Upload
trantram
View
227
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Komitmen tanggung jawab sosial yang dilakukan perusahaan, saat ini
semakin menunjukkan ke arah yang lebih baik seiring dengan banyaknya program
Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukan perusahaan di sekitar
wilayah operasi perusahaan. Hal ini sejalan dengan landasan konsep Triple
Bottom Line yang dicetuskan oleh John Elkington (dalam Bahruddin, 2012) dalam
karyanya yang berjudul Cannibal with Forks: the Triple Bottom Line of 21
Century. Konsep Triple Bottom Line disimbolkan melalui profit, planet dan
people. Perusahaan dalam usahanya, sudah sewajarnya apabila bertujuan untuk
mencari keuntungan atau profit. Dalam mempertahankan keberlangsungan
perusahaan pada konteks kekinian, pemikiran single bottom line yang
disimbolisasikan bahwa perusahaan hanya berorientasi pada profit akan
menghambat keberlangsungan perusahaan itu sendiri. Sebagai bagian dari warga
dunia (good corporate citizenship) dan untuk melestarikan sumber daya alam
(sustainibilty) yang ada maka, perusahaan sudah selayaknya memiliki komitmen
terhadap tanggung jawab lingkungan (planet). Selain itu kontribusi perusahaan
untuk peduli terhadap masyarakart sekitar (people) sangat diperlukan dalam
membangun hubungan yang baik dan mewujudkan kemandirian masyarakat.
Perusahaan merupakan bagian dari entitas warga dunia oleh karena itu
diperlukan tanggung jawab yang lain, tidak semata profit dalam menunjang
peradaban dan lestarinya lingkungan. Dalam rangka itu, negara kemudian
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
2
mendorong pelaksanaan CSR atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang
diatur di dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas No 40 tahun 2007 Pasal 74.
Dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa perusahan yang memanfaatkan sumber
daya alam sebagai bagian dari proses produksinya wajib melakukan kegiatan
tanggung jawab sosial dan lingkungannya. Selain itu, World Bank (dalam
Bahruddin, 2012) juga mendefinisikan CSR sebagai komitmen dari sektor bisnis
untuk mendukung terciptanya pembangunan berkelanjutan. Program CSR yang
dilakukan perusahaan merupakan kontribusi tanggung jawab sosial perusahaan
kepada masyarakat sehingga mampu menjadi perusahaan yang bisa dikategorikan
sebagai “be a good corporate citizenship”.
Definisi penyelenggaraan CSR mengisyaratkan bahwa perusahaan harus
mampu memberikan program CSR yang mendukung upaya-upaya pembangunan
berkelanjutan terkait pembangunan manusia dan lingkungan. Perusahaan harus
bisa mengkombinasikan tanggung jawab lingkungan dan sosial dalam rangka
perwujudan kehidupan yang lebih baik (well being) untuk masyarakat yang
tinggal di sekitar wilayah operasi perusahaan. Hal ini sejalan dengan kerangka
pembangunan dunia untuk kemanfaatan planet bumi yang dikenal dengan
Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs merupakan Resolusi PBB yang
diterbitkan pada 21 Oktober 2015 sebagai ambisi pembangunan bersama hingga
tahun 2030 yang berisi 17 tujuan pembangunan, yang merupakan kelanjutan dari
MDGs (Millenium Development Goals) yang berakhir pada tahun 2015. Indonesia
akan menggunakan tiga indikator terkait dengan dokumen SDGs, yaitu
pembangunan manusia atau human development yang meliputi pendidikan dan
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
3
kesehatan, lingkungan dalam skala kecil atau social economic development dan
lingkungan yang besar atau environmental development berupa ketersediaan
kualitas lingkungan dan sumber daya alam yang baik (International Labour
Organization, 2016).
Upaya perusahaan dalam melaksanakan program CSR terutama
perusahaan di Indonesia tidak selamanya berjalan tanpa ada hambatan yang
akhirnya terjadi kegagalan. Motivasi perusahaan menjalankan CSR menjadi
modal yang sangat penting untuk menciptakan program-program yang bisa
berkelanjutan baik dalam aspek sosial maupun lingkungan. Salah satu contoh
perusahaan yang gagal melaksanakan program CSR adalah PT. Freeport. PT.
report gagal dalam melaksanakan tanggung jawabnya dalam aspek pengelolaan
lingkungan dan resolusi konflik yang terjadi dengan penduduk pribumi. Kegiatan
operasi perusahaan mengakibatkan dampak negatif untuk penduduk lokal seperti
penggunaan tanah adat, perusakan lingkungan dan ekonomi serta tidak diakuinya
keberadaan penduduk Amungme (Rudito & Famiola, 2007).
Banyak pilihan pendekatan program yang bisa digunakan untuk
implementasi program CSR seperti charity, infrastructure building atau
community empowerment. Charity merupakan salah satu pendekatan program
CSR yang pernah menjadi idola bagi banyak perusahaan karena mudah dalam
implementasinya. Perusahaan tidak perlu membuat perencanaan sedemikian rupa
agar program CSR dengan pendekatan charity berhasil karena perusahaan hanya
perlu membagikan bantuannya secara cuma-cuma. Tujuan utamanya adalah, dana
yang dialokasikan untuk program CSR bisa tersalurkan ke masyarakat.
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
4
Program CSR dalam bentuk charity adalah adalah bentuk program CSR
yang bersifat sementara dan berdampak pada ketergantungan masyarakat akan
bantuan-bantuan tersebut. Masyarakat akan terus mengharapkan bantuan dari
perusahaan yang sudah jelas tidak akan membuat masyarakat berdaya dan
mandiri. Apalagi bila perusahaan tidak selamanya beroperasi di wilayah tersebut,
maka masyarakat akan kembali miskin. Beberapa contoh program perusahaan
dalam bentuk charity seperti bantuan sembako, bantuan berupa uang (cash
transfer), paket lebaran, dan sebagainya. Charity akan memberikan dampak
berkelanjutan jika diiringi dengan inisiatif perusahaan untuk pengembangan
masyarakat. Seperti misalnya pemberian bantuan modal untuk usaha masyarakat
yang kemudian dijadikan sebagai langkah awal untuk pengembangan bisnis lokal
yang tentunya direncanakan dengan matang dan disertai dengan pendampingan.
Dewasa ini, charity sudah tidak populer di kalangan perusahaan untuk
penyelenggaraan program CSR. Strategi community empowerment atau
pemberdayaan masyarakat menjadi pilihan yang tepat karena memberikan
dampak yang lebih baik dan berkelanjutan dibandingkan charity. Selain itu,
pemberdayaan masyarakat sangat berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan
dimana pemberdayaan masyarakat merupakan suatu wadah atau media yang akan
membawa masyarakat menuju keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi
yang dinamis (Theresia, Andini, Nugraha, & Mardikanto, 2014). Lanjut dijelaskan
bahwa hakikat dari pemberdayaan masyarakat adalah upaya-upaya yang
dilakukan untuk meningkatkan kemampuan, mendorong kemauan dan keberanian,
serta menciptakan kesempatan bagi berbagai usaha yang dilakukan masyarakat
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
5
lokal untuk dengan atau tanpa dukungan dari pihak eksternal mengembangkan
kemandiriannya dengan tujuan untuk mewujudkan perbaikan kesejahteraan
(ekonomi, sosial, fisik dan mental) yang berkelanjutan. Oleh karena itu, strategi
pemberdayaan masyarakat jelas sangat erat kaitannya dengan kerangka
pembangunan berkelanjutan (SDGs). Pembangunan manusia, lingkungan sosial
ekonomi serta lingkungan alam menjadi tujuan akhir dari upaya pembangunan
dunia.
Hakikat pemberdayaan masyarakat adalah terwujudnya kemandirian
masyarakat dalam upaya peningkatan kesejahteraan. Kemandirian masyarakat
bukan berarti menolak bantuan dari pihak eksternal, namun kemandirian yang
mengartikan bahwa masyarakat telah memiliki kemampuan untuk memberikan
kesempatan pada dirinya dalam pengambilan keputusan. Keputusan yang diambil
oleh masyarakat berdasarkan pertimbangan kondisi sumberdaya, penguasaan dan
kemampuan pengetahuan teknis, sikap kewirausahaan dan keterampilan serta
kesesuaian nilai kearifan lokal (Theresia, Andini, Nugraha, & Mardikanto, 2014).
Dengan begitu, masyarakat secara mandiri mampu mengelola manfaat yang
terjadi dengan adanya program CSR, sehingga manfaat program CSR terus
berlanjut meskipun sudah tidak ada lagi campur tangan perusahaan.
Kemandirian masyarakat adalah kunci berhasilnya program pembangunan,
termasuk CSR. Jika tidak tercapai, hal ini akan menimbulkan masalah baru bukan
hanya untuk masyarakat sasaran program, tetapi untuk perusahaan itu sendiri.
Misalnya, perusahaan mengalami kebangkrutan disaat masyarakat belum mandiri
dari bantuan-bantuan yang diberikan. Masalah akan muncul dimana perusahaan
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
6
tidak bisa lagi memberikan bantuan namun di sisi lain masyarakat menuntut
bantuan-bantuan yang selama ini telah diberikan terus berlanjut. Oleh karena itu,
pemberdayaan masyarakat harus terus berlangsung dan manfaat program CSR
juga senantiasa dirasakan oleh masyarakat meskipun program memiliki limitasi
waktu karena keterbatasan dari perusahaan.
Untuk menghindari berhentinya upaya pemberdayaan masyarakat,
perencanaan di awal program harus mencakup wacana bagaimana pemberdayaan
dan dampak positif dari program CSR akan terus berlangsung ketika perusahaan
harus keluar dari wilayah tersebut atau tidak lagi mendampingi masyarakat.
Banyak tantangan yang harus dihadapi manakala implementasi program CSR
tidak mempertimbangkan upaya keberlanjutan pemberdayaan masyarakat. Oleh
karena itu, perlu adanya suatu strategi untuk keberlanjutan pemberdayaan
masyarakat guna mengukur dampak positif dari program CSR.
Exit strategy atau strategi pengakhiran adalah salah satu strategi yang bisa
digunakan untuk menjamin keberlanjutan pemberdayaan masyarakat pada suatu
program pembangunan, termasuk program CSR. Strategi pengakhiran adalah
suatu rencana yang menggambarkan bagaimana program akan ditarik dari suatu
wilayah sementara pencapaian tujuan pembangunan tidak akan terganggu dan
perkembangan tujuan lebih lanjut akan tetap tercapai (Rogers & Macias, 2014).
Tujuan utama yang mendasari perlunya strategi pengakhiran adalah untuk
memastikan keberlanjutan dampak positif dari suatu program setelah program
berakhir. Dampak positif program CSR yang terus dirasakan oleh masyarakat
setelah program diakhiri menjadi harapan dari perusahaan sebagai pemberi
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
7
bantuan program, begitu juga dengan masyarakat sebagai penerima manfaat
program. Berhasilnya suatu program CSR bisa dilihat melalui kemampuan
masyarakat dalam mengelola dampak positif dari program CSR serta mampu
bertanggung jawab atas program sehingga pemberdayaan masyarakat terus
berlangsung untuk mencapai kemandirian.
Chevron Geothermal Salak, Ltd (CGS) memiliki program CSR yaitu
Green Corridor Initiative (GCI) dimulai dari tahun 2012 hingga 2016. Program
GCI adalah program inisiasi dari Chevron IndoAsia Bussines Unit namun
dijalankan oleh Chevron Geothermal Salak, Ltd. yang berlokasi di lereng Gunung
Salak, Sukabumi, Jawa Barat. Program GCI sejalan dengan konsep SDGs yang di
dalamnya terdapat unsur tanggung jawab perusahaan untuk menyelamatkan dan
melestarikan lingkungan (planet) dengan melibatkan masyarakat dengan
membangun institusi sosial (people) dalam rangka meningkatkan kehidupan
masyarakat yang lebih baik (well being ).
Sebelum ada inisiatif program Green Corridor Initiative, masyarakat yang
tinggal di wilayah lintasan hijau merupakan masyarakat perambah hutan. Undang-
undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjelaskan bahwa merambah
adalah kegiatan melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari
pejabat yang berwenang. Lanjut dijelaskan dalam undang-undang tersebut bahwa
kegiatan yang dilakukan di dalam hutan tanpa ada izin dari pejabat hingga
menimbulkan kerusakan pada lingkungan bisa dikenakan sanksi. CGS bersama
Balai Taman Nasional Halimun Salak (BTNGHS) memiliki inisiatif untuk
berkontribusi dalam upaya konservasi hutan dengan mengajak dan melibatkan
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
8
masyarakat yang tinggal berbatasan langsung dengan hutan koridor. Masyarakat
dilibatkan untuk merawat dan menjaga kelestarian hutan serta keanekaragaman
hayati yang ada di Gunung Halimun dan Gunung Salak dikemas sedemikian rupa
dalam program Green Corridor Initiative. Selain itu, kesepakatan CGS dan
BTNGHS juga melibatkan LSM untuk ikut serta dalam program Green Corridor
Initiative Halimun-Salak yaitu Yayasan Kehati sebagai implementing partner.
Jauh sebelum Green Corridor Initiative dimulai, tepatnya pada tahun 2004
masyarakat koridor yang dilibatkan dalam program ini adalah masyarakat
perambah hutan Salak. Pekerjaan merambah hutan dilakukan sebagai bentuk
protes kepada pemerintah yang pada saat itu mengeluarkan regulasi perubahan
hutan Salak dari hutan produksi menjadi hutan konservasi yang dikelola oleh
Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Seiring berjalannya waktu,
dampak perambahan hutan dirasakan sendiri oleh masyarakat koridor seperti
cuaca panas dan kekeringan air. Peristiwa ini membuat masyarakat sadar untuk
tidak merambah hutan lagi dan bertanggung jawab atas perbuatannya dengan
melakukan restorasi hutan. Di titik inilah masyarakat yang dahulunya perambah
hutan beralih pekerjaan menjadi perestorasi hutan yang kemudian mereka
mendirikan kelompok masyarakat yang diberi nama Kelompok Swadaya
Masyarakat Jaringan Masyarakat Sekitar Hutan Koridor (Jarmaskor). KSM
Jarmaskor berfungsi sebagai wadah komunikasi antar masyarakat koridor dalam
kegiatan pelindungan hutan.
Dalam menjalankan program pengembangan masyarakat (community
development), Chevron Geothermal Salak, Ltd. memiliki filosofi tersendiri yaitu
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
9
mendukung program pemerintah dan mendorong kemandirian masyarakat sekitar
perusahaan. Chevron Geothermal Salak Ltd., menjalankan program Community
Development dengan menerapkan pendekatan yang melibatkan sebanyak mungkin
pemangku kepentingan, sedangkan perusahaan hanya bertindak sebagai
konseptor. Jalinan kerjasama antara Chevron Geothermal Salak Ltd., dengan mitra
merupakan perwujudan dari The Chevron Way yang tertanam visi perusahaan
yaitu menjadi perusahaan energi dunia yang paling dikagumi karena karyawan,
kemitraan dan kinerjanya (Chevron Geothermal Salak, Ltd., 2015).
Chevron Geothermal Salak melalui mitranya yaitu Yayasan Kehati
tentunya tidak bisa selamanya mendampingi Program Green Coridor Initiative. Di
tahun terakhir program Green Corridor Initiative, melalui pendekatan
pemberdayaan masyarakat diharapkan program ini akan tetap berlanjut tanpa
dibantu lagi oleh perusahaan. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu adanya suatu
strategi sebagai cara untuk mewujudkan keberlanjutan pemberdayaan komunitas
perambah hutan yaitu strategi pengakhiran (exit strategy).
Selama ini strategi pengakhiran (exit strategy) jarang direncanakan secara
terperinci oleh perusahaan. Mereka hanya berprinsip bahwa program yang ada
sudah dilaksanakan pendampingannya oleh mitra yang dalam konteks GCI adalah
Yayasan Kehati tanpa pengontrolan yang optimal, sehingga kendala yang ditemui
dalam pelaksanaan strategi pengakhiran (exit strategy) tidak diantisipasi oleh
CGS. Disatu sisi, Program GCI merupakan program Chevron IBU yang proses
transformasi program ke CGS tidak mudah. Selain itu kondisi masyarakat koridor
yang beralih pekerjaan dari perambah hutan ke pekerjaan yang lain yang
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
10
mendukung restorasi hutan menjadi tantangan tersendiri. Oleh karena itu, strategi
pengakhiran program Green Coridor Initiative untuk keberlanjutan pemberdayaan
komunitas perambah hutan menarik untuk dikaji lebih mendalam.
1.2 Rumusan Masalah
Chevron Geothermal Salak, Ltd. mempunyai program pemberdayaan
masyarakat berbasis lingkungan yang cukup inovatif yaitu Green Corridor
Initiative melalui pelibatan masyarakat koridor untuk ikut serta dalam upaya
pelestarian hutan koridor Gunung Salak dan Gunung Halimun. Masyarakat yang
pada awalnya berprofesi sebagai perambah hutan, melalui implementasi Program
Green Corridor Initiative bersedia ikut berpartisipasi dalam merestorasi hutan
Halimun-Salak. Keberlanjutan program CSR dalam rangka mencapai kemandirian
masyarakat menjadi harapan diselenggarakannya program CSR melalui strategi
pengakhiran. Oleh karena itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
a. Bagaimana penyadaran masyarakat koridor yang awalnya perambah
hutan menjadi perestorasi hutan yang dilakukan oleh Chevron
Geothermal Salak, Ltd.?
b. Bagaimana pelembagaan yang dilakukan Chevron Geothermal Salak,
Ltd. untuk menjaga konsistensi perilaku masyarakat perestorasi hutan?
c. Bagaimana strategi pengakhiran (exit strategy) program Green
Corridor Initiative yang dilakukan oleh Chevron Geothermal Salak,
Ltd, sehingga pemberdayaan masyarakat tetap berkelanjutan?
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
11
1.3 Keaslian Penelitian
Penelitian-penelitian yang relevan mengenai strategi pengakhiran sudah
dilakukan. Dalam penelitian ini dapat dilakukan benchmarking terhadap dua studi
yang terkait dengan strategi pengakhiran (exit strategy). Pertama, dilakukan oleh
Lembaga Penelitian Smeru yang berjudul Strategi Mengakhiri Program:
Pengalaman Program Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia (Rahayu &
Fillaili, 2007). Penelitian yang dilaksanakan terkait strategi pengakhiran dalam
Program Operasi Pasar Swadaya Masyarakat (OPSM) yang disponsori oleh World
Food Programme (WFP). Penelitian diawali dengan memetakan beberapa
program penanggulangan kemiskinan di Indonesia yang tidak menggunakan
strategi pengakhiran kemudian dilanjutkan dengan mengungkap strategi
pengakhiran dalam program OPSM. Penelitian menunjukkan berbagai program
penanggulangan kemiskinan yang telah dilaksanakan di Indonesia seperti Jaring
Pengaman Sosial (JPS) dan Operasi Pasar Khusus, Subsidi Langsung Tunai (SLT)
tahun 2005 dan Program Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani-Nelayan
Kecil (P4K). Ketiga program tersebut tidak diketahui keberlanjutan
pelaksanaannya, apakah program tersebut berlanjut atau dihentikan. Kalaupun
dihentikan, tidak diketahui waktu dan alasan program dihentikan.
Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dimana kedua program ini menerapkan strategi
pengakhiran. Pada program PPK, tujuan strategi pengakhiran adalah adanya alih
kelola program kepada masyarakat dan pemerintahan daerah dengan maksud agar
prinsip, tujuan, dan sistem PPK dapat melembaga sebagai suatu sistem
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
12
pembangunan partisipatif di desa dan kecamatan (PPK 2006). Selanjutnya,
strategi pengakhiran P2KP dilakukan pada fase terminasi dengan tujuan untuk
menjamin agar indikator keberlanjutan P2KP dapat tercapai. Tahap penyiapan
strategi pengakhiran yang dilakukan yaitu evaluasi partisipatif P2KP tingkat
kelurahan, penguatan lembaga lokal, perluasan program, yang dilakukan
masyarakat dan mengintegrasikan P2KP dengan program lainnya.
Program Operasi Pasar Swadaya Masyarakat (OPSM) adalah program
bantuan pangan untuk keluarga miskin yang bertujuan untuk menanggulangi
dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan, khususnya di beberapa wilayah
perkotaan Jawa pada tahun 1999. Langkah strategi pengakhiran yang dilakukan
pada program OPSM adalah 1) penghapusan program dari daerah perekonomian
sejahtera ke daerah yang kurang sejahtera; 2) merencanakan tindak lanjut OPSM
terutama untuk keluarga yang masih butuh (dari penerima OPSM menjadi
penerima Raskin); 3) melanjutkan program OPSM melalui program lain yaitu
CDD. Hambatan yang dialami ketika pelaksanaan strategi pengakhiran program
OPSM meliputi komunikasi WFP dengan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, mekanisme pendataan penerima program baru, serta bertambahnya jumlah
penerima program raskin.
Kedua, studi strategi pengakhiran yang dilakukan oleh Kementerian
Pertanian dalam program READ (Rural Empowerment and Agricultural
Development) (Pertanian, 2014). Program READ merupakan program kerjasama
antara Pemerintah Indonesia dengan International Fund for Agricultural
Development (IFAD) yang dimulai pada tahun 2008 hingga 2014. Sasaran READ
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
13
adalah beberapa wilayah di Indonesia Timur yaitu Sulawesi Tengah yang
mencakup 150 desa di 5 kecamatan yaitu Banggai, Buol, Parigi Moutong, Poso
dan Toli-toli. Tujuan READ adalah untuk memperbaiki mata pencaharian kaum
miskin perdesaan secara berkelanjutan yang dilakukan melalui 4 komponen utama
meliputi Pemberdayaan Masyarakat; Pengembangan Pertanian Budidaya dan Non
Budidaya, Infrastruktur Perdesaan dan Pengelolaan Program dan Analisis
Kebijakan.
Di akhir program READ tahun 2014, Kementerian Pertanian
mengeluarkan dokumen untuk melakukan exit strategy program tersebut.
Tujuannya adalah untuk menjaga keberlanjutan pelaksanaan keempat komponen
program READ di Sulawesi Tengah serta mereplikasi kegiatan dan komponen
Program READ di beberapa wilayah perbatasan dengan negara lain. Strategi
pengakhiran program READ dimulai dengan mengidentifikasi permasalahan-
permasalahan yang muncul selama pelaksanaan program di masing-masing
komponen READ. Selanjutnya dilakukan kegiatan-kegiatan guna mengevaluasi
permasalahan yang terjadi meliputi fasilitasi kelompok komoditas, pendampingan
kelompok terkait pengelolaan dana, pendampingan kelompok untuk peningkatan
nilai tambah ekonomi komoditas, pendampingan aparat desa dan masyarakat
dalam pelaksanaan peraturan, Fasilitasi lokakarya dalam pemanfaatan dan
pemeliharaan bantuan fasilitasi sarana produksi pertanian dan Fasilitasi dalam
pengembangan benih padi dan jagung. Sedangkan untuk pencapaian tujuan
replikasi program READ difokuskan pada wilayah perbatasan NTT dan
Kalimantan Barat yang memiliki karakteristik relatif sama dengan Sulawesi
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
14
Tengah.
Penelitian-penelitian diatas membahas mengenai implementasi strategi
pengakhiran dalam program pengembangan masyarakat di beberapa daerah di
Indonesia. Keunggulan implementasi exit strategy dalam penelitian yang
dilakukan oleh Smeru dalam program OPSM dimana strategi dilakukan dengan
menganalisa penyebab program-program penanggulangan kemiskinan lain tidak
berkelanjutan karena tidak menggunakan exit strategy. Hal ini digunakan sebagai
rujukan untuk menghindari kegagalan program OPSM. Keunggulan implementasi
exit strategy yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian dalam program READ
adalah exit strategy yang tidak hanya bertujuan untuk mencapai keberlanjutan
program READ, namun diharapkan adanya replikasi kegiatan dan komponen
program READ di daerah lain terutama di wilayah perbatasan. Selain itu, exit
strategy program READ berangkat dari identifikasi masalah yang muncul selama
pelaksanaan program sehingga tercipta solusi-solusi dari permasalahan tersebut.
Berbeda dengan penelitian-penelitan tersebut, penelitian ini mencakup
upaya pemberdayaan masyarakat yang beralih pekerjaan dari perambah hutan
menjadi perestorasi hutan. Perubahan perilaku komunitas perambah menjadi
perestorasi hutan dipetakan sebagai latar belakang program Green Corridor
Initiative. Dimana, program Green Corridor Initiative merupakan program
restorasi hutan yang melibatkan masyarakat koridor yang pada awalnya bekerja
sebagai perambah hutan. Studi ini menjadi menarik untuk menelusuri dinamika
sosial yang terjadi dalam pelaksanaan program serta keberlanjutan upaya
pemberdayaan komunitas perambah hutan melalui strategi pengakhiran (exit
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
15
strategy) program.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan strategi
pengakhiran program Green Corridor Initiative yang dilakukan oleh Chevron
Geothermal Salak, Ltd yang meliputi:
a. Penyadaran masyarakat koridor yang awalnya perambah hutan menjadi
perestorasi hutan yang dilakukan oleh Chevron Geothermal Salak, Ltd.
b.Pelembagaan yang dilakukan Chevron Geothermal Salak, Ltd. untuk
menjaga konsistensi perilaku masyarakat merestorasi hutan.
c. Strategi pengakhiran (exit strategy) program Green Corridor Initiative
sehingga pemberdayaan komunitas perambah hutan tetap berkelanjutan.
1.5 Manfaat Penelitian
a. Memberikan kontribusi bagi pengembangan Ilmu Pengetahuan
khususnya mengenai kajian tanggung jawab sosial perusahaan yang
berkaitan dengan program pemberdayaan masyarakat.
b.Memberikan rekomendasi strategi pengakhiran (exit strategy) program
Green Corridor Initiative sehingga pemberdayaan masyarakat tetap
berkelanjutan.
1.6 Tinjauan Pustaka
1.6.1 Konstruksi Sosial sebagai Proses Pelembagaan Sosial
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori konstruksi sosial.
Teori konstruksi sosial dikembangkan oleh Peter L. Berger dan Thomas
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
16
Luckmann. (Berger & Luckman, 2013) “pengetahuan manusia itu dikembangkan,
dialihkan, dan dipelihara dalam berbagai situasi sosial, maka sosiologi
pengetahuan harus memahami bagaimana proses-proses itu dilakukan sedemikian
rupa sehingga akhirnya terbentuklah suatu “kenyataan” yang sudah dianggap
sewajarnya oleh orang awam”.
Dasar pemikiran teori konstruksi sosial adalah menjelaskan hubungan
antara pemikiran yang dimiliki manusia dengan kondisi lingkungan sosial dimana
pemikiran manusia tersebut muncul kemudian berkembang hingga dilembagakan
menjadi sebuah tindakan yang nyata. Dengan kata lain, konstruksi sosial mencoba
memberikan solusi dan pemahaman mengenai proses yang terjadi dalam
membangun suatu kenyataan atau realitas di dalam benak manusia hingga
terwujud di dalam suatu perilaku yang nyata dan mampu memberikan makna.
Berger juga menjelaskan bahwa manusia merupakan makhluk yang tidak
memiliki insting seperti halnya pada binatang. Artinya, manusia adalah makhluk
yang memiliki kesadaran yang sangat luas dalam memaknai sebuah kenyataan
yang terjadi pada kehidupannya. Pemaknaan yang dilakukan manusia tersebut
dilandaskan pada pengetahuan, kondisi dan sifat-sifat yang sudah dimiliki
sebelumnya. Sehingga, pemaknaan akan muncul secara beragam karena manusia
dalam menjalani kehidupannya akan selalu dihadapkan pada beragam obyek. Bisa
jadi, satu obyek yang dihadapi manusia akan memiliki pemaknaan yang berbeda-
beda.
Manusia secara alamiah merupakan makhluk biologis yang memiliki
kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dimiliki (Riyanto, 2009). Manusia perlu
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
17
memikirkan cara bagaimana memenuhi semua kebutuhan tersebut. Telah
dijelaskan diatas bahwa manusia tidak memiliki insting seperti binatang, namun
memiliki kesadaran yang terlampau bebas. Artinya, manusia perlu melakukan
pemaknaan terhadap realitas di lingkungannya, sehingga pemaknaan tersebut
mampu melahirkan tindakan nyata dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Berger
juga menjelaskan bahwa, manusia adalah makhluk konservatif. Ketika manusia
telah memiliki kegiatan atau perilaku yang telah membuat nyaman dan mampu
memenuhi kebutuhannya, manusia enggan untuk mencari kegiatan lain. Perilaku
tersebut akan diulang kembali sehingga menjadi kebiasaan dan manusia tidak
akan mengambil resiko jika mereka mengubah kebiasaan tersebut.
Perilaku yang terus diulang oleh manusia dikatakan oleh Berger sebagai
institusi (Riyanto, 2009). Intitusi dianggap sebagai suatu solusi bagi manusia
terhadap ketidakpastian dan ketidakteraturan hidup yang terdapat ketentuan untuk
mengatur peranan anggotanya sehingga timbul rasa nyaman dan aman di dalam
diri manusia di dalam institusi.
Secara ringkas, Berger membagi proses pembentukan masyarakat menjadi
tiga fase, yaitu eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi. Eksternalisasi
menitikberatkan pada proses identifikasi lingkungan sekitar. Sekelompok manusia
melihat kondisi lingkungan sosial sebagai suatu realitas subyektif karena masih
dipengaruhi oleh pengetahuan yang telah dimiliki manusia secara individu.
Setelah melakukan identifikasi terhadap lingkungan sosial, kelompok manusia
mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan (realitas) yang dihadapinya.
Kelompok manusia mulai mengikuti pola yang terjadi di lingkungan karena pola
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
18
atau perilaku tersebut bersifat kolektif dan dihadapinya secara berulang-ulang
hingga mencapai titik dimana mereka berperilaku yang sama dengan lingkungan
sosialnya. Mereka mengikuti pola tersebut dipengaruhi pula dengan fakta bahwa
pola perilaku tersebut mampu menyelesaikan permasalahan sehingga secara
alamiah manusia akan melakukan pola perilaku tersebut secara berulang.
Kelompok manusia tidak akan mengambil resiko untuk melakukan atau
mengikuti pola perilaku lain ketika mereka sudah merasa nyaman. Akan tetapi,
tidak menutup kemungkinan bahwa manusia akan menciptakan pola perilaku yang
baru ketika ia dihadapkan pada permasalahan lain dan pola perilaku lama tidak
mampu menyelesaikan permasalahan. Keajegan pola perilaku yang dilakukan
berulang oleh sekelompok manusia dikenal dengan istilah institusi.
Sekelompok manusia yang telah melakukan pengulangan pola perilaku
dan mampu menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi, lambat laun akan
sadar bahwa ada sebuah kaidah atau aturan di luar kesadaran mereka yang telah
mengatur sedemikian rupa. Kesadaran ini dimaknai sebagai fase obyektivasi
(realitas obyektif). Dalam fase ini, kelompok manusia mulai membentuk ideologi
kolektif dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan untuk melihat fenomena yang
terjadi di lingkungan sosial. Secara alamiah, ideologi yang telah tercipta menjadi
pedoman yang dianut oleh anggota kelompok. Dalam fase ini, kesadaran manusia
telah terkonstruksi untuk mengikuti ideologi tersebut agar manusia merasa aman
dan nyaman secara psikologis.
Momen obyektivasi muncul ditandai dengan munculnya kesadaran baku
yang merupakan hasil dari pola-pola perilaku masyarakat yang dilakukan
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
19
berulang-ulang. Kemudian, muncullah struktur yang dimaknai sebagai sesuatu
yang obyektif sekaligus subyektif. Dengan kata lain, momen obyektivasi terjadi
ketika tindakan sekelompok manusia dilakukan berulang-ulang kemudian
menimbulkan kesan pada kesadaran manusia bahwa ada hukum tetap yang
mengaturnya.
Momen yang terakhir adalah internalisasi. Kata kunci dari momen ini
adalah transmisi institusi. Internalisasi melihat bahwa manusia (individu) sebagai
produk dari masyarakat (kelompok manusia). Momen internalisasi merupakan
proses transmisi institusi dari masyarakat ke individu sebagai anggota baru dari
masyarakat. Transmisi institusi dilakukan oleh masyarakat untuk menjaga pola
yang sudah terbangun agar terus berlangsung dan dilakukan oleh anggota
masyarakat baru (sustainable). Disamping itu, masyarakat atau anggota lama juga
melakukan transmisi institusi ke dalam dirinya dengan tujuan untuk
memperkokoh kesadaran yang telah tertanam di benak mereka.
Transmisi institusi tidak begitu saja terjadi dan disadari oleh anggota baru
karena mereka tidak memiliki kesadaran kolektif yang dimiliki oleh anggota lama.
Oleh karena itu, untuk mempertahankan suatu institusi, perlu adanya legitimasi.
Dalam hal ini, legitimasi diartikan sebagai penjelasan kepada anggota baru dengan
pembuktian logis terkait relevansi dari sebuah institusi ketika mereka
mempertanyakan persoalan-persoalan yang muncul (Riyanto, 2009).
Berger menjelaskan bahwa fase internalisasi terjadi melalui mekanisme
sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer berlangsung ketika
anggota masyarakat baru tidak memiliki pengetahuan mengenai institusi yang ada
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
20
di masyarakatnya. Dia akan mempelajari tindakan masyarakat hingga interaksi
sosial yang dilihatnya secara simbolik. Peran dari masing-masing anggota
masyarakat menjadi simbol dari tindakan yang dilakukan. Tujuan dari sosialisasi
primer adalah membangun kesadaran dari anggota masyarakat baru untuk
mengetahui perannya di masyarakat. Sedangkan sosialisasi sekunder adalah
proses dimana anggota masyarakat baru diperkenalkan dengan lingkungan luar
sehingga mereka paham akan peran barunya tersebut.
Ketiga momen dalam pembentukan masyarakat berlangsung secara
simultan dan saling berhubungan satu sama lain membentuk siklus yang seakan
tidak memiliki ujung. Proses pembentukan masyarakat akan terus berlangsung
selama manusia masih menghadapi beragam kondisi dan permasalahan di
hidupnya. Sementara manusia akan terus berupaya untuk mencari solusi dari
semua permasalahan melalui pola-pola perilaku yang baru dan diwariskan ke
generasi-generasi selanjutnya.
1.6.2 Institusi Sosial Lokal yang Berkelanjutan
Uphoff (dalam Uphoff, 1992) mendefinisikan “An institution is a complex
of norms and behaviours that persists over time by serving some socially valued
purpose, while an organisation is a structure of recognised and accepted roles”.
Institusi merupakan serangkaian norma-norma dan perilaku-perilaku yang tetap
dari waktu ke waktu dengan beberapa tujuan sosial, sedangkan organisasi adalah
struktur yang sudah diterima dan diakui keberadaannya. Ada sebuah keajegan
perilaku dari masyarakat yang menciptakan aktivitas-aktivitas berkelanjutan untuk
mencapai tujuan bersama di dalam kelompok masyarakat. Aktivitas-aktivitas di
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
21
tingkat masyarakat dikenal dengan istilah institusi local.
Uphoff (1992) dalam tulisannya berjudul “Local Institution and
Participation for Sustainable Development” menjelaskan mengenai institusi lokal
sebagai salah satu institusi yang berperan dalam pembangunan berkelanjutan.
Institusi yang dimaksud adalah institusi yang berada di tingkat daerah. Peran
institusi lokal untuk mendukung pembangunan berkelanjutan menurut Uphoff
adalah mobilisasi sumberdaya lokal; efisiensi penggunaan sumberdaya;
monitoring perubahan sumberdaya lokal lebih efektif ketika melibatkan
masyarakat lokal; perilaku masyarakat telah dikondisikan sedemikian rupa oleh
norma yang dianut, sehingga mudah untuk mengontrol perilaku yang dinilai
melanggar norma. Institusi lokal dinilai sebagai penggerak untuk melakukan
tindakan kolektif dalam pengelolaan tanggung jawab terhadap sumberdaya lokal
yang dipengaruhi oleh solidaritas antar individu di masyarakat yang tinggi.
Ada tiga institusi yang dipaparkan oleh Uphoff, yaitu institusi tingkat
pemerintah, swasta dan lokal. Uphoff menjelaskan bahwa institusi lokal setara
dengan institusi di sektor swasta maupun publik. Istilah lain dari institusi lokal
adalah sektor partisipatif. Sektor partisipatif bersifat fleksibel dan pengambilan
keputusan berdasarkan kebutuhan masyarakat secara umum. Tidak ada tekanan
dari kekuasaan individu lain seperti yang terjadi sektor publik (pemerintah).
Sektor partisipatif juga bukan institusi yang bertujuan untuk mencari keuntungan
layaknya sektor swasta, namun lebih bersifat sukarela, kepedulian dan
koletiktivitas. Institusi sebagai sektor partisipatif tidak bisa digeneralisasikan
ketika menghadapi konflik. Mereka akan senantiasa menghadapi konflik yang
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
22
terjadi hanya dengan pengetahuan lokal sesuai dengan sumberdaya setempat.
1.6.3 Exit Strategy dalam Program Pemberdayaan Masyarakat
Dalam rangka mendorong pembangunan berkelanjutan melalui CSR,
pelaksanaan CSR melalui pemberdayaan masyarakat adalah strategi yang paling
efektif untuk mencapainya. Namun, pemberdayaan masyarakat tidak akan efektif
ketika tidak dirancang dengan benar dan matang oleh perusahaan. Pemberdayaan
masyarakat bukan sekedar memberikan program kepada masyarakat, kemudian
masyarakat bisa begitu saja berdaya dan mandiri. Pemberdayaan seperti itu
berorientasi pada program yang belum tentu menyelesaikan permasalahan sosial
yang ada di masyarakat. Pemberdayaan sebagai program dilihat dari tahapan-
tahapan kegiatan untuk mencapai suatu tujuan dengan jangka waktu tertentu dan
ketika jangka watu telah tercapai maka pemberdayaan dianggap sudah selesai
(Adi, 2012).
Pemberdayaan masyarakat yang mampu mendukung pembangunan
berkelanjutan adalah pemberdayaan masyarakat yang berorientasi pada proses.
Pemberdayaan masyarakat sebagai proses adalah suatu kegiatan yang
berkesinambungan (on-going) sepanjang komunitas melakukan perubahan dan
perbaikan, dan tidak hanya terpaku pada satu program saja (Adi, 2012). Kuncinya
adalah ketika anggota masyarakat masih memiliki komitmen dan upaya untuk
terus melakukan kegiatan dengan tujuan meningkatkan taraf hidup yang lebih
baik, maka pemberdayaan akan terus berlangsung. Hogan (dalam Adi, 2012)
menjelaskan mengenai siklus pemberdayaan masyarakat sebagai suatu proses.
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
23
Sumber: Hogan (dalam Adi, 2012)
Hogan menegaskan bahwa pemberdayaan masyarakat sebagai proses
merupakan wujud dari upaya masyarakat untuk mencapai kehidupan yang
sejahtera melalui kesinambungan antara masing-masing tahapan. Tantangan demi
tantangan akan terus dihadapi oleh masyarakat ketika proses pemberdayaan
berlangsung. Oleh karena itu, pemberdayaan harus mampu memberikan bekal
kepada masyarakat untuk bisa menghadapi setiap tantangan yang ada serta
menciptakan solusi-solusi inovatif demi membangun kapasitas diri. Selain itu,
masyarakat juga mampu untuk lebih responsif terhadap kebutuhannya dan upaya
untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Pembahasan mengenai pemberdayaan masyarakat tidak terlepas dari peran
tokoh yang berpengaruh pada proses pemberdayaan. Tokoh tersebut dikenal
dengan istilah agent of change. Agent of change bisa muncul dari eksternal
Menghadirkan
kembali pengalaman
yang
memberdayakan dan
tidak
memberdayakan
Mendiskusikan
alasan mengapa
terjadi
pemberdayaan dan
pentidakberdayaan
Mengidentifikasi
kan suatu
masalah ataupun
proyek
Mengidentifikasika
n basis daya
(kekuatan) yang
bermakna
melakukan
perubahan
Mengembangkan
rencana aksi dan
mengimplementasikann
ya
Gambar 1. Siklus Pemberdayaan
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
24
maupun internal kelompok masyarakat. Perbedaannya adalah ketika agent of
change berasal dari eksternal komunitas, maka dikhawatirkan keberlajutan
pemberdayaan masyarakat akan gagal ketika masyarakat tidak dibekali
pengetahuan dan keterampilan untuk menguatkan komunikasi dan komitmen
kelompok secara internal. Sedangkan agent of change yang berasal dari internal
komunitas, dianggap lebih efektif untuk menciptakan pemberdayaan masyarakat
yang berkelanjutan.
Faktor kualitas masyarakat sebagai penerima manfaat bukan menjadi satu-
satunya faktor untuk mencapai keberlanjutan program CSR dalam rangka
pemberdayaan masyarakat. Perencanaan program yang matang oleh pihak-pihak
terkait pun menjadi penentu keberlanjutan program CSR dimana perusahaan yang
menyelenggarakan program pemberdayaan masyarakat dari awal harus memiliki
indikator keberhasilan program guna mendukung keberlanjutan program tersebut.
Kemandirian dan keberdayaan masyarakat sebagai penerima program CSR
menjadi tolak ukur keberlanjutan program-program CSR berbasis pemberdayaan.
Perusahaan tidak bisa selamanya mendampingi masyarakat untuk melaksanakan
program-program pemberdayaan karena perusahaan memiliki keterbatasan.
Dalam jangka waktu tertentu, perusahaan akan melepaskan masyarakat
sehingga masyarakat secara mandiri menjalankan program yang telah didampingi
oleh perusahaan. Namun, bukan hal yang mudah ketika perusahaan akan
melakukan hal tersebut. Tidak dipungkiri bahwa masyarakat memiliki
ketergantungan pada perusahaan karena bantuan program yang diberikan.
Perusahaan perlu memikirkan suatu strategi agar upaya pengakhiran program
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
25
tidak menimbulkan kekacauan dan tujuan dari program tetap tercapai. Strategi
tersebut dikenal dengan istilah Exit strategy atau strategi pengakhiran.
Rogers & Macias (2014) mendeskripsikan “Exit strategy is a plan
describing how the program intends to withdraw its resources while assuring that
the achievement of development goals is not jeopardized and that progress
towards these goals continues”. Strategi pengakhiran adalah suatu rencana yang
menggambarkan bagaimana program akan ditarik dari suatu wilayah sementara
pencapaian tujuan pembangunan tidak akan terganggu dan perkembangan tujuan
lebih lanjut akan tetap tercapai. Pada prinsipnya, dampak dari suatu program
pembangunan diharapkan akan terus berlanjut meskipun program telah selesai
dilaksanakan. Kemandirian masyarakat penerima manfaat program menjadi aset
vital untuk mendukung keberlanjutan program tanpa perlu ada bantuan lagi dari
pihak pemberi program tersebut. Exit strategy dilakukan untuk memastikan
keberlanjutan dari dampak program setelah program berakhir, sehingga
mendukung pencapaian tujuan pembangunan
Exit strategy memiliki pendekatan yang digunakan untuk mengakhiri
program (Rogers & Macias, 2004). Ketiga pendekatan tersebut meliputi:
a) Phase down (Fase Penurunan)
Phase down atau fase penurunan merupakan pengurangan aktivitas
yang dilakukan untuk mempersiapkan phase out atau phase over. Ketika
program akan diakhiri, pihak yang berwenang atas program mulai
mengurangi aktivitas program serta mengurangi sumberdaya yang
selama ini diberikan dalam pelaksanaan program. Sebagai contoh adalah
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
26
pengurangan dana dalam suatu aktivitas. Persiapan menuju phase over
atau phase out sudah semestinya direncanakan dari awal pelaksanaan
program. Sehingga, pemilihan pendekatan (phase over atau phase out)
untuk mengakhiri program tidak terkesan tergesa-gesa dan bisa
memaksimalkan pelaksanaan setiap aktivitas pada program tersebut.
b) Phase out (Fase Penghentian)
“Phase out refers to the withdrawal of program inputs (food, other
resources, technical assistance, service provision) without making
arrangements for the inputs or activities to e continued by another
organization” (Rogers & Macias, 2004). Fase penghentian diartikan
sebagai penarikan semua sumberdaya program tanpa menyerahkan
tanggung jawab program kepada pihak lain (institusi maupun individu)
karena program itu sendiri telah mengakibatkan perubahan yang
cenderung berkelanjutan tanpa didukung lagi dengan sumberdaya
tersebut. Sebagai contoh perubahan dalam suatu program yang
dikategorikan dalam fase penghentian adalah kegiatan pembangunan
infrastruktur, perubahan perilaku, microenterprise. Pemilihan pendekatan
pengakhiran program tergantung pada intervensi dari pihak yang
berwenang atas program, misalnya perusahaan atau pemerintah. Dalam
fase penghentian (phase out), program-program bersifat permanen dan
bisa berlanjut tanpa adanya campur tangan dari pihak eksternal untuk
menyediakan sumberdaya penunjang program.
c) Phase over (Fase Pengalihan)
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
27
“Phase over refers to the transfer of responsibility for activities
aimed at accomplishing prgram goals (current activities, or other
activities aimed at achieving the same outcomes) to other entity”
(Rogers & Macias, 2004). Fase pengalihan adalah
pengalihan/penyerahan tanggung jawab pengelolaan kegiatan atau
program kepada lembaga atau individu yang masih berada di wilayah
pelaksanaan program. Phase over juga memungkinkan mengalihkan
tanggung jawab pengelolaan program kepada organisasi yang sudah ada
demi pencapaian tujuan program. Organisasi tersebut meliputi
pemerintah setempat atau pusat, NGO, maupun lembaga donor.
Dalam pendekatan phase over, terdapat dua pengalihan tanggung
jawab yang berlaku, yaitu pengalihan tanggung jawab program kepada
masyarakat dan pemerintah. Pertama, pengalihan tanggung jawab
kepada masyarakat bisa diartikan pengalihan tanggung jawab program
kepada organisasi yang berbasis masyarakat, kelompok informal maupun
individu kunci yang ada di dalam masyarakat. Dalam hal ini, organisasi
berbasis masyarakat yang akan diberikan tanggung jawab perlu memiliki
beberpa kriteria untuk menjaga konsistensi pencapaian tujuan program.
Kriteria tersebut meliputi kapasitas manajerial organisasi, kemampuan
teknis masyarakat serta kemampuan untuk memperoleh sumberdaya dan
dana yang dibutuhkan untuk melanjutkan kegiatan. Implementasi
strategi pengakhiran dengan menggunakan pendekatan phase over
kepada masyarakat perlu mempertimbangkan sumberdaya selama
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
28
pelaksanaan program karena tidak semua program yang akan diakhiri
terjamin keberadaan inputnya seperti sumberdaya material dan
pendanaan. Oleh karena itu, strategi pengakhiran mengidentifikasi
mekanisme untuk menjamin semua sumberdaya tersebut tetap ada.
Roger & Macias (2004) menjabarkan empat pendekatan untuk
mengantisipasi hal tersebut, yaitu:
a. Menciptakan aktivitas yang berbasis pada model bisnis dimana
aktivitas-aktivitas tersebut mampu menghasilkan sumberdaya yang
dibutuhkan untuk keberlanjutan program.
b. Meminta kontribusi masyarakat seperti makanan, uang, waktu dan
sumberdaya lain yang dibutuhkan.
c. Menerapkan biaya pengguna untuk mengimbangi biaya pelayanan
yang disediakan.
d. Meminta bantuan dari pendonor dari luar masyarakat untuk
menggantikan sumberdaya yang telah diberikan dari pihak yang
berwenang atas program sebelumnya
Kedua, pengalihan tanggung jawab kepada pemerintah atau
organisasi permanen yang ada dan secara aktif berada di wilayah
pelaksanaan program dalam jangka waktu yang lama. Pendekatan phase
over sering dilakukan untuk mengintegrasikan kegiatan-kegiatan
program dengan sektor publik yang sudah ada. Exit strategy yang
menggunakan pendekatan phase over dengan sektor pulik harus berbasis
pada kapasitas, komitmen dan sumberdaya dari sektor publik itu sendiri.
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
29
Tidak dipungkiri bahwa, pengalihan program kepada pemerintah dinilai
memudahkan dalam hal mendukung aktivitas-aktivitas yang bertujuan
untuk mencapai dan menyempurnakan tujuan program. Akses
sumberdaya, sarana prasarana hingga perijinan terkait pelaksanaan
program pun dinilai lebih mudah ketika program dialihkan kepada
pemerintah. Namun, hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan
ketika akses sumberdaya di negara berkembang. Perlu ada kajian terkait
tata kelola pemerintahan di suatu negara, ketika akan mengalihkan
program ke pemerintah.
Pemilihan pendekatan exit strategy ditentukan berdasarkan tujuan
program, bentuk program serta dampak yang timbul setelah program diakhiri.
Pendekatan dalam exit strategy bisa ditentukan dari awal program dilaksanakan
karena hal ini terkait dengan sumberdaya yang ada untuk mendukung
keberlanjutan dampak program itu sendiri. Pendekatan yang dinilai paling ideal
adalah pendekatan phase over karena pendekatan ini memperhitungkan kebutuhan
sumberdaya yang mendukung keberlanjutan dampak program. Sumberdaya yang
digunakan bisa dipersiapkan baka dari awal perencanaan program., sebagai contoh
adalah kapasitas kelompok yang akan diberikan tanggung jawab untuk
melaksanakan program setelah program diakhiri. Exit strategy memiliki kriteria
tertentu ketika suatu program akan diakhiri. Kriteria tersebut meliputi (Rogers &
Macias, 2004):
a) A fixed time limit
Kriteria pertama ketika program pembangunan akan menerapkan
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
30
Exit strategy adalah adanya batas waktu pelaksanaan program. Batas waktu
pelaksanaan program bisa terkait dengan siklus pendanaan program yang
telah diperhitungkan di perencanaan program. Pelaksanaan Exit strategy
yang jelas dalam program pembangunan seharusnya mencakup rentang
waktu pelaksanaan program dari awal, sehingga ketika ada program
pembangunan akan diakhiri, pihak pelaksana program bisa
memperhitungkan hal-hal apa saja yang dibutuhkan ketika akan mengakhiri
program. Hal ini juga mendukung efektifitas pelaksanaan program itu
sendiri. Sebagai contoh adalah, ketika program memiliki batas waktu
pelaksanaan, pihak pelaksana mampu untuk memperhitungkan keberlanjutan
program dengan menggunakan time frame untuk panduan dalam prosesnya.
b) Achievement of specific levels of program targets (impact)
Dampak program bisa dijadikan sebagai kriteria untuk mengakhiri
program dan bisa menjadi dorongan untuk mencapai efektifitas pelaksanaan
program. Criteria ini menjadi dilematis tersendiri karena ketika masyarakat
mengetahui akan target dampak program telah tercapai dan hal tersebut
menjadi indikator unruk penarikan program, maka akan menimbulkan
kekecewaan pada masyarakat sehingga motivasi masyarakat untuk mencapai
dampak program tersebut menjadi menurun.
c) Achievement of benchmarks indicating progress toward feasible phase
out or phase over (process)
Tolak ukur atau indikator harus terkait dengan proses pengakhiran
program dan unsur-unsur tertentu dari program yang akan diakhiri (phase
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
31
out) atau berlanjut (phase over). Indikator program menjadi penentu apakah
program tersebut akan diakhiri dengan menggunakan pendekatan phase over
atau phase out. Sehinga ketika dari awal perencanaan, program sudah
menentukan indikator di setiap aktivitas maka akan mampu menjelaskan
keberlanjutan program tersebut. Indicator program bisa meliputi kapasitas
kelembagaan, manajerial, menjalankan kontrak program, serta
melaksanakan keberlanjutan program.
Implementasi strategi pengakhiran tidak bisa terlepas dari peran pemangku
kepentingan program. Pemangku kepentingan atau stakeholder perlu mengetahui
dari awal bahwa pada waktu tertentu, program akan diakhiri. Hal ini bertujuan
untuk menghindari hal-hal yang bisa menjadi penghambat proses mengakhiri
program terkait dengan stakeholder karena mereka juga berhak atas itu.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui strategi pengakhiran (Exit
strategy) program Green Corridor Initiative dalam upaya keberlanjutan
pemberdayaan komunitas perambah hutan. Pencapaian tujuan tersebut dimulai
dengan memetakan penyadaran dan pelembagaan komunitas perambah hutan
menjadi perestorasi hutan. Selanjutnya, memetakan implementasi program Green
Corridor Initiative hingga strategi pengakhiran program Green Corridor
Initiative. Untuk memudahkan menjawab rumusan masalah penelitian masa
kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 2.
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
32
Sumber: Diolah peneliti berdasarkan Teori Konstruksi Sosial (Berger &
Luckman, 2013), Institusi Sosial (Norman Uphoff’, 1992), dan Exit
Strategy (Rogers & Macias, 2004)
Kerangka pikir penelitian ini diawali dengan memetakan dinamika sosial
masyarakat koridor sebelum adanya program GCI ketika masyarakat koridor
menjadi perambah hutan lalu beralih pekerjaan menjadi perestorasi hutan.
Peristiwa ini menjadi momen penyadaran masyarakat koridor yang dikerangkai
dalam teori konstruksi sosial Berger (eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi).
Pemetaan dinamika masyakat koridor pra GCI menjadi latar belakang momen
penyadaran dalam GCI. Kesadaran masyarakat koridor yang telah terjadi pra GCI
dijadikan sebagai basis penguatan kesadaran masyarakat koridor dalam GCI yang
terwujud dalam setiap kegiatan pelatihan dan pendampingan program.
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian
Perilaku masyarakat
merambah hutan
GCI sebagai penguatan
kesadaran dan
pelembagaanmasyarakat
Perilaku masyarakat
mengonservasi hutan
Exit Strategy GCI
untuk keberlanjutan
pemberdayaan
masyarakat koridor
Institusi Sosial
Lokal
Konstruksi Sosial:
Eksternalisasi
Obyektivasi
Internalisasi
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/
33
Konsistensi perilaku merestorasi dilembagakan kedalam institusi lokal
yaitu KSM Jarmaskor dan Koperasi Jarmaskor Maju Sejahtera. KSM Jarmaskor
menjadi organisasi yang memfasilitasi kegiatan pelestarian hutan yang dilakukan
oleh masyarakat koridor. Sedangkan Koperasi Serba Usaha JMS menjadi
organisasi bisnis yang juga dikelola oleh masyarakat koridor, bergerak di bidang
pertanian, peternakan dan ekonomi produktif. Kedua organisasi ini saling
berintegrasi dalam kegiatan pelestarian lingkungan dan peningkatan taraf ekonomi
masyarakat koridor. Dalam hal ini, GCI berperan sebagai penguat kapasitas dan
lembaga masyarakat koridor untuk terus melakukan kegiatan lingkungan dan
ekonomi hingga terwujud kemandirian masyarakat koridor sebagai visi dari
pemberdayaan masyarakat GCI.
Dalam prosesnya, pemberdayaan masyarakat dimaknai sebagaimana
masyarakat memiliki keinginan untuk melakukan perbaikan dan perubahan ke
arah yang lebih baik menuju kesejahteraan dan kemandirian. Upaya
pemberdayaan tidak akan berhenti ketika masyarakat masih memiliki keinginan
untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Dalam hal ini, upaya
pemberdayaan melalui program Green Corridor Initiative melihat bagaimana
pemberdayaan masyarakat koridor terus berkelanjutan meskipun suatu saat
program akan diakhiri. Exit strategy dijadikan tinjauan untuk mengungkap
keberlanjutan pemberdayaan masyarakat melalui program Green Corridor
Initiative. Pendekatan dalam exit strategy yaitu phase down, phase over dan phase
out akan ditinjau dan dikonstektualisasikan dengan data penelitian dalam studi ini.
Strategi Pengakhiran Program Green Corridor Initiative oleh Chevron Geothermal Salak, LtdsebagaiUpaya Keberlanjutan Pemberdayaan Masyarakat Koridor di Cipeteuy, Kabandungan, Sukabumi, JawaBaratEFRITA NUR P S SUniversitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/