61
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan bahasa Jerman di Indonesia semakin berkembang seiring dengan meningkatnya minat masyarakat terhadap bidang studi bahasa Jerman karena semakin berkembangannya pengaruh negara Jerman dalam berbagai bidang yang berdampak pada meningkatnya kerjasama dengan berbagai negara, salah satunya Indonesia, baik dalam bidang industri, kesehatan, ekonomi, khususnya dalam bidang pendidikan. Kondisi tersebut membuat banyak lembaga pendidikan melakukan inovasi pada sistem pendidikan guna mencapai hasil yang maksimal dalam pencapaian target kurikulum pengajaran bahasa Jerman. Variasi model, metode, dan teknik pengajaran yang inovatif pun selalu dikembangkan. Namun demikian, tidak sedikit para pembelajar yang masih mengalami kendala, kesulitan, atau bahkan kesalahan dalam mempelajari bahasa Jerman dengan baik yang selama ini masih tampak dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Seiring dengan dikenalnya Indonesia dalam kancah internasional, khususnya dalam bidang pendidikan, tidak sedikit jumlah mahasiswa asing berkebangsaan Jerman menempuh studi atau kegiatan ilmiah lainnya, yang mengharuskan mereka mempelajari bahasa dan budaya Indonesia. Ketika mereka dihadapkan dengan pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pendidikan bahasa Jerman di Indonesia semakin berkembang seiring

dengan meningkatnya minat masyarakat terhadap bidang studi bahasa Jerman

karena semakin berkembangannya pengaruh negara Jerman dalam berbagai

bidang yang berdampak pada meningkatnya kerjasama dengan berbagai

negara, salah satunya Indonesia, baik dalam bidang industri, kesehatan,

ekonomi, khususnya dalam bidang pendidikan.

Kondisi tersebut membuat banyak lembaga pendidikan melakukan

inovasi pada sistem pendidikan guna mencapai hasil yang maksimal dalam

pencapaian target kurikulum pengajaran bahasa Jerman. Variasi model,

metode, dan teknik pengajaran yang inovatif pun selalu dikembangkan.

Namun demikian, tidak sedikit para pembelajar yang masih mengalami

kendala, kesulitan, atau bahkan kesalahan dalam mempelajari bahasa Jerman

dengan baik yang selama ini masih tampak dalam kegiatan belajar mengajar di

kelas.

Seiring dengan dikenalnya Indonesia dalam kancah internasional,

khususnya dalam bidang pendidikan, tidak sedikit jumlah mahasiswa asing

berkebangsaan Jerman menempuh studi atau kegiatan ilmiah lainnya, yang

mengharuskan mereka mempelajari bahasa dan budaya Indonesia. Ketika

mereka dihadapkan dengan pembelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

2

asing, mereka akan menghadapi kendala dalam mempelajari dan mengakuisisi

bahasa aglutinasi dari rumpun astronesia ini, seperti halnya kesulitan dan

kendala yang dihadapi oleh pembelajar Indonesia ketika mempelajarai bahasa

Jerman sebagai bahasa fleksi dari rumpun Indo-Germani.

Perlu dipahami bersama bahwa kesulitan dalam pengajaran dan

pembelajaran bahasa asing tidak selalu bersumber dari dalam diri pembelajar

ataupun pengajar, tetapi juga bisa bersumber dari karakteristik ketatabahasaan

bahasa asing itu sendiri, dalam hal ini misalnya bahasa Jerman. Hal itu juga

bisa dirujuk pada pernyataan seorang pakar linguistik kontrastif, Lado dalam

Brown (2007:273) memaparkan bahwa kita bisa memprediksi dan

mendeskripsikan pola-pola yang akan menimbulkan kesalahan dalam

pembelajaran, dan pola-pola yang tidak akan menimbulkan kesulitan, dengan

membandingkan secara sistematis bahasa dan budaya yang harus dipelajari

dengan bahasa dan budaya pembelajar. Artinya, kesulitan dan kesalahan yang

dialami pembelajar dapat diprediksi dengan cara melihat kadar perbedaan dan

persamaan karakteristik sistem gramatikal bahasa Jerman, sebagai bahasa ibu

pelajar Jerman dalam mempelajari bahasa Indonesia, dan bahasa Indonesia

sebagai bahasa ibu pelajar Indonesia yang belajar bahasa Jerman. Semakin

besar kadar perbedaan sistem gramatikal kedua bahasa, maka akan semakin

memungkinkan pembelajar mengalami kendala dalam mempelajari dan

mengakuisisi bahasa asing tersebut.

Bahasa Indonesia merupakan bahasa aglutinatif (agglutinative

language), sedangkan bahasa Jerman merupakan bahasa fleksi (flected

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

3

language). Pernyataan di atas bisa dirunut pada penjelasan Soeparno

(2002:33) bahwa bahasa fleksi adalah bahasa yang struktur katanya terbentuk

oleh perubahan bentuk kata. Terdapat dua hal yang melandasi perubahan

bentuk kata tersebut, yaitu deklinasi dan konjugasi. Deklinasi adalah

perubahan bentuk kata yang disebabkan oleh perbedaan jenis, jumlah, dan

kasus; sedangkan konjugasi adalah perubahan bentuk kata yang disebabkan

oleh perubahan persona, jumlah dan kala. Suparno (2002:33) juga

menambahkan bahwa bahasa aglutinasi merupakan bahasa yang struktur

katanya terbentuk oleh penggabungan unsur pokok dan unsur tambahan, unsur

pokok dan unsur pokok, atau pun pengulangan unsur pokok. Jadi prosode

morfologis yang berlaku pada bahasa tipe ini, misalnya bahasa Indonesia,

adalah afiksasi, pemajemukan, dan pengulangan. Oleh karena itu, sistem

gramatikal antara bahasa Jerman dan bahasa Indonesia sangat berbeda.

Prediksi kesulitan dan kendala yang akan dihadapi oleh pelajar

Indonesia yang belajar bahasa Jerman dan pelajar Jerman yang belajar bahasa

Indonesia, berdasarkan sistem gramatikalnya yang sangat berbeda diduga kuat

bahwa mereka akan mengalami kesulitan dan kendala dalam penyusunan

kalimat majemuk yang di dalamnya terdapat atribut klausa relatif. Berbicara

masalah klausa relatif, Verhaar (2004:327) menyatakan bahwa dari sudut

sintaksis, ada berbagai cara untuk membahas klausa relatif, misalnya klausa

relatif sebagai klausa bawahan dari sebuah kalimat majemuk, klausa bawahan

entah terkandung entah berbatasan, atau klausa bawahan yang bersifat

relasional.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

4

Kendala dan kesulitan dalam penentuan konjungsi relatif bahasa

Jerman disebabkan adanya proses deklinatif yang bergantung pada jenis,

jumlah, dan hirarki kasus yang diduduki oleh nomina sebagai anteseden pada

klausa utama dan nomina sebagai unsur yang direlatifkan dalam klausa

bawahan, misalnya konjungsi relatif die, der, das, dem, deren, dan dessen.

Selain itu, pola urutan predikat klausa bawahannya yang harus menduduki

posisi akhir dalam kalimat majemuk tersebut. Namun demikian di sisi lain,

penentuan konjungsi relatif bahasa Indonesia sangat terbatas yang tidak

bergantung sepenuhnya pada ketiga hal yang sebagaimana berlaku dalam

bahasa Jerman, misalnya konjungsi relatif yang dan tempat; dan tidak ada

aturan yang mengharuskan predikat klausa bawahan untuk berada pada posisi

akhir kalimat majemuk yang bersangkutan. Lihatlah beberapa contoh kalimat

di bawah ini

(1) Pelamar yang ijazahnya dari Boston itu memenuhi persyaratan kami.

(Sumber: Moeliono, 1996: 329-331. Tata Bahasa Baku Bahasa

Indonesia)

(2) Kaffe ist ein Getrӓnk, das in Deutschland sehr beliebt ist. S P1 det Pel det.rel Prep. Adv Adv P2

Kopi adalah sebuah minuman, yang di Jerman sangat disukai adalah

„Kopi adalah sebuah minuman yang sangat disukai di Jerman‟.

(Sumber: Funk. 2013. Studio D A2 DaF)

Kalimat (1) merupakan kalimat majemuk bahasa Indonesia yang di

dalamnya terdapat klausa relatif yang harus dialihbahasakan oleh pelajar

Indonesia ke dalam bahasa Jerman. Kalimat ini menunjukkan bahwa yang

merupakan konjungsi relatif yang mengacu pada anteseden pelamar,

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

5

sedangkan sufiks –nya pada nomina ijazah merupakan penanda hubungan

posesif yang dimiliki nomina pelamar dan ijazah. Di sisi lain, penentuan

konjungsi relatif yang merelatifkan hubungan posesif antara anteseden dengan

nomina yang direlatifkan dalam bahasa Jerman tidak melalui afiksasi seperti

dalam bahasa Indonesia, melainkan melalui proses deklinatif determinan

antesedennya dalam kasus genetif. Oleh karena itu, kebiasaan tersebut akan

terbawa ke dalam penyusunan klausa relatif bahasa Jerman, sehingga kalimat

(1) tersebut akan menjadi seperti di bawah ini:

(3) Der Bewerber, das Diplom aus Boston ist, ist für uns qualifiziert. Det S det.Rel S adv P2 Aux Prep Adv P1

Pelamar, yang ijazah dari Boston adalah, adalah bagi kami memenuhi syarat.

„Pelamar yang ijazahnya dari Boston itu memenuhi persyaratan kami‟

Kalimat (3) secara sintaktis bahasa Jerman tidak berterima karena

konjungsi relatif das pada kalimat tersebut hanya berkategori determinan dari

jenis atau genus feminimun dari kata benda Diplom, dan tidak bisa berfungsi

sebagai konjungsi relatif yang menyatakan bahwa nomina Diplom berdasarkan

hirarki kasusnya mengalami kasus genitif dari anteseden Der Bewerber,

sehingga jenis dan jumlah nomina Der Bewerber tersebut menentukan jenis

konjungsi relatifnya, bukan jenis dan jumlah dari nomina Diplom. Oleh karena

itu, konstruksi kalimat (2) tersebut harus disusun ke dalam bentuk sebagai

berikut:

(4) Der Bewerber, dessen Diplom aus Boston ist, ist für uns qualifiziert. Det S det.Rel.Gen S P2 Aux Adv P1

Pelamar, yang ijazahnya dari Boston adalah, adalah bagi kami memenuhi syarat

„Pelamar yang ijazahnya dari Boston itu memenuhi persyaratan kami.‟

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

6

Konjungsi relatif atau perelatif dessen berdeklinasi pada kasus genetif karena

anteseden Der Bewerber memiliki hubungan posesif dengan das Diplom.

Adapun kalimat (2) merupakan kalimat majemuk bahasa Jerman

yang di dalamnya terkandung atribut klausa relatif. Pelajar Jerman yang

sebagai pembelajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing harus

mengalihbahasakannya ke dalam bahasa Indonesia akan membawa kebiasaan

intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

kemungkinan besar kendala yang dihadapi adalah sulitnya membiasakan diri

untuk selalu meletakkan predikat, yaitu disukai, pada posisi bukan di akhir

klausa relatif bahasa Indonesia, melainkan pada posisi setelah subjek dan atau

langsung setelah konjungsi relatifnya. Kedua, pelajar Jerman akan masih

membuang-buang tenaga untuk memikirkan jenis, jumlah, dan hirarki kasus

yang diduduki oleh nomina kopi, padahal hal itu tidak mempengaruhi dalam

penentuan kojungsi yang dalam klausa tersebut. Dengan demikian, kalimat (2)

kemungkinan besar akan disusun sebagai berikut:

(5) Kopi adalah sebuah minuman yang disukai di Jerman.

Sistem gramatikal yang perberdaannya sangat jauh antara bahasa

Jerman dan bahasa Indonesia seperti yang dicontohkan di atas merupakan

kendala utama bagi pembelajar bahasa Jerman dan bahasa Indonesia sebagai

bahasa asing. Fenomena seperti di atas merupakan alasan yang sangat

mendasar bagi peneliti untuk melakukan penelitian yang membandingkan dan

memadankan kedua tata bahasa klausa relatif di dalam bahasa Jerman dan

bahasa Indonesia, dengan harapan hal ini bisa mengatasi kesulitan, kendala,

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

7

maupun kesalahan pembelajar bahasa Jerman dan bahasa Indonesia sebagai

bahasa asing seperti yang digambarkan sebelumnya. Sebagaimana juga

dipaparkan oleh Samsuri (1991:47) bahwa pengadaan analisis paralel tentang

bahasa ibu dan bahasa asing yang diajarkan kepada pembelajar merupakan

jawaban untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi dalam

proses belajar bahasa asing tersebut. Penelitian tentang analisis semacam ini

dikenal dengan sebutan penelitian kontrastif. Kridalaksana (2001:13)

menyatakan bahwa analisis kontrastif adalah metode sinkronis dalam analisis

bahasa untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahasa-bahasa

atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dapat diterapkan untuk masalah

yang praktis, seperti pengajaran bahasa dan penerjemahan. Analisis kontrastif

dikembangkan dan dipraktikkan sebagai suatu aplikasi linguistik struktural

pada pengajaran bahasa. Dengan demikian, para pembelajar bahasa asing,

khususnya bahasa Jerman, bisa memahami dengan baik perbedaan dan

persamaan struktur klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia,

sehingga persoalan-persoalan yang dihadapi dalam proses pembelajaran

tersebut dapat diatasi.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini

merujuk pada latar belakang permasalahan tersebut di atas, yaitu sebagaimana

tersusun dalam rumusan sebagai berikut:

1) Apa saja jenis konjungsi relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia?

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

8

2) Bagaimana cara pendistribusian konjungsi relatif bahasa Jerman dan

bahasa Indonesia?

3) Apa saja perbedaan dan persamaan konjungsi relatif bahasa Jerman dan

bahasa Indonesia?

4) Apa saja implikasi hasil penelitian ini dalam pengajaran bahasa Jerman

dan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan yang telah dirumuskan di atas,

adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah sebagai berikut:

1) Menjelaskan jenis-jenis konjungsi relatif dalam klausa relatif bahasa

Jerman dan bahasa Indonesia.

2) Mendeskripsikan distribusi konjungsi relatif dalam klausa relatif bahasa

Jerman dan bahasa Indonesia.

3) Menjelaskan perbedaan dan persamaan struktur klausa relatif bahasa

Jerman dan bahasa Indonesia.

4) Menjelaskan implikasi hasil penelitian ini dalam pengajaran bahasa

Jerman dan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing.

1.4. Manfaat Penelitian

Merujuk pada tujuan penelitian yang telah dirancang, penelitian ini

setidaknya akan memberikan manfaat teoritis dan praktis kepada para

pembaca. Adapun manfaat teoritis yang diperoleh sebagai berikut:

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

9

1) Memberikan kontribusi pustaka atau bahan acuan bagi perkembangan

Linguistik di Indonesia, khususnya kajian linguistik kontrastif.

2) Mendeskripsikan kekhasan dan keunikan tatabahasa Jerman dan Indonesia,

khususnya tentang konstruksi klausa relatif.

3) Memberikan kontribusi bagi penelitian lanjutan yang sejenis.

Adapun manfaat praktis yang bisa diperoleh melalui hasil

penelitian ini antara lain:

1) Memberikan kontribusi dan masukan bagi pengembangan strategi; baik

dalam penyusunan kurikulum, penyediaan bahasa ajar, maupun teknik

pengajaran bahasa Jerman sebagai bahasa asing di Indonesia (Deutsch als

Fremdsprache) dalam empat aspek kemampuan berbahasa, yaitu membaca,

mendengar, menulis, dan berbicara.

2) Memberikan gambaran informasi konkret kepada pembelajar tentang

perbedaan dan persamaan struktur klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa

Indonesia, sehingga mereka selalu mempunyai titik kontrol atau cerminan

untuk bisa mengatasi kendala dan kesulitan yang dialami sebelumnya

dalam pembelajaran materi tersebut.

1.5. Tinjauan Pustaka

Kajian kontrastif tentang tata bahasa Jerman dan Indonesia masih

sangat jarang dilakukan. Kebanyakan penelitian yang dilakukan sebelumnya

adalah terkait deskripsi bahasa Jerman sebagai salah satu rumpun bahasa

Indo-Eropa yang berkarakteristik gramatikal fleksi. Adapun beberapa

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

10

penelitian terkait kajian kontrastif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia yang

pernah dilakukan dalam rangka untuk mendapatkan solusi atas kesulitan dan

kendala pembelajar bahasa Jerman terhadap berbagai macam unsur-unsur tata

bahasanya adalah sebagai berikut:

1) Penelitian yang berjudul “Analisis Kontrastif Vokoid Bahasa Jerman Dan

Bahasa Indonesia” dilakukan oleh Ratna Jayanti (1991). Dari analisis

kontrastif tersebut dapat disimpulkan adanya persamaan dan perbedaan

antara vokoid bahasa Jerman dan vokoid bahasa Indonesia. Persamaan dan

perbedaan tersebut mencakup masalah peta vokoid dan pembentukan

vokoid. Berdasarkan peta vokoid, vokoid bahasa Jerman dapat dibagi

menjadi: 8 bunyi vokoid panjang, yaitu [a:], [e:], [E:], [i:], [u:], [o:]. [y:]

dan bunyi vokoid pendek, yaitu [a], [E], [I], [U], [oe], [v], [a]. Sedangkan

bahasa Indonesia mempunyai 6 bunyi vokoid, yaitu : [a], [e], [i], [o], [u]

dan [a]. Dalam bahasa Jerman terdapat pembagian bunyi vokoid

berdasarkan panjang-pendeknya vokoid tersebut dilafalkan, tetapi hal yang

sama tidak terdapat dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Jerman,

pelafalan suatu bunyi vokoid berdasarkan panjang-pendeknya vokoid

tersebut dilafalkan merupakan faktor yang penting untuk diperhatikan

karena perbedaan tersebut dapat membedakan arti. Sedangkan dalam

bahasa Indonesia terdapat variasi fonem (alofon) yang tidak membedakan

arti. Mengenai diftong dalam bahasa Jerman dan bahasa Indonesia terdapat

perbedaan definisi antara keduanya tetapi dalam pembentukan dan

pelafalannya dapat dikatakan sama. Dalam bahasa Jerman diftong terdiri

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

11

atas dua bunyi vokoid atau disebut juga vokoid ganda. Ada tiga bentuk

diftong dalam bahasa Jerman, yaitu: [a3], [aI] dan [)I]. Dalam bahasa

Indonesia, diftong adalah rangkaian bunyi bahasa yang segmen

pertamanya berupa vokoid dan segmen keduanya berupa bunyi hampiran.

Rangkaian ini selalu berada dalam satu suku kata. Ada tiga bentuk- diftong

dalam bahasa Indonesia, yaitu: [aw], [ay] dan [oy].

2) Penelitian yang berjudul “Analisis kontrastif konvensi pragmatis

sekelompok penutur bahasa Indonesia dan bahasa Jerman” dilakukan oleh

Rita Maria Siahaan (1996). Masalah-masalah yang dibahas dalam tesis ini

terdiri atas: bentuk-bentuk pragmatik bahasa Indonesia dan bahasa Jerman:

persamaan dan perbedaan bentuk¬bentuk pragmatik bahasa Indonesia dan

bahasa Jerman: dan faktor-faktor pragmatik yang harus ditekankan dalam

pengajaran bahasa Jerman di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah; agar

diperoleh bentuk-bentuk pragmatik bahasa Indonesia dan bahasa Jerman:

persamaan dan perbedaan bentuk-bentuk pragmatik bahasa Indonesia dan

bahasa Jerman; juga agar diperoleh hal-hal yang harus ditekankan dalam

pengajaran bahasa Jerman di Indonesia. Hasil analisis menunjukkan

faktor-faktor yang harus ditekankan dalam pengajaran bahasa Jerman ialah

pengungkapan makna-makna yang berlainan caranya dalam bahasa Jerman

dan dalam bahasa Indonesia, antara lain, pemakaian kata Herr... tidak bisa

berdiri sendiri, tidak bisa dikombinasikan dengan nama depan atau nama

panggilan, tetapi dikombinasikan dengan nama keluarga. Dalam bentuk

sopan santun dipakai bentuk pengandaian Kӧnten ,die...? serta klausa

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

12

pengandaian "Es wӓre nett, ...." Pemakaian partikel vielleicht; mul,- cloch

besar pengaruhnya dalam kalimat sopan santun. Juga bentuk es dan mull

yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia perlu ditekankan oleh pengajar

bahasa Jerman".

3) Penelitian yang dilakukan oleh Pratomo Widodo (2008) dalam disertasinya

yang berjudul “Distribusi Nomina dan Verba dalam Klausa Bahasa Jerman

dan Bahasa Indonesia: Kajian Gramatika Kontrastif”. Penelitian ini

bertujuan untuk (1) mendeskripsikan distribusi nomina dan verba serta

distribusi kategorial unsur frasa nominal dan frasa verbal dalam klausa

bahasa Jerman dan bahasa Indonesia; (2) mendeskripsikan pengaruh

distribusi nomina dan verba dalam klausa terhadap wujud nomina dan

verba dalam bahasa Jerman dan bahasa Indonesia; dan (3) menjelaskan

persamaan dan perbedaan distribusi N dan V dalam klausa bJ dan bI

ditinjau dari sudut pandang tata bahasa universal. Dalam membandingkan

distribusi nomina dan verba serta distribusi kategorial unsur frasa nominal

dan frasa verbal dari kedua bahasa digunakan data sekunder yang berasal

dari hasil- hasil penelitian dan buku-buku gramatika bahasa Jerman dan

bahasa Indonesia.

Analisis data menggunakan metode analisis gramatika kontrastif yang

mendasarkan pada tata bahasa universal tipologis. Adapun cara kerja

analisisnya adalah dengan melihat distribusi nomina dan verba, baik pada

tataran kata maupun frasa, serta distribusi kategorial unsur frasa nominal

dan frasa verbal serta membandingkan butir-butir (properties) tata bahasa

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

13

dari kedua bahasa yang dibandingkan untuk melihat persamaan dan

perbedaannya. Untuk menjawab pertanyaan mengapa terdapat persamaan

dan perbedaan distribusi dan wujud nomina dan verba dalam bahasa

Jerman dan bahasa Indonesia digunakan analisis berdasarkan hirarkhi

tematik, yang mendasarkan pada analisis peran semantik, dan hirarkhi

kasus, yang mendasarkan pada konsep relasi formal. Berdasarkan analisis

yang telah dilakukan diperoleh temuan-temuan sebagai berikut. (1) Terkait

dengan distribusi nomina dan verba dalam klausa bahasa Jerman dan

bahasa Indonesia dapat disampaikan hal- hal berikut: (a) Nomina dalam

kedua bahasa dapat menduduki fungsi sintaksis sebagai subjek, objek, dan

pelengkap. Dengan didahului oleh preposisi, nomina, baik dalam bahasa

Jerman maupun bahasa Indonesia, dapat berfungsi sebagai objek,

pelengkap, atau adverbial. Distribusi nomina dalam klausa bahasa Jerman

relatif bebas atau fleksibel, sementara distribusi nomina dalam bahasa

Indonesia tidak bebas karena distribusi tersebut berperan dalam

menjelaskan proses gramatik klausa. Distribusi kategorial unsur frasa

nominal dalam bahasa Jerman dan bahasa Indonesia memiliki banyak

persamaan. Atribut frasa nominal dalam kedua bahasa ada yang

prenominal dan ada yang posnominal. (b) Dalam bahasa Jerman verba

menduduki fungsi predikat, sementara dalam bahasa Indonesia di samping

verba, fungsi predikat dapat pula diisi oleh kategori yang lain seperti

nomina, adjektif, numeralia, dan konstruksi preposisional. Distribusi verba

dalam bahasa Jerman lebih berfungsi untuk menjelaskan jenis-jenis klausa,

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

14

namun kurang menonjol fungsinya dalam menjelaskan proses gramatik

klausa; sementara itu distribusi verba dalam klausa bahasa Indonesia tidak

begitu fleksibel, karena posisi verba memiliki peranan yang besar dalam

menjelaskan proses gramatik klausa. Distribusi frasa verbal dalam bahasa

Jerman merupakan konstruksi diskontinu yang unsur-unsurnya terpisah,

sementara dalam bahasa Indonesia susunan unsur frasa verbal berurutan.

Penelitian ini memiliki hubungan yang erat dengan kajian kontrastif klausa

relatif yang dilakukan oleh peneliti karena keduanya menitikberatkan pada

proses deklinatif dalam bahasa Jerman yang merupakan kekhasan

tersendiri bahasa Jerman sebagai bahasa fleksi dengan bahasa Indonesia

sebagai bahasa aglutinasi.

4) Penelitian yang dilakukan oleh Dewi Ratnasari dalam sebuah disertasi

dengan judul “Perilaku Ajektiva terhadap Nomina dalam Frasa dan

Klausa Bahasa Jerman dan Bahasa Indonesia” (2010). Penelitian ini

membahas tentang perilaku adjektiva dalam frasa dan klausa bahasa

Jerman dan Bahasa Indonesia yang dikemas dalam bingkai linguistik

kontrastif dan tata bahasa semesta. Tujuannya adalah untuk

membandingkan dan mendeskripsikan perilaku adjektiva, serta

implikasinya terhadap wujud adjektiva. Data diambil dari karya sastra

Jerman berupa roman dari novel, buku-buku gramatika, koran Süddeutsche

Zeitung, Kompas, dan Harian Reginal jawa Barat Pikiran Rakyat. Hasil

penelitian ini memperlihatkan perbedaan yang signifikan; terkait dengan

urutan unsur frasa, , adjektiva bahasa Jerman menempati posisi di sebelah

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

15

kiri nomina yang diwatasinya, dan determina terletak di sebelah kiri

adjektiva. Selanjutnya, dalam sebuah klausa adjektiva bahasa Jerman

berkoneksi dengan verba kopula dan verba yang mengungkapkan pendapat

membentuk predikasi. Dengan demikian, adjektiva menuntut kehadiran

unsur lain sebagai subsistemnya dan berpotensi menguasai tampilan

morfologis dalam unsur lain tersebut. Dalam bahasa Indonesia, adjektiva

dapat langsung menempati slot predikat dan terletak di kanan subjek.

1.6. Landasan Teori

1.6. 1 Kalimat

Berbicara tentang kalimat, banyak sekali definisi yang dipaparkan

oleh para ahli dengan intisari yang sama. Ramlan dalam Markhamah

(2009:10) menyatakan bahwa kalimat adalah satuan gramatik yang

dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik.

Dalam hal ini yang dimaksud satuan gramatik adalah unsur-unsur

segmental dari suatu kalimat yang memiliki susunan yang sistematis.

Selain itu, kalimat ada yang terdiri atas satu kata, dua kata, tiga kata dan

seterusnya. Penentu satuan kalimat menurut Ramlan adalah intonasi.

Batasan pengertian kalimat yang dipaparkan dalam Tata Bahasa

Baku Bahasa Indonesia (Moeliono, 1996:224) dinyatakan bahwa kalimat

adalah bagian terkecil ujaran atau teks (wacana) yang mengungkapkan

pikiran yang utuh secara ketatabahasaan. Dalam bahasa lisan kalimat

diiringi oleh alunan titinada, disela oleh jeda, diakhiri oleh intonasi selesai,

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

16

dan diikuti oleh kesenyapan yang memustahilkan adanya. Dalam bahasa

tulis, kalimat dimulai oleh huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik,

tanda tanya, atau tanda seru; dan sementara itu disertakan pula di

dalamnya berbagai tanda baca yang berupa spasi atau ruang kosong, koma,

titik koma, titik dua, dan atau sepanjang garis pendek yang mengapit

bentuk tertentu.

1.6. 2 Jenis-jenis Kalimat

Banyak ahli memberikan kategori-kategori tertentu dalam

pembagian jenis-jenis kalimat. Salah satunya Moeliono (1996:267)

membagi kalimat berdasarkan bentuk dan maknanya sebagaimana tampak

pada diagram pohon di bawah ini:

Predikat Frasa Nominal

Tunggal Predikat Frasa Adjektival

Predikat Frasa Verbal

Bentuk Predikat Frasa Lain

Setara

Majemuk

Kalimat Bertingkat

Berita

Perintah

Makna Tanya

Seru

Emfatik

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

17

Pembagian jenis kalimat berdasarkan bentuknya terdiri atas kalimat

tunggal dan kalimat majekmuk. Kalimat tunggal merupakan kalimat yang

hanya terdiri atas satu klausa, sedangkan kalimat majemuk merupakan

kalimat yang terdiri atas lebih dari satu bagian inti, baik dengan maupun

tanpa bagian bukan inti (Moeliono, 1996:258-268). Selain itu, Moeliono

juga membagi jenis kalimat berdasarkan maknanya, yang meliputi kalimat

berita, perintah, tanya, seru, dan kalimat emfatik. Namun demikian, yang

menjadi titik fokus dalam penelitian ini adalah kalimat majemuk

bertingkat.

Berbicara masalah kalimat majemuk, Verhaar (2004:275) juga

menyatakan bahwa kalimat majemuk merupakan kalimat yang terdiri atas

dua klausa atau lebih, misalnya dalam kalimat seperti berikut:

(6) Sri pergi ke dapur, mempersiapkan makanan, dan mengantar makanan

ke kami di kebun.

Dalam kalimat (6) ketiga klausa tersebut berstruktur koordinatif (tidak ada

klausa yang lebih tinggi daripada yang lain). Berdasarkan jenis-jenis

klausa yang menyusun sebuah kalimat majemuk, Verhaar (2004:276-288)

membagi jenis-jenis klausa sebagai berikut:

1) Klausa Mandiri dan Klausa Gabungan

Klausa mandiri (yang identik dengan kalimat tunggal) berbeda

dengan klausa gabungan. Artinya, klausa ini harus digabung

dengan klausa lain untuk membentuk sebuah kalimat majemuk.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

18

2) Klausa Terkandung dan Klausa Berbatasan

Klausa terkandung adalah klausa bawahan yang merupakan bagian

dari yang tidak terasingkan dalam klausa lebih atas, atau bagian

dalam salah satu frasa yang terdapat dalam klausa atas tersebut.

Sedangkan klausa berbatasan merupakan klausa yang tidak mutlak

sebagai bagian esensial dari klausa lebih atas.

3) Klausa Absolut dan Klausa Relasional

Klausa absolut merupakan klausa bawahan yang tidak memiliki

argumen yang juga ada dalam klausa atas, sedangkan klausa

relasional adalah klausa yang memiliki argumen dalam klausa yang

lebih atas.

4) Klausa Lengkap dan Klausa Buntung

Klausa lengkap adalah klausa yang memiliki predikat, verbal atau

non verbal, seperti halnya dalam klausa mandiri, sedangkan klausa

buntung merupakan klausa gabungan yang berfungsi sebagai

klausa dalam segala tetapi hanya untuk menyebut topik. Misalnya

(7) Ayah saya, dia tidak mau mendaftarkan diri.

Dalam kalimat (7) frasa ayah saya merupakan klausa buntung yang

berfungsi hanya menyebut topik.

5) Klausa Koordinatif dan Klausa Subordinatif

Klausa koordinatif merupakan klausa yang bergabung langsung

dengan klausa lain, sedemikian rupa sehingga tidak ada sebuah

klausa yang berkedudukan lebih tinggi daripada klausa yang lain.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

19

Adapun klausa subordinatif merupakan klausa yang mencakup

klausa terkandung dan klausa berbatasan.

Berdasarkan klasifikasi klausa tersebut, adapun yang menjadi titik

fokus dalam penelitian ini merupakan klausa bawahan dalam sebuah

kalimat majemuk, entah terkandung atau berbatasan, atau klausa bawahan

yang bersifat relasional yang membentuk sebuah klausa relatif yang

memiliki hubungan atributif dengan klausa mandiri atau klausa inti.

1.6. 3 Kalimat Pasif

Moeliono (1996:279) menjelaskan bahwa pengertian kalimat aktif

pasif menyangkut beberapa hal: (1) macam verba yang menjadi predikat,

(2) subjek dan objek, (3) bentuk verba yang dipakai. Adapun strategi

umum dalam pengubahan kalimat aktif menjadi pasif adalah sebagai

berikut:

a. Pertukarkanlah pengisi subjek dengan pengisi objek.

b. Gantilah prefiks meN- dengan di- pada predikat.

c. Tambahkanlah kata oleh di depan objek, terutama bila objek terpisah

oleh kata lain dari predikat.

Perhatikan kalimat di bawah ini.

(8) Pak Toha mengangkat seorang asisten baru.

(9) Seorang asisten baru diangkat oleh pak Toha.

Kalimat (8) merupakan kalimat aktif yang terdiri atas unsur Pak Toha

sebegai subjek, verba mengangkat sebagai predikat, dan seorang asisten

baru sebagai objek. Bila strategi pemasifan di atas diterapkan, maka

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

20

kalimat (8) akan menjadi kalimat (9) dengan rincian bahwa sekarang

seorang asisten baru telah menjadi subjek dan pak Toha menjadi objek.

Strategi pemasifan di atas berlaku bila pelaku perbuatan berupa (a) nomina

atau frasa nomina atau (b) pronomina dia, beliau,mereka.

Adapun strategi pemasifan kedua berlaku untuk pelaku perbuatan adalah

pronomina persona aku, saya, kami, kita, engkau, kamu, anda, dia, beliau,

dan mereka. Kaidah yang berlaku adalah sebagai berikut:

a. Ubahlah letak S P O menjadi O S P.

b. Hapuskan prefiks meng- dari verbanya.

c. Rapatkan subjek dengan predikatnya tanpa kata pemisah apa pun. Jika

semula verbanya mempunyai kata bantu seperti akan, dapat atau kata

ingkar seperti tidak, maka kata-kata seperti itu diletakkan sebelum

subjek.

d. Gantikan aku dengan ku dan engkau dengan kau (mana suka).

Perhatikan contoh kalimat berikut ini.

(10) Aku akan menjemput Pak Lurah.

(11) Pak Lurah akan aku jemput.

Kalimat (10) merupakan kalimat aktif yang bila diterapkan kaidah di atas

akan menjadi kalimat pasif (11).

Adapun kalimat pasif bentuk yang lain adalah yang bermakna adversatif

(Moeliono, 1996:282). Kalimat ini salah satunya memiliki predikat yang

berkonfiks ke-an. Perhatikan contoh berikut ini.

(12) Partai kita kemasukan unsur kiri.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

21

1.6. 4 Klausa Relatif

Berbicara masalah klausa relatif, Verhaar (2004:327) menyatakan

bahwa dari sudut sintaksis, ada berbagai cara untuk membahas klausa

relatif, misalnya klausa relatif sebagai klausa bawahan dari sebuah kalimat

majemuk, klausa bawahan entah terkandung entah berbatasan, atau klausa

bawahan yang bersifat relasional. Disusul dengan keterangan tambahan

oleh Verhaar (2004:328) tentang klausa relatif, bahwa terdapat beberapa

konsep pokok yang harus dipahami dari sebuah klausa relatif, antara lain

sebagai berikut:

1. Istilah anteseden merupakan nomina induk dengan klausa relatif

sebagai atribut. Terkait anteseden, ada bahasa yang dalam sebuah

klausa relatif nomina induk mendahului atau mengawali klausa

relatifnya. Namun ada pula bahasa-bahasa yang susunan nomina

induknya mengikuti klausa relatif.

2. Klausa relatif memiliki dua kelas semantis: klausa pembuka dan

klausa pembatas. Perbedaan tersebut sangat penting secara sintaktis.

3. Konstituen (entah bebas atau terikat) yang memarkahi klausa

relatif sebagai klausa relatif dapat disebut “perelatif”, akan tetapi

“perelatif” tersebut tidak mutlak perlu berupa perangkai.

4. Perelatif dapat berupa perangkai pronominal, sehingga berstatus

argumen dalam sebuah klausa relatif, atau merupakan objek

adposisi.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

22

5. Perelatif dapat berupa “perangkai” sebagai penghadir anteseden di

dalam klausa relatif.

1.6.3.1 Klausa Relatif Pembuka dan Pembatas

Sehubungan dengan dua karakteristik klausa relatif berdasarkan

tatabahasa universal, yaitu klausa relatif pembuka dan klausa relatif

pembatas, Verhaar (2004:332) menjelaskan bahwa klausa relatif pembuka

tidak mutlak perlu untuk identifikasi anteseden (keterangan yang

ditambahkan demi alasan tertentu tetapi keterangan yang tidak perlu demi

pengidentifikasian nomina induk secara unik), sedangkan klausa relatif

pembatas mutlak harus hadir demi identifikasi anteseden. Misalnya dalam

ortografi bahasa Inggris anteseden dan klausa relatif dipisahkan oleh koma

bila klausa bersifat pembuka dan tidak dipisahkan oleh koma bila klausa

bersifat pembatas. Misalnya dalam kalimat

(13) Fool that I was! „Bodoh saya ini!‟

(14) He looked like a football player, which he appeared to be „Dia

kelihatan seperti seorang pemain sepak bola, dan memang dia nampak

demikian‟.

Sehubungan dengan klausa relatif pembuka, Verhaar (2004:333)

menambahkan bahwa dalam bahasa Indonesia, klausa relatif pembuka

dapat diawalai dengan yang, asalkan yang itu diawalai oleh jeda (yang

dilambangkan dengan tanda {“—“). Akan tetapi, bahasa Inggris dan

bahasa Indonesia dalam frasa seperti ini bersusunan anteseden + klausa

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

23

relatif. Namun dalam bahasa-bahasa OV secara konsisten, dengan

keselaran infraklausal, memiliki susunan lain, yaitu klausa relatif +

anteseden.

1.6.3.2 Konstituen Perelatif Berupa Pronominal

Perangkai perelatif selain pronominal juga ada beberapa yang

berupa pronominal. Verhaar (2004:334) juga menjelaskan bahwa perelatif

itu dapat berupa pronomina atau frasa adposisional yang objeknya berupa

perelatif pronominal. Misalnya dalam bahasa Jerman

(15) Ich liebe Jemanden, dem du geholfen hast. S P1 O Pron.Rel S P2 Aux.

Saya suka seseorang yang untuknya kamu memberikan bantuan telah.

„Saya menyukai seseorang yang kamu tolong‟

atau dalam bahasa Inggris juga terdapat dalam kalimat

(16) The girl to whom Charles gave the ring „Gadis yang saya beri

cincin‟.

Adapun pronomina yang menjadi perelatif perangkai juga tetap

mengikuti bentuk deklinatif sesuai masing-masing distribusi hirarki kasus

antesedennya. Berbicara masalah hirarki kasus, khususnya dalam sebuah

sistem gramatikal bahasa fleksi semisal bahasa Jerman, hal itu sangat

ditentukan oleh sifat semantis verba yang mengisi fungsi predikatnya,

selain dari valensi yang dimiliki oleh verba yang bersangkutan.

Sehubungan dengan sifat semantis verba, secara teoritis dapat mengacu

pada makalah Tambupolon dalam sebuah seminar Linguistik, Parera

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

24

(2002:152) menjelaskan bahwa terdapat dua belas jenis klasifikasi verba

berdasarkan sifat semantisnya sebagai berikut:

1. Verba Keadaan

Verba ini mempunyai ciri semantis keadaan (menyatakan

keadaan); mengharuskan hadirnya objek.

2. Verba Keadaan-Pengalaman

Verba jenis ini mempunyai ciri semantis keadaan-pengalaman,

yaitu menyatakan keadaan yang berkenaan dengan pengalaman;

mengharuskan hadirnya pengalam dan Objek.

3. Verba Keadaan-Pemilikan

Verba ini mempunyai ciri semantis keadaan-pemilikan, yang

mengharuskan hadirnya pemilik dan objek.

4. Verba Keadaan-Lokasi

Mempunyai ciri keadaan-lokasi yang mengharuskan hadirnya

pemilik dan lokasi.

5. Verba Proses

Mempunyai ciri semantis proses yang menyatakan suatu proses

atau perubahan dan yang mengharuskan hadirnya objek.

6. Verba Proses-Pengalaman

Verba ini mempunyai ciri semantis proses-pengalaman;

menyatakan proses yang berkenaan dengan pengalaman dan

mengharuskan hadirnya pengalam dan objek.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

25

7. Verba Proses-Pemilikan

Mempunyai ciri semantis Proses-Pemilikan yang menyatakan

sebuah proses yang berkaitan dengan pemilikan atau

ketidakpemilikan dengan mengharuskan hadirnya pemilik dan

objek.

8. Verba Proses-Lokasi

Verba ini mempunyai ciri semantis Proses-Lokasi; menyatakan

sebuah proses yang berkenaan dengan lokasi dengan

mengharuskan hadirnya objek dan lokasi.

9. Verba Aksi

Verba ini mempunyai ciri semantis aksi yang menyatakan aksi atau

perbuatan dengan mengharuskan hadirnya pelaku dan objek.

10. Verba Aksi-Pengalaman

Mempunyai ciri semantis Aksi-Pengalaman; menyatakan aksi yang

berkenaan dengan pengalaman dan mengharuskan hadirnya pelaku,

pengalam, dan objek.

11. Verba Aksi-Pemilikan

Verba ini mempunyai ciri semantis Aksi-Pemilikan; menyatakan

aksi yang berkenaan dengan pemilikan atau ketidakpemilikan

dengan mengharuskan hadirnya pelaku, pemilik, dan objek.

12. Verba Aksi-Lokasi

Mempunyai ciri semantis Aksi-Lokasi; menyatakan aksi yang

berkenaan dengan lokasi mengharuskan hadirnya pelaku.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

26

Verhaar (2004:335) menambahkan terkait perelatif perangkai yang

berupa pronominal bahwa perelatif pronominal bersifat argumen bila

berupa argumen dalam klausa relatif itu sendiri, misalnya pronominal who

sebagai subjek dalam kalimat bahasa Inggris

(17) The guest who came yesterday „Tamu yang datang kemarin‟

atau whom sebagai objek langsung dan objek tidak langsung dalam

kalimat

(18) The carpenter whom I saw last week „Tukang kayu yang saya lihat

minggu lalu‟ dan

(19) The teacher whom I gave the flowers „Guru yang saya beri bunga‟.

Perelatif pronominal yang tidak berstatus sebagai argumen bila

berstatus konstituen nominal dalam predikat kopulatif, misalnya that

dalam kalimat Fool that I was! „Bodoh saya ini!; which dalam kalimat

(14); serta whom dalam kalimat (18).

1.6. 5 Klausa Relatif Bahasa Jerman

Bahasa Jerman merupakan salah satu anggota keluarga bahasa

Indo-Eropa yang memiliki karakteristik ketatabahasaan sebagai bahasa

fleksi. Soeparno (2002:33) menyatakan bahwa bahasa fleksi adalah bahasa

yang struktur katanya terbentuk oleh perubahan bentuk kata. Terdapat dua

hal yang melandasi perubahan bentuk kata tersebut, yaitu deklinasi dan

konjugasi. Deklinasi adalah perubahan bentuk kata yang disebabkan oleh

perbedaan jenis, jumlah, dan kasus; sedangkan konjugasi adalah

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

27

perubahan bentuk kata yang disebabkan oleh perubahan persona, jumlah

dan kala.

Terkait karakteristik tata bahasa Jerman sebagaiman sepintas

dipaparkan di atas, berbicara kalimat relatif pun dalam bahasa Jerman

tidak lepas dari proses-proses yang mengacu pada karakteristik tata

bahasanya tersebut. Schmitt (2008:181) menyatakan “Relatifsätze sind

Nebensätze, die von einem Substantiv abhängen. Sie geben erklärungen zu

diesem Substantiv. Ohne diese Erklärungen ist ein Satz unverständlich.”

Artinya, kalimat relatif merupakan anak kalimat yang bergantung pada

sebuah substantif, tanpa keterangan tersebut sebuah kalimat tidak bisa

dipahami. Schmitt (2008:181) juga menambahkan bahwa kalimat relatif

dalam bahasa Jerman bisa terwujud ke dalam beberapa bentuk, antara lain

sebagai berikut:

a. Sebagai atribut yang menjelaskan sebuah induk kalimat, misalnya

dalam sebuah kalimat

(20) Der Polizist fragt den Passanten, der den Unfall gesehen hat, det S P1 det O det.rel det O P2 Aux

Polisi menanyakan pejalan kaki, yang kecelakaan itu melihat telah

nach seiner Meinung. Prep pos. O

Kepada miliknya pemikiran

„Polisi itu menanyakan kesaksian pejalan kaki, yang menyaksikan

tragedi kecelakaan itu‟.

b. Sebagai atribut yang menjelaskan sebuah anak kalimat, misalnya dalam

kalimat di bawah ini.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

28

(21) Der Polizist vermutet, dass der Passant, der den Unfall gesehen Det S P1 Konj det S det.Rel det O P3

Polisi itu menduga, bahwa pejalan kaki itu, yang kecelakaan itu melihat

hat, vor Gericht nicht aussagen will. Aux. Prep. Adv Neg. P2 Aux

Telah, di depan pengadilan tidak menyatakan berkenan

„Polisi itu menduga bahwa pejalan kaki itu, yang telah

menyaksikan kecelakaan itu, tidak berkenan memberikan kesaksian

di depan pengadilan‟.

c. Terwujud ke dalam bentuk lain sebagai kalimat relatif, misalnya dalam

kalimat

(22) Der Polizist verfolgt den Mann, der den Unfall gesehen hat, bei Det S P1 det O det.Rel det. O P2 Aux prep

Polisi itu membuntuti laki-laki, yang kecelakaan itu melihat telah, oleh

dem ein Kind verletzt worden ist. Det.Rel det. S P3 Aux Aux

Dia seorang anak terluka telah

„Polisi itu membuntuti pria, yang mengalami kecelakaan, yang

melukai seorang anak kecil‟.

Beberapa contoh kalimat relatif di atas tentunya memiliki

konjungsi relatif yang menjadi penunjuk atribut yang diterangkannya.

Adapun pemakaian konjungsi relatif, yang dalam bahasa Jerman dikenal

dengan sebutan Relativpronomen „pronomina relatif‟, merujuk pada jenis,

jumlah, dan kasus yang dialami oleh atribut yang dijelaskan dalam kalimat

relatif yang bersangkutan. Hal itu berlaku karena sebagaimana dijelaskan

sebelumnya, bahwa bahasa Jerman merupakan bahasa fleksi, yang di

dalamnya terdapat proses deklinatif dan konjugatif.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

29

Sehubungan dengan penentuan jenis-jenis konjungsi relatif dalam

sebuah klausa relatif bahasa Jerman, Schoch (1998:187) menerangkan

Das Relativpronomen passt sich dabei in Numerus und Genus an

das Nomen an, auf das es sich bezieht; und der Kasus des

Relativpronomens hӓngt von der Rolle ab, die es im Relativsatz

spielt.

„Pronomina relatif menyesuaikan diri pada jumlah dan jenis

nomina yang dihubungkan; dan kasus yang berlaku pada

pronomina relatif bergantung pada peran diduduki nomina dalam

klausa relatifnya„.

Artinya, sebuah konjungsi atau pronomina relatif dalam sebuah

klausa relatif harus disesuaikan dengan jenis dan jumlah nomina yang

direlatifkan. Selain itu, kasus yang turut menentukan bentuk deklinatif dari

pronomina atau konjungsi relatif tersebut tergantung atas peran sintaksis

atau fungsi semantis nomina yang bersangkutan. Selain itu, berdasarkan

jenis anteseden apa saja yang bisa direlatifkan dalam bahasa Jerman

dijelaskan oleh Keenan dan Comrie (1977:77), yaitu German allows

relativization on subjects, direct object, indirect object, oblique, and

genetive. Artinya, dalam bahasa Jerman konjungsi relatif bisa merelatifkan

nomina yang menduduki semua fungsi sintaksis

Sehubungan dengan berlakunya proses deklinatif dalam sebuah

sistem tata bahasa kasus, dalam hal ini misalnya bahasa Jerman, Van

Valin (2004:22) dengan rinci menjelaskan masing-masing peran sintaksis

atau fungsi semantis dari sebuah nomina sebagai berikut The semantic

roles (also called „thematic relations or theta roles) that the arguments

bear to the predicate. Artinya, semantic role adalah uraian atau penjelasan

terkait verba, dalam hal ini adalah predikat. Kemudian Van Valin

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

30

(2004:22-31) memaparkan beberapa variasi semantic role berdasarkan

kemungkinan yang dibentuk oleh faktor semantis verbanya. Adapun jenis-

jenis semantic role adalah sebagai berikut:

1. Agent

Merupakan peran sintaksis atau semantic role yang berupa bentuk-

bentuk yang bernyawa dan biasanya memerankan dengan sengaja

tindakan yang dicerminkan oleh verba (Van Valin, 2004:24). Biasanya

seringkali berupa fungsi subjek dalam sebuah kalimat aktif dan bisa

berupa pelengkap dalam sebuah kalimat pasif.

2. Patient

Merupakan peran sintaksis atau semantic role berupa unsur yang

berada dalam sebuah keadaan atau mengalami perubahan atas sebuah

keadaan tertentu (Van Valin, 2004:24). Biasanya berupa direct object

dalam sebuah kalimat aktif dan berupa subjek dalam sebuah kalimat

pasif.

3. Instrument

Merupakan peran sintaksis atau semantic role yang mencerminkan alat

untuk melakukan sebuah tindakan tertentu yang dicerminkan oleh

verba seperti dalam kalimat The soap is used by woman to wash the

clothes (Van Valin, 2004:23).

4. Theme

Merupakan peran sintaksis atau semantic role berupa unsur yang

berada pada lokasi tertentu atau mengalami perubahan lokasi. Selain

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

31

itu, mereka juga dapat berupa unsur yang menunjukkan sebuah

kepemilikan atau mengalami perubahan status kepemilikan (Van Valin,

2004:24).

5. Location

Merupakan peran sintaksis atau semantic role yang mencerminkan

sebuah posisi atau letak dari makna yang dicerminkan verba. Misalnya

dalam kalimat The books are lying on the table (Van Valin, 2004:24).

6. Recipient

Merupakan peran sintaksis atau semantic role berupa unsur yang bisa

muncul secara sintaktis sebagai objek tidak langsung seperti dalam

kalimat Chris gave the notebook to Dana. Selain itu, peran ini juga

bisa muncul sebagai subjek seperti dalam kalimat Sandy received the

message from the Kim (Van Valin, 2004:24).

7. Goal

Merupakan peran sintaksis atau semantic role yang mencerminkan

tujuan akhir atau endpoint dari sebuah perubahan keadaan atau lokasi

(Van Valin, 2004:24), seperti dalam kalimat Pat put the books on the

table.

8. Source

Merupakan peran sintaksis atau semantic role yang mencerminkan

sumber, bisa berupa sumber tempat atau yang lain, seperti dalam

kalimat the runner starts from a specific place (Van Valin, 2004:24).

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

32

9. Path

Merupakan peran sintaksis atau semantic role yang menyatakan

sebuah jalur, lintasan, atau jalan yang dicerminkan oleh makna verba,

seperti dalam kalimat The dog run through the garden (Van Valin,

2004:24).

10. Benefactive

Merupakan peran sintaksis atau semantic role yang menggambarkan

peruntukan atas makna tindakan yang dicerminkan oleh verba, atau

dengan kata lain tindakan yang digambarkan oleh verba diperuntukkan

kepada orang lain, seperti dalam kalimat Dana bought some flowers

for Pat (Van Valin, 2004:24).

11. Content

Merupakan peran sintaksis atau semantic role yang mencerminkan isi,

kandungan, dan atau bagian dari isi atau kandungan atas suatu unsure

tertentu yang tercermin dari tampilan makna verba, misalnya dalam

kalimat jesse knows that Chris lied (Van Valin, 2004:24).

12. Experiencer

This semantic role subsumes perceivers, emoters, cognizers, and other

roles of this type (Van Valin, 2004:27). Artinya, peran ini salah

satunya mencerminkan makna orang yang berpersepsi, merasakan,

memikirkan, menganalisa, dan lain-lain. Misalnya The bird is hungry.

Terkait semantic Roles tersebut di atas, dengan merujuk pada teori

Fillmore, Parera (2002:139) menjelaskan beberapa kasus yang

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

33

memungkinkan dialami oleh sebuah nomina sebagai akibat dari sifat

semantis verba dalam sebuah klausa atau kalimat. Adapun beberapa kasus

tersebut sebagai berikut:

1. Agentif

Jenis ini merupakan relasi kasus persona yang melakukan

prakarsa/inisiatif atau pelaku perbuatan seperti yang dicirikan oleh

makna verbum; agentif biasanya berciri nomen hidup atau

bernyawa.

2. Instrumen

Kasus jenis ini merupakan relasi kasus yang menyatakan hubungan

dorongan, kekuatan, dan penyebab perbuatan seperti yang

dinyatakan olek makna verbum.

3. Datif

Datif merupakan relasi kasus yang menyatakan sebuah nomen

dikenai perbuatan atau keadaan seperti yang dicirikan oleh makan

verbum.

4. Faktitif

Faktitif merupakan relasi kasus yang menyatakan hasil perbuatan

atau keadaan seperti yang dicirikan oleh makan verbum.

5. Lokatif

Jenis ini merupakan relasi kasus yang menyatakan tempat atau

dimensi ruang untuk perbuatan atau keadaan yang dinyatakan

dalam makna vernum.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

34

6. Objektif

Objektif merupakan relasi kasus yang secara semantis netral.

Kasus jenis ini merupakan relasi semua kasus nomen dengan

verbum yang dapat diinterpretasikan secara semantik berdasarkan

makna verbum. Perlu diingatkan bahwa kasus ini tidak boleh

dikacaukan dengan objek penderita atau akusatif.

Sebagaimana diketahui bersama dari paparan di atas, bahwa semua

kasus yang dialami oleh sebuah nomen „nomina‟ bertumpu pada sifat

semantis verbum „verba‟ yang menduduki fungsi predikat dalam sebuah

klausa atau kalimat sebagaimana telah dipaparkan pada bagian

sebelumnya di atas. Berbicara masalah hiraki kasus dalam bahasa Jerman,

terdapat empat jenis kasus yang berlaku dalam tata bahasa kasus bahasa

Jerman, antara lain:

a. Nominatif

Nominatif merupakan hirarki kasus yang paling dasar dalam bahasa

Jerman. Banyak ahli menyebutkan bahwa kasus ini merupakan kasus

yang tidak mengalami proses gramatikal apa pun dan tidak

berpemarkah, serta dialami oleh subjek. Morley (2000:94)

menjelaskan In languages which have a developed case system, e.g.

German, Russian and Latin, the subject of a main clause is associated

with the nominative case. „Dalam beberapa bahasa yang

memberlakukan sistem tata bahasa kasus, misalnya bahasa Jerman,

Rusia, dan Latin, subjek dalam sebuah klausa diasosiasikan dengan

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

35

kasus nominatif‟. Falk (2006:7) menambahkan dengan penjelaskan

lebih rinci sebagai berikut:

Subjects in many languages are realized with either no overt

Case marking or with the same Case marking that is used with

citation forms, two situations we can unify under the heading

“unmarked Case.” This unmarked Case, often called

nominative, is sometimes taken to be a defining property of

subjects in Case-marking languages.

„Fungsi subjek dalam banyak bahasa muncul bersama entah

dengan pemarkah kasus yang tidak jelas atau dengan

pemarkah kasus yang sama dengan bentuk asalnya. Dua situasi

ini kita bisa menyatukannya ke dalam sebutan “kasus tak

berpemarkah”. Kasus tak berpemarkah ini sering disebut

dengan nominatif, yang kadang-kadang digunakan untuk

mendefinisikan sebuah subjek dalam bahasa-bahasa yang

memberlakukan pemarkah kasus‟.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa kasus nominatif

merupakan kasus yang paling dasar yang tidak menyebabkan

perubahan apa pun pada nomina yang bersangkutan, misalnya pada

pemarkah jenisnya atau artikel penanda jenis nomina dalam bahasa

Jerman.

b. Akusatif

Banyak ahli linguistik barat yang menerjemahkan kasus akusatif ini

sebagai kasus yang dialami oleh sebuah nomina yang memiliki fungsi

objek langsung dari sebuah verba transitif. Bader dan Bayer (2006:59)

menyatakan bahwa The structural Case for objects being the

accusative in German „Tata bahasa kasus untuk fungsi objek dalam

bahasa Jerman adalah akusatif‟. Selain itu, Bader dan Bayer (2006:59-

79) juga menambahkan distribusi kasus akusatif salah satunya bisa

mengisi peran semantik (semantic roles) goal, theme, dan experiencer.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

36

c. Datif

Datif merupakan sistem kasus yang berlaku dalam tata bahasa Jerman

yang oleh banyak ahli dinyatakan berlaku pada konstituen yang

menduduki fungsi objek tidak langsung atau indirect object. Namun

demikian, Bader dan Bayer (2006:61) menambahkan The dative-DP

bearing a beneficiary role „Frasa determinan-datif menghubungkan

sebuah peran penerima‟. Artinya, konstituen yang menduduki peran

penerima, yang menurut Fillmore disebut dengan recipient akan

mengalami kasus datif meskipun dia menduduki objek langsung,

misalnya dari predikat helfen „membantu‟.

d. Genitif

Genitiv merupakan salah satu jenis kasus dalam bahasa Jerman yang

dikenakan kepada sebuah konstituen yang memiliki relasi semantis

kepemilikan atau bagian dari konstituen yang lain. Hal itu juga

ditegaskan oleh Corbert (2008:149) Genitive objects also occur with

verbs in the semantic domains of possession „Objek genitif juga terjadi

pada verba yang memiliki medan semantis kepemilikan‟.

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa semantic roles

menjadi salah satu kriteria berlakunya jenis kasus tertentu, khususnya

keempat kasus yang berlaku dalam bahasa Jerman di atas. Namun

demikian, terdapat pula berlakunya sebuah kasus tertentu yang

dipengaruhi oleh reaksi sebuah preposisi yang mengendalikan kasus,

perhatikan beberapa penggolongan preposisi di bawah ini:

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

37

No. Jenis Preposisi Akusatif Datif

1 Aus „dari‟ √

2

Bei „dengan/bersama

dengan‟

3 Mit „dengan‟ √

4 Nach „dengan‟ √

5 Seit „sejak‟ √

6 Von „dari‟ √

7 Zu „ke‟ √

8 An „ke/ di dekat‟ √ √

9 Hinter „di belakang‟ √ √

10 Auf „di atas‟ √ √

11 Bis „sampai‟ √

12 Für „untuk‟ √

13 In „di dalam‟ √ √

14 Neben „di samping‟ √ √

15 Über „di atas‟ √ √

16 Unter „di bawah‟ √ √

17 Vor „di depan‟ √ √

18 Zwischen „di antara‟ √ √

Tabel 1: Preposisi dalam bahasa Jerman

Berdasarkan klasifikasi reaksi preposisi tersebut di atas, terdapat

preposisi yang penentuan kasusnya tetap merunut pada sifat semantis

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

38

verba, tetapi juga ada preposisi yang menentukan kasusnya secara arbitrer

tanpa merunut pada sifat semantis verba. Misalnya preposisi aus „dari‟, bei

„dengan/bersama dengan‟, mit „dengan‟, nach „dengan‟, seit „sejak‟, von

„dari‟ dan zu „ke‟. Kelima preposisi ini mutlak akan diikuti oleh nomina

yang mengalami kasus datif; sedangkan preposisi yang bisa merespon

pada kasus akusatif dan atau datif, misalnya preposisi an „ke/ di dekat‟,

hinter „di belakang‟, auf „di atas‟, in „di dalam‟, neben „di samping‟, über

„di atas‟, unter „di bawah‟, vor „di depan‟, dan zwischen „di antara‟, adalah

merujuk pada sifat seamntis verba atau predikatnya. Jika predikatnya

menyatakan sebuah aktifitas yang menimbulkan sebuah perpindahan

tempat (movement) dan atau memungkinkan menimbulkan keterangan

tujuan, maka preposisi tersebut merespon pada kasus akusatif; tetapi bila

sifat semantis verba menyatakan sebuah keadaan dan atau memunculkan

keterangan tempat, maka preposisi yang bersangkutan akan merespon

pada kasus datif.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Schmitt (2008:182)

menyusun sebuah konsepsi sederhana tentang konjungsi relatif dalam

bahasa Jerman yang berupa artikel atau determinan penanda jenis sebuah

nomina yang akan mengalami proses deklinasi sesuai dengan jumlah, dan

hirarki kasus yang dialami oleh nomina yang direlatifkan sebagaimana

dalam tabel di bawah ini:

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

39

KASUS

Nominatif Akusatif Datif Genitif Preposisi +

Akusatif

Preposisi +

Datif

M F N J M F N J M F N J M F N J M F N J M F N J

der

die

Das

Die

Den

Die

Das

die

dem

der

Dem

Den

Dessen

deren

dessen

deren

…+

den

…+

die

…+

das

…+

die

…+

dem

…+

der

…+

dem

…+

der

Tebel 2: Konjungsi Relatif Bahasa Jerman

Keterangan: M Maskulin N Netral

F Feminim J Jamak

Jenis-jenis konjungsi relatif di atas bisa di contohkan berturut-turut

sebagai berikut:

(23) Das ist eine Party, die gleich nach der Arbeit um 18 Uhr

beginnt. Dem. P1 det. Pel. Det.Rel Adv Adv

P2

Itu adalah sebuah pesta, yang tepat setelah pekerjaan pada pukul 18

mulai

„Itu adalah sebuah pesta yang biasanya dimulai seketika

setelah jam kerja pukul 18.00.‟

(Sumber: Funk. 2013. Studio D A2 DaF. Jakarta: Katalis)

(24) Ich hatte damals einen BMW im Auge,den ich kaufen wollte. S P1 Adv det O Adv det.Rel S P2 Aux

Saya melihat waktu itu sebuah BMW di depan mata, yang saya beli

ingin

„Waktu itu saya melihat sebuah mobil BMW yang ingin

saya beli‟.

(Sumber: Fagan. 2009. German: a Linguistic Introduction)

(25) Den Computer, dessen Elektronik Fehler aufwies, hat Det O det. Rel O P2 Aux

Komputer , yang bagiannya elektrik kesalahan memiliki, telah

die Firma abgeholt. Det S P1

Perusahaan itu menjemput

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

40

„Komputer, yang di dalamnya memiliki kesalahan elektrik,

telah ditarik oleh perusahaan itu‟

(Sumber: Schoh.1998. Duden Grammatik. Zürich:

Dudenverlag)

(26) Der Kӓfer, auf den eine Meise lauerte, krabbelte auf das

Blatt. Det S Prep det.Rel det. S P2 , P1 Adv.

Kumbang, yang di atasnya seekor burung kecil mengintai, merayap di

atas kertas.

„Kumbang yang diintai oleh seekor burung kecil di atasnya

merayap di atas daun itu‟

(Sumber: Schoh.1998. Duden Grammatik. Zürich:

Dudenverlag)

Kalimat (23) mengandung klausa utama Das ist eine Party dan

klausa bawahan Die Party beginnt gleich nach der Arbeit um 18. Nomina

Die Party pada klausa bawahan memiliki jenis feminim, jumlah tunggal,

dan mengalami kasus nominatif sebagai fungsi subjek, sehingga harus

diganti dengan konjungsi die sebagai penghubung dengan klausa utama

pada nomina eine Party sebagai antesedennya.

Adapun kalimat (24) terdiri atas klausa atasan Ich hatte damals

einen BMW im Auge dan klausa bawahan Ich wollte den BMW kaufen.

Adapun konstituen yang direlatifkan pada klausa bawahannya adalah

nomina den BMW yang memiliki hubungan dengan anteseden einen BMW

pada klausa atasan, sehingga harus digunakan konjungsi relatif den karena

jenis dan jumlah nomina den BMW berturut-turut adalah maskulin dan

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

41

tunggal, dan kasus yang didudukinya merupakan kasus akusatif sebagai

fungsi objek.

Kalimat (25) merupakan kalimat majemuk yang memiliki klausa

relatif dessen Elektronik Fehler aufwies. Konjungsi relatif yang harus

dipakai adalah dessen karena nomina Elektronik Fehler memiliki

hubungan posesif dengan anteseden der Computer dalam klausa atasan,

sehingga kasus yang berlaku adalah genitif dengan jumlah dan jenis secara

berturut-turut merupakan tunggal dan maskulin.

Adapun kalimat (26) terdiri dari klausa atasan Der Kӓfer krabbelte

auf das Blatt dan klausa bawahan Auf den Kӓfer lauerte eine Meise. Frasa

preposisional Auf den Kӓfer dalam klausa tersebut menduduki fungsi

keterang tempat yang berarti „yang di atasnya‟ melalui predikat lauerte

‚berlari„ yang menyatakan sebuah gerakan dan perpindahan tempat oleh

subjeknya eine Meise „seekor tikus‟, sehingga nomina den Kӓfer

mengalami kasus akusatif dari preposisi auf tersebut. Adapun konjungsi

relatif yang berlaku dalam konteks seperti dalam bahasa Jerman adalah

preposisi tersebut tetap berada apada tempatnya sebagai konjungsi relatif

diikuti dengan bentuk artikel den dari nomina Kӓfer tanpa menyertakan

nomina tersebut karena sudah diwakili oleh anteseden der Kӓfer pada

klausa atasan.

Selain beberapa jenis konjungsi relatif yang terdiri dari bentuk

deklinatif artikel atau determinan penanda jenis nomina tersebut dalam

bahasa Jerman, Eisenberg (1998:346-348) menambahkan bahwa dalam

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

42

bahasa Jerman juga terdapat konjungsi relatif yang berupa kata tanya

welch- dan pronomina wer, yang akan berlaku sesuai aturan pakai seperti

biasanya, yaitu berdeklinasi sesuai dengan jenis, jumlah, dan hirarki kasus

nomina yang direlatifkan. Adapun bentuk deklinatif dari jenis konjungsi

relatif ini adalah sebagai berikut:

Hirarki

Kasus

Deklinatif (Deklinierbar)

Maskulin Netral

Feminim

Tunggal Jamak

Nominatif Welcher/Wer Welches/Was Welche/Wer Welche/Wer

Genitif Welches/Wessen Welches/ Wessen Welchen/ Wessen Welchen/ Wessen

Akusatif Welchen/Wen Welches/Was Welche/Wen Welche/Wen

Datif Welchem/Wem Welchem/Was Welcher/Wem Welchen/Wem

Tabel 3: Konjungsi Relatif Bahasa jerman

Konjungsi relatif ini biasanya digunakan dalam bentuk kalimat

interogatif, tetapi juga bisa digunakan dalam bentuk kalimat yang

memiliki relasi semantis yang menyatakan pilihan antara klausa induk

dengan klausa anakan terkait anteseden dan nomina yang direlatifkan

dalam kedua kluasa tersebut. Misalnya dalam kalimat di bawah ini:

(27) Sie mӧchte ihr Haar fӓrben lassen, mit welcher Absicht ich gar nicht S Aux. Pos. O P2 P1 Prep Det.Rel O S Adv. Neg.

Dia ingin miliknya rambut mewarnai dengan yang mana tujuan saya sama sekali

tidak

einverstanden bin. P3 Aux.

menyetujui telah

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

43

„Dia ingin mewarnai rambutnya, yang tujuannya sama sekali tidak

saya setujui ‟

(28) Wessen Buch ich mitgenommen habe, ist meine Sache. Pron.Rel O S P1 Aux. P2 Pos. Pel.

Milik siapa buku saya bawa telah adalah milik saya urusan

„Buku siapa yang saya bawa ini adalah urusan saya.‟

Kalimat (27) secara rinci terdiri atas klausa induk Sie mӧchte ihr Haar

fӓrben lassen dan klausa anakan Ich bin mit ihr Absicht einverstanden.

Pronomina sie dalam klausa induk merupakan anteseden yang memiliki

hubungan posesif dengan nomina yang direlatifkan, yaitu Absicht yang

memiliki jenis feminim dan jumlahnya tunggal. Namun demikian, verba

einverstanden yang berfungsi predikat dalam klausa anakannya

merupakan verba pengalaman yang juga diisi oleh pronomina ich sebagai

experiencer, sehingga Absicht yang menduduki fungsi objek di dalamnya

memiliki relasi gramatikal yang harus disertai preposisi mit „dengan‟.

Sehubungan dengan fitur semantis yang dimaksudkan oleh ich dalam

klausa induk tersebut menyatakan sebuah pilihan terhadap suatu hal yang

masih belum diketahuinya melalui predikat einverstanden, dalam hal ini

adalah tujuan pronomina sie yang ingin mewarnai rambutnya, maka

digunakanlah bentuk konjungsi relatif welch- yang berdeklinasi sesuai

dengan jenis feminim dan jumlah tunggal dari nomina Absicht, serta

hirarki kasus datif yang dialami karena adanya praposisi mit. Dengan

demikian terbentuk kalimat (27) sebagai kalimat majemuk yang memiliki

konjungsi relatif mit welcher.

Page 44: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

44

Kalimat (28) terdiri atas rincian klausa induk Das Buch ist meine

Sache dan klausa anakan Das Buch von jemandem habe ich mitgenommen.

Nomina das Buch dalam kedua klausa tersebut miliki identitas sama dan

memiliki relasi semantis yang menyatakan kepemilikan dengan pronomina

jemandem „seseorang‟ yang masih belum diketahui identitasnya, sehingga

digunakan konjungsi relatif wer yang berdeklinasi dalam kasus genitif

dengan jenis netral dan jumlah tunggal. Oleh karena itu, digunakanlah

konjungsi relatif wessen.

1.6. 6 Klausa Relatif Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia memiliki karakteristik gramatikal yang berbeda

dengan bahasa Jerman. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumya bahwa

bahasa Indonesia merupakan bahasa aglutinasi. Suparno (2002:33)

mengatakan bahwa bahasa aglutinasi merupakan bahasa yang struktur

katanya terbentuk oleh penggabungan unsur pokok dan unsur tambahan,

unsur pokok dan unsur pokok, atau pun pengulangan unsur pokok. Jadi

prosode morfologis yang berlaku pada bahasa tipe ini, misalnya bahasa

Indonesia, adalah afiksasi, pemajemukan, dan pengulangan.

Berbicara kalimat relatif dalam bahasa Indonesia, bila klausa dasar

dipahami paling sedikit terdiri dari subjek (S) dan predikat (P), sebagai

konsekuensinya klausa majemuk tentunya harus lebih luas dari klausa

dasar. Klausa majemuk dibedakan menjadi klausa majemuk setara

(koordinatif) dan klausa majemuk bertingkat (subordinatif). Mees

Page 45: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

45

(1957:297-299) telah memperkenalkan istilah hubungan kalimat

subordinatus untuk anak kalimat yang nilainya tidak sama dengan nilai

induk kalimat. Berbicara masalah istilah subordinatus Chaer (2009: 74)

menyatakan bahwa terkait hubungan atributif yang ditandai oleh klausa

bawahan atas klausa atasannya terdapat konjungsi yang bersifat

subordinatif sebagai penandanya, yakni yang bersifat restriktif atau

membatasi dan tidak membatasi. Mengenai konjungsi atau kata ganti

relatif Badudu (1982 : 145) menjelaskan bahwa ada tiga kata ganti relatif

bahasa Inggris yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi

yang, tempat, dan teman misalnya dalam kalimat sebagai berikut:

(29) Di sudut terdapat ruangan kecil, tempat Anak itu

meletakkan semua peralatannya untuk melakukan kejahatan.

Di sisi lain Ramlan (2001:73) menambahkan bahwa konjungsi

yang dalam sebuah klausa relatif memiliki hubungan makna penerang

apabila klausa bawahan menerangkan salah satu unsur yang terdapat

dalam klausa inti. Ditambahkannya pula bahwa dewasa ini banyak

dijumpai klausa relatif yang dihubungkan dengan kata-kata : di mana,

yang mana, hal mana, dari mana, dengan siapa. Namun demikian,

Ramlan (2001:74) menegaskan bahwa konjungsi di mana dan dari mana

dalam sebuah klausa relatif tidak digunakan dalam ragam baku bahasa

Indonesia.

Selain itu, dalam kaitannya dengan anteseden yang bisa

direlatifkan dalam bahasa Indonesia, Moeliono (1996:329) mengatakan

Page 46: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

46

bahwa dalam bahasa Indonesia klausa relatif sebagai pewatas merupakan

klausa sematan yang menyatakan keadaan atau perbuatan yang dialami

atau dilakukan oleh acuan nomina tertentu pada klausa utama. Artinya

acuan nomina atau anteseden yang dimaksudkan oleh Verhaar selalu

berwujud subjek dalam klausa anakan atau klausa relatif. Subordinator

atau perelatif yang digunakan adalah yang. Verhaar (2010:337)

menambahkan bahwa yang tidak dapat menjadi penghadir anteseden

sebagai objek dalam verbal yang berawalan men-, entah objek itu diulang

dalam wujud –nya atau tidak. Misalnya dalam kalimat:

(30) Kami harus menabung untuk waktu-waktu liburan di negerinya, di

mana kehidupan amat mahal dan di mana kami harus menyewa

kamar yang harganya amat tinggi.

(Sumber: Ramlan. 2001. Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis)

Adapun contoh lain klausa relatif yang menggunakan perelatif yang adalah

berikut bentuk KR BI (Alwi dkk., 2003)

(31) Ibu itu menangisi jasad anak tunggalnya.

(32) Ibu itu kini hidup sebatang kara.

(33) Ibu yang kini hidup sebatang kara itu menangisi jasad anak

tunggalnya.

Masih tentang sebuah klausa relatif dalam bahasa Indonesia, Chaer

(1998:335) melalui istilah yang sedikit berbeda mendeskripsikan hal

tersebut dengan sebutan Kalimat Luas Bersisipan. Penyisipan ini

dilakukan dengan bantuan kata penghubung atau konjungsi yang, bahwa,

Page 47: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

47

dan tempat. Beliau juga menambahkan bahwa klausa yang disisipkan

berfungsi sebagai keterangan atau penjelas dari klausa dasar yang

disisipinya. Namun demikian, konjungsi bahwa tidak menjadi subjek

penelitian dalam kajian studi gramatika kontrastif klausa relatif bahasa

Jerman dan bahasa Indonesia ini karena konjungsi subordinatif jenis ini

merupakan konjungsi yang di sebelah kanannya adalah klausa bawahan

yang tidak bersifat menerangkan subjek atau objek, tetapi hanya

menghubungkan subjek dengan keterangan dan predikat dengan objeknya

(Chaer, 1990:100). Moelino (1996:328) juga menambahkan bahwa

konjungsi bahwa terdapat pada klausa bawahan yang mempunyai

hubungan penjelasan dengan klausa utama. Artinya, klausa sematan

menjelaskan apa yang dinyatakan oleh klausa utama. Misalnya dalam

kalimat seperti di bawah ini:

(34) Kabar bahwa pemerintah akan menurunkan harga sangat

menggembirakan. ()

(35) Beliau tadi pagi mengatakan bahwa ganti rugi akan segera

dibayarkan.

Kembali pada klausa relatif yang dihubungkan oleh konjungsi

yang dan tempat, bagian klausa dasar yang biasa diberi keterangan dengan

klausa sisipan ini adalah unsur subjek dan objek.

a. Klausa Sisipan sebagai Keterangan Subjek

Klausa luas bersisipan yang sisipannya berlaku sebagai keterangan

subjek dibentuk dengan subjek pada klausa pertama dan klausa

Page 48: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

48

kedua merupakan identitas yang sama, sedangkan predikat klausa

pertama berupa verba atau frasa kerja dan predikat klausa kedua

verba atau ajektiva. Misalnya dalam contoh kalimat sebagai

berikut:

(36) Mereka yang tidak memakai helm itu distop polisi.

(Sumber: Chaer, Abdul. 1998. Tata Bahasa Praktis Bahasa

Indonesia)

(37) Gadis yang duduk di depan itu cantik sekali. (Sumber:

Chaer, Abdul. 1998. Tata Bahasa Praktis Bahasa

Indonesia)

(38) Orang yang sedang buron itu tertangkap di Jawa Timur.

(Sumber: Chaer, Abdul. 1998. Tata Bahasa Praktis Bahasa

Indonesia)

Kalimat (36) mengandung klausa Mereka tidak memakai helm dan

Mereka distop polisi. Kemudian klausa pertama disisipkan pada

klausa kedua, sehingga terkonstruksi kalimat tersebut. Adapun

kalimat (37) mengandung klausa Gadis itu duduk di depan dan

Gadis itu cantik sekali, sehingga akan diperoleh kalimat (37) ketika

klausa pertama disisipkan pada klausa kedua, begitu pula pada

kalimat (38).

Selain itu, klausa sisipan yang berfungsi sebagai keterangan subjek

ini juga bisa dibentuk dari subjek pada klausa pertama dan klausa

kedua merupakan identitas yang sama, predikat klausa pertama

Page 49: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

49

berupa verba atau ajektiva, sedangkan predikat klausa kedua

berupa kata benda atau frasa benda (Chaer, 1998:336), misalnya

dalam sebuah kalimat:

(39) Anak yang sedang membaca itu bukan kekasih saya.

Kalimat (39) terdiri atas klausa Anak itu sedang membaca dan

Anak itu bukan kekasih saya, sehingga akan terbentuk kalimat

tersebut ketika dihubungkan oleh konjungsi yang dengan

menyisipkan klausa pertama pada klausa kedua.

b. Klausa Sisipan Sebagai Keterangan Objek

Klausa sisipan yang berfungsi sebagai keterangan objek setidaknya

memeiliki beberapa kriteria objek pada klausa pertama merupakan

identitas yang sama dengan subjek klausa kedua, dan predikat

klausa kedua berupa kata kerja (frasa kerja), dan klausa kedua

dibantu konjungsi yang yang disisipkan pada klausa pertama.

Misalnya dalam kalimat:

(40) Dia membunuh gadis yang sudah sekarat itu.

Pada kalimat (40) terkandung dua klausa. Klausa pertama adalah

Dia membunuh gadis itu dan klausa kedua adalah Gadis itu sekarat.

Nomina gadis pada klausa pertama menduduki fungsi objek,

sedangkan pada klausa kedua berfungsi sebagai subjek, sehingga

terbentuk kalimat majemuk tersebut dengan perangkai yang.

Sehubungan dengan klasifikasi yang dicetuskan oleh Chaer di atas,

Moeliono (1996:331) menambahkan bahwa terkait konjungsi yang dalam

Page 50: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

50

menghubungkan klausa induk dengan klausa bawahan terdapat klausa

bawahan yang bersifat atributif posesif dalam sebuah klausa relatif,

misalnya dalam kalimat:

(41) Pelamar yang ijazahnya dari Boston itu memenuhi

persyaratan kami. (Sumber: Moeliono. 1996. Tata Bahasa

Baku Bahasa Indonesia)

(42) Kita perlu memperhatikan guru-guru yang nasibnya sangat

malang itu. (Sumber: Moeliono. 1996. Tata Bahasa Baku

Bahasa Indonesia)

Nomina pelamar pada kalimat (41) menduduki fungsi subjek dalam klausa

induk yang memiliki hubungan posesif dengan nomina ijazah pada klausa

bawahan, sehingga melalui konjungsi yang kalimat majemuk tersebut

memiliki hubungan posesif antara subjek pada klausa induk dan klausa

bawahan. Begitu juga nomina guru-guru pada kalimat (42) merupakan nomina

yang menduduki fungsi objek pada klausa induk yang memiliki hubungan

posesif dengan nomina nasibnya yang menduduki fungsi subjek pada klausa

bawahan, sehingga juga akan terbentuk kalimat majemuk yang memiliki

hubungan posesif antara klausa induk dengan klausa bawahan.

1.6.6 Analisis Kontrastif

Kajian kontrastif bukan lagi merupakan kajian yang baru dalam

satuan kajian linguistis edukasional. Pakar linguistik edukasional pun sudah

banyak melakukan riset dan teori-teori yang membingkai area kajian

Page 51: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

51

kontrastif. Berdasarkan kedudukannya sebagi sebuah pendekatan ilmiah dalam

proses belajar mengajar bahasa (mempunyai teori dan aplikasi bersifat ilmiah),

maka Analisis Kontrastif akhirnya mendapat tempat sebagai suatu Linguistik

Terapan. Kehadiran Analisis Kontrastif ini dalam bidang pendidikan bahasa

seperti di Indonesia perlu mendapat tempat yang layak dan perhatian yang

serius mengingat kedwibahasaan yang sudah sulit dibendung.

Kridalaksana (2001:13) menyatakan bahwa analisis kontrastif

adalah metode sinkronis dalam analisis bahasa untuk menunjukkan persamaan

dan perbedaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip

yang dapat diterapkan untuk masalah yang praktis, seperti pengajaran bahasa

dan penerjemahan. Analisis kontrastif dikembangkan dan dipraktikkan sebagai

suatu aplikasi linguistik struktural pada pengajaran bahasa. Oleh karena itu,

analisis kontrastif dapat dipakai untuk mengatasi kesukaran-kesukaran yang

utama dalam belajar bahasa asing, dapat memprediksi adanya kesukaran-

kesukaran sehingga efek-efek interferensi dari bahasa pertama dapat dikurangi.

Sementara itu,Tarigan (2009:5) mengatakan bahwa analisis

kontrastif, berupa prosedur kerja adalah aktivitas atau kegiatan yang mencoba

membandingkan struktur B1 dengan struktur B2 untuk mengidentifikasi

perbedaan-perbedaan di antara kedua bahasa. Perbedaan-perbedaan antara dua

bahasa, yang diperoleh dan dihasilkan melalui anakon, dapat digunakan

sebagai landasan dalam meramalkan atau memprediksi kesulitan-kesulitan

atau kendala-kendala belajar bahasa yang akan dihadapi oleh siswa di sekolah,

dalam belajar B2.

Page 52: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

52

Brown (2007:272-273) menyatakan dengan seksama bahwa

pembelajaran bahasa kedua atau bahasa asing pada dasarnya melibatkan upaya

mengatasi perbedaan-perbedaan antara kedua sistem linguistik itu, yaitu

bahasa asli dan bahasa sasaran. Dalam kaitan ini, sebuah analisis struktural

ilmiah terhadap dua bahasa yang dibicarakan akan menghasilkan sebuah daftar

kontras linguistik di antara keduanya yang pada gilirannya akan memungkikan

para linguis dan guru bahasa memperkirakan kesulitan-kesulitan yang akan

dihadapi oleh seorang pembelajar. Analisis semacam ini dikenal dengan

Hipotesis Analisis Kontrasttif atau Contrastive Analysis Hypothesis.

Pernyataan Brown tersebut juga dikuatkan dengan klaim yang

dinyatakan oleh Banathy, Trager, dan Waddle dalam Brown (2007:2007)

bahwa perubahan yang harus terjadi dalam perilaku bahasa seorang

pembelajar bahasa asing bisa disetarakan dengan perbedaan-perbedaan antara

struktur bahasa dan budaya asal murid dan struktur bahasa dan budaya sasaran.

Hal itu juga didukung oleh Stockwell, Bowen, dan Martin dalam Brown

(2007:274) yang menyatakan bahwa mereka mengendalikan apa yang disebut

dengan hierarki kesulitan, yang membuat seorang guru dan linguis bisa

meramalkan kesulitan relatif aspek bahasa sasaran.

1.7. Hipotesis

Berdasarkan permasalahan dalam penelitiian gramatika kontrastif

konstruksi klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia sebagaimana

Page 53: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

53

disebutkan sebelumnya, adapun hipotesis yang dimiliki oleh peneliti terkait

hal tersebut addalah sebagai berikut:

a. Jenis konjungsi relatif bahasa Jerman memiliki variasi jenis yang lebih

banyak daripada bahasa Indonesia terkait proses deklinasi yang berlaku

dalam sistem gramatikal penentuan jenisnya.

b. Secara distribusional konjungsi relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia

memiliki kesamaan dalam hal relasi semantis yang dimiliki oleh sebuah

anteseden dengan nomina yang direlatifkan dalam klausa anakan, tetapi tata

urutan konstituen penyusun klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa

Indonesia memiliki perbedaan dalam sisi fungsi predikatnya.

c. Terdapat banyak perbedaan sistem gramatikal konstruksi klausa relatif

bahasa Jerman dan bahasa Indonesia terkait keduanya memiliki

karakteristik gramatikal yang sangat berbeda, yaitu fleksi dan aglutinasi.

d. Hasil penelitian ini memberikan banyak kontribusi dalam pengajaran

bahasa Jerman dan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing, khususnya

terkait sistematika penyajian bahan ajar yang harus dimulai dari tataran

gramatikal yang paling sederhana, khususnya dalam pengajaran bahasa

Jerman yang memiliki kompleksitas gramatikal lebih tinggi daripada

bahasa Indonesia.

1.8. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan kerangka deskriptif kualitatif. Disebut

deskriptif kualitatif karena peneliti menelaah dan melakukan observasi baik

Page 54: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

54

dalam studi pustaka maupun media informasi yang lain, yang memberikan

banyak inspirasi tentang karakteristik sistem bahasa Jerman dan bahasa

Indonesia terkait konstruksi klausa relatif, terutama konjungsi relatif yang

menghubungkannya dengan induk kalimat kemudian mendeskripsikannya secara

terperinci. Dalam hal ini terdapat beberapa langkah yang dilakukan, yaitu

meliputi penentuan objek penelitian, penyediaan data, klasifikasi data, analisis

data dan pemaparannya.

1.8.1 Objek Penelitian

Penelitian yang berjudul Konstruksi Klausa Relatif Bahasa Jerman

dan Padanannya dalam Bahasa Indonesia ini merupakan sebuah kajian

kontrastif yang memadankan dua buah bahasa dari rumpun yang berbeda,

yaitu bahasa Jerman dari rumpun bahasa Indo-Eropa dan bahasa Indonesia

dari rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Indonesia bagi penulis dalam

penelitian ini adalah sebagai bahasa ibu, sedangkan bahasa Jerman adalah

sebagai bahasa asing atau bahasa target para pembelajarnya. Dalam proses

penelitian ini, peneliti menggunakan sumber data sekunder, yaitu berupa

dokumen tertulis atau kajian pustaka. Subroto dalam Sarifuddin (2009:35)

mengatakan bahwa teknik pustaka adalah menggunakan sumber-sumber

tertulis untuk memperoleh data.

Menurut hemat penulis, adapun sumber data tertulis dalam hal ini

merupakan sumber-sumber tertulis yang mencerminkan pemakaian bahasa

yang menjadi subjek penelitian. Adapun sumber data bahasa Jerman dan

Page 55: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

55

bahasa Indonesia peneliti menggunakan buku-buku tata bahasa yang

dianggap bisa mewakili standar baku tata bahasa Jerman dan bahasa

Indonesia, yakni (1) DUDEN Grammatik: Das unentbehrliche Arbeitsmittel

für den Sparachunterricht yang ditulis oleh Monika Schoh, (2)

Langenscheidts Großwӧrterbuch: Deutsch als Fremdsprache yang ditulis

oleh Dieter Gӧtz, Günther Haensch dan Hans Wellmann, (3) German: A

Linguistic Introduction yang ditulis oleh Sarah Fagan M.B, (4) Studio D A2

Deutsch als Fremdsprache dan Studio D B1 Deutsch als Fremdsprache yang

ditulis oleh Hermann Funk, Christina Kuhn dan Silke Demme, (5)

Übungsbuchgrammatik für die Grundstufe yang ditulis oleh Friedrich

Clamer Erhard G. Heilmann, (6) Deutschland in Geschichte und Gegenwart

ditulis oleh Erich Zettl, (7) Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia yang

disunting oleh Anton M. Moeliono dan Soenjono Dardjowidjojo, (8) Ilmu

Bahasa Indonesia: Sintaksis yang ditulis oleh Ramlan, (9) Ragam Analisis

Kalimat Bahasa Indonesia ditulis oleh Markhamah, (10) Bahasa Indonesia

yang Salah dan Benar disusun oleh Ramlan, I Dewa Putu Wijana dan

Yohanes Tri Mastoyo S., dan (11) Sintaksis Bahasa Indonesia, Penggunaan

Preposisi dan Konjungsi Bahasa Indonesia, Tata Bahasa Praktis Bahasa

Indonesia yang ditulis oleh Abdul Chaer. Banyaknya sumber data yang

digunakan dalam penelitian ini bbertujuan untuk memberikan kadar akurasi

dan validasi data terhadap standar kebakuan tata bahasa Jerman dan bahasa

Indonesia.

Page 56: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

56

1.8.2 Penyediaan data

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam proses penyediaan

data ini adalah metode simak dengan teknik catat. Sudaryanto (1993:133-

134) menyatakan bahwa metode simak merupakan metode penelitian yang

dilakukan dengan cara menyimak penggunaan bahasa, yang salah satunya

menggunakan teknik catat, yaitu teknik penyediaan data dengan cara

mencatat bakal data pada kartu data. Dengan demikian, adapun tahap

pertama dalam proses penyediaan data ini peneliti akan memilah secara

selektif kalimat-kalimat bahasa Jerman dari sumber data yang telah

disebutkan sebelumnya; dan bakal data bahasa Indonesia juga dipilih dari

buku-buku tata bahasa Indonesia yang di dalamnya terdapat konstruksi

klausa relatif yang dianggap memenuhi standar baku pemakaian bahasa

Indonesia yang baik dan benar. Kemudian, data yang sudah dipilah-pilah

akan dicatat atau diketik pada tabel data masing-masing bahasa di komputer

seperti di bawah ini yang akan diklasifikasi berdasarkan jenis-jenis

konjungsi relatif, distribusi perelatif, dan jenis konjungsi relatifnya sebagai

berikut:

No. Klausa Relatif Keterangan

1

Tabel 4: Tabel Penyediaan Data

Page 57: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

57

Adapun tabel penyediaan dan klasifikasi data ini akan disajikan pada

bagian lampiran, sedangkan pada tahap analisis data hanya akan digunakan

korpus data yang dianggap mewakili semua jenis konjungsi relatif

berdasarkan masing-masing distribusi perelatifnya baik dalam bahasa

Jerman, maupun bahasa Indonesia.

1.8.3 Keabsahan Data

Dalam rangka menjamin keabsahan dan validasi data yang

digunakan dalam penelitian ini, peneliti akan melampirkan data tersebut

beserta sumber penyaduran atau sumber penyediaan data tersebut. Lampiran

akan disajikan pada bagian akhir laporan hasil penelitian ini.

1.8.4 Analisis Data

Data yang telah diklasifikasikan pada tahap sebelumnya akan diolah

pada tahap ini yaitu analisis data. Pada tahap ini data akan dianalisis dengan

metode distribusional. Subroto (2007:68) menyatakan bahwa metode

distribusional merupakan metode penelitian yang didasarkan atas perilaku

atau tingkah laku satuan-satuan lingual yang teramati dalam hubungannya

dengan satuan lingual yang lain. Dengan demikian, interaksi gramatikal

antar unsur penyusun klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia

merupakan objek sasaran pengamatan yang ditempuh melalui metode ini.

Adapun teknik yang dipakai dalam tahap ini adalah teknik urai unsur

terkecil (Ultimate Constituent analysis). Subroto (2007:69) menjelaskan

Page 58: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

58

bahwa teknik ini merupakan sebuah teknik analisis data yang mengurai suatu

satuan lingual tertentu atas unsur-unsur terkecilnya. Meskipun morfem

merupakan satuan gramatikal terkecil, maka Subroto (2007:71)

menambahkan bahwa kata juga dianggap sebagai satuan terkecil dalam

sebuah tataran kalimat dengan mengacu pada para pendapat Uhlenbeck dan

Vendreys sebagai aliran “Neo-saussurians” dalam Subroto (2007:71) bahwa

morfem bukan merupakan satuan yang otonom, melainkan suatu moment (a

dependent fature), yaitu suatu ciri yang adanya atau identitasnya tergantung

pada kata. Dengan demikian, menurut hemat penulis, dalam hal ini Subroto,

bahwa dengan beracuan pada tataran terkecil morfologi adalah morfem dan

tataran terkecil sintaksis adalah kata, maka untuk menganalisis kata dalam

kaitannya dengan interaksi satuan gramatikal sintaksis bisa menggunakan

teknik ini.

Pada tahap ini data akan dianalisis dengan mengurai unsur-unsur

terkecil satuan lingual pada tataran sintaksis dari bahasa Jerman dan bahasa

Indonesia. Unsur-unsur tersebut akan diurai berdasarkan masing-masing

fungsi sintaksis yang didudukinya. Dengan demikian, distribusi nomina

“yang dirangkai” oleh perelatif perangkai akan diketahui, sehingga dapat

dengan mudah ditentukan jenis-jenis konjungsi relatif yang dipakainya.

Misalnya dalam sebuah contoh dua kalimat tunggal yang digabung menjadi

kalimat majemuk yang di dalamnya salah satunya sebagai klausa relatifnya

sebagai berikut:

Page 59: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

59

(43) Der Schulleiter fliegt nach Malaysia „Kepala sekolah itu

sedang berangkat ke Malaysia‟.

(44) Ich liebe die Tochter von dem Schulleiter „Saya mencintai

putri kepala sekolah itu‟.

Kalimat (43) merupakan kalimat yang di dalamnya terdapat nomina

yang akan menjadi anteseden yaitu der Schulleiter, sedangkan kalimat (44)

adalah kalimat yang di dalamnya terdapat nomina yang akan berkedudukan

sebagai “yang dirangkai” oleh sebuah konjungsi perelatif yaitu die Tochter

yang dalam kalimat tersebut menduduki fungsi objek dan berdasarkan

hirarki kasusnya nomina tersebut menduduki kasus genitif, yaitu kasus yang

menyatakan sebuah kepemilikan atau “bagian dari” der Schulleiter dalam

tata bahasa kasus bahasa Jerman, sehingga harus digunakan konjungsi relatif

yang merupakan bentuk deklinatif artikel maskulin (der) dari kata benda

„kepala sekolah‟ dalam kasus genitif, yaitu dessen, terhadap nomina die

Tochter „putri‟ pada klausa relatifnya. Dengan demikian, kalimat majemuk

dengan klausa relatif tersebut akan menjadi Der Schulleiter, dessen Tochter

ich liebe, fliegt nach Malaysia „Kepala sekolah yang putrinya saya cintai

sedang berangkat ke Malaysia‟.

Adapun metode lanjutan yang digunakan dalam tahap final analisis

data adalah metode analisis kontrastif dengan teknik pengontrasan

(contrastive analysis, differential analysis, differential linguistics).

Kridalaksana dalam Ma‟ruf (2004:24) menjelaskan bahwa metode analisis

kontrastif adalah metode sinkronis dalam analisis bahasa untuk menunjukkan

Page 60: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

60

perbedaan dan persamaan bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari

prinsip yang dapat diterapkan dalam masalah praktis seperti pengajaran

bahasa dan penerjemahan. Dengan demikian, deskripsi masing-masing

konstruksi klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia yang telah

diperoleh pada analisis tahap awal, dalam tahap ini akan dibandingkan dalam

rangka untuk memperoleh kesimpulan tentang perbedaan dan persamaan

konstruksi tersebut dalam kedua bahasa.

1.8.5 Penyajian Hasil Analisis Data

Adapun tahap akhir dalam pelaksanaan penelitian ini adalah tahap

penyajian hasil analisis data. Adapun metode yang dipakai dalam tahap ini

adalah metode formal dan informal. Sudaryanto (1993:144) menyatakan

bahwa metode penyajian formal adalah perumusan dengan tanda atau

lambang-lambang, sedangkan metode informal merupakan metode penyajian

hasil analisis data yang perumusannya menggunakan kata-kata biasa,

walaupun dengan terminologi dan bersifat teknis. Adapun lambang yang

nanti akan dipakai adalah lambang huruf sebagai singkatan nama (S, P, O, K,

dan Pel.). Selanjutnya hasil analisis data tersebut akan dipaparkan secara

terminologis dan deskriptif dari hasil penyajian sebelumnya.

1.8.6 Ruang Lingkup Penelitian

Peneliti memberikan batasan masalah atau ruang lingkup dalam

kajian ini untuk menghindari interpretasi yang terlalu luas oleh pembaca.

Page 61: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68673/potongan/S2-2014... · intuisi kebahasaan mereka, khususnya dalam tataran gramatikal. Pertama,

61

Lingkup pembahasan atau kajian yang dikontraskan dalam penelitian

kontratif ini adalah konstruksi klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa

Indonesia berdasarkan masing-masing jenis konjungsi relatifnya dengan

tolok ukur pengontrasan dalam hal ini adalah struktur tata bahasa Jerman.

Artinya, jenis dan jumlah data konstruksi klausa relatif bahasa Indonesia

akan beradaptasi pada padanannya dalam bahasa Jerman.

1.8.7 Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini akan disajikan ke dalam lima bab yaitu:

1. Bab pertama membahas mengenai latar belakang studi yang akan diteliti

serta alasan mengapa objek tersebut yang dipilih. Dalam bab ini diuraikan

pula rumusan masalah, manfaat dan tujuan penelitian, landasan teori,

metode penelitian, dan sistematika penyajian.

2. Bab kedua membahas dan menganalisis konstruksi klausa relatif bahasa

Jerman.

3. Bab ketiga membahas dan menganalisis konstruksi klausa relatif bahasa

Indonesia.

4. Bab keempat membahas tentang persamaan dan perbedaan konstruksi

klausa relatif bahasa Jerman dan bahasa Indonesia, serta implikasinya

dalam pengajaran bahasa Jerman sebagai bahasa asing.

5. Bab kelima merupakan penutup yang terdiri atas simpulan dan saran.