32
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu permasalahan penting yang terjadi di wilayah kepesisiran adalah erosi dan sedimentasi, begitupula halnya dengan wilayah kepesisiran Indonesia. Erosi pantai terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara angkutan sedimen yang keluar dari suatu bentang pantai (Diposaptono, 2001). Menurut Diposaptono, erosi dapat terjadi karena faktor alami maupun faktor buatan. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang sebagian besar wilayahnya berbatasan langsung dengan laut. Luas lautan di Indonesia mencapai tiga perempat dari luas daratan. Indonesia sendiri memiliki garis pantai sepanjang 95.181 km dengan pulau berjumlah kurang dari 17.480, seperti yang diumumkan PBB pada tahun 2008. Nilai tersebut, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang keempat di dunia, setelah Amerika, Kanada, dan Rusia. Sekitar 60 persen dari total jumlah penduduk Indonesia tinggal di wilayah kepesisiran. Menurut Kementrian Pekerjaan Umum (PU), dari keseluruhan garis pantai tersebut, sebanyak 20 persen mengalami kerusakan akibat berbagai masalah, diantaranya perubahan lingkungan dan erosi pantai (antaranews.com, 30 September 2010). Kerusakan tersebut diakibatkan oleh banyak faktor, baik alam maupun manusia. Ulah manusia dalam hal ini diantaranya penambangan terumbukarang, hilangnya vegetasi mangrove (hutan bakau), dan pembangunan di kawasan pantai. Sementara faktor alam seperti karakteristik gelombang, hingga

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/94650/potongan/S1-2016... · Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang sebagian besar wilayahnya

  • Upload
    ngodien

  • View
    222

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu permasalahan penting yang terjadi di wilayah kepesisiran

adalah erosi dan sedimentasi, begitupula halnya dengan wilayah kepesisiran

Indonesia. Erosi pantai terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara angkutan

sedimen yang keluar dari suatu bentang pantai (Diposaptono, 2001). Menurut

Diposaptono, erosi dapat terjadi karena faktor alami maupun faktor buatan.

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang sebagian besar wilayahnya

berbatasan langsung dengan laut. Luas lautan di Indonesia mencapai tiga

perempat dari luas daratan. Indonesia sendiri memiliki garis pantai sepanjang

95.181 km dengan pulau berjumlah kurang dari 17.480, seperti yang diumumkan

PBB pada tahun 2008. Nilai tersebut, menempatkan Indonesia sebagai negara

dengan garis pantai terpanjang keempat di dunia, setelah Amerika, Kanada, dan

Rusia. Sekitar 60 persen dari total jumlah penduduk Indonesia tinggal di wilayah

kepesisiran. Menurut Kementrian Pekerjaan Umum (PU), dari keseluruhan garis

pantai tersebut, sebanyak 20 persen mengalami kerusakan akibat berbagai

masalah, diantaranya perubahan lingkungan dan erosi pantai (antaranews.com, 30

September 2010). Kerusakan tersebut diakibatkan oleh banyak faktor, baik alam

maupun manusia. Ulah manusia dalam hal ini diantaranya penambangan

terumbukarang, hilangnya vegetasi mangrove (hutan bakau), dan pembangunan di

kawasan pantai. Sementara faktor alam seperti karakteristik gelombang, hingga

2

perubahan iklim juga berdampak pada kerusakan kawasan pantai. Perubahan garis

pantai ini juga berdampak pada pergeseran garis perbatasan dengan negara lain.

Abrasi merupakan salah satu proses erosi pantai. CERC,1984 dalam Sofyan, dkk,

2010 menjelaskan bahwa erosi pantai adalah proses dari kerja hidraulik (kekuatan

air dalam bentuk gelombang atau arus yang mengerosi pantai) meliputi abrasi,

atrisi (pengausan partikel batuan karena penggelindingan, peloncatan dan

penggelinciran pada gisik atau pelataran pantai) dan korosi (pelarutan batuan

pantai oleh reaksi kimia air laut). Dalam penelitian ini sendiri, kajian lebih

menitikberatkan pada faktor-faktor penyebab erosi. Sementara pendeteksian erosi

dilihat dari perubahan garis pantai berdasarkan citra multitemporal.

Menurut Ongkosongo (1982), ada dua macam faktor-faktor yang

menyebabkan terjadinya perubahan pesisir. Pertama, faktor alami seperti

gelombang laut, arus, angin, sedimentasi, topografi pesisir dan pasang surut.

Sedangkan faktor kedua adalah faktor manusia, seperti penambangan pasir,

reklamasi pantai, dan pengrusakan vegetasi pantai. Faktor akibat manusia ini

dianggap faktor non-alami yang dapat mempercepat proses terjadinya perubahan

pesisir. Proses non-alami atau kegiatan manusia (antropogenik) yang berpotensi

menimbulkan perubahan garis pantai diantaranya adalah seperti berikut ini

(Shuhendry, 2004):

a. penambangan pasir di perairan pantai yang dapat mengakibatkan

perubahan kedalaman sehingga mengubah pola arus dan gelombang

pecah;

3

b. pembuatan bangunan yang menjorok ke laut, sehingga mengganggu

keseimbangan transpor sedimen di sepanjang pantai;

c. pengambilan pelindung pantai alami, seperti penembangan hutan

mangrove dan pengambilan terumbu karang; dan

d. pembukaan tambak-tambak yang tidak memperhatikan kondisi dan

lokasi (terutama yang dekat dengan garis pantai).

Perusakan ekologi oleh manusia yang diperparah dengan imbas cuaca

yang ekstrem mengakibatkan lebih dari 400 kilometer pesisir Indonesia di 100

lebih lokasi pada 17 provinsi terancam erosi pantai (Kompas, 30 september 2011).

Ditinjau dari aspek lain, sebagai negara kepulauan dengan wilayah pantai yang

luas, Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya alam yang potensial. Baik dari

segi biofisik maupun sosial ekonomi.

Permasalahan erosi pantai di Indonesia mencapai tahapan kritis,

mengingat kerugian yang ditimbulkan sudah sangat besar seperti banyak lahan

yang hilang, kerusakan perumahan dan fasilitas umum, hingga kerusakan tambak.

Hal ini tentu saja berdampak buruk bagi penduduk. Apabila terus dibiarkan,

kondisi pantai di Indonesia akan semakin parah sehingga kerugian yang

ditimbulkan pun akan semakin besar. Proses erosi telah mengakibatkan degradasi

lingkungan kepesisiran. Diposaptono menjelaskan bahwa erosi pantai di Indonesia

dapat diakibatkan oleh proses alami, aktivitas manusia maupun kombinasi

keduanya. Namun demikian, penyebab utamanya ialah gerakan gelombang pada

pantai terbuka. Mengingat wilayah kepesisiran merupakan wilayah yang terdiri

dari berbagai komponen, maka analisis mengenai penyebab abrasi pun dilakukan

4

dengan mempertimbangkan semua komponen yang ada wilayah tersebut, baik

abiotik, biotik maupun kultural.

1.2.Perumusan Masalah

Wilayah kepesisiran Kota Tegal merupakan salah satu wilayah di

Indonesia yang memiliki kawasan pantai. Seperti halnya kawasan pantai lain,

wilayah ini juga memiliki potensi yang dapat digali dan dimanfaatkan untuk

kesejahteraan penduduk. Sebagian besar penduduk yang mendiami kawasan

pantai bermatapencaharian sebagai nelayan, sehingga penghidupan mereka

bergantung pada kondisi perairan pantai dan keberadaan hutan mangrove, tempat

mereka mencari ikan. Namun demikian, seiring dengan kemajuan zaman dan

perkembangan di berbagai bidang, eksistensi nelayan pun mulai terancam.

Penghasilan sebagai nelayan dianggap kurang mencukupi kebutuhan hidup sehari-

hari. Akibatnya, banyak diantara mereka yang beralih menjadi petani-petani

tambak dengan orientasi ekonomi agar mampu memenuhi kebutuhan hidup

mereka. Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia saat ini membawa

perubahan sikap dan kebiasaan para petani tambak. Mereka cenderung menjadi

eksploitatif terhadap sumberdaya alam pantai dan hutan mangrove. Salah satu

bentuk eksploitasi yang tergolong besar ialah konversi hutan mangrove menjadi

tambak. Data tahun 1984 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki mangrove

dalam kawasan hutan seluas 4,25 juta ha. Selanjutnya, berdasar hasil interpretasi

citra landsat (1992) luasnya tersisa 3,812 juta ha (Ditjen INTAG dalam Anwar,

2006). Selain itu, berdasarkan data Ditjen RRL (1999) dalam Anwar (2006), luas

hutan mangrove Indonesia tinggal 9,2 juta ha dengan 3,7 juta ha dalam kawasan

5

hutan. Ironisnya, lebih dari setengah hutan mangrove yang ada (57,6 %), ternyata

dalam kondisi rusak parah, dengan kecepatan kerusakan mencapai 530.000

ha/tahun (Anwar, 2006).

Kondisi ini juga ditemukan di kawasan Pantai Muarareja Kota Tegal.

Menurut Hanggara (2008), kerapatan mangrove di Desa Muarareja, Kecamatan

Tegal Barat Kota Tegal yang mempunyai garis pantai sekitar 12 km, hanya

terdapat 248 pohon per hektarenya atau kurang dari separuh kerapatan ideal

sebanyak 600 pohon per hektare. Padahal, hutan mangrove memiliki fungsi secara

ekologis, misalnya sebagai tempat pemijahan ikan di perairan, pelindung daratan

dari abrasi oleh ombak, pelindung daratan dari tiupan angin, penyaring intrusi air

laut ke daratan dan kandungan logam berat berbahaya, tempat singgah migrasi

burung dan sebagai habitat satwa liar serta manfaat langsung lain bagi manusia

(Anwar dan Gunawan, 2006). Hampir 30 % pantai di Kota Tegal mengalami

erosi. Sepanjang 250 meter dari total garis pantai sebesar 750 meter telah terkena

dampak erosi ini. Berkurangnya mangrove menyebabkan erosi terjadi di pantai

Kota Tegal, terutama di Desa Muarareja dan menyebabkan pantai Kota Tegal

berkurang sekitar 10 meter setiap tahunnya (Hanggara, 2008). Meskipun telah

terjadi bertahun-tahun, erosi masih terus melanda kawasan Pantai Muarareja.

Pemerintah pun telah melakukan berbagai upaya guna menangani permasalahan

ini. Meskipun sebagian besar erosi pantai lebih disebabkan oleh alam, namun

campur tangan manusia juga dapat semakin memperburuk kondisi.

Permasalahan di kawasan Pantai Muarareja berupa erosi pantai terjadi

setiap tahun dan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Sebab, erosi pantai

6

menyerang dan merusak tambak-tambak warga. Menurut Forum Pemberdayaan

Masyarakat Pantai (FPMP) Kota Tegal, lebar daratan pantai yang awalnya

mencapai 200 meter, tergerus ombak hingga lebih dari 100 meter dengan panjang

3 kilometer, bahkan jarak pantai dengan pemukiman hanya sekitar 30 meter pada

tahun 2006. Selama kurun waktu 19 tahun terakhir, di wilayah ini, erosi pantai

mengakibatkan sekitar 300 hektare lahan tambak hancur. Selain menyerang

tambak, erosi pantai ini bahkan telah menyerang pemukiman penduduk. Sehingga,

erosi pantai telah menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat, baik dari segi

ekonomi, sosial maupun fisik. Oleh sebab itu, diperlukan analisis mengenai faktor

penyebab terjadinya erosi pantai di wilayah ini, baik dari faktor abiotik, biotik

maupul kultural. Faktor abiotik dengan melihat proses-proses laut yang

berpengaruh disana, seperti gelombang, arus dan pasang surut. Pengaruh faktor

biotik salah satunya mangrove ataupun non mangrove. Sementara faktor kultural

berupa persepsi dan perilaku manusia yang berkaitan dengan dampak terhadap

lingkungan. Analisis diperlukan sebagai solusi dari permasalahan erosi pantai

yang telah melanda wilayah ini selama bertahun-tahun. Mengingat, dampak serta

kerugian yang ditimbulkan akibat erosi pantai tidaklah sedikit. Kajian mengenai

erosi pantai tidak hanya dengan melihat faktor yang berpengaruh, melainkan juga

dengan memberikan strategi penanganan erosi pantai yang sesuai dan dapat

diterapkan guna mengurangi dampak. Untuk itu, pertanyaan yang dijadikan dasar

dalam penelitian ini ialah sebagai berikut:

7

1. faktor-faktor apakah yang mempengaruhi terjadinya erosi pantai di

daerah penelitian?

2. bagaimanakah strategi penanganan erosi pantai yang lebih baik

diterapkan di daerah penelitian?

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1) mengkaji proses erosi pantai di daerah penelitian dan faktor-faktor

yang mempengaruhinya; dan

2) merumuskan strategi penanganan erosi pantai yang tepat di daerah

penelitian.

1.4.Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini adalah memberikan pengetahuan umum

kepada masyarakat mengenai permasalahan lingkungan di kawasan pantai,

terutama tentang erosi pantai. Hasil penelitian ini juga diharapkan mampu

memberi sumbangan pemikiran serta dijadikan sebagai salah satu bahan

pertimbangan bagi instansi-instansi pemerintah dalam pengambilan keputusan

atau kebijakan pengelolaan wilayah kepesisiran serta pemecahan masalah di

kawasan pantai, terutama kaitannya dengan erosi pantai yang terjadi di

Muarareja Kota Tegal.

8

1.4.2. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu

oseanografi pantai, terutama kajian mengenai hidrodinamika dan proses yang

terjadi di tepian pantai. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi informasi

dan wacana pemikiran bagi para pembaca. Sementara bagi penulis sendiri guna

memperdalam ilmu yang telah penulis peroleh, terutama tentang oseanografi.

1.5.Tinjauan Pustaka

1.5.1. Pengertian Wilayah Kepesisiran, Pesisir dan Pantai

Pesisir dan pantai dalam istilah kepantaian seringkali diartikan sama,

padahal terdapat perbedaan antara keduanya. Triatmodjo (1999)

mendefinisikan bahwa pesisir (coast) adalah daerah darat di tepi laut yang

masih mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut dan

perembesan air laut. Pantai (shore) didefinisikan sebagai daerah di tepi

perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah.

Triatmodjo menjabarkan batasan-batasan definisi tentang kepantaian ini

dengan Gambar 2.1. Daerah daratan adalah daerah yang terletak di atas dan di

bawah permukaan daratan dimulai dari batas garis pasang tertinggi. Daerah

lautan adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut

dimulai dari sisi laut pada garis surut terendah, termasuk dasar laut dan bagian

bumi di bawahnya. Sementara garis batas pertemuan antara daratan dan air

laut dimana posisinya tidak tetap dan dapat berpindah sesuai dengan pasang

surut air laut dan erosi pantai yang terjadi disebut dengan garis pantai.

9

Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai

manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai. Kriteria

sempadan pantai menurut Triatmodjo adalah daratan sepanjang tepian yang

lebarnya sesuai dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 m dari

titik pasang tertinggi ke arah daratan.

Pantai dan pesisir termasuk di dalam wilayah kepesisiran (coastal

area). Wilayah ini terbentuk melalui proses yang panjang secara genetik.

Secara genetik, wilayah kepesisiran merupakan bentanglahan yang dimulai

garis batas wilayah laut (sea) yang ditandai oleh terbentuknya zona pecah

gelombang (breaker zone) ke arah darat hingga pada suatu bentang lahan yang

secara genetik pembentukannya masih dipengaruhi oleh aktivitas marin,

seperti dataran aluvial kepesisiran (coastal alluvial plain) (dirumuskan dari

konsep CERC, 1984; Pethick, 1984; dan Sunarto, 2000 dalam Gunawan,

2000).

Ditinjau dari aspek pengelolaan wilayah untuk pengendalian erosi

pantai, maka batasan wilayah pesisir ke arah darat hingga pada lahan pantai

yang diperkirakan terkena erosi. Sedangkan batas ke arah laut berupa daerah

yang terkena pengaruh distribusi sedimen akibat proses erosi yang biasanya

terdapat pada daerah pemecah gelombang (breakwater zone) terdekat garis

pantai.

1.5.2. Proses-proses di tepian pantai Gambar 1.1. Batasan pesisir dan pantai (Triatmodjo, 1999)

10

Menurut Triatmodjo (1999), pantai selalu menyesuaikan bentuk

profilnya hingga mampu menghancurkan energi gelombang yang datang.

Penyesuaian bentuk tersebut merupakan tanggapan dinamis alami pantai

terhadap laut. Terdapat dua tipe tanggapan pantai dinamis terhadap gerak

gelombang, yaitu tanggapan terhadap kondisi gelombang normal dan

tanggapan terhadap kondisi gelombang badai. Energi gelombang pada kondisi

gelombang normal dengan mudah dapat dihancurkan oleh mekanisme

pertahanan alami pantai. Kondisi ini terjadi dalam waktu yang lebih lama.

Sementara pada saat badai, energi gelombang besar, sehingga seringkali

pertahanan alami pantai tidak mampu menahan serangan gelombang ini.

Akibatnya, pantai pun tererosi. Setelah gelombang besar reda, maka pantai

akan kembali ke bentuk semula oleh pengaruh gelombang normal. Namun

demikian, ada kalanya pantai yang tererosi tidak kembali ke bentuk semula

karena material pembentuk pantai terbawa arus dan terpindahkan ke lokasi

lain, sehingga, pantai mengalami erosi. Sementara material yang terpindahkan

mengendap di daerah yang lebih tenang dan mengakibatkan sedimentasi.

Daerah tersebut misalnya muara sungai, teluk, pelabuhan, dan sebagainya.

Proses dinamis pantai sangat dipengaruhi oleh littoral transport yang

merupakan gerak sedimen di daerah dekat pantai (nearshore zone) oleh

gelombang dan arus. Littoral transport dibedakan berupa transpor sepanjang

pantai (longshore transport) dan transpor tegak lurus pantai (onshore-offshore

transport). Sementara material yang ditranspor disebut dengan littoral drift.

Suatu pantai mengalami erosi, akresi atau tetap stabil tergantung dari sedimen

11

yang masuk atau meninggalkan pantai tersebut. Erosi pantai terjadi apabila

suatu pantai mengalami kehilangan/ pengurangan sedimen. Hal ini disebabkan

karena sedimen yang terangkut lebih besar daripada sedimen yang

diendapkan. Erosi pantai yang berlebihan menjadi salah satu permasalahan

pantai. Erosi pantai disebut pula dengan erosi marin (shoreline erosion) yang

disebabkan oleh gerak air laut. Erosi marin ialah pantai yang telah mengalami

perubahan bentuk (King, 1972 dalam Sofyan, dkk, 2010). Sofyan, dkk (2010)

menjelaskan bahwa erosi pantai adalah proses dari kerja hidraulik (kekuatan

air dalam bentuk gelombang atau arus yang mengerosi pantai) meliputi abrasi,

atrisi (pengausan partikel batuan karena penggelindingan, peloncatan dan

penggelinciran pada gisik atau pelataran pantai) dan korosi ( pelarutan pantai

oleh reaksi kimia air laut).

Pada saat terjadi badai dimana gelombang besar dan elevasi muka air

diam lebih tinggi karena adanya setup gelombang dan angin, pantai dapat

mengalami erosi. Proses terjadinya erosi pantai oleh gelombang badai

ditunjukkan oleh Gambar 1.2 (CERC, 1984 dalam Triatmodjo, 1999). Gambar

1.2 (a) adalah profil pantai dengan gelombang normal yang terjadi sehari-hari.

Pada saat terjadi badai yang bersamaan dengan muka air tinggi, gelombang

mulai mengerosi dan membawa meterial ke arah laut dan kemudian

mengendap seperti ditunjukkan pada Gambar 1.2 (b). Gambar 1.2 (c) terjadi

karena gelombang badai yang berlangsung cukup lama dan semakin

mengerosi. Setelah badai reda, gelombang normal kembali. Terjadi perubahan

profil pantai selama terjadinya badai terlihat pada Gambar 1.2 (d).

12

1.5.3. Faktor-faktor penyebab erosi pantai

Secara umum dinamika yang terjadi pada wilayah pesisir dipengaruhi

oleh tiga komponen, yaitu komponen abiotik, biotik dan kultural (sosekbud).

Ketiganya tidak dapat dipisahkan dan saling berpengaruh. Masing-masing

komponen memiliki faktor yang dianggap memberikan pengaruh secara

langsung terhadap erosi pantai. Faktor yang berasal dari komponen abiotik

diantaranya gelombang yang disebabkan oleh tiupan angin, arus laut yang

terbentuk akibat pengaruh kecepatan dan arah angin serta pasang surut yang

disebabkan oleh adanya gaya tarik benda-benda angkasa.

Gambar 1.2. Proses terjadinya erosi pantai oleh gelombang badai (Triatmodjo, 1999)

13

Sedangkan faktor yang berasal dari komponen biotik ialah mangrove maupun non

mangrove. Sementara faktor yang berasal dari komponen kultural (sosekbud)

diantaranya ialah perilaku dan persepsi masyarakat yang terkait dengan

pemanfatan lahan yang tidak memperhatikan lingkungan.

1.5.4. Komponen Abiotik

1.5.4.1.Gelombang Laut

Pada dasarnya, terdapat berbagai macam gelombang di laut

yang dibedakan berdasarkan pada gaya pembangkitnya. Diantaranya ialah

gelombang angin, gelombang pasang surut, gelombang tsunami dan

sebagainya. Gelombang angin dibangkitkan oleh tiupan angin di

permukaan laut. Sedangkan gelombang pasang surut dibangkitkan oleh

gaya tarik benda-benda langit terutama matahari dan bulan terhadap bumi.

Sementara gelombang tsunami dapat terbentuk karena letusan gunung atau

gempa di laut. Meskipun demikian, secara umum, istilah gelombang

digunakan untuk merujuk pada gelombang angin. Gelombang yang

dibangkitkan oleh angin, mendominasi proses pantai. Gelombang akan

mengalami pembiasan pada saat memasuki perairan dangkal dan

umumnya lebih sejajar terhadap pantai. Pengaruh gelombang terhadap

pantai yang mungkin terjadi adalah pengendapan pasir yang menyebabkan

terjadinya penambahan pantai (akresi) serta terjadinya pengikisan pasir

atau pemindahan pasir dari pantai ke offshore yang menyebabkan erosi

(Ross, 1970 dalam rahayu, 2000). Sunarto (2003) menjelaskan bahwa

14

gelombang laut ialah bentuk permukaan laut yang berupa punggung atau

puncak gelombang dan palung atau lembah gelombang yang mengalami

perubahan oleh gerak ayunan (oscillatory wave), akibat tiupan angin,

erupsi gunungapi, gempabumi, pelongsoran tebing atau dasar laut, atau

lalulintas kapal. Gelombang dapat menimbulkan energi untuk membentuk

pantai, menimbulkan arus dan transpor sedimen dalam arah tegak lurus

dan sepanjang pantai.

Selain gelombang laut sendiri, terdapat istilah-istilah lain yang

berhubungan dengan gelombang laut yang juga perlu diketahui

definisinya, diantaranya periode, frekuensi, panjang, amplitudo dan tinggi

gelombang. Definisi masing-masing istilah tersebut digambarkan pada

Gambar 2.3.

Gambar 1.3 Sket Definisi Gelombang (Triatmodjo, 1999)

15

Beberapa notasi yang digunakan adalah:

d : jarak antara muka air rerata dan dasar laut

(kedalaman laut)

η (x,t) : fluktuasi muka air terhadap muka air diam

a : amplitudo gelombang

H : tinggi gelombang = 2 a

L : panjang gelombang

T : periode gelombang

C : kecepatan rambat gelombang = L/T

k : angka gelombang = 2π/L

σ : frekuensi gelombang = 2π/T

Sunarto (2003), mendefinisikan periode gelombang (T) ialah waktu

tempuh di antara dua puncak atau dua lembah secara berurutan pada titik

yang tetap (dalam satuan detik). Frekuensi gelombang (f) ialah banyaknya

gelombang yang terjadi dalam setiap satuan waktu (menit). Panjang

gelombang (L) ialah jarak horizontal antara dua puncak atau dua lembah

yang berurutan. Tinggi gelombang (H) ialah jarak vertikal antara puncak

gelombang dan lembah gelombang. Amplitudo gelombang (A) ialah tinggi

puncak gelombang di atas permukaan air tenang (still water level) atau

kedalaman lembah gelombang di bawah permukaan air tenang. Cepat

rambat gelombang/ celerity (C) ialah kecepatan tempuh perjalanan

gelombang tunggal pada permukaan laut. Empat diantara istilah tersebut

merupakan variabel gelombang yang dapat dijadikan sebagai dasar analisis

16

gelombang. Terdapat enam variabel gelombang yang diperlukan untuk

analisis, yaitu:

1. Periode gelombang (T)

2. Panjang gelombang (L)

3. Tinggi gelombang (H)

4. Cepat rambat gelombang tunggal (C)

5. Cepat rambat kelompok gelombang (V), dan

6. Kecuraman gelombang (S)

Gelombang yang bergerak di laut umumnya berkelompok dan cepat

rambatnya (V) lebih lambat dibandingkan gelombang tunggal (C) yaitu

setengah dari cepat rambat gelombang tunggal. Cepat rambat gelombang

tunggal di laut dalam dapat dirumuskan pada rumus (1) dan cepat rambat

gelombang tunggal di laut dangkal pada rumus (2) berikut:

C= 1,56 T.................................................................................(I.1)

C= 3,13 √d................................................................................(I.2)

dimana,

C = cepat rambat gelombang tunggal (m/detik)

T = periode gelombang (detik)

d = kedalaman dasar laut (m)

sehingga, dapat dirumuskan hubungan antara cepat rambat kelompok

gelombang (V) dan cepat rambat gelombang tunggal (C) seperti berikut:

V = C/2........................................................................................(I.3)

17

Gelombang kapiler dapat meningkat dan berubah menjadi gelombang

gravitasi jika kekuatan angin yang bertiup di muka laut kian bertambah.

Kekuatan angin yang semakin besar mengakibatkan tinggi gelombang (H)

semakin bertambah lebih cepat daripada bertambahnya panjang

gelombang (L) sehingga puncak gelombang semakin meruncing dan

gelombang pun semakin curam. Kondisi ini dinamakan kecuraman

gelombang (S = steepness). Kecuraman gelombang dapat diketahui

dengan rumus:

S = H/L.......................................................................................(I.4)

Menurut Davis (1987) dalam Rahayu (2000), pergerakan gelombang

merupakan gerakan fase atau energi gelombang, sedangkan materi atau

partikel air itu sendiri dapat dikatakan tidak berpindah dari tempatnya.

Sebagai contoh, bila sebuah pelampung dilepaskan di atas permukaan air

yang bergelombang maka akan terlihat bahwa pelampung tersebut hanya

bergerak naik turun pada area yang sangat terbatas (relatif tetap). Gerakan

pelampung membuat pola melingkar pada bidang vertikal dengan arah

perambatan gelombang. Gelombang yang datang dari laut dalam menuju

ke laut dangkal akan mengalami perubahan panjang dan tinggi. Sementara

gelombang yang datang dari laut dangkal menuju ke pantai mengalami

pecah gelombang (breakers). Gelombang yang datang dari laut dalam,

orbit partikel airnya berbentuk lingkaran sedalam L/2. Setelah mencapai

dasar laut sedalam l/2, cepat rambat gelombang bagian atas lebih tinggi

daripada cepat rambat gelombang bagian bawah karena terjadi gesekan

18

dari dasar laut. Akibatnya, panjang gelombang (L) semakin kecil,

sedangkan tinggi gelombang (T) semakin besar. Gerak orbit yang dapat

mencapai dasar perairan ini mengakibatkan bentuknya berubah semakin

pipih.

Gambar 1.4 Pola gerakan melingkar orbit gelombang (Davis, 1987

dalam Rahayu, 2000)

Gelombang yang mencapai pantai akan mengalami pecah

gelombang akibat kemiringan pantai yang menurut Gross (1990) terdapat

empat kategori, yaitu spilling, plunging, surging dan collapsing.

19

Gambar 1.5 Tipe Gelombang Pecah (Gross,1993 dalam Rahayu, 2000)

Apabila suatu gelombang bergerak menuju pantai, gelombang

tersebut akan mengalami perubahan bentuk yang disebabkan oleh proses

refraksi dan pengdangkalan (shoaling), difraksi, refleksi dan gelombang

pecah. Proses-proses tersebut akan menentukan tinggi dan bentuk garis

puncak gelombang di suatu titik di garis pantai. Refraksi gelombang

terjadi akibat pengaruh perubahan kedalaman laut. Proses ini berdampak

20

cukup besar terhadap tinggi dan arah gelombang serta distribusi energi

gelombang di sepanjang pantai. Refraksi dan pendangkalan gelombang

(wave shoaling) akan menentukan tinggi gelombang berdasarkan

karakteristik gelombang datang. Pembiasan gelombang ketika mendekati

perairan dangkal akan membelokkan gelombang sehingga sejajar terhadap

kontur kedalaman. Perubahan arah karena refraksi menghasilkan

konvergensi (penguncupan) dan divergensi (penyebaran) energi

gelombang serta mempengaruhi energi gelombang yang terjadi di suatu

pantai. Energi gelombang pun terpusat (konvergen) seperti pada timbunan

pasir lepas pantai (offshore bar), serta menyebar (divergen) pada areal

teluk yang terbuka. Pada titik konvergen, erosi gelombang akan semakin

parah, sedangkan sedimen tertranspor ke areal divergen.

1.5.4.2.Arus

Menurut Sunarto (2003), arus laut ialah aliran air laut yang

disebabkan oleh tiupan angin, pasang surut, perbedaan kepekatan air laut,

atau aliran air sungai yang bermuara di laut itu. Macam-macam arus laut

antara lain:

1. Arus temporer yang disebabkan oleh angin musim (monsun);

2. Arus periodik yang disebabkan oleh pasang surut;

3. Arus permanen yang merupakan bagian dari sirkulasi air samudra

dan disebut juga arus samudra;

21

4. Arus tepi pantai yang disebabkan oleh induksi gelombang di

sepanjang pantai.

Umumnya, arus laut yang berpengaruh terhadap dinamika pantai

dalah arus temporer, arus periodik, dan arus tepi pantai. Arus dekat pantai

(nearshore current) merupakan arus laut di sekitar pantai yang umumnya

disebabkan oleh induksi gelombang laut. Gelombang yang berasal dari

laut lepas pantai menimbulkan gerakan air laut yang mengarah ke pantai.

Gerakan ini disebut arus menuju pantai (onshore current). Arus ini

membawa sedimen dari laut menuju ke pantai serta mengendapkannya di

pantai (Duxburu dkk, 2002). Arus dekat pantai sendiri dibedakan menjadi

arus susur pantai (longshore current), arus balik (rip current), arus bawah

(undertow) dan arus putar (helical current). Arus susur pantai ialah arus

laut yang terdapat di zona empasan yang umumnya bergerak sejajar pantai

yang ditimbulkan gelombang pecah yang datang menyudut terhadap garis

pantai. Arus menyusur pantai dan sejajar pantai ini umunya merupakan

hasil gelombang yang datang pada perairan pantai yang dangkal pada

susut yang kurang dari normal terhadap garis pantai dan kontur bawah

(Snead, 1982 dalam Sunarto, 2003). Arus menyusur pantai (longshore

current) dapat ditimbulkan oleh gelombang yang pecah dengan

membentuk sudut terhadap garis pantai. Arus ini terjadi di daerah antara

gelombang pecah dan garis pantai. Parameter terpenting dalam

menentukan kecepatan arus menyusur pantai ialah tinggi gelombang dan

sudut datang gelombang (Triatmodjo, 1999).

22

Arus sepanjang pantai yang ditimbulkan oleh gelombang pecah

dengan membentuk sudut terhadap garis pantai dibangkitkan oleh

momentum yang dibawa oleh gelombang. Longuet-Higgins menurunkan

rumus untuk menghitung arus sepanjang pantai sebagai berikut:

V = 1,17 (g Hb) ½ sin αb cos αb………………………………………………. (I.5)

dimana,

V : kecepatan arus sejajar pantai

g : percepatan gravitasi

Hb : tinggi gelombang pecah

αb : sudut datang gelombang pecah

1.5.4.3.Pasang Surut

Pasang surut air laut merupakan fluktuasi ritmik muka air laut yang

diakibatkan oleh pengaruh gaya tarik benda-benda angkasa, terutama oleh

bulan dan matahari, terhadap masa air di bumi. Pengaruh gaya tarik bulan

terhadap muka air laut di bumi lebih besar 2,34 kali daripada pengaruh

gaya tarik matahari (Sunarto, 2003). Sementara benda angkasa lain dapat

diabaikan sebab jaraknya yang lebih jauh datau ukurannya lebih kecil.

Faktor non astronomi yang mempengaruhi pasut terutama pada perairan

tertutup misalnya teluk adalah bentuk garis pantai dan topografi dasar

perairan. Sunarto menjelaskan bahwa pada saat berlangsung air pasang

disebut air naik (flood tide) dan kedudukan muka air laut mencapai

puncaknya disebut air tinggi (high water. Pada saat air surut disebut air

23

turun (ebb tide) dan kedudukan muka laut mencapai titik rendahnya

disebut air rendah (low water). Beda tinggi antara air tinggi dan air rendah

disebut julat pasut atau tunggang air (tidal range).

Pasang purnama atau pasang perbani (spring tide) terjadi ketika

kedudukan bulan segaris dengan matahari, yakni pada saat bulan purnama

dan pada saat bulan mati. Pada saat pasang purnama ini terjadi julat pasut

terbesar, sehingga terjadi pula kedudukan muka laut tinggi tertinggi (higest

high water) dan kedudukan muka air laut rendah terendah (lowest low

water). Pasang mati (neap tide) terjadi seperempat bulan awal dan

seperempat bulan akhir, saat itu terjadi julat pasut terkecil.

Pola gerak muka laut akibat pasang disebabkan oleh astrodinamik

atau dinamika benda-benda angkasa, yaitu:

1. Revolusi bulan terhadap bumi selama 29,5 piantan.

2. Revolusi bumi terhadap matahari selama 365,25 piantan.

3. Rotasi bumi selama 1 piantan (24 jam atau one solar day)

Selain faktor astrodinamik, pola gerak muka laut akibat pasang

surut disebabkan pula oleh kedalaman laut (topografi dasar laut),

morfologi pantai (seperti bentuk teluk), kedudukan antar pulau (misal

lebar selat), serta faktor aerodinamik dan hidrodinamik air laut.

Aspek-aspek pasang surut yang perlu diketahui untuk memahami

dinamika pantai adalah:

24

1. Pola pasut

a. Pola pasut harian ganda;

b. Pola pasut campuran condong ke harian ganda;

c. Pola pasut campuran condong ke harian tunggal;

d. Pola pasut harian tunggal.

2. Julat pasut

a. Mikropasut dengan julat pasut < 2 m;

b. Mesopasut, dengan julat pasut 2-4 m;

c. Makropasut, dengan julat pasut > 4 m.

3. Arus pasut

1.5.5. Biotik dan Kultural (Sosekbud)

Menurut Sunarto (1991) permasalahan yang timbul di wilayah pantai

dapat dibedakan menjadi tiga kelompok. Ketiga kelompok itu adalah

permasalahan wilayah pantai yang sifatnya alami, non alami dan kombinasi

diantara keduanya. Permasalahan alami diantaranya adalah :

1. Abrasi

2. Intrusi air asin .

3. Perpindahan muara sungai.

4. Sedimentasi di muara sungai.

5. Perubahan bentuk delta.

Permasalahan non alami yaitu permasalahan yang timbul akibat

kegiatan manusia, seperti:

25

1. Penebangan hutan mangrove

2. Pembangunan dermaga

3. Perluasan areal tambak kearah laut

4. Pengambilan karang mati

5. Pencemaran

Permasalahan kombinasi antara alami dan non alami umumnya diawali

oleh permasalahan nonalami, seperti :

1. Abrasi dan akresi disekitar bangunan penahan gelombang.

2. Perubahan pola arus akibat pengembangan dermaga.

3. Subsidence dan intrusi air asin pada akuifer akibat penyerapan air

tanah yang berlebihan.

4. Pemunduran garis pantai akibat pembabatan hutan mangrove, dan

abrasi pantai akibat pengambilan karang pantai.

Mangrove adalah pohon atau perdu yang tumbuh di pantai diantara

batas-batas permukaan air pasang tertinggi dan sedikit di atas rata-rata

permukaan air laut (Hardjosentono, 1978 dalam Pariyono, 2006). Sementara

direktorat jenderal Kehutanan Departemen Pertanian (1982) mendefinisikan

hutan mangrove yaitu tumbuhan yang berkembang di daerah tropika dan

subtropika pantai diantara batas-batas permukaan air pasang dan sedikit diatas

rata-rata dari permukaan laut. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem

utama penyusun ekosistem wilayah pesisir. Hutan mangrove merupakan

formasi tumbuhan litural dengan karakteristik terdapat di daerah tropika dan

26

sub tropika, terhampar di sepanjang pantai (Manan, 1986 dalam Pariyono,

2006).

Ditinjau dari aspek sosial, ekonomi dan ekologi, hutan mangrove

merupakan sumberdaya alam daerah tropis yang memiliki manfaat ganda.

Besarnya peranan hutan mangrove atau ekosistem hutan mangrove bagi

kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan, baik yang hidup

diperairan, diatas lahan maupun ditajuk-tajuk pohon mangrove serta manusia

yang bergantung pada hutan mangrove (Naamin, 1991). Para ahli berpendapat

bahwa hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dengan fungsi

bermacam-macam, yaitu fungsi fisik, fungsi biologi dan fungsi ekonomi atau

produksi.

Menurut Pariyono (2006), fungsi fisik dari hutan mangrove atau

ekosistem mangrove, yaitu menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi

pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi pantai serta sebagai

perangkap zat-zat pencemar dan limbah. Fungsi biologi dari hutan atau

ekosistem mangrove, yaitu sebagai daerah pasca larva dan yuwana jenis-jenis

tertentu dari ikan, udang dan bangsa krustecea lainnya serta menjadi tempat

bersarangnya burung-burung dan menjadi habitat alami berbagai jenis biota.

1.6.Penelitian Sebelumnya

Rahayu (2000) mengadakan penelitian tentang kondisi gelombang dan

pengaruhnya terhadap pergerakan sedimen di perairan pantai Yogyakarta-

Cilacap pada bulan April-Mei 1999. Penelitian ini bertujuan mengetahui

27

kondisi gelombang yang terjadi di perairan Yogyakarta-Cilacap, yaitu di

Pantai Tipar, Pantai Cokroyasan, Pantai Bogowonto, Pantai Progo, dan Pantai

Opak dengan mengukur parameter Tinggi Gelombang (Hb), Periode

gelombang (T) dan arah gelombang (α). Selain juga bertujuan menganalisis

pergerakan sedimen yang diakibatkan oleh gelombang di perairan

Yogyakarta-Cilacap tersebut. Metode perolehan data dilakukan dengan

pengukuran di lapangan untuk memperoleh data tinggi gelombang pecah (Hb),

periode gelombang (T) dan arah gelombang (α). Analisis data dilakukan

secara matematis. Hasil penelitian ini diketahui bahwa pada bulan April-Mei

1999, tinggi gelombang di daerah penelitian rata-rata sebesar 162,92 cm,

mencapai maksimum 280 cm dan minimum 69 cm. Sedangkan periode

gelombang terjadi pada kisaran 10-15 detik dengan rata-rata 13,44 detik.

Panjang gelombang dari hasil penelitian diketahui berkisar 17,58 m sampai

atau 90,95 m. Gelombang pecah yang membentuk sudut terhadap garis pantai

menimbulkan limpasan energi dan berdampak pada terjadinya arus dan

transpor sedimen sepanjang pantai. Transpor sedimen di perairan Yogyakarta-

Cilacap termasuk dominan. Di Pantai Tipar terjadi sedimentasi di bagian timur

perairan sebagai akibat dari pergerakan sedimen ke arah timur dan

penambahan sedimen dari pantai cokroyasan yang bergerak ke barat. Sama

halnya dengan yang terjadi di pantai Opak, penambahan sedimen terjadi dari

Pantai Progo yang bergerak ke arah timur pantai Yogyakarta-Cilacap.

Shuhendry (2004) melakukan penelitian mengenai abrasi pantai di

wilayah pesisir Kota Bengkulu dengan menganalisis faktor penyebab dan

28

konsep penanggulangannya. Penelitian ini bertujuan menganalisis penyebab

abrasi pantai di wilayah pesisir Kota Bengkulu untuk mengetahui bagaimana

pengaruh faktor alam terhadap kerusakan pantai di wilayah tersebut.

Penelitian juga bertujuan untuk memberikan konsep tentang penanganan yang

tepat untuk penanggulangan abrasi pantai yang terjadi di wilayah tersebut.

Data-data dalam penelitian berupa data sekunder dari instansi-instansi terkait

maupun data primer yang diperoleh langsung dari kegiatan survei di lapangan.

Kegiatan survei ini dilakukan dalam bentuk pengamatan, pengukuran,

penyelidikan atau pengujian sampel yang meliputi pengukuran bathimetri dan

topografi, pasang surut, arus dan tanah. Analisis data dilakukan secara grafis,

matematis dan deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa abrasi

pantai yang terjadi di wilayah pesisir Kota Bengkulu mengakibatkan

terjadinya kemunduran garis pantai dan disisi lain juga terjadi sedimentasi.

Proses abrasi di sebagian pantai di Kota Bengkulu tergolong sangat intensif

karena proses alam dimana lereng dasar perairan relatif dangkal dengan energi

gelombang yang besar menghantam garis pantai. Proses transpor sedimen

sepanjang pantai ke arah barat laut telah menyebabkan terjadinya

pendangkalan di beberapa titik seperti pelabuhan, dan muara sungai.

Penanggulangan yang efektif di lakukan di wilayah ini dengan pembuatan

dinding penahan (revetment) karena kontribusi penyebab abrasi terbesar dari

proses fluktuasi muka air laut.

29

1.7.Kerangka pemikiran

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini didasarkan pada banyaknya

permasalahan di Wilayah Pesisir Kota Tegal selama bertahun-tahun, salah

satunya berupa erosi pantai. Dampak erosi pantai sangat dirasakan oleh

masyarakat. Kerugian yang diakibatkan oleh erosi khususnya yang terjadi di

Muarareja, Kota Tegal ini tidaklah sedikit. Selain kerusakan fisik, erosi juga

berdampak pada penurunan pendapatan para petani tambak. Jika hal ini terus

terjadi tanpa dicari solusi yang tepat, maka kerugian yang akan dialami

masyarakat semakin besar. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan solusi yang

tepat, maka perlu diketahui sebelumnya penyebab terjadinya erosi di daerah

ini.

Identifikasi penyebab erosi menjadi hal yang penting dalam upaya

pencarian solusi pengelolaan daerah pesisir yang tepat. Banyak penyebab

terjadinya erosi pantai, seperti gelombang laut, rusaknya pelindung alami

pantai, pembukaan tambak yang tidak memperhatikan kondisi dan lokasi.

Penelitian difokuskan pada penyebab terjadinya erosi dengan melihat pada

semua komponen yang mempengaruhi wilayah pesisir. Selanjutnya perlu

dilakukan pula analisis penyebab tersebut. Keduanya dilakukan untuk seluruh

komponen yang ada di wilayah pesisir, baik abiotik, biotik maupun kultural.

Sehingga, hasil identifikasi dan analisis penyebab dapat dijadikan dasar

pertimbangan pembuatan alternatif penanganan erosi pantai yang tepat.

Kerangka pemikiran dijelaskan dalam Diagram 2.6.

30

1.8.Batasan Operasional

Erosi ialah proses pindahnya atau terangkutnya tanah dari suatu tempat ke

tempat yang lainnya oleh media alam. (Arsyad, 1989)

Gambar 1.6 Diagram pemikiran

Permasalahan di kawasan pantai

Strategi pengelolaan pantai

Abiotik Biotik Kultural

Perubahan pantai (Akresi atau erosi)

Kerusakan lingkungan pantai

Dinamika Pantai

Hidrodinamik Morfodinamik Ekodinamik Antropodinamik

Gelombang laut Arus laut

Pasang surut

Erosi pantai Sedimentasi

Mangrove Pembangunan di daerah pantai /

Penggunaan lahan

Akresi G0 > 1/9, Erosi G0 < 1/18

31

Erosi Pantai adalah proses terkikisnya material penyusun pantai oleh

gelombang dan material hasil kikisan itu terangkut ke tempat lain

oleh arus. (Thornbury, 1958)

Arus laut ialah aliran air laut yang disebabkan oleh tiupan angin, pasang

surut, perbedaan kepekatan air laut, atau aliran air sungai yang

bermuara di laut itu (Sunarto, 2003).

Gelombang laut ialah bentuk permukaan laut yang berupa punggung atau

puncak gelombang dan palung atau lembah gelombang yang

mengalami perubahan oleh gerak ayunan (oscillatory wave),

akibat tiupan angin, erupsi gunungapi, gempabumi, pelongsoran

tebing/dasar laut, atau lalulintas kapal (Sunarto, 2003).

Pantai (shore) didefinisikan sebagai daerah di tepi perairan yang

dipengaruhi oleh rata-rata air surut terendah dan air pasang

tertinggi (Triatmodjo, 1999).

Pasang surut air laut ialah fluktuasi ritmik muka air laut yang diakibatkan

oleh pengaruh gaya tarik benda-benda angkasa, terutama bulan

dan matahari, terhadap massa air laut di bumi (Sunarto, 2003).

Pesisir (coast) adalah daerah darat di tepi laut yang masih mendapat

pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air

laut, dimulai dari daerah pasang tertinggi hingga daerah belakang

(Triatmodjo, 1999).

Wilayah kepesisiran ialah wilayah pertemuan antara darat dan laut, ke arah

darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air

32

yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin

laut dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut mencakup

bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang

terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar maupun

disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan

hutan dan pencemaran (Sugandhy, 1996 dalam Gunawan, 2005).