Upload
dinhnhan
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai
investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial
dan ekonomis. Puskesmas adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan/Kota
yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu
wilayah kerja. Puskesmas menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan
upaya kesehatan masyarakat. Dalam menyelenggarakan upaya kesehatan
perorangan dan upaya kesehatan masyarakat, Puskesmas perlu ditunjang dengan
pelayanan kefarmasian yang bermutu (Depkes RI, 2006b). Sistem Kesehatan
Nasional (SKN) tahun 2012 menetapkan bahwa tujuan dari pelayanan
kefarmasian adalah menjamin penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan,
secara rasional, aman, dan bermutu di semua fasilitas pelayanan kesehatan dengan
mengikuti kebijakan yang ditetapkan (Presiden RI, 2012).
Pelayanan kefarmasian di Puskesmas merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dari pelaksanaan pelayanan kesehatan. Salah satu upaya kesehatan
wajib yang harus diselenggarakan oleh puskesmas adalah upaya pengobatan, yang
terkait dengan pelayanan kefarmasian. Selama ini penerapan dan pelaksanaan
upaya kesehatan dalam kebijakan dasar puskesmas yang sudah ada sangat
beragam antar daerah satu dengan daerah lainnya, namun secara keseluruhan
belum menunjukkan hasil yang optimal.
Untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas yang
berorientasi kepada pasien diperlukan suatu standar yang dapat digunakan sebagai
acuan dalam pelayanan kefarmasian dan wajib diikuti oleh apoteker dan atau
tenaga teknis kefarmasian yang bekerja di fasilitas kesehatan tingkat pertama
tersebut. Sesuai dengan ketentuan PP No. 51 tahun 2009 pasal 21 ayat 1 tentang
pekerjaan kefarmasian yang menyatakan bahwa dalam menjalankan praktek
2
kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker harus menerapkan
standar pelayanan kefarmasian. Dan pasal 21 ayat 4 bahwa ketentuan lebih lanjut
mengenai standar pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat 1
menurut jenis fasilitas pelayanan kefarmasian ditetapkan oleh Menteri
(Pemerintah RI, 2009). Sehingga berdasarkan pertimbangan tersebut ditetapkan
Peraturan Menteri Kesehatan nomor 30 tahun 2014 tentang standar pelayanan
kefarmasian di puskesmas.
Standar pelayanan kefarmasian adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai
pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian. Peraturan Menteri Kesehatan No. 30 tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas ini dibuat dengan tujuan meningkatkan
mutu pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian
dan melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional
dalam rangka penjaminan keselamatan pasien (patient safety) (Pemerintah RI,
2014a).
Di Kabupaten Bengkulu Utara terdapat 22 sarana puskesmas yang tersebar di
berbagai kecamatan yang terdiri dari 8 puskesmas perawatan dan 14 puskesmas
non perawatan. Distribusi tenaga apoteker dan tenaga teknis kefarmasian di
Kabupaten Bengkulu Utara ini tidak merata di setiap puskesmas. Tenaga apoteker
yang dimiliki untuk puskesmas di Kabupaten Bengkulu Utara sampai sekarang
masih sangat minim. Jumlah apoteker tahun 2016 adalah 3 orang, tenaga teknis
kefarmasian lainnya yaitu ahli madya farmasi dan asisten apoteker berjumlah 7
orang. Puskesmas yang memiliki tenaga apoteker dan tenaga teknis kefarmasian
sebanyak 9 puskesmas, sementara 13 puskesmas lainnya tidak memiliki tenaga
apoteker dan juga tenaga teknis kefarmasian. Puskesmas perawatan pun tidak
semuanya memiliki tenaga kefarmasian.
Sejak diterbitkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 30 tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas pada tanggal 3 Juli 2014,
masih banyak puskesmas yang belum sepenuhnya melakukan pelayanan
kefarmasian secara optimal karena terbatasnya tenaga kefarmasian. Penyampaian
informasi mengenai PMK No 30 Tahun 2014 yang tidak maksimal menyebabkan
3
pelayanan kefarmasian di Puskesmas masih terfokus pada pekerjaan administratif
dan pengelolaan obat saja. Sementara untuk pelayanan farmasi klinik yang
berorientasi pada pasien masih belum dilaksanakan. Informasi yang tidak
menyeluruh mengenai PMK No 30 tahun 2014 ini menyebabkan rendahnya
pemahaman petugas pengelola obat mengenai standar pelayanan kefarmasian di
puskesmas, sehingga pelayanan kefarmasian di puskesmas tidak menunjukkan
perubahan ke arah perbaikan.
Di daerah atau kabupaten yang tenaga kefarmasian terutama tenaga
apotekernya sedikit ini sangat sulit untuk menerapkan pelayanan kefarmasian di
puskesmas yang sesuai dengan standar. Permasalahan yang terkait dengan
apoteker di Puskesmas adalah ketersediaan dan jumlah yang tidak sesuai dengan
beban kerjanya, sehingga pelayanan kefarmasian belum berjalan dengan baik
(Supardi, et al., 2012). Kendala yang dihadapi adalah kurangnya tenaga
kefarmasian dan permasalahan pelayanan obat di puskesmas sehingga pelayanan
obat dilakukan oleh petugas yang tidak kompeten yang menyebabkan mutu
pelayanan yang diberikan masih rendah. Upaya untuk meningkatkan kemampuan
dan kompetensi petugas pengelola obat belum pernah dilaksanakan oleh Dinas
Kesehatan. Petugas pengelola obat puskesmas belum pernah mendapat pelatihan
mengenai pelayanan kefarmasian di Puskesmas, hal ini menyebabkan pelayanan
kefarmasian di Puskesmas menjadi tidak terarah.
Permasalahan yang ditemukan terkait pengelolaan obat dan bahan medis
habis pakai antara lain pencatatan dan pelaporan yang menjadi kegiatan rutin
setiap bulan yang dilakukan oleh pengelola obat masih sering terlambat.
Keterlambatan pelaporan dikarenakan masih adanya tumpang tindih pekerjaan,
sehingga beban kerja bertambah yang menyebabkan penyelesaian pekerjaan
menjadi lebih lama. Masih terdapatnya puskesmas yang melakukan perencanaan
kebutuhan obat belum sesuai dengan kebutuhan yang sesungguhnya.
Permasalahan tersebut tentunya akan mempengaruhi ketersediaan informasi
mengenai pengelolaan obat kepada penentu kebijakan, dimana harapan akan
pengelolaan obat yang baik masih belum bisa berjalan sebagaimana mestinya,
yang secara tidak langsung akan mempengaruhi mutu pelayanan kefarmasian.
4
Ketersediaan obat di Puskesmas juga menjadi permasalahan dalam pengelolaan
obat. Puskesmas sering mengalami kekosongan obat yang akan mempengaruhi
pelayanan kefarmasian.
Pelayanan informasi obat merupakan bagian dari pelayanan farmasi klinik.
Pemberian informasi obat secara umum dapat membantu pasien untuk
menggunakan obat dengan baik dan benar sehingga dapat meminimalkan
terjadinya resiko yang tidak diinginkan yang kemungkinan akan timbul.
Pelayanan informasi obat di Puskesmas masih belum dilakukan secara optimal
oleh petugas kamar obat di Puskesmas. Informasi cara pemakaian obat, nama
obat, pelabelan obat yang tidak lengkap, dosis obat serta indikasi obat belum
disampaikan dengan baik kepada pasien. Hal ini dikarenakan latar belakang
pendidikan petugas kamar obat sangat beragam mulai dari apoteker, asisten
apoteker/TTK, perawat, bidan dan pekarya.
Pelaksanaan pelayanan informasi obat juga masih terkendala dengan masih
terbatasnya sarana dan prasarana. Kondisi kamar obat yang sempit, dan sebagian
puskesmas masih menggunakan loket loket untuk pelayanan obat. Belum
tersedianya ruangan khusus untuk penyampaian informasi obat dan konseling bagi
pasien. Sehingga pelayanan informasi obat kepada pasien belum dapat berjalan
sebagaimana mestinya. Selain fisik bangunan, kelengkapan sarana dan fasilitas
pendukung pelayanan kefarmasian pun masih belum memadai. Gudang obat
puskesmas masih banyak yang belum sesuai dengan standar dari segi bangunan
yang sempit maupun fasilitas pendukungnya. Fasilitas seperti rak obat, pallet,
pendingin ruangan, dan ruang penyimpanan arsip masih belum terpenuhi.
Perlengkapan pelayanan di apotik masih belum lengkap, seperti timbangan,
dispenser air untuk penglarut sirup kering, serta buku-buku referensi untuk
pelayanan informasi obat pasien. Fasilitas pelayanan obat seperti plastik obat,
etiket seringkali tidak mencukupi.
Permasalahan lainnya adalah masih kurangnya kesadaran tenaga kesehatan
akan pentingnya pelayanan kefarmasian, hal ini dapat terlihat bahwa tanpa tenaga
apoteker/tenaga teknis kefarmasian, tenaga kesehatan lainnya masih bisa
memberikan obat. Padahal, pelayanan kefarmasian yang dilaksanakan dengan
5
bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain sangat penting untuk mencapai terapi
pengobatan yang optimal serta mengurangi terjadinya efek-efek samping yang
tidak diinginkan dari penggunaan obat. Masih rendahnya kesadaran ini membuat
pemerintah acuh tak acuh terhadap peraturan untuk melaksanakan pelayanan
kefarmasian sesuai standar.
Penyampaian informasi mengenai PMK No 30 tahun 2014 yang tidak
meyeluruh menyebabkan pemahaman pelaksana kebijakan tentang pentingnya
menerapkan standar pelayanan kefarmasian di puskesmas masih rendah. Sehingga
menyebabkan dukungan untuk penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas pun masih rendah, baik dukungan dari pimpinan puskesmas, Dinas
Kesehatan maupun dari Pemerintah Daerah. Tanpa adanya dukungan,
implementasi PMK No 30 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di
puskesmas akan sulit dilaksanakan.
Pelaksanaan implementasi pelayanan kefarmasian di puskesmas di Kabupaten
Bengkulu Utara dipengaruhi oleh banyak faktor, baik di dalam lingkup organisasi
puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu Utara, pemerintah daerah
maupun pemerintah. Kesiapan SDM Kesehatan di puskesmas, peran pimpinan
puskesmas serta pemahaman yang benar tentang pelayanan kefarmasian.
Pelaksanaan Peraturan Menteri kesehatan No. 30 tahun 2014 tidak akan berhasil
apabila tidak didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten,
sarana dan prasarana yang memadai serta perlu dukungan dari semua pihak yang
terkait (stakeholder). Apabila implementasinya tidak dilaksanakan secara tepat
maka tujuan kebijakan pelayanan kefarmasian akan sulit tercapai, sehingga
permasalahan-permasalahan terkait pelayanan kefarmasian di Puskesmas pun
akan sulit untuk dipecahkan.
Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor
atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi
dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual
maupun organisasional, dan masing-masing variabel pengaruh tersebut juga saling
berinteraksi satu sama lain (Subarsono, 2015).
6
Menurut teori dari ilmu kebijakan publik, implementasi kebijakan publik
akan lebih mudah dipahami apabila menggunakan suatu model atau kerangka
pemikiran tertentu. Suatu model akan memberikan gambaran secara lengkap
mengenai suatu objek, situasi atau proses. Salah satu model implementasi
kebijakan yang dikemukakan oleh Edwards III bahwa terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi implementasi kebijakan yaitu (1) komunikasi, (2) sumber daya, (3)
disposisi, (4) struktur birokrasi.
Ditinjau dari model Edwards III, permasalahan-permasalahan yang timbul
karena tidak meratanya kemampuan petugas pengelola obat puskesmas dalam
melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas dapat digolongkan
dalam faktor sumber daya. Selain itu, kurangnya fasilitas pendukung pelayanan
kefarmasian dapat dikategorikan dalam faktor sumber daya. Sikap tenaga
kesehatan dan pimpinan puskesmas yang memandang bahwa tanpa tenaga
apoteker/tenaga teknis kefarmasian, tenaga kesehatan lainnya masih bisa
melaksanakan pelayanan kefarmasian dapat digolongkan sebagai faktor disposisi.
Faktor-faktor lain yang disebutkan Edwards III seperti komunikasi dan struktur
birokrasi diduga juga memberikan kontribusi sebagai hambatan dalam
implementasi kebijakan standar pelayanan kefarmasian di puskesmas.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang diatas, rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana implementasi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun
2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas di Kabupaten
Bengkulu Utara?
2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan Peraturan
Menteri Kesehatan No 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas di Kabupaten Bengkulu Utara?
7
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk menganalisis proses implementasi Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 30 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
di Kabupaten Bengkulu Utara.
2. Tujuan Khusus
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 30 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas di Kabupaten Bengkulu Utara, yaitu:
a. Untuk menganalisis pengaruh komunikasi dalam implementasi
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas di Kabupaten Bengkulu Utara.
b. Untuk menganalisis pengaruh ketersediaan sumber daya dalam
implementasi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas di Kabupaten
Bengkulu Utara.
c. Untuk menganalisis pengaruh disposisi dalam implementasi Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas di Kabupaten Bengkulu Utara.
d. Untuk menganalisis pengaruh struktur birokrasi dalam implementasi
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas di Kabupaten Bengkulu Utara.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian diharapkan dapat menjadi sebuah informasi untuk mengevaluasi
kebijakan yang menyangkut pelayanan publik terutama pelayanan
kefarmasian di Puskesmas serta sebagai bahan untuk penyempurnaan
kebijakan dimasa mendatang.
8
2. Manfaat Praktis
a. Dapat dijadikan masukan untuk Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu
Utara agar dapat meningkatkan fungsinya sebagai regulator dan fasilitator
bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam mengimplementasikan standar
pelayanan kefarmasian di Puskesmas sehingga masyarakat mendapat
pelayanan yang memadai.
b. Sebagai bahan evaluasi untuk mengetahui implementasi pelayanan
kefarmasian di Puskesmas berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI
No 30 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas
c. Dapat dijadikan sebagai masukan bagi puskesmas untuk melaksanakan
standar pelayanan kefarmasian dan mengoptimalkan kinerja tenaga
kefarmasian dalam memberikan pelayanan kefarmasian guna
meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas.
E. Keaslian penelitian
Penelitian mengenai implementasi kebijakan tentang standar pelayanan
kefarmasian di puskesmas belum pernah dilakukan sepengetahuan penulis.
Penelitian lain di Indonesia yang hampir serupa dengan penelitian ini adalah:
a. Implementasi Kebijakan JKN Oleh Pemberi Pelayanan Kesehatan di
Kabupaten Kepulauan Anambas (Sagala, 2015). Penelitian ini bertujuan
menganalisis kebijakan JKN oleh pemberi pelayanan kesehatan di Kabupaten
Kepulauan Anambas. Metodologi penelitian menggunakan deskriptif dengan
pendekatan kualitatif berdasarkan model implementasi kebijakan Edward III
yang meliputi sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Pengambilan
data melalui wawancara mendalam, observasi dan telaah dokumen.
Persamaan pada penelitian ini adalah menganalisis implementasi kebijakan
Pemerintah Pusat yang diterapkan secara Nasional tanpa mempertimbangkan
kondisi daerah yang berbeda-beda. Perbedaannya adalah pada level
9
penerapan kebijakan. Pada penelitian ini level penerapan kebijakan di
Puskesmas di Kabupaten Bengkulu Utara.
b. Analisis Implementasi Kebijakan Hand Hygiene Tenaga Kesehatan di Ruang
Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta (Wahyuwulandari, 2016). Penelitian ini
bertujuan untuk menggambarkan implementasi kebijakan hand hygine dan
faktor yang mempengaruhi kebijakan tersebut di ruang rawat inap RSUD Dr.
Moewardi Surakarta. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental
dengan rancangan studi kasus. Subjek penelitian meliputi ketua komite PPI,
ketua tim PPI, wakil IPCN (infection prevention control nurse), wakil IPCLN
(infection prevention control line nurse), dokter dan perawat. Pengambilan
data melalui wawancara mendalam dan observasi. Persamaan pada penelitian
ini adalah menganalisis implementasi kebijakan dan faktor yang
mempengaruhi kebijakan tersebut. Perbedaannya pada penelitian ini adalah
level wilayah penerapan kebijakan, dan dampak yang ditimbulkan dari
penerapan kebijakan tersebut. Pada penelitian ini penerapannya dilakukan
secara lokal daerah di Puskesmas di Kabupaten Bengkulu Utara.
c. Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di 3 Puskesmas Rawat Inap di
Kota Medan Berdasarkan PMK No.30 Tahun 2014 (Sumbayak, 2016).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana penerapan pelayanan
kefarmasian di puskesmas Helvetia, Puskesmas Medan-Deli dan Puskesmas
Belawan. Variabel yang dinilai dalam penelitian ini adalah kebijakan
pelayanan kefarmasian, kelengkapan fasilitas, dan pertanyaan terbuka kepada
apoteker. Penelitian ini menggunakan metode survei deskriptif yang bersifat
cross sectional. Data yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh
dari pengisian lembar observasional berdasarkan pengamatan langsung di tiga
puskesmas. Persamaan penelitian ini adalah penerapan kebijakannya sama,
dan level wilayah penerapannya sama. Perbedaannya adalah variabel yang
dinilai, dalam penelitian ini variable yang dinilai adalah faktor-faktor yang
mempengaruhi implementasi kebijakannya yaitu, komunikasi, sumber daya,
disposisi dan struktur birokrasi.
10
d. Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan RI No 30 tahun 2014 pada Puskesmas Di Kota Yogyakarta
(Mangkoan, 2016). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran
pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan No 30 tahun 2014 yang ada di puskesmas-puskesmas di Kota
Yogyakarta setelah dikeluarkannya peraturan tersebut. Subjek penelitian ini
adalah seluruh apoteker penanggung jawab di 14 puskesmas yang ada di Kota
Yogyakarta. Variabel dalam penelitian ini adalah pengelolaan obat dan bahan
medis habis pakai, pelayanan farmasi klinik, sumber daya kefarmasian dan
pengendalian mutu pelayanan kefarmasian. Penelitian ini merupakan
penelitian non ekperimental dengan rancangan penelitian deksriptif.
Pengumpulan data dilaksanakan pengisian kuesioner. Persamaan penelitian
ini adalah penerapan kebijakannya sama, dan level wilayah penerapannya
sama. Perbedaannya adalah variabel yang dinilai, dalam penelitian ini
variabel yang dinilai adalah faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi
kebijakannya yaitu, komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur
birokrasi.
11
Tabel 1. Deskripsi Persamaan dan Perbedaan Penelitian lain dengan Penelitian
Implementasi PMK No 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian
Di Puskesmas Di Kabupaten Bengkulu Utara Jenis Irawati Sagala
(2015
Ajeng
Wahyuwulandari
(2016)
Fryda Asrianita
Br. Sumbayak
(2016)
Monalisa
Mangkoan (2016)
Peneliti
Tujuan Menganalisis
implementasi
kebijakan JKN oleh
pemberi pelayanan
kesehatan di
Kabupaten
Kepulauan Anambas
Menggambarkan
implementasi
kebijakan hand
hygiene dan faktor
yang
mempengaruhi
kebijakan tersebut
di ruang rawat
inap RSUD Dr.
Moewardi
Surakarta
Mengetahui
sejauh mana
penerapan
pelayanan
kefarmasian di
puskesmas
Helvetia,
Puskesmas
Medan-Deli dan
Puskesmas
Belawan
Mengetahui
gambaran
pelaksanaan standar
pelayanan
kefarmasian
berdasarkan
Peraturan Menteri
Kesehatan No 30
tahun 2014 yang ada
di puskesmas-
puskesmas di Kota
Yogyakarta
Menganalisis
implementasi
PMK No 30
tahun 2014
tentang Standar
Pelayanan
Kefarmasian di
Puskesmas di
Kabupaten
Bengkulu
Utara
Rancangan
Penelitian
Deskriptif dengan
metode kualitatif
dengan rancangan
studi kasus
Penelitian non
eksperimental
dengan rancangan
studi kasus
Penelitian ini
menggunakan
metode survei
deskriptif yang
bersifat cross
sectional
Penelitian non
ekperimental dengan
rancangan penelitian
deksriptif
Deskriptif
dengan metode
kualitatif
dengan
rancangan
studi kasus
Subjek
Penelitian
Dinkes, Kasie
Yankes, Kepala
BPJS, Direktur RSL,
Kepala KTU RSL,
Bendahara RSL,
Penanggungjawab
Penunjang Medis
RSL,
Penanggungjawab
Pelayanan Medis
RSL, 4 dokter
residen, 3 dokter
umum, 2 bidan, 2
perawat dan 1
apoteker RSL
Jumlah responden
26 orang yang
meliputi: Ketua
komite PPI, ketua
tim PPI, wakil
IPCN, wakil
IPCLN, dokter
dan perawat
puskesmas
Helvetia,
Puskesmas
Medan-Deli dan
Puskesmas
Belawan
seluruh apoteker
penanggung jawab
di 14 puskesmas
yang ada di Kota
Yogyakarta
Kasie
pelayanan
kefarmasian,
staf pengelola
program
kefarmasian, 6
kepala
puskesmas dan
8 petugas
pengelola obat
puskesmas
Variabel
Penelitian
Variabel terikat:
implementasi
kebijakan JKN oleh
pemberi pelayanan
Variabel bebas:
sumber daya,
disposisi, dan
struktur birokrasi
- Proses
implementa
si kebijakan
- Hasil
kebijakan
kebijakan
pelayanan
kefarmasian,
kelengkapan
fasilitas
Pengelolaan obat
dan bahan habis
pakai, pelayanan
farmasi klinik,
sumber daya
kefarmasian, dan
pengendalian mutu
pelayanan
kefarmasian
Variabel
terikat:
Implementasi
kebijakan
standar
pelayanan
kefarmasian di
puskesmas.
Variabel bebas:
komunikasi,
sumber daya,
disposisi,
struktur
birokrasi
Cara
Pengumpulan
Data
Wawancara
mendalam,
observasi, dan telaah
dokumen
Wawancara
mendalam dan
observasi
Lembar
Observasional
Lembar kuesioner Wawancara
mendalam dan
observasi