11
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Puskesmas adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan/Kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Puskesmas menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat. Dalam menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat, Puskesmas perlu ditunjang dengan pelayanan kefarmasian yang bermutu (Depkes RI, 2006b). Sistem Kesehatan Nasional (SKN) tahun 2012 menetapkan bahwa tujuan dari pelayanan kefarmasian adalah menjamin penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan, secara rasional, aman, dan bermutu di semua fasilitas pelayanan kesehatan dengan mengikuti kebijakan yang ditetapkan (Presiden RI, 2012). Pelayanan kefarmasian di Puskesmas merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan pelayanan kesehatan. Salah satu upaya kesehatan wajib yang harus diselenggarakan oleh puskesmas adalah upaya pengobatan, yang terkait dengan pelayanan kefarmasian. Selama ini penerapan dan pelaksanaan upaya kesehatan dalam kebijakan dasar puskesmas yang sudah ada sangat beragam antar daerah satu dengan daerah lainnya, namun secara keseluruhan belum menunjukkan hasil yang optimal. Untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas yang berorientasi kepada pasien diperlukan suatu standar yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pelayanan kefarmasian dan wajib diikuti oleh apoteker dan atau tenaga teknis kefarmasian yang bekerja di fasilitas kesehatan tingkat pertama tersebut. Sesuai dengan ketentuan PP No. 51 tahun 2009 pasal 21 ayat 1 tentang pekerjaan kefarmasian yang menyatakan bahwa dalam menjalankan praktek

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/116821/potongan/S2-2017... · kefarmasian adalah menjamin penggunaan sediaan farmasi dan alat ... perawat,

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk

meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang

agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai

investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial

dan ekonomis. Puskesmas adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan/Kota

yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu

wilayah kerja. Puskesmas menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan

upaya kesehatan masyarakat. Dalam menyelenggarakan upaya kesehatan

perorangan dan upaya kesehatan masyarakat, Puskesmas perlu ditunjang dengan

pelayanan kefarmasian yang bermutu (Depkes RI, 2006b). Sistem Kesehatan

Nasional (SKN) tahun 2012 menetapkan bahwa tujuan dari pelayanan

kefarmasian adalah menjamin penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan,

secara rasional, aman, dan bermutu di semua fasilitas pelayanan kesehatan dengan

mengikuti kebijakan yang ditetapkan (Presiden RI, 2012).

Pelayanan kefarmasian di Puskesmas merupakan satu kesatuan yang tidak

terpisahkan dari pelaksanaan pelayanan kesehatan. Salah satu upaya kesehatan

wajib yang harus diselenggarakan oleh puskesmas adalah upaya pengobatan, yang

terkait dengan pelayanan kefarmasian. Selama ini penerapan dan pelaksanaan

upaya kesehatan dalam kebijakan dasar puskesmas yang sudah ada sangat

beragam antar daerah satu dengan daerah lainnya, namun secara keseluruhan

belum menunjukkan hasil yang optimal.

Untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas yang

berorientasi kepada pasien diperlukan suatu standar yang dapat digunakan sebagai

acuan dalam pelayanan kefarmasian dan wajib diikuti oleh apoteker dan atau

tenaga teknis kefarmasian yang bekerja di fasilitas kesehatan tingkat pertama

tersebut. Sesuai dengan ketentuan PP No. 51 tahun 2009 pasal 21 ayat 1 tentang

pekerjaan kefarmasian yang menyatakan bahwa dalam menjalankan praktek

2

kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker harus menerapkan

standar pelayanan kefarmasian. Dan pasal 21 ayat 4 bahwa ketentuan lebih lanjut

mengenai standar pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat 1

menurut jenis fasilitas pelayanan kefarmasian ditetapkan oleh Menteri

(Pemerintah RI, 2009). Sehingga berdasarkan pertimbangan tersebut ditetapkan

Peraturan Menteri Kesehatan nomor 30 tahun 2014 tentang standar pelayanan

kefarmasian di puskesmas.

Standar pelayanan kefarmasian adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai

pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan

kefarmasian. Peraturan Menteri Kesehatan No. 30 tahun 2014 tentang Standar

Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas ini dibuat dengan tujuan meningkatkan

mutu pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian

dan melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional

dalam rangka penjaminan keselamatan pasien (patient safety) (Pemerintah RI,

2014a).

Di Kabupaten Bengkulu Utara terdapat 22 sarana puskesmas yang tersebar di

berbagai kecamatan yang terdiri dari 8 puskesmas perawatan dan 14 puskesmas

non perawatan. Distribusi tenaga apoteker dan tenaga teknis kefarmasian di

Kabupaten Bengkulu Utara ini tidak merata di setiap puskesmas. Tenaga apoteker

yang dimiliki untuk puskesmas di Kabupaten Bengkulu Utara sampai sekarang

masih sangat minim. Jumlah apoteker tahun 2016 adalah 3 orang, tenaga teknis

kefarmasian lainnya yaitu ahli madya farmasi dan asisten apoteker berjumlah 7

orang. Puskesmas yang memiliki tenaga apoteker dan tenaga teknis kefarmasian

sebanyak 9 puskesmas, sementara 13 puskesmas lainnya tidak memiliki tenaga

apoteker dan juga tenaga teknis kefarmasian. Puskesmas perawatan pun tidak

semuanya memiliki tenaga kefarmasian.

Sejak diterbitkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 30 tahun 2014

tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas pada tanggal 3 Juli 2014,

masih banyak puskesmas yang belum sepenuhnya melakukan pelayanan

kefarmasian secara optimal karena terbatasnya tenaga kefarmasian. Penyampaian

informasi mengenai PMK No 30 Tahun 2014 yang tidak maksimal menyebabkan

3

pelayanan kefarmasian di Puskesmas masih terfokus pada pekerjaan administratif

dan pengelolaan obat saja. Sementara untuk pelayanan farmasi klinik yang

berorientasi pada pasien masih belum dilaksanakan. Informasi yang tidak

menyeluruh mengenai PMK No 30 tahun 2014 ini menyebabkan rendahnya

pemahaman petugas pengelola obat mengenai standar pelayanan kefarmasian di

puskesmas, sehingga pelayanan kefarmasian di puskesmas tidak menunjukkan

perubahan ke arah perbaikan.

Di daerah atau kabupaten yang tenaga kefarmasian terutama tenaga

apotekernya sedikit ini sangat sulit untuk menerapkan pelayanan kefarmasian di

puskesmas yang sesuai dengan standar. Permasalahan yang terkait dengan

apoteker di Puskesmas adalah ketersediaan dan jumlah yang tidak sesuai dengan

beban kerjanya, sehingga pelayanan kefarmasian belum berjalan dengan baik

(Supardi, et al., 2012). Kendala yang dihadapi adalah kurangnya tenaga

kefarmasian dan permasalahan pelayanan obat di puskesmas sehingga pelayanan

obat dilakukan oleh petugas yang tidak kompeten yang menyebabkan mutu

pelayanan yang diberikan masih rendah. Upaya untuk meningkatkan kemampuan

dan kompetensi petugas pengelola obat belum pernah dilaksanakan oleh Dinas

Kesehatan. Petugas pengelola obat puskesmas belum pernah mendapat pelatihan

mengenai pelayanan kefarmasian di Puskesmas, hal ini menyebabkan pelayanan

kefarmasian di Puskesmas menjadi tidak terarah.

Permasalahan yang ditemukan terkait pengelolaan obat dan bahan medis

habis pakai antara lain pencatatan dan pelaporan yang menjadi kegiatan rutin

setiap bulan yang dilakukan oleh pengelola obat masih sering terlambat.

Keterlambatan pelaporan dikarenakan masih adanya tumpang tindih pekerjaan,

sehingga beban kerja bertambah yang menyebabkan penyelesaian pekerjaan

menjadi lebih lama. Masih terdapatnya puskesmas yang melakukan perencanaan

kebutuhan obat belum sesuai dengan kebutuhan yang sesungguhnya.

Permasalahan tersebut tentunya akan mempengaruhi ketersediaan informasi

mengenai pengelolaan obat kepada penentu kebijakan, dimana harapan akan

pengelolaan obat yang baik masih belum bisa berjalan sebagaimana mestinya,

yang secara tidak langsung akan mempengaruhi mutu pelayanan kefarmasian.

4

Ketersediaan obat di Puskesmas juga menjadi permasalahan dalam pengelolaan

obat. Puskesmas sering mengalami kekosongan obat yang akan mempengaruhi

pelayanan kefarmasian.

Pelayanan informasi obat merupakan bagian dari pelayanan farmasi klinik.

Pemberian informasi obat secara umum dapat membantu pasien untuk

menggunakan obat dengan baik dan benar sehingga dapat meminimalkan

terjadinya resiko yang tidak diinginkan yang kemungkinan akan timbul.

Pelayanan informasi obat di Puskesmas masih belum dilakukan secara optimal

oleh petugas kamar obat di Puskesmas. Informasi cara pemakaian obat, nama

obat, pelabelan obat yang tidak lengkap, dosis obat serta indikasi obat belum

disampaikan dengan baik kepada pasien. Hal ini dikarenakan latar belakang

pendidikan petugas kamar obat sangat beragam mulai dari apoteker, asisten

apoteker/TTK, perawat, bidan dan pekarya.

Pelaksanaan pelayanan informasi obat juga masih terkendala dengan masih

terbatasnya sarana dan prasarana. Kondisi kamar obat yang sempit, dan sebagian

puskesmas masih menggunakan loket loket untuk pelayanan obat. Belum

tersedianya ruangan khusus untuk penyampaian informasi obat dan konseling bagi

pasien. Sehingga pelayanan informasi obat kepada pasien belum dapat berjalan

sebagaimana mestinya. Selain fisik bangunan, kelengkapan sarana dan fasilitas

pendukung pelayanan kefarmasian pun masih belum memadai. Gudang obat

puskesmas masih banyak yang belum sesuai dengan standar dari segi bangunan

yang sempit maupun fasilitas pendukungnya. Fasilitas seperti rak obat, pallet,

pendingin ruangan, dan ruang penyimpanan arsip masih belum terpenuhi.

Perlengkapan pelayanan di apotik masih belum lengkap, seperti timbangan,

dispenser air untuk penglarut sirup kering, serta buku-buku referensi untuk

pelayanan informasi obat pasien. Fasilitas pelayanan obat seperti plastik obat,

etiket seringkali tidak mencukupi.

Permasalahan lainnya adalah masih kurangnya kesadaran tenaga kesehatan

akan pentingnya pelayanan kefarmasian, hal ini dapat terlihat bahwa tanpa tenaga

apoteker/tenaga teknis kefarmasian, tenaga kesehatan lainnya masih bisa

memberikan obat. Padahal, pelayanan kefarmasian yang dilaksanakan dengan

5

bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain sangat penting untuk mencapai terapi

pengobatan yang optimal serta mengurangi terjadinya efek-efek samping yang

tidak diinginkan dari penggunaan obat. Masih rendahnya kesadaran ini membuat

pemerintah acuh tak acuh terhadap peraturan untuk melaksanakan pelayanan

kefarmasian sesuai standar.

Penyampaian informasi mengenai PMK No 30 tahun 2014 yang tidak

meyeluruh menyebabkan pemahaman pelaksana kebijakan tentang pentingnya

menerapkan standar pelayanan kefarmasian di puskesmas masih rendah. Sehingga

menyebabkan dukungan untuk penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di

Puskesmas pun masih rendah, baik dukungan dari pimpinan puskesmas, Dinas

Kesehatan maupun dari Pemerintah Daerah. Tanpa adanya dukungan,

implementasi PMK No 30 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di

puskesmas akan sulit dilaksanakan.

Pelaksanaan implementasi pelayanan kefarmasian di puskesmas di Kabupaten

Bengkulu Utara dipengaruhi oleh banyak faktor, baik di dalam lingkup organisasi

puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu Utara, pemerintah daerah

maupun pemerintah. Kesiapan SDM Kesehatan di puskesmas, peran pimpinan

puskesmas serta pemahaman yang benar tentang pelayanan kefarmasian.

Pelaksanaan Peraturan Menteri kesehatan No. 30 tahun 2014 tidak akan berhasil

apabila tidak didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten,

sarana dan prasarana yang memadai serta perlu dukungan dari semua pihak yang

terkait (stakeholder). Apabila implementasinya tidak dilaksanakan secara tepat

maka tujuan kebijakan pelayanan kefarmasian akan sulit tercapai, sehingga

permasalahan-permasalahan terkait pelayanan kefarmasian di Puskesmas pun

akan sulit untuk dipecahkan.

Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor

atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi

dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual

maupun organisasional, dan masing-masing variabel pengaruh tersebut juga saling

berinteraksi satu sama lain (Subarsono, 2015).

6

Menurut teori dari ilmu kebijakan publik, implementasi kebijakan publik

akan lebih mudah dipahami apabila menggunakan suatu model atau kerangka

pemikiran tertentu. Suatu model akan memberikan gambaran secara lengkap

mengenai suatu objek, situasi atau proses. Salah satu model implementasi

kebijakan yang dikemukakan oleh Edwards III bahwa terdapat faktor-faktor yang

mempengaruhi implementasi kebijakan yaitu (1) komunikasi, (2) sumber daya, (3)

disposisi, (4) struktur birokrasi.

Ditinjau dari model Edwards III, permasalahan-permasalahan yang timbul

karena tidak meratanya kemampuan petugas pengelola obat puskesmas dalam

melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas dapat digolongkan

dalam faktor sumber daya. Selain itu, kurangnya fasilitas pendukung pelayanan

kefarmasian dapat dikategorikan dalam faktor sumber daya. Sikap tenaga

kesehatan dan pimpinan puskesmas yang memandang bahwa tanpa tenaga

apoteker/tenaga teknis kefarmasian, tenaga kesehatan lainnya masih bisa

melaksanakan pelayanan kefarmasian dapat digolongkan sebagai faktor disposisi.

Faktor-faktor lain yang disebutkan Edwards III seperti komunikasi dan struktur

birokrasi diduga juga memberikan kontribusi sebagai hambatan dalam

implementasi kebijakan standar pelayanan kefarmasian di puskesmas.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian latar belakang diatas, rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Bagaimana implementasi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun

2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas di Kabupaten

Bengkulu Utara?

2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan Peraturan

Menteri Kesehatan No 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan

Kefarmasian di Puskesmas di Kabupaten Bengkulu Utara?

7

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk menganalisis proses implementasi Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 30 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas

di Kabupaten Bengkulu Utara.

2. Tujuan Khusus

Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 30 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan

Kefarmasian di Puskesmas di Kabupaten Bengkulu Utara, yaitu:

a. Untuk menganalisis pengaruh komunikasi dalam implementasi

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014 tentang Standar

Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas di Kabupaten Bengkulu Utara.

b. Untuk menganalisis pengaruh ketersediaan sumber daya dalam

implementasi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014

tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas di Kabupaten

Bengkulu Utara.

c. Untuk menganalisis pengaruh disposisi dalam implementasi Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan

Kefarmasian di Puskesmas di Kabupaten Bengkulu Utara.

d. Untuk menganalisis pengaruh struktur birokrasi dalam implementasi

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014 tentang Standar

Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas di Kabupaten Bengkulu Utara.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian diharapkan dapat menjadi sebuah informasi untuk mengevaluasi

kebijakan yang menyangkut pelayanan publik terutama pelayanan

kefarmasian di Puskesmas serta sebagai bahan untuk penyempurnaan

kebijakan dimasa mendatang.

8

2. Manfaat Praktis

a. Dapat dijadikan masukan untuk Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu

Utara agar dapat meningkatkan fungsinya sebagai regulator dan fasilitator

bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam mengimplementasikan standar

pelayanan kefarmasian di Puskesmas sehingga masyarakat mendapat

pelayanan yang memadai.

b. Sebagai bahan evaluasi untuk mengetahui implementasi pelayanan

kefarmasian di Puskesmas berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI

No 30 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas

untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas

c. Dapat dijadikan sebagai masukan bagi puskesmas untuk melaksanakan

standar pelayanan kefarmasian dan mengoptimalkan kinerja tenaga

kefarmasian dalam memberikan pelayanan kefarmasian guna

meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas.

E. Keaslian penelitian

Penelitian mengenai implementasi kebijakan tentang standar pelayanan

kefarmasian di puskesmas belum pernah dilakukan sepengetahuan penulis.

Penelitian lain di Indonesia yang hampir serupa dengan penelitian ini adalah:

a. Implementasi Kebijakan JKN Oleh Pemberi Pelayanan Kesehatan di

Kabupaten Kepulauan Anambas (Sagala, 2015). Penelitian ini bertujuan

menganalisis kebijakan JKN oleh pemberi pelayanan kesehatan di Kabupaten

Kepulauan Anambas. Metodologi penelitian menggunakan deskriptif dengan

pendekatan kualitatif berdasarkan model implementasi kebijakan Edward III

yang meliputi sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Pengambilan

data melalui wawancara mendalam, observasi dan telaah dokumen.

Persamaan pada penelitian ini adalah menganalisis implementasi kebijakan

Pemerintah Pusat yang diterapkan secara Nasional tanpa mempertimbangkan

kondisi daerah yang berbeda-beda. Perbedaannya adalah pada level

9

penerapan kebijakan. Pada penelitian ini level penerapan kebijakan di

Puskesmas di Kabupaten Bengkulu Utara.

b. Analisis Implementasi Kebijakan Hand Hygiene Tenaga Kesehatan di Ruang

Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta (Wahyuwulandari, 2016). Penelitian ini

bertujuan untuk menggambarkan implementasi kebijakan hand hygine dan

faktor yang mempengaruhi kebijakan tersebut di ruang rawat inap RSUD Dr.

Moewardi Surakarta. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental

dengan rancangan studi kasus. Subjek penelitian meliputi ketua komite PPI,

ketua tim PPI, wakil IPCN (infection prevention control nurse), wakil IPCLN

(infection prevention control line nurse), dokter dan perawat. Pengambilan

data melalui wawancara mendalam dan observasi. Persamaan pada penelitian

ini adalah menganalisis implementasi kebijakan dan faktor yang

mempengaruhi kebijakan tersebut. Perbedaannya pada penelitian ini adalah

level wilayah penerapan kebijakan, dan dampak yang ditimbulkan dari

penerapan kebijakan tersebut. Pada penelitian ini penerapannya dilakukan

secara lokal daerah di Puskesmas di Kabupaten Bengkulu Utara.

c. Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di 3 Puskesmas Rawat Inap di

Kota Medan Berdasarkan PMK No.30 Tahun 2014 (Sumbayak, 2016).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana penerapan pelayanan

kefarmasian di puskesmas Helvetia, Puskesmas Medan-Deli dan Puskesmas

Belawan. Variabel yang dinilai dalam penelitian ini adalah kebijakan

pelayanan kefarmasian, kelengkapan fasilitas, dan pertanyaan terbuka kepada

apoteker. Penelitian ini menggunakan metode survei deskriptif yang bersifat

cross sectional. Data yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh

dari pengisian lembar observasional berdasarkan pengamatan langsung di tiga

puskesmas. Persamaan penelitian ini adalah penerapan kebijakannya sama,

dan level wilayah penerapannya sama. Perbedaannya adalah variabel yang

dinilai, dalam penelitian ini variable yang dinilai adalah faktor-faktor yang

mempengaruhi implementasi kebijakannya yaitu, komunikasi, sumber daya,

disposisi dan struktur birokrasi.

10

d. Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Berdasarkan Peraturan Menteri

Kesehatan RI No 30 tahun 2014 pada Puskesmas Di Kota Yogyakarta

(Mangkoan, 2016). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran

pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan Peraturan Menteri

Kesehatan No 30 tahun 2014 yang ada di puskesmas-puskesmas di Kota

Yogyakarta setelah dikeluarkannya peraturan tersebut. Subjek penelitian ini

adalah seluruh apoteker penanggung jawab di 14 puskesmas yang ada di Kota

Yogyakarta. Variabel dalam penelitian ini adalah pengelolaan obat dan bahan

medis habis pakai, pelayanan farmasi klinik, sumber daya kefarmasian dan

pengendalian mutu pelayanan kefarmasian. Penelitian ini merupakan

penelitian non ekperimental dengan rancangan penelitian deksriptif.

Pengumpulan data dilaksanakan pengisian kuesioner. Persamaan penelitian

ini adalah penerapan kebijakannya sama, dan level wilayah penerapannya

sama. Perbedaannya adalah variabel yang dinilai, dalam penelitian ini

variabel yang dinilai adalah faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi

kebijakannya yaitu, komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur

birokrasi.

11

Tabel 1. Deskripsi Persamaan dan Perbedaan Penelitian lain dengan Penelitian

Implementasi PMK No 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian

Di Puskesmas Di Kabupaten Bengkulu Utara Jenis Irawati Sagala

(2015

Ajeng

Wahyuwulandari

(2016)

Fryda Asrianita

Br. Sumbayak

(2016)

Monalisa

Mangkoan (2016)

Peneliti

Tujuan Menganalisis

implementasi

kebijakan JKN oleh

pemberi pelayanan

kesehatan di

Kabupaten

Kepulauan Anambas

Menggambarkan

implementasi

kebijakan hand

hygiene dan faktor

yang

mempengaruhi

kebijakan tersebut

di ruang rawat

inap RSUD Dr.

Moewardi

Surakarta

Mengetahui

sejauh mana

penerapan

pelayanan

kefarmasian di

puskesmas

Helvetia,

Puskesmas

Medan-Deli dan

Puskesmas

Belawan

Mengetahui

gambaran

pelaksanaan standar

pelayanan

kefarmasian

berdasarkan

Peraturan Menteri

Kesehatan No 30

tahun 2014 yang ada

di puskesmas-

puskesmas di Kota

Yogyakarta

Menganalisis

implementasi

PMK No 30

tahun 2014

tentang Standar

Pelayanan

Kefarmasian di

Puskesmas di

Kabupaten

Bengkulu

Utara

Rancangan

Penelitian

Deskriptif dengan

metode kualitatif

dengan rancangan

studi kasus

Penelitian non

eksperimental

dengan rancangan

studi kasus

Penelitian ini

menggunakan

metode survei

deskriptif yang

bersifat cross

sectional

Penelitian non

ekperimental dengan

rancangan penelitian

deksriptif

Deskriptif

dengan metode

kualitatif

dengan

rancangan

studi kasus

Subjek

Penelitian

Dinkes, Kasie

Yankes, Kepala

BPJS, Direktur RSL,

Kepala KTU RSL,

Bendahara RSL,

Penanggungjawab

Penunjang Medis

RSL,

Penanggungjawab

Pelayanan Medis

RSL, 4 dokter

residen, 3 dokter

umum, 2 bidan, 2

perawat dan 1

apoteker RSL

Jumlah responden

26 orang yang

meliputi: Ketua

komite PPI, ketua

tim PPI, wakil

IPCN, wakil

IPCLN, dokter

dan perawat

puskesmas

Helvetia,

Puskesmas

Medan-Deli dan

Puskesmas

Belawan

seluruh apoteker

penanggung jawab

di 14 puskesmas

yang ada di Kota

Yogyakarta

Kasie

pelayanan

kefarmasian,

staf pengelola

program

kefarmasian, 6

kepala

puskesmas dan

8 petugas

pengelola obat

puskesmas

Variabel

Penelitian

Variabel terikat:

implementasi

kebijakan JKN oleh

pemberi pelayanan

Variabel bebas:

sumber daya,

disposisi, dan

struktur birokrasi

- Proses

implementa

si kebijakan

- Hasil

kebijakan

kebijakan

pelayanan

kefarmasian,

kelengkapan

fasilitas

Pengelolaan obat

dan bahan habis

pakai, pelayanan

farmasi klinik,

sumber daya

kefarmasian, dan

pengendalian mutu

pelayanan

kefarmasian

Variabel

terikat:

Implementasi

kebijakan

standar

pelayanan

kefarmasian di

puskesmas.

Variabel bebas:

komunikasi,

sumber daya,

disposisi,

struktur

birokrasi

Cara

Pengumpulan

Data

Wawancara

mendalam,

observasi, dan telaah

dokumen

Wawancara

mendalam dan

observasi

Lembar

Observasional

Lembar kuesioner Wawancara

mendalam dan

observasi