yang dikumpulkan dan tidak

mencoba melakukan metafora sendiri ke dalam sebuah proses. Keempat,

analisis metafora sistematis adalah usaha untuk mengungkapkan potensi teori

lingusitik kognitif dari Lokoff dan Johnson, menggunakannya secara luas

dibandingkan dengan apa yang dilakukan dalam kajian hingga sekarang ini.

Dengan memaparkan latarbelakang ini, diperkenalkan asumsi dalam

pendekatan Lakoff dan Johnson.

2.3.8 Asumsi sentral yang dibuat oleh Lakoff dan Johnson

Contoh dalam asumsi sentral yang dibuat oleh Lakoff dan Johnson

ini memberikan kejelasan tenang asumsi yang dibuat oleh Lakoff dan Johnson :

Konsep metafora. Metafora tidak muncul dalam keterasingan tetapi

membentuk konsep metafora, yang dapat dibangun. Jumlah konsep metafora

yang mendasar sangat terbatas – sehingga dari sejumlah metafora bantuan

Page 37: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

48

psiko-sosial maka ada sembilan konsep yang dapat disusun. Pengalaman

terhadap pemahamannya menekankan bahwa akan ada fokus penelitian dan

kemudian diarahkan pada bidang penyelidikan di mana konsep metafora itu

dapat dirumuskan secara khusus.

2.3.9 Homologi berpikir dan berbicara

Dalam homologi berpikir dan dan berbicara, hubungan metafora ini

bukan menjadi masalah kesempatan tetapi sebagai indikasi dari pola berpikir,

persepsi, komunikasi, dan aksi yang sesuai dalam semua bidang yang akan

dimainkan. Lakoff dan Johnson mengasumsikan homologi berpikir dan

berbicara. Hal ini menjadi titik awal bagi kemungkinan dan relevansi analisis

metafora dalam ilmu sosial. Penelitian tertua dari Bock (1981) terhadap

perilaku pemecahan masalah sebagaimana dianggap sebagai psikologi

eksperimen, merujuk pada hubungan yang tertutup antara kognisi metafora dan

juga perencanaan aksi.

2.3.10 Relevansi ilmu sosial dan psikologi

Relevansi analisis metafora dapat dibahas pada berbagai tingkatan,

misalnya Metafora lintas budaya. Lakoff dan Johnson menanyakan bahwa

skema sebagai ‘kebaikan selalu di atas’ dapat diperoleh dalam semua budaya

dan tidak dapat dibobotkan sama untuk semuanya dengan struktur spasial lain

(pusat/tepi, di depan dan di belakang, di dalam/di luar) yang barangkali

menjadi lebih dominan. Di samping itu konsep yang terhubung pada sumber

imagi ini tumpang tindih secara parsial dari satu budaya ke budaya yang lain.

Page 38: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

49

Dengan demikian dalam penelitiannya tentang AIDS, Wolf (1996)

membandingkan metafora peran dari dunia pertama (misalnya membasmi

penyakit dan sel pembunuh) dengan dana metafora yang digunakan di Malawi,

di mana virus AIDS dikonseptualisasikan di atas semua metafora makanan;

virus, yang dinyatakan sebagai cacing, memakan manusia, hanya sebagai

bagian dari penyimpangan sosial yang mengambil makanan dari manusia lain

dan bahan terkait dengan tubuh yang hidup.

Dalam wilayah agraria, seksualitas juga dinyatakan sebagai istilah

utama dari metafora makanan. Sehingga Wolf tidak merasa terkejut

menemukan bahwa paket kondom dengan gambaran perisai dan tombak,

menggambarkan pahlawan Afrika tetapi pada saat yang sama menggunakan

konsep Eropa untuk menyerang, bertemu tanpa berhasil dalam populasi.

Mempertanyakan sejumlah laki-laki atas penerimaannya tentang kondom dia

mendapatkan balasan yang secara metaforis diucapkan dalam kalimat : ‘Anda

tidak dapat memakan manisan dalam bungkusannya.

2.3.11 Keberadaan metafora secara budaya

Secara budaya subjek ini tentu diteliti dalam sejumlah kesempatan, terutama

dari sudut pandang linguistik. Nieraad (1977) menjelaskan metafora fasisme itu

dan aksi dari motivasi yang ada sebagai penakluk perang, Fuhrer sebagai fitur

dari legitimasi demokratis dan perubahan; dan disain dari perlawanan politik

seperti tikus dan cacing dan pelaksanaan program biologi untuk

pengentasannya. Penulis ini menggambarkan sebuah survey konsep metafora

Page 39: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

50

untuk krisis psikologi atau penyakit bagi semua jenis – dari Austrasten hingga

Zerrissenheit.

2.3.12 Keberadaan metafora dalam sub kelompok

Dalam bidang bantuan psiko sosial profesional terdapat beberapa

paper yang menganalisis metafora lingkungan spesifik dan implikasi untuk

tindakan manusia. Schachtner (1999, 2002) meneliti strategi terapi dan

diagnosis di antara praktisi umum dengan mengacu kepada gambar linguistik

yang memandu aksi yang telah ada. Persepsi metafora dan pentahapan pada

kontak antar manusia dalam psikologi berbasis bangsal telah dijelaskan oleh

Buchloz dan von Kleist (1997). Survey konsep metafora yang digunakan dalam

kerangka menyeluruh dari bantuan psiko-sosial ini telah disebutkan.

2.3.13 Metafora sebagai mekanisme pengarah interaksi

Buchlotz dan von Kleist (1995) menjelaskan pengarahan interaksi

manusia melalui metafora dalam kondisi terapi. Mereka menganalisis, dengan

mengacu kepada satu contoh spesifik apa yang dikembangkan oleh klien dan

terapi sebagai metafora dari pekerjaan mereka, dengan memberlakukan

metafora dalam interaksi yang telah ada, dan juga kemungkinan kendala meta

linguistik untuk komunikasi menggunakan metafora. Kajian kuantitatif pada

penggunaan metafora dalam terapi ditemukan dalam Pollio, Barlwo, Fina, dan

Polio (1977).

Page 40: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

51

2.3.14 Keberadaan individu metafora

Dalam penelitian yang telah disebutkan di atas, keberadaan metafora

itu menjadi sebuah isu pada berbagai tingkatan. Dengan studi kasus ini, analisis

metafora dapat memberikan rangsangan terhadap penelitian biografi dan pada

evaluasi proses terapi.

Penelitian kualitatif memperlihatkan berbagai ketegangan yang ada

di dalam hubungan antara subjektivitas, refleksi diri dan ketaatan pada

prosedur metode. Contohnya adalah berkisar dari Mayring (1983) dengan

analisis konten berbasis aturan yang direfleksikan atas bagian subjek dari

perkembangan kategori, bagi posisi yang diambil oleh Huber (2001) yang

membatasi ketaatan terhadap metodologi yang kurang penting bagi penelitian

dibandingkan dengan subjektivitas estetika. Ilustrasi yang dapat digambarkan

dari hasil analisis tersebut adalah faktor timbal balik dalam hubungannya

antara subjektivitas dan prosedur metodologi menggunakan metode penelitian

yang telah dikembangkan berupa analisis metafora sistematis.

Analisis metafora sistematis berusaha membangun model berpikir,

bahasa, dan tindakan. Ini mengikuti indikator yang ditemukan dalam tulisan

historis terhadap filsafat yang mana model metafora itu menentukan pikiran

bahkan selama paparan abstrak yang ada, termasuk dari praktek terapi di mana

metafora itu digunakan sebagai komunikasi yang sangat vital yang mampu

memahami pengertian yang telah ada, khususnya dalam kondisi yang lebih

sulit.

Page 41: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

52

Dalam kondisi penelitian yang berbeda, penelitian dalam psikologi

eksperimen memperlihatkan bahwa metafora itu mempengaruhi proses kognitif

dan arahan perhatian. Kontribusi bidang lingustik pada peran dan fungsi

metafora, dalam bahasa tulisan dan lisan, meningkatkan berbagai bagian dalam

beberapa dekade. Kontribusi dari berbagai disiplin saling berbagi kesimpulan

di mana metafora memberikan orientasi pra konsepsi dengan mengacu kepada

pemikiran dan pengalaman yang sulit diakses, atau hanya dapat diakses dalam

bantuan analitik dalam pembahasan yang rasional. Penelitian kualitatif

membutuhkan pendekatan yang memungkinkan refleksi sistematis dari

metafora di mana melalui hal itu dapat diterima, berbicara, berpikir dan

bertindak. Analisis sistematik dari metafora itu digambarkan atas hasil

linguistik kognitif oleh Lakoff dan Johnson, menambahkan rekonstruksi

sistematis step by step dari model metafora. Prosedur penelitian yang secara

sistematis menganalisa pengertian metafora memanfaatkan gerakan penolakan.

Dalam hal ini, literatur seringkali memuat pemahaman etimologi dan juga

penekanan yang sangat ekstrim dari metafora individu yang kemudian akan

dapat dijelaskan sebagai subjek yang telah ada.

Berbeda dengan hal ini, publikasi terakhir dari Lakoff dan Johnson

ini mengarah pada asumsi bahwa model metafora yang membentuk kerangka

kerja untuk berpikir kolektif telah dapat diidentifikasikan dalam berbagai

bentuk dasar. Posisi keduanya mengarah pada tugas identifikasi metafora dan

rekonstruksi pengertian kontekstual. Juga dalam kedua kasus ini tidak ada

uraian metodologi sistematis dalam mengekstrak pemahaman yang telah ada.

Page 42: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

53

Namun demikian, bahkan dalam menghadapi defisit analisis sistematis dari

metafora, sebagai proses hermeneutik, masih tetap menjadi seni terapan.

Rekonstruksi model metafora ini tidak bersifat otomatis; proses ini hanya dapat

dipelajari. Pemahaman penelitian dari seseorang tentu menggambarkan sisi

lingustik yang dibawa melalui rentang subjek historis; karakter sosial,

pengalaman hidup dan tingkat pendidikan yang memungkinkan dan membatasi

pemahaman ini. Aturan praktis untuk koleksi bahan dan prosedur

pemrosesannya tidak terbatas pada peneliti, selain mengundang penemuan

konsep berpikir metafora, perasaan dan tindakan yang kemudian dirajut ke

dalam pemahaman multi lapisan dan disajikan dalam cara yang meyakinkan

dan bisa dipahami.

Di samping optimisme ini, analisis metafora sistematis sebagai

metode evaluasi hanya dapat menjadi bagian dari prosedur penelitian yang

sesuai dengan subjek. Pembatasan dan kepentingan ini dalam pengembangan

langkah untuk memastikan kebenaran. Prosedur yang diajukan untuk

intrpretasi teks ini didasarkan atas analisis metafora dalam kerangka kerja

penelitian kualitatif yang dibagi ke dalam lima tahapan sebagai berikut. Yang

pertama mengidentifikasikan bidang target untuk analisis metafora. Tahapan

ini tentu dapat ditemukan lebih atau kurang eksplisit dalam semua pengantar

metode penelitian kualitatif : menentukan topik, memutuskan pertanyaan yang

tepat dan membuat draft rencana untuk survey dan evaluasi. Analisis metafora

ini membutuhkan topik yang dipilih lebih lanjut sehingga penelitian dapat

dibuat untuk pengisian metafora. Kemudian lebih menarik untuk menemukan

Page 43: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

54

jawaban bagi pertanyaan apakah itu lebih baik bagi analisis metafora atau

metode evaluasi teks lainnya yang terhubung pada subjektif tertentu tetapi

tidak disadari berbagai penelitian dalam bidang ini. Schachtner (1999)

memperlihatkan bahwa dokter medis menggunakan metafora yang bersumber

dari pengalaman individu. Ini mengarah pada berbagai keanekaragaman dari

model metafora, yang terbukti berbagai aspek konsisten dan yang sama

digunakan oleh dokter. Kajian kualitatif yang dapat dibandingkan ke dalam

model penelitian kualitatif model metafora yang digunakan untuk menjelaskan

aktivitas pemahaman, penelitian atau temuan mereka masih belum terlaksana.

Langkah kedua dalam proses ini, latarbelakang pengumpulan metafora

yang luas dan tidak sistematis berfungsi sebagai persiapan untuk penelitian dan

dokumentasi ruang lingkup budaya yang ada untuk menjelaskan fenomena

yang ada. Selama fase persiapannya para peneliti berusaha mencari metafora

dalam berbagai rentang bahan yang mengacu kepada topik yang diteliti

(ensiklopedia, jurnal, buku yang ditulis para ahli untuk publik, dan lain-lain).

Literatur akademik juga harus direkam untuk konseptualisasi metafora. Daftar

yang diciptakan akan memungkinkan tinjauan awal dari konsep metafora yang

sesuai yang digunakan untuk merefleksikan sebuah topik. Metodologi yang

diajukan mendorong para peneliti untuk membuat catatan persaingan model

metafora untuk wilayah sasaran dari bidang ilmu dan juga dari dunia sehari-

hari, sehingga memberikan kesempatan untuk lebih sesuai dan pantas dalam

berbagai imagi fenomena lingusitik khusus yang termasuk dalam rutinitas

penelitian.

Page 44: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

55

Penelitian yang tidak sistematis dalam konteks penelitian yang lebih

sempit akan memberikan draft bagi rangkaian budaya yang menyoroti

ketiadaan model metafora tertentu. Koleksi dalam bahasa sehari-hari dan

tulisan teoretis membantu menemukan konsep yang dimanfaatkan dalam

evaluasi wawancara dan teks lain. Aturan yang ada mengasumsikan bahwa teks

tersedia sebagai bahan untuk analisis lebih lanjut. Langkah ini termasuk

menganalisis ekspresi verbal dari sub kelompok untuk menetapkan metafora

mana yang akan digunakan untuk menjelaskan bidang penelitian ini. Hal ini

tentu berlangsung dalam dua tahapan, yang dimulai dengan identifikasi

metafora melalui segmentasi teks dan diikuti oleh rekonstruksi konsep

metafora.

Analisis dimulai dengan mengidentifikasikan metafora yang ada di

dalam teks. Tugas ini tidak mudah dicapai dalam kelompok kerja sesuai

dengan frase atau kata yang diidentifikasikan sebagai metafora apabila

memenuhi persyaratan sebagai berikut : (a) Kata atau frasa dapat dipahami

dalam pengertian harafiah dan konteks (b) Pengertian harafiah berasal dari area

pengalaman kultural dan sensorik, dan (c) Yang kemudian ditransfer kedalam

bidang yang kedua.

Prosedur praktis adalah pertama kali untuk meniru metafora yang

digunakan (di dalam target itu telah diteliti termasuk konteks teks) dan

kemudian memasukkannya ke dalam daftar terpisah. Bentuk teks yang lainnya

kemudian direkam untuk menemukan dan mengekstrak semua uraian metafora

lanjutan dari topik yang diteliti, hingga hanya menghubungkan kata, teks yang

Page 45: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

56

tidak relevan dengan target dan abstrak tanpa hubungannya dengan metafora.

Dalam penelitiannya, Schulze (2005) merekomendasikan dan ikut serta dalam

pandangan diri sendiri. Sebelum semua wawancara lain berlangsung maka

peneliti diwarancarai atas topik itu dan mengidentifikasikan dan mengekstrak

metaforanya sendiri.

Logika metafora dalam rekomendasi bahasa sehari-hari, dalam kasus ini

sebagai aturan pelaksanaan, kelompok menengah hingga kelompok ekstrim.

Beberapa konsep metafora umum kadangkala dibedakan secara acak, baik oleh

kelompok sosial maupun individu. Di sini penelitian kualitatif dapat

memberlakukan rekonstruksi model metafora khusus dalam bahan kelompok

dan biografi khusus pula. Proses alokasi idiom metafora ini pada konsep

metafora dilanjutkan hingga semua metafora dicatat dalam konsep. Dalam

disiplin penentuan kelompok semua metafora menurut referensi kolektif, ruang

lingkup untuk interpretasi konsep metafora itu dibatasi oleh adanya konsep

yang bersaing sehingga, ada perbedaan yang jelas antara analisis metafora

sistematis dan bebas. Dalam bagian terakhir, proses ini masih tidak lengkap

dan metafora ditemukan pada awalnya sebagai bagian dari interpretasi.

Formulasi dari konsep metafora ini menuntut pendekatan yang lebih

kreatif dan sintesis. Aturan praktis ini untuk kemampuan subjektif adalah

menemukan berbagai konstruksi lingusitik dan untuk mengidentifikasikan

konsep yang telah didefinisikan. Pelatihan dan pengembangan contoh sangat

membantu. Namun demikian, metode pemahaman penelitian itu tergantung

pada faktor personal seperti praktik, tingkat pengetahuan akan konsep dan

Page 46: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

57

biografi dan karakteristik metafora, dan kemampuan untuk mengambil

keputusan termasuk perkembangan yang ada melalui bahan yang ada. Ada juga

usaha untuk menemukan dan mengembangkan berbagai model yang menurut

Poiaget menuntut berbagai asimialsi dan adaptasi dari bahan menggunakan

sistem yang tersedia. Rekonstruksi konsep metafora untuk Lakoff dan Johnson

tidak merumuskan aturan yang lebih terbuka untuk pengaruh subjektif dari

pada identifikasi metafora.

Keterkaitan antara pemanfaatan keberadaan subjektif dari pengetahuan

dan aturan praktis yang mengikutinya juga dibahas dalam metode evaluasi teks

dengan menggunakan berbagai jarak yang lebih familiar. Divisi ini tentu

terlihat di antara dua fase pengumpulan dan rekonstruksi terhadap kesiapan

untuk membuat penilaian dan menghindari bahaya yang datang setelah

kesimpulan pertama dari imagi lingusitik ditemukan. Sejumlah temuan

eksperimen membuktikan bahwa distraksi metafora ini adalah kejadian yang

sering terjadi. Analisis metafora, tidak dapat didahului sebelumnya bila teknik

tidak digunakan untuk pengembangan kebiasaan membaca secara rutin.

Destruksi dari struktur teks, dengan memotong frasa metafora, menghilangkan

berbagai metafora yang sama dari teks dan memungkinkan penilaian dari unsur

tekstual. Uraian Hitzler dari penggunaan hermeneutik umum dapat diadopsi

untuk analisis metafora.

Penggunaan model metafora ini termasuk pada praktek sosial dan etno-

metode komunikasi diri sendiri dan orang lain. Sangat dimungkinkan untuk

melakukan analisis biografi terhadap latarbelakang kejadian kolektif dari

Page 47: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

58

metafora. Imagi linguistik yang bersifat independen dan juga kurangnya satu

konvensi menjadi hal yang lebih baik bila membandingkan temuan itu dengan

kelompok. Proses ini sama seperti saling pengaruh di antara aturan praktis dan

kemampuan subjektif.

Yang perlu dipahami adalah membangun konsep metafora seperti

‘seseorang dalam wadah?’ Frase metafora itu tentu tidak memiliki lebih dari

satu titik dalam petak, yang terlihat lebih sesuai. Pengetahuan dalam konsep

metafora hanya dapat digunakan bila membuat interpretasi yang

dimungkinkan.

Pemahaman hermeneutik adalah proyeksi subjek ke dalam dunia dan

(lingusitik, intelektual dan praktis) adalah pra syarat bagi upaya

mengungkapkan koneksi lain dalam dunia yang memiliki struktur secara

simbolik. Langkah-langkah dalam prosedur dan pengetahuan dari kesimpulan

itu sangat dimungkinkan membantu mencapai pemahaman yang lebih baik

dalam awal pembentukan pengalaman dan juga pencapaian batas yang telah

ada. Pemahaman ini adalah terutama tidak sempurna; konsep kejenuhan

teoretis dalam pengertian teori yang dihadirkan sebagai kriteria pragmatik

untuk membawa penelitian lebih dekat.

Perbandingan konsep metafora ini diperhitungkan untuk sejumlah

tindakan dan pengalaman yang berbeda. Bakrfelt (2003) misalnya dalam

kajiannya terhadap metafora depresi, ditemukan dalam tulisan autobiografinya,

pekerjaan yang dialami oleh berbagai penulis dalam penyakitnya antara

kontrast terang dan gelap. Yang lain menjelaskannya sebagai serangan yang

Page 48: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

59

mengenali mereka secara tiba-tiba. Perbandingan dari kedua konsep metafora

ini mengacu kepada pengalaman penyakit yang berbeda yang digambarkan

pada kecepatan yang berbeda. Penggunaan metafora dalam pengertian terang –

gelap memberikan persepsi transisi sehingga memungkinkan ruang bagi

manuver yang padat mungkin ketika depresi itu diangap sebagai serangan.

Dalam sisi terakhir, pada sisi lain, penyakit itu lebih jelas didefinisikan sebagai

musuh berbahaya dan personal dibandingkan dalam konsep metafora. Dari

kondisi ini, Barkfelt mendapatkan sejumlah opsi berbeda untuk intervensi

terapi dan linguistik. Tetapi secara umum, perbandingan konsep metafora

dengan model aksi ini memuat beberapa bidang keilmuan khusus. Kesimpulan

ini hanya dimungkinkan bila konteks ini dapat dipahami secara penuh. Barkfelt

hanya mampu menarik kesimpulan karena ia mampu mengenali implikasi yang

telah ada dengan apa yang telah dihasilkan.

2.4 Penelitian Yang Relevan.

2.4.1 Ho Vin My Linh (2011) : Kajian Metafora dalam Surat Kaba (Bahasa Inggris tandingan Bahasa Vietnam )

Judul diatas membahas permasalahan bahasa yang muncul berkaitan

dengan metafora yang secara produktif digunakan dalam bahasa surat kabar.

Dalam penelitian ini penulis berpendapat bahwa para jurnalis sering

menggunakan kemampuan bahasanya khususnya dalam penggunaan metafora.

Metafora merupakan salah satu perangkat bahasa yang menimbulkan kesulitan.

Menggunakan metafora dalam surat kabar memuaskan keingintahuan dan

Page 49: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

60

kepuasan pembaca meski kadang menimbulkan kesulitan dalam

memahaminya.

Metafora ada sebagai fakta umum di semua bahasa di dunia ini tidak

bahasa Vietnam yang kemudian dibandingkan dengan bahasa Inggris dalam

penggunaannya di surat kabar. Analisis ini sebagai kontribusi pada bidang

linguistik khususnya mengenai persamaan dan perbedaan metafora dalam

bahasa Vietnam dan bahasa Inggris dan membantu para penulis, pembaca, guru

bahasa, mahasiswa, penerjemah dalam memahami kedua bahasa secara efektif.

Penelitian ini untuk menganalisis ujaran-ujaran metaforis yang terdapat dalam

surat kabar berbahasa Vietnam dan bahasa Inggris dan mencari persamaan dan

perbedaannya khususnya yang berkaitan dengan fitur-fitur sintaksis dan

semantik. Kemudian, fitur-fitur tersebut dibandingkan dan dicari kesamaan dan

perbedaannya. Akhir dari penelitiannya diperoleh implikasi yang dikaitkan

dengan pembelajaran bahasa.

Untuk mencapai tujuan-tujuan yang disebutkan di atas dirumuskan

permasalahan penelitian sebagai berikut, (1) fitur-fitur sintaksis apasajakah

yang terdapat dalam ujaran metaforis dalam surat kabar Vietnam dan bahasa

Inggris? (2) fitur-fitur semantik apasajakah yang terdapat dalam ujaran

metaforis dalam surat kabar berbahasa Vietnam dan bahasa Inggris?, dan (3)

kesamaan dan perbedaan apasajakah antara metafora bahasa Vietnam dan

bahasa inggris khususnya yang berkaitan dengan fitur-fitur sintaksis dan

semantik? Untuk memperoleh jawaban dari ketiga rumusan tersebut, peneliti

menggunakan beberapa teori metafora, antara lain Halliday (1989) khususnya

Page 50: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

61

yang berkaitan dengan definisi metafora; Galperin (1981) tentang hubungan

antara kamus dan makna logis kontekstual yang berdasarkan kesamaan

perangkat bahasa tertentu terhadap dua konsep korespondensi; Lakoff dan

Johnson (1980) khususnya yang berkaitan dengan peran metafora dalam

menentukan realita bahasa sehari-hari. Dalam linguistik kognitif, metafora

diartikan sebagai pemahaman suatu domain konseptual untuk domain

koseptual lainnya. Lakoff (1980) yang menegaskan bahwa metafora bukan

permasalahan pikiran dan alasan. Bahasa masalah kedua. Masalah yang utama

justru terletak pada pemetaan.

Untuk mendapatkan firtur-fitur sintaksis, peneliti menggunakan

kategorisasi frasa yang ada dalam metafora kedua bahasa tersebut. Yang

dimaksud kategori frasa di sini adalah kata-kata yang secara terstruktur ada

dalam membentuk metafora.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi

deskriptif dan komparatif. Sampel yamg dikumpulkan dalam bentuk ujaran

metafora dari berbagai surat kabar kedua bahasa yang diteliti dalam bentuk

korpus sebanyak 400 sampel (200 dalam bahasa Vietnam dan 200 dalam

bahasa Inggris.

Hasil analisis yang diperoleh fitur sintaksis bahasa Inggris adalah

sebagai berikut:

(1) Noun phrases

a) N;

b) ART + N;

Page 51: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

62

c) ADJ + N;

d) NP + PP (PREP + N/NP);

e) NP’s + N; f) N + PP; f) COMPOUND N;

(2) Adjective Phrases:

a) ADJ;

b) COMPOUND ADJ;

c) PAST PARTICIPLE / PRESENT PARTICIPAL;

(3) Verb Phrases: a) V.

Hasil analisis fitur semantik bahasa Inggris berdasarkan pada gabungan

kesamaan warna, bentuk, fungsi dan ciri, metafora dapat dikelompokkan

menjadi:

(1) metafora yang merujuk pada warna;

(2) metafora yang merujuk pada cuaca;

(3) metafora yang merujuk pada perang;

(4) metafora yang merujuk pada kesehatan;

(5) metafora yang merujuk pada binatang;

(6) metafora yang merujuk pada makanan;

(7) metafora yang merujuk pada perjalanan; dan

(8) metafora yang merujuk pada sifat.

Penelitian ini berkontribusi khususnya dalam menganalisis fitur

sintaksis dan semantiknya. Metode analisis ini diterapkan dalam analisis

metafora Hikayat Abdullah. Perbedaannya adalah dalam penelitian yang

Page 52: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

63

dilakukan oleh Ho Vin My Linh (2011) ini dengan yang sedang peneliti

lakukan adalah disamping jenis genre yang berbeda, tidak adanya bandingan

makna metafora sebagai salah satu bahasa figuratif dari segi ilmu sastra dengan

makna kognitif metafora dari segi kajian linguistik.

2.4.2. Abdullah, I. H. (2011), Analisis Kognitif Semantik PeribahasaMelayu Bersumberkan Anjing (Canis Familiaris) :

Makalah yang ditulis oleh Abdullah ini mengungkap secara spesifik

kajian metafora dikaitkan dengan hewan. Konsep hewan yang diketengahkan ia

sebut rantaian makhluk utama (RUM) dan metonimi spesifik generik yang

melambangkan semantik peribahasa Melayu berkaitan dengan binatang anjing.

Penulis berpendapat bahwa mekanisme kognitif dalam berkomunikasi

manusia selalu membentuk metafora dengan mengaitkan atau melibatkan

hewan yang kerap ditemui dalam kehidupannya sehari-hari. Di sini penulis

memilih hewan anjing yang kerap digunakan dalam peribahasa berkaitan

dengan hewan yang dapat dijumpai dalam hampir semua bahasa dan budaya.

Makalah ini membahas mekanisme kognitif yang membolehkan manusia

membentuk peribahasa dengan melibatkan hewan dari sudut linguistik kognitif.

Peneliti melambangkan metafora yang ia teliti berazaskan pada budaya

rakyat (folk culture) dikaitkan dengan hirarki makhluk dalam dunia hakiki.

Peneliti berpendapat bahwa mekanisme kognitif dalam berkomunikasi manusia

selalu membentuk metafora dengan mengaitkan atau melibatkan hewan yang

kerap ditemui dalam kehidupannya sehari-hari. Di sini penulis memilih hewan

anjing yang kerap digunakan dalam teks yang diteliti, yaitu yang berkaitan

Page 53: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

64

dengan budaya rakyat (folk culture). Pandangan bahwa setiap hewan secara

prototipe mempunyai tingkah laku naluri masing-masing, namun secara

universal dengan pengalaman manusia yang berbeda-beda dalam

memperlakukan, dan memanfaatkan hewan tersebut secara berbeda, bentuk dan

makna metafora yang diambil dari jenis binatang yang sama akan mempunyai

makna yang berbeda pula. Makna-makna tersebut tidak terlepas dari budaya

masyarakat penuturnya. Oleh sebab itu, di sini penulis disertasi ini mengambil

satu budaya sebagai budaya asal metafora tersebut dibentuk, yaitu budaya

Melayu. Beberapa teori digunakan dalam penelitian ini, namun yang menarik

untuk ditelusur adalah teori Kövecses (2002) dan Lakoff & Turner (1989).

Teori ini berfokus pada aspek mental, yaitu berasaskan satu situasi khusus

dapat dipahami.

Penelitian ini menghasilkan dari 35 peribahasa Melayu yang dianalisis,

14 (40. 0%) memaparkan anjing sebagai Pelaku (protagonis) suatu perbuatan,

11 (31. 4%) memaparkan anjing sebagai objek atau antagonis perbuatan

manusia. Selebihnya, 10 peribahasa (28. 6%) merujuk kepada bahagian anjing

seperti ekor anjing (n = 5), mulut anjing, leher anjing, atau atribut anjing

seperti tuah anjing dan semangat anjing serta objek berkaitan anjing - tali

anjing (masing-masing n = 1).

Menurut pandangan Lakoff & Turner, (1989) anjing dilihat sebagai

hewan yang bisa diharap dan setia. Namun berdasarkan analisis peribahasa

anjing dalam penelitian ini, dari segi budaya Melayu, anjing adalah hewan

yang hina, lemah dan, jahat. Oleh sebab itu diperoleh hasil bahwa ada

Page 54: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

65

perbedaan antara proposisi dan skema metaforis dalam semantik metafora

hewan.

Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang sedang dilakukan

adalah teori yang digunakan, yaitu teori Kövecses (2002) dan Lakoff & Turner

(1989). Perbedaannya adalah dalam penelitian yang dilakukan oleh Abdullah,

I. H. (2011) ini dengan yang sedang peneliti lakukan adalah di samping jenis

genre yang berbeda, tidak adanya bandingan makna metafora sebagai salah

satu bahasa figuratif dari segi ilmu sastra dengan makna kognitif metafora dari

segi kajian linguistik.

2.4.3. Tina Krennmayr (2011) : Metapor dalam surat kabar

Penelitian Metafora dalam Surat Kabar oleh Krennmayr (2011) dari

universitas VRIJE Belanda berlatarbelakang bahwa metafora merupakan

subjek perdebatan yang panas dan yang paling banyak diteliti oleh para linguis.

Hal ini sangat aneh: mengapa para linguis begitu tertarik dengan bidang kajian

sastra ini? Jawabannya berkaitan dengan linguistik kognitif, sebuah cara ampuh

dalam melihat bahasa dan pemikiran. Penelitian-penelitian yang telah

dilakukan sebelumnya cenderung mempertimbangkan masalah bahasa terlepas

dari kemampuan kognitif, linguistik kognitif memandang bahasa sebagai cara

interaksi dengan persepsi, memori, dan pemberian alasan. Penekanannya

adalah walaupun kelihatannya aspek bahasa manasuka (arbitrary), seperti

dalam beberapa bahasa pemilihan kata depan menjadi masalah besar, tetapi

Page 55: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

66

kata depan yang dimaksud mempunyai pondasi makna yang sistematik dalam

pikiran.

Peneliti dalam disertasi ini mengungkapkan bahwa tulisan jurnalistik

kerap digunakan sebagai sumber analisis metafora. Telah banyak penelitian

metafora yang mengangkat isu-isu berita di berbagai surat kabar . Dicontohkan

di sini metafora yang berkaitan dengan imigran (Santa Ana, 1999); metafora

komunikasi

dalam laporan berita di Inggris (Heywood & Semino, 2007); fungsi metafora

perang dalam berita majalah bisnis (Koller, 2002), dan masih banyak lagi yang

lainnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Krennmayr (2011) ini memberi

pandangan pada penggunaan contoh konsep atau metafora linguistik dalam

suregister atau pada topik-topik khusus, metafora yang digunakan di surat

kabar sebagai suatu keseluruhan register. Teori yang digunakan, di samping

teori dasar yang diutarakan oleh Lakoff and Johnson’s (1980), peneliti juga

mengkombinasikan beberapa teori, antara lain (Boers, 1999; Cameron, 2003;

Charteris-Black, 2004; Deignan, 2005; Koller, 2004; Musolff, 2006; Semino,

2002; Steen et al. , 2010).

Dari hasil penelitian ini, telah dibangun database bahasa dari empat

register yang berbeda, yaitu berita, fiksi, teks akademik dan percakapan –

dilengkapi metafora yang berdasar pada kejelasan, arahan identifikasi metafora

yang sistematis yang dirujuk dari Prosedur Identifikasi Metafora, (the

Metaphor Identification Procedure (MIP)) (Pragglejaz Group, 2007). Prosedur

Page 56: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

67

metode ini bekerja dari bawah ke atar (bottom-up) yaitu hanya berfokus pada

pengidentifikasian metafora linguistik, bukan konsep struktur.

Database yang ditemukan dikatakan sangat unik, yang dapat membuka

peluang semua penelitian dalam bidang ilmu yang baru yang selama ini tidak

terlalu memperhatikan pendekatan linguistik kognitif terhadap metafora –

variasi bahasa metafora yang digunakan dalam jenis wacana yang berbeda.

Rumusan masalah yang dikemukakan berkaitan dengan frekuensinya bahasa

metafora digunakan dalam surat kabar dibanding dengan jenis register lainnya,

distribusi melalui kelas kata dan hubungannya dengan register, distribusi

perbedaan bentuk metafora seperti metafora langsung, tak langsung dan

implisit, dan bentuk-bentuk yang bertanda.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatatif untuk memperoleh hasil

perbandingan penggunaan bahasa metafora pada register yang berbeda,

misalnya register berita dan fiksi khususnya pada tingkatan leksikal termasuk

pada tingkatan morfologi.

Dicontohkan di sini bahwa sebagai register berita, surat kabar dicirikan

dengan proporsi nomina, preposisi, dan ajektiva yang tinggi. Oleh sebab itu

metafora nomina bukan yang utama dalam berita. Frekuensi metafora pada

kelas kata untuk kata depan, ajektiva, dan verba sangat tinggi. Tidak sama

halnya dengan register lain yang lebih banyak menggunakan verba, ajektiva,

dan adverbia.

Page 57: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

68

Metode kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan makna metafora

secara semantik kognitif. Makna metafora yang terkandung dalam tiap-tiap

register disinyalir sama medan kognisinya. Dicontohkan makna kognitif dari

kata perang dapat dipergunakan dalam berita bisnis, olah raga, dan juga politik.

Persentase penggunaan makna kognitif pada wacana dengan genre yang

berbeda tidak sama walaupun medan kognisinya sama.

Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang sedang dilakukan

antara lain penggunaan teori Lakoff and Johnson’s (1980) dan metode

kualitatif yang sesuai. Perbedaannya adalah dalam penelitian yang digunakan

oleh Krennmayr (2011) ini dengan yang sedang peneliti lakukan adalah di

samping jenis genre yang berbeda, tidak adanya bandingan makna metafora

sebagai salah satu bahasa figuratif dari segi ilmu sastra dengan makna kognitif

metafora dari segi kajian linguistik.

2.5. Kerangka Kerja

Untuk mencapai hasil penelitian yang terarah dan sistematis perlu

digambarkan kerangka kerja penelitian sesuai dengan tujuan penelitian yang

diharapkan. Kerangka kerja penelitian ini memuat langkah-langkah kongkrit

baik secara teoritis maupun metodologis. Setiap langkah yang dilakukan untuk

mendapatkan hasil penelitian yang ilmiah harus didukung teori yang digunakan

dan capaian hasil penelitian yang diharapkan.

Bagan berikut adalah gambaran kerangka kerja yang dilakukan peneliti

sebagai pijakan dan arah kerja penelitian yang dilakukan.

Page 58: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

69

Bagan 2. Kerangka Kerja

METAFORA MELAYU KLASIKDALAM HIKAYAT ABDULLAH

(1)Metafora bercitra dalam

Hikayat Abdullah?

(2)Fitur Sintaksis

Langacker, (200)

(3)Fitur Sintaksis

Langacker, (200)Semantik Leksikal

Parera (2004)1) Bercitra

antropomorfik2) Bercitra hewan,3) Bercitra abstrak ke

konkret4) Bercitra sinestesia

atau pertukarantanggapan/persepsiindra

Fitur Sintaksis berupaKonstruksi Frasa

1) Kalimat2) Frasa Verba3) Frasa Nomina4) Frasa Ajective5) Frasa Depan

Metafora yang merujukpada

1) Warna2) Cuaca3) Perang4) Kesehatan5) Binatang/ Fauna6) Makanan7) Perjalanan/pekerjaan8) Sifat9) Benda Alam/

tumbuhan/flora10) Bagian tubuh badan11) Emosi

Temuan Penelitian

Pembahasan

Simpulan

Page 59: 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1. Hikayat

70

Bagan 2. 1. Kerangka Kerja

METAFORA MELAYU KLASIKDALAM HIKAYAT ABDULLAH

(1)Variasi

Metaforabercitra dalam

HikayatAbdullah?

Parera (2004)(1) bercitra

antropomorfik,(2) bercitra hewan, (3) bercitra abstrak

ke konkret,(4) bercitra sinestesia

atau pertukarantanggapan/persepsi

indra

Langacker, (2008) SemantikLeksikal

Temuan Penelitian

(2)Makna yangtersirat dari

variasimetaforaHikayat

Abdullah?

Kövecses,(2010);

metaforakonseptual

merefleksikanapa yang

dipersepsikan,dialami, dan

dipikirkan orangtentang

kenyataan dunia

(3)Pola Metaforabercitra dalam

HikayatAbdullah?

Simpulan

Kerangka Teoritis