Upload
doandat
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, perkembangan industri pariwisata terlihat cukup pesat.
Pariwisata juga telah menjadi salah satu sumber devisa negara yang patut
mendapatkan perhatian. Banyak penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa
dampak positif yang paling utama dari kepariwisataan adalah dampak ekonominya,
baik pada tingkat nasional, regional atau pun di tingkat lokal (IUOTO, 1975;
Rodenburg, 1980; Walpole and Goodwin, 2000; Ahimsa-Putra, 2014). Begitu
pentingnya pariwisata, sehingga dalam pengembangan pariwisata dituntut untuk
menampilkan produk wisata yang semakin variatif. Salah satu produk dari
pengembangan pariwisata adalah desa wisata. Desa wisata dibagi menjadi enam
jenis, yaitu: (1) desa wisata budaya, (2) desa wisata pertanian, (3) desa wisata
kerajinan, (4) desa wisata fauna, (5) desa wisata Merapi, dan (6) desa wisata
pendidikan (Firdaus, 2007). Pembagian jenis desa wisata didasarkan pada atraksi
dan potensi pariwisata yang ada di masing-masing desa. Desa wisata dikembangkan
untuk mengatasi “kehausan” wisatawan yang tertarik pada kebudayaan masyarakat
desa. Produk wisata ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pemerintah
berupa devisa, serta dapat mewujudkan pemerataan pembangunan sampai ke
pelosok desa yang secara langsung dapat dinikmati untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat (Putra, 2006).
2
Desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi, dan
fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang
menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku (Nuryanti, 1993). Berbicara
mengenai produk dalam lingkup pariwisata, Wiyono (dalam Raharjana, 2005)
mengatakan bahwa produk pariwisata sebagai komponen penting dalam industri
pariwisata mencakup tiga aspek, yaitu: atraksi, amenitas, dan aksesibilitas. Atraksi
adalah objek dan daya tarik wisata, yakni objek yang memiliki daya tarik untuk
dilihat, ditonton, dinikmati yang dapat menarik minat wisatawan. Amenitas adalah
segala macam fasilitas yang dapat menunjang kegiatan pariwisata, di antaranya:
rumah makan, hotel/penginapan, sarana komunikasi, papan informasi, serta sarana
lainnya seperti toilet umum. Sedangkan aksesibilitas adalah prasarana untuk
berkunjung di kawasan wisata, termasuk di dalamnya adalah kendaraan/transportasi.
Menurut Putra (2006), untuk menjadi suatu daerah tujuan wisata, agar dapat
menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan harus memiliki 3 (tiga) syarat, yaitu: (1)
daerah ini harus mempunyai “something to see”, artinya di tempat tersebut harus ada
objek wisata dan atraksi wisata yang berbeda dengan yang dimiliki oleh daerah lain,
daerah tersebut harus mempunyai daya tarik khusus; (2) di daerah tersebut harus
tersedia “something to do”, artinya di daerah tersebut di samping banyak yang dapat
dilihat, harus pula disediakan fasilitas rekreasi yang dapat membuat wisatawan betah
tinggal lebih lama di tempat itu; dan (3) di daerah tersebut harus ada “something to
buy”, artinya di tempat itu harus ada fasilitas untuk dapat berbelanja, terutama
souvenir kerajinan masyarakat setempat sebagai kenang-kenangan, dan perlu juga
disediakan tempat penukaran uang asing dan telekomunikasi.
3
Desa wisata menjadi arena terbuka bagi wisatawan untuk melihat ataupun
mempelajari budaya lokal. Desa wisata merupakan pertemuan antara budaya lokal
(budaya winisatawan) dengan budaya asing (budaya wisatawan) yang sangat
memungkinkan masuknya unsur-unsur budaya asing dalam tataran kehidupan
masyarakat secara intensif dan memberikan perubahan. Kodiran (1987)
menyebutkan bahwa masyarakat selalu mengalami perubahan yang mana perubahan
tersebut dapat terjadi melalui bermacam-macam cara, tingkatan, dan bentuknya.
Masyarakat desa wisata sebagai bagian dari suatu masyarakat dunia, tentu mau/tidak
mau harus mengikuti perubahan-perubahan yang sedang terjadi. Menutup diri dari
pengaruh budaya luar berarti bunuh diri, karena akan tertinggal dari arus kemajuan
zaman modern (Masayu, 2002). Perubahan yang dimaksud bukan berarti terjadi
perubahan total, melainkan bisa berupa pengintegrasian unsur-unsur kebudayaan
asing tanpa menghilangkan ciri khas kebudayaan asli, perubahan bangunan fisik
misalnya.
Bangunan fisik selalu menandai tingkat perkembangan kehidupan manusia,
sehingga setiap bangunan sarat dengan nilai intrinsik tentang kearifan lokal
(Ahimsa-Putra, 2008: 7). Joglo sebagai rumah tradisional Jawa tentu tidak luput dari
nilai-nilai kearifan lokal. Desain arsitektur joglo pada dasarnya mengacu pada nilai-
nilai filosofis orang Jawa, mulai dari struktur ruang maupun struktur bangunan.
Arsitektur masyarakat Jawa pada dasarnya menampilkan karya “swadaya dalam
kebersamaan” yang secara arif memanfaatkan setiap potensi dan sumber daya
setempat serta menciptakan keselarasan yang harmonis antara “jagad cilik”
(mikrokosmos) dan “jagad gedhe” (makrokosmos) (Nuryanto, 2010). Arsitektur
rumah tradisional adalah bagian dari permukiman merupakan ungkapan bentuk
4
rumah karya manusia berasal dari salah satu unsur kebudayaaan yang tumbuh dan
berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan suatu
masyarakat, suku atau bangsa yang unsur-unsur dasarnya tetap bertahan dalam
waktu yang lama dan tetap sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan suatu
masyarakat, suku atau bangsa yang bersangkutan (Setyabudi, 2011). Hal inilah
sebagai alasan bahwa sisi tradisional merupakan identitas pendukung kebudayaan.
Arsitektur pada rumah tradisional juga sangat mengutamakan proses pembentukan
yang mana sasarannya lebih menekankan pada proses terbentuknya yang
berdasarkan ritual agama dan kepercayaan.
Wujud fisik berupa bentukan dalam skala sekunder. Hal ini yang
membedakan dengan arsitektur barat yang sasaran perencanaannya lebih
ditekankan pada produk berupa wujud fisik dengan penalaran fungsi,
konstruksi, dan estetika. Bentukan rumah bukan hasil dari faktor fisik,
tetapi merupakan faktor sosial budaya yang memiliki makna dan jauh
dari sekedar pelindung. Konsep pembentukan rumah tradisional
berkaitan dengan aspek kosmologis yang mana rumah adalah miniatur
dari semesta (Rapoport dalam Setyabudi, 2011).
Arsitektur sebagai wujud kebudayaan fisik memiliki sifat yang paling
konkret di antara dua wujud kebudayaan lainnya dikarenakan dapat diidentifikasi
dengan pancaindera (Koentjaraningrat, 2009: 151). Ahimsa-Putra (2008)
menyatakan bahwa sebagai wujud fisik dari kebudayaan, arsitektur merupakan
manifestasi dari gagasan, bahasa, dan perilaku masyarakat di suatu daerah yang
membentuk ciri khas arsitekturnya sebagai representasi dari ciri khas kebudayaan
masyarakat pembangunnya. Arsitektur sebagai wujud kebudayaan fisik, tidak hanya
sekedar struktur visual dikarenakan dalam perspektif ini arsitektur merupakan
manifestasi dari kebudayaan masyarakat pembangunnya yang dipengaruhi oleh
5
berbagai faktor yang beragam, di mana di balik wujud fisiknya memiliki sejumlah
makna untuk dikomunikasikan (Rapoport, 1979; Mulyati, 1995).
Penelitian ini mengkaji perubahan arsitektur dalam konteks antropologi
pariwisata di sebuah desa wisata yang terbentuk karena arsitekturnya yang unik,
yaitu Desa Wisata Rumah Dome. Desa Wisata Rumah Dome merupakan desa wisata
bencana yang terletak di Desa Sumberharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten
Sleman, Yogyakarta. Desa Wisata Rumah Dome merupakan kompleks rumah yang
berbentuk kubah (setengah lingkaran). Kompleks ini dibangun sebagai suatu bentuk
bantuan bagi warga yang menjadi korban gempa Yogyakarta pada 27 Mei 2006 lalu
dari World Association of Non-Governmental Organization (WANGO) dan Domes
for the World Foundation (DFTW), dan dibangun atas donasi Emaar Properties.
Pembangunan kompleks rumah dome dimulai pada tanggal 10 Oktober 2006, dan
mulai dihuni warga pada akhir April 2007. Kompleks rumah dome ini dibangun
sebagai kompleks hunian tahan gempa yang bersifat permanen, ekonomis, bersih,
dan efisien. Namun karena bentuk rumahnya yang unik dan banyak masyarakat yang
berdatangan untuk melihatnya, maka kompleks hunian ini akhirnya dikembangkan
menjadi desa wisata.
Menurut penelitian Saraswati (2007), dalam konteks arsitektur,
pembangunan rumah dome ini tidak disesuaikan dengan iklim dan kultur orang
Jawa, sehingga warga penghuni rumah dome harus beradaptasi dengan lingkungan
barunya. Rumah dome bukan manifestasi dari kebudayaan Jawa dan dianggap tidak
bisa mewadahi aktivitas warga. Banyak keluhan dari warga mengenai rumah dome
ini, seperti: bentuk rumah, ukuran ruangan, kamar mandi komunal, hingga kualitas
bangunan yang mengurangi kenyamanan warga. Namun dalam konteks pariwisata
6
sendiri, kompleks hunian yang disebut juga “rumah Teletubbies” ini justru sangat
menguntungkan bagi penghuninya. Bentuk rumah dome yang unik membuat banyak
orang tertarik untuk mengunjungi kompleks relokasi korban gempa ini, sehingga
akhirnya dirintis menjadi Desa Wisata Rumah Dome/Desa Wisata Rumah
Teletubbies. Rumah inilah yang menjadi atraksi utama di Desa Wisata Rumah
Dome, sehingga warga dihimbau untuk tetap mempertahankan bentuk rumahnya
yang unik. Namun demikian, hal ini tidak terjadi seperti yang diharapkan. Benturan
antara pariwisata dengan kebutuhan warga tidak bisa dihindarkan, sehingga kini
rumah dome tidak seunik aslinya.
B. Rumusan Masalah
Desa wisata di era pariwisata seperti saat ini mengalami perubahan dari
waktu ke waktu. Kunjungan wisatawan ke desa tersebut membawa dampak bagi
struktur kehidupan masyarakat desa. Desa wisata yang membuka akses untuk
wisatawan mau/tidak mau harus siap untuk menerima budaya asing yang masuk ke
dalamnya. Akibatnya, desa wisata mengalami perubahan seiring berjalannya waktu.
Perubahan tersebut juga dapat dilihat sebagai tuntutan pasar pariwisata, yakni
sebagai strategi untuk menarik para wisatawan berkunjung ke kawasan desa wisata.
Salah satu perubahan yang menarik untuk dikaji adalah mengenai arsitektur.
Arsitektur sebagai wujud kebudayaan fisik tidak dapat lepas dari proses
perkembangan kebudayaan manusia sebagai pihak pembangunnya dari wujudnya
yang sederhana menjadi semakin kompleks, yang juga bersentuhan dengan
kebudayaan dan melahirkan perubahan. Dalam konteks pariwisata sendiri, akulturasi
didefinisikan sebagai interaksi antara winisatawan dan wisatawan yang
7
menghasilkan dialektika lintas budaya dan akhirnya akan ada proses sosial,
perubahan sosial dan psikologis, sebagai akibat adanya orang-orang dari budaya
yang berbeda melakukan kontak (Jafari, 2000: 6). Akulturasi arsitektur di Desa
Wisata Rumah Dome menarik untuk dikaji mengingat bentuk rumah yang sangat
berbeda dengan kultur Jawa serta adanya benturan kepentingan di dalamnya.
Berdasarkan hal tersebut, maka dirumuskan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana proses perubahan kebudayaan di Desa Wisata Rumah Dome yang
muncul karena masuknya kegiatan pariwisata? Dampak apa yang ditimbulkan
dari kegiatan pariwisata tersebut?
2. Mengapa terjadi akulturasi arsitektur di Desa Wisata Rumah Dome?
3. Apa hasil dari akulturasi pada arsitektur di Desa Wisata Rumah Dome?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menggali proses akulturasi
dalam bidang arsitektur yang dimunculkan oleh kegiatan pariwisata, khususnya di
Desa Wisata Rumah Dome. Adapun secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui beberapa hal sebagai berikut.
1. Perkembangan dan perubahan kebudayaan yang terjadi akibat kegiatan
pariwisata di Desa Wisata Rumah Dome.
2. Proses akulturasi arsitektur di Desa Wisata Rumah Dome beserta respon
masyarakat terhadap hal tersebut.
3. Hasil dari akulturasi pada arsitektur di Desa Wisata Rumah Dome.
4. Penemuan gejala sosial-budaya baru mengenai proses perubahan masyarakat dan
kebudayaan yang disebabkan oleh tekanan pariwisata.
8
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki implikasi teoritis dan praktis. Secara
teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wacana ilmiah bagi
pengembangan penelitian berikutnya mengenai pariwisata dalam kajian antropologi,
khususnya melihat pariwisata dan arsitektur di desa wisata. Dari hasil penelitian ini
juga diharapkan dapat memperoleh beberapa hal sebagai berikut.
1. Pengetahuan baru mengenai tingkat dan tahap penyebaran unsur-unsur
kebudayaan dari satu masyarakat ke masyarakat lain untuk membangun teori
mengenai difusi kebudayaan.
2. Pengetahuan baru mengenai dampak-dampak sosial dan budaya akibat
diterimanya unsur-unsur budaya baru dalam suatu masyarakat untuk
membangun teori mengenai proses akulturasi dan perubahan kebudayaan.
3. Pengetahuan baru mengenai relasi kausal maupun fungsional antara gejala
kebudayaan dan aktivitas kepariwisataan untuk membangun teori mengenai
fenomena pariwisata dan kebudayaan.
Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai faktor-faktor yang relevan untuk peningkatan pengembangan Desa Wisata
Rumah Dome, memberikan informasi mengenai kondisi sosial-budaya masyarakat
Desa Wisata Rumah Dome yang dapat digunakan sebagai acuan pengembangan
pariwisata pedesaan, dan memberikan saran kepada masyarakat dan pemerintah
daerah berkenaan dengan upaya yang lebih sesuai untuk pengembangan Desa
Wisata Rumah Dome.
9
E. Kajian Pustaka
1. Tinjauan Tentang Akulturasi
Akulturasi sebagai sebuah gejala sosial-budaya bukanlah suatu hal yang
baru bagi ahli antropologi. Penelitian-penelitian mengenai akulturasi muncul
dalam lapangan ilmu antropologi kurang dari setengah abad yang lalu, sekitar
tahun 1910 dan semakin bertambah sekitar tahun 1920. Sebelumnya, banyak
sarjana antropologi seringkali tertarik akan kebudayaan suku-suku bangsa di luar
Eropa yang “se-asli” mungkin, yang sedapat mungkin belum terkena pengaruh
“zaman baru” (Koentjaraningrat, 1990: 249). Penelitian seperti itu hampir tidak
mungkin dilakukan sekarang karena kemungkinan besar tidak ada lagi suku-
suku yang “asli”, yang sama sekali belum tersentuh dunia luar pada zaman ini.
Penelitian-penelitian para ahli antropologi saat ini sebagian besar bersifat
deskriptif, yang menggambarkan gejala akulturasi pada satu atau beberapa suku
bangsa tertentu yang mendapatkan pengaruh unsur-unsur kebudayaan Ero-
Amerika. Beberapa penelitian ada yang bersifat teoritis, yang mengabstraksikan
gejala-gejala akulturasi dan mencetuskan konsep-konsep mengenai gejala
akulturasi yang terjadi.
Sejak keluarnya Memorandum for the Study of Acculturation pada tahun
1936 oleh Sosial Science Research Council di Amerika Serikat, banyak ahli
antropologi yang tertarik melakukan studi akulturasi. Studi akulturasi ini
umumnya berpusat pada perubahan-perubahan yang terjadi di suatu masyarakat
akibat pertemuan dengan unsur-unsur budaya baru. Proses akulturasi dalam
masyarakat yang tersebar di Benua Asia dan di daerah pulau-pulau di Laut
Teduh saat itu mendapat perhatian istimewa dari Seventh Pacific Science
10
Congress yang diadakan pada tahun 1949 di Auckland (New Zealand)
(Koentjaraningrat, 1969: 14). Berbagai kajian mengenai akulturasi di antaranya
pernah dilakukan oleh Nunez (1963), Foster (1965), Parker (1964), Patterson
(1966), dan Jacobs (1971).
Theron A. Nunez (1963) melakukan penelitian tentang kontak antara
pedesaan dengan perkotaan dan akulturasi. Seperti orang-orang Eropa Barat,
orang-orang Mexico menggunakan waktu liburnya untuk berwisata, dan salah
satu hasil dari kontak dengan masyarakat pedesaan akibat pariwisata dalam
bahasa Spanyol disebut “weekendismo”. Nunez berpendapat bahwa gejala
pariwisata dapat dipahami dan dipelajari melalui studi akulturasi, misalnya
wisatawan dapat dianggap sebagai “donor” kebudayaan, sedangkan host
dianggap sebagai “penerima” kebudayaan.
Foster (1965) menyatakan bahwa seorang petani pedesaan yang pada
awalnya hidup dengan bergotong-royong, akan mengubah pola pikirnya sebagai
akibat dari adanya pengaruh-pengaruh dari luar setidaknya ke dua arah, yaitu:
(1) jiwa gotong-royongnya semakin menguat; dan (2) menjadi seorang yang
individualis. Dalam bukunya Traditional Cultures and The Impact of
Technological Change (1962; Koentjaraningrat, 1990: 101-102), Foster
menyatakan bahwa:
a. Hampir semua proses akulturasi mulai dalam golongan atasan yang biasanya
tinggal di kota, lalu menyebar ke golongan-golongan yang lebih rendah di
daerah pedesaan. Proses itu biasanya mulai dengan perubahan sosial-
ekonomi.
11
b. Perubahan dalam sektor ekonomi hampir selalu menyebabkan perubahan
yang penting dalam asas-asas kehidupan kekerabatan.
c. Penanaman tanaman untuk ekspor dan perkembagan ekonomi uang merusak
pola-pola gotong-royong tradisional, dan karena itu berkembanglah sistem
pengerahan tenaga kerja yang baru.
d. Perkembangan sistem ekonomi uang juga menyebabkan perubahan dalam
kebiasaan-kebiasaan makan, dengan segala akibatnya dalam aspek gizi,
ekonomi, maupun sosialnya.
e. Proses akulturasi yang berkembang cepat menyebabkan berbagai pergeseran
sosial yang tidak seragam dalam semua unsur dan sektor masyarakat,
sehingga terjadi keretakan masyarakat.
f. Gerakan-gerakan nasionalisme juga dapat dianggap sebagai salah satu tahap
dalam proses akulturasi.
Seymour Parker (1964) melakukan penelitian tentang identitas etnis dan
akulturasi di dua desa Eskimo di Alaska, yaitu Alakanuk dan Kotzebue. Identitas
etnis di sini diartikan sebagai evaluasi dari identifikasi keanggotaan milik sendiri
dan kelompok etnis lainnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sifat
individual memiliki peran yang tinggi dalam memperluas, memperpanjang,
bahkan memperbesar permusuhan. Anggota kelompok minoritas yang tertarik
pada masyarakat Barat lebih seperti membangun sikap negatif, baik terhadap
etnis sendiri maupun kelompok etnis dominan. Meskipun tahap akulturasi dapat
digambarkan dalam istilah perubahan institusi, namun juga berhubungan dengan
perubahan sikap individual. Pada tahap awal akulturasi di Alakanuk, tidak ada
12
pergeseran esensi nilai-nilai atau dalam aspirasi. Konsekuensinya, tidak ada
perubahan yang signifikan dalam kriteria untuk mengevaluasi keanggotaan
kelompok etnis seseorang. Di Kotzebue, perubahan telah menimbulkan konflik
peran yang serius di kalangan dewasa dan para remaja. Pendapat lain
menyebutkan bahwa ada pemisahan antara tujuan individual dan sarana yang
tersedia untuk mencapainya, sebuah situasi yang disebut Merton (1949: 125-
129) sebagai “anomie” dan perilaku menyimpang. Hal ini menarik karena
kenakalan remaja menjadi masalah yang terus tumbuh di Kotzebue, namun tidak
terjadi di Alakanuk.
H.O.L. Patterson (1966) melakukan penelitian tentang perbudakan,
akulturasi, dan perubahan sosial di Jamaica. Patterson menyebutkan bahwa ada
tiga faktor yang sangat penting dalam akulturasi perbudakan orang negro, yaitu:
sifat masyarakat kulit putih, tingkat perkawinan antarsuku bangsa, dan sifat
pengelolaan budak dan jenis pekerjaan di mana mereka terlibat. Ketiga faktor
tersebut saling berkaitan satu sama lain. Pada periode post-emansipasi budaya
ganda, “dua orang Jamaica”: satu sistem budaya Afro-Jamaican yang sebagian
besar merupakan pola konsolidasi dan revitalisasi yang dikembangkan selama
perbudakan; satu yang lain adalah sistem budaya European-oriented yang
merupakan kebangkitan peradaban Inggris setelah terjadinya disintegrasi selama
perbudakan.
Robert M. Jacobs (1971) melakukan penelitian mengenai dampak
akulturasi terhadap narasi tradisional di Pulau Palau. Jacobs menyebutkan bahwa
Pulau Palau bebas dari pengaruh asing hingga 1886 dan didominasi oleh empat
budaya yang berbeda, yang cocok digunakan untuk mengkaji akulturasi seni
13
lisan. Jacobs berusaha melakukan “napak tilas” mengenai evolusi salah satu
narasi orang Palau untuk melihat bagaimana sebuah mitos menjadi legenda dan
akhirnya menjadi kisah yang popular, dan bagaimana sikap terhadap ceritera
yang berubah dari penghormatan ke sebuah hiburan. Dasar dari berbagai macam
narasi tersebut adalah seperti ini: “Seorang wanita tua dan anak laki-lakinya
tinggal di Pulau Ngibtal. Sang ibu menemukan, atau diberi, sebuah pohon sukun
ajaib oleh seekor beruang, bukan hanya pohon sukun, tetapi juga ikan.
Penduduk desa yang iri memotong pohon tersebut dan kemudian pulau itu
tenggelam”. Setelah menyusuri mitos itu, Jacobs menyimpulkan bahwa ketiga
variasi cerita pohon sukun menggambarkan nilai-nilai dasar dalam konflik,
mereka menarik pesan bahwa seseorang harus menghormati orang lain.
Penduduk Ngibtal membayar dengan hidupnya akibat sikap ketidakhormatan
dan menampakkan sikap iri mereka. Oleh karena itu, nilai-nilai moral yang
terkandung akan tetap sama meskipun berubah dalam isi dan fungsi dari
ceriteranya.
Ahli antropologi lain yang melakukan penelitian terhadap masalah
akulturasi adalah Elsi C. Parsons, seorang antropolog wanita murid Franz Boas.
Parsons (1936) melakukan penelitian mengenai akulturasi di Meksiko dan
mempunyai pendirian mengenai covert culture, khususnya adat-istiadat yang
mempunyai fungsi yang terjaring luas dalam masyarakat. G. Spindler (1955),
yang melakukan penelitian dalam masyarakat suku bangsa Indian Menomini,
menyebutkan bahwa tiap masyarakat terbagi ke dalam golongan-golongan baik
secara vertikal maupun horizontal. Masing-masing golongan memiliki suatu
subkebudayaan yang berbeda, sehingga kemudian terjadi proses-proses yang
14
diferensial sebagai akibat dari pengaruh subkebudayaan antargolongan. Derajat
akulturasi diferensial yang berbeda-beda tersebut dikarenakan kedudukan sosial
yang berbeda-beda dalam masyarakat Menomini. Dalam proses akulturasi
tersebut selalu ada individu yang kolot maupun yang progresif.
2. Tinjauan Tentang Rumah Dome
Titien Saraswati (2007) mengkaji kontroversi rumah dome di Sleman,
Yogyakarta. Dalam penelitian ini, Titien Saraswati menyebutkan bahwa
rekonstruksi bangunan bagi korban gempa tidak mengindahkan lokalitas
kemungkinan besar akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Kesediaan
untuk mau tinggal di rumah dome ternyata menimbulkan berbagai masalah yang
harus dialami para warga. Bukan hanya soal rumah dome yang tidak
mengindahkan lokalitas, namun ada masalah lain yang harus mereka hadapi,
antara lain dari segi finansial. Berbagai kontroversi muncul dari temuan-temuan
penelitian yang memakai metode penelitian lingkungan-perilaku ini.
Dari hasil penelitian Saraswati (2007), ditemukan berbagai kontroversi
antara jawaban positif responden dengan kondisi fisik dan arsitektural rumah
dome. Aspek perilaku warga yang positif tidak didukung oleh aspek
lingkungannya. Warga bersedia menghuni rumah dome, meskipun belum semua
berada di situ. Warga juga merasa senang karena sudah mulai banyak tanaman
yang tumbuh. Selain itu, penghuni-penghuni yang sudah saling kenal sejak lama
membuat warga merasa betah di tempat itu. Warga memerlukan ruang-ruang
tambahan untuk aktivitasnya, dan beberapa ruang dialih-fungsikan untuk
aktivitas yang lain. Ini menunjukkan bahwa rancangan rumah dan
15
lingkungannya tidak berhasil mewadahi aktivitas warga. Keperluan warga untuk
aktivitas bersama yang telah menjadi nilai-nilai dan way of life warga perlu
diberikan wadahnya, misalnya “bale desa”, juga kandang ternak (komunal).
Menurut penelitian ini, rumah dome ternyata menyulitkan warga, sangat tidak
cocok untuk masyarakat, budaya, dan iklim di Jawa, bahkan di Indonesia.
Penelitian Irma Desiyana (2008) mengenai ketahanan berhuni di rumah
dome menghasilkan beberapa hal, antara lain bahwa lingkungan dome dibuat
tanpa mengkaji kehidupan masyarakat di rumah lamanya, padahal memori akan
rumah lama mempengaruhi kenyamanan dalam menghuni dome. Remaja dan
masyarakat yang baru membina rumah tangga akan mudah beradaptasi di
lingkungan yang baru. Sedangkan masyarakat awal dewasa sampai tua tidak
membutuhkan rumah bantuan yang berbentuk indah, tetapi membutuhkan rumah
yang sesuai dan mendukung kondisi ekonomi mereka. Relokasi Ngelepen Lama
di lokasi baru yang berbeda dengan lingkungan rumah lamanya mengakibatkan
korban gempa membutuhkan waktu untuk beradaptasi dan membentuk kembali
jejaring baru. Rumah bantuan dapat memaksa penghuninya untuk mengubah
cara hidupnya ke arah positif dan negatif. Segi positifnya, rumah bantuan dapat
meningkatkan kebersihan dan taraf hidup penghuninya. Tetapi segi negatifnya,
rumah bantuan bisa tidak sesuai dengan keadaan ekonomi atau mata pencaharian
penghuninya.
Gebby Nalurita Sari (2008) mengkaji rumah dome dari sisi potensi dan
pengembangannya sebagai daerah tujuan wisata di Kabupaten Sleman. Dari hasil
penelitiannya yang digunakan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Ahli
Madya Usaha Perjalanan Wisata tersebut, penelitian ini menyimpulkan bahwa
16
daya tarik objek wisata Rumah Dome sangat fantastik karena memiliki
pemandangan yang menarik, dengan bentuk rumah setengah lingkaran yang
telungkup mengingatkan akan Rumah Igloo, milik suku Eskimo. Selain Rumah
Dome ada beberapa daya tarik wisata yang lain seperti: Tanah Ambles, Candi
Kajiman, Belik Wunut, dan Belik Cangkok. Penelitian ini menyebutkan bahwa
objek wisata Rumah Dome termasuk objek wisata yang baru di Kabupaten
Sleman. Dalam rangka mengembangkan objek wisata Rumah Dome, Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman menekankan pada upaya
meningkatkan SDM di bidang kepariwisataan, dengan cara pihak pengelola
mengirimkan beberapa wakil masyarakat, wakil Karang Taruna untuk studi
banding ke beberapa desa wisata di Kabupaten Sleman yang telah difasilitasi
oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sleman. Dengan melakukan studi
banding, diharapkan upaya pengembangan kawasan obyek wisata Rumah Dome
dapat lebih maksimal. Adapun demikian kendala yang dihadapi masih tetap ada,
antara lain: kurangnya dana pengembangan, faktor aksesibilitas, belum adanya
usaha pemasaran dan faktor SDM yang menjadi kendala atau hambatan yang
utama.
Penelitian Muhammad Rusydi (2008) mengenai perilaku penghuni
rumah dome berdasarkan adaptasi dan adjustment di seting baru memberikan
pengetahuan bahwa perubahan perilaku yang terjadi pada penghuni rumah dome
disebabkan karena seting yang mereka buat tidak dapat mewadahi kebiasaan
pada rumah sebelumnya, sehingga penghuni rumah mengubah perilakunya.
Begitu juga sebaliknya perilaku yang tidak berubah disebabkan karena penghuni
rumah membuat seting yang dapat mewadahi kebiasaan pada rumah
17
sebelumnya. Komponen seting yang dapat disesuaikan dengan keadaan individu
adalah seting non-fix dan semi-fix. Seting fix pada rumah dome tidak ada yang
diubah sehingga penghuni rumah mengalami penyesuaian adaptasi (keadaan
individu menyesuaikan dengan seting fix). Penghuni rumah dome yang tidak
dapat menyesuaikan dengan seting fix, mereka membuat seting fix baru atau
tidak menggunakan ruang di dalam rumah dome.
Penelitian Rusydi (2008) ini juga menyebutkan bahwa ruang-ruang yang
ada di dalam rumah dome dapat disesuaikan kecuali pada ruang lantai atas. Hal
ini terjadi karena penghuni rumah tidak betah tinggal di ruangan tersebut atau
persepsi yang mereka rasakan masih di bawah ambang batas optimum penghuni
rumah, sehingga penghuni rumah masih merasa stres jika berada di ruang
tersebut. Upaya penyesuaian penghuni pada rumah dome terdapat 3 macam
strategi yaitu: mengubah perilaku atau mempertahankan perilaku; membuat
seting di dalam rumah dome maupun membuat seting baru di luar rumah dome;
serta persepsi penghuni mengalami perubahan setelah melakukan strategi
behavioral maupun fisikal. Di dalam sebuah seting ketiga macam strategi
tersebut berperan sehingga adaptasi dan adjustment tidak berdiri sendiri.
Penelitian Dwi Nur Rahayu, Alif Wulandari, dan Asep Sumiaji (2013)
menghasilkan pengetahuan bahwa perubahan bentuk rumah dan lingkungan
ternyata membawa perubahan yang besar terhadap kehidupan sosial budaya
masyarakat, yang mencakup aspek budaya yang tercermin dari variasi-variasi
hidup dan perilaku baru yang muncul, aspek budaya dapat dilihat dengan
pendekatan tujuh unsur budaya yaitu sistem peralatan hidup, sistem
kemasyarakatan, mata pencaharian, pendidikan, bahasa, kesenian, dan sistem
18
kepercayaan (religion). Minimnya sirkulasi udara dan ruang menimbulkan
perilaku baru dalam masyarakat. Sedangkan pola pemukiman yang saat ini
mengelompok meningkatkan interaksi sosial, sehingga intensitas informasi
semakin meningkat. Keunikan dari rumah dome itu sendiri menjadikan
kompleks rumah dome dijadikan sebagai rintisan desa wisata. Adanya rintisan
desa wisata dapat meningkatkan pendapatan sehingga kegiatan ekonomi menjadi
semakin beragam. Pendapatan masyarakat yang meningkat, menjadikan kualitas
hidup masyarakat juga semakin meningkat.
Penelitian Susi Wuri Ani, Mei Tri Sundari, dan Ernoiz Antriyandarti
(2013) tentang pengembangan Desa Wisata Rumah Dome berbasis agroindustri
pangan lokal bertujuan membentuk kelompok usaha produktif Ibu-Ibu PKK di
Rumah Dome untuk dapat meningkatkan nilai ekonomis pangan lokal (ketela
pohon). Hal yang dilakukan adalah memberikan pelatihan pengolahan ketela
pohon menjadi ceriping singkong berbagai rasa, keripik belut daun singkong,
membuat brownies berbahan tepung ketela, mengemas produk dengan brand
Rumah Dome dan memberikan pelatihan pembukuan sederhana. Dengan
kegiatan ini diharapkan akan tumbuh kelompok usaha produktif, sehingga dapat
mengangkat citra wisata Rumah Dome dan meningkatkan pendapatan
masyarakat di Rumah Dome. Kegiatan diversifikasi pangan vertikal ini
dilaksanakan dengan memberikan pelatihan pengolahan bahan pangan lokal
(ketela pohon) menjadi beberapa jenis makanan yaitu brownies ketela, keripik
ketela berbagai rasa serta keripik belut daun singkong. Berbagai jenis makanan
ini menggunakan bahan baku utama ketela pohon yang merupakan komoditas
utama di Rumah Dome. Diversifikasi pangan lokal merupakan strategi
19
pengembangan perekonomian pedesaan yang berbasiskan potensi lokal.
Pengolahan ketela pohon menjadi ceriping ketela, keripik belut daun singkong,
serta brownies ketela merupakan alternatif strategi meningkatkan perekonomian
masyarakat di Rumah Dome Prambanan. Produk yang dihasilkan dikemas
dengan brand Rumah Dome untuk mengenalkan kawasan wisata di wilayah
timur Yogyakarta tersebut.
Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu Tentang Rumah Dome
Nama Peneliti Tahun Instansi Judul Penelitian
Titien Saraswati 2007 Prodi Arsitektur
UKDW
Kontroversi Rumah Dome Di
Nglepen, Prambanan, DIY
Irma Desiyana 2008 S1 Arsitektur UI Dome Bagi Korban Gempa Di
Ngelepen, Yogyakarta
Gebby Nalurita
Sari
2008 DIII Usaha
Perjalanan
Wisata UNS
Potensi dan Pengembangan
Rumah Dome Sebagai Daerah
Tujuan Wisata Di Kab.
Sleman, Yogyakarta
Mohammad
Rusydi
2008 Prodi Desain
Interior ISI
Yogyakarta
Perilaku Penghuni Rumah
Dome Di Prambanan, Sleman:
Adaptasi dan Adjustment Di
Seting Baru
Dwi Nur
Rahayu, dkk
2012 UNY Rumah Dome: Kompleks
Hunian yang Merubah
Kondisi Sosial Budaya
Masyarakat Desa Ngelepen
Susi Wuri Ani,
dkk
2013 Agribisnis UNS Pengembangan Desa Wisata
Rumah Dome Berbasis
Agroindustri Pangan Lokal
(Kajian Diversifikasi Ketela
Pohon di Desa Wisata Rumah
Dome Prambanan)
F. Kerangka Teori
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan paradigma historis-prosesual,
atau paradigma sejarah yang ditujukan untuk mengungkap proses akulturasi yang
terjadi, mulai dari kedatangan suatu kebudayaan di suatu kawasan, pertemuannya
dengan kebudayaan lain di kawasan tersebut, hingga pengambilan unsur-unsur
20
kebudayaan tersebut oleh satu atau beberapa kebudayaan di kawasan itu (Ahimsa-
Putra, 2014: 4). Pemilihan paradigma historis-prosesual didasarkan pada anggapan
bahwa akulturasi merupakan suatu proses sosial-budaya yang muncul karena
masuknya unsur budaya lain dan berlangsung dalam jangka waktu tertentu.
Penelitian ini mendasarkan pada penelitian mengenai perilaku manusia yang
tidak terlepas dari pandangan mengenai hakekat manusia dan perilakunya.
Sehubungan dengan itu, dalam studi ini manusia dipandang sebagai animal
symbolicum (Cassirer, 1987: 40) atau binatang yang dapat menggunakan dan
mengembangkan simbol-simbol sebagai alat komunikasi. Simbol secara sederhana
didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dimaknai (White, 1944). Ahimsa-Putra
(2013) mendefinisikan simbol sebagai sesuatu yang – pada tataran pemikiran –
mengacu, mengingatkan, menunjuk pada sesuatu yang lain lagi. Makna berasal dari
dalam pikiran manusia yang kemudian diberikan kepada manusia yang lain. Dengan
adanya simbol-simbol, manusia dapat melangsungkan kehidupannya seperti halnya
sebagai sarana berkomunikasi antara manusia satu dengan lainnya melalui sistem
kebahasaan atau simbol-simbol tertentu yang menyampaikan pesan dan makna di
dalamnya (Nurcahyono, 2015).
Berbagai makna yang terdapat dalam pikiran manusia terwujud dalam
bahasa. Melalui bahasa, manusia dapat menangkap berbagai makna yang diberikan
oleh manusia lain terhadap keadaan di sekitarnya. Bahasa merupakan perangkat
simbol paling fundamental dalam kehidupan manusia karena melalui bahasa,
manusia dapat berkomunikasi, menyampaikan pesan dan membalas pesan, yang
kemudian membentuk kehidupan sosial, kehidupan bermasyarakat (Ahimsa-Putra,
2014). Menurut Spradley (1997), bahasa lebih dari sekedar alat mengkomunikasikan
21
realitas; bahasa merupakan alat untuk menyusun realitas. Bahasa yang berbeda
menciptakan dan mengekspresikan realitas yang berbeda. Bahasa yang berbeda itu
mengkategorikan pengalaman dengan cara-cara yang berbeda. Mengingat
persyaratan demikian menuntut peneliti berangkat dari “dalam” yaitu dari sudut
pandang orang yang diteliti (tineliti) dan dengan demikian berimplikasi pada
pendefinisian kebudayaan sebagai sistem pengetahuan atau sistem ide, sebab dalam
penjelasan ini “makna” yang diberikan oleh pendukung kebudayaan menduduki
peran yang penting (Ahimsa-Putra, 1985: 106-107).
J.J. Honigmann (dalam Koentjaraningrat, 1990) menyebutkan tiga “gejala
kebudayaan”, yaitu: (1) ideas; (2) activities; dan (3) artifacts. Sependapat dengan
Honigmann, Koentjaraningrat (1990: 186-189) menyatakan bahwa kebudayaan
memiliki tiga wujud, yaitu: (1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-
ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; (2) wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat; dan (3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya
manusia. Ahimsa-Putra (2013; 2014) berpendapat bahwa kebudayaan memiliki
empat aspek atau wujud. Dimulai dari yang kongkrit ke yang abstrak, empat aspek
tersebut adalah: (a) aspek atau budaya material; (b) aspek perilaku atau budaya
perilaku; (c) aspek kebahasaan atau bahasa; dan (d) aspek gagasan atau budaya
pengetahuan. Wujud atau aspek material kebudayaan berupa misalnya benda-benda,
mulai dari yang kecil-kecil seperti jarum, kancing baju, hingga banguan yang besar-
besar seperti gedung dengan puluhan lantai, candi, atau bahkan berupa kawasan.
Aspek perilaku kebudayaan berupa perilaku-perilaku, aktivitas bersama, berbagai
interaksi sosial, relasi sosial, lapisan dan golongan sosial. Aspek kebahasaan
22
kebudayaan berupa bahasa, atau lebih kongkrit lagi berupa istilah-istilah, ungkapan-
ungkapan, peribahasa, nyanyian rakyat, mitos, legenda, sejarah, dan sebagainya.
Aspek gagasan kebudayaan berupa pengetahuan, gagasan-gagasan kolektif, seperti:
pandangan hidup, nilai-nilai, norma-norma, dan aturan-aturan.
Kebudayaan merupakan suatu keseluruhan sistem yang saling berkaitan dan
terintegrasi. Para ahli antropologi berpendapat bahwa kebudayaan terbagi ke dalam
unsur-unsur besar yang disebut “unsur-unsur kebudayaan universal” atau cultural
universal. Koentjaraningrat (1990) menyebutkan bahwa kebudayaan memiliki tujuh
unsur, yaitu: (1) bahasa; (2) sistem pengetahuan; (3) organisasi sosial; (4) sistem
peralatan hidup dan teknologi; (5) sistem mata pencaharian hidup; (6) sistem religi;
dan (7) kesenian. Namun berdasarkan atas analisis gejala empiris kebudayaan yang
telah dilakukan, Ahimsa-Putra (2013; 2014) berpendapat bahwa kebudayaan
memiliki sepuluh unsur. Unsur-unsur tersebut adalah: (1) Unsur Keagamaan:
berfungsi mengatasi masalah ketidakberdayaan manusia; (2) Unsur Klasifikasi:
berfungsi untuk mengatasi masalah perhitungan; (3) Unsur Komunikasi: berfungsi
untuk mengatasi masalah hubungan antarindividu; (4) Unsur Permainan: berfungsi
untuk mengatasi masalah kebosanan; (5) Unsur Pelestarian: berfungsi untuk
mengatasi masalah kehilangan/kepunahan; (6) Unsur Organisasi: berfungsi untuk
mengatasi masalah reproduksi sosial; (7) Unsur Kesehatan: berfungsi untuk
mengatasi masalah sakit; (8) Unsur Ekonomi: berfungsi untuk mengatasi masalah
kelangkaan atau kekurangan; (9) Unsur Kesenian: berfungsi untuk mengatasi
masalah ekspresi kejiwaan; dan (10) Unsur Transportasi: berfungsi untuk mengatasi
masalah pemindahan tempat. Masing-masing unsur kebudayaan tersebut memiliki
empat wujud atau aspek, yaitu: aspek material, aspek perilaku, aspek kebahasaan
23
atau bahasa, dan aspek gagasan, yang dapat dipandang sebagai kumpulan atau
gugusan dari sub-sub unsur yang lebih kecil. Masing-masing unsur, sub-sub-unsur,
dan unsur-unsur yang lebih kecil lagi, semuanya dapat diperlakukan sebagai tanda
atau simbol, karena dalam kehidupan sehari-hari suatu masyarakat, unsur-unsur
tersebut selalu ditempatkan dalam relasi-relasi dengan unsur-unsur yang lain, dan
diberi makna, baik secara disadari maupun tidak. Oleh karena itu, masing-masing
unsur kebudayaan dan wujudnya tersebut juga merupakan gugusan tanda atau
simbol (Ahimsa-Putra, 2013; 2014).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa suatu masyarakat dengan suatu
kebudayaan tertentu dipengaruhi oleh unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang
sedemikian berbeda sifatnya, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing tadi lambat
laun diakomodasikan dan diintegrasikan ke dalam kebudayaan itu sendiri tanpa
kehilangan kepribadian kebudayaannya sendiri. Penelitian-penelitian tersebut
kemudian disebut dengan penelitian mengenai gejala akulturasi (acculturation)
(Koentjaraningrat, 1990: 91). Dalam karangan-karangan mengenai topik akulturasi,
sedikitnya ada lima masalah khusus yang menarik perhatian para ahli antropologi,
yaitu: (1) masalah mengenai metode-metode untuk mengobservasi, melukiskan dan
menguraikan suatu proses akulturasi dalam suatu masyarakat; (2) masalah jalannya
suatu proses akulturasi; (3) masalah psikologi dalam suatu proses akulturasi; (4)
masalah timbulnya inovasi; dan (5) masalah usaha untuk menolak atau menghindari
proses akulturasi (Koentjaraningrat, 1990).
Adanya kesadaran akan mutu dalam suatu masyarakat, merupakan salah satu
dorongan terjadinya penemuan baru. Keinginan untuk mencapai mutu yang tinggi
menyebabkan seorang ahli dalam suatu bidang selalu berusaha memperbaiki hasil
24
karyanya dan akhirnya mencapai hasil yang sebelumnya belum pernah dicapai oleh
orang lain. Dalam sejarah kebudayaan manusia, banyak penemuan baru telah
tercipta ketika ada suatu krisis dalam masyarakat yang bersangkutan, yang berarti
bahwa dalam masyarakat itu ada sejumlah orang yang menentang keadaan. Hal ini
terjadi karena mereka sadar akan kekurangan-kekurangan yang ada dalam
masyarakat sekelilingnya dan merasa tidak puas dengan keadaan itu. Akulturasi
sebagai sebuah gejala sosial-budaya memerlukan adanya “direct and usually
prolonged contact, and a cumulative process of culture transfer and reformulation”
(Keesing and Keesing, 1971: 352). Adanya kontak yang terus berlanjut serta proses
alih budaya dan reformasi budaya yang kumulatif ini menunjukkan bahwa sebuah
akulturasi merupakan sebuah proses yang berlangsung dalam waktu yang cukup
lama dan dapat dibagi dalam sejumlah tahap yang memperlihatkan perbedaan
tingkat alih budaya yang terjadi.
Proses beralihnya unsur-unsur budaya dari satu gugusan budaya (cultural
constellation) ke gugusan budaya yang lain dapat dibagi ke dalam tiga proses, yaitu:
(a) proses penerimaan (acceptance); (b) proses penyesuaian (adaptation); dan (c)
proses reaksi (reaction) (Beals, 1953: 630). Kerangka tersebut memang terlihat
terlalu sederhana, karena banyak penelitian menunjukkan bahwa proses akulturasi
dapat dibagi ke dalam beberapa tahap yang berbeda, tergantung pada hasil akhirnya,
yaitu apakah unsur-unsur budaya asing yang masuk kemudian diterima, atau
diterima dengan penyesuaian, atau ditolak. Linton (1940) mempunyai pendirian
mengenai unsur-unsur kebudayaan yang mudah berubah dan yang sukar berubah
jika dihadapkan dengan pengaruh asing. Unsur-unsur kebudayaan yang sukar
berubah adalah bagian inti dari kebudayaan dan disebut sebagai covert culture,
25
sedangkan unsur-unsur kebudayaan yang cenderung mudah berubah adalah bagian
perwujudan lahir dari kebudayaan dan disebut sebagai overt culture. Bagian inti dari
kebudayaan antara lain: (1) sistem nilai-nilai budaya; (2) keyakinan-keyakinan
keagamaan yang dianggap keramat; (3) beberapa adat yang sudah dipelajari sangat
dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat; dan (4) beberapa adat yang
mempunyai fungsi yang terjaring luas dalam masyarakat. Sedangkan bagian lahir
dari suatu kebudayaan adalah seperti: kebudayaan fisik (alat-alat dan benda-benda
yang berguna), ilmu pengetahuan, tata cara, gaya hidup, dan rekreasi yang berguna
dan memberi kenyamanan (Linton, 1936; 1940; Koentjaraningrat, 1990).
Robert L. Bee (1974; dalam Nurcahyono, 2015) menyebutkan bahwa dalam
setiap proses akulturasi terdapat tiga langkah yang harus dilalui. Pertama adalah
“difusi”, yaitu perpindahan gagasan atau sifat. Kedua adalah “evaluasi”, yaitu unsur-
unsur yang terdifusikan melewati beberapa jenis filter perseptual dan interpretatif.
Selanjutnya proses yang ketiga adalah setelah proses evaluasi unsur kebudayaan
tersebut dapat diterima, maka terjadilah proses disebut sebagai proses integrasi.
Proses integrasi ini dibagi menjadi beberapa pola, yaitu: inkorporasi, sinkritisme
atau fusi, dan kompartementilisasi atau isolasi. Proses akulturasi dalam waktu yang
relatif lama, yang menghasilkan penerimaan unsur-unsur budaya asing akan
melahirkan budaya-budaya dengan corak baru, yang sering disebut sebagai “budaya
sinkretis” (syncretic culture) atau “budaya hibrida” (hybrid culture). Budaya seperti
ini pada umumnya terlihat sebagai budaya yang telah berhasil menggabungkan
unsur-unsur budaya asing dengan unsur-unsur budaya lokal sedemikian rupa,
sehingga unsur-unsur budaya asing ini terlihat telah menyatu dengan budaya lokal.
26
G. Metode Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Wisata Rumah Dome, New Ngelepen,
Dusun Sengir, Desa Sumberharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Penentuan lokasi penelitian tersebut dikarenakan
Desa Wisata Rumah Dome memiliki arsitektur rumah yang unik dan merupakan
satu-satunya pemukiman dome yang ada di Asia Tenggara. Asumsi yang
digunakan dalam pemilihan lokasi ini adalah bahwa perubahan kebudayaan di
Desa Wisata Rumah Dome akan lebih terlihat akibat adanya kegiatan pariwisata,
terlebih kunjungan wisatawan ke Desa Wisata Rumah Dome semakin meningkat
dari waktu ke waktu. Bentuk rumah dome yang unik merupakan daya tarik
utama bagi desa wisata yang juga disebut sebagai Desa Wisata Rumah
Teletubbies ini, namun sebagian besar warga telah menambahi bangunan yang
bentuknya tidak sama dengan bentuk rumah dome, sehingga banyak rumah
dome yang tidak lagi terlihat seperti aslinya.
2. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan sebagian besar adalah data kualitatif, namun hal
itu bukan berarti mengabaikan data kuantitatif. Data kuantitaif yang diperlukan
adalah data yang menunjukkan gambaran umum lokasi penelitian, seperti:
jumlah penduduk, luas desa, jumlah rumah penduduk, jumlah kunjungan
wisatawan, dan lain sebagainya, yang diperoleh dari Kantor Kelurahan, Kepala
Dusun, dan Sekretariat Desa Wisata. Pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan dengan observasi partisipan (participant observation), wawancara
27
mendalam (indept interview), dan studi kepustakaan. Adapun cara pengumpulan
data dapat diperinci sebagai berikut.
a. Observasi Partisipan (Participant Observation)
Dalam pengumpulan data, salah satu teknik yang dilakukan adalah
dengan cara melibatkan diri secara aktif bersama warga masyarakat yang diteliti
dalam jangka waktu tertentu. Di sini, peneliti akan berusaha melibatkan diri
dalam berbagai kegiatan, baik yang dilakukan secara rutin maupun periodik.
Oleh karena itu, peneliti akan tinggal untuk beberapa waktu di lokasi penelitian.
Observasi partisipan (participant observation) dalam penelitian ini digunakan
untuk melihat dan mengetahui interaksi antara wisatawan dan winisatawan di
Desa Wisata Rumah Dome, serta bangunan-bangunan yang ada di desa tersebut.
Untuk membantu mengabadikan peristiwa maupun fenomena yang
terjadi di Desa Wisata Rumah Dome selama penelitian lapangan berlangsung,
maka peneliti menggunakan alat bantu kamera digital dan buku catatan
lapangan. Penggunaan kamera digital dimaksudkan untuk merekam peristiwa
dalam tempo cepat. Foto-foto yang diambil melalui kamera digital tersebut akan
berguna bagi peneliti dalam penyusunan laporan penelitian. Dengan
menggunakan foto, peneliti dapat melakukan refleksi atas fenomena yang pernah
diamati dan dilalui sebelumnya. Sedangkan buku catatan lapangan digunakan
untuk mencatat informasi-informasi yang diperoleh peneliti, sehingga
diharapkan tidak ada data-data penting yang tercecer.
28
b. Wawancara Mendalam (Indept Interview)
Wawancara mendalam (indept interview), digunakan untuk mengungkap
proses, makna, dan pandangan masyarakat desa terhadap perubahan arsitektur di
lingkungannya. Langkah awal yang dilakukan sebelum wawancara mendalam,
yakni dilakukan wawancara sambil lalu. Cara yang demikian dimaksudkan
sebagai strategi untuk menjalin hubungan baik dengan informan, agar proses
wawancara berikutnya berjalan dengan lancar dan dalam memberikan
keterangan isinya benar-benar menggambarkan realitas empiris yang ada
(Spradley, 1979).
Wawancara yang dilakukan antara lain mengenai: (1) sejarah
terbentuknya Desa Wisata Rumah Dome, mencakup penggagasnya, perintisnya,
aktivitas yang dilakukan, serta berbagai hambatan dan dukungan yang diperoleh;
(2) partisipasi warga masyarakat dalam pengembangan wisata desa, mencakup
penerimaan rumah dome sebagai tempat tinggal baru mereka, tekanan dan
masalah yang dihadapi, serta solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah
tersebut; (3) respon warga masyarakat, pandangan serta harapan ke depan dalam
pengembangan Desa Wisata Rumah Dome.
Ketika wawancara mendalam ini berlangsung, peneliti menggunakan alat
bantu berupa perekam audio. Perekam audio digunakan untuk merekam
percakapan antara peneliti dan informan, yang kemudian akan ditranskripkan
dalam bentuk tulisan, sehingga tidak ada informasi yang hilang dari wawancara
yang telah dilakukan. Transkrip hasil dari wawancara mendalam akan membantu
peneliti untuk menyusun laporan penelitian.
29
c. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan digunakan untuk meramu, mematangkan, dan
menempatkan sumber-sumber teori/data-data lain yang relevan tentang
akulturasi arsitektur di Desa Wisata Rumah Dome. Studi kepustakaan dilakukan
di perpustakaan UGM, perpustakaan Jurusan Arsitektur UGM, perpustakaan
Jurusan Antropologi UGM, perpustakaan Puspar UGM, dan library-on-line
UGM untuk mendapatkan berbagai laporan penelitian, disertasi, tesis, jurnal
ilmiah, dan buku-buku yang relevan dengan penelitian.
3. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini
adalah metode analisis deskriptif-interpretatif dengan langkah-langkah sebagai
berikut: (1) memilih dokumen/data yang relevan; (2) membuat catatan objektif,
yakni melakukan klasifikasi dan mereduksi jawaban; (3) membuat catatan
reflektif, yakni menginterpretasikan dalam kaitannya dengan catatan objektif; (4)
menyimpulkan data; (5) melakukan triangulasi, yaitu mengecek kebenaran data
dengan cara menyimpulkan data ganda yang diperoleh melalui tiga cara: (a)
memperpanjang waktu observasi di lapangan dengan tujuan untuk mencocokkan
data yang telah ditulis dengan data lapangan, (b) mencocokkan data yang telah
ditulis dengan bertanya kembali kepada informan, dan (c) mencocokkan data
yang telah ditulis dengan sumber pustaka. Analisis dan pengolahan data
dilakukan dalam dua tahap, yaitu: pertama, pada saat yang sama dengan kegiatan
pengumpulan data; kedua dilakukan setelah pengumpulan data berakhir.