Click here to load reader
Upload
lyliem
View
212
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Komitmen Organisasional
2.1.1 Pengertian Komitmen Organisasional
Komitmen Organisasional dapat didefinisikan sebagai tingkat sampai
dimana seorang pegawai mengidentifikasi dirinya dengan organisasi dan tujuan
organisasi, serta harapan pegawai untuk bertahan dalam organisasi (Robbins,
2008). Komitmen organisasional ini teridentifikasi dalam tiga komponen yaitu
komitmen afektif, komitmen normatif dan komitmen berkelanjutan. Definisi
komitmen organisasional ini menarik, karena yang dilihat adalah keadaan
psikolog pegawai untuk tetap bertahan dalam organisasi. Meyer dan Allen (1991),
menyatakan bahwa pada dasarnya pegawai itu ingin berkontribusi untuk mencapai
tujuan organisasi dimana untuk mencapai tujuan tersebut dipengaruhi oleh sifat
komitmen yang berbeda-beda, sehingga tuntutan tersebut di atas menjadi semakin
mendesak pada saat fleksibelitas fiskal mulai menurun seperti sekarang ini.
Sopiah (2008), menyatakan komitmen organisasional merupakan dimensi perilaku
penting yang digunakan untuk menilai kecenderungan karyawan untuk bertahan
sebagai anggota organisasi.
Komitmen organisasional adalah sebuah keadaan dimana individu
mempertimbangkan sejauh mana nilai dan tujuan pribadinya sesuai dengan nilai
dan tujuan organisasi, serta sejauh mana keinginannya untuk mempertahankan
keanggotaannya dalam organisasi (Meyer dan Allen, 1993). Mowday Porter dan
Steers (1987) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai suatu kepercayaan
10
terhadap nilai-nilai organisasi (identification), kesediaan untuk berusaha sebaik
mungkin demi kepentingan organisasi, dan keinginan untuk tetap menjadi anggota
organisasi bersangkutan yang dinyatakan oleh seorang pegawai terhadap
organisasinya
Porter et al. (1973), mengatakan bahwa komitmen organisasional terdiri
dari tiga faktor, yaitu :
a) Keinginan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi.
b) Kemauan yang besar untuk berusaha bagi organisasi.
c) Kepercayaan yang kuat dan penerimaan terhadap nilai dan tujuan organisasi.
Berdasarkan pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
pegawai yang memiliki komitmen organisasi akan bekerja melakukan yang
terbaik untuk kepentingan organisasi, menganggap bahwa hal yang penting harus
dicapai adalah pencapaian tugas dalam organisasi dan adanya keinginan untuk
mempertahankan keanggotaan dalam organisasi. Komitmen pegawai terhadap
organisasi juga mencakup unsur loyalitas terhadap organisasi, keterlibatan dalam
pekerjaan dan identifikasi terhadap nilai dan tujuan organisasional.
2.1.2 Dimensi Komitmen Organisasional
Menurut Meyer dan Allen (1991) terdapat tiga dimensi terpisah dalam
komitmen organisasi, yaitu:
a) Komitmen afektif (affective commitment)
Berkaitan dengan keterikatan emosional dan keterlibatan pegawai pada
organisasi. Pegawai yang memiliki komitmen afektif yang kuat akan terus
bekerja dalam organisasi karena keinginan yang timbul dari diri mereka
11
sendiri dan memiliki kedekatan emosional terhadap organisasi. Hal ini berarti
individu tersebut akan berkeinginan untuk berkontribusi secara maksimal
terhadap organisasi.
b) Komitmen berkelanjutan (continuance commitment)
Menunjukkan adanya pertimbangan untung rugi dalam diri pegawai berkaitan
dengan keinginan tetap bekerja atau meninggalkan organisasi. Komitmen
berkelanjutan menunjukkan komitmen anggota organisasi yang lebih
disebabkan oleh biaya hidup. Dengan demikian, semakin besar perolehan
pendapatan pegawai yang diberikan oleh organisasi, maka akan semakin besar
kepuasan kerja, prestasi kerja dan begitu juga sebaliknya. Pegawai dengan
continuance commitment yang tinggi bertahan dalam organisasi karena
adanya kesadaran kerugian besar yang akan dialami jika meninggalkan
organisasi.
c) Komitmen normatif (normative commitment)
Menggambarkan perasaan wajib untuk tetap bekerja dalam organisasi yang
didasarkan pada adanya keyakinan tentang “apa yang benar” serta berkaitan
dengan masalah moral. Komitmen normatif menimbulkan perasaan kewajiban
pada pegawai untuk memberi balasan atas apa yang telah diterimanya dari
organisasi. Pegawai dengan komitmen normatif yang tinggi akan tetap
bertahan dalam organisasi karena merasa adanya suatu kewajiban atau tugas
yang memang sudah sepantasnya dilakukan atas benefit yang telah diberikan
organisasi. Komitmen normatif didefinisikan sebagai suatu tingkatan dimana
seseorang terikat secara psikologis pada organisasi yang memperkerjakannya
12
melalui pendalaman tujuan organisasi, nilai-nilai, dan misinya. Faktor
komitmen pegawai terhadap organisasi / perusahaan, sangat terkait erat
dengan penghargaan organisasi terhadap pegawainya (Baron dan Gerald,
1990). Artinya semakin tinggi penghargaan organisasi terhadap pegawainya,
maka akan semakin tinggi pula komitmen pegawai terhadap organisasinya.
Allen dan Meyer (1997) dalam Djati dan Adiwijaya (2009) berpendapat
setiap komponen tersebut memiliki dasar yang berbeda, sebagai berikut :
1) Komponen afektif berkaitan dengan emosional, identifikasi dan
keterlibatan pegawai di dalam suatu organisasi.
2) Komitmen normatif merupakan perasaan-perasaan pegawai tentang
kewajiban yang diberikan organisasi.
3) Komitmen berkelanjutan berarti komponen berdasarkan persepsi pegawai
tentang kerugian yang akan dihadapi jika meninggalkan organisasi.
Pegawai dengan komponen afektif tinggi masih bergabung dengan
organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Pegawai
yang memiliki komponen normatif tinggi tetap menjadi anggota organisasi karena
mereka harus melakukannya. Setiap pegawai memiliki dasar dan perilaku yang
berbeda tergantung pada komitmen organisasional yang dimilikinya. Pegawai
yang memiliki komitmen organisasional dengan dasar afektif memiliki tingkah
laku yang berbeda dengan pegawai yang berdasarkan berkelanjutan. Pegawai
yang ingin menjadi anggota akan memiliki keinginan untuk menggunakan usaha
yang sesuai dengan tujuan organisasi. Sebaliknya mereka yang terpaksa menjadi
anggota akan menghindari kerugian fiansial dan kerugian lain, sehingga mungkin
13
hanya melakukan usaha yang tidak maksimal. Sementara itu, komponen normatif
yang berkembang sebagai hasil dari pengalaman sosialisasi, tergantung dari
sejauh apa perasaan kewajiban yang dimiliki pegawai. Komponen normatif
menimbulkan perasaan kewajiban pada pegawai untuk memberi balasan atas apa
yang telah diterimanya dari organisasi.
Menurut Marthin dan Nicholas (dalam Amstrong,1999), ada tiga pilar
besar dalam komitmen karyawan terhadap organisasinya, meliputi A sense of
belonging to the organization, A sense of exctiment in the job, Ownership.
1) A Sense of belonging to the organization, untuk memiliki rasa tersebut, maka
salah satu pihak dalam manajemen harus mampu membuat karyawan mampu
mengidentifikasinya dirinya terhadap organisasi, merasa yakin bahwa apa
yang dilakukannya adalah berharga bagi organisasi, merasa nyaman dengan
organisasi tersebut, merasa mendapat dukungan yang penuh dari organisasi
dalam bentuk misi yang jelas (apa yang direncanakan untuk dilakukan), nilai
yang ada (apa yang diyakini sebagai hal yang penting oleh manajemen) dan
norma-norma yang berlaku (cara berperilaku yang bisa diterima oleh
organisasi).
2) A sense of excitement in the job, perasaan bergairah terhadap pekerjaan, bisa
dimunculkan dengan cara mengenali factor-faktor motivasi intrinsik dalam
mengatur desain pekerjaan, kualitas kepemimpinan, kemampuan manajer dan
supervisor untuk mengenali bahwa motivasi dan komitmen pegawai bisa
meningkat jika ada perhatian terus menerus, memberi delegasi atas
14
wewenang, memberi kesempatan serta ruang yang cukup bagi pegawai untuk
menggunakan ketrampilan dan keahliannya secara maksimal.
3) Ownership, pentingnya rasa memiliki bisa muncul jika pegawai merasa
bahwa mereka benar-benar diterima menjadi bagian atau kunci penting dari
organisasi. Konsep penting ownership akan meluas bentuk dalam bentuk
partisipasi dalam membuat keputusan-keputusan dan mengubah praktik kerja,
yang ada pada akhirnya akan mempengaruhi keterlibatan pegawai. Jika
pegawai merasa dilibatkan dalam membuat keputusan-keputusan dan jika
pegawai merasa ide-idenya didengar dan jika pegawai member kontribusi
yang ada pada hasil yang dicapai, maka pegawai akan cenderung menerima
keputusan-keputusan atau perubahan yang dilakukan dan akhirnya akan
merasa puas.
2.2 Kepuasan Kerja
2.2.1 Pengertian Kepuasan Kerja
Robbins dan Jugde (2008) mengemukan kepuasan kerja (job satisfaction)
yaitu suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil
dari evaluasi karakteristiknya. Kepuasan kerja lebih menggambarkan sikap
daripada perilaku oleh karena setiap pekerjaan menuntut interaksi dengan rekan
kerja dan atasan, mengikuti peraturan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan
organisasional, memenuhi standar-standar kerja, menerima kondisi-kondisi kerja
yang acap kali kurang ideal. Ini berarti bahwa penilaian seorang karyawan tentang
seberapa ia merasa puas atau tidak puas dengan pekerjaan merupakan penyajian
yang rumit dan sejumlah elemen pekerjaan yang berlainan. Simamora (2006)
15
menyatakan bahwa kepuasan (satisfaction) merupakan istilah evaluatif mengenai
tingkat kesesuaian antara harapan dengan kenyataan yang terjadi, yang dapat
digambarkan dalam suatu sikap suka atau tidak suka.
Wexley dan Yulk (1977) mengemukakan bahwa kepuasan kerja
merupakan sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus
terhadap faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan sosial individu di
luar kerja. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsepsi kepuasan kerja itu sebagai
hasil interaksi manusia di lingkungan kerjanya. Mc Neese Smith (1996)
menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan pekerja atau pegawai terhadap
pekerjaannya.Sikap terhadap pekerjaan menggambarkan pengalaman yang
menyenangkan dan tidak menyenangkan.
Hal yang serupa juga dinyatakan oleh Mathins dan Jackson (2011) bahwa
kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang positif yang merupakan hasil dari
evaluasi pengalaman kerja seseorang. Menurut Rivai (2004), teori tentang
kepuasan kerja cukup dikenal yaitu teori keadilan (equity theory) yang
mengemukakan bahwa orang merasa puas atau tidak puas, tergantung ada atau
tidak adanya keadilan (equity) dalam suatu situasi, khususnya situasi kerja.
Seseorang akan membandingkan rasio input hasil dirinya dengan rasio input hasil
orang lain dan apabila perbandingan itu dianggap cukup adil, maka pegawai akan
merasa puas. Berdasarkan teori-teori tersebut, dapat dinyatakan bahwa kepuasan
kerja merupakan perasaan puas individu karena harapan sesuai dengan kenyataan
yang diperoleh di tempat kerja baik dalam hal beban kerja, lingkungan atau
kondisi kerja, hubungan dengan rekan kerja atau penyelia, dan kompensasi.
16
2.2.2 Dimensi Kepuasan Kerja
Penelitian yang dilakukan oleh Azeem (2010) mengungkapkan bahwa
terdapat lima faktor atau dimensi yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan
kerja yaitu, sifat dan muatan pekerjaan itu sendiri, gaji, pengawasan dan
supervisi, kesempatan promosi, dan hubungan dengan karyawan lainnya.
Mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Robbins (2008), kepuasan kerja
terbagi menjadi lima dimensi yaitu: Pertama, pekerjaan secara umum dengan
jumlah variasi yang moderat yang akan menghasilkan kepuasan kerja yang relatif
besar, sedangkan pekerjaan yang sangat kecil variasinya akan menyebabkan
pekerja merasa jenuh dan keletihan. Kedua, pekerjaan berdasarkan upah atau
imbalan keuangan yang diterima seorang pegawai dimana dalam menentukan
tingkat upah, organisasi dapat membuat keputusan dengan mempertimbangkan
beberapa hal antara lain, tingkat upah umum dalam masyarakat, kebutuhan pokok
tenaga kerja, dan tingkat biaya hidup fisik minimum (Hussin, 2011). Ketiga,
pekerjaan berdasarkan kesempatan memperoleh promosi yang merupakan hal
yang signifikan, namun hal ini memiliki pengaruh yang beragam terhadap
kepuasan kerja, karena promosi bisa dalam bentuk yang berbeda-beda
imbalannya (Luthans, 2006). Keempat, pekerjaan dengan tugas pengawasan yang
tidak dapat dipisahkan dengan tugas kepemimpinan yaitu,usaha mempengaruhi
kegiatan melalui proses komunikasi untuk tujuan tertentu. Pengawas secara
langsung mempengaruhi kepuasan kerja melalui kecermatannya dalam
mendisiplinkan dan menerapkan peraturan-peraturan (Ass’ad, 2004). Kelima,
pekerjaan berdasarkan pada rekan kerja (kelompok kerja) yang akan berpengaruh
17
pada kepuasan kerja. Rekan kerja yang ramah dan kooperatif merupakan sumber
kepuasan kerja bagi pegawai secara individu (Robbins, 2001).
Menurut Indrayani (2012), terdapat 5 faktor utama yang berpengaruh
terhadap kepuasan kerja pegawai yaitu:
a) Tingkat upah atau gaji
Gaji merupakan imbalan keuangan yang diterima karyawan seperti: upah,
honor, ataupun tunjangan-tunjangan keuangan lainnya. Dalam menetapkan
tingkat upah atau gaji, organisasi dapat membuat keputusan dengan
mempertimbangkan beberapa hal yaitu, tingkat umum dalam masyarakat,
kebutuhan pokok tenaga kerja (karyawan) dan tingkat biaya hidup fisik
minimum, kualitas karyawan, persaingan antar organisasi, serta kemampuan
perusahaan untuk membayar upah dan gaji yang cukup untuk dapat menarik
serta memperthankan karyawan yang dibutuhkan.
b) Pekerjaan itu sendiri
Terdapat dua aspek penting yang mempengaruhi kepuasan kerja yang
berasal dari pekerjaaan itu sendiri (Arnold dan Felman dalam Indrayani, 2012),
yaitu variasi pekerjaan dan kontrol atas metode serta langkah-langkah kerja.
Secara umum, pekerjaan dengan jumlah variasi yang moderat menghasilkan
kepuasan kerja yang relatif besar. Pekerjaan yang sangat kecil variasinya akan
menyebabkan pekerja merasa jenuh dan keletihan, sebaliknya pekerjaan yang
terlalu banyak variasinya dan terlalu cepat menyebabkan karyawan merasa
tertekan secara psikologis. Begitu juga kontrol atasan atas metode dan langkah-
langkah kerja yang berlebihan akan mengarah pada ketidakpuasan.
18
c) Pengawasan
Tugas pengawas tidak dapat dipisahkan dengan tugas kepemimpinan
yaitu, usaha mempengaruhi kegiatan pengikut melalui proses komunikasi
untuk tujuan tertentu. Supervisor secara langsung mempengaruhi kepuasan
kerja melalui kecermatannnya dalam mendisiplinkan dan menetapkan
peraturan-peraturan. Beberapa pedoman yang harus diikuti dalam melakukan
pengawasan adalah menekankan pada usaha-usaha yang bersifat preventif,
melakukan tindakan korektif yang edukatif jika terjadi penyimpangan, dan
melalui pengawasan secara obyektif namun tegas.
d) Kesempatan Promosi Karir
Dalam era manajemen modern, promosi telah dianggap sebagai imbalan
yang cukup efektif untuk meningkatkan moral pegawai dan mempertinggi
loyalitas dalam organisasi. Selain itu promosi dapat mengurangi turnover
pegawai, karena pegawai mempunyai harapan positif di tempat kerja lain.
Pegawai yang memiliki kualitas dan profesionalisme kerja yang tinggi, bila
tidak dipromosikan akan menjadikan pegawai tersebut tidak puas, dan ini akan
mendorong pegawai tersebut untuk berhenti dan berpindah kerja dari satu
organisasi ke organisasi lain yang memberikan jaminan karier yang lebih baik.
e) Rekan Kerja
Keeratan hubungan dengan teman kerja sangat besar artinya bila rangkaian
pekerjaan tersebut memerlukan kerja sama tim yang tinggi. Tingkat keeratan
hubungan mempunyai dampak terhadap mutu dan intensitas interaksi yang
terjadi dalam satu kelompok. Kelompok yang mempunyai tingkat keeratan
19
yang tinggi cenderung menyebabkan para pegawai puas berada dalam
kelompok tersebut. Kepuasan itu timbul terutama berkat kurangnya
ketegangan, kecemasan dalam kelompok, dan karena mereka lebih mampu
menyesuaikan diri dengan tekanan pengaruh dari pekerjaan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja seseorang di
dalam melakukan pekerjaan,ditandai oleh dekatnya jarak antara harapan dan
kenyataan. Apa yang didapatkan mestinyasesuai dengan apa yang menjadi
harapan, demikian juga apa yang diterima oleh rekan sekerja adalah sama dan
adil sesuai dengan beban kerja dan pengorbanannya. Tiga dimensi kepuasan
kerja yaitu kepuasan intrinsik (pencapaian atau prestasi, harga diri, umpan
balik, dan otonomi), kepuasan ekstrinsik (penghargaan dari atasan, hubungan
kerja yang kondusif, lingkungan kerja yang baik, kesejahteraan, kompensasi,
dan promosi), serta kepuasan global (kepuasan secara menyeluruh mengenai
persepsi pegawai mengenai pekerjaanya) (Su Chao dan Ming-shing, 2006).
Kepuasan kerja merupakan salah satu dimensiperilaku kerja yang
dipengaruhi oleh keadilan organisasi (Folger dan Konovsky, 1989; Moorman,
1991). Salah satu gejala yang paling meyakinkan dari rusaknya kondisi dalam
suatuorganisasi adalah rendahnya kepuasan kerja. Ada empat konsekuensi dari
kepuasankerja, yaitu: produktivitas, tingkat kemangkiran kerja, perputaran
kerja, serta perilaku kewargaan organisasional (Robbins, 2001). Banyak teori
tentang kepuasan kerja, salah satunya adalah teori yang dikemukakan oleh
Wexley dan Yulk (1977), yang meliputi :
20
1) Discrepancy theory
Teori ini dipelopori oleh Porter (1961) adalah teori perbandingan
intrapersonal (intrapersonal comparison process) dikenal dengan teori
ketidaksesuaian (discrepancy Theory), dimana teori ini menyatakan bahwa
kepuasan kerja diukur dengan menghitung selisih apa yang diharapkan dengan
kenyataan yang dirasakan. Ababila tidak ada perbedaan antara yang
diinginkan dengan apa yang diharapkan, maka akan tercapai kepuasan kerja.
Discrepancy ada yang positif dan ada yang negatif. Bila kenyataan yang
dirasakan berada diatas standar minimum maka akan terjadi discrepancy
positive, demikian pula sebaliknya. Bila kenyataan yang dirasakan berada
dibawah standar minimum akan terjadi discrepancy negative.
2) Equity theory
Teori kedua ini dikemukan oleh Zalenik (1958) dan dikembangkan oleh
Adams (1963), yang dikenal sebagai teori keadilan equity theory, dalam
equity theory kepuasan kerja akan dirasakan oleh seseorang bila dia
merasakan keadilan dan situasi.Perasaan adil dan tidak adil diperoleh dengan
membandingkan dirinya dengan orang-orang sekitarnya.
Elemen-elemen dari equity theory adalah :
1) Input adalah karyawan merasakan adanya sumbangan yang berharga
terhadap pekerjaannya.
2) Outcomes adalah karyawan merasakan adanya suatu yang berharga
terhadap hasil pekerjaannya.
21
3) Comparion person adalah membandingkan masukan dan hasil yang
diterima seseorang dengan orang lain. Bila perbandingan itu
menguntungkan akan memberikan kepuasan, apabila tidak memberikan
keuntungan akan menimbulkan ketidakpuasan.
3) Two Factor Theory
Teori dua factor dikemukakan oleh Frederick Herzberg (1959) dengan
asumsi bahwa hubungan seorang individu dengan pekerjaan adalah
mendasar dan bahwa sikap individu terhadap pekerjaan bisa menentukan
keberhasilan dan kegagalan (Robbins 2008). Herzberg memandang bahwa
kepuasan kerja berasal dari keberadaan motivator intrinsik dan bahwa
ketodakpuasan kerja berasal dari ketidakberadaan faktor-faktor ekstrinsik.
Faktor-faktor ekstrinsik meliputi upah, kondisi kerja, keamanan kerja, status,
prosedur perusahaan, mutu penyeliaan dan mutu hubungan interpersonal
antar sesama rekan kerja, atasan dan bawahan. Faktor instrinsik meliputi
pencapaian prestasi, pengakuan, tanggung jawab, kemajuan, pekerjaan itu
sendiri dan kemungkinan berkembang.
2.3 Keadilan Organisasional
2.3.1 Pengertian Keadilan Organisasional
Noe et al. (2011) mendefinisikan keadilan organisasional sebagai konsep
keadilan yang berfokus pada metode yang digunakan untuk menentukan imbalan
yang diterima. Terdapat enam prinsip yang menentukan apakah orang merasa
prosedur yang dijalankan sudah cukup adil yaitu, konsistensi, peniadaan bias,
keakuratan informasi, kemungkinan koreksi, keterwakilan, dan kesantunan.
22
Sejarah keadilan organisasional berawal dari teori keadilan (Adams, 1963). Teori
ini menyatakan bahwa orang membandingkan rasio antara hasil dari pekerjaan
yang mereka lakukan, misalnya imbalan dan promosi dengan input yang mereka
berikan dibandingkan rasio yang sama dari orang lain. Greenberg (1990)
selanjutnya menjelaskan bahwa teori keadilan Adams dilengkapi dengan riset-
riset lanjutan yang terkait dengan alokasi imbalan yang merujuk pada konsep
yang kita kenal sekarang sebagai keadilan distributif. Robbins dan Judge (2008)
mendefinisikan keadilan distributif sebagai keadilan jumlah dan penghargaan
yang dirasakan diantara individu-individu. Noe et al. (2011) menyebutnya sebagai
keadilan imbalan yang didefinisikan sebagai penilaian yang dibuat orang terkait
imbalan yang diterimanya dibanding imbalan yang diterima orang lain yang
menjadi acuannya.
Selain keadilan distributif, aspek lain dalam keadilan organisasional
adalah keadilan prosedural. Thibaut dan Walker (1975) mengawali studi tentang
keadilan prosedural yang memandang bahwa prosedur penyelesaian perselisihan
oleh pihak ketiga seperti mediasi dan arbitrasi mempunyai tahapan proses dan
tahapan keputusan. Mereka menunjuk pada jumlah pihak-pihak yang berselisih
berada dalam setiap tahap sebagai bukti pengendalian proses dan pengendalian
keputusan. Riset mereka menyatakan bahwa pihak-pihak yang bertikai rela
menyerahkan kendali dalam tahap keputusan selama mereka menahan kendali
dalam tahap proses. Pihak-pihak yang bertikai memandang bahwa prosedur
tersebut adil jika mereka merasa mempunyai kendali proses (misalnya kendali
terhadap presentasi argumen mereka dan waktu yang cukup untuk
23
mengungkapkan kasus mereka). Pengaruh kendali proses ini sering disebut
sebagai “fair process effect” atau pengaruh “voice”. Kendali proses inilah yang
sebenarnya dinyatakan oleh Thibaut dan Walker (1975) sama dengan keadilan
prosedural.
Aspek terakhir dari keadilan organisasional adalah keadilan interaksional
dan mungkin yang paling sederhana diantara ketiga aspek ini (Cropanzano et al.,
2007). Menurut Robbins dan Judge (2008), keadilan interaksional didefinisikan
sebagai persepsi individu tentang tingkat sampai dimana seorang pegawai
diperlakukan dengan penuh martabat, perhatian, dan rasa hormat. Menurut
Greenberg (1987) terdapat dua aspek dalam keadilan interaksional, yaitu
informasional dan interpersonal. Keadilan informasional adalah persepsi individu
tentang keadilan informasi yang digunakan sebagai dasar pembuatan keputusan,
sedangkan keadilan interpersonal adalah sebagaimana yang didefinisikan oleh
Robbins dan Judge (2008) di atas.
2.3.2 Dimensi Keadilan Organisasional
Cropanzano et al. (2007) meringkas tiga dimensi keadilan organisasional diatas
seperti yang ditampilkan di bawah ini :
1) Keadilan Distibutif
Keadilan Distributif mencakup hal-hal sebagai berikut :
(1) Keadilan distributif: kelayakan imbalan
(2) Keadilan kontributif: menghargai pegawai berdasarkan kontribusinya.
(3) Keadilan berdasarkan persamaan: menyediakan kompensasi bagi
setiap pegawai yang beban kerjanya secara garis besar sama.
24
(4) Keadilaan berdasarkan kebutuhan: menyediakan benefit berdasarkan
pada kebutuhan personal seseorang.
2) Keadilan prosedural (Kelayakan proses alokasi)
Keadilan prosedural mencakup hal-hal sebagai berikut:
(1) Konsistensi: Semua pegawai diperlakukan sama
(2) Lack of Bias: Tidak ada orang atau kelompok yang diistimewakan
atau diperlakukan tidak sama .
(3) Keakuratan: Keputusan dibuat berdasarkan informasi yang akurat.
(4) Pertimbangan wakil pegawai: pihak-pihak terkait dapat memberikan
masukan untuk pengambilan keputusan.
(5) Koreksi: Mempunyai proses banding atau mekanisme lain untuk
memperbaiki kesalahan
(6) Etika: norma pedoman profesional tidak dilanggar.
3) Keadilan interaksional.
Keadilan interaksional mencakup hal-hal sebagai berikut:
(1) Keadilan interaksional: memperlakukan seorang pegawai dengan
martabat, perhatian, dan rasa hormat.
(2) Keadilan informasional: Berbagi informasi yang relevan dengan
pegawai.
Validitas konstruk keadilan distributif dan keadilan prosedural telah
menjadi bahan diskusi tersendiri.Untuk membuktikan bahwa keadilan distributif
dan keadilan prosedural secara konsep berbeda, maka diuraikan beberapa kajian
sebagai berikut:
25
(1) Mengacu pada model penilaian keadilan Leventhal (1976) yang
mendefinisikan keadilan prosedural “sebagai persepsi individu tentang
keadilan dari komponen prosedural sistem sosial yang mengatur proses
alokasi”. Individu membentuk penilaian keadilan prosedural menggunakan
enam aturan keputusan yaitu, konsistensi, bias penindasan, akurasi,
mampu koreksi, keterwakilan, dan memenuhi etika.Leventhal
membedakan keadilan prosedural dan distributif yang didefinisikan
sebagai ”penilaian atas distribusi yang adil”. Teori lain dalam The Group-
Value Model yang dikemukakan Lind dan Tyler membedakan dua
dimensi keadilan ini. Keadilan distributif berpusat pada perhatian individu
terkait keadilan imbalan, sedangkan prosedural berfokus pada bagaimana
keputusan dibuat.
(2) Eksperimen telah dilakukan untuk mengetahui reaksi individual terhadap
ketidaksamaan pembayaran. Salah satu eksperimen adalah dengan
menggali reaksi subyek penelitian dengan memberitahu mereka bahwa
orang lain dengan kualifikasi yang sama dibayar lebih banyak atau lebih
sedikit. Eksperimen terkait keadilan prosedural dilakukan oleh Thibaut
dan Walker (1975) yang membandingkan dua jenis pengendalian
penyelesaian perselisihan. Keduanya, yaitu: Jumlah kendali yang
digunakan pihak-pihak yang berselisih untuk menyelesaikan keluhan
(kendali proses). Jumlah kendali yang digunakan pihak-pihak yang
berselisih secara langsung untuk menentukan imbalan (kendali
keputusan). Selain menggunakan eksperimen, pengukuran kedua dimensi
26
keadilan ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang berbeda.
Ambrose dan Arnaud (2005) menyatakan bahwa pengukuran terhadap
keadilan distributif secara relatif konsisten pada seluruh penelitian,
sedangkan pengukuran keadilan prosedural berbeda-beda dalam
operasionalisasinya, riset menunjukkan bahwa konstruk tersebut dapat
diukur secara memadai. Colquitt et al. (2001) melakukan meta-analisis
dan menunjukkan bahwa keadilan distributif dan prosedural dapat
dibedakan pengukurannya.
(3) Konstruk yang berbeda seharusnya terhubung dengan variabel kriteria
yang berbeda juga. Ambrose dan Arnaud (2005) menyatakan bahwa dalil
yang diterima secara luas adalah bahwa keadilan prosedural berpengaruh
kuat terhadap perilaku global sedangkan keadilan distributif terhadap
perilaku yang spesifik. Meta analisis yang dilakukan Colquitt et al.
(2001) memperkuat dalil ini dan menyatakan bahwa keadilan distributif
berpengaruh kuat terhadap perilaku spesifik, misalnya kepuasan imbalan
dan kepuasan kerja, sedangkan keadilan prosedural berpengaruh kuat
terhadap perilaku global, misalnya komitmen organisasional, komitmen
kelompok, dan intensi keluar.
(4) Supaya kedua dimensi keadilan tersebut dapat dianggap sebagai konstruk
yang berbeda, keduanya perlu memiliki sekumpulan anteseden yang unik.
Ambrose dan Arnaud (2005) menyatakan bahwa out-comes
organisasional yang mempengaruhi persepsi keadilan distributif,
misalnya: penghasilan, benefits, keamanan, kompleksitas pekerjaan,
27
supervisi, imbalan intrinsik, senioritas, dan status pekerjaan. Sedangkan,
kesempatan untuk memperoleh informasi selama proses pembuatan
keputusan meningkatkan persepsi keadilan prosedural.
Dimensi keadilan yang ketiga adalah keadilan interaksional yang
memusatkan perhatian bagaimana memperlakukan orang lain dengan penuh
hormat dan martabat. Perdebatan yang muncul terkait dimensi ini adalah apakah
keadilan interaksional merupakan bagian dari keadilan prosedural atau merupakan
konstruk yang independen. Bies (2005) menyatakan bahwa keadilan interaksional
dihubungkan dengan evaluasi supervisor langsung sedangkan keadilan prosedural
dihubungkan dengan evaluasi sistem organisasional, sehingga keduanya
merupakan konstruk yang independen. Pandangan ini dilengkapi oleh Greenberg
(1987) yang menyatakan bahwa keadilan interaksional mempunyai dua komponen
yang berdiri sendiri yaitu, keadilan interpersonal dan keadilan informasional.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ketiga dimensi keadilan
tersebut merupakan konstruk yang sudah teruji validitasnya