Upload
ngodien
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu permasalahan penting yang terjadi di wilayah kepesisiran
adalah erosi dan sedimentasi, begitupula halnya dengan wilayah kepesisiran
Indonesia. Erosi pantai terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara angkutan
sedimen yang keluar dari suatu bentang pantai (Diposaptono, 2001). Menurut
Diposaptono, erosi dapat terjadi karena faktor alami maupun faktor buatan.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang sebagian besar wilayahnya
berbatasan langsung dengan laut. Luas lautan di Indonesia mencapai tiga
perempat dari luas daratan. Indonesia sendiri memiliki garis pantai sepanjang
95.181 km dengan pulau berjumlah kurang dari 17.480, seperti yang diumumkan
PBB pada tahun 2008. Nilai tersebut, menempatkan Indonesia sebagai negara
dengan garis pantai terpanjang keempat di dunia, setelah Amerika, Kanada, dan
Rusia. Sekitar 60 persen dari total jumlah penduduk Indonesia tinggal di wilayah
kepesisiran. Menurut Kementrian Pekerjaan Umum (PU), dari keseluruhan garis
pantai tersebut, sebanyak 20 persen mengalami kerusakan akibat berbagai
masalah, diantaranya perubahan lingkungan dan erosi pantai (antaranews.com, 30
September 2010). Kerusakan tersebut diakibatkan oleh banyak faktor, baik alam
maupun manusia. Ulah manusia dalam hal ini diantaranya penambangan
terumbukarang, hilangnya vegetasi mangrove (hutan bakau), dan pembangunan di
kawasan pantai. Sementara faktor alam seperti karakteristik gelombang, hingga
2
perubahan iklim juga berdampak pada kerusakan kawasan pantai. Perubahan garis
pantai ini juga berdampak pada pergeseran garis perbatasan dengan negara lain.
Abrasi merupakan salah satu proses erosi pantai. CERC,1984 dalam Sofyan, dkk,
2010 menjelaskan bahwa erosi pantai adalah proses dari kerja hidraulik (kekuatan
air dalam bentuk gelombang atau arus yang mengerosi pantai) meliputi abrasi,
atrisi (pengausan partikel batuan karena penggelindingan, peloncatan dan
penggelinciran pada gisik atau pelataran pantai) dan korosi (pelarutan batuan
pantai oleh reaksi kimia air laut). Dalam penelitian ini sendiri, kajian lebih
menitikberatkan pada faktor-faktor penyebab erosi. Sementara pendeteksian erosi
dilihat dari perubahan garis pantai berdasarkan citra multitemporal.
Menurut Ongkosongo (1982), ada dua macam faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya perubahan pesisir. Pertama, faktor alami seperti
gelombang laut, arus, angin, sedimentasi, topografi pesisir dan pasang surut.
Sedangkan faktor kedua adalah faktor manusia, seperti penambangan pasir,
reklamasi pantai, dan pengrusakan vegetasi pantai. Faktor akibat manusia ini
dianggap faktor non-alami yang dapat mempercepat proses terjadinya perubahan
pesisir. Proses non-alami atau kegiatan manusia (antropogenik) yang berpotensi
menimbulkan perubahan garis pantai diantaranya adalah seperti berikut ini
(Shuhendry, 2004):
a. penambangan pasir di perairan pantai yang dapat mengakibatkan
perubahan kedalaman sehingga mengubah pola arus dan gelombang
pecah;
3
b. pembuatan bangunan yang menjorok ke laut, sehingga mengganggu
keseimbangan transpor sedimen di sepanjang pantai;
c. pengambilan pelindung pantai alami, seperti penembangan hutan
mangrove dan pengambilan terumbu karang; dan
d. pembukaan tambak-tambak yang tidak memperhatikan kondisi dan
lokasi (terutama yang dekat dengan garis pantai).
Perusakan ekologi oleh manusia yang diperparah dengan imbas cuaca
yang ekstrem mengakibatkan lebih dari 400 kilometer pesisir Indonesia di 100
lebih lokasi pada 17 provinsi terancam erosi pantai (Kompas, 30 september 2011).
Ditinjau dari aspek lain, sebagai negara kepulauan dengan wilayah pantai yang
luas, Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya alam yang potensial. Baik dari
segi biofisik maupun sosial ekonomi.
Permasalahan erosi pantai di Indonesia mencapai tahapan kritis,
mengingat kerugian yang ditimbulkan sudah sangat besar seperti banyak lahan
yang hilang, kerusakan perumahan dan fasilitas umum, hingga kerusakan tambak.
Hal ini tentu saja berdampak buruk bagi penduduk. Apabila terus dibiarkan,
kondisi pantai di Indonesia akan semakin parah sehingga kerugian yang
ditimbulkan pun akan semakin besar. Proses erosi telah mengakibatkan degradasi
lingkungan kepesisiran. Diposaptono menjelaskan bahwa erosi pantai di Indonesia
dapat diakibatkan oleh proses alami, aktivitas manusia maupun kombinasi
keduanya. Namun demikian, penyebab utamanya ialah gerakan gelombang pada
pantai terbuka. Mengingat wilayah kepesisiran merupakan wilayah yang terdiri
dari berbagai komponen, maka analisis mengenai penyebab abrasi pun dilakukan
4
dengan mempertimbangkan semua komponen yang ada wilayah tersebut, baik
abiotik, biotik maupun kultural.
1.2.Perumusan Masalah
Wilayah kepesisiran Kota Tegal merupakan salah satu wilayah di
Indonesia yang memiliki kawasan pantai. Seperti halnya kawasan pantai lain,
wilayah ini juga memiliki potensi yang dapat digali dan dimanfaatkan untuk
kesejahteraan penduduk. Sebagian besar penduduk yang mendiami kawasan
pantai bermatapencaharian sebagai nelayan, sehingga penghidupan mereka
bergantung pada kondisi perairan pantai dan keberadaan hutan mangrove, tempat
mereka mencari ikan. Namun demikian, seiring dengan kemajuan zaman dan
perkembangan di berbagai bidang, eksistensi nelayan pun mulai terancam.
Penghasilan sebagai nelayan dianggap kurang mencukupi kebutuhan hidup sehari-
hari. Akibatnya, banyak diantara mereka yang beralih menjadi petani-petani
tambak dengan orientasi ekonomi agar mampu memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia saat ini membawa
perubahan sikap dan kebiasaan para petani tambak. Mereka cenderung menjadi
eksploitatif terhadap sumberdaya alam pantai dan hutan mangrove. Salah satu
bentuk eksploitasi yang tergolong besar ialah konversi hutan mangrove menjadi
tambak. Data tahun 1984 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki mangrove
dalam kawasan hutan seluas 4,25 juta ha. Selanjutnya, berdasar hasil interpretasi
citra landsat (1992) luasnya tersisa 3,812 juta ha (Ditjen INTAG dalam Anwar,
2006). Selain itu, berdasarkan data Ditjen RRL (1999) dalam Anwar (2006), luas
hutan mangrove Indonesia tinggal 9,2 juta ha dengan 3,7 juta ha dalam kawasan
5
hutan. Ironisnya, lebih dari setengah hutan mangrove yang ada (57,6 %), ternyata
dalam kondisi rusak parah, dengan kecepatan kerusakan mencapai 530.000
ha/tahun (Anwar, 2006).
Kondisi ini juga ditemukan di kawasan Pantai Muarareja Kota Tegal.
Menurut Hanggara (2008), kerapatan mangrove di Desa Muarareja, Kecamatan
Tegal Barat Kota Tegal yang mempunyai garis pantai sekitar 12 km, hanya
terdapat 248 pohon per hektarenya atau kurang dari separuh kerapatan ideal
sebanyak 600 pohon per hektare. Padahal, hutan mangrove memiliki fungsi secara
ekologis, misalnya sebagai tempat pemijahan ikan di perairan, pelindung daratan
dari abrasi oleh ombak, pelindung daratan dari tiupan angin, penyaring intrusi air
laut ke daratan dan kandungan logam berat berbahaya, tempat singgah migrasi
burung dan sebagai habitat satwa liar serta manfaat langsung lain bagi manusia
(Anwar dan Gunawan, 2006). Hampir 30 % pantai di Kota Tegal mengalami
erosi. Sepanjang 250 meter dari total garis pantai sebesar 750 meter telah terkena
dampak erosi ini. Berkurangnya mangrove menyebabkan erosi terjadi di pantai
Kota Tegal, terutama di Desa Muarareja dan menyebabkan pantai Kota Tegal
berkurang sekitar 10 meter setiap tahunnya (Hanggara, 2008). Meskipun telah
terjadi bertahun-tahun, erosi masih terus melanda kawasan Pantai Muarareja.
Pemerintah pun telah melakukan berbagai upaya guna menangani permasalahan
ini. Meskipun sebagian besar erosi pantai lebih disebabkan oleh alam, namun
campur tangan manusia juga dapat semakin memperburuk kondisi.
Permasalahan di kawasan Pantai Muarareja berupa erosi pantai terjadi
setiap tahun dan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit. Sebab, erosi pantai
6
menyerang dan merusak tambak-tambak warga. Menurut Forum Pemberdayaan
Masyarakat Pantai (FPMP) Kota Tegal, lebar daratan pantai yang awalnya
mencapai 200 meter, tergerus ombak hingga lebih dari 100 meter dengan panjang
3 kilometer, bahkan jarak pantai dengan pemukiman hanya sekitar 30 meter pada
tahun 2006. Selama kurun waktu 19 tahun terakhir, di wilayah ini, erosi pantai
mengakibatkan sekitar 300 hektare lahan tambak hancur. Selain menyerang
tambak, erosi pantai ini bahkan telah menyerang pemukiman penduduk. Sehingga,
erosi pantai telah menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat, baik dari segi
ekonomi, sosial maupun fisik. Oleh sebab itu, diperlukan analisis mengenai faktor
penyebab terjadinya erosi pantai di wilayah ini, baik dari faktor abiotik, biotik
maupul kultural. Faktor abiotik dengan melihat proses-proses laut yang
berpengaruh disana, seperti gelombang, arus dan pasang surut. Pengaruh faktor
biotik salah satunya mangrove ataupun non mangrove. Sementara faktor kultural
berupa persepsi dan perilaku manusia yang berkaitan dengan dampak terhadap
lingkungan. Analisis diperlukan sebagai solusi dari permasalahan erosi pantai
yang telah melanda wilayah ini selama bertahun-tahun. Mengingat, dampak serta
kerugian yang ditimbulkan akibat erosi pantai tidaklah sedikit. Kajian mengenai
erosi pantai tidak hanya dengan melihat faktor yang berpengaruh, melainkan juga
dengan memberikan strategi penanganan erosi pantai yang sesuai dan dapat
diterapkan guna mengurangi dampak. Untuk itu, pertanyaan yang dijadikan dasar
dalam penelitian ini ialah sebagai berikut:
7
1. faktor-faktor apakah yang mempengaruhi terjadinya erosi pantai di
daerah penelitian?
2. bagaimanakah strategi penanganan erosi pantai yang lebih baik
diterapkan di daerah penelitian?
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1) mengkaji proses erosi pantai di daerah penelitian dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya; dan
2) merumuskan strategi penanganan erosi pantai yang tepat di daerah
penelitian.
1.4.Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini adalah memberikan pengetahuan umum
kepada masyarakat mengenai permasalahan lingkungan di kawasan pantai,
terutama tentang erosi pantai. Hasil penelitian ini juga diharapkan mampu
memberi sumbangan pemikiran serta dijadikan sebagai salah satu bahan
pertimbangan bagi instansi-instansi pemerintah dalam pengambilan keputusan
atau kebijakan pengelolaan wilayah kepesisiran serta pemecahan masalah di
kawasan pantai, terutama kaitannya dengan erosi pantai yang terjadi di
Muarareja Kota Tegal.
8
1.4.2. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
oseanografi pantai, terutama kajian mengenai hidrodinamika dan proses yang
terjadi di tepian pantai. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi informasi
dan wacana pemikiran bagi para pembaca. Sementara bagi penulis sendiri guna
memperdalam ilmu yang telah penulis peroleh, terutama tentang oseanografi.
1.5.Tinjauan Pustaka
1.5.1. Pengertian Wilayah Kepesisiran, Pesisir dan Pantai
Pesisir dan pantai dalam istilah kepantaian seringkali diartikan sama,
padahal terdapat perbedaan antara keduanya. Triatmodjo (1999)
mendefinisikan bahwa pesisir (coast) adalah daerah darat di tepi laut yang
masih mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut dan
perembesan air laut. Pantai (shore) didefinisikan sebagai daerah di tepi
perairan yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah.
Triatmodjo menjabarkan batasan-batasan definisi tentang kepantaian ini
dengan Gambar 2.1. Daerah daratan adalah daerah yang terletak di atas dan di
bawah permukaan daratan dimulai dari batas garis pasang tertinggi. Daerah
lautan adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut
dimulai dari sisi laut pada garis surut terendah, termasuk dasar laut dan bagian
bumi di bawahnya. Sementara garis batas pertemuan antara daratan dan air
laut dimana posisinya tidak tetap dan dapat berpindah sesuai dengan pasang
surut air laut dan erosi pantai yang terjadi disebut dengan garis pantai.
9
Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai
manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai. Kriteria
sempadan pantai menurut Triatmodjo adalah daratan sepanjang tepian yang
lebarnya sesuai dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 m dari
titik pasang tertinggi ke arah daratan.
Pantai dan pesisir termasuk di dalam wilayah kepesisiran (coastal
area). Wilayah ini terbentuk melalui proses yang panjang secara genetik.
Secara genetik, wilayah kepesisiran merupakan bentanglahan yang dimulai
garis batas wilayah laut (sea) yang ditandai oleh terbentuknya zona pecah
gelombang (breaker zone) ke arah darat hingga pada suatu bentang lahan yang
secara genetik pembentukannya masih dipengaruhi oleh aktivitas marin,
seperti dataran aluvial kepesisiran (coastal alluvial plain) (dirumuskan dari
konsep CERC, 1984; Pethick, 1984; dan Sunarto, 2000 dalam Gunawan,
2000).
Ditinjau dari aspek pengelolaan wilayah untuk pengendalian erosi
pantai, maka batasan wilayah pesisir ke arah darat hingga pada lahan pantai
yang diperkirakan terkena erosi. Sedangkan batas ke arah laut berupa daerah
yang terkena pengaruh distribusi sedimen akibat proses erosi yang biasanya
terdapat pada daerah pemecah gelombang (breakwater zone) terdekat garis
pantai.
1.5.2. Proses-proses di tepian pantai Gambar 1.1. Batasan pesisir dan pantai (Triatmodjo, 1999)
10
Menurut Triatmodjo (1999), pantai selalu menyesuaikan bentuk
profilnya hingga mampu menghancurkan energi gelombang yang datang.
Penyesuaian bentuk tersebut merupakan tanggapan dinamis alami pantai
terhadap laut. Terdapat dua tipe tanggapan pantai dinamis terhadap gerak
gelombang, yaitu tanggapan terhadap kondisi gelombang normal dan
tanggapan terhadap kondisi gelombang badai. Energi gelombang pada kondisi
gelombang normal dengan mudah dapat dihancurkan oleh mekanisme
pertahanan alami pantai. Kondisi ini terjadi dalam waktu yang lebih lama.
Sementara pada saat badai, energi gelombang besar, sehingga seringkali
pertahanan alami pantai tidak mampu menahan serangan gelombang ini.
Akibatnya, pantai pun tererosi. Setelah gelombang besar reda, maka pantai
akan kembali ke bentuk semula oleh pengaruh gelombang normal. Namun
demikian, ada kalanya pantai yang tererosi tidak kembali ke bentuk semula
karena material pembentuk pantai terbawa arus dan terpindahkan ke lokasi
lain, sehingga, pantai mengalami erosi. Sementara material yang terpindahkan
mengendap di daerah yang lebih tenang dan mengakibatkan sedimentasi.
Daerah tersebut misalnya muara sungai, teluk, pelabuhan, dan sebagainya.
Proses dinamis pantai sangat dipengaruhi oleh littoral transport yang
merupakan gerak sedimen di daerah dekat pantai (nearshore zone) oleh
gelombang dan arus. Littoral transport dibedakan berupa transpor sepanjang
pantai (longshore transport) dan transpor tegak lurus pantai (onshore-offshore
transport). Sementara material yang ditranspor disebut dengan littoral drift.
Suatu pantai mengalami erosi, akresi atau tetap stabil tergantung dari sedimen
11
yang masuk atau meninggalkan pantai tersebut. Erosi pantai terjadi apabila
suatu pantai mengalami kehilangan/ pengurangan sedimen. Hal ini disebabkan
karena sedimen yang terangkut lebih besar daripada sedimen yang
diendapkan. Erosi pantai yang berlebihan menjadi salah satu permasalahan
pantai. Erosi pantai disebut pula dengan erosi marin (shoreline erosion) yang
disebabkan oleh gerak air laut. Erosi marin ialah pantai yang telah mengalami
perubahan bentuk (King, 1972 dalam Sofyan, dkk, 2010). Sofyan, dkk (2010)
menjelaskan bahwa erosi pantai adalah proses dari kerja hidraulik (kekuatan
air dalam bentuk gelombang atau arus yang mengerosi pantai) meliputi abrasi,
atrisi (pengausan partikel batuan karena penggelindingan, peloncatan dan
penggelinciran pada gisik atau pelataran pantai) dan korosi ( pelarutan pantai
oleh reaksi kimia air laut).
Pada saat terjadi badai dimana gelombang besar dan elevasi muka air
diam lebih tinggi karena adanya setup gelombang dan angin, pantai dapat
mengalami erosi. Proses terjadinya erosi pantai oleh gelombang badai
ditunjukkan oleh Gambar 1.2 (CERC, 1984 dalam Triatmodjo, 1999). Gambar
1.2 (a) adalah profil pantai dengan gelombang normal yang terjadi sehari-hari.
Pada saat terjadi badai yang bersamaan dengan muka air tinggi, gelombang
mulai mengerosi dan membawa meterial ke arah laut dan kemudian
mengendap seperti ditunjukkan pada Gambar 1.2 (b). Gambar 1.2 (c) terjadi
karena gelombang badai yang berlangsung cukup lama dan semakin
mengerosi. Setelah badai reda, gelombang normal kembali. Terjadi perubahan
profil pantai selama terjadinya badai terlihat pada Gambar 1.2 (d).
12
1.5.3. Faktor-faktor penyebab erosi pantai
Secara umum dinamika yang terjadi pada wilayah pesisir dipengaruhi
oleh tiga komponen, yaitu komponen abiotik, biotik dan kultural (sosekbud).
Ketiganya tidak dapat dipisahkan dan saling berpengaruh. Masing-masing
komponen memiliki faktor yang dianggap memberikan pengaruh secara
langsung terhadap erosi pantai. Faktor yang berasal dari komponen abiotik
diantaranya gelombang yang disebabkan oleh tiupan angin, arus laut yang
terbentuk akibat pengaruh kecepatan dan arah angin serta pasang surut yang
disebabkan oleh adanya gaya tarik benda-benda angkasa.
Gambar 1.2. Proses terjadinya erosi pantai oleh gelombang badai (Triatmodjo, 1999)
13
Sedangkan faktor yang berasal dari komponen biotik ialah mangrove maupun non
mangrove. Sementara faktor yang berasal dari komponen kultural (sosekbud)
diantaranya ialah perilaku dan persepsi masyarakat yang terkait dengan
pemanfatan lahan yang tidak memperhatikan lingkungan.
1.5.4. Komponen Abiotik
1.5.4.1.Gelombang Laut
Pada dasarnya, terdapat berbagai macam gelombang di laut
yang dibedakan berdasarkan pada gaya pembangkitnya. Diantaranya ialah
gelombang angin, gelombang pasang surut, gelombang tsunami dan
sebagainya. Gelombang angin dibangkitkan oleh tiupan angin di
permukaan laut. Sedangkan gelombang pasang surut dibangkitkan oleh
gaya tarik benda-benda langit terutama matahari dan bulan terhadap bumi.
Sementara gelombang tsunami dapat terbentuk karena letusan gunung atau
gempa di laut. Meskipun demikian, secara umum, istilah gelombang
digunakan untuk merujuk pada gelombang angin. Gelombang yang
dibangkitkan oleh angin, mendominasi proses pantai. Gelombang akan
mengalami pembiasan pada saat memasuki perairan dangkal dan
umumnya lebih sejajar terhadap pantai. Pengaruh gelombang terhadap
pantai yang mungkin terjadi adalah pengendapan pasir yang menyebabkan
terjadinya penambahan pantai (akresi) serta terjadinya pengikisan pasir
atau pemindahan pasir dari pantai ke offshore yang menyebabkan erosi
(Ross, 1970 dalam rahayu, 2000). Sunarto (2003) menjelaskan bahwa
14
gelombang laut ialah bentuk permukaan laut yang berupa punggung atau
puncak gelombang dan palung atau lembah gelombang yang mengalami
perubahan oleh gerak ayunan (oscillatory wave), akibat tiupan angin,
erupsi gunungapi, gempabumi, pelongsoran tebing atau dasar laut, atau
lalulintas kapal. Gelombang dapat menimbulkan energi untuk membentuk
pantai, menimbulkan arus dan transpor sedimen dalam arah tegak lurus
dan sepanjang pantai.
Selain gelombang laut sendiri, terdapat istilah-istilah lain yang
berhubungan dengan gelombang laut yang juga perlu diketahui
definisinya, diantaranya periode, frekuensi, panjang, amplitudo dan tinggi
gelombang. Definisi masing-masing istilah tersebut digambarkan pada
Gambar 2.3.
Gambar 1.3 Sket Definisi Gelombang (Triatmodjo, 1999)
15
Beberapa notasi yang digunakan adalah:
d : jarak antara muka air rerata dan dasar laut
(kedalaman laut)
η (x,t) : fluktuasi muka air terhadap muka air diam
a : amplitudo gelombang
H : tinggi gelombang = 2 a
L : panjang gelombang
T : periode gelombang
C : kecepatan rambat gelombang = L/T
k : angka gelombang = 2π/L
σ : frekuensi gelombang = 2π/T
Sunarto (2003), mendefinisikan periode gelombang (T) ialah waktu
tempuh di antara dua puncak atau dua lembah secara berurutan pada titik
yang tetap (dalam satuan detik). Frekuensi gelombang (f) ialah banyaknya
gelombang yang terjadi dalam setiap satuan waktu (menit). Panjang
gelombang (L) ialah jarak horizontal antara dua puncak atau dua lembah
yang berurutan. Tinggi gelombang (H) ialah jarak vertikal antara puncak
gelombang dan lembah gelombang. Amplitudo gelombang (A) ialah tinggi
puncak gelombang di atas permukaan air tenang (still water level) atau
kedalaman lembah gelombang di bawah permukaan air tenang. Cepat
rambat gelombang/ celerity (C) ialah kecepatan tempuh perjalanan
gelombang tunggal pada permukaan laut. Empat diantara istilah tersebut
merupakan variabel gelombang yang dapat dijadikan sebagai dasar analisis
16
gelombang. Terdapat enam variabel gelombang yang diperlukan untuk
analisis, yaitu:
1. Periode gelombang (T)
2. Panjang gelombang (L)
3. Tinggi gelombang (H)
4. Cepat rambat gelombang tunggal (C)
5. Cepat rambat kelompok gelombang (V), dan
6. Kecuraman gelombang (S)
Gelombang yang bergerak di laut umumnya berkelompok dan cepat
rambatnya (V) lebih lambat dibandingkan gelombang tunggal (C) yaitu
setengah dari cepat rambat gelombang tunggal. Cepat rambat gelombang
tunggal di laut dalam dapat dirumuskan pada rumus (1) dan cepat rambat
gelombang tunggal di laut dangkal pada rumus (2) berikut:
C= 1,56 T.................................................................................(I.1)
C= 3,13 √d................................................................................(I.2)
dimana,
C = cepat rambat gelombang tunggal (m/detik)
T = periode gelombang (detik)
d = kedalaman dasar laut (m)
sehingga, dapat dirumuskan hubungan antara cepat rambat kelompok
gelombang (V) dan cepat rambat gelombang tunggal (C) seperti berikut:
V = C/2........................................................................................(I.3)
17
Gelombang kapiler dapat meningkat dan berubah menjadi gelombang
gravitasi jika kekuatan angin yang bertiup di muka laut kian bertambah.
Kekuatan angin yang semakin besar mengakibatkan tinggi gelombang (H)
semakin bertambah lebih cepat daripada bertambahnya panjang
gelombang (L) sehingga puncak gelombang semakin meruncing dan
gelombang pun semakin curam. Kondisi ini dinamakan kecuraman
gelombang (S = steepness). Kecuraman gelombang dapat diketahui
dengan rumus:
S = H/L.......................................................................................(I.4)
Menurut Davis (1987) dalam Rahayu (2000), pergerakan gelombang
merupakan gerakan fase atau energi gelombang, sedangkan materi atau
partikel air itu sendiri dapat dikatakan tidak berpindah dari tempatnya.
Sebagai contoh, bila sebuah pelampung dilepaskan di atas permukaan air
yang bergelombang maka akan terlihat bahwa pelampung tersebut hanya
bergerak naik turun pada area yang sangat terbatas (relatif tetap). Gerakan
pelampung membuat pola melingkar pada bidang vertikal dengan arah
perambatan gelombang. Gelombang yang datang dari laut dalam menuju
ke laut dangkal akan mengalami perubahan panjang dan tinggi. Sementara
gelombang yang datang dari laut dangkal menuju ke pantai mengalami
pecah gelombang (breakers). Gelombang yang datang dari laut dalam,
orbit partikel airnya berbentuk lingkaran sedalam L/2. Setelah mencapai
dasar laut sedalam l/2, cepat rambat gelombang bagian atas lebih tinggi
daripada cepat rambat gelombang bagian bawah karena terjadi gesekan
18
dari dasar laut. Akibatnya, panjang gelombang (L) semakin kecil,
sedangkan tinggi gelombang (T) semakin besar. Gerak orbit yang dapat
mencapai dasar perairan ini mengakibatkan bentuknya berubah semakin
pipih.
Gambar 1.4 Pola gerakan melingkar orbit gelombang (Davis, 1987
dalam Rahayu, 2000)
Gelombang yang mencapai pantai akan mengalami pecah
gelombang akibat kemiringan pantai yang menurut Gross (1990) terdapat
empat kategori, yaitu spilling, plunging, surging dan collapsing.
19
Gambar 1.5 Tipe Gelombang Pecah (Gross,1993 dalam Rahayu, 2000)
Apabila suatu gelombang bergerak menuju pantai, gelombang
tersebut akan mengalami perubahan bentuk yang disebabkan oleh proses
refraksi dan pengdangkalan (shoaling), difraksi, refleksi dan gelombang
pecah. Proses-proses tersebut akan menentukan tinggi dan bentuk garis
puncak gelombang di suatu titik di garis pantai. Refraksi gelombang
terjadi akibat pengaruh perubahan kedalaman laut. Proses ini berdampak
20
cukup besar terhadap tinggi dan arah gelombang serta distribusi energi
gelombang di sepanjang pantai. Refraksi dan pendangkalan gelombang
(wave shoaling) akan menentukan tinggi gelombang berdasarkan
karakteristik gelombang datang. Pembiasan gelombang ketika mendekati
perairan dangkal akan membelokkan gelombang sehingga sejajar terhadap
kontur kedalaman. Perubahan arah karena refraksi menghasilkan
konvergensi (penguncupan) dan divergensi (penyebaran) energi
gelombang serta mempengaruhi energi gelombang yang terjadi di suatu
pantai. Energi gelombang pun terpusat (konvergen) seperti pada timbunan
pasir lepas pantai (offshore bar), serta menyebar (divergen) pada areal
teluk yang terbuka. Pada titik konvergen, erosi gelombang akan semakin
parah, sedangkan sedimen tertranspor ke areal divergen.
1.5.4.2.Arus
Menurut Sunarto (2003), arus laut ialah aliran air laut yang
disebabkan oleh tiupan angin, pasang surut, perbedaan kepekatan air laut,
atau aliran air sungai yang bermuara di laut itu. Macam-macam arus laut
antara lain:
1. Arus temporer yang disebabkan oleh angin musim (monsun);
2. Arus periodik yang disebabkan oleh pasang surut;
3. Arus permanen yang merupakan bagian dari sirkulasi air samudra
dan disebut juga arus samudra;
21
4. Arus tepi pantai yang disebabkan oleh induksi gelombang di
sepanjang pantai.
Umumnya, arus laut yang berpengaruh terhadap dinamika pantai
dalah arus temporer, arus periodik, dan arus tepi pantai. Arus dekat pantai
(nearshore current) merupakan arus laut di sekitar pantai yang umumnya
disebabkan oleh induksi gelombang laut. Gelombang yang berasal dari
laut lepas pantai menimbulkan gerakan air laut yang mengarah ke pantai.
Gerakan ini disebut arus menuju pantai (onshore current). Arus ini
membawa sedimen dari laut menuju ke pantai serta mengendapkannya di
pantai (Duxburu dkk, 2002). Arus dekat pantai sendiri dibedakan menjadi
arus susur pantai (longshore current), arus balik (rip current), arus bawah
(undertow) dan arus putar (helical current). Arus susur pantai ialah arus
laut yang terdapat di zona empasan yang umumnya bergerak sejajar pantai
yang ditimbulkan gelombang pecah yang datang menyudut terhadap garis
pantai. Arus menyusur pantai dan sejajar pantai ini umunya merupakan
hasil gelombang yang datang pada perairan pantai yang dangkal pada
susut yang kurang dari normal terhadap garis pantai dan kontur bawah
(Snead, 1982 dalam Sunarto, 2003). Arus menyusur pantai (longshore
current) dapat ditimbulkan oleh gelombang yang pecah dengan
membentuk sudut terhadap garis pantai. Arus ini terjadi di daerah antara
gelombang pecah dan garis pantai. Parameter terpenting dalam
menentukan kecepatan arus menyusur pantai ialah tinggi gelombang dan
sudut datang gelombang (Triatmodjo, 1999).
22
Arus sepanjang pantai yang ditimbulkan oleh gelombang pecah
dengan membentuk sudut terhadap garis pantai dibangkitkan oleh
momentum yang dibawa oleh gelombang. Longuet-Higgins menurunkan
rumus untuk menghitung arus sepanjang pantai sebagai berikut:
V = 1,17 (g Hb) ½ sin αb cos αb………………………………………………. (I.5)
dimana,
V : kecepatan arus sejajar pantai
g : percepatan gravitasi
Hb : tinggi gelombang pecah
αb : sudut datang gelombang pecah
1.5.4.3.Pasang Surut
Pasang surut air laut merupakan fluktuasi ritmik muka air laut yang
diakibatkan oleh pengaruh gaya tarik benda-benda angkasa, terutama oleh
bulan dan matahari, terhadap masa air di bumi. Pengaruh gaya tarik bulan
terhadap muka air laut di bumi lebih besar 2,34 kali daripada pengaruh
gaya tarik matahari (Sunarto, 2003). Sementara benda angkasa lain dapat
diabaikan sebab jaraknya yang lebih jauh datau ukurannya lebih kecil.
Faktor non astronomi yang mempengaruhi pasut terutama pada perairan
tertutup misalnya teluk adalah bentuk garis pantai dan topografi dasar
perairan. Sunarto menjelaskan bahwa pada saat berlangsung air pasang
disebut air naik (flood tide) dan kedudukan muka air laut mencapai
puncaknya disebut air tinggi (high water. Pada saat air surut disebut air
23
turun (ebb tide) dan kedudukan muka laut mencapai titik rendahnya
disebut air rendah (low water). Beda tinggi antara air tinggi dan air rendah
disebut julat pasut atau tunggang air (tidal range).
Pasang purnama atau pasang perbani (spring tide) terjadi ketika
kedudukan bulan segaris dengan matahari, yakni pada saat bulan purnama
dan pada saat bulan mati. Pada saat pasang purnama ini terjadi julat pasut
terbesar, sehingga terjadi pula kedudukan muka laut tinggi tertinggi (higest
high water) dan kedudukan muka air laut rendah terendah (lowest low
water). Pasang mati (neap tide) terjadi seperempat bulan awal dan
seperempat bulan akhir, saat itu terjadi julat pasut terkecil.
Pola gerak muka laut akibat pasang disebabkan oleh astrodinamik
atau dinamika benda-benda angkasa, yaitu:
1. Revolusi bulan terhadap bumi selama 29,5 piantan.
2. Revolusi bumi terhadap matahari selama 365,25 piantan.
3. Rotasi bumi selama 1 piantan (24 jam atau one solar day)
Selain faktor astrodinamik, pola gerak muka laut akibat pasang
surut disebabkan pula oleh kedalaman laut (topografi dasar laut),
morfologi pantai (seperti bentuk teluk), kedudukan antar pulau (misal
lebar selat), serta faktor aerodinamik dan hidrodinamik air laut.
Aspek-aspek pasang surut yang perlu diketahui untuk memahami
dinamika pantai adalah:
24
1. Pola pasut
a. Pola pasut harian ganda;
b. Pola pasut campuran condong ke harian ganda;
c. Pola pasut campuran condong ke harian tunggal;
d. Pola pasut harian tunggal.
2. Julat pasut
a. Mikropasut dengan julat pasut < 2 m;
b. Mesopasut, dengan julat pasut 2-4 m;
c. Makropasut, dengan julat pasut > 4 m.
3. Arus pasut
1.5.5. Biotik dan Kultural (Sosekbud)
Menurut Sunarto (1991) permasalahan yang timbul di wilayah pantai
dapat dibedakan menjadi tiga kelompok. Ketiga kelompok itu adalah
permasalahan wilayah pantai yang sifatnya alami, non alami dan kombinasi
diantara keduanya. Permasalahan alami diantaranya adalah :
1. Abrasi
2. Intrusi air asin .
3. Perpindahan muara sungai.
4. Sedimentasi di muara sungai.
5. Perubahan bentuk delta.
Permasalahan non alami yaitu permasalahan yang timbul akibat
kegiatan manusia, seperti:
25
1. Penebangan hutan mangrove
2. Pembangunan dermaga
3. Perluasan areal tambak kearah laut
4. Pengambilan karang mati
5. Pencemaran
Permasalahan kombinasi antara alami dan non alami umumnya diawali
oleh permasalahan nonalami, seperti :
1. Abrasi dan akresi disekitar bangunan penahan gelombang.
2. Perubahan pola arus akibat pengembangan dermaga.
3. Subsidence dan intrusi air asin pada akuifer akibat penyerapan air
tanah yang berlebihan.
4. Pemunduran garis pantai akibat pembabatan hutan mangrove, dan
abrasi pantai akibat pengambilan karang pantai.
Mangrove adalah pohon atau perdu yang tumbuh di pantai diantara
batas-batas permukaan air pasang tertinggi dan sedikit di atas rata-rata
permukaan air laut (Hardjosentono, 1978 dalam Pariyono, 2006). Sementara
direktorat jenderal Kehutanan Departemen Pertanian (1982) mendefinisikan
hutan mangrove yaitu tumbuhan yang berkembang di daerah tropika dan
subtropika pantai diantara batas-batas permukaan air pasang dan sedikit diatas
rata-rata dari permukaan laut. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem
utama penyusun ekosistem wilayah pesisir. Hutan mangrove merupakan
formasi tumbuhan litural dengan karakteristik terdapat di daerah tropika dan
26
sub tropika, terhampar di sepanjang pantai (Manan, 1986 dalam Pariyono,
2006).
Ditinjau dari aspek sosial, ekonomi dan ekologi, hutan mangrove
merupakan sumberdaya alam daerah tropis yang memiliki manfaat ganda.
Besarnya peranan hutan mangrove atau ekosistem hutan mangrove bagi
kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan, baik yang hidup
diperairan, diatas lahan maupun ditajuk-tajuk pohon mangrove serta manusia
yang bergantung pada hutan mangrove (Naamin, 1991). Para ahli berpendapat
bahwa hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dengan fungsi
bermacam-macam, yaitu fungsi fisik, fungsi biologi dan fungsi ekonomi atau
produksi.
Menurut Pariyono (2006), fungsi fisik dari hutan mangrove atau
ekosistem mangrove, yaitu menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi
pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya erosi pantai serta sebagai
perangkap zat-zat pencemar dan limbah. Fungsi biologi dari hutan atau
ekosistem mangrove, yaitu sebagai daerah pasca larva dan yuwana jenis-jenis
tertentu dari ikan, udang dan bangsa krustecea lainnya serta menjadi tempat
bersarangnya burung-burung dan menjadi habitat alami berbagai jenis biota.
1.6.Penelitian Sebelumnya
Rahayu (2000) mengadakan penelitian tentang kondisi gelombang dan
pengaruhnya terhadap pergerakan sedimen di perairan pantai Yogyakarta-
Cilacap pada bulan April-Mei 1999. Penelitian ini bertujuan mengetahui
27
kondisi gelombang yang terjadi di perairan Yogyakarta-Cilacap, yaitu di
Pantai Tipar, Pantai Cokroyasan, Pantai Bogowonto, Pantai Progo, dan Pantai
Opak dengan mengukur parameter Tinggi Gelombang (Hb), Periode
gelombang (T) dan arah gelombang (α). Selain juga bertujuan menganalisis
pergerakan sedimen yang diakibatkan oleh gelombang di perairan
Yogyakarta-Cilacap tersebut. Metode perolehan data dilakukan dengan
pengukuran di lapangan untuk memperoleh data tinggi gelombang pecah (Hb),
periode gelombang (T) dan arah gelombang (α). Analisis data dilakukan
secara matematis. Hasil penelitian ini diketahui bahwa pada bulan April-Mei
1999, tinggi gelombang di daerah penelitian rata-rata sebesar 162,92 cm,
mencapai maksimum 280 cm dan minimum 69 cm. Sedangkan periode
gelombang terjadi pada kisaran 10-15 detik dengan rata-rata 13,44 detik.
Panjang gelombang dari hasil penelitian diketahui berkisar 17,58 m sampai
atau 90,95 m. Gelombang pecah yang membentuk sudut terhadap garis pantai
menimbulkan limpasan energi dan berdampak pada terjadinya arus dan
transpor sedimen sepanjang pantai. Transpor sedimen di perairan Yogyakarta-
Cilacap termasuk dominan. Di Pantai Tipar terjadi sedimentasi di bagian timur
perairan sebagai akibat dari pergerakan sedimen ke arah timur dan
penambahan sedimen dari pantai cokroyasan yang bergerak ke barat. Sama
halnya dengan yang terjadi di pantai Opak, penambahan sedimen terjadi dari
Pantai Progo yang bergerak ke arah timur pantai Yogyakarta-Cilacap.
Shuhendry (2004) melakukan penelitian mengenai abrasi pantai di
wilayah pesisir Kota Bengkulu dengan menganalisis faktor penyebab dan
28
konsep penanggulangannya. Penelitian ini bertujuan menganalisis penyebab
abrasi pantai di wilayah pesisir Kota Bengkulu untuk mengetahui bagaimana
pengaruh faktor alam terhadap kerusakan pantai di wilayah tersebut.
Penelitian juga bertujuan untuk memberikan konsep tentang penanganan yang
tepat untuk penanggulangan abrasi pantai yang terjadi di wilayah tersebut.
Data-data dalam penelitian berupa data sekunder dari instansi-instansi terkait
maupun data primer yang diperoleh langsung dari kegiatan survei di lapangan.
Kegiatan survei ini dilakukan dalam bentuk pengamatan, pengukuran,
penyelidikan atau pengujian sampel yang meliputi pengukuran bathimetri dan
topografi, pasang surut, arus dan tanah. Analisis data dilakukan secara grafis,
matematis dan deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa abrasi
pantai yang terjadi di wilayah pesisir Kota Bengkulu mengakibatkan
terjadinya kemunduran garis pantai dan disisi lain juga terjadi sedimentasi.
Proses abrasi di sebagian pantai di Kota Bengkulu tergolong sangat intensif
karena proses alam dimana lereng dasar perairan relatif dangkal dengan energi
gelombang yang besar menghantam garis pantai. Proses transpor sedimen
sepanjang pantai ke arah barat laut telah menyebabkan terjadinya
pendangkalan di beberapa titik seperti pelabuhan, dan muara sungai.
Penanggulangan yang efektif di lakukan di wilayah ini dengan pembuatan
dinding penahan (revetment) karena kontribusi penyebab abrasi terbesar dari
proses fluktuasi muka air laut.
29
1.7.Kerangka pemikiran
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini didasarkan pada banyaknya
permasalahan di Wilayah Pesisir Kota Tegal selama bertahun-tahun, salah
satunya berupa erosi pantai. Dampak erosi pantai sangat dirasakan oleh
masyarakat. Kerugian yang diakibatkan oleh erosi khususnya yang terjadi di
Muarareja, Kota Tegal ini tidaklah sedikit. Selain kerusakan fisik, erosi juga
berdampak pada penurunan pendapatan para petani tambak. Jika hal ini terus
terjadi tanpa dicari solusi yang tepat, maka kerugian yang akan dialami
masyarakat semakin besar. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan solusi yang
tepat, maka perlu diketahui sebelumnya penyebab terjadinya erosi di daerah
ini.
Identifikasi penyebab erosi menjadi hal yang penting dalam upaya
pencarian solusi pengelolaan daerah pesisir yang tepat. Banyak penyebab
terjadinya erosi pantai, seperti gelombang laut, rusaknya pelindung alami
pantai, pembukaan tambak yang tidak memperhatikan kondisi dan lokasi.
Penelitian difokuskan pada penyebab terjadinya erosi dengan melihat pada
semua komponen yang mempengaruhi wilayah pesisir. Selanjutnya perlu
dilakukan pula analisis penyebab tersebut. Keduanya dilakukan untuk seluruh
komponen yang ada di wilayah pesisir, baik abiotik, biotik maupun kultural.
Sehingga, hasil identifikasi dan analisis penyebab dapat dijadikan dasar
pertimbangan pembuatan alternatif penanganan erosi pantai yang tepat.
Kerangka pemikiran dijelaskan dalam Diagram 2.6.
30
1.8.Batasan Operasional
Erosi ialah proses pindahnya atau terangkutnya tanah dari suatu tempat ke
tempat yang lainnya oleh media alam. (Arsyad, 1989)
Gambar 1.6 Diagram pemikiran
Permasalahan di kawasan pantai
Strategi pengelolaan pantai
Abiotik Biotik Kultural
Perubahan pantai (Akresi atau erosi)
Kerusakan lingkungan pantai
Dinamika Pantai
Hidrodinamik Morfodinamik Ekodinamik Antropodinamik
Gelombang laut Arus laut
Pasang surut
Erosi pantai Sedimentasi
Mangrove Pembangunan di daerah pantai /
Penggunaan lahan
Akresi G0 > 1/9, Erosi G0 < 1/18
31
Erosi Pantai adalah proses terkikisnya material penyusun pantai oleh
gelombang dan material hasil kikisan itu terangkut ke tempat lain
oleh arus. (Thornbury, 1958)
Arus laut ialah aliran air laut yang disebabkan oleh tiupan angin, pasang
surut, perbedaan kepekatan air laut, atau aliran air sungai yang
bermuara di laut itu (Sunarto, 2003).
Gelombang laut ialah bentuk permukaan laut yang berupa punggung atau
puncak gelombang dan palung atau lembah gelombang yang
mengalami perubahan oleh gerak ayunan (oscillatory wave),
akibat tiupan angin, erupsi gunungapi, gempabumi, pelongsoran
tebing/dasar laut, atau lalulintas kapal (Sunarto, 2003).
Pantai (shore) didefinisikan sebagai daerah di tepi perairan yang
dipengaruhi oleh rata-rata air surut terendah dan air pasang
tertinggi (Triatmodjo, 1999).
Pasang surut air laut ialah fluktuasi ritmik muka air laut yang diakibatkan
oleh pengaruh gaya tarik benda-benda angkasa, terutama bulan
dan matahari, terhadap massa air laut di bumi (Sunarto, 2003).
Pesisir (coast) adalah daerah darat di tepi laut yang masih mendapat
pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air
laut, dimulai dari daerah pasang tertinggi hingga daerah belakang
(Triatmodjo, 1999).
Wilayah kepesisiran ialah wilayah pertemuan antara darat dan laut, ke arah
darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air
32
yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin
laut dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut mencakup
bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang
terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar maupun
disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan
hutan dan pencemaran (Sugandhy, 1996 dalam Gunawan, 2005).