17
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring adanya proses globalisasi yang memungkinkan setiap orang mengaplikasikan pendapat-pendapat mereka, ilmu komunikasi menjadi salah satu jembatan yang sangat diperlukan untuk jalannya jaringan antarnegara di seluruh belahan dunia. Untuk itulah muncul teori-teori yang berhubungan dengan ilmu komunikasi dewasa ini. Entah yang dijadikan untuk kerjasama maupun untuk suatu tujuan yang lain. Banyak dari kelompok, individu maupun bersama, saling berselisih dalam suatu hal, disebabkan terjadinya kesalahan dalam proses komunikasi. Bisa kita lihat salah satu contohnya, pendukung persib dan pendukung persija saling adu jotos setelah usai pertandingan, atau perselisihan diantara para dewan perwakilan di kantornya dalam beberapa pertemuan terakhir ini, bahkan kejadian yang paling mengenaskan adalah kesalahan dalam penerjemahan pesan menyerah jepang oleh pihak sekutu, kesalahan itu berakibat pada pengeboman kota Hiroshima. Komunikasi dalam pendidikan pun sangatlah diperlukan karena tanpanya, proses pendidikan dan pembelajaran akan terganggu di akhirnya. Untuk itu perlu bagi seorang fasilitator meningkatkan mutu komunikasinya agar tidak terjadi misunderstanding atau ketidaksempurnaan dalam proses penyampaian pesan/materi bagi peserta didik. Permasalahan-permasalahan itulah yang menjadi dasar pembahasan kali ini. Pembahas akan mencoba memperlihatkan beberapa teori yang sangatlah dibutuhkan di dunia pendidikan formal maupun informal agar terjadinya pendidikan yang berkesinambungan, terarah, juga saling mendukung satu dengan yang lain. B. Rumusan Masalah Apa saja teori komunikasi yang berkaitan dengan Teknologi Pendidikan? C. Tujuan Mengetahui apa saja teori komunikasi yang berkaitan dengan Teknologi Pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang · Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak mempunyai asal-usul yang jelas, tidak ... Kritik Terhadap Teori

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring adanya proses globalisasi yang memungkinkan setiap orang mengaplikasikan

pendapat-pendapat mereka, ilmu komunikasi menjadi salah satu jembatan yang sangat diperlukan

untuk jalannya jaringan antarnegara di seluruh belahan dunia. Untuk itulah muncul teori-teori yang

berhubungan dengan ilmu komunikasi dewasa ini. Entah yang dijadikan untuk kerjasama maupun

untuk suatu tujuan yang lain.

Banyak dari kelompok, individu maupun bersama, saling berselisih dalam suatu hal,

disebabkan terjadinya kesalahan dalam proses komunikasi. Bisa kita lihat salah satu contohnya,

pendukung persib dan pendukung persija saling adu jotos setelah usai pertandingan, atau perselisihan

diantara para dewan perwakilan di kantornya dalam beberapa pertemuan terakhir ini, bahkan kejadian

yang paling mengenaskan adalah kesalahan dalam penerjemahan pesan menyerah jepang oleh pihak

sekutu, kesalahan itu berakibat pada pengeboman kota Hiroshima.

Komunikasi dalam pendidikan pun sangatlah diperlukan karena tanpanya, proses pendidikan

dan pembelajaran akan terganggu di akhirnya. Untuk itu perlu bagi seorang fasilitator meningkatkan

mutu komunikasinya agar tidak terjadi misunderstanding atau ketidaksempurnaan dalam proses

penyampaian pesan/materi bagi peserta didik.

Permasalahan-permasalahan itulah yang menjadi dasar pembahasan kali ini. Pembahas akan

mencoba memperlihatkan beberapa teori yang sangatlah dibutuhkan di dunia pendidikan formal

maupun informal agar terjadinya pendidikan yang berkesinambungan, terarah, juga saling mendukung

satu dengan yang lain.

B. Rumusan Masalah

Apa saja teori komunikasi yang berkaitan dengan Teknologi Pendidikan?

C. Tujuan

Mengetahui apa saja teori komunikasi yang berkaitan dengan Teknologi Pendidikan.

2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengeritan Teori Komunikasi

1. Teori

Teori adalah hasil/ tujuan akhir ilmu pengetahuan. Pada dasarnya, tujuan dari teori

adalah untuk merumuskan pernyataan-pernyataan atau dalil-dalil yang bisa memberikan

penjelasan. Dalam sumber lain, teori diartikan sebagai sebuah rangkaian generalisasi yang

saling berhubungan yang masih perlu diamati dengan tes empiris.

2. Teori Komunikasi

Teori komunikasi adalah konseptualisasi atau penjelasan logis tentang fenomena

peristiwa komunikasi dalam kehidupan manusia.

B. Macam-Macam Teori Komunikasi

1. Teori-teori Semiotika

a. C.S PEIRCE

Peirce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga

elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant.

Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera

manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu

sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon

(tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari hubungan

sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah

konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.

3

Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang

menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam

benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda.Hal yang terpenting dalam proses

semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan

orang saat berkomunikasi.

Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang mengomunikasi

mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya sebagai simbol keseksian.

Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat Strowberi dengan akting dan

penampilan fisiknya yang memikat, para penonton bisa saja memaknainya sebagai icon

wanita muda cantik dan menggairahkan.

b. FERDINAND DE SAUSSURE

Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau

penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified.

4

Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang

objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut

―referent‖. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified

dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai ―objek‖ sebagai referent dan

menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh: ketika orang

menyebut kata ―anjing‖ (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan

tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, ―Signifier dan signified merupakan

kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.‖ (Sobur, 2006).

c. ROLAND BARTHES

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara

kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi

kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna

yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara

teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam

teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini

dikenal dengan ―order of signification‖, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai

kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di

sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah

signifier-signified yang diusung Saussure.

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu ―mitos‖ yang menandai suatu

masyarakat. ―Mitos‖ menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah

5

terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang

kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang

memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna

denotasi tersebut akan menjadi mitos. Misalnya: Pohon beringin yang rindang dan lebat

menimbulkan konotasi ―keramat‖ karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus.

Konotasi ―keramat‖ ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada

simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah

konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini,

―pohon beringin yang keramat‖ akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos.

d. BAUDRILLARD

Baudrillard memperkenalkan teori simulasi. Di mana peristiwa yang tampil tidak

mempunyai asal-usul yang jelas, tidak merujuk pada realitas yang sudah ada, tidak

mempunyai sumber otoritas yang diketahui. Konsekuensinya, kata Baudrillard, kita hidup

dalam apa yang disebutnya hiperrealitas (hyper-reality). Segala sesuatu merupakan tiruan,

tepatnya tiruan dari tiruan, dan yang palsu tampaknya lebih nyata dari kenyataannya (Sobur,

2006).

Sebuah iklan menampilkan seorang pria lemah yang kemudian menenggak sebutir pil

multivitamin, seketika pria tersebut memiliki energi yang luar biasa, mampu mengerek

sebuah truk, tentu hanya ‗mengada-ada‘. Karena, mana mungkin hanya karena sebutir pil

seseorang dapat berubah kuat luar biasa. Padahal iklan tersebut hanya ingin menyampaikan

pesan produk sebagai multivitamin yang memberi asupan energi tambahan untuk beraktivitas

sehari-hari agar tidak mudah capek. Namun, cerita iklan dibuat ‗luar biasa‘ agar konsumen

percaya. Inilah tipuan realitas atau hiperealitas yang merupakan hasil konstruksi pembuat

iklan. Barangkali kita masih teringat dengan pengalaman masa kecil (entah sekarang masih

ada atau sudah lenyap) di pasar-pasar tradisional melihat atraksi seorang penjual obat yang

memamerkan hiburan sulap kemudian mendemokan khasiat obat di hadapan penonton?

Padahal sesungguhnya atraksi tersebut telah ‗direkayasa‘ agar terlihat benar-benar manjur di

hadapan penonton dan penonton tertarik untuk beramai-ramai membeli obatnya.

e. JACQUES DERRIDA

Derrida terkenal dengan model semiotika Dekonstruksi-nya. Dekonstruksi, menurut

Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun

bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep

6

demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian

realitas—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda

(siginifier) melalui penyusunan konsep (signified). Dalam teori Grammatology, Derrida

menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua

tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain (Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006:

100). Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki

oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang

semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan

tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan

ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas.

Sebuah gereja tua dengan arsitektur gothic di depan Istiqlal bisa merefleksikan banyak

hal. Ke-gothic-annya bisa merefleksikan ideologi abad pertengahan yang dikenal sebagai

abad kegelapan. Seseorang bisa menafsirkan bahwa ajaran yang dihantarkan dalam gereja

tersebut cenderung ‗sesat‘ atau menggiring jemaatnya pada hal-hal yang justru bertentangan

dari moral-moral keagamaan yang seharusnya, misalnya mengadakan persembahan-

persembahan berbau mistis di altar gereja, dan sebagainya.

Namun, Ke-gothic-an itu juga dapat ditafsirkan sebagai ‗klasik‘ yang menandakan

kemurnian dan kemuliaan ajarannya. Sesuatu yang klasik biasanya dianggap bernilai tinggi,

‗berpengalaman‘, teruji zaman, sehingga lebih dipercaya daripada sesuatu yang sifatnya

temporer. Di lain pihak, bentuk gereja yang menjulang langsing ke langit bisa ditafsirkan

sebagai ‗fokus ke atas‘ yang memiliki nilai spiritual yang amat tinggi. Gereja tersebut

menawarkan kekhidmatan yang indah yang ‗mempertemukan‘ jemaat dan Tuhan-nya secara

khusuk, semata-mata demi Tuhan. Sebuah persembahan jiwa yang utuh dan istimewa.

Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan

ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat

menyingkirkan (―menghancurkan‖ atau mendestruksi) makna sebelumnya, terus-menerus

tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas. Berbeda

dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida

lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang

membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar

melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik

tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna tanda tersebut.

7

f. UMBERTO ECO

Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotikan yang

menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan kontemporer.

Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan teori-teori semiotika

sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam (Sobur, 2006).

Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin

memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian mengubah konsep tanda

menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa ―satu tanda bukanlah entitas

semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat pertemuan bagi unsur-unsur

independen (yang berasal dari dua sistem berbeda dari dua tingkat yang berbeda yakni

ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar hubungan pengkodean‖. Eco menggunakan ―kode-

s‖ untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda

suara atau grafis tidak memiliki arti apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak

berfungsi secara linguistik. Kode-s bisa bersifat ―denotatif‖ (bila suatu pernyataan bisa

dipahami secara harfiah), atau ―konotatif‖ (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang

sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco ingin

memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang

ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat terkait dengan teori linguistik masa

kini.

2. Teori disonansi kognitif

Teori disonansi kognitif merupakan sebuah teori komunikasi yang membahas mengenai

perasaan ketidaknyamanan seseorang yang diakibatkan oleh sikap, pemikiran, dan perilaku

yang tidak konsisten dan memotivasi seseorang untuk mengambil langkah demi mengurangi

ketidaknyamanan tersebut.

Ranah Kognitif

8

Asumsi

Teori disonansi kognitif memiliki sejumlah anggapan atau asumsi dasar diantaranya adalah:

Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan

perilakunya. Teori ini menekankan sebuah model mengenai sifat dasar dari manusia

yang mementigkan adanya stabilitas dan konsistensi.

Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi biologis. Teori ini merujuk pada fakta-fakta

harus tidak konsisten secara psikologis satu dengan lainnya untuk menimbulkan

disonansi kognitif.

Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu

tindakan dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur. Teori ini menekankan

seseorang yang berada dalam disonansi memberikan keadaan yang tidak nyaman,

sehingga ia akan melakukan tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut.

Disonansi akan mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk

mengurangi disonansi. Teori ini beranggapan bahwa rangsangan disonansi yang

diberikan akan memotivasi seseorang untuk keluar dari inkonsistensi tersebut dan

mengembalikannya pada konsistensi.

Tingkat Disonansi

Merujuk kepada jumlah inkonsistensi yang dialami seseorang. Tiga hal yang merujuk kepada

tingkat disonansi seseorang:

Tingkat kepentingan, yaitu seberapa signifikan tingkat masalah tersebut berpengaruh

pada tingkat disonansi yang dirasakan.

Rasio disonansi, yaitu jumlah disonansi berbanding dengan jumlah konsistensi.

Rasionalitas merupakan alasan yang dikemukakan oleh seseorang yang merujuk

mengapa suatu inkonsistensi muncul.

Mengatasi Disonansi

Ada banyak cara untuk mengatasi disonansi kognitif, namun cara yang paling efektif untuk

ditempuh adalah:

Mengurangi pentingnya keyakinan disonan kita.

Menambahkan keyakinan yang konsonan.

Menghapus disonansi dengan cara tertentu.

9

Kritik Terhadap Teori

Teori ini dinilai kurang memiliki kegunaan karena teori ini tidak menjelaskan secara

menyeluruh kapan dan bagaimanaseseorang akan mencoba untuk mengurangi

disonansi.

Kemungkinan pengujian tidak sepenuhnya terdapat dalam teori ini. Kemungkinan

pengujian berarti kemampuan untuk membuktikan apakah teori tersebut benar atau

salah.

3. Teori Agenda Setting

Agenda-setting diperkenalkan oleh McCombs dan DL Shaw (1972). Asumsi teori ini

adalah bahwa jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan

mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Jadi apa yang dianggap penting

media, maka penting juga bagi masyarakat. Dalam hal ini media diasumsikan memiliki efek

yang sangat kuat, terutama karena asumsi ini berkaitan dengan proses belajar bukan dengan

perubahan sikap dan pendapat.

Media massa memiliki kekuatan untuk mempengaruhi agenda media kepada agenda

publik. Teori Agenda Setting didasari oleh asumsi demikian. Teori ini sendiri dicetuskan oleh

Profesor Jurnalisme Maxwell McCombs dan Donald Shaw.

Menurut McCombs dan Shaw, ―we judge as important what the media judge as

important.‖ Kita cenderung menilai sesuatu itu penting sebagaimana media massa

menganggap hal tersebut penting. Jika media massa menganggap suatu isu itu penting maka

kita juga akan menganggapnya penting. Sebaliknya, jika isu tersebut tidak dianggap penting

oleh media massa, maka isu tersebut juga menjadi tidak penting bagi diri kita, bahkan

menjadi tidak terlihat sama sekali.

Denis McQuail (2000: 426) mengutip definisi Agenda Setting sebagai ―process by

which the relative attention given to items or issues in news coverage infulences the rank

order of public awareness of issues and attribution of significance. As an extension, effects on

public policy may occur.‖

Walter Lipmann pernah mengutarakan pernyataan bahwa media berperan sebagai

mediator antara ―the world outside and the pictures in our heads‖. McCombs dan Shaw juga

sependapat dengan Lipmann. Menurut mereka, ada korelasi yang kuat dan signifikan antara

apa-apa yang diagendakan oleh media massa dan apa-apa yang menjadi agenda publik.

10

Awalnya teori ini bermula dari penelitian mereka tentang pemilihan presiden di

Amerika Serikat tahun 1968. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa ada hubungan sebab-

akibat antara isi media dengan persepsi pemilih.

McCombs dan Shaw pertama-tama melihat agenda media. Agenda media dapat terlihat

dari aspek apa saja yang coba ditonjolkan oleh pemberitaan media terebut. Mereka melihat

posisi pemberitaan dan panjangnya berita sebagai faktor yang ditonjolkan oleh redaksi. Untuk

surat kabar, headline pada halaman depan, tiga kolom di berita halaman dalam, serta

editorial, dilihat sebagai bukti yang cukup kuat bahwa hal tersebut menjadi fokus utama surat

kabar tersebut. Dalam majalah, fokus utama terlihat dari bahasan utama majalah tersebut.

Sementara dalam berita televisi dapat dilihat dari tayangan spot berita pertama hingga

berita ketiga, dan biasanya disertai dengan sesi tanya jawab atau dialog setelah sesi

pemberitaan. Sedangkan dalam mengukur agenda publik, McCombs dan Shaw melihat dari

isu apa yang didapatkan dari kampanye tersebut. Temuannya adalah, ternyata ada kesamaan

antara isu yang dibicarakan atau dianggap penting oleh publik atau pemilih tadi, dengan isu

yang ditonjolkan oleh pemberitaan media massa. McCombs dan Shaw percaya bahwa fungsi

agenda-setting media massa bertanggung jawab terhadap hampir semua apa-apa yang

dianggap penting oleh publik. Karena apa-apa yang dianggap prioritas oleh media menjadi

prioritas juga bagi publik atau masyarakat. Akan tetapi, kritik juga dapat dilontarkan kepada

teori ini, bahwa korelasi belum tentu juga kausalitas. Mungkin saja pemberitaan media massa

hanyalah sebagai cerminan terhadap apa-apa yang memang sudah dianggap penting oleh

masyarakat. Meskipun demikian, kritikan ini dapat dipatahkan dengan asumsi bahwa pekerja

media biasanya memang lebih dahulu mengetahui suatu isu dibandingkan dengan masyarakat

umum.

News doesn’t select itself. Berita tidak bisa memilih dirinya sendiri untuk menjadi

berita. Artinya ada pihak-pihak tertentu yang menentukan mana yang menjadi berita dan

mana yang bukan berita. Siapakah mereka? Mereka ini yang disebut sebagai ―gatekeepers.‖

Di dalamnya termasuk pemimpin redaksi, redaktur, editor, hingga jurnalis itu sendiri.

Dalam dunia komunikasi politik, para calon presiden biasanya memiliki tim media

yang disebut dengan istilah ‗spin doctor.‘ Mereka berperan dalam menciptakan isu dan

mempublikasikannya melalui media massa. Mereka ini juga termasuk ke dalam ‗gatekeeper‘

tadi. Setelah tahun 1990an, banyak penelitian yang menggunakan teori agenda-setting makin

menegaskan kekuatan media massa dalam mempengaruhi benak khalayaknya. Media massa

mampu membuat beberapa isu menjadi lebih penting dari yang lainnya. Media mampu

mempengaruhi tentang apa saja yang perlu kita pikirkan. Lebih dari itu, kini media massa

11

juga dipercaya mampu mempengaruhi bagaimana cara kita berpikir. Para ilmuwan

menyebutnya sebagai framing. McCombs dan Shaw kembali menegaskan kembali tentang

teori agenda setting, bahwa ―the media may not only tell us what to think about, they also

may tell us how and what to think about it, and perhaps even what to do about it”

(McCombs, 1997).

4. Teori Interaksi Simbolik

Interaksi simbolik menurut Effendy (1989: 352) adalah suatu faham yang menyatakan

bahwa hakekat terjadinya interaksi sosial antara individu dan antar individu dengan

kelompok, kemudian antara kelompok dengan kelompok dalam masyarakat, ialah karena

komunikasi, suatu kesatuan pemikiran di mana sebelumnya pada diri masing-masing yang

terlibat berlangsung internalisasi atau pembatinan.

Teori Interaksi Simbolik yang masih merupakan pendatang baru dalam studi ilmu

komunikasi, yaitu sekitar awal abad ke-19 yang lalu. Sampai akhirnya teori interaksi simbolik

terus berkembang sampai saat ini, dimana secara tidak langsung SI merupakan cabang

sosiologi dari perspektif interaksional (Ardianto. 2007: 40).

Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, dimana merupakan salah satu

perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat ‖humanis‖

(Ardianto. 2007: 40). Dimana, perspektif ini sangat menonjolkan keangungan dan maha

karya nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini. Perspektif ini

menganggap setiap individu di dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, berinteraksi di

tengah sosial masyarakatnya, dan menghasilkan makna ‖buah pikiran‖ yang disepakati secara

kolektif. Dan pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang

dilakukan oleh setiap individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah

satu ciri dari perspektif interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.

Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta

inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu (Soeprapto. 2007). Banyak ahli di

belakang perspektif ini yang mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting

dalam konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu adalah objek yang bisa secara

langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.

Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993)dalam West- Turner (2008: 96),

interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami

bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana

cara dunia membentuk perilaku manusia.

12

Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari

pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan

tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat

(Society) dimana individu tersebut menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970)dalam

Ardianto (2007: 136), Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk

membentuk makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui

interaksi.

Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain: (1) Pikiran

(Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang

sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan

individu lain, (2) Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari

penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah

salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self)

dan dunia luarnya, dan (3) Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang

diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap

individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang

pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah

masyarakatnya.

‖Mind, Self and Society‖ merupakan karya George Harbert Mead yang paling terkenal

(Mead. 1934dalam West-Turner. 2008: 96), dimana dalam buku tersebut memfokuskan pada

tiga tema konsep dan asumsi yang dibutuhkan untuk menyusun diskusi mengenai teori

interaksi simbolik.

Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik

antara lain:

1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia,

2. Pentingnya konsep mengenai diri,

3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.

Tema pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi

perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses

komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi

secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang

dapat disepakati secara bersama. Hal ini sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert

13

Blumer (1969)dalam West-Turner (2008: 99) dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai

berikut:

1. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan

orang lain kepada mereka,

2. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia,

3. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.

Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya ‖Konsep diri‖ atau

‖Self-Concept‖. Dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan pada pengembangan

konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan

orang lainnya. Tema ini memiliki dua asumsi tambahan, menurut LaRossan & Reitzes (1993)

dalam West-Turner (2008: 101), antara lain:

1. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain,

2. Konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku.

Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara kebebasan

individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi

perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang

ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan

mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi- asumsi yang berkaitan

dengan tema ini adalah:

1. Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial,

2. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

Rangkuman dari hal-hal yang telah dibahas sebelumnya mengenai tiga tema konsep

pemikiran George Herbert Mead yang berkaitan dengan interaksi simbolik, dan tujuh asumsi-

asumsi karya Herbert Blumer (1969) adalah sebagai berikut:

Tiga tema konsep pemikiran Mead

Pentingnya makna bagi perilaku manusia,

Pentingnya konsep diri,

Hubungan antara individu dengan masyarakat.

Tujuh asumsi karya Herbert Blumer

14

Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain

pada mereka,

Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia,

Makna dimodifikasi melalui sebuah proses interpretif,

Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain,

Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku,

Orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial,

Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

5. Teori Ivan Petrovich Pavlov, Stimulus Respons

Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) adalah seorang behavioristik terkenal dengan teori

pengkondisian asosiatif stimulus-respons dan hal ini yang dikenang darinya hingga kini. Ia

tidak pernah memiliki hambatan serius dalam sepanjang kariernya meskipun terjadi

kekacauan dalam revolusi rusia.

Pavlov lahir di kota kecil di Rusia tengah, anak seorang pendeta ortodoks pedesaan.

Pada awalnya ia berniat mengikuti jejak ayahnya, namun mengurungkan dan pergi ke

universitas di St. Petersburg untuk mengajar pada tahun 1870. Dari sinilah karir seorang

pavlov mulai berjalan hingga ia memimpin institut Fisiologi Pavlovian di Akademi Ilmu

Pengetahuan Rusia.

Ia menemukan bahwa ia dapat menggunakan stimulus netral, seperti sebuah nada atau

sinar untuk membentuk perilaku (respons). Dalam hal ini, eksperimen yang dilakukan oleh

pavlov menggunakan anjing sebagai subyek penelitian.

15

Berikut adalah tahap-tahap eksperimen dan penjelasan dari gambar diatas:

Gambar pertama. Dimana anjing, bila diberikan sebuah makanan (UCS) maka secara

otonom anjing akan mengeluarkan air liur (UCR).

Gambar kedua. Jika anjing dibunyikan sebuah bel maka ia tidak merespon atau

mengeluarkan air liur.

Gambar ketiga. Sehingga dalam eksperimen ini anjing diberikan sebuah makanan (UCS)

setelah diberikan bunyi bel (CS) terlebih dahulu, sehingga anjing akan mengeluarkan air liur

(UCR) akibat pemberian makanan.

Gambar keempat. Setelah perlakukan ini dilakukan secara berulang-ulang, maka ketika

anjing mendengar bunyi bel (CS) tanpa diberikan makanan, secara otonom anjing akan

memberikan respon berupa keluarnya air liur dari mulutnya (CR).

Dalam ekperimen ini bagaimana cara untuk membentuk perilaku anjing agar ketika

bunyi bel di berikan ia akan merespon dengan mengeluarkan air liur walapun tanpa diberikan

makanan. Karena pada awalnya (gambar 2) anjing tidak merespon apapun ketika mendengar

bunyi bel.

Jika anjing secara terus menerus diberikan stimulus berupa bunyi bel dan kemudian

mengeluarkan air liur tanpa diberikan sebuah hadiah berupa makanan. Maka kemampuan

stimulus terkondisi (bunyi bel) untuk menimbulkan respons (air liur) akan hilang. Hal ini

disebut dengan extinction atau penghapusan.

Pavlov mengemukakan empat peristiwa eksperimental dalam proses akuisisi dan

penghapusan sebagai berikut:

1. Stimulus tidak terkondisi (UCS), suatu peristiwa lingkungan yang melalui

kemampuan bawaan dapat menimbulkan refleks organismik. Contoh: makanan

2. Stimulus terkondisi (CS), Suatu peristiwa lingkungan yang bersifat netral dipasangkan

dengan stimulus tak terkondisi (UCS). Contoh: Bunyi bel adalah stimulus netral yang

di pasangkan dengan stimulus tidak terkondisi berupa makanan.

3. Respons tidak terkondisi (UCR), refleks alami yang ditimbulkan secara otonom atau

dengan sendirinya. Contoh: mengeluarkan air liur

16

4. Respos terkondisi (CR), refleks yang dipelajari dan muncul akibat dari penggabungan

CS dan US. Contoh: keluarnya air liur akibat penggabungan bunyi bel dengan

makanan.

Menilik psikologi behavioristik menggunakan suatu pendekatan ekperimental, refleksiologis

objektif pavlov tetap merupakan model yang luar biasa dan tidak tertandingi.

6. Teori Jarum Suntik (Hypodermic Needle)

Teori Jarum Suntik ini diangkat setelah melihat keberhasilan penggunaan media radio

dan media cetak sebagai alat propaganda dalam Perang Dunia I, serta keberhasilan drama

radio Orson Welles yang mengisahkan turunnya makhluk Mars ke bumi yang membuat

penduduk di sejumlah kota di Amrik menjadi gempar.

Pada tahun 1938 Orson Welles bersama John Houseman membuat drama radio berjudul

―War of The Worlds‖ dengan menggunakan efek suara yang canggih pada saat itu. Saat itu

tak kurang dari sejuta warga AS mendengarkannya. Sebuah berita mengejutkan tiba-tiba

muncul di tengah sandiwara radio ini. ―Ladies and gentlemen, Saya Carl Phillips, saat ini

saya berada di Wilmuth farm, Grovers Mill, New Jersey. . . .Well, Saya . . tidak tahu dari

mana memulainya, saya tidak punya kata-kata untuk menceritakannya! saya baru saja tiba di

tempat ini… saya hampir tidak mempercayai apa yang saya lihat saat ini … sebuah

pemandangan yang menakjubkan…. seperti… seperti dalam kisah modern Arabian Nights.

Saya tidak tahu apa yang saya lihat… sesuatu muncul dari dalam tanah. Tadi diawali sebuah

goncangan yang hebat…. kemudian sebuah lubang menganga dari dalam bumi…. seperti

sebuah bekas meteor yang jatuh. Lihat.. sebuah obyek keluar dari lubang tersebut .. bukan

meteor… tapi lebih menyerupai silinder raksasa….‖

Selang beberapa menit kemudian ―reporter‖ Phillips, ditemani oleh ―astronomer,‖

Professor Pierson, menceritakan seperti sebuah berita radio tentang kemunculan robot-robot

raksasa dari dalam bumi yang menghancurkan apapun yang menghadang. Menghancurkan

gedung dan membunuh ribuan manusia. ‗Reporter‘ lain melaporkan penyerangan alien di

daerah lain.

Dengan model penyampaian bergaya laporan pandangan mata, ditambah dengan efek

suara yang dahsyat, sandiwara ini telah berhasil meyakinkan warga Amerika Serikat bahwa

telah terjadi invasi makhluk Mars ke bumi. Akibatnya, kepanikan melanda jutaan warga

Amerika. Petugas telepon kerepotan menyambungkan sambungan telepon yang tiba-tiba

sangat padat. Para ayah, atau orang tua ingin mengetahui keadaan anaknya atau anggota

keluarga lainnya, begitu juga sebaliknya, bahkan banyak yang berdoa dan menelepon untuk

17

saling meminta maaf! Padahal berita tersebut hanyalah bagian dari adegan dalam sandiwara

radio.

Teori Jarum Suntik berpendapat bahwa khalayak sama sekali tidak memiliki kekuasaan

untuk menolak informasi setelah disuntikkan melalui media komunikasi. Khalayak terlena

seperti kemasukan obat bius melalui jarum suntik sehingga tidak memiliki alternatif untuk

menentukan pilihan lain, kecuali apa yang disiarkan oleh media. Teori ini juga dikenal

dengan sebutan Teori Peluru atau bullet theory.