29
1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Dalam kata sambutan buku Panduan Bermain Angklung (2011) Jero Wacik mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata mengatakan, bahwa Angklung adalah alat musik asli Indonesia yang terbuat bambu dan merupakan warisan budaya bangsa Indonesia yang sudah dikenal selama berabad-abad. Pada tanggal 26 Agustus 2010, Pusat Penelitian dan Pengembangan kebudayaan, Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, kementerian Kebudayaan dan Pariwisata telah mengambil prakarsa dengan nominasi Angklung Indonesia kepada UNESCO untuk diinkripsi ke dalam Representative List of Intangible Cultural Heritage of Humanity (ICHH) untuk tahun 2010. Beragam langkah pelestarian yang strategis-sinergis ditempuh agar menominasikan Angklung Indonesia untuk diinskripsikan oleh UNESCO pada Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia. Satu diantarannya adalah penerbitan Buku Panduan Bermain Angklung (2011). Buku yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan kebudayaan ini merupakan satu diantara upaya dalam rangka melestarikan budaya bermain angklung agar dapat terus tumbuh dan

BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71386/potongan/S2-2014... · Thailand. Terutama yang terkenal di Jawa.4 Angklung adalah alat musik yang terbuat

  • Upload
    doanbao

  • View
    223

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Dalam kata sambutan buku Panduan Bermain Angklung

(2011) Jero Wacik mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata

mengatakan, bahwa Angklung adalah alat musik asli Indonesia

yang terbuat bambu dan merupakan warisan budaya bangsa

Indonesia yang sudah dikenal selama berabad-abad. Pada tanggal

26 Agustus 2010, Pusat Penelitian dan Pengembangan

kebudayaan, Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata,

kementerian Kebudayaan dan Pariwisata telah mengambil

prakarsa dengan nominasi Angklung Indonesia kepada UNESCO

untuk diinkripsi ke dalam Representative List of Intangible Cultural

Heritage of Humanity (ICHH) untuk tahun 2010.

Beragam langkah pelestarian yang strategis-sinergis

ditempuh agar menominasikan Angklung Indonesia untuk

diinskripsikan oleh UNESCO pada Daftar Representatif Budaya

Takbenda Warisan Manusia. Satu diantarannya adalah penerbitan

Buku Panduan Bermain Angklung (2011). Buku yang diterbitkan

oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan kebudayaan ini

merupakan satu diantara upaya dalam rangka melestarikan

budaya bermain angklung agar dapat terus tumbuh dan

2

berkembang ke depan. Buku yang membahas panduan bermain

angklung masih sangat langka dan terbatas. Padahal, budaya

bermain angklung perlu diwariskan dari generasi terdahulu

kepada generasi yang akan datang melalui proses bermain

angklung yang benar.1 Kemudian pada tanggal 16 November 2010

United Nations Educational, Scientific and Culture Organization

(UNESCO) berhasil menetapkan bahwa Angklung adalah milik

Indonesia sebagai warisan budaya bangsa Indonesia.2

Ernst Heins (1980) dalam The New Grove Dictionary of Music and Musician mengatakan:

Angklung Onomatopoeic name of an Indonesian folk music instrument consisting of a set of three bamboo tubes, carefully tuned in octaves, rattled to and fro in frame. An angklung player cannot handle more than one or two angklung, so in order to produce a melody an interlocking hocket method of play is applied by a group of player.3

Alat musik ini hampir terdapat pada setiap masyarakat yang

dalam kehidupannya berkaitan dengan budaya bambu. Angklung

adalah alat musik yang terbuat dari bambu yang terdapat di

Jawa, Madura, Bali, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi

Tenggara, Kalimantan barat daya, Malaysia, Singapura dan

1. Wiramihardja, Obby A.R, Panduan Bermain Angklung (Jakarta: Pusat

Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, Badan Pengembangan sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata 2010), iv

2. Wiramihardj, Obby A.R, Kumpulan Lagu-lagu Angklung 1 (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, Badan Pengembangan sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2010), 59

3. Heins, Ernst ed. Stanley Sadie. The New Grove Dictionary Of Music And musicians, (New York: Macmillan Publishers Limited, 1980),427

3

Thailand. Terutama yang terkenal di Jawa.4 Angklung adalah alat

musik yang terbuat dari bambu dengan bentuknya yang khas.

Dua atau tiga bambu yang telah diraut dengan bentuk tertentu

yang disatukan dengan tiang dan dasarnya yang terbuat dari

bambu juga serta diikat dengan tali yang terbuat dari rotan. Cara

membunyikan angklung yaitu dengan cara digetarkan.

Sebelum angklung menjadi terkenal seperti saat ini,

angklung berfungsi sebagai sarana ritual terutama berkaitan

dengan padi. Upacara tradisional dan ritual merupakan warisan

leluhur yang telah berumur ratusan tahun sampai kini masih

terjaga nyaris utuh. Sebagian orang Sunda adalah memeluk

agama Islam, tetapi didalam kehidupan keagamanan, kenyataanya

terdapat unsur-unsur lain. Dalam mitologi Sunda, selain

himpunan dongeng-dongeng suci Sunda ada pula banyak unsur-

unsur yang bukan Islam. Orang-orang petani Sunda mengenal

dongeng-dongeng yang bersangkut paut dengan tanaman padi,

adalah cerita Nyi Pohaci Sanghyang Sri.5

Pada dasarnya, ritual bisa dibagi menjadi tiga kelompok,

yaitu: 1) ritual pribadi; a) selamatan sederhana dengan nasi

tumpeng, lauk pauk dan sesaji, yang diselengggarakan oleh

4. Heins, Ernst, The New Grove Dictionary Of Music And musicians, 427

5. Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia (Jakarta : jambatab,1995), 322

4

seseorang sebagai ungkapan rasa syukur kepada tuhan yang

maha kuasa. Misalnya karena telah mendapakan kenaikan

pangkat, diangkat menjadi lurah, bupati dll; b) ritual sederhana

yang diadakan sebagai ungkapan rasa syukur, misalnya seseorang

telah sembuh dari sakit. Ritual ini disebut syukuran,

mengungkapkan rasa syukur atau slametan, permohonan supaya

selamat; c) ritual yang berhubungan dengan siklus kehidupan

sesorang seperti upacara perkawinan tradisional, kehamilan tujuh

bulan pertama, ruwatan, supaya terbebas dari nacaman

Batarakala; 2) ritual Umum misalnya, seperti dalam upacara

bersih desa; 3) ritual negeri adalah untuk raja, ratu, pimpinan,

negeri dan rakyat seperti: upacara gerebeg, labuhan keraton

Yogyakarta, dan upcara Rajawedha/mahesa Lawung. Peringatan 1

Syuro, bisa merupakan ritual negeri atau umum atau gabungan

dari keduanya.6

Berkaitan dengan hal tersebut, angklung merupakan salah

satu alat musik/bunyi-bunyian yang digunakan untuk upacara

yang berhubungan dengan padi. Angklung tidak digunakan

sebagai kesenian murni melainkan sebagai kesenian yang

berfungsi dalam kegiatan kepercayaan. Hal ini masih dilakukan

oleh orang-orang Sunda (Baduy) yang tinggal di Kanekes,

6. Negoro, Suryo S, Upacara Tradisional Dan Ritual Jawa ( Surakarta, CV.

Buana Raya, 2001),1

5

Kabupaten Sukabumi yang masih memfungsikan angklung

sebagai bagian ritus penanaman padi.7

Selain angklung sebagai ritual tanam padi angklung juga

berfungsi sebagai, ritual keagamaan (persembahyangan) sebagai

pengganti genta (bel). Pada masa Kerajaan Pajajaran (Hindu),

angklung juga dijadikan sebagai alat musik. Korp Musik Tentara

Kerajaan, dan pada saat terjadi perang Bubat angklung

dibunyikan oleh tentara Kerajaan sebagai pembangkit semangat

juang/tempur.8

Dengan adanya perkembangan zaman maka angklung

mengalami perkembangan. Perkembangan suatu kebudayaan

sesuai dengan tuntutan zaman merupakan produksi perubahan

dari waktu ke waktu yang dapat disebabkan dari berbagai hal.

Salah satu sebabnya adalah perubahan lingkungan yang dapat

menuntut perubahan kebudayaan yang bersifat adaptif.9 Dalam

jangka waktu tertentu semua kebudayaan berubah sebagai

tanggapan atas hal-hal, seperti masuknya orang luar atau

terjadinya modifikasi perilaku dan nilai-nilai di dalam

kebudayaan. Begitu juga dengan angklung seiring perkembangan

zaman, kedudukan dan fungsinya mengalami perubahan atau

7. Wiramihardja, Panduan Bermain Angklung, 4 8. Wiramihardja, Panduan Bermain Angklung, 9 9. Haviland, William A. Antropologi Jilid 2 terj. R.G Soekatijo (Jakarta:

Erlangga, 1993), 246

6

modifikasi, akibat persentuhan dengan seni modern hingga bisa

dinikmati sebagai tontonan dan hiburan.

Pada permulaan abad ke 20 pengaruh budaya barat telah

banyak memasuki kehidupan beberapa golongan masyarakat,

khususnya masyarakat sunda di daerah Jawa Barat. Masuknya

pengaruh itu terutama melalui pemuda, pelajar, dan sekolah-

sekolah yang didirikan pada masa penjajahan. Salah satu aspek

pengaruh itu ialah mengenal alat-alat musik diatonis. Para pelajar

mengenal seni musik Barat (internasional) di samping musik

tradisional.10 Perkembangan yang terjadi selanjutnya adalah

datang dari pelajar yang mengalami pengaruh Barat lebih

menyukai diri dan mengkompensasikan diri karena tidak adanya

fasilitas pendidikan yang lebih tinggi dengan belajar sendiri (self-

study) dan mendidik sendiri (self-education). Salah satu hasil yang

paling tampak, musik dan lukisan Barat memperoleh sejumlah

pelajar yang bersemangat dikalangan kaum muda Indonesia.11

Awal pembentukan musik nasional terjadi ketika para

pemuda Indonesia melakukan gerakan untuk membebaskan diri

dari kaum penjajah Belanda, serta gerakan untuk menciptakan

kebudayaan nasional. Gerakan yang merebak pada tahun 1920-an

10. Tim Penulisan Naskah Media Kebudayaan Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan Jakarta, Sejarah Seni Budaya Jawa Barat II. 1977, 119 11. Wertheim, W.F, Masyarakat Indonesia Dalam Transisi, Studi

Perubahan Sosial. Penerjemah Misbah Zulfa Ellizabet, ( PT. Tiara Wacana Yogya Anggota IKAPI, Yogyakarta 1999), 247

7

ini dibidang musik mengarah pada upaya untuk menciptakan

musik yang tidak berciri etnis. Gerakan ini dilakukan oleh para

pemuda yang ingin menghadirkan musik nasional Indonesia.

Satu-satunya yang mampu melahirkan musik yang tidak berciri

etnis adalah musik yang menggunakan sistem tangga nada yang

berasal dari Barat, yaitu sistem tangga nada diatonis. Karya

pertama yang diperdengarkan adalah lagu kebangsaan Indonesia

Raya karya Wage Rudolf Supratman yang dikumandangkan pada

tanggal 28 Oktober 1928 tepat pada hari Sumpah Pemuda.

Kemudian di berbagai wilayah muncul pula pencipta-

pencipta lagu yang bernuansa nasional, antara lain Cornel

Simandjutak. Dia berhasil mencipta lagu nasional, seperti Maju

Tak Gentar yang bernuansa heroik yang sampai sekarang masih

berdengung di peristiwa penting di Indonesia. Ismail Marzuki

menulis lagu sebanyak 240 buah, seperti Halo Halo Bandung,

Rayuan Pulau Kelapa, Kalau Anggrek Berbunga, dan Jauh Dimata

Dihati Jangan. Victor Ganap dalam tulisanya yang berjudul “Music

for the Nation: The Composers” mengutarakan, bahwa lagu ciptaan

Ismail Marzuki yang berjudul Rayuan Pulau Kelapa mendapatkan

penghargaan serta sanjungan dari berbagai komponis

mancanegara. Pengabdianya sebagai nasionalis dalam bidang

musik, namanya diabadikan sebagai nama sebuah pusat kesenian

8

di Jakarta, yaitu Taman Ismail Marzuki yang didirikan pada tahun

1968.12

Pada tahun 1997 lagu-lagu nasional direkam oleh Twilite

Orchestra dalam bentuk Kaset dan CD beserta paduan suara yang

berjudul „‟Simponi Negeriku‟‟ dan direkam oleh Victorian

Philharmonic Orchestra di Allan Eaton Studio, Melbourne,

Australia. Lagu-lagu nasional meliputi Indonesia Raya ciptaan

W.R Supratman, Bagimu Negeri ciptaan Kusbini, Bangun Pemudi

Pemuda ciptaan A. Simandjuntak, Hari Merdeka dan Syukur

ciptaan Hs. Mutahar, Tanah Airku ciptaan Ibu Soed, Indonesia

Pusaka ciptaan Ismail Marzuki, Mars Pancasila ciptaan

Sudharnoto, Rayuan Pulau Kelapa ciptaan Ismail Marzuki, dan

Berkibarlah Benderaku ciptaan Ibu Soed. Lagu-lagu nasional

tersebut diaransemen oleh Addie MS dan Singgih Sanjaya dalam

bentuk orkestra.13

Pada tahun 1935-1939 terjadi peristiwa sejarah yang

penting ketika kaum terpelajar tanah air semakin seru

membicarakan polemik kebudayaan. Polemik ini ingin mencari

identitas kebangsaan yang paling tepat untuk Indonesia. Sutan

Takdir Alisjahbana berpendapat, bahwa masyarakat indonesia

secara radikal mengidealkan keberhasilan kebudayaan Barat

12. Soedarsono, R.M, Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi,

(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010) hal. 268-269 13. Addie, MS, Simphoni Negeriku Sebuah Persembahan Untuk Indonesia

(Jakarta: PT Yasawirya Tama Cipta, 1997), 22

9

sebagai model masa depan. Dibayangkan olehnya bahwa dalam

pertumbuhan menuju kebudayaan Indonesia yang modern pasti

akan lebih banyak pengaruh Barat daripada pengaruh dari

kebudayaan Timur. Dia memberi contoh, Jepang yang dahulu

merupakan negara kecil telah mampu mengubah diri menjadi

negara kuat setelah Jepang membuka pintu bagi masuknya

pengaruh Barat. Sementara itu dari Sanusi Pane dan Ki Hadjar

Dewantara menganggap bahwa Indonesia sebagai bangsa Timur

tidak mungkin untuk mengacu ke Barat dalam menciptakan

kebudayaan modern. Jati diri kebangsaan Indonesia justru harus

dibangun melalui pemeliharaan benang sejarah, pemanfaatan

keanekaragaman tradisi budaya yang sudah mapan dan

berkembang.

Maraknya pemikiran tentang bagaimana kebudayaan

Indonesia di masa mendatang yang disampaikan oleh penulis,

penyair, sarjana, perdidik, dan politikus, muncul dimedia masa

berlansung cukup lama,yaitu dari tahun 1935 sampai 1939.

Polemik yang sangat hangat itu baru berhenti ketika perang dunia

II pecah pada tahun 1939. Claire Holt dalam bukunya Art in

Indonesia: Continuitis and Change diterjemahkan sebagai „’The

Great Debate’‟ atau „‟Perdebatan Besar‟‟. Para cendekiawan,

budayawan, sastrawan, dan seniman yang terlibat dalam polemik

10

itu masih melanjutkan pemikirannya di masa pendudukan Jepang

(1942-1945).14

Di sisi lain, Pada tahun 1935 tidak ada catatan pribadi

Daeng Soetigna mengenai kegelisahan tentang polemik

kebudayaan. Namun musikalnya secara tidak langsung

memperlihatkan ketegangan dalam mencari jati diri ke-Indonesia-

an. Sepuluh tahun semenjak periode bersekolah di Kweekschool

dan bertepatan dengan tahun Sumpah Pemuda sampai 1938

ketika memutuskan untuk membuat angklung yang „‟cocok bagi

kegelisahan dirinya‟‟. Menurutnya yang ideal adalah pendidikan

yang diperkenalkan oleh Belanda menjadi ciri khas yaitu sistem

Barat. Dunia musik yang dikuasainya, adalah sistem Barat

diatonis-kromatis yang artinya penguasaan secara formal terhadap

ilmu harmoni, sistem penulisan notasi, dan pembentukan

komposisi musik.15

Pada tahun 1938 Daeng Soetigna kedatangan seorang

pengamen dengan membawa angklung. Daeng kemudian tertarik

suara angklung tersebut dan membelinya. Setelah beberapa

waktu kemudian Daeng bertemu dengan Djaja (seorang pembuat

angklung). Daeng belajar dengan cara membuat angklung yang

kemudian mencari suara dari bambu dan “menyetemnya”. Berkat

14. Soedarsono, R.M, Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi, 74-76 15. Sumarsana, Tatang dan Ganarsih Pirous, Erna et al. Membela

Kehormatan Angklung Sebuah Biografi dan Bunga Rampai Daeng Soetigna (Jakarta: Serambi Pirous, 2007), xxiii

11

keuletannya, akhirnya Daeng berhasil membuat diatonis (do-re-

mi-fa-sol-la-si-do). Angklung ini yang kemudian diperkenalkan dan

dipopulerkannya di Kuningan maupun di luar Kuningan.

Angklung kemudian disebut “angklung modern” atau disebut pula

menurut nama pembaharunya (Bapak) Daeng dengan “Angklung

Padaeng”. Sebutan terakhir ini terutama oleh para muridnya

seperti Moch. Hidayat W.

Caranya menala tabung angklung, baik sumber-nadanya

maupun resonatornya Daeng Soetigna belajar dengan Djaya.

Angklung itu pada prinsipnya sama dengan gender. Gender yang

terbuat dari perunggu sumber nadanya berasal dari wilahan yang

dipukul (tung), dan tabung resonator yang dipasang di bawahnya

(udara yang ada dalam rongga tabung). Pada angklung: Sumber

nada dari bambunya dan resonator udara yang ada di dalamnya.

Hal yang diperhatikan dalam Daeng soetigna menyetem angklung,

yaitu 1) Kesabaran dan kecermatan, 2) Sepasang telinga yang

musikal, 3) Sebilah pisau raut yang tajam. Tinggi rendah nada

diteliti dengan cara mengetuk-ngetuk bakal angklung itu dengan

pegangan pisau, dan terdengarlah bunyi tung, tung, tung. Apabila

nada terlalu tinggi, maka sisi bambu itu diambil (raut) sedikit, dan

kalau rendah, ujungnya dipotong sampai nadanya tepat.

Pada bulan April 1938 dalam rangka peringatan hari ulang

tahun Paguyuban Pasundan, yang diselenggarakan oleh

12

Padvinders Organisatie Pasundan (POP) dan dalam acara tersebut

angklung Daeng Soetigna pertama kali perkenalkan kepada

umum. Kemudian disaksikan oleh tokoh-tokoh Paguyuban dan

tokoh-tokoh kepanduan, seperti Otto Iskandardinata, Otto

Subrata, Atik Suwardi, Djuanda, Gazali, bekas menteri P & K

Sanusi Hardjadinata dan lain-lain.16 Semenjak itu angklung mulai

dikenal masyarakat.

Perkembangan yang sangat menggembirakan adalah

banyaknya pementasan angklung sehingga keberadaannya dikenal

oleh masyarakat dan dunia internasioanal, diantaranya: pada

tahun 1955 dalam acara Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung,

tahun 1983 Angklung masuk ke kepulauan Solomon oleh Udjo

Ngalagena, tahun 1995 pengisi acara promosi pariwisata yang

diselenggarakan di London, tahun 2000 diperkenalkan di

Argentina atas permintaan Negara tersebut pada KBRI, tahun

2004 mendapatkan penghargaan internasional PATA Award di

Jeyu, Korea Selatan.17

Tahun 1967 Udjo Ngalagena mendirikan Saung Angklung

Udjo: Sundanese Art & Bambo Craft Center di jalan Padasuka,

Bandung. Saung Angklung Udjo tersebut dikemas dalam bentuk

pertunjukan untuk wisata dan melibatkan penduduk dari

16. Di unduh pada tanggal 28 Agustus 2012, jam 20.00 wib

17. Sarwono, Aylawati. Angklung, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, 2007), i

13

lingkungan sekitar. Kata “saung” dalam bahasa Sunda berarti,

rumah kecil, pondok, dangau, gubuk, atau tempat tinggal

sementara yang berada di sawah atau ladang.18

Selain Angklung, Udjo dan Muhammad Burhan juga

mendirikan Arumba untuk bergabung mendukung SAU. Burhan

memiliki kemampuan mengemas Arumba. Sebuah grup musik

yang digabung/kombinasi antara angklung dengan alat musik,

seperti drum, gitar, elektrik bas serta alat musik lain dan dua

orang penyanyi.19

Tahun 1968 turis mancanegara dari Perancis, orang

pertama yang berkunjung ke SAU dan Nitour adalah biro

perjalanan yang membuat terobosan yang membawa enam orang

turis tersebut. Nitour kemudian kembali membawa tamu

mancanegara, diantaranya Yang Mulia Tuanku Abdurachman dari

Malaysia, Jenderal West Moreland dari Amerika Serikat,

Mahachakri Sirindom (putri kerajaan Thailand), Videl Ramos dari

Filipina, dan duta besar dari beberapa Negara sahabat. Kemudian

dari pejabat pemerintah, yaitu GP Sholihin Gubernur Jawa Barat,

Ali Sadikin Gubernur DKI Jakarta, Menteri Kelestarian

Lingkungan Hidup Emil Salim, Menteri Penerangan Harmoko, Ibu

18. Syafii, Sulhan. Udjo Diplomasi Angklung (Jakarta, PT Grasindo,

anggota Ikapi, 2009), 17-21. 19. Syafii, Sulhan. Udjo Diplomasi Angklung, 73

14

Soesilo Soedarman bersama jajaran Pariwisata Pos dan

Telekomunikasi, ibu Asri Ainun Habibie bersama tamu Industri

Pesawat Terbang Nusantara, dan lain-lain.20

Pada tahun 1968 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan RI No. 182/1968, tertanggal 23 Agustus 1968 yang

menyatakan bahwa angklung sebagai alat pendidikan musik

nasional.21 Angklung dijadikan sebagai sarana pendidikan

berdasarkan pertimbangan diantaranya harganya murah,

dimainkan dengan mudah, dapat dimainkan secara masal, di

dalam permainan angklung terdapat unsur mendidik (disiplin,

tanggung jawab, kerjasama, solidaritas, konsentrasi dan etos

kerja) dan menarik dari alat musik yang sederhana dapat

memainkan lagu yang sulit.22

Dalam perkembangan beberapa tahun terakhir ini,

pertunjukan angklung di Indonesia maupun dimancanegara sering

diselenggarakan. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya

pertunjukan-pertunjukan populer maupun orkestra yang

digabung dengan angklung diliput oleh media massa baik

audiovisual maupun media cetak. Pertunjukan angklung yang

20. Syafii, Sulhan. Udjo Diplomasi Angklung, 29. 21. Sarwono, Aylawati, Angklung, ii 22. Wiramihardja, Panduan Bermain Angklung, 10-11

15

semakin banyak menimbulkan minat masyarakat terhadap

angklung.

Topik penelitian ini dipilih penulis di mana ide berawal dari

Perguruan Budi Mulia Dua ingin memiliki seperangkat angklung

guna menunjang pendidikan musik maka kami dipercaya dengan

beberapa guru musik dan guru kesenian melakukan studi banding

ke Saung Angklung Udjo, Bandung. Selain studi banding juga

membeli seperangkat angklung, pengiring dan arumba. Kemudian

yang kedua, ketika acara Indonesia Mencari Bakat. Acara tersebut

menyajikan beraneka ragam bentuk penyajian, namun dari sekian

banyak peserta ada yang menarik perhatian yaitu peserta dari

Bandung yang dalam bentuk penyajianya menggunakan alat

musik bambu, yaitu Angklung. Penampilan tersebut menarik

perhatian karena musik populer yang digabung dengan angklung

menjadi sangat unik dan mempunyai ciri khas atau karakter

musik tersendiri. Penulis tergerak untuk mengetahui Angklung

Daeng Soetigna dan perkembangan angklung.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat

dikatakan bahwa perubahan angklung diatonis oleh Daeng

Soetigna mempunyai peranan cukup penting dari ritual sampai

pertunjukan pariwisata. Dengan memahami sekilas tentang

16

angklung dan musik Barat serta permasalahanya, maka

dibutuhkan suatu perumusan masalah untuk mempermudah

atau membatasi suatu penelitian yang akan dilaksanakan.

Rumusan masalah yang dapat diungkapkan diantaranya adalah

sebagai berikut.

1. Bagaimana Daeng Soetigna merubah angklung pentatonis

menjadi diatonis sampai pertunjukan pariwisata?

2. Faktor apa saja yang mempengaruhi Daeng Soetigna untuk

melakukan perubahan tersebut?

3. Bagaimana Angklung menjadi sarana pendidikan musik?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini

bertujuan untuk mengungkapkan berbagai hal yang terdapat pada

kesenian rakyat, khususnya angklung di Jawa Barat, baik secara

kontektual maupun tekstual. Adapun kontekstual hal-hal yang

dimaksud adalah sejarah perubahan dan perkembangan

pertunjukan angklung.

Selanjutnya tujuan penelitian ini, di samping tersebut di

atas juga untuk menggali lebih dalam secara tekstual mengenai

musik angklung dalam bentuk kajian musikologis. Adapun bentuk

kajian musikolgis yang dimaksud adalah tentang analisis

17

komposisi musik angklung yang meliputi: bentuk komposisi

musik, elemen-elemen musik, instrumen pendukung dalam

bentuk aransemen yang kesemuanya ini akan dipaparkan secara

terperinci dalam penulisan ini.

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memberi

gambaran secara mendalam tentang angklung baik sejarahnya

maupun bentuk komposisi musik. Harapan lain dalam penelitian

ini adalah agar tercapai manfaat dalam membuat analisis

komposis musik secara mendalam. Demikian juga penelitian ini

semoga dapat bermanfaat bagi pembaca dan pihak-pihak lain yang

membutuhkan serta sebagai salah satu acuan untuk peneliti

selanjutnya.

D. Tinjauan Pustaka

Langkah awal dalam penelitian setelah menetapkan topik

adalah studi pustaka, yaitu dengan mempelajari karya-karya tulis

yang berupa buku, jurnal, laporan penelitian dan lain-lain yang

berkaitan dengan topik penelitian. Sumber-sumber pustaka yang

diacu untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:

R.M Soedarsono, dalam bukunya yang berjudul Seni

Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi. Penerbit Gadjah Mada

18

University Press (2010). Buku ini membahas tentang

perkembangan seni pertunjukan dalam kehidupan masyarakat.

Tatang Sumarsana dan Erna Ganarsih berjudul Membela

Kehormatan Angklung Sebuah Biografi dan Bunga Rampai Daeng

Soetigna yang diterbitkan oleh Yayasan Serambi Pirous Jakarta

2007 berisi tentang sejarah Daeng soetigna dari awal pendidikan

sampai menemukan angklung diatonis hingga angklung dikenal di

masyarakat baik dalam negeri maupun luar negeri

Tesis yang berjudul Udjo Ngalagena Maestro Angklung

Indonesia penulis Nanan Supriyatna yang disajikan untuk

memenuhi persyaratan mencapai derajat S-2 pada Program

pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas Gadjah

Mada Tahun 2000 Tesis berisi tentang perjalanan hidup sang

maestro Udjo Ngalagena dan pertunjukan angklung yang dikemas

dalam wisata.

Tesis berjudul Angklung Baduy Dalam Upacara Ritual

Ngaseuk penulis Dinda Satya Upaja Budi untuk memenuhi

persyaratan mencapai derajat S2 pada Program Seni Pertunjukan

dan Seni Rupa Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Program Pasca

Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2001. Tesis ini

membahas tentang makna instrumen Angklung dalam upacara

ritual Ngaseuk/tanam padi.

19

Buku yang berjudul Udjo Diplomasi Angklung oleh Sulhan

Syafii digunakan untuk menjelaskan sejarah perjalanan Udjo,

memperkenalkan angklung pada dunia internasional, dan jenis-

jenis lagu yang dimainkan.

Leon Stein, Structure and Style: The Study and Analisis of

Musical Form, Expand Edition (New Jersey, USA: Summy-Birchard

Music, 1979). Buku yang menguraikan definisi figur, motif, frase,

tema dalam analisis struktural dari sebuah karya musik.

Adler, Samuel, The Study of Orchestration, New York: W.W.

Norton & Company, Inc, 2002. Buku yang menguraikan definisi

melodi, warna suara, ritme, harmoni, bentuk-bentuk komposisi

musik, serta pengelompokan instrument musik yang didasarkan

pada cara instrument tersebut menghasilkan suara idiofon,

membranophones, aerofon.

E. Landasan Teori

Berdasarakan metodologi yang diterapkan di dalam

melakukan proses penelitian, baik melalui kerja lapangan maupun

laboratorium, maka diperlukan suatu landasan teori sebagai dasar

pedoman dalam penyusunan suatu karya. Adapun permasalahan

dalam penelitian ini cukup kompleks, maka perlu adanya alat

bantu untuk mendapatkan jawaban yang memadai berupa teori-

teori dan konsep-konsep dari bidang lain, seperti teori sejarah,

20

teori wisata, teori pendidikan dan kajian utama dengan

pendekatan musikologi.

Untuk mengetahui keberadaan dan perkembangan angklung

di Jawa Barat, akan memakai suatu teori sejarah dalam melacak

asal usul angklung tersebut dan perubahan yang terjadi menurut

perkembangan zaman. David Kaplan (2002:92) dalam bukunya

yang berjudul Teori Budaya mengungkapkan dalam pandangan

yang lazim dalam persoalan sejarah, adalah bahwa peristiwa

sejarah adalah peristiwa yang terjadi pada masa silam, dan bahwa

pengetahuan kesejarahan adalah pengetahuan tentang peristiwa

masa silam.23 Konsep ini dapat menegaskan bahwa keberadaan

angklung di Jawa Barat sekarang ini adalah hasil dari perubahan

dan pergeseran seiring dengan perkembangan masyarakat dari

waktu sebelumnya. Lebih lanjut menurut (A. Daliman, 2012: 9)

dalam bukunya yang berjudul Metode Penelitian Sejarah

mengungkapkan peristiwa masa lampau yang dikaji adalah

aktivitas yang dilakukan manusia mencakup apa yang telah

dipikirkan, direncanakan dan yang dirasakan maupun yang

diharapkan. Dalam relasinya dengan waktu dalam kajian sejarah

meliputi perkembangan, kesinambungan (kontinuitas),

pengulangan, dan perkembangan. Perkembangan menyangkut

23. Kaplan, David dan Manners, Robert A, Teori Budaya judul asli The

Thoery of Culture, penerj. Landung Simatupang ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 92

21

segala bentuk gerak perubahan masyarakat yang berturut-turut

dan bertahap menuju bentuk masyrakat yang lebih baik dan lebih

tinggi tingkat hidupnya. Kesinambungan (kontinuitas) terjadi

apabila perkembangan generasi baru meneruskan generasi

sebelumnya. Pengulangan terjadi bila yang telah terjadi di masa

lalu terjadi di masa kemudian. Sedangkan perubahan

dipergunakan untuk menunjuk suatu perkembangan yang

sifatnya lebih cepat dan lebih besar.24

Menurut (Bernet Kempres, 1947:537) berpendapat, sebagai

berikut: sejarah musik mencakup segala yang berhubungan

langsung dengan musik, hasil ciptaan musik dari segala zaman,

praktek penyajian, organisasi kehidupan musik, apresiasi atau

kedudukan pemusik, perubahan dan tujuan, hakikat dan fungsi

musik, penerbitan dan perdagangan karya, bibliografi, sejarah

pendidikan dan pengajaran musik, penciptaan dan perkembangan

not balok musik, pengalihan dari notasi lama ke notasi baru,

kritik musik, pengelompokan karya-karya musik dari zaman

dahulu ke dalam gaya, perbandingan dengan cabang seni lain,

penelusuran kontiunitas tradisi musik, mengenai terjadinya

24 . Daliman, A. Metode Penelitian Sejarah (Yogyakarta: Ombak, 2012), 8-

9

22

bentuk-bentuk dan cara-cara ekspresi baru, pelukisan watak dari

berbagai seniman besar musik, dan lain sebagainya.25

Secara teori instrumen musik ini dapat dikatakan sebagai

sebuah bentuk musik yang mengalami perubahan dari bentuk

aslinya. Di antaranya disebabkan adanya perubahan nada yang

masuk yang semula pentatonik menjadi diatonis. Pada awalnya

angklung digunakan untuk ritual yang berhubungan dengan padi

kemudian berubah menjadi kebutuhan masyarakat yang bersifat

hiburan dan komersial.

Berkaitan dengan bentuk penyajian kesenian tradisional

yang pada umumnya memakan waktu lama dengan segala aturan

yang ketat, tidaklah sesuai lagi dengan kesempatan yang dimiliki

oleh wisatawan yang tidak cukup banyak waktu. Mereka pada

umumnya telah terikat oleh suatu jadwal kunjungan yang padat

dengan maksud untuk dapat melihat keanekaragaman eksotisme

sebanyak-banyaknya. Akibat logis dari kenyataan tersebut, maka

lahirlah bentuk kemasan-kemasan seni pertunjukan yang dibuat

khusus untuk kepentingan itu. Bentuk kemasan ini merupakan

suatu paket khusus para wisatawan yang tidak cukup waktu

banyak tadi. Pada umumnya mereka menginginkan untuk dapat

melihat seni pertunjukan sebanyak-banyaknya dalam waktu yang

25. Sedyawati, Edi, Pertumbuhan Seni Pertunjukan (Jakarta: Sinar

Harapan, 1980), 144

23

singkat dan dilakukan kapan saja. Seni pertunjukan wisata

biasanya masih mengacu pada bentuk seni tradisional, akan tetapi

telah mengalami perubahan-perubahan dari kaidah yang berlaku

bagi masyarakat tradisional pendukungnya.

Para wisatawan mancanegara itu merupakan komunitas

tersendiri, yang apabila kita terapkan konsep Tomars akan

menghadirkan seni pertunjukan yang khas buat mereka. Seni

pertunjukan semacam inilah yang bisa kita sebut seni

metamorphosis, atau seni akulturasi, atau seni pseudo-tradisional,

atau seni wisata. Oleh karena seni komunitas wisata adalah

komunitas temporer, yang hanya tinggal beberapa hari di daerah

tujuan wisata, dan pada umumnya mereka membawa uang

secukupnya, maka kemasan yang cocok buat wisatawan tersebut

adalah kemasan yang memiliki ciri-ciri seperti tersebut diatas

yaitu: (1) tiruan dari aslinya, (2) singkat atau padat atau bentuk

mini dari aslinya, (3) penuh variasi, (4) ditanggalkan nilai-nilai

sakral, magis, dan simbolisnya, (5) murah harganya. Dalam

menikmati pertunjukan wisata, pada umumnya para wisatawan

mancanegara lebih hanya bertujuan untuk sekedar mendapatkan

24

„pengalaman estetis„, dan bukan untuk menikmati dengan

penghayatan.26

Jalaluddin (2003) dalam Teologi Pendidikan menjelaskan

bahwa dasar-dasar pendidikan berakar dari pandangan tentang

manusia sebagai makhluk berakal dan berbudaya, serta manusia

hidup berkreasi dan berinovasi. Manusia dalam berkreasi dapat

menghasilkan karya berupa pemikiran atau karya bendawi,

berupa benda-benda budaya yang diperlukan dalam

meningkatkan dan mengembangkan perikehidupannya. Manusia

mampu berinovasi untuk menemukan berbagai karya baru yang

belum pernah ada.27 Proses pendidikan diharapkan individu

memiliki kemampuan intelektual, emosional, spiritual dan

kemampuan sosial dalam mengembangkan ketrampilan hidup (life

skill). Secara khusus kompetensi individu dalam musik angklung

memiliki kemampuan apresiasi, kreatifitas, dan kemampuan

berekpresi sehingga setiap individu mempunyai nilai dasar

humaniora untuk menerapkan kebersamaan, tenggang rasa,

disiplin dan tanggungjawab dalam kehidupan.28

Pendekatan musikologis digunakan untuk mengkaji struktur

musik secara analisis struktural dari musik. Leon Stein (1979)

26. Soedarsono, R.M. Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata

(Yogyakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia Bekerjasama dengan Art.line atas bantuan Ford Foundation, 1999), 8

27. Salahuddin, Anas, Filsafat Pendidikan (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), 134

28. Wiramihardja, Obby A.R, Panduan Bermain Angklung, 11

25

menyebutkan bahwa musikologi membahas semua tentang bentuk

analisis musik. Analisis musik meliputi: periode atau kalimat

musik yang terdiri-dari frase tanya (antesedent phrase) dan frase

jawab (consequent phrase). Kemudian sub-sub frase secara

terperinci serta elemen-elemennya antara lain, motif, melodi,

harmoni, dan ritme. Penelitian ini meliputi analisis lagu karya

Daeng Soetigna dan Bohemian Rhapsodi karya Queen aransemen

Daeng Oktaviandi Udjo yang mencakup analisis bentuk musik,

analisis melodi dan analisis harmoni

F. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptik analisis dan

interpretatif dengan memanfaatkan data kualitatif. Dalam

penelitian kualitatif seorang dituntut harus mampu

mengekplanasi semua bagian yang bisa dipercaya dari sumber

informasi yang diketahuinya serta tidak menimbulkan kontradiksi

dengan interpretasi yang disajikan.29 Penelitian ini merupakan

penelitian kualitatif dengan peneliti bertindak sebagai instrumen

penelitian. Hal ini merupakan posisi yang cukup rumit, karena

peneliti sekaligus sebagai perencana, pelaksana pengumpulan

data, analisa data, penafsir data, dan pada akhirnya menjadi

29. R.M. Soedarsono, Metode Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa

(Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999),27

26

pelapor hasil data penelitian.30 Adapun pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan multidisiplin dengan menggunakan

pendekatan sejarah, dan musikologi.

Penelitian ini menggunakan studi pustaka untuk

mengumpulkan data sebagai landasan teori dari sumber tertulis,

yaitu buku dan alat tulis. Observasi lapangan dilakukan dengan

wawancara terhadap sumber terkait, menggunakan alat perekam

untuk mendapatkan informasi lisan. Sedangkan untuk

mendapatkan data berupa gambar, digunakan kamera sebagai

alat dokumentasi.

Ada beberapa kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini.

Dari beberapa kegiatan tersebut semuanya merupakan langkah-

langkah atau proses kegiatan yang tidak berurutan. Kegiatan

tersebut, di antaranya:

1. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah merupakan langkah awal yang

dilakukan secara intensif. Tujuan dari studi kepustakaan untuk

memperoleh literature yang ada kaitannya dengan obyek

penelitian yang akan dilakukan, selanjutnya studi kepustakaan

dilakukan untuk menghindari agar tidak terjadi kesamaan obyek

permasalahan antara peneliti terdahulu dengan peneliti sendiri.

30. Moleong, Lexi J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi revisi, Cetakan

ke 21, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 168.

27

2. Observasi

Observasi adalah pengamatan lapangan dimana peneliti

melakukan interaksi intensif terhadap obyek penelitian. Dalam

penelitian ini peneliti menggunakan observasi partisipatif, yaitu

terlibat dengan kegiatan selama proses latihan Angklung.

3. Wawancara

Pembahasan tentang wawancara mempersoalkan beberapa segi

yang mencakup: (1) pengertian dan macam-macam wawancara, (2)

bentuk-bentuk pertanyaan, (3) menata urutan pertanyaan, (4)

perencanaan wawancara, (5) pelaksanaan dan kegiatan sesudah

wawancara, dan (6) wawancara kelompok fokus.31 Dalam

wawancara peneliti menggunakan alat bantu seperti alat tulis,

kamera dan alat perekam.

4. Analisis Data

Analisis Data Kualitatif (Bogdan dan Biklen,1982) adalah upaya

yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,

mengorganisasikan data, memilah-milah menjadi satuan yang

dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola,

menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan

memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.32

Dalam tahapan ini peneliti berusaha kritis dalam menanggapi

permasalahan yang dihadapi secara deskriptis-musikologis. Data-

31. Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif,186 32 . Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif,148

28

data yang terkumpul dievaluasi dan diuraikan menurut pokok

permasalahan sehingga analisis benar-benar akurat.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian yang berjudul Daeng Soetigna Dan Perkembangan

Angklung terbagi dalam lima bab yang tersusun sebagai berikut:

Bab pertama berupa latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,

metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab ke dua menguraikan angklung pada masa sebelum

kemerdekaan terbagi dalam enam sub bab yaitu sejarah angklung,

Daeng Sutigna dan pendidikan, berguru pada Djaja, fungsi

angklung dalam masyarakat dibagi empat sub bab angklung

Baduy, angklung Gubrag, angklung Dogdog Lojor, angklung

Badeng, angklung Buncis.

Pada bab ke tiga berisi tentang angklung setelah masa

kemerdekaan. Dalam bab ini terdapat tujuh sub bab, yaitu Daeng

Soetigna belajar di Australia, Pengukuhan Angklung Sebagai

Warisan Budaya Indonesia, Unit Angklung Daeng Soetigna, Saung

Angklung Udjo, Pertunjukan Angklung Udjo Ngalagena, Fungsi

Angklung Dalam Pendidikan, Unit Angklung Daeng Soetigna,

Analisis Struktur Musik di bagi dalam tiga sub Yaitu Struktur

Musik, Analisis Bentuk Lagu Mars Angklung, Analisis Bentuk

29

Mars Pembukaan, Analisis Bentuk Bohemian Rhapsodi Ciptaan

Queen Aransemen Daeng Oktaviandi Udjo

Pada bab keempat membahas tentang Analisis Struktur

Musik yang dibagi dalam lima sub bab. Sub bab pertama tentang

struktur musik didalam terdapat penjelasan melodi, ritme,

harmoni, dan warna suara. Sub bab kedua analisis bentuk musik.

Sub bab ketiga analisis bentuk lagu mars angklung ciptaan Daeng

Soetigna. Sub bab keempat analisis bentuk Mars Pembukaan

Ciptaan Daeng Soetigna, dan sub bab ke lima analisis bentuk

Bohemian Rhapsodi ciptaan Queen aransemen Daeng Oktaviandi

Udjo.

Bab V kesimpulan hasil penelitian, yang merupakan poin-

poin penting yang diperoleh dari kegiatan penelitian.