37
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pariwisata masih menjadi salah sektor andalan bagi negara berkembang, termasuk dalam hal ini adalah Indonesia. Bagi negara berkembang sektor ini termasuk prioritas guna meningkatkan devisa Negara, Selain itu pariwisata merupakan industri gaya baru yang mampu memacu pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam hal kesempatan kerja, pendapatan, taraf hidup, dan dalam mengaktifkan sektor lain di dalam negara penerima wisatawan. Di samping itu pariwisata sebagai suatu sektor yang kompleks, mampu menghidupkan sektor- sektor lain meliputi industri-industri seperti industri kerajinan tangan, industri cinderamata, penginapan, dan transportasi. 1 Disebutkan pula bahwa pariwisata sebagai industri jasa yang digolongkan sebagai industri ke tiga cukup berperan penting dalam menetapkan kebijaksanaan mengenai kesempatan kerja, dengan alasan semakin mendesaknya tuntutan akan kesempatan kerja yang tetap sehubungan dengan selalu meningkatnya wisata pada masa yang akan datang. 2 Bagaimanapun pariwisata tidaklah lepas dari sektor ekonomi, kedua sektor ini saling berhubungan erat baik secara akademis maupun prakteknya. Banyak studi, kajian, maupun penelitian terkait dengan pariwisata dengan ekonomi. Misalnya dalam studi yang dilakukan Sarinen dan Manwa (2008) yang mengambil kasus di Botswana, dimana pariwisata berperan dalam meningkatkan 1 Salah Wahab. 1976. Manajemen Kepariwisataan Terjemahan Frans Gromang Jakarta: PT Pradnya Paramita, halaman. 5. 2 James J. Spillane.1993. Ekonomi Pariwisata: Sejarah dan Prospeknya .Yogyakarta: Kanisius.halaman. 47.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/86986/potongan/S2-2015... · merupakan industri gaya baru yang mampu memacu pertumbuhan ekonomi yang cepat

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pariwisata masih menjadi salah sektor andalan bagi negara berkembang,

termasuk dalam hal ini adalah Indonesia. Bagi negara berkembang sektor ini

termasuk prioritas guna meningkatkan devisa Negara, Selain itu pariwisata

merupakan industri gaya baru yang mampu memacu pertumbuhan ekonomi yang

cepat dalam hal kesempatan kerja, pendapatan, taraf hidup, dan dalam

mengaktifkan sektor lain di dalam negara penerima wisatawan. Di samping itu

pariwisata sebagai suatu sektor yang kompleks, mampu menghidupkan sektor-

sektor lain meliputi industri-industri seperti industri kerajinan tangan, industri

cinderamata, penginapan, dan transportasi.1 Disebutkan pula bahwa pariwisata

sebagai industri jasa yang digolongkan sebagai industri ke tiga cukup berperan

penting dalam menetapkan kebijaksanaan mengenai kesempatan kerja, dengan

alasan semakin mendesaknya tuntutan akan kesempatan kerja yang tetap

sehubungan dengan selalu meningkatnya wisata pada masa yang akan datang.2

Bagaimanapun pariwisata tidaklah lepas dari sektor ekonomi, kedua sektor

ini saling berhubungan erat baik secara akademis maupun prakteknya. Banyak

studi, kajian, maupun penelitian terkait dengan pariwisata dengan ekonomi.

Misalnya dalam studi yang dilakukan Sarinen dan Manwa (2008) yang

mengambil kasus di Botswana, dimana pariwisata berperan dalam meningkatkan

                                                                                                                         1 Salah Wahab. 1976. Manajemen Kepariwisataan Terjemahan Frans Gromang Jakarta: PT Pradnya Paramita, halaman. 5. 2 James J. Spillane.1993. Ekonomi Pariwisata: Sejarah dan Prospeknya .Yogyakarta: Kanisius.halaman. 47.

dan menumbuhkan ekonomi masyarakat. Sebagai akibatnya pariwisata menjadi

masalah sosial dan politik yang mempengaruhi tidak hanya pemandangan fisik,

penggunaan lahan, tetapi juga berpengaruh terhadap struktur sosial, budaya lokal,

kehidupan sehari-hari masyarakat dan mata pencaharian. Studi Ho (2000) di tiga

wisata pedesaan di China antara lain di Hongcun di Selatan Profinsi Anhui,

Linjiang di Provinsi Yunan barat daya Barat Cina, serta di Pingshan di Hong

Kong, menyimpulakan bahwa dikembangkanya pariwisata mayoritas untuk

kepentingan ekonomi, dimana sejarah dan nilai-nilai sengaja diciptakan,

Sedangkan proses pelestarian warisan tradisi dan kepentingan penduduk lokal

(penerima wisatawan) terabaikan.

Disatu sisi secara ekonomi dampak pariwisata sangat menguntungkan,

disisi lain juga berdampak pada ranah sosial budaya. Berdasarkan penelitiannya

di kepulauan Pasific, Mac Naught (1982) mengatakan bahwa pariwista telah

mencabut masyarakat dari bentuk ekspresi budaya-nya karena kepentingan

pariwisata. Mungkin apa yang dikatakan oleh Mac Naught (1982) ini menjadi

delemanya sendiri ketika ranah tradisional sudah tidak lagi bertahan maka dengan

adanya agenda pariwisata masayarakat sudah tercerabut dari akar budaya

aslinya. Ekspresi-ekspresi kultural sudah seakan mulai dibuat-dibuat

menyesuaikan agenda pariwisata. Begitu juga dengan kesenian, sebagai salah

satu komoditas pariwisata kesenian seakan sudah tidak lagi berdasarkan pada

ekspresi budaya masyarakat tetapi sudah atas dasar kepentingan pariwisata.

Selain itu juga terjadi perubahan dan dinamika masyarakat sebagai akibat adanya

proses pariwisata. Berkembangnya pariwisata akan memberikan banyak

pengaruh bagi masyarakat yang tinggal di lokasi wisata itu sendiri. Retnowati

(2004) menjelaskan bahwa pariwisata juga berpotensi memicu terjadinya

perubahan perilaku masyarakat, memudarnya nilai dan norma sosial, kehilangan

identitas, konflik sosial, pergeseran mata pencaharian dan pencemaran

lingkungan. Berbagai hal tersebut rentan terjadi di masyarakat sebagai akibat dari

perkembangan pariwisata. Selain memiliki dampak negatif, pengembangan

pariwisata juga dapat meningkatkan pendapatan dan tingkat ekonomi masyarakat.

Tema pariwisata sudah menjadi kajian yang menarik di kalangan ilmuwan

antropologi, sejak 1970an. Bagi para antropolog fenomena pariwisata dapat

menjadi jalan masuk dalam mengkaji isu-isu seperti: ekonomi politik, perubahan

sosial dan pembangunan, pengelolaan sumberdaya alam, identitas budaya dan

ekspresi3. Dengan perspektif holistiknya ilmu antropologi menjadi penting dalam

mengeksplorasi fenomena pariwisata yang ada. Secara konseptual Stronza (2001)

menjadi dua bagian, satu yang berfokus pada memahami asal-usul pariwisata dan

salah satu yang bertujuan untuk menganalisis dampak pariwisata. Studi tentang

asal-usul pariwisata cenderung fokus pada wisatawan, sedangkan pada tema

dampak pariwisata cenderung menganalisis hanya penduduk setempat. Pada

penelitaian ini peneliti cenderung membawa tema pariwista cenderung

menganalisis dampak budaya yang aktivitas pariwisata yang berfokus pada

masyrakat penerima wisatawan atau house community dalam bahasa lain disebut

juga winisatawan, khususnya damapak pada pranata ekonomi.

                                                                                                                         3 Lihat Amanda storonza. 2001. Anthropology of Tourism: Forging New Ground for Ecotourism and Other Alternatives. Annual Review of Anthropology, Vol. 30 (2001), pp. 261-283

Pariwisata dengan segala aspek kehidupan yang terkait di dalamnya akan

menuntut konsekuensi dari terjadinya pertemuan dua budaya atau lebih yang

berbeda, yaitu budaya para wisatawan (guest) dengan budaya masyarakat sekitar

(host) obyek wisata (Smith,1978 ; Nash,1998). Budaya-budaya yang berbeda dan

saling bersentuhan itu akan membawa pengaruh yang menimbulkan dampak

terhadap segala aspek kehidupan dalam masyarakat sekitar obyek wisata. Pada

hakekatnya ada empat bidang pokok yang dipengaruhi oleh usaha pengembangan

pariwisata, yaitu ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan hidup. Dampak positif

yang menguntungkan dalam bidang ekonomi yaitu bahwa kegiatan pariwisata

mendatangkan pendapatan devisa negara dan terciptanya kesempatan kerja, serta

adanya kemungkinan bagi masyarakat di daerah tujuan wisata untuk

meningkatkan pendapatan dan standar hidup mereka. Dampak positif yang lain

adalah perkembangan atau kemajuan kebudayaan, terutama pada unsur budaya

teknologi dan sistem pengetahuan yang maju. Dampak negatif dari

pengembangan pariwisata tampak menonjol pada bidang sosial, yaitu pada gaya

hidup masyarakat di daerah tujuan wisata. Gaya hidup ini meliputi perubahan

sikap, tingkah laku, dan perilaku karena kontak langsung dengan para wisatawan

yang berasal dari budaya berbeda4.

Berbagai penelitian baik dalam maupun luar negeri sudah banyak yang

menunjukan dampak dari kegiatan pariwisata khusunya dari segi ekonomi,

Seperti dalam penelitian yang dilakukan oleh: Aradhyula and Tronstad (2003),

IUOTO (1975), Rodernburg (1980), Udayana University (1975), Walope (2000)                                                                                                                          4Nyoman S.1990. Pendit, Ilmu Pariwisata “Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta: PT. Pradana Paramita hlm. 79-80.

dan Wilson (2008), Ahimsa (2012), dan sebagainya. Tetapi sedikit sekali yang

kemudian meneliti dampak budaya dari kegiatan ekonomi kepariwisataan,

khusunya diwilayah pariwisata pedesaan. Disinilah tugas para antropolog dalam

mengakji fenomena itu, meskipun para antropolog sudah banyak mengakajinya

misalnya studi-sudi yang dilakukan oleh Cohen (1979a,b), de Kadt (1979),

Farrell (1977a), Finney dan Watson (1975), Knox dan Suggs (1979), Smith

1977,1978,1980). Tetapi jarang sekali penelitian yang membahas proses

perubahan kebudayaan (akulturasi) dari sektor ekonomi pariwisata, khususnya

pada tataran mikro ekonomi, dengan melihah aktivitas mata pencaharian

masyarakat lokal penerima wisatawan. Apa lagi sektor pariwisata pedesaan ini

masih kurang mendapat perhatian dari tangan–tangan peneliti sosial budaya,

terlebih beberapa dekade ini dikenal istilah “desa wisata”.

Fenomena “Desa Wisata” pada beberapa dekade ini mewarnai dunia

pariwisata, khususnya pariwisata pedesaan di Yogyakarta. Meskipun secara

konseptual “Desa wisata” masih menjadi pertanyaan dan perdebatan. Tetapi

hadirnya desa wisata mampu menjadi sebuah gejala sosial baru yang mengubah

tatanan sosial yang ada di pedesaan. Dimana desa-desa yang memiliki potensi

wisata kemudian disulap menjadi “desa wisata” oleh Pemerintah Daerah, baik

Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten, yang tujuan utama adanya desa wisata

ini adalah untuk mensejahterakan masyarakat local,khusunya dalam hal ekonomi.

Motif ekonomi inilah kemudian menghasilkan proses perubahan sosial dan

budaya yang tidak jarang mengahasilkan masalah sosial bahkan friksi dalam

masyarakat. Untuk itu diperlukan kajian serius dan mendalam mengenai

perubahan kebudayaan sebagai akibat hadirnya desa wisata, khusunya dalam

bidang ekonomi.

Dari kacamata birokrasi “desa wisata” yang dipahami sebagai suatu

strategi resmi pemerintah daerah untuk mengembangkan wilayah, yang dipicu

antara lain oleh paradigma baru dalam pembangunan pariwisata yang lebih

melibatkan masyarakat, adanya minat masyarakat untuk mengembangkan dan

membangun desa mereka sendiri dan adanya paradigma pembangunan daerah

yang memanfaatkan pariwisata sebagai satu motor penggeraknya5. Secara umum

desa wisata ini adalah desa yang dikemas sebagai objek wisata tanpa

menghilangkan keaslian dari lokal yang ada di desa. Biasanya desa yang dibentuk

menjadi Desa Wisata memiliki potensi wisata berupa keindahan alam yang tak

ternilai, budaya, dan sejarah yang dapat dijadikan keunggulan di desa wisata

masing-masing.

Ada beberapa syarat yang kemudian harus dipenuhi oleh desa jika ingin

dijadikan sebagai desa wisata. Syarat-syarat tersebut antara lain memiliki potensi

wisata dan budaya yang khas, lokasi desa masuk dalam lingkup daerah

pengembangan pariwisata atau setidaknya berada dalam rute paket perjalanan

wisata yang sudah dijual, diutamakan telah tersedia tenaga pengelola, pelatih dan

pelaku–pelaku pariwisata, seni dan budaya, adanya aksesibilitas dan infrastruktur

yang mendukung program Desa Wisata serta terjaminnya keamanan, ketertiban,

                                                                                                                         5 Lihat Heddy Shri Ahimsa Putra. 2011. Pariwiwsata di Desa dan Respon Ekonomi: Kasus Dususn Brayut di Sleman, Yogyakarta. Patrawidya, vol 12, No. 4, Desember 2011, hal 636

dan kebersihan6. Selain syarat yang harus dipenuhi seperti diatas, desa wisata

harus memiliki tema-tema atau segmen-segmen tertentu seperti: desa wisata

budaya, desa wisata kreatif, desa wisata bahari, dan masih banyak yang lainya.

Di Yogyakarta terdapat beberapa “Desa Wisata” yang terbagi ke dalam

tiga kategori besar yaitu desa wisata mandiri, desa wisata berkembang, dan desa

wisata tumbuh. Kabupaten Sleman ini menurut wawancara peneliti dengan salah

seorang Staf di Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman, terdapat 38 desa wisata yang

terdiri dari 12 desa wisata tumbuh, 13 desa wisata bekembang, dan 13 desa wisata

yang tergolong kedalam kategori desa wisata mandiri. Dari 38 desa wisata ini

menurut Firdaus (Ahimsa-Putra: 2011) terbagi lagi menjadi enam segmen desa

wisata yaitu (1) desa wisata budaya, (2) desa wisata pertanian, (3) desa wisata

kerajinan, (4) desa wisata fauna, (5) desa wisata merapi, dan (6) desa wisata

pendidikan.

Mata pencaharian atau aktivitas ekonomi suatu masyarakat menjadi fokus

kajian penting dalam etnografi. Penelitian etnografi mengenai sistem mata

pencaharian mengkaji bagaimana cara mata pencaharian suatu kelompok

masyarakat atau sistem perekonomian mereka untuk mencukupi kebutuhan

hidupnya. Pada saat ini hanya sedikit sistem mata pencaharian atau ekonomi

suatu masyarakat yang berbasiskan pada sektor pertanian. Tetapi seiring

berjalanya waktu sistem mata pencaharian masyarakat mengalami perubahan,

sebagai akibat adanya arus modernisasi.

                                                                                                                         6 Agus Muriawan Putra.Konsep Desa Wisata. Jurnal Manajemen Pariwisata, Juni 2006, Volume 5, Nomor 1

Perubahan sistem mata pencaharian pada masyarakat ini menurut

Koentjaraningrat7 sudah tercermin pada proses historis keberadaan manusisa

yaitu pada masa berburu dan meramu. Terbukti bahwa berburu dan meramu

adalah sistem mata pencaharian yang paling tua dan paling awal yang dilakukan

oleh manusia. “Ekonomi pengumpulan pangan “ ini sering disebut juga dengan

istilah “food gathering” artinya dalam kehidupan manusia berburu dan meramu

ini sudah mulai mengenal mengenai bagaimana cara mencari dan mengumpulkan

berbagai tanaman dan binatang yang dijadikan sebagai pangan pokok agar bisa

bertahan hidup. Kemudian mengalami perubahan dengan cara mulai bercocok

tanam. Pada konteks pariwisata ini, proses transformasi mata pencaharian tak

ubahnya seperti yang digambarkan oleh Koentjaraningrat (1990) yang dahulunya

berburu dan meramu yang kemudian berubah menjadi proses bercocok tanam

atau bertani.

Secara mikro fenomena perkembangan pariwisata berdampak juga

terhadap sistem mata pencaharian penduduk penerima wisatawan (host

community). Dimana dalam proses pariwisata ini terdapat kontak sosial antara

Wisatawan (guest) dan penerima wisatawan (host), sehingga berdampak pada

perubahan pola-pola kehidupan termasuk juga dalam hal ini adalah perubahan

sistem mata pencaharian. Misalnya wisatawan mulai tergiur dan mencicipi kue

yang disediakan winisatawan, kemudian proses itu terus menerus. Sehingga

berakibat pada berpindahnya mata pencaharian dari sektor agraris ke sektor

industri makanan untuk pariwisata. Proses perubahan mata pencaharian ini terjadi                                                                                                                          7 Koentjaraningrat. 1990. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta : Dian Rakyat

sebagai salah satu bentuk akulturasi kebudayaan. Dimana kebudayaan yang ada

pada pihak penerima (host) dibenturkan dengan para pendatang atau wisatawan.

Diadobsinya unsur-unsur kebudayaan asing dalam satu masyarakat

tertentu akan membawa konsekuensi-konsekuensi sosial8 , termasuk di Desa

wisata. Berbagai macam prnata sosial yang ada di desa akan sedikit bnyak

mengalami perubahan. Desa yang bertumpu pada sektor agraris seperti pertanian

dan perternakan akan berubah menjadi pariwisata. Perubahan atau proses adobsi

kebudayaan akan memperoleh respon dari anggota msyarakat. Ada yang

kemudian menerima dan adapula yang kemudian menolak adanya perubahan

pranata sosial yang ada. Tingkat penerimaan terhadap adobsi budaya yang baru ini

sangat menarik untuk diteliti lebih mendalam.

Penelitian etnografi ini diharapkan dapat menjadi alternatif dalam

menelaah dan mengakaji fenomena “Desa Wisata”, yang berdasarkan pada

temuan-temuan empiris yang berasal dari penelitian lapangan yang cukup

mendalam. Sebelumnya banyak kajian mengenai “desa wisata” yang ada di

Yogyakarta, tetapi jarang sekali yang menyentuh aspek ekonomi sebagai suatu

dampak atau gejala social yang ditimbulkan dari adanya implementasi konsep

“desa wisata” di pedesaan Yogyakarta. Satu kajian menarik dari Ahimsa-Putra

(2011) yang meneliti respon ekonomi penduduk di Brayut ketika desa mereka

pelan-pelan menjadi desa wisata. Tetapi etnografi ini tidak menekankan pada

respon ekonomi, melainkan pada proses akulturasi ekonomi yang kemudian

                                                                                                                         8 Heddy Ahimsa Putra. 2014. Pariwisata dan Perubahan Kebudayaan : Desa Wisata Sebagai Arena Akulturasi Budaya. Proposal penelitian: Tidak diterbitkan, hal 2

dijelaskan dalam konsep “ekonomi hibrida” atau “hybrid economic”, sebagai

sebuah dampak yang ditimbulakan dalam proses pariwisata pedesaan.

Penelitian ini dilakukan di salah salah satu dukuh di Desa Margodadi,

Kecamatan Sayegan, Kabupaten Sleman yang juga merupakan salah satu desa

wisata, yaitu Dukuh Grogol yang sejak 2001 ditetapkan dalam kategori “desa

wisata budaya”. Desa Wisata Budaya Grogol ini digolongkan menjadi desa wisata

tumbuh dari 2001, dan baru menjadi desa wisata berkembang setelah 2010.

Setelah semakin berkembangnya Desa Wisata Budaya Grogol yang ditandai

dengan semakin meningkatnya aktivitas wisata, pada akhir 2014 Desa Wisata

Budaya Grogol berhasil meraih penghargaan sebagai Juara II Lomba Desa Wisata

Berkembang di Tingkat Kabupaten Sleman, dan Harapan III di tingkat Provinsi

DI Yogyakarta pada bulan april 2015.

Menjadi menarik karena penelitian ini melihat proses akulturasi yang

terjadi pada fenomena pariwisata dengan mengambil konsentrasi pada perubahan

sistem mata pencaharian masyarakat. Perubahan mata pencaharian masyarakat

sebagai salah satu dampak yang ditimbulkan adanya proses pariwisata ini

melahirkan kebudayaan baru seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Maka

penelitian ini mencoba melihat realita pariwisata dengan fokus pembahasan pada

dampak yang ditimbulkan atau pengaruhnya terhadap sistem mata pencaharian

masyarakat di Desa Wisata.

B. Masalahan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat diasumsikan, bahwa

perubahan budaya akibat proses desa wisata yang dominan adalah pranata

ekonomi atau mata pencaharian masyarakat local penerima wisata atau guest

community. Proses perubahan pada pranata ekonomi (mata pencaharian)

masyarakat diperoleh melalui kontak kebudayaan, baik diperoleh dari wisatawan,

aktor-aktor inovasi, pelatihan atau work shop, media, dan banyak agen-agen

perubahan lainnya. Kemudian kebudayan baru yang dibawa aktor-aktor tersebut

akan berakulturasi dengan budaya lokal. Maka rumusan masalah penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses perubahan kebudayaan yang terjadi pasca ditetapkanya

Dukuh Grogol sebagai Desa Wisata Budaya?

2. Bagaimana proses akulturasi pranata ekonomi (sistem mata pencaharian)

masyarakat yang kemudian dapat menghasilkan suatu model ekonomi baru

yaitu ekonomi hibrida pada masyarakat Desa Wisata Budaya Grogol,

Margodadi, Sayegan, Sleman DIY?

3. Apa sajakah hasil dari proses akulturasi pada pranata ekonomi (mata

pencaharian masyarakat lokal dalam hal ini adalah masyarakat Dukuh

Grogol, Margodadi, Sayegan, Sleman DIY?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini, secara umum, ditujukan untuk menggali proses perubahan

kebudayaan pasca ditetapkannya sebuah desa, kampung, dusun atau dukuh

sebagai “Desa Wisata”. Penyematan sebagai desa wisata ini pasti menimbulkan

perbubahan kebudayaan. Karena dengan disematkan sebagai sebuah “desa wisata”

sebuah kampung atau dukuh akan menerima tamu (wisatawan) yang memiliki

unsur-unsur budaya yang berbeda dari masyarakat lokal, sehingga terjadi kontak

budaya dan akulturasi kebudayaan. Darisinilah peneliti bertujuan untuk

mengetahui proses perbuhan dan hasil dari perubahan budaya. Adapun penelitian

ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui beberapa hal sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui proses perubahan kebudayaan yang terjadi pasca

ditetapkanya Dukuh Grogol sebagai Desa Wisata Budaya,

2. Untuk mengetahui proses akulturasi pranata ekonomi (sistem mata

pencaharian) masyarakat yang kemudian dapat menghasilkan suatu model

ekonomi baru yaitu ekonomi hibrida pada masyarakat Desa Wisata

Budaya Grogol, Margodadi, Sayegan, Sleman DIY.

3. Untuk mengetahui hasil dari proses akulturasi pada pranata ekonomi (mata

pencaharian masyarakat lokal dalam hal ini adalah masyarakat Dukuh

Grogol, Margodadi, Sayegan, Sleman, DIY

D. Manfaat Penelitian

Apa saja yang dihasilkan dalam penelitian diharapkan memeperoleh dua

manfaat yaitu manfaat praktis dan manfaat teoritis. Manfaat praktis adalah

pengetahuan – pengetahuan baru yang didapatkan dapat dimanfaatkan untuk

menyelesaikan masalah-masalah kehidupan masyarakat, khususnya yang

berkenaan dengan kebudayaan dan pariwisata, sedangkan manfaat teoritis adalah

pengetahuan-pengetahuan yang relevan dengan teori-teori mengenai perubahan

kebudayaan dan pariwisata, yang dimungkinkan dilakukan prediksi (perkiraan)

atas gejala-gejala tersebut (kebudayaan dan pariwisata) 9.

                                                                                                                         9 Lihat Heddy Shri Ahimsa Putra. 2014. Ibid. Halaman 3

a. Manfaat Teoritis

1. Memperoleh pengetahuan baru mengenai adobsi unsur-unsur budaya baru

atau penyebaran unsur-unsur kebudayaan khususnya pada unsur mata

pencaharian, sebagai sumbangan pemikiran mengenai teori difusi

kebudayaan

2. Memperoleh pengetahuan baru mengenai dampak sosial budaya akibat

adanya proses pariwisata, baik diterima atau tidaknya budaya baru

tersebut ditengah masyarakat, sebagai sumbangan pemikiran mengenai

teori perubahan kebudayaan dan akulturasi.

3. Memperoleh pengetahuan baru mengenai relasi kausal maupun fungsional

antara gejala kebudayaan dan aktifitas kepariwisataan sebagai penyubang

pemikiran mengenai kajian fenomena pariwisata dan kebudayaan.

b. Manfaat Praktis

1. Mendapat informasi yang relefan mengenai situasi kondisi sosial budaya

suatu masyarakat yang dapat menguntungkan bagi upaya pengembangan

kepariwisataan di pedesaan

2. Memberikan informasi yang relefan kepada masyarakat mengenai

akulturasi dan masalah akulturasi yang dialaminya, sebagai akibat adanya

proses pariwisata.

3. Memberikan saran dan masukan kepada pemerintah daerah dan

masyarakat dalam rangka mengembangkan pariwisata pedesaan.

E. Tinjauan Pustaka

Pada kajian ini kita perlu membatasi ruang paradigma yang digunakan.

Ada beberapa paradigma yang diketemukan olah Ahimsa Putra (2014), dalam

mengkaji masalah perubahan kebudayaan oleh ilmuwan sosial-budaya yakni:

a)paradigma historis prosesual, b)paradigma kontektual-fungsional, dan

c)paradigma analisis variabel10. Pada penelitian ini mengambil dua paradigma

yaitu paradigma historis-prosesual dan paradigma kontekstual fungsional karena

dirasa sesuai dengan apa yang dikaji.

a. Paradigma Historis Prosesual

Tema besar dalam penelitian ini adalah masalah perubahan kebudayaan,

yang di peroleh melalui proses akulturasi. Robert L Bee dalam bukunya yang

berjudul “Patterns and Process” (1974) menyebutkan bahwa dalam setiap proses

perubahan kebudayaan melewati tiga langkah yang harus dilalui. Pertama

“difusi” yaitu perpindah gagasan atau sifat. Kedua “evaluasi” yaitu unsur-unsur

yang terdifusikan melewati beberapa jenis filter persepsi dan interpretatif.

Selanjutnya proses yang ketiga adalah setelah proses evaluasi usur kebudayaan

tersebut dapat diterima maka terjadilah proses yang namanya proses integrasi.

Pada proses difusi sendiri terdapat beberapa tahapan (Rogers: 1983) mulai dari

pengetahuan, persuasi, diskusi, implementasi samapai konfirmasi. Proses-proses

perubahan kebudayaan ini akan dapat dilihat dengan lebih rinci dan lebih jelas

dengan menggunakan “Paradigma historis-prosesual”.

                                                                                                                         10 Heddy Ahimsa Putra. 2014. Ibid. Halaman 4-5

Paradigma historis prosesual ini paling tepat jika digunakan dalam

memahami, menjelaskan atau menafsirkan fenomena perubahan kebudayaan yaitu

akulturasi. Fenomena akulturasi ini menyuguhkan sebuah fenomena, ketika

kelompok-kelompok individu yang memiliki budaya terlibat dalam kontak secara

langsung dan disertai dengan perubahan secara terus menerus (Linton dan

Herskovitz, dalam Berry, 1995:528). Proses akulturasi budaya ini menjadi

menarik dalam kajian Antropologi yang menitik beratkan proses yang sifatnya

partikular. Kelahiran kajian akulturasi ini, sejak 1937 oleh M.P Herskovitz, yang

berpendapat bahwa dalam kajian akulturasi jalan sejarah adalah wajib11.

Menurut Ahimsa-Putra (2014) paradigma historis-prosesual atau

paradigma sejarah ditunjukan untuk mengungkap proses akulturasi yang terjadi,

mulai dari saat kedatangan suatu kebudayaan di suatu kawasan, pertemuanya

dengan kebudayaan lain di kawasan tersebut, hingga pengambilan unsur-unsur

kebudayaan tersebut oleh satu atau beberapa kebudayaan di kawasan itu.

Paradigma sejarah ini ditunjukan untuk mengungkap proses perubahan

kebudayaan yang terjadi, mulai dari saat kedatangan suatu kebudayaan disuatu

kawasan, pertemuannya dengan kebudayaan lain dikawasan tersebut, hingga

pengambilan unsur-unsur kebudayaan tersebut oleh satau atau beberapa

kebudayaan di kawasan itu. Studi dengan hasil diskriptif ini umumnya

memaparkan bagaimana dalam keadaan seperti apa suatau budaya lokal dimasuki

unsur-unsur kebudayaan asing atau budaya Ero-Amerika, unsur-unsur budaya

                                                                                                                         11  C. A. Valentine. Uses of Ethnohistory in an Acculturation Study. Ethnohistory, Vol. 7, No. 1 (Winter, 1960), pp. 1-27  

asing dapat diambil alih oleh budaya lokal, saluran-saluran sosial apa yang

menjadi sarana masuknya unsur-unsur budaya asing, lapisan sosial mana yang

menerima unsur budaya tersebut, bagaimana reaksi masyarakat pendukung

budaya lokal terhadap masuknya unsur budaya asing dalam kehidupan mereka

(Koentjaraningrat, 1990:249)12 .

Penelitian Trevor Denton (1966) mengenai perubahan kebudayaan dalam

struktur masyarakat Kanada Perancis, ditengah dominasi budaya Inggris.

Penelitian ini menggunakan pendekatan historis kronologis yang melihat

akulturasi yang terjadi di Kanada mulai tahun 1759-1800. Denton melihat

bagaimana reaksi adaptif sebagai suatau bentuk penolakan terhadap dominasi

budaya Inggris pada masyarakat Kanada Perancis. Reaksi adaptif yang diikuti

ditandai dengan adanya fenomena akulturasi biasa seperti: ada kekakuan,

mekanisme koreksi dan batas pemeliharaan. Sehingga arugumen utamnya dalam

akulturasi atau kontak budaya dua budaya sepenuhnya kehilangan otonomi

mereka. Adaptasi reaktif yang terjadi mengakibatkan keseimbangan.

Paradigma sejarah ini juga digunakan dalam penelitian Hussey (1989),

yang menceritakan secara historis kronologi mengenai perkembangan pariwisata

di pedesaan Bali dalam hal ini Kuta pada tahun 1970 sampai dengan 1984. Pada

tahun 1970, Kuta adalah sebuah desa nelayan yang begitu penting di Pulau Bali.

Empat belas tahun kemudian, ekonomi-pun berubah dari subsisten seperti

memancing dan pertanian tanaman kering, kemudian berubah ke sektor pariwisata

dan ekonomi tersier lainnya kegiatan. Kuta telah tumbuh menjadi pusat perkotaan                                                                                                                          12 Ahimsa, Op Cit. hal 4

kecil dengan populasi resmi 14.000 dan merupakan salah satu lokasi tujuan wisata

utama di Pulau Bali. Pengembangan pariwisata di Kuta telah memdapatkan hasil

baik positif dan negatif. Argumen dalam penelitian Hussye ini juga hampir sama

dengan Mitchell, yang beragumen bahwa dengan adanya pariwisata semua bisa

dikomodifikasi termasuk dalam hal ini adalah kemiskinan.

Ada suatau paradigma yang menarik dalam studi akulturasi yang

dilakukan oleh Goul, Fowler, dan Catheine (1972) melihat sejarah akulturasi

ekonomi Western Desert Aborigin dari Australia dan India Numic - berbicara

tentang Great Basin Amerika Utara dibandingkan dengan cara yang sama dengan

yang digunakan oleh Murphy dan Steward (1955) dari kajian mereka di

Northeastern Algonkians dan Mundurucit Amerika Selatan. Studi ini

menggunakan paradigma pararel historis untuk menjelaskan akulturasi ekonomi

yang ada antara Great Basin India pada abad ke-19 dan abad ke-20 Western

Desert Aborigin Australia. Dalam studi ini dicatat banyak perubahan ekonomi

sosial yang spesifik spesifik dalam bentuk parallel. Temuan studi ini bahwa

kedua masyarakat gurun berburu dan pengumpulan ini memiliki diikuti pola

akulturasi ekonomi ditandai dengan meningkatnya ketergantungan pada makanan

dan barang-barang Eropa bukan oleh pembentukan hubungan yang layak untuk

ekonomi dunia .

b. Paradigma Kontekstual-Fungsional: Sosial Budaya

Paradigma ini lebih mengarahkan perhatian pada konteks situasi dan

kondisi masyarakat penerima terutama pada hubungan fungsional yang terjadi

antara unsur budaya baru yang diterima dengan situasi kondisi sosial tersebut.

Kalau pada paradigma historis para peneliti lebih tertarik pada keunikan-keunikan

dari proses yang terjadi pada setiap masyarakat dan kebudayaan; pada paradigma

kontekstual-fungsional para ahli berminat pada upaya generalisasi gejala-gejala

akulturasi, terutama pada kondisi-kondisi yang mendukung atau memudahkan

diterimanya, atau diambilnya unsur-unsur budaya tertentu oleh budaya lain, dan

kondisi sebaliknya, yang menghambat penerimaan budaya asing, oleh karena itu

kajian ini lebih bersifat teoritis13

Penelitian Mischa Titiev (1972), yang melihat akulturasi antara orang

Indian Hopi dan Kulit putih di Arizona, Amerika Srikat. Titiev sampai pada

kesimpulan bahwa ada unsur budaya yang dibawa kulit putih yang diterima oleh

orang Hopi, tetapi banyak juga yang ditolak. Banyak kemudian pranata sosial

orang Hopi masih dipertahankan seperti santet, selera makan, kepercayaan lama,

dan ritus-ritus ritual terhadap roh nenek moyang.

Pada tema pariwisata, Humpton (2003) meneliti tentang dampak

pariwisata di Yogyakarta, yang menyiapkan masyarakat lokal untuk memasuki

industri ini. Humpton mengambil kasus dari sebuah kampung kecil di Kota

Yogyakarta yang bernama Sosrowijayan yang dulunya merupakan kampung,

karena letaknya berdekatan dengan akses utama di Kota Yogyakarta yaitu Stasiun

Tugu dan juga semakin banyak wisatawan berdatangan di kota ini sejak tahun

1970. Kemudian perkampungan ini bertansformasi menjadi guest house-

guesthouse atau homestay, dan juga masyarakat berbisnis catering yang cukup

murah tentunya dengan segmen wisatawan backpacer. Jadi yang dulunya adalah                                                                                                                          13 Ahimsa, Ibid. hal 5

murni perkampungan penduduk sekarang berubah menjadi kampung wisata,

dengan industri wisata berupa penginapan dan juga katering bagi wisatawan.

Respon inilah yang menunjukan adanya konsep pariwisata pro-poor dalam proses

transformasi ekonomi masyarakat lokal.

Dalam penelitian Turnock (1999) melakukan studi tentang kemunculan

desa wisata dalam kontek kesmiskinan di Rumania. Berakhirnya komonisme di

tahun 1989 menyebabkan perubahan struktural yang begitu cepat, dengan

menekankan pada berkembangnya perkotaan dan pembangunan industri,

mengakibatkan keluarga di pedesaan hanya bisa bergantung pada pertanian kecil

yang telah mereka terima dari restitusi tanah. Sehingga memunculkan sumber-

sumber tambahan penghasilan yang mendesak bagi rumah tangga miskin. Dalam

konteks Carpathians Rumania lapangan pekerjaan di pedesaan ini merupakan

urusan dari Badan Pembangunan Daerah yang diciptakan 1990. Untuk itulah

diciptakakanya desa wisata untuk menanggulangi masalah tersebut, yang

kemudaian mendapat respon postif dari pemerintah juga sumber-sumber ekternal.

F. Kerangka Teori

Kerangka pemikiran dalalam memahami gejala sosial berupa proses

akulturasi budaya, adalah dengan menggunakan paradigma historis-prosesual dan

paradigma kontekstual-fungsional: sosial dan budaya. Penggunaan kedua

paradigma tersebut diharapkan dapat menjelaskan gejala sosial berupa proses

akulturasi budaya lebih rinci dan jelas juga didapatkan pemahaman kontekstual

yang lebih akurat. Berikut ini kerangka teori yang membingkai penelitian

mengenai akulturasi dalam mata pencaharian atau pranata ekonomi masyarakat,

sebagai akibat adanya proses pariwisata:

1. Kebudayaan Sebagai Perangkat Simbol: Empat Aspek, Sepuluh Unsur

Berangkat dari asumsi dasar dari bahwa manusia merupakan “animal

simbolicum” (Ernst Cassirer:1945). Dalam menjalani kehidupannya manusia ini

memiliki kemampuan bersimbolisasi baik untuk berinteraksi dengan sesamanya,

bahakan untuk memepertahankan kehidupnya. Dalam pandangan Max Weber

yang menyatakan bahwa manusia adalah seekor binatang yang bergantung pada

jaringan-jaringan makna yang ditenunnya sendiri. Geertz (1974) menganggap

bahwa kebudayaan sebagai jaringan-jaringan itu, dan analisis atas kebudayaan

tidak lantas merupakan sebuah ilmu ekperemental untuk mencari hukum

melainakan untuk mencari makna. Maka tugas seorang antropolog adalah untuk

mencari mencari makna dibalik simbol-simbol yang ada. Seperti yang diterapkan

oleh Geertz sendiri dalam karya fenomenalnya bagi ilmu-ilmu sosial budaya di

Indonesia yaitu “Religion of Java” yang kemudian diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia menjadi “Abangan, Santri, dan Priyayi”14. Dalam etnografi

tersebut terdapat komentar yang ditulis oleh Harsya W Bachtiar 15 , yang

menyatakan bahwa di dalam bukunya Geertz tidak memberikan uraian yang adil

mengenai pembentukan simbol di masing-masing varian. Untuk abangan hanya

disebutkan simbol-simbol berupa magis, mitologi, dan ritual, untuk santri Geertz

                                                                                                                         14 Clifford Geertz, The Religion of Java (London: The Free Press of Glencoe, 1960), diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesiaberjudul: Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, III, 1989) 15 lihat bagian akhir Geertz, Ibid. 1989 atau sudah diterbitkan dari “ The Religion of Java, a Commentary”. Majalah Ilmu Sastra di Indonesia No.1 Januari 1973, Jilid V

menyimbolkan pada organisasi sosial keagamaan, dan sedangkan untuk priyayi

lebih kepada simbol-simbol monopoli terhadap kesenian klasik dan popular.

Simbol-simbol yang berkonteks seperti di atas yang digali dalam menjawab

pertanyaan dari penelitian ini.

Sebagai dasar kebudayaan sebagai sebuah perangkat simbol terdapat

pengertian kebudayaan menurut Ahimsa-Putra (2009; 2011; 2013; 2014),

didefinisikan sebagai keseluruhan tanda dan simbol yang diperoleh manusia

dalam kehidupannya sebagai warga suatu masyarakat atau komunitas, dan

digunakan untuk beradaptasi dengan lingungan atau mempertahankan sebagai

mahluk hidup. Pengertian ini menempatkan simbol sebagai suatu yang

fundamental dalam kehidupan manusia, karena manusia sendiri tidak lepas dari

adanya simbol. Dengan adanya simbol-simbol manusia dapat melangsungkan

kehidupannya, seperti halnya sebagai sarana berkomunikasi antara manusia satu

dengan lainnya melalui sistem kebahasaan atau simbol-simbol tertentu yang

menyampaikan pesan dan makna di dalamnya.

Pengertian lain dari kebudayaan yang lain dan sudah menjadi konsensus di

kalangan ilmuan sosial budaya khususya ilmu antropologi di Indonesia adalah

dari Koentjaraningrat (2009) yang menyatakan bahwa kebudayaan merupakan

keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan

masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Perbedaan yang

mendasar dari pengertian kebudayaan yang pertama dan yang kedua terletak pada

aspek, tujuan, cara memperoleh. Tetapi peneliti pada pengertian pertama

merupakan pelengkap yang lebih kompleks dari pengertian yang kedua.

Ahimsa-Putra (2013; 2014) berpendapat bahwa kebudayaan memiliki

empat aspek atau wujud. Dimulai dari yang kongkrit ke yang abstrak, empat

aspek tersebut adalah : (a) aspek atau budaya material; (b) aspek perilaku atau

budaya perilaku; (c) aspek kebahasaan; (d) aspek gagasan atau pengetahuan.

Wujud aspek material kebudayaan berupa misalnya benda-benda, mulai dari yang

kecil-kecil seperti jarum, kancing baju, hingga banguan yang besar-besar seperti

gedung dengan puluhan lantai, candi bahkan berupa kawasan. Aspek perilaku

kebudayaan berupa perilaku manusia, aktivitas bersama, berbagai interaksi sosial,

relasi social, lapisan dan golongan sosial. Aspek kebahasaan kebudayaan berupa

bahasa atau lebih kongkrit lagi berupa istilah-istilah, ungkapan-ungkapan,

peribahasa, nyayian rakyat, mitos, foklor, dan sebagainya. Aspek gagasan berupa

pengetahuan, gagasan-gagasan kolektif seperti pandangan hidup, nilai-nilai,

norma dan aturan aturan.

Sebagain besar ahli antropologi berpendapat bahwa unsur kebudayaan

universal ada tujuh16, ketujuh unsur unsur tersebut antara lain: (1) bahasa, (2)

sistem pengetahuan; (3) organisasi sosial; (4) sistem peralatan hidup dan

teknologi; (5) sistem mata pencaharian hidup; (6) sistem religi dan (7) kesenian.

Berangkat dari pengertian dan aspek-aspek kebudayaan yang berbeda, ada

pandangan lain mengani unsur kebudayaan dari Ahimsa-Putra (2013), bahwa

unsur kebudayaan yang bersifat universal ada sepuluh unsur yaitu: (1)

Keagamaan, mengatasi masalah (2) klasifikasi, berfungsi untuk mengatasi

masalah perhitungan; (3) komunikasi, berfungsi untuk mengatasi masalah

                                                                                                                         16 lihat kontjaraningrat, 2009. Op. Cit. halaman 165

individu; (4) permainan; berfungsi untuk mengatasi masalah kebosanan; (5)

pelestarian, berfungsi untuk mengatasi masalah kehilangan atau kepunahan; (6)

organisasi berfungsi untuk mengatasi masalah reproduksi sosial; (7) kesehatan,

berfungsi untuk mengatasi masalah sakit; (8) ekonomi, berfungsi untuk

mengatasi masalah kelangkaan atau kekurangan; (9) kesenian, berfungsi untuk

mengatasi masalah ekpresi kejiwaan; (10) transportasi, berfungsi untuk

mengatasi masalah pemindahan tempat. Dari masing-masing unsur terbut

memiliki empat aspek (aspek material, aspek perilaku, aspek kebahasaan, dan

aspek gagasan). Selanjutnya dari masing-masing unsur ini memiliki sub-sub

unsur yang lebih kecil, dan kesemua dari sub-sub unsur ini diperlakukan sebagai

tanda atau simbol, karena kehidupan manusia terbangun atas unsur-unsur

gugusan tanda dan simbol.

Pada penelitian ini mengambil salah satu unsur kebudayaan yaitu unsur

ekonomi atau dalam unsur kebudayaan Koentjaraningrat disebut dengan istilah

mata pencaharian. Berfokus pada unsur ekonomi atau mata pencaharian

masyarakat dapat diharapkan penelitian ini dapat membedah perubahan sosial

atau akulturasi sebagai akibat adanya kontak kebudayaan. Penelitian pada proses

akulturasi pada unsur ekonomi atau mata pencaharian, dapat dilihat dengan

melihat pada aspek-aspek budaya yang berubah setelah ada proses akulturasi,

baik berupa gagasan, kebahasaan, perilaku, maupun benda material yang

mengalami perubahan.

2. Desa Wisata: Sebagai Arena Kontak Kebudayaan dan Arena Akulturasi

Tourism as commercialized hospitality“ Cohen (1984) itulah kata yang

tepat dalam menggambarkan pariwisata termasuk di dalamnya dalam pariwisata

pedesaan. Dimana para wisatawan disambut dengan hangat oleh masyarakat lokal

dengan segala macam tradisi yang dimiliki meskipun pada dasarnya merupakan

suatu bentuk komersialisasi. Tetapi dalam konteks pariwisata kususnya pariwisata

pedesaan, wisatawan diberikan status dan peran sementara di tengah-tengah

masyarakat yang mereka kunjungi (von Wiese 1930; cf Knebel 1960: Eric Cohen,

1984). Dengan memamahami “Tourism as commercialized hospitality“ Cohen

(1984) mengklaim bahwa pendekatan ini dapat berhasil dalam menangani

permasalahan atau konflik antara wisatwan dengan penduduk setempat.

Pariwisata adalah suatu aktivitas yang kompleks, yang dipandang sebagai

suatu sistem besar, yang mempunyai berbagai komponen, seperti ekonomi,

ekologi, politik, sosial dan budaya.17 Jika kita menganalisis pariwisata sebagai

sebuah sistem maka tidak akan lepas dari subsistem yang lainnya seperti politik,

ekonomi, sosial, dan budaya. Karena subsistem-subsistem tersebut akan saling

terkait sata dengan yang lainnya. Seperti yang dikatakan oleh Mill and Marrison18

pariwisata adalah sistem yang tersusun seperti laba-laba: “like spider’s web tauch

one part of it and reverberitions will be felt trought”.

Desa wisata adalah suatau bentuk terminologi yang menggambarkan

proses pariwisata yang berbasis pada pedesaan. Terlepas dari kontroversi konsep

                                                                                                                         17 IGede Pitana dan Putu Gayatri, Sosiologi Pariwisata (Yogyakarta: Andi, 2005). hlm 92 18 Robert Mill and Alistair Morrison, The Tourist System (New Jersey: Prentice Hall International, 1985).

desa wisata ini, Pengertian Desa itu sendiri adalah hasil perpaduan antara kegiatan

sekelompok manusia dengan lingkungnnya. Hasil perpaduan itu berwujud pada

kenampakan dimuka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis, sosial,

ekonomi, politik, dan kultural yang saling berinteraksi antar unsur tersebut juga

hubungannya dengan daerah lain. 19

Dalam menganalisis perubahan kebudayaan yang terjadi sebagai akibat

aktivitas pariwisata harusnya dipandang secara “emik” dan menolak yang “etik”,

Dengan ini memahami konteks kebudayaan yang lebih spesifik, dengan mencari

“makna simbolis” yang berdasarkan pada yang terlibat baik guest maupun host

community (Cohen,1984). Ada tipologi wisatawan yang dikembangkan oleh VL.

Smith’s (1977) dan Cohen’s (1972) yang keduanya memiliki perbedaan yang

cukup tajam. Smith’s (1977) didasarkan pada kombinasi jumlah wisatawan dan

adaptasi mereka dengan norma-norma lokal, sedangan Cohens (1972) lebih

menekankan pada respon wisatawan terhadap lingkungan tempat dimana mereka

berwisata, tipologi ini terbagi menjadi kedalam empat tipologi wisatawan yaitu:

wisatawan individu, wisatawan teroganisir, penjelajah dan komunitas touring. Di

Dukuh Grogol atau Desa Wisata Grogol seorang definisi wisatawan bagai para

masyrakat lokal atau host community adalah mereka yang mengambil paketan

wisata di Desa Wisata, dalam artian lebih kepada tipologi wisatawan yang

teroganisir dalam tipologi Cohen’s (1972).

Terlepas dari kritikan mengenai pemilihan terminilogi desa wisata, bentuk

pariwisata model ini menjadi magnet tersendiri bagi para wisatawan. Karena                                                                                                                          19 Bintarto. 1983. Interaksi Desa-Kota. Yogyakarta: Ghalia Indonesia, hal 11-12

hibitus masyarakat desa, kekeyaan alam, sosial budaya menjadi atraksi tersendiri

bagi wisatawan. Daya tarik inilah yang menggiring para wisatawan untuk

mencoba pariwisata berbasis pedesaan sebagai alternatif wisata, dan tidak

menutup kemungkinan para wistawan kemudian bermalam di desa dan membuat

kontak dengan warga desa. Darisinilah memungkinkan kedua belah pihak

mengenal kebudayaan masing-masing dan melakukan kontak sampai pada

akhirnya terjadilah akulturasi kebudayaan.

Menurut Koentjaraningrat (1990:91), akulturasi (acculturation)

merupakan proses sosial yang terjadi bila manusia dalam suatu masyarakat

dengan suatu kebudayaan tertentu dipengaruhi oleh unsur-unsur dari suatu

kebudayaan asing yang sedemikian berbeda sifatnya, sehingga unsur-unsur

kebudayaan asing tadi lambat-laun diakomodasikan dan diintegrasikan ke dalam

kebudayaan itu sendiri tanpa kehilangan kepribadian dari kebudayaannya sendiri.

Dengan adanya proses wisata berakibat pada terbukanya akulturasi, baik secara

fisik atau materi, ide (kognisi), perilaku, dan juga bahasa.

Koentjaraningrat dalam bukunya “Sejarah Teori Antropologi Jilid II”

(1990) menjelaskan bahwa bila suatan tertentu dipengaruhi oleh unsur-unsur

kebudayaan asing, lambat laun maka kebudayaan itu diintegrasikan dan

diakomondasikan ke dalam kebudayaan sendiri. William A Havalian dalam

bukunya Antropologi Jilid 2 (1993) menyebutkan bahwa akulturasi adalah

perubahan besar dalam kebudayaan yang terjadi dari akibat adanya kontak

kebudayaan yang berlangsung lama. Selanjunya Ember (1984) menyebutkan juga

bahwa akulturasi merupakan perubahan kebuadayaan akibat adanya kontak secara

intensif antar kebudayaan yang berbeda. Dari sinilah dapat terlihat bahwa

akulturasi merupakn akibat adanya kontak kebudyaan, dalam hal ini adalah proses

pariwisata di desa wisata.

Robert L Bee dalam bukunya yang berjudul “Patterns and Process”

(1974) menyebutkan bahwa dalam setiap proses akulturasi melewati tiga langkah

yang harus dilalui. Pertama “difusi” yaitu perpindah gagasan atau sifat. Kedua

“evaluasi” yaitu unsur-unsur yang terdifusikan melewati beberapa jenis filter

perseptual dan interpretatif. Selanjutnya proses yang ketiga adalah setelah proses

evaluasi usur kebudayaan tersebut dapat diterima maka terjadilah proses yang

namanya proses integrasi. Pada proses integrasi ini Bee membaginya menjadi

beberapa pola yaitu: inkorporasi, sinkritisme atau fusi, dan kompartementilisasi

atau isolasi. Dari proses ini kita dapat melihat bagaimana sebenarnya kebudayaan

ini berkaulturasi sehingga memunculkan kebudayaan baru yang disebut sebagai

kebudayaan hibrida atau hybrid culture.

Proses difusi sendiri mnurut Rogers (1983: 163-166) ada 5 tahap dari

pengetahuan, persuasi, diskusi, implementasi, dan konfirmasi. Pada tahap diskusi

ini terjadi keputusan apakah memakai secara penuh suatu inovasi sebagai tindakan

terbaik atau tidak untuk mengadopsi suatu inovasi. Jika suatu inovasi itu diadopsi

maka yang terjadi kemudian adalah proses konfirmasi, dan sebaliknya jika inovasi

ditolak maka yang terjadi tidak mengkonfirmasi inovasi tersebut. Tetapi hal ini

pada saat tertentu akan menjadi terbalik, suatu penolakan akan menjadi

penerimaan jika unsur-unsur baru dalam sebuah inovasi berhasil dikonfirmasi,

atau bahkan sebaliknya dari yang diterima kemudian pada saat tertentu menjadi

sebuah penolakan.

Kemudian yang menjadi cukup penting adalah aktor dalam proses adobsi

kebudayaaan. Rogers (1983) aktor dalam adobsi kebudyaan ini dikategorikan

menjadi empat golongan yaitu: Inovator, adobter awal, mayoritas awal, mayoritas

akhir dan lamban. Pertama, inovator adalah orang yang pertama mencetuskan ide

dan inovasi, orang ini menurut Rogers (1983) akan sering berurusan dengan pihak

luar sistem. Kedua, Adobter awal, lebih mungkin untuk memegang peran

kepemimpinan dalam sistem sosial, anggota lain datang kepada mereka untuk

mendapatkan nasihat atau informasi tentang inovasi. Ketiga, mayoritas dini

memiliki interaksi yang baik dengan anggota lain dari sosial sistem, mereka tidak

memiliki peran kepemimpinan yang pengadopsi awal miliki. Namun, jaringan

interpersonal mereka adalah masih penting dalam proses inovasi-difusi. Keempat,

mayoritas akhir mencakup sepertiga dari seluruh anggota sistem sosial yang

menunggu sampai sebagian besar rekan-rekan mereka mengadopsi inovasi.

Meskipun mereka skeptis tentang inovasi dan hasil-hasilnya, kebutuhan ekonomi

dan tekanan teman sebaya dapat menuntun mereka untuk adopsi inovasi"yang

akhir mayoritas merasa bahwa aman untuk mengadopsi "(Rogers, 1983, hal. 284).

Kelima, yang terakhir adalah lamban. Lamban memiliki pandangan

tradisional dan mereka lebih skeptis tentang inovasi dan mengubah agen daripada

mayoritas terlambat. Sebagai kelompok yang paling lokal dari sistem sosial,

interpersonal mereka jaringan terutama terdiri dari anggota lain dari sistem sosial

dari kategori yang sama. Selain itu, mereka tidak memiliki peran kepemimpinan.

Dengan demikian, lamban cenderung memutuskan setelah melihat apakah inovasi

tersebut berhasil diadopsi oleh anggota lain dari sistem sosial di masa lalu. Karena

untuk semua karakteristik ini, periode inovasi-keputusan lamban 'relatif panjang.

Denton (1966), dengan adanya fenomena akulturasi biasa seperti: ada

kekakuan, mekanisme koreksi dan batas pemeliharaan. Setiap kemunculan

kebudayaan baru pasti melahirkan respon dari masyarakat. Respon terbut dapat

berupa penerimaan, penolakan bahkan resistensi terhadap adanya perubahan

kebudayaan yang terjadi. Kajian antropologi banyak kemudian mengakaji

mengenai bagaimana masyarakat merespon perubahan kebudayaan di lingkungan

tempat tinggal dengan beragam wujud respon yang diberikan.

Berdasarkan dari kajian para ahli di atas peneliti mengasumsikan bahwa

akulturasi pada dasarnya terbagi menjadi dua kategori. Pertama akulturasi yang

sudah berhasil mengasilkan wujud baru dari unsur kebudayaan, dan yang kedua

akulturasi yang masih dalam proses karena masih belum diterimanya unsur-unsur

budaya antar dua atau lebih kebudayaan yang mengalami akulturasi. Tidak

dikatakan “gagal” dalam pembahasan ini karena akulturasi pada dasarnya adalah

sebuah proses yang tidak ada henti-hentinya. Untuk mempermudah jalan

penelitian ini peneliti merumukan indikator mengenai kedua kategori tersebut

yang diambil dari kajian-kajian akulturasi sebelumnya. Akulturasi yang dapat

dikatakan “berhasil” dalam konteks penelitian ini jika: a) adanya harmoniasi antar

aktor, b) adanya kontak kebudayaan yang relative lama, c) proses dari

pengetahuan, persuasi, diskusi, sampai konfirmasi unsur-unsur kebudyaan baru

berjalan lancar, dan d) muncul unsur-unsur baru yang dapat dilihat dari simbol-

simbol yang ada, dari keempat aspek kebudaayan (ide, kebahasaan, perilaku dan

material). Sedangkan untuk kategori akulturasi dalam proses menurut bahasa

Rogers (1983) disebut dengan “lamban”, seperti pada pembahasan sebelumnya.

3. Ekonomi Hibrida: Model Ekonomi yang Merupakan Akibat Adanya Akulturasi di Pranata Ekonomi

Ekonomi hibrida merupakan salah satu model ekonomi, yang lahir satu

dasawarsa terakhir. Pada dasarnya ekonomi hibrida merupakan sudatu model

ekonomi yang merupakan perpaduan dari dua model ekonomi sebelumnya. Model

ini berangkat dari asumsi Polanyi (1957) yang mengungkapkan bahwa kajian

mengenai pranata ekonomi bertitik tolak dari bentuk perkonomian masyarakat,

yang membentuk relasi seperti: reciprocity, redristibution, dan exchange. Polanyi

menambahkan perilaku timbal balik inimengakibatkan terbentuknya intergrasi

perekonomian. Asumsi selanjutnya berangkat dari Berger, yang menjelaskan

bahwa penelitian mengani pranata ekonomi akan menjelejahi konteks social

budaya, dimana proses-proses ekonomi tertentu itu beroprasi. Pranata ekonomi

tidak berada dalam ruang hampa, melainkan dalam datu konteks struktur social

budaya. Maka pada penelitian ini tidak hanya melihat ekonomi hibrida yang lahir

dari proses integasi dua model ekonomi saja, tetapi pemahaman mengenai konteks

struktur social budaya, dalam hal ini adalah konteks pengembangan pariwisata

pedesaan dengan konsep desa wisata di Dukuh Grogol.

Sudah banyak kajian mengenai ekonomi hibrida dalam kajian antropologi.

Salah satu antropolog yang konsentrasi dengan tema “ekonomi hibrida” adalah

Jon Altaman (2007; 2009a; 2009b; 2009c; 2009d). Menurut Altaman model

ekonomi hibrida adalah salah satu sarana mengakui keberadaan dan saling

ketergantungan antara satu jenis ekonomi yang beragam dan khas pada kegiatan

ekonomi yang dilakukan oleh orang-orang pribumi di daerah terpencil Australia.

Secara konseptualisasi ekonomi hibrida menurut Altaman (2009d) terbentuk dari

sektor ekonomi yaitu sektor ekonomi konvensional (pasar, swasta, dan Negara

atau public) dan sektor “adat”. Sektor adat didasari oleh kegiatan non-diuangkan,

seperti memancing, berburu dan meramu, yang berlandaskan pada prinsip relasi

sosial.

Model ekonomi hibrida yang diteliti oleh Altman (2007) awalnya

berdasarkan penelitian di Kuninjku, sebuah kampung di barat Arnhem Land tiga

puluh tahun yang lalu. Model ini telah dikembangkan terutama dengan mengacu

pada perubahan dan kesinambungan dalam ekonomi Kuninjku. Namun,

perekonomian hibrida juga telah digunakan untuk menguji konteks Aborigin

regional di daerah terpencil lainnya. Berangkat dari apa yang dikembangkan

Altman dalam model “ekonomi hibrida” yang berasal dari proses akulturasi antara

ekonomi konvensional dengan “adat”, peneliatian ini mencoba mengembangkan

konsep “ekonomi hibrida” sebagai sebuah proses dan produk akulturasi antara

ekonomi masyarakat dan ekonomi rasional sebagai dampak atas hadirnya

pariwisata yang ada di pedesaaan, kususnya dalam kasus Dukuh Grogol,

Margodadi, Sleman, DI Yogyakarta.

Selain itu ada pendekatan lain terkait dengan ekonomi hibrida yaitu

"Pendekatan genetik "yang dipelopori oleh Forster yang menarik perhatian pada

sifat prosesual pariwisata , yang " menciptakan jenis sebab-akibat kumulatif dan

menjadi dasar ekonomi baru (1964 : 218 ) karena menembus daerah baru.

Berangkat dari tesis yang dikemukakan oleh Forster (1964) melalui “pendekatan

genetiknya”dan dikembangkan kembali oleh Greenwood’s (1972) yang

berpendapat bahwa pariwista merupakan sebuah proses yang menciptakan jenis

dari penyebab komulatif dan menjadi dasar ekonomi baru yang membantu

pemikiran berikutnya. Pelitian mencoba meneruskan pemikiran Foster dengan

“ekonomi barunya sebagai akibat pariwisata” tentunya dengan paradigma yang

berbeda.

Pada kasus ini peneliti mencoba menggali fenomena ekonomi hibrida pada

konteks pariwisata, khususnya pariwisata pedesaan. Pada konteks pariwisata

pedesaan ini menggambungkan dua model ekonomi yaitu antara model ekonomi

tradisional sebagai ciri masyarakat pedesaan (khususnya di Jawa) dengan model

ekonomi baru yang dibawa dalam aktivitas pariwisata yang lebih cenderung ke

sector jasa. Ciri-ciri pokok dari ekonomi tradisional (Boeke dan Burger, 1973)

antara lain: a) melebih-lebihkan hubungan social sampai merugikan hubungan

ekonominya, b) terlalu meengutamakan kepentingan umum, c) menyamakan

hubungan kerja dengan hubungan patriakal. Sedangkan untuk model ekonomi

yang dibawa oleh jasa pariwisata dipedesaan dengan lebih menekankan dimensi

rasional untuk memperoleh keuntungan. Menurut Ahimsa-Putra (2003:131)

rasional artinya dilatarbelakangi keinginan mendapat keuntungan. Kedua model

ini asumsinya akan saling terintegrasi baik model respositas, interseksi, ataupun

hubungan timbal baliknya, sehingga dari penggabungan kedua model ekonomi

tersebut akan menghasilkan sebuah model baru ekonomi yang kemudian

diberinama ekonomi hibrida.

G. Metode

Penelitian ini adalah penelitian etnografis dengan melihat fenomena

perubahan mata pencaharian yang terjadi pada masyarakat di Desa wisata. Fokus

kajian penelitian ini adalah melihat proses akulturasi yang berlangsung, maka

untuk mengobservasi proses akulturasi dengan mengamati masyarakat yang

sedang mengalami pengaruh kebudayaan asing. Metode yang digunakan

penelitian ini yaitu metode komparatif sinkronik, serta pendekatan fungsional

terhadap akulturasi (the functional approach to acculturation) berupa kerangka

“tiga kolom” yang dilakukan Malinowski dalam artikelnya yang berjudul “The

Dinamics Of Culture Change: an Inquiry Into Race Relation in Africa” namun

sepengetahuan Koentjaraningrat sudah tidak diterapkan lagi karena kecaman M.

Gluckman yang mengatakan bahwa hal itu memecah-mecah suatu kebudayaan

yang hidup secara vertikal ke dalam kolom-kolom vertikal dan secara horizontal

ke dalam unsur-unsur yang saling terpisah 20. Tetapi bagaimanapun juga metode

ini masih sangat relevan dalam melihat rangkaian sejarah, melalui rentetan

peristiwa akulturasi yang terjadi di suatu masyarakat daerah tertentu21

                                                                                                                         20  Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi Jilid II. Jakarta : UI Perss. Hlm 89-96  

21 Lihat Kodiran. 1998. Akulturasi sebagai Mekanisme Perubahan Kebudayaan. Humaniora No.8 Juni-Agustus 1998. Halaman 89

1. Pemilihan Lokasi

Lokasi dalam penelitian ini adalah Desa Wisata Grogol, yang terletak di

Dusun Grogol, Desa Margodadi, Kecamatan Sayegen, Kabupaten Sleman, Daerah

Istimewa Yogyakarta. Desa wisata ini tergolong dalam kategori sebagai desa

wisata budaya, karena pada berarti aktivitas budaya seperti upacara adat tahunan

dan kehidupan budaya masyarakat didaerah tersebut masih dipegang erat baik

oleh sesepuh maupun generasi penerusnya. Desa ini memiliki potensi budaya

yang bagus dan siap pentas sewaktu-waktu seperti Keroncong, Cokekan,

Karawitan, Seni Pedalangan, pembuatan wayang kulit, Sanggar Tarian Klasik,

Ketoprak, dan Jatilan.

Asumsi yang digunakan dalam pemilihan lokasi ini adalah bahwa

fenomena pariwisata dan perubahan kebudayaan sangat terlihat. Selain itu desa

wisata ini dikenal sebagai desa wisata budaya. Juga fenomena-fenomena yang

sudah dirumuskan sebelumnya dapat dilihat pada desa wisata budaya ini, seperti

segemen mata pencaharian pedesaan (petani dan peternak), bidang jasa seperi jasa

hiburan, jasa pengelolaan pariwisata, juga jasa home stay, selain itu dalam bidang

perdagngan juga nampak pada desa ini.

2. Pemilihan Informan

Pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan tujuan

penelitian, yang mencari perubahan pada pranata ekonomi masyarakat penerima

wisatawan atau host community. Subjek penelitian ini adalah warga masyarakat

yang bermata pencaharian berkaitan dengan proses pariwisata yang ada di

pedesaan atau dalam kasus ini adalah desa wisata. Dengan sebelumnya peneliti

menentukan siapa yang menjadi informan, pada tiap mata pencaharian yang

berkaitan dengan proses perkembangan desa wisata khusunya dalam hal ini

adalah warga Dukuh Grogol, diharapkan dapat menggali informasi secara

mendalam untuk menjawab pertanyaan dari penelitian ini. Pada teknis

pengambilan sampel dalam penelitian ini peneliti terlebih dahulu menghubungi

perangkat desa, sekertariat desa wisata, dan beberapa komunitas yang ada.

Setelah mendapat keterang dari mereka peneliti dapat menyesuaikan sesuai

dengan kriteria yang sudah ditentukan sebelumnya seperti: mata pencaharian,

umur, dan jenis kelamin. Sehingga dapat dianggap mewakili masyarakat desa

wisata. Pada penelitian ini, sampel yang digunakan dalam mewawancarai

informan berdasarkan pada kategori mata pencaharian. Setiap mata pencaharian

yang berkaitan dengan pariwisata disampel 2-3, tergantung kejenuhan datanya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Ada beberapa tahap pengumpulan data yang digunkan dalam penlitian ini:

Pertama, Data Skunder berupa studi pustaka yaitu dengan penelusuran literatur

mengenai topik desa wisata, pranata sosial dan akulturasi yang bersumber dari

jurnal internasional, skripsi, tesis, desertasi dan data Pengelola Desa Waisata,

Dukuh, dan Kelurahan. Kedua, Data primer yaitu dengan partisapasi observasi,

wawancara, dan juga life history. Pertama,partisipasi observasi yaitu melalukan

pengamatan lapangan yang berfokus pada proses pariwisata dan akulturasi pada

pranata sosial dalam masyarakat. Observasi partisipatif ini meliputi pengamatan

lingkungan fisik (tempat tinggal atau home stay, kondisi alam, beberapa destinasi

wisata, pola kerja), dan non fisik seperti (upacara atau ritual, hubungan antar

masyarakat, hubungan keluargam hubungan kerja dan proses berwisata). Selama

obeservasi berlangsung diperoleh catatan lapangan sesusi dengan urutan kejadian.

Dan yang terlebih penting dalam tahap partisipasi observasi ini adalah peneliti

terlibat langsung dalam aktivitas keseharian subjek penelitian, yaitu dengan cara

tinggal langsung di lokasi Desa Wisata Grogol dimulai akhir september sampai

dengan pertengahan november.

Kedua, wawancara baik wawancara secara mendalam (indept interview)

juga wawancara langsung (dept interview). Wawancara mendalam kepada mereka

yang terlibat langsusng atau bersinggungan dengan proses pariwisata atau

pelaksanaan wisata di Desa Wisata Grogol, Desa Margodadi, Kecamatan Syegan,

Kabupaten Sleman. Sedangkan untuk wawancara langsung dilakukan kepada

informan sebagai data pelengkap atau sebagai trianggulasi data. Wawancara

dilakukan dengan alat bantu voice recorder yang kemudian ditranskripkan

kedalam bahasa tulisan. Ketiga, melakukan life history dari tokoh masyarakat

yang menggas berdirinya desa wisata, juga dengan orang yang terlibat langsung

dengan proses pengemngan desa wisata, selain itu dengan pejabat formal

dilingkungan desa wisata dalam ini adalah kepala dukuh. Tahap terakhir yaitu

dengan melakukan koding dan klasifikasi data serta melengkapi kekurangan dari

data-data yang ada.

4. Analisis Data

Setelah data dapat terkumpul dengan baik baik berapa data primer maupun

sekunder maka tahap selanjutnya adalah analisis data. Analisis data disesuakan

dengan paradigma yang digunakan yaitu historis prosesual dan kontekstual

fungsional. Tetapi dalam menganalisis peneliti menggunakan analisis aktor atau

pelaku (actor approach), yang secara kronologis merupakan pelaku kebudayaan.

Dengan menganalisis aktor-aktor yang terlibat dalam sebuah konteks kebudayaan

peneliti dapat memetakan sejauh mana proses akultuasi ini berlangsung. Karena

dalam Difusi Kebudayaan Rogers (1983) terdapat empat kategori aktor yaitu:

Inovator, adobter awal, mayoritas awal, mayoritas akhir dan lamban. Dari sinilah

selanjutnya peneliti dapat memetakan aktor-aktor kedalam kategori tersebut,

sehingga dapat melihat sejauhmana peran dari aktor-aktor ini dalam proses

akuturasi kebudayan, khususnya pada usnsur ekonomi. Selain itu juga peneliti

dapat menerima informasi baik secara historis maupun fungsional dapat lebih

tepat sasaran.

Selanjutnya peneliti lebih condong menggunakan metode tiga kolom

dalam menganalisis akulturasi yang terjadi pada mata pencaharian masyarakat.

Metode ini dirasa sangat tepat untuk mendapatkan gambaran mengenai peristiwa

akulturasi yang terjadi akibat proses pariwisata di desa wisata Grogol. Analisis

dengan menggunakan tiga kolom, kolom pertama berisi uraian keadaan

masyarakat sebelum terjadi kontak kebudyaan, Kolom kedua unsur-unsur yang

dibawa kebudayaan asing, dam kolom ketiga proes hubungan atau akibat adanya

kontak kebudayaan22.

                                                                                                                         22 Kodiran. Ibid. halaman 88-89