20
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan bantuan menjadi salah satu kebijakan pembangunan yang masih terus dilaksanakan hingga kini. Meski demikian, evolusi atas gagasan dan praktek pembangunan telah mempengaruhi struktur bantuan internasional, sehingga kebijakan bantuan terus mengalami transformasi baik dalam aspek distribusi, orientasi maupun motif. 1 Transformasi paling subtantif dalam kebijakan bantuan adalah konsepsi mengenai bentuk kebijakan yang dinilai sebagai Official Development Assistance (ODA) atau bantuan pembangunan dan bukan ODA. 2 Ini berimplikasi pada keseluruhan kebijakan bantuan yang telah ada sebelumnya. Di tahun 1970 hingga 1980an bentuk bantuan yang pada tahun 2005 dianggap ODA, malah dianggap bukan merupakan ODA. 3 Berdasarkan dokumen Organization on Economic Cooperation and Development (OECD), ODA atau bantuan pembangunan memiliki bentuk sendiri (lihat lampiran). 4 Bukan hanya mengenai perubahan dalam konsepsi bantuan pembangunan, pola kebijakan bantuan pembangunan oleh tiap-tiap negara donor juga mengalami transformasi dan membentuk karakteristiknya sendiri. Negara negara Eropa seperti Jerman dan Perancis misalnya menjadi negara donor dengan jumlah ODA terbesar 1 Makna transformasi dalam tesis ini dimaksudkan sebagai perubahan ODA berdasarkan rupa yakni bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 2 Istilah Official Development Assistance (ODA) akan digunakan bergantian dengan kata bantuan. Dalam tulisan ini, keduanya memiliki makna yang sama. 3 IDA, 2007, “Aid Architecture: An Overview Of The Main Trends In Official Development Assistance Flow”, disampaikan pada International Development Association Resource Mobilization (FRM) Februari 2007, Hal.32 4 Konsepsi bantuan tersebut kemudian mengalami perubahan setelah negara-negara OECD menyepakati bahwa bantuan pembangunan (ODA) berbeda dari sekedar pinjaman atau pun hibah. Ini sebab ODA terdiri dari hibah dan pinjaman sekaligus, adapun bentuk pinjamannya bersifat lunak dibandingkan pinjaman dari lembaga internasional lainnya, dikutip Dari Ausaid, 2008, ” Is It Oda?”, Facsheet September 2008, Canberra:Ausaid, Hal.1.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69338/potongan/S2-2014... · bilateral yang unik’ yang tercatat sebagai sejarah pemberian ODA terbesar yang

  • Upload
    lamnhan

  • View
    216

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebijakan bantuan menjadi salah satu kebijakan pembangunan yang masih

terus dilaksanakan hingga kini. Meski demikian, evolusi atas gagasan dan praktek

pembangunan telah mempengaruhi struktur bantuan internasional, sehingga kebijakan

bantuan terus mengalami transformasi baik dalam aspek distribusi, orientasi maupun

motif.1 Transformasi paling subtantif dalam kebijakan bantuan adalah konsepsi

mengenai bentuk kebijakan yang dinilai sebagai Official Development Assistance

(ODA) atau bantuan pembangunan dan bukan ODA.2 Ini berimplikasi pada

keseluruhan kebijakan bantuan yang telah ada sebelumnya. Di tahun 1970 hingga

1980an bentuk bantuan yang pada tahun 2005 dianggap ODA, malah dianggap bukan

merupakan ODA.3 Berdasarkan dokumen Organization on Economic Cooperation

and Development (OECD), ODA atau bantuan pembangunan memiliki bentuk sendiri

(lihat lampiran).4

Bukan hanya mengenai perubahan dalam konsepsi bantuan pembangunan,

pola kebijakan bantuan pembangunan oleh tiap-tiap negara donor juga mengalami

transformasi dan membentuk karakteristiknya sendiri. Negara – negara Eropa seperti

Jerman dan Perancis misalnya menjadi negara donor dengan jumlah ODA terbesar

1 Makna transformasi dalam tesis ini dimaksudkan sebagai perubahan ODA berdasarkan rupa yakni

bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 2 Istilah Official Development Assistance (ODA) akan digunakan bergantian dengan kata bantuan.

Dalam tulisan ini, keduanya memiliki makna yang sama. 3 IDA, 2007, “Aid Architecture: An Overview Of The Main Trends In Official Development

Assistance Flow”, disampaikan pada International Development Association Resource Mobilization

(FRM) Februari 2007, Hal.32 4 Konsepsi bantuan tersebut kemudian mengalami perubahan setelah negara-negara OECD

menyepakati bahwa bantuan pembangunan (ODA) berbeda dari sekedar pinjaman atau pun hibah. Ini

sebab ODA terdiri dari hibah dan pinjaman sekaligus, adapun bentuk pinjamannya bersifat lunak

dibandingkan pinjaman dari lembaga internasional lainnya, dikutip Dari Ausaid, 2008, ” Is It Oda?”,

Facsheet September 2008, Canberra:Ausaid, Hal.1.

2

saat ini.5 Sejalan dengan Eropa, Amerika Serikat masih terus meningkatkan anggaran

bantuannya. Paling tidak, AS menghabiskan 21,75 juta dollar AS dengan alokasi

paling besar berada di kawasan Timur Tengah. Ini berdasarkan pernyataan dari AS

sendiri bahwa bantuan mereka digunakan sebagai respon terhadap peristiwa 11

September yang telah mengganggu stabilitas negara tersebut. Lain halnya dengan

Jepang yang sebelumnya menjadi pemain utama dalam distribusi ODA6, sebaliknya

lambat laun memilih untuk memperkecil kuantitas bantuannya dan melakukan revisi

terhadap Pedoman ODA negara tersebut pada tahun 2003 yang mempengaruhi

kebijakan Jepang secara keseluruhan.7 Data OECD menyebutkan bahwa Jepang

melakukan pemotongan terhadap volume ODA-nya hingga mencapai 40 persen

selama sepuluh tahun sejak tahun 1998.8

Berbagai fenomena yang digambarkan di atas menggambarkan realita

transformasi pola kebijakan bantuan pembangunan. Di lain pihak, bukan hanya negara-

negara Eropa, Amerika Serikat, Jepang maupun Cina yang mengalami transformasi

tersebut. Australia sebagai salah satu negara Development Assistance Committee

(DAC) juga mengalami transformasi yang serupa. Sayangnya, transformasi ODA

Australia jarang menjadi objek kajian meskipun negara tersebut sebenarnya memainkan

peran penting sebagai negara donor di kawasan Asia. Sebagai negara donor terbesar dan

berada di lingkup kawasan Asia sendiri, Australia memberikan ODA dalam berbagai

sektor seperti pendidikan, infrastuktur, penanggulangan kemiskinan, perlindungan sosial

dan pengelolaan ekonomi.9 Australia juga secara rutin mengeluarkan dokumen berisi

5 Minoru Makishima dan Mitsunori Yokoyama, 2012, “Japan’s ODA To Mekong River Basin

Countries”, Chiba: Institute of Developing Economies Hal.165 6 Pada tahun 1978 Jepang menjadi donor terbesar kedua dan terbesar pertama di dunia pada tahun

1989. Dikutip dari IDA, Op.Cit, Hal.27 7 Kazuo Sunaga, 2004, “The Reshaping Of Japan's Official Development Assistance (ODA) Charter,

Discussion Paper On Development Assistance November 2004 No. 3, Tokyo: FASID. Hal.5 8 Minoru Makishima dan Mitsunori Yokoyama, Op.Cit, Hal.162

9 Charles Tapp, 2011, “Study of Australia’s Approach to Aid in Indonesia: Final Report”, A Report to

the Panel Conducting the Independent Review of Aid Effectiveness, Washington DC: Commonwelath

of Australia, Hal.5

3

rencana dan evaluasi mengenai bantuan pembangunannya melalui berbagai dokumen

yang menjadi pedoman kebijakan negara tersebut dalam pemberian ODA.10

Hal menarik kemudian adalah Australia memiliki pola tersendiri dalam

kebijakan bantuannya yang terbangun melalui perjalanan panjang negara tersebut

sebagai negara anggota DAC. Selama ini, Australia telah menjadi donor bagi belasan

negara terutama negara – negara di Asia Tenggara, Pasifik, dan Afrika. Data terbaru

menyebutkan bahwa jumlah ODA Australia mencapai 4799 milliar U$ atau 0,35 % dari

dari GNI Australia.11

Meskipun jumlah tersebut bukanlah jumlah tertinggi jika

dibandingkan dengan negara DAC lainnya. Komitmen Australia terhadap Paris

Declaration on Aid Effectiveness dapat dilihat dari sektor ODA yang semula hanya

960 milliar dolar AS pada periode 1998 menjadi 1219 milliar dolar AS pada 2003.12

Begitupula dengan negara jumlah resipen yang terus bertambah dan meluas

secara regional. Dari yang semula Australia hanya memberikan kepada enam

kawasan termasuk Afrika, Latin Amerika dan Eropa pada tahun 1999 lalu bertambah

menjadi tujuh dengan penambahan pada wilayah yang dikategorikan tidak tentu

dengan jumlah yang lebih besar dari sebelumnya.13

Di antara kawasan – kawasan

tersebut, kawasan Pasifik sebelumnya menjadi kawasan yang paling besar

memperoleh alokasi ODA Australia. Namun, sejak tahun 2005, situasi tersebut

berubah ketika Asia Tenggara menggantikan posisi Pasifik menjadi kawasan dengan

jumlah alokasi ODA terbesar.14

Untuk kawasan Asia Tenggara sejak 2006 berdasarkan White Paper on the

Australian Government’s Overseas Aid Program diungkapkan bahwa Sub Wilayah

Mekong menjadi area penting dalam kerangka program ODA Australia di tahun-

10

Paling tidak terdapat lima dokumen yang dibuat khusus sebagai perencanaan dan evaluasi ODA

Australia yakni Report Of The Committee To Review The Australian Overseas Aid Program

1984, One Clear Objective: Poverty Reduction Through Sustainable Development 1997 ,

Australian Aid: Promoting Growth And Stability 2006, Budget: Australia's International

Development Assistance Program 2011‐2012, dan Aid Strategies 2012. 11

OECD, 2011, “Tabel Net ODA DAC And Other OECD Member In 2011”,

www.oecd.org/dac/stats/50060310.pdf diakses 27 Maret 2013 Pukul 9:45. 12

Ausaid, 2000b, DAC Peer Review Australia, Canberra:Ausaid, Hal. II.6 dan Ausaid, 2005, DAC

Peer Review Australia, Canberra:Ausaid, Hal. 6 13

OECD. Ibid. 14

Satish Chand, 2011, ‘Who Receives Australian Aid And Why?’ Discussion Paper 6 Juni 2011,

Canberra:Development Policy Center, Hal. 5

4

tahun berikutnya. Ini digejawantahkan dalam aliran ODA sebesar 40 milliar dolar AS

per tahun dengan kerja sama antara Ausaid dengan Asian Development Bank (ADB)

dalam sebuah program bernama Great Mekong Subregion (GMS) sejak tahun 2005.15

Tidak jauh berbeda dengan bantuan pembangunannya bagi Sub Wilayah

Mekong, Australia pada saat yang sama menaruh perhatian besar terhadap Indonesia.

Negara tersebut menyebut kebijakan ODA-nya untuk Indonesia sebagai ‘kemitraan

bilateral yang unik’ yang tercatat sebagai sejarah pemberian ODA terbesar yang

pernah diberikan Australia senilai lebih dari 1,8 juta dollar AS.16

Sedangkan secara

keseluruhan, Australia telah meningkatkan jumlah ODA untuk Indonesia dari

sebelumnya yang hanya 120 milliar Dolar AS di tahun 2003 menjadi 450 milliar Dolar

AS di tahun 2010.17

Hal ini menempatkan Indonesia dan Sub Mekong khususnya dan

kawasan Asia Tenggara umumnya sebagai wilayah yang memperoleh volume ODA

terbesar. Ini sebab, negara-negara di Asia Tenggara mayoritas memiliki jumlah rakyat

miskin yang cukup besar meskipun pada umumnya mereka telah dikategorikan sebagi

negara berkembang. Tercatat misalnya jumlah rakyat miskin Indonesia mencapai 21

persen atau senilai dengan 47 juta orang. Rakyat miskin tersebut terutama hidup di

daerah terpencil seperti kawasan Timur Indonesia.18

Berangkat dari fakta sebelumnya, ODA dipandang sebagai kebijakan yang

sangat berkontribusi terhadap pembangunan negara-negara di Asia Tenggara.19

Keterlibatan Australia dalam memberikan bantuan pembangunan yang cukup

signifikan di kawasan tersebut tentu tidak mungkin dilepaskan dari transformasi

kebijakan bantuan yang terjadi. Selain itu, memahami transformasi kebijakan bantuan

pembangunan Australia dengan membatasi permasalahan khusus di Asia Tenggara,

15

Lindsay Soutar, 2006, “An Update On Australian Development Assistance In The Mekong

Region”, Mekong Brief Number 4 November .Sydney: Australian Mekong Resource Centre, Hal.2. 16

Reality Of Aid Organization, “The Reality Of Aid Asia-Pacific Edition”,

http://www.realityofaid.org/userfiles/roareports/roareport_fada78686d.pdf diakses 5 Maret 2013 Pukul

13:52, Hal.87 17

Charles Tapp. Op.Cit. Hal.5 18

Ukuran tingkat kemiskinan menggunakan batasan pendapatan tahun 2005 yakni 1, 25 dollar AS per

hari berdasarkan ukuran OECD. Lihat Mark Baird, 2009,” Service Delivery For The Poor Lessons

From Recent Evaluations Of Australian Aid November 2009”, Canberra:Ausaid, Hal.4 19

OECD, Loc.Cit.

5

akan memberikan gambaran yang lebih jelas terutama karena kawasan tersebut

memiliki kedekatan geografis dengan Australia selain kawasan Pasifik tentunya.

Pada akhirnya, meskipun kebijakan bantuan bukan lagi menjadi hal baru

namun perubahan signifikan dalam pola dan mekanismenya terutama alokasi, prioritas

serta strategi negara donor dan negara resipen membawa implikasi yang tidak bisa

dipandang sebelah mata terhadap hubungan internasional dewasa ini. Kenyataannya

sejak Marshall Plan di tahun 1940an, kebijakan bantuan masih terus diambil oleh

negara-negara maju kepada negara berkembang dan begitu pula sebaliknya, negara

berkembang masih saja menerima bantuan dari negara-negara maju. Untuk itulah

pola kebijakan ODA menjadi titik penting dari keseluruhan kerangka bantuan untuk

mengarahkan kita pada penjelasan mengenai latar belakang transformasi kebijakan

ODA sebagai implikasi dari perubahan identitas negara donor.

Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian ini berusaha mengetahui penyebab

terjadinya transformasi pada pola ODA Australia. Berbeda dari kajian mengenai ODA

yang telah ada dan seringkali berkutat pada efektivitas kebijakan bantuan, penelitian ini

berfokus pada persoalan transformasi pola kebijakan bantuan. Australia dipandang

penting oleh penulis, karena selain merupakan salah satu aktor utama dalam pemberian

bantuan di kawasan Asia Pasifik, Australia juga merupakan salah satu dalam lingkup

internasional negara anggota DAC yang merupakan ‘klub’ negara-negara donor

internasional.

B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari landasan mengenai transformasi kebijakan bantuan yang

terjadi pada berbagai negara dan argumentasi penulis di awal berkaitan dengan

distribusi dan orientasi bantuan pembangunan Australia, maka penelitian ini berusaha

untuk menjawab problematika utama mengenai dalam kondisi bagaimana kebijakan

ODA Australia di Asia Tenggara bersifat altruistik dan dalam kondisi bagaimana

kebijakan tersebut bersifat strategis? dan mengapa transformasi kebijakan ODA

tersebut terjadi?

6

C. Alasan Penelitian

Kajian bantuan merupakan salah satu kajian ekonomi politik yang populer,

terutama karena baik dalam segi perdebatan teoritis maupun segi praktis, kajian bantuan

masih terus berlangsung. Untuk itu, alasan utama yang mendorong pemilihan topik

bantuan tidak lepas dari alasan teoritik dan praktis.

Dalam hal teoritik, penelitian ini berusaha menjelaskan dan menguji secara

komprehensif tranformasi pola bantuan luar negeri dalam hal ini ODA yang diberikan

oleh Australia di kawasan Asia Tenggara. Jika selama ini ODA dipandang sebagai

salah satu instrumen meraih kepentingan nasional dalam pandangan realis atau bagian

dari kerja sama internasional oleh kaum liberal, bagaimanakah transformasi pola yang

terjadi dalam distribusi dan orientasinya dijelaskan melalui perspektif yang lain.

Penelitian ini berfokus kepada perspektif konstruktivisme yang difokuskan penulis pada

perubahan identitas Australia.

Adapun dari sisi praktis, penelitian ini berusaha untuk memberi alternatif

kebijakan luar negeri bagi Australia maupun negara-negara Asia Tenggara terutama

terkait kebijakan ODA. Jika selama ini kebijakan ODA dilakukan berlandaskan dua

pandangan yang saling tarik menarik oleh kaum konservatif dan kaum liberal di

dalam negeri Australia mengenai fungsi ODA sebagai instrumen strategis atau

sebaliknya sebagai bagian dari sisi altruistik negara semata, maka melalui penelitian

ini perdebatan itu akan dibawa ke ranah yang lebih luas mengenai identitas Australia

di Asia Tenggara dan intersubjektivitas internasional yang melingkupinya.

D. Reviu Literatur

Ada berbagai macam kajian mengenai kebijakan bantuan luar negeri yang

juga membahas berbagai macam bentuk bantuan dan menggunakan berbagai

perspektif. Secara umum, kajian bantuan masih mengalami perdebatan. Perdebatan

tersebut terutama terkait oleh mereka yang mendukung kebijakan bantuan dan

mereka yang mengkritisi kebijakan tersebut. Setiap posisi didukung oleh fakta dan

argumentasi tersendiri.

7

Pihak yang sepakat bahwa kebijakan bantuan telah memberikan keuntungan

dan dampak yang besar terhadap pembangunan terutama membuktikan bahwa

bantuan berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi seperti Hansen dan Tarp,

Roodman, serta Dalgaard dkk meskipun faktor lain juga turut menentukan

keberhasilan pembangunan.20

Ridell juga melihat bahwa bantuan telah bekerja

dengan baik dalam mengatasi permasalahan pembangunan21

sejalan dengan Sachs22

dan Pogge23

yang mendukung efektivitas bantuan dalam proses pembangunan

terutama dalam konteks pembangunan manusia.

Di posisi berbeda ada berbagai kritik yang memandang bahwa bantuan tidak

menunjukkan dampak positif. Hal ini sebab ada berbagai latar belakang yang

mendasarinya, baik itu oleh ketidakefektifan pemberian bantuan seperti yang

diungkapkan Browne24

maupun yang lebih tajam dalam melihat bahwa bantuan

selama ini tidak menjadi solusi pembangunan. Faktanya adalah bantuan

pembangunan menjadi masalah pembangunan itu sendiri. Oleh Moyo, bantuan ini

dianggap sebagai ‘dead aid’.25

Sejalan dengan itu, Easterly berargumen bahwa

bantuan tidak diberikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat miskin namun sesuai

dengan kebutuhan pemerintah.26

Merujuk kepada perdebatan besar tersebut, pada penelitian ini penulis akan

lebih spesifik membahas mengenai transformasi kebijakan bantuan Australia.

Sayangnya, kajian mengenai transformasi dan pola bantuan Australia belum banyak

diteliti. Kecenderungan berbagai kajian mengenai transformasi ODA Australia lebih

banyak berkutat pada level efektivitas kebijakannya. Meski demikian, ada beberapa

20

S. Howes, ‘An Overview Of Aid Effectiveness Determinants And Strategies’, Discussion Papers

Development Policy Centre, Crawford School Of Economics And Government, 2011, Hal.8. 21

Rodell C.Riddle, 2014, “Does Foreign Really Work”, Keynote dalam

Australasian Aid and International Development Workshop, Canberra 13 Februari 2014. 22

Jeffrey Sachs, 2005, The End Of Poverty: Economic Possibilities For Our Time,NY: Penguin Press. 23

Thomas W.Pogge, 2002,World Poverty and Human Rights: Cosmopolitan Responsibilities and

Reforms, Cambridge: Polity Press 24

Stephen Browne, 2006, Aid and influence: Do Donors Help or Hinder? , London: Earthscan. 25

Dambisa Moyo, 2009, Dead Aid: Why Aid Is Not Working and how there is a Better Way for

Africa, New York: Farrar, Straus and Giroux. 26

William Easterly, 2003, “Can Foreign Aid Buy Growth?”, Journal of Economic Perspectives , 17

(3), 23-48.

8

tulisan yang dapat dijadikan sebagai landasan awal dalam meneliti mengenai

transformasi ODA Australia.

Tulisan tersebut mencakup dua pandangan berbeda. Pada pandangan pertama,

melihat bahwa ODA Australia didasari oleh motif yang sejalan antara kemanusiaan,

strategi dan komersial dan berbentuk multilateral seperti yang diungkapkan Jackson

Commitee.27

Sedangkan pandangan kedua yang diyakini oleh Simons Commitee28

mengungkapkan bahwa bantuan pembangunan Australia didasari hanya oleh alasan

politis dan lebih dominan diberikan dalam bentuk kerjasama bilateral.

Pada mereka yang sepakat dengan pandangan pertama, bantuan Australia

dianggap memiliki peran penting dalam membantu pembangunan di negara dan

kawasan miskin. Oleh karena itu, bantuan Australia diambil melalui pendekatan

kemitraan penuh untuk meningkatkan efektivitasnya sehingga terus berkelanjutan.29

Melalui pendekatan tersebut, bantuan Australia membangun jaringan dengan pihak-

pihak yang berada di negara penerima dengan menekankan pada hubungan individu

ke individu.30

Pembangunan dalam pandangan ini adalah proses memanusiakan

manusia dan oleh sebab itu bantuan ditujukan bagi kehidupan individu dengan tujuan

memberantas kemiskinan.Upaya yang dilakukan kemudian adalah melakukan transfer

sumber daya yang menciptakan keuntungan bersama. Sehingga, bantuan haruslah

dirancang dan diimplementasikan sepenuhnya untuk masyarakat dan menekankan

keterlibatan mereka termasuk bagi kaum perempuan.31

Pandangan kedua memandang dari sisi yang berbeda. Bantuan merupakan

instrumen yang digunakan untuk mendukung reformasi kebijakan dan institusi di

negara berkembang. Ini disebabkan karena bantuan secara alamiah mengandung

muatan ‘hadiah’. Makna hadiah disini dimaknai secara antropologikal, bahwa

bagaimanapun bentuk bantuan baik dalam istilah kemitraan maupun kerja sama,

27

Jackson Committee, 1985, The Jackson Report on Australia's Overseas Aid Program, Canberra:

Ausaid. 28

Simmons Committee, 1997, “One Clear Objective: Poverty Reduction Through Sustainable

Development”, Report of the Committee of Review April 1997, Canberra: Ausaid. 29

Australian Development Studies Network, 1997, “New Directions For Australian Aid Delivery”,

Developmnet Buletin Vol 43 Oktober 1997,Canberra: ADSN,Hal.17 30

Australian Development Studies Network, Ibid, Hal.19 31

Australian Development Studies Network, Loc.Cit.

9

bantuan memberi batasan antara siapa yang memberi dan siapa yang menerima.

Sehingga, tercipta pola hubungan superioritas. Bantuan bilateral terutama di Pasifik

layak dimaknai sebagai sistem pertukaran oleh negara donor yang juga meminta

dukungan kepentingan geopolitik dan ekonomi. Di saat yang sama, negara penerima

diuntungkan karena negara donor dalam hal ini adalah - Australia dan Selandia Baru

berlomba untuk memberikan hadiah kepada mereka yang untuk memperoleh posisi

donor patron di kawasan.32

Sayangnya, kedua pandangan sebelumnya belum cukup komprehensif dan

holistik dalam menjelaskan bantuan pembangunan Australia. Keduanya belum

mencakup tren kebijakan bantuan yang terjadi dewasa ini. Perubahan struktur

internasional dan interaksi yang dibangun Australia termasuk identitas dan

tindakannya terkait bantuan pembangunan hanya dimaknai dari satu sisi - bentuk

material dari dorongan kepentingan nasional atau kerja sama. Selain juga bahwa

keduanya meneliti pada konteks periode yang berbeda-beda. Transformasi bantuan

pembangunan Australia akan nampak jelas ketika pola bantuan tersebut dikaji dengan

melihat gambaran besarnya.

Dalam mengkaji tersebutlah digunakan indikator untuk melihat karakteristik

bantuan Australia berdasarkan motif altruistik dan strategis. Indikator tersebut

digunakan dengan merujuk kepada penelitian Riddle bahwa negara yang

menargetkan bantuannya untuk pengentasan kemiskinan dianggap sebagai negara

yang kebijakan bantuannya bersifat altruistik. Sebaliknya yang memiliki tujuan utama

selain pengentasan kemiskinan dianggap sebagai negara dengan kebijakan strategis.33

Lebih jauh, Stroke menilai bahwa kebijakan bantuan altruistik didorong

oleh alasan solidaritas seperti yang dilakukan oleh Swedia.34

Banyak kajian yang

berpandangan optimistik terhadap kebijakan bantuan altruistik, terutama karena

dianggap mengurangi kemiskinan di negara-negara miskin dan berkembang yang

32

Australian Development Studies Network,Op.Cit, Hal.9 33

Andreas Holmedahl Hvidsten,2010, “Aid Commitments and Strategic Behavior”, Tesis, Hal.6.Lihat

Roger Ridlle, 2007, Does Foreign Aid Really Work? ,Oxford University Press: New York. 34

Muhindo Mughanda, 2010, “Inquiry On Self-Interested Foreign Aid: Insights From The ODA-

Migrations Link In SSA Countries”, African Journal of Political Science and International Relations

Vol. 5(4), pp. 164-173, April 2011,Hal.165

10

menjadi negara penerima dan meningkatkan pembangunan ekonomi mereka.35

Oleh

karena itu, indikator kebijakan altruistik dalam hal alokasi dapat dilihat dari siapa

negara penerimanya. Negara-negara penerima haruslah adalah negara – negara

dengan pendapatan nasional yang rendah.36

Di sisi lain, sejalan dengan Stone (2008), Kilby (2009) and Nooruddin and

Vreeland (2010), bantuan yang strategis adalah bantuan yang memiliki motivasi

politis di dalamnya dan memiliki ketentuan mengikat yang mengharuskan negara

penerima mengikuti syarat-syarat dari negara donor.37

Paling tidak, menurut

Yasutomo (1989) Jepang adalah salah satu negara yang kebijakan bantuannya

didominasi oleh kebijakan strategis. Karena digunakan sebagai alat diplomatik yang

memperkuat posisi Jepang di Asia.38

Adapun untuk alokasi negara penerima, Kim

and Urpeleinen (2012) serta Bermeo (2013) menggambarkan bahwa bantuan strategis

biasanya diberikan kepada merupakan negara-negara bekas koloni. Sedangkan Rajan

and Subramanian (2008), melihat bantuan strategis adalah bantuan yang diberikan

kepada negara yang memiliki hubungan geopolitik sejalan dengan yang diteliti

Dunning (2004), Berthélemy dan Tichit (2004),serta Bräutigam dan Knack (2004).39

Karakteristik lainnya bantuan tersebut ditujukan kepada sektor-sektor yang

tidak berkaitan langsung dengan pengentasan kemiskinan dan cenderung politis,

seperti tata kelola pemerintahan dan bidang ekonomi seperti yang dikaji oleh Weiner

(2002) dan Brainard (2003).40

Selain itu, oleh Martens (2002) kebijakan strategis

memiliki karakter mengikat (tied). Ketentuan mengikat dianggap sebagai refresentasi

dari kebijakan strategis karena menunjukkan perjanjian antara ‘penjual’ dan

‘pembeli’. Karena negara donor akan mengekspor barang dan jasa untuk digunakan

oleh negara penerima. Biasanya bentuk kebijakan tersebut diimplementasikan dalam 35

Muhindo Mughanda, 2010, Ibid, Hal.166 36

Jean-Claude Berthelemy dan Team, 2005, “Bilateral Donor’s Interest Vs. Recipients’ Development

Motives In Aid Allocation: Do All Donors Behave The Same ?”, Version 1-3 Desember, Paris:

CNRS, Hal.11 37

Axel Dreher, Vera Eichenauer , dan Kai Gehring, 2013, “Geopolitics, Aid And Growth”, Cesifo

Working Paper No. 4299 Category 2: Public Choice, June 2013, Hal.5 38

Andreas Holmedahl Hvidsten,2010, Op.Cit, Hal.5 39

Axel Dreher, Vera Eichenauer , dan Kai Gehring, 2013, Op.Cit, Hal.5 40

Anne Boschini dan Anders Olofsgård, 2005, Foreign Aid: an Instrument for Fighting Communism?,

Stockholm: Stockholm School of Economics, Hal.25

11

sektor infrastruktur atau kontrak teknis.41

Bentuknya pun bilateral, dengan

pertimbangan bahwa bantuan; pertama, akan melindungi kepentingan finansial

negara donor melalui pinjaman, iuran dan mekanisme finansial lainnya terkait aturan

pembayaran. Kedua, bantuan bilateral sulit untuk diakses. 42

Berlandaskan posisi tersebut, lebih jauh penelitian ini ditujukan untuk

memaknai transformasi dan pola bantuan pembangunan Australia sejak

kemunculannya hingga saat ini. Adapun transformasi tersebut dicermati dari

pemetaan distribusi dan orientasinya. Distribusi mencakup alokasi dan bidang

bantuan sedangkan orientasi mencakup negara target dan tujuan bantuan. Pada

analisa yang lebih cermat, penulis menggunakan pendekatan identitas dalam

memaknai bantuan pembangunan Australia berdasarkan pemetaan terhadap pola

distribusi dan orientasi tadi yang sebelumnya diabaikan oleh perspektif lain.

E. Kerangka Teoritik

Untuk menjelaskan transformasi dan latar belakang yang menyebabkan

terjadinya trasnformasi tersebut dalam kebijakan ODA Australia, maka penulis

menggunakan pendekatan konstruktivis. Kaum konstruktivis memiliki pandangan

berbeda dari pendekatan realis dan liberal yang merupakan pendekatan mainstream

dalam kajian ilmu Hubungan Internasional. Dalam beberapa hal, kedua pendekatan

mainstream sebelumnya ternyata tidak mampu untuk menjawab bagian – bagian

penting dalam melihat struktur internasional baik yang berbentuk permusuhan,

rivalitas atau pun kerjasama. Kemunculan konstruktivis kemudian menjadi alternatif

yang dalam banyak kasus mampu menjelaskan fenomena internasional yang tidak

dapat dijelaskan hanya oleh dua pendekatan tadi. Keunggulan ini terletak pada

kemampuan konstruktivisme dalam menjelaskan hal-hal nonmaterial dalam

hubungan internasional.

41

Springer, “Tied and Untied Development Assistance: Economic, Political and Legal Dimensions”,

http://www.springer.com/cda/content/document/cda_downloaddocument/9783658000479-

c1.pdf?SGWID=0-0-45-1364106-p174582881, diakses 24 Februari 2014 Pukul 16:17, Hal.60 42

Jean-Claude Berthelemy dan Team, 2005, Op.Cit, Hal. 10

12

Adapun pada dasarnya telah banyak kajian yang meneliti kebijakan luar

negeri Australia termasuk kebijakan ODA. Namun, pendekatan realis melalui

kepentingan geopolitik dan pendekatan liberal melalui kerjasama hanya mampu

menjelaskan capaian sebuah kebijakan luar negeri melalui hitung-hitungan cost and

benefit. Namun tidak mampu menjelaskan lebih jauh mengenai proses dan faktor-

faktor yang melatarbelakangi terbentuknya kepentingan tersebut. Jika kebijakan ODA

mengalami transformasi, maka apakah benar perubahan tersebut merupakan sebuah

keniscayaan? Jika hal tersebut alamiah, maka seharusnya kebijakan tersebut tidak

mengalami perubahan yang signifikan dan cenderung bertahap. Di saat yang sama,

jika kebijakan ODA tersebut dilakukan demi tujuan kepentingan geopolitik, maka

mengapa kebijakan ODA menjadi kebijakan yang paling gencar dilakukan?

Bukankah kalkulasi politis dan keamanan tetap dimenangkan oleh Australia sebagai

salah satu buffer state Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik belum mungkin

dikalahkan oleh kekuatan – kekuatan baru di Asia yang baru saja mengembangkan

dirinya? Logika cost and benefit oleh kedua pendekatan yakni realis dan liberal

terlalu memusatkan logika mereka pada hal-hal material yang dianggap given. Jika

kebijakan ODA benar dilatarbelakangi oleh tujuan menjadi negara hegemon demi

membendung China atau instrumen untuk bekerjasama, keuntungan ekonomi

khususnya perdagangan43

semestinya akan dapat menjawab motif kebijakan ODA

Australia. Kenyataanya, tidak sesederhana hitungan cost and benefit tersebut.

Merujuk kepada dasar prespektif konstruktivisme,perspektif ini berasumsi

bahwa hubungan internasional berjalan berdasarkan kesadaran manusia seperti halnya

yang diyakini oleh ilmu sosiologi. Kesadaran manusia inilah yang menjadi landasan

dari cara berpikir kaum konstruktivis yang memahami dunia internasional seperti

dunia sosial manusia yang menilai bahwa tindakan negara berjalan seperti tindakan

manusia dalam masyarakat. Oleh karena itu, konstruktivis memiliki pandangan yang

43

Negara di Asia Tenggara kecuali Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam yang bukan

merupakan negara penerima ODA Australia bukanlah merupakan mitra dagang ekspor utama

Australia. Adapun di luar data mitra dagang utama tersebut, untuk data Indonesia, Indonesia menjadi

negara eksportir Australia meskipun bukan sebagai pemain utama. Ini menjadikan neraca perdagangan

antar kedua negara cenderung menguntungkan Indonesia.

13

berbeda dengan pandangan realis dan liberal maupun variannya yang melihat

manusia sebagai makhluk politik yang hanya mengejar hasil akhir yakni kepentingan.

Logika rasionalitas manusia oleh realis dan liberal dipandang sejalan dengan tindakan

negara. Sehingga, keinginan untuk mengejar kepentingan menjadi tujuan utama

terbangunnya hubungan internasional dan menjadikan kondisi sistem internasional

tidak dapat berubah. Melalui konstruktivisme, kebijakan ODA sebagai salah satu

kebijakan luar negeri dapat dijelaskan melalui unsur non material seperti gagasan,

norma, pengetahuan, budaya, dan argumen yang ada dalam dunia politik sehingga

membentuk hubungan kolektif satu sama lain atau yang diistilahkan sebagai

intersubjektivitas.44

Intersubjektivitas lahir melalui komunikasi, pengalaman dan pembentukan

peran antara negara dan struktur internasional. Dalam bahasa yang lebih sederhana,

struktur dan agen saling membentuk. Oleh sebab itu, jika sistem internasional yang

diyakini neorealis dan neoliberal secara given berada dalam kondisi anarki yang

konfliktual. Maka, konstruktivis percaya sistem internasional adalah what states make

of it- apa yang dibentuk oleh negara itu sendiri.45

Pada titik tersebut, konstruktivis mencoba menjelaskan apa yang terjadi.

Menurut perspektif ini, kepentingan diri sendiri (self interest) bukanlah hal yang kaku

dan merupakan bentukan dari penilaian negara tersebut terhadap identitas serta

hubungannya dengan negara lain dalam sistem internasional.46

Penilaian tersebut

misalnya terbangun dari pemahaman mengenai apa yang menjadi ancaman dan

peluang, atau siapa teman atau lawan. Sehingga, penilaian identitas diri dan struktur

internasional dilandasi dengan persepsi yang subjektif, bukan objektif.47

Dengan kata

lain, dalam berinteraksi dengan Negara lain, di luar dari keinginan mendasar untuk

44

Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink, 2001, “Taking Stock: The Constructivist Research

Program In International Relations And Comparative Politics”, Annual Review Politics Science 2001,

4:391–416. Washington DC:Annual Reviews . Hal.392 45

Fred Chernoff, 2007, “Theory And Metatheory In International Relations Concepts And Contending

Accounts”, New York: Palgrave Macmillan. Hal.69 46

Karl K. Schonberg, 2007, “Ideology And Identity In Constructivist Foreign Policy”,

Dipresentasikan Pada Standing Group On International Relations European Consortium For

Political Research Sixth Pan-European Conference Turin, Italy 12-15 September, 2007, New York:

St. Lawrence University Canton, Hal.4 47

Karl K. Schonberg, Ibid, Hal.10

14

bertahan dan merasa aman, negara belum mengetahui siapa diri mereka dan apa yang

mereka inginkan dari sistem internasional.48

Sehingga, dapat dipahami bahwa

identitas merujuk kepada gambaran Wendt sebagai hubungan antara apa yang

dilakukan aktor dan siapa mereka.49

Dalam penjelasan yang lebih sederhana oleh

Alexandrov, identitas digambarkan sebagai seperangkat referesentasi (biasanya

simbolik atau metaforik) terkait kepercayaan negara terhadap perilaku, hak dan

tanggung jawab apa yang sesuai dalam hubungannya dengan Negara lain.50

Karena identitas sangat dipengaruhi oleh pola hubungan dan interaksi antar

aktor maka begitu pula yang terjadi terhadap kondisi anarki. Kondisi anarki mampu

untuk bertransformasi tergantung interaksi yang terjadi di dalam sistem

internasional.51

Interaksi sendiri saling membentuk terhadap nilai dan persepsi. Jika

persepsi dan nilai berubah maka, interaksi berubah. Hal ini menyebabkan pula

perubahan antar aktor, struktur realitas dan aspek lain dalam sistem internasional.52

Bentuk anarki dalam struktur internasional sendiri dilandasi oleh cara berpikir

konstruktivisme yang menggunakan kerangka ide atau gagasan. Menurut Wendt,

struktur internasional yang anarki merupakan konsep yang tidak berarti apa-apa

selama tidak ada pemaknaan terhadapnya. Aktor dalam sistem internasional-lah yang

memberikan pemaknaan tersebut berdasarkan gagasan mereka tentang bagaimana dan

kapan kondisi anarki tersebut terjadi. Sehingga, anarki bisa saja merupakan struktur

yang memungkinkan pertemanan, rivalitas atau permusuhan dalam sistem

internasional. Jika sistem dimaknai sebagai struktur pertemanan maka negara-negara

di dalamnya akan dapat bekerja sama seperti yang dipikirkan oleh Immanuel Kant

dan Neoliberalisme, jika dimaknai sebagai hubungan rivalitas maka negara akan

48

Wendt 1992:394 dalam Robert Jackson dan Georg Sorensen, Introduction to International Relations

Theories and Approaches, Oxford: OUP Oxford, Hal. 167 49

Maja Zehfuss, 2004, Constructivist in International Relations (Politics of Reality), Cambridge:

Cambridge University Press, Hal.15 50

Maxym Alexandrov, 2003, “The Concept of State Identity in International Relations: A Theoretical

Analysis, Journal of International Development and Cooperation, Vol.10.No.1, 2003, pp.33-46,

Hal.39 51

Patrick Thaddeus Jackson (Ed), 2004,“Bridging The Gap:Toward A Realist-Constructivist

Dialogue”, School Of International Service, American University International Studies Review (2004)

6, 337–352, Hal.339 52

John T.Rourke, 2007, International Politics on The World Stage 12th Edition, Illinois:McGraw-Hill

Higher Education.Hal.32

15

saling menjadi rival seperti yang dipikirkan oleh John Locke dan Neorealisme, atau

struktur bisa saja membentuk permusuhan jika negara-negara di dalamnya memaknai

satu sama lain sebagai musuh yang saling mempertahankan diri seperti yang diyakini

oleh Thomas Hobbes.53

Adapun konstruktivis seperti halnya perspektif lain, juga memiliki varian

yang beragam. Secara epistimologi konstruktivis terdiri dari dua varian utama yakni

moderat dan radikal. Konstruktivis moderat menggunakan pendekatan positivis dan

kaum radikal menggunakan pendekatan reflektivis. Melalui tulisan ini, penulis hanya

akan menggunakan varian konstruktivis moderat.

Lebih jauh,untuk menjawab fenomena transformasi kebijakan ODA Australia

di Asia Tenggara, penulis menggunakan varian unit analisis identitas. Varian ini

menekankan pada pembentukan dan perubahan identitas dalam memahami struktur

internasional berdasarkan interaksi antar aktor yang dibentuk oleh ide atau gagasan

terhadap diri mereka sendiri maupun terhadap lingkungan internasional yang

melingkupinya.54

Setiap negara yang saling berinteraksi memiliki kepercayaan dan

ekspektasi satu sama lain yang membentuk hubungan internasional. Kepercayaan dan

ekspektasi tersebut bukan semata dilandasi oleh hal material namun menurut

konstruktivisme dibentuk oleh landasan-landasan sosial. Hal material dan kapabilitas

fisik ditentukan oleh pemaknaan aktor. Keberadaan aktor dalam hal ini negara bukan

hanya dikarenakan keberadaan mereka secara fisik, namun karena mereka

diidentifikasi dan diakui oleh negara lain.55

Merujuk pada Wendt, terdapat empat tipologi identitas dan dua tipologi dasar

kepentingan sebuah negara.56

Tipologi identitas yang dimaksud adalah corporate,

type, role, dan collective. Berdasarkan empat macam identitas tersebut, negara

membentuk kepentingannya masing-masing. Adapun kepentingan tiap-tiap negara itu

53

Samuel S. Stanton Jr, Op.Cit, Hal.17 54

Samuel S. Stanton Jr, 2002, ”Can Constructivism Improve Foreign Policy Practice In An Era Of

Global Governance?“, Tulisan ini dipresentasikan pada Annual Meeting Political Science Association

22-23 Februari 2002 di Arkansas, Hal.5 55

Samuel S. Stanton Jr, Op.Cit, Hal.7 56

Alexander Wendt, 1999, Social Theory of International Relations, Cambridge: Cambridge

University Press. Hal.198

16

berbeda-beda dan kompleks. Meski demikian, Wendt tidak mengabaikan bahwa

paling tidak ada empat kebutuhan mendasar atau kepentingan yang berusaha dipenuhi

oleh semua negara dalam masyarakat internasional yakni ketahanan fisik, otonomi,

kesejahteraan ekonomi dan harga diri kolektif. Hal penting yang sekali lagi

ditekankan pula oleh kaum konstruktivis bahwa kepentingan negara bukanlah hal

yang ditemukan begitu saja, namun dikonstruksikan melalui proses interaksi sosial

antar mereka.57

Membahas mengenai empat tipologi identitas, akan jelas bahwa keempat

identitas tersebut dapat dimiliki oleh negara sekaligus. Dengan kata lain, setiap

negara bisa saja memiliki lebih dari satu identitas. Namun, bisa saja tidak memiliki

salah satu identitas tersebut. Adapun identitas tersebut dapat dibedakan satu sama lain

berdasarkan pola pembentukannya. Pertama, identitas corporate terbangun dari

pengaturan diri sebuah negara.58

Dengan kata lain, sebuah identitas corporate negara

hanya akan terbentuk dan melekat pada dirinya jika individu negara tersebut

membangun identitas kolektif sebagai satu kesatuan negara.59

Identitas kedua yakni identitas tipe dipahami sebagai identitas yang terbentuk

dari proses sosial. Jika dimisalkan individu, identitas ini merupakan pengelompokkan

individu secara sosial berdasarkan karakter material dan nonmaterial yang melekat

dalam dirinya.60

Untuk tingkat negara, identitas ini dapat terbangun dari sistem yang

digunakan dalam sebuah negara misalnya dilihat dari tipe rezim maupun bentuk

sebuah negara. Pengelompokkan negara berdasarkan negara kapitalis, fasis, kerajaan,

republik, atau lainnya adalah contoh dari identitas tipe.61

Berbeda dengan kedua identitas sebelumnya, identitas peran sangat berkaitan

dengan budaya dan tidak didasarkan oleh keberadaan faktor intrinsik serta hanya

akan terbentuk jika terbangun hubungan dengan pihak lain.62

Sehingga, identitas

peran tidak diperoleh begitu saja berdasarkan nilai apa yang dimiliki negara

57

Peter J. Katzenstein, Op.Cit, Hal.1 58

Alexander Wendt, Ibid, Hal.224 dan 225 59

Alexander Wendt, Loc.Cit 60

Alexander Wendt, Loc.Cit. 61

Alexander Wendt, Op.Cit, Hal.226 62

Alexander Wendt, Op.Cit, Hal.227

17

sebelumnya, namun dari tindakan yang sesuai dengan identitas yang disandangnya.

Identitas terbentuk dari tindakan yang dilakukan oleh negara dan tindakan tersebut

didasarkan pada norma tertentu yang mereka pahami dalam struktur sosial

internasional.63

Terakhir, identitas kolektif merupakan gabungan antara identitas peran dan

identitas tipe. Identitas ini terbangun dari sisi sosial sekaligus sisi yang berasal dari

dalam diri sebuah negara. Proses tersebut terjadi ketika sebuah negara tidak sekedar

melihat kesejahteraan negara lain semata sebagai kesejahteraan negara itu sendiri.

Namun lebih dari itu, negara tersebut memahami negara lain sebagai bagian dari

dirinya. Sehingga, mendorong negara untuk melakukan tindakan bersama atau

kolektif dalam menyelesaikan masalah mereka.64

Sebelumnya, Neoliberal memahami

identitas ini melalui konsep kerja sama. Namun, pemikiran mereka dibangun

berdasarkan asumsi bahwa negara-negara pada dasarnya memiliki kepentingan yang

berbeda. Kerja sama hanya menjadi bagian dari deal untuk memperoleh kepentingan

masing-masing tanpa mengorbankan kepentingan yang lain atau sebaliknya,

mengorbankan kepentingan masing-masing untuk memperoleh kepentingan yang

lebih besar.

Dari sisi tersebut, konstruktivis percaya bahwa negara membangun identitas

kolektif tidak hanya didorong oleh dorongan untung rugi tadi. Negara-negara

berusaha membangun ‘pertemanan’ melampaui sekedar saling menghargai

kepentingan masing-masing. Oleh karena, pertemanan bukan sekedar metode atau

strategi namun sebagai pilihan dari kepentingan yang akan dicapai.65

Dalam arti,

pertemanan yang terbangun telah melalui proses internalisasi norma bahwa pihak lain

adalah bagian dari dirinya. Untuk itu, negara tersebut bukan lagi sebaiknya namun

seharusnya berkorban demi kepentingan yang lebih besar dalam pertemanannya

dengan negara lain.66

63

Alexander Wendt, Loc.Cit 64

Alexander Wendt, Op.Cit, Hal.229 65

Alexander Wendt, Op.Cit, Hal.305 66

Alexander Wendt, Op.Cit, Hal.304

18

Pada akhirnya, untuk melihat signifikansi konstruktivis dalam menjawab

perubahan identitas Australia dan implikasinya terhadap kebijakan ODA negara

tersebut di Asia Tenggara, penulis memandang bahwa faktor identitas dalam politik

luar negeri sebuah negara memainkan peran yang besar. Gagasan Australia mengenai

siapa dirinya dan siapa negara-negara di Asia Tenggara membentuk intersubjektivitas

yang terus mengalami perubahan. Ini menjadikan Australia dan Asia Tenggara

membangun identitas masing-masing melalui self understanding antar mereka.

Seperti yang dikemukakan Alice Ba and Matthew J. Hoffmann bahwa:

“Actors do not just look around at the material capabilities of their neighbors

when deciding what their behavior is going to be. Instead, actors are

influenced by their social context—shared rules, meanings, and ideas. Notions

of what is right or wrong, feasible or infeasible, indeed possible or impossible

are all a part of an actor’s social context, and it is these ideas that shape what

actors want, who actors are, and how actors behave.”67

Oleh kerena itu, untuk menjelaskan lebih jauh mengenai mengapa transformasi

kebijakan ODA terjadi harus dimulai dengan memahami seperti apa perubahan

identitas yang terjadi terhadap Australia. Lebih dalam, penulis menggunakan identitas

kolektif untuk menjawab perubahan identitas tersebut.

F. Hipotesis

Berdasarkan pertanyaan penelitian dan kerangka analisis diatas, maka penulis

membangun hipotesis utama yakni jika Australia mempersepsikan kondisi Asia

Tenggara bersifat konfliktual menyebabkan kepentingan Australia cenderung

strategis dan berdampak pada kebijakan ODA yang menggunakan pendekatan

geopolitik. Namun, jika Australia mempersepsikan kondisi Asia Tenggara bersifat

kooperatif menyebabkan kepentingan Australia cenderung altruistik dan berdampak

pada kebijakan ODA yang menggunakan pendekatan kerjasama pembangunan.

67

Alice Ba dan Matthew J. Hoffmann, Maret 2003, “Making and Remaking the World for IR 101: A

resource for teaching social constructivism” International Studies Perspectives 4, no. 1.

19

Adapun transformasi kebijakan ODA Australia tejadi disebabkan oleh adanya

perubahan identitas Australia dari identitas kolektif sebagai bagian dari negara Barat

ke identitas kolektif sebagai bagian dari negara Asia Tenggara dengan kepentingan

untuk menjadi bagian dari wilayah tersebut yang tengah mengalami kebangkitan dalam

berbagai bidang.

G. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah telaah

pustaka dengan mengumpulkan data dan informasi melalui buku, jurnal, artikel, surat

kabar, website resmi, serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan masalah

ODA Australia yang akan dikaji.

H. Metode Analisis

Teknik analisa data yang digunakan penulis adalah teknik kualitatif, dimana

analisis ditekankan pada analisis data kualitatif, yakni permasalahan digambarkan

berdasar fakta-fakta yang ada kemudian dihubungkan antara fakta yang satu dengan

yang lainnya, dan akhirnya menghasilkan sebuah kesimpulan. Ada pun data berupa

angka merupakan data penunjang dalam mengkaji fakta-fakta utama terkait

transformasi pola ODA Australia.

I. Sistematika Penulisan

Tesis ini berisi enam bagian yang terdiri dari BAB I yang menguraikan latar

belakang penelitian, rumusan masalah, alasan penelitian, reviu literatur, kerangka

teoritik, hipotesis dan seluruh hal umum terkait dengan judul seperti metode dan

sistematika penulisan.

Selanjutnya, BAB II membahas mengenai identitas Australia di Asia

Tenggara. Bagian ini berisi dua sub bagian yakni persepsi Australia terhadap Asia

Tenggara dan persepsi Asia Tenggara terhadap Australia.

20

Pada BAB III kemudian memaparkan kebijakan ODA Australia yang berisi

dua bagian yakni kebijakan ODA altruistik Australia dan kebijakan ODA strategis

Australia.

Berikutnya adalah BAB IV berisi pembahasan mengenai konteks transformasi

ODA Australia sebagai implikasi dari terjadinya perubahan identitas kolektif

Australia di Asia Tenggara.

Bagian terakhir yakni BAB V membahas kesimpulan dari keseluruhan temuan

dan analisis penulis mengenai permasalahan yang dikaji.