Upload
dangminh
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemiskinan merupakan patologi sosial yang tidak akan pernah habis untuk
didiskusikan dan kenyataannya kemiskinan sendiri merupakan masalah sosial yang
bersifat global. Artinya, kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi dan menjadi
perhatian banyak orang di dunia ini. Suharto (2009) menegaskan bahwa meskipun
dalam tingkatan yang berbeda, tidak ada satupun negara dijagad raya ini yang “kebal”
dari kemiskinan. Semua negara di dunia ini sepakat bahwa kemiskinan merupakan
problema kemanusiaan yang menghambat kesejahteraan dan peradaban.
Fenomena kemiskinan menjadi keresahan yang mendunia. Tukiran (2010)
memaparkan bahwa untuk skala internasional, masalah kemiskinan telah menjadi
perhatian sejak lama dan semakin krusialnya masalah kemiskinan hingga pada
akhirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai memfokuskan perhatiannya. PBB
melakukan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1997
mendeklarasikan tahun 1997-2006 sebagai Dekade Pertama PBB untuk memerangi
kemiskinan. Tiga tahun kemudian tahun 2000, PBB menyelenggarakan Millenium
Summit yang membahas berbagai persoalan di dunia, khususnya kemiskinan. Tahun
2003 sebagai tindak lanjut dari Millenium Summit, PBB merumuskan apa yang
dikenal sebagai Millenium Development Goals (MDGs) yang terdiri dari 8 butir,
17
yang diantaranya adalah memberantas kemiskinan dan kelaparan.1 Berbagai
perjanjian internasional dibuat sebagai bentuk tanggapan global untuk menanggapi
isu kemiskinan.
Bagi negara-negara dunia ketiga tak pelak kemiskinan pun menjadi momok
penyakit sosial yang kian sulit diredam. Termasuk di Indonesia sendiri, Suharto
(2009) menjelaskan bahwa masalah kemiskinan merupakan isu krusial di Indonesia
sejak dahulu hingga detik ini. Melihat jumlah dan kecenderungannya, kemiskinan di
negeri ini tampaknya bukan lagi merupakan kejadian sementara waktu (transient
event). Melainkan, sudah menjadi fenomena massal yang kronis dan mendalam.
Bahkan pada banyak kasus, kemiskinan sudah bersifat antar generasi. Kemiskinan
sudah sejak lama menjadi masalah bangsa Indonesia terutama ketika krisis tahun
1998 yang melanda Indonesia yang semakin memperparah kondisi kemiskinan, dan
hingga sekarang masih belum menunjukan tanda-tanda menghilang baik itu di
wilayah pedesaan maupun perkotaan.
Jurnal Dialog Kebijakan Publik tahun 2008 memberikan gambaran bahwa
angka statistik terus saja memberikan informasi masih banyaknya jumlah penduduk
miskin, yaitu sekitar 18 persen atau lebih kurang 30 juta jiwa berada di bawah garis
kemiskinan. Jumlah itu tentu saja bersifat dinamis, dalam arti masih sangat mungkin
akan terjadi peningkatan mengingat kondisi perkeonomian nasional masih belum
stabil. Agar dapat melihat lebih jelas mengenai problematika kemiskinan di
1 Zamroni, “Pendidikan dan Kemisikinan”, dalam Tukiran, dkk, (Ed), 2010. “Akses Penduduk Miskin Terhadap Kebutuhan Dasar”.Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada.
18
Indonesia, maka dapat dilihat pada bagan di bawah ini terkait dengan jumlah
penduduk miskin di Indonesia.
Gambar 1.1
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2004-2012 di atas, maka
dapat dipahami bahwasanya angka kemiskinan dari tahun ke tahun memang
mengalami penurunan, seperti pada tahun 2011 jumlah penduduk Indonesia dengan
kategori miskin sebanyak 29.89 juta dan pada tahun 2012 jumlah tersebut turun
sekitar 1,4 juta menjadi 28, 59 juta. Namun demikian, banyak kajian dan diskusi yang
dilakukan oleh para ahli yang mengungkapkan bahwa trend angka penurunan
kemiskinan yang dipaparkan oleh BPS belum merepresentasikan keadaan yang
19
sebenarnya.2 Sehingga pada kenyataannya dapat disimpulkan bahwa kemiskinan tetap
menjadi masalah serius di Indonesia.
Selain itu, terkait dengan sebaran penduduk miskin maka distribusi penduduk
miskin di Indonesia tidak merata di seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Penduduk
miskin tersebut tinggal di wilayah perkotaan maupun perdesaan, dengan prosentase
terbesar berada di wilayah perdesaan di Pulau Jawa, disusul Pulau Sumatera, baru
kemudian pulau-pulau lain di Indonesia. Sebaran ini membawa implikasi pada
karakteristik kemiskinan yang sangat dipengaruhi dengan karakteristik wilayah.
Konsekuensi lebih jauhnya adalah efektifitas upaya penanggulangan kemiskinan di
Indonesia sulit di dasarkan pada pendekatan tunggal sehingga sangat penting untuk
menggunakan pendekatan yang lebih kontekstual.
Tukiran (2010: 80) memaparkan lebih lanjut bahwa kemiskinan di Indonesia
memiliki karakteristik yang khas. Hal ini dikarenakan pertama, sebagian besar
penduduk miskin adalah kelompok rentan (vurnerable poor) yang sering dikenal
sebagai transitory poor, yaitu mereka yang tinggal disekitar garis kemiskinan dan
sangat terpengaruh dnegan faktor eksternal. Kelompok kedua adalah penduduk
miskin kronis (cronic poor), yaitu mereka yang berada di bawah garis kemiskinan,
serta di Indonesia kelompok ini mendominasi di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan
Nusa Tenggara Timur (NTT). Upaya penanggulangan kemiskinan untuk untuk
kelompok rentan dan kelompok kronis menuntut pendekatan yang berbeda.
2 “Press Liris: Pernyataan Sikap atas Upaya dan Kebijakan Pengentasan Kemiskinan di Indonesia”
http://bem.pefe.ui.ac.id/, diunggah pada 5 Januari 2013.
20
Kelompok rentan pada umumnya memiliki aktifitas ekonomi, tetapi berada skala
subsisten, sementara kelompok kronis mungkin memiliki aktifitas ekonomi dan
mungkin pula tidak, tetapi mereka mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan
hak-hak dasarnya. Sebaran yang tidak merata dari kelompok rentan dan kelompok
kronis mengindikasi bahwa di Indonesia kemiskinan juga disebabkan oleh faktor
kesenjangan wilayah. Lebih lanjut lagi hal ini akan mempengaruhi proses
pembangunan wilayah pada daerah yang bersangkutan.
Dengan menilik sekilas terkait dengan problematika kemiskinan di Indonesia
dimana jumlah penduduk masih berada dalam angka yang tinggi, maka jelas
pemerintah tidak bisa tinggal diam dan secara pasti harus membuat berbagai
alternative kebijakan dan program-program untuk menanggulangi dan meminimalisir
kemiskinan di Indonesia. Perlu diakui bahwa selama ini berbagai program telah
dilakukan pemerintah untuk menanggulangi dan menghapus kemiskinan.
Berbagai kebijakan dan program telah dirumuskan dan diimplementasikan di
lapangan seperti terus mencoba memacu pertumbuhan ekonomi nasional,
menyediakan fasilitas kredit bagi masyarakat miskin antara lain melalui pemberian
bantuan dana IDT, JPES, PKK, BLT, dan lain-lain, membangun infrastruktur di
pemukiman kumuh, dll. Semua program ini membutuhkan dana yang tidak sedikit
dan pemerintah telah mencoba menkonsentrasikan dan mengalokasikan dana APBN
untuk program-program kemiskinan. Rincian kucuran dana yang dialoaksikan
pemerintah untuk program-program pengentasan kemiskinan dapat dilihat pada tabel
di bawah ini:
21
Tabel 1.1 Alokasi Dana APBN untuk Program-program Penanggulangan Kemiskinan d Indonesia
Sumber: BPS, dalam “Press Liris: Pernyataan Sikap atas Upaya dan Kebijakan
Pengentasan Kemiskinan di Indonesia” http://bem.pefe.ui.ac.id/, diunggah pada 5 Januari
2013.
Dari tabel di atas terlihat jelas bahwa pemerintah hampir setiap tahunnya,
sejak tahun 2000-2012, terus meningkatkan jumlah alokasi APBN untuk program
penanggulangan kemiskinan, meskipun kenyataannya jumlah kemiskinan di
Indonesia masih secara kasat mata berada pada angka yang besar.
Seakan tidak menyerah, pemerintah Indonesia terus mengeluarkan program-
program penanggulangan kemiskinan bagi masyarakat di Indonesia salah satunya
adalah Program Keluarga Harapan (PKH). PKH merupakan program penanggulangan
kemiskinan dan pengembangan sistem perlindungan sosial melalui bantuan tunai
bersyarat (Conditional Cash Transfer) bagi masyarakat sangat miskin, ditujukan
untuk mempercepat pencapaian tujuan Millenium Development Goals (MDGs). PKH
merupakan program bantuan dan perlindungan sosial yang termasuk dalam Kluster I
dalam program TNP2K dimana program ini terkait dengan pelayanan pendidikan dan
22
kesehatan. Dengan adanya PKH diharapkan Rumah tangga Sangat Miskin (RTSM)
peserta PKH memiliki akses yang lebih baik dalam memanfaatkan pelayanan sosial
dasar yaitu: pendidikan, kesehatan, pangan dan gizi, termasuk menghilangkan
kesenjangan sosial, ketidakberdayaan dan keterasingan sosial yang selama ini
melekat pada diri warga miskin.3 Di Indonesia sendiri, PKH telah diterapkan di
berbagai provinsi sejak tahun 2007 dan adapun rincian lokasi penerima PKH secara
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1.2
Lokasi Pelaksanaan PKH Tahun 2007-2011
Tahun Lokasi Penerima Program Keluarga Harapan
2007 Di 7 Provinsi, 48 Kab/Kota dan 337 Kec dengan 387.928 RTSM (DKI, Jabar,
Jatim, Sumbar, Gorontalo, Sulut, NTT)
2008 Dikembangkan pada 13 Provinsi 70 Kab dan 629 Kec dengan 620.484 RTSM
(Banten, NAD, Sumut, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalsel, NTB)
2009 Pengembangan di 150 Kecamatan di 12 Provinsi dan 43 Kab (lokasi 2007-
2008) dengan 120.000 RTSM
2010 Dikembangkan pada 7 Provinsi, 18 Kab, 175 Kec dengan 90.000 RTSM
(Bengkulu, Kep. Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Bali, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Selatan)
2011 Rencana persiapan 5 Provinsi (Riau. Sumsel, Lampung, Jateng, Maluku Utara
pada 15 Kabupaten Kota
Sumber: Kementrian Sosial Republik Indonesia 2011
PKH merupakan program penanggulangan kemiskinan yang dalam
pengimplementasiannya melibatkan banyak pihak seperti dinas sosial, dinas
kesehatan dan dinas pendidikan. Hal yang menarik dari PKH adalah keberadaan
street-level bureaucrat dalam program ini. Buku pedoman PKH tahun 2012
3 Paparan lebih lengkap dapat dilihat dalam“Buku Pedoman Umum Program Keluarga Harapan (PKH)”. 2012.
Direktorat Jaminan Sosial, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kementrian Sosial Republik Indonesia.
23
memaparkan bahwa agar program dapat sampai pada lapisan masyarakat paling
bawah, PKH memiliki petugas lapangan yang merupakan ujung tombak PKH karena
petugas inilah yang bersentuhan langsung dengan target sasaran PKH dan merupakan
pihak kunci yang memastikan program dapat langsung diterima oleh target group dan
menjembatani target group dengan pihak-pihak lain yang terlibat di tingkat
kecamatan maupun dengan program di tingkat kabupaten/kota. Kenyataannya pada
tataran teori pun, peran penting street-level bureaucrat dalam implementasi kebijakan
tidak bisa diabaikan. Purwanto (2012: 167) memaparkan bahwa pentingnya peran
street-level bureaucrat ini terkait dengan fungsinya dalam menyampaikan berbagai
keluaran program secara langsung kepada kelompok sasaran. Tidak mengherankan
jika para ahli menyebutkan bahwa: street-level bureaucrats are key players in any
policy implementation process.
Keberadaan street-level bureaucrats dalam PKH ini merupakan salah satu
faktor penentu gagal atau berhasilnya implementasi PKH dijalankan. Hal ini terbukti
dari kasus-kasus yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia. Meskipun telah berjalan
selama 5 tahun, sayangnya implementasi PKH yang dilakukan diberbagai provinsi di
Indonesia hingga saat ini masih diwarnai dengan berbagai masalah dan
penyimpangan yang dilakukan oleh street-level bureaucrats yang pada akhirnya
mengakibatkan terganggunya proses impelementasi PKH. Penyimpangan yang kerap
kali terjadi terkait PKH di beberapa daerah yaitu adanya kasus korupsi berupa
pemotongan pembayaran bagi Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) oleh beberapa
24
pendamping PKH. Adapun contoh-contoh penyimpangan PKH di berbagai daerah
dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1.3
Contoh Kasus Penyimpangan PKH di Indonesia Wilayah Contoh Kasus
Sumatra
Selatan
Penerima PKH yang ada di Kelurahan Kayuara Kuning Kecamatan Banyuasin III
Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumsel, mengatakan dana yang mereka terima telah
dipangkas oleh petugas pendamping PKH dari Kecamatan Banyuasin III. Dana
bantuan anak sekolah dari Program Keluarga Harapan (PKH), salah satu RTSM
mendapat Rp 550 ribu di triwulan I dan dipotong Rp 150 ribu. Begitu juga yang
dialami RTSM lainnya yang juga melaporkan bahwa dirinya hanya mendapat Rp 300
ribu, dari Rp 600 ribu yang seharusnya diterimanya, artinya dipotong sebesar Rp 350
ribu oleh pendamping.
Medan Sebagian besar keluarga RTSM penerima PKH yang merupakan kaum ibu,
mengeluhkan potongan yang dilakukan petugas dari mulai Rp 100 ribu hingga Rp
200ribu, seperti yang dikeluhkan salah seorang peserta PKH, Maria Rosbetty.
“Hampir setiap pencairan dipotong. Pada bulan (September, red) ini dipotong Rp
150.000. Padahal anak saya selalu saya bawa ke Posyandu dan ada absensi dari
Posyandu,” paparnya jengkel. Hal yang sama disampaikan peserta lainnya
Ny.Simanungkalit dan Ny. Silalahi yang dipotong masing-masing sebanyak Rp
200.000,-. “Biasanya kami mendapatkan sebanyak Rp 550.000,- tetapi hari ini hanya
Rp 350.000,“ ujarnya.
Nusa Tenggara
Timur
Kadisos NTT Sinun Petrus Manuk mengemukakan, ada indikasi informasi
penyimpangan pembayaran uang bagi RTSM di Nuapin. Menurut Pit Manuk
penyimpangan ini terjadi karena para penerima dana PKH tidak mendatangi PT Pos
tetapi terjadi penitipan yang menyalahi mekanisme dan penyimpangan ini terjadi
karena penerimaan tidak utuh yakni terjadi pemotongan sekitar 800 ribu rupiah dari
100 lebih penerima PKH. Pit Manuk menambahkan, dari 100 ribu lebih penerima
PKH ada 32 yang dijumpai mengaku menerima uangnya tidak utuh dan tidak pernah
melakukan cap jempol saat menerima uangnya.
Sumenep LSM GeBRaK Sumenep pada tanggal 14 November 2011 telah melaporkan dugaan
korupsi Program Keluarga Harapan ke Kejaksaan Negeri Sumenep dengan tafsir
kerugian negara yang timbul sedikitnya sebesar 8.649.600.000,00 (delapan miliar
enam ratus empat puluh sembilan juta enam ratus ribu rupiah). Berdasarkan data yang
diperoleh LSM GeBRaK Sumenep, sejumlah penyimpangan terjadi dalam
pelaksanaan bantuan PKH diantaranya adalah: sedikitnya terdapat 153 RTSM fiktif di
11 Kecamatan di wilayah Kabupaten Sumenep dan sedikitnya terdapat 55 RTSM yang
menerima double bantuan dana PKH di 11 Kecamatan di wilayah Kabupeten
Sumenep. Akibat terjadinya sejumlah penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan
bantuan PKH dari tahun 2007 hingga tahun 2011, negara dirugikan sedikitnya sebesar
8.649.600.000,00
Lamongan Pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH) untuk wilayah Lamongan di duga
diwarnai praktik manipulasi data. Indikasi itu menguat ketika banyak masyarakat
penerima dana PKH yang mengeluhkan pemotongan uang sebesar Rp 50 ribu hingga
Rp 100 ribu tiap orang. Disinyalir juga pendamping jarang melakukan sosialisasi ke
masyarakat.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber.
25
Dapat dipahami bahwa peran dan keseriusan street-level bureaucrats menjadi
salah satu hal penentu keberhasilan atau kegagalan implementasi PKH, dan dari
contoh-contoh kasus di atas, maka proses implementasi PKH yang dilakukan di
beberapa daerah di Indonesia masih belum berhasil karena masih sangat rawan
dengan penyimpangan-penyimpangan khususnya yang dilakukan oleh birokrat garda
depan PKH.
Terkait dengan pengimplementasian PKH di berbagai provinsi di Indonesia,
maka sejak tahun 2008 provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta masuk ke dalam salah
satu provinsi penerima PKH dimana kelima kabupaten/kota yang ada di DIY ikut
mengimplementasikan PKH sebagai program penanggulangan kemiskinan dan salah
satu Kabupaten yang menjadi kabupaten “peserta” PKH di DIY yaitu Kabupaten
Sleman. Tak mengherankan memang jika Kabupaten Sleman menjadi salah satu
kabupaten di Yogyakarta yang menandatangani komitmen untuk mengikuti program
keluarga harapan mengingat angka kemiskinan di Kabupaten Sleman sendiri dapat
dikatan tinggi. Sehingga keputusan pemerintah kabupaten Sleman untuk terlibat
dalam Program Keluarga Harapan dapat ditinjau sebagai salah satu upaya untuk
mengurangi dan menanggulangi kemiskinan di Kabupaten Sleman. Hingga saat ini,
memang keberadaan masyarakat miskin di Kabupaten Sleman masih tinggi.
Mengenai data kemiskinan di Kabupaten Sleman dapat lebih rinci dilihat pada bagan
di bawah ini:
26
Gambar 1.1
Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi D.I. Yogyakarta Tahun 2010
Sumber: SAPA-Aliensi Strategis Melawan Pemiskinan
Jika dilihat dari gambar di atas, maka dapat ditilik dengan jelas bahwa
kabupaten Sleman masih merupakan daerah ke-3 termiskin diantara 5 wilayah yang
ada di Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu dengan jumlah penduduk miskin mencapai
117.000 jiwa. Hal ini kemudian menjadi sinyalir juga bahwa memang pemerintah
Kabupaten Sleman perlu merumuskan dan mengimplementasikan berbagai kebijakan
dan program yang dapat menekan dan menurunkan angka kemiskinan di Kabupaten
Sleman. Salah satu upaya dalam mencapai hal tersebut yaitu dengan
mengimplementasikan Program Keluarga Harapan (PKH). PKH sendiri mulai
diimplementasikan di kabupaten Sleman semenjak tahun 2008 di 17 kecamatan yang
tersebar di kabupaten Sleman. Adapun jumlah penerima PKH perkecamatan memiliki
kuantitas jumlah yang berbeda-beda tergantung banyak sedikitnya Rumah Tangga
Sangat Miskin yang tersebar di kecamatan tersebut. Dari data yang diperoleh dari
Unit Pelaksana Program Keluarga Harapan (UPPKH) hingga tahun 2012 jumlah
27
penerima PKH terbanyak yaitu Kecamatan Sleman dengan jumlah penerima PKH
sebanyak 500 Rumah Tangga Sangat Miskin.
Tabel 1.4
Jumlah Penerima PKH di Kecamatan Sleman
Tahun 2008-2012
Desa Tahun
2008 2009 2010 2011 2012
Caturharjo 147 143 134 156 140
Pandowoharjo 94 85 76 88 76
Tri Mulyo 103 97 94 109 95
Tridadi 49 50 42 61 57
Triharjo 145 142 134 147 132
Sumber: Unit Pengelola Program Keluarga Harapan (UPPKH) Kabupaten Sleman
Dilihat dari paparan kedua tabel di atas maka dapat dipahami bahwa sejak
tahun 2008 hingga 2012 desa Caturharjo merupakan desa dengan jumlah penerima
Program Keluarga Harapan terbanyak di kecamatan Sleman. Kuantitas penerima
PKH dengan jumlah terbanyak ini juga dikarena Desa Caturharjo memiliki jumlah
penduduk miskin terbanyak diantara desa-desa di kecamatan Sleman lainnya. Pada
tahun 2012, jumlah penduduk miskin di desa Caturharjo mencapai 5.112 jiwa.4 Hal
ini kemudian tentu akan membawa dinamika tersendiri dalam proses berjalannya
implementasi program PKH di desa Caturharjo mengingat desa Caturharjo
merupakan desa dengan jumlah penduduk miskin terbanyak dan penerima PKH
terbanyak dibandingkan desa lainnya di kecamatan Sleman.
PKH sendiri di Desa Caturharjo telah diimplementasikan sejak tahun 2008
sebagai bentuk upaya penanggulangan kemiskinan. Dikarenakan PKH merupakan
4 Data Penduduk Miskin diperoleh dari pencatatan Kecamatan Sleman Tahun 2012.
28
program yang diinisiasi oleh pusat, maka banyak pihak yang terlibat dalam proses
pengimplementasiannya yaitu Dinas Sosial dan Ketenagakerjaan Kabupaten Sleman,
aparat pemerintah Kecamatan Sleman, Puskemas, SD dan SMP (sebagai service
provider), dan juga tim UPPKH Kecamatan Sleman serta aparat kelurahan
Caturharjo. Adapun street-level bureaucrats yang terlibat dalam pengimplementasian
PKH di Desa Caturharjo terdiri dari pertama, jaringan pemberi pelayanan kesehatan
yaitu Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan Puskesms Keliling, Pondok Bersalin
Desa, Posyandu, Bidan Desa, Rumah Sakit dan Balai Kesehatan Desa; kedua,
pemberi pelayanan pendidikan yaitu Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama;
ketiga, UPPKH Kabupaten; dan Keempat, UPPKH Kecamatan yaitu pendamping
PKH dimana Pelaksanaan PKH di Desa Caturharjo dimonitoring oleh 1 (satu) orang
pendamping, dimana para birokrat garda depan ini lah yang kemudian bersentuhan
secara langsung dengan penerima PKH di Desa Caturharjo.
Menurut data awal yang penulis peroleh, desa Caturharjo merupakan salah
satu desa yang memiliki realisasi dana PKH baik. Keberhasilan realisasi dana PKH di
Desa Caturharjo juga dapat dilihat dari ketepatan pemberian dana PKH selama tahun
2012 dari verifikasi yang telah dilakukan oleh tim UPPKH Kabupaten Sleman.
Tabel 1.5
Rekap Realisasi Dana 2012 PKH Desa Caturharjo
TAHUN 2012
Tahap I 147 41.550.000 100 41.550.000
Tahap II 147 56.450.000 100 56.450.000
Tahap III 146 34.100.000 100 34.100.000
Tahap IV 151 32.500.000 100 32.500.000
Sumber: UPPKH Kabupaten Sleman
29
Perlu digarisbawahi kembali bahwa keberhasilan pelaksanaan PKH hingga
dapat dimanfaatkan oleh target group dengan baik salah satunya tidak terlepas dari
peran street-level bureaucrat yang menjadi ujung tombak penyampaian program
hingga dapat dimanfaatkan oleh target group yaitu RTSM. Hal ini kemudian menjadi
menarik untuk penulis teliti lebih mendalam karena ketika daerah-daerah lain di
Indonesia banyak mengalami kegagalan dalam mengimplementasikan PKH
dikarenakan banyaknya penyimpingan yang dilakukan oleh pendamping PKH, desa
Caturharjo justru memiliki realisasi dana PKH yang baik. Oleh karena itu, kondisi
inilah yang kemudian mendorong ketertarikan penulis untuk meneliti lebih lanjut
terkait peran street-level bureaucrat dalam implementasi PKH di Desa Caturharjo,
Kecamatan Sleman.
1.2 Rumusan Masalah
Sejak tahun 2007 hingga saat ini, implementasi PKH di Indonesia mengalami
banyak permasalahan, kendala, dan terjadi berbagai penyimpangan-penyimpangan
seperti pemotongan pembayaran PKH oleh pendamping PKH. Namun dari data awal
yang penulis peroleh, pelaksanaan PKH di desa Caturharjo dapat dikatakan berjalan
baik dan hal ini lah yang menjadi ketertarikan penulis untuk meneliti lebih lanjut.
Ketika kebanyakan daerah-daerah di Indonesia tersandung berbagai kendala dalam
mengimplementasikan PKH, desa Caturharjo justru menunjukan hal yang
berkebalikan. Selain itu, mengingat Desa Caturharjo merupakan Desa dengan jumlah
masyarakat miskin terbanyak dan jumlah penerima Program Keluarga Harapan
30
terbanyak di Kecamatan Sleman, maka tentu hal ini akan membawa dinamika-
dinamika yang dialami street-level bureaucrats dalam proses implementasi program
PKH. Sehingga berdasarkan hal tersebut maka dapat penulis mengambil suatu
rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimanakah peran street-level bureaucrat dalam Implementasi
Program Keluarga Harapan (PKH) di Desa Caturharjo, Kecamatan
Sleman?
a. Bagaimanakah kinerja implementasi PKH di Desa Caturharjo?
b. Siapa sajakah street-level bureaucrats yang berperan dalam
implementasi PKH di Desa Caturharjo?
c. Apasajakah peran street-level bureaucrats dalam implementasi PKH
di Desa Caturharjo?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui kinerja implementasi dan peran street-level bureaucrat
dalam Implementasi Program Keluarga Harapan (PKH) di Desa
Caturharjo, Kecamatan Sleman.
Adapun penelitian ini memiliki beberapa tujuan khusus, antara lain
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengidentifikasi jenis street-level bureaucrats dalam implementasi
PKH di Desa Caturharjo.
31
2. Untuk mengetahui peran masing-masing street-level bureaucrats dalam
implementasi PKH di Desa Caturharjo.
3. Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi oleh masing-masing street-
level bureaucrats dalam memainkan perannya dalam implementasi PKH di
Desa Caturharjo.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagi ilmu pengetahuan
Memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan
yang dalam hal ini dapat memperkuat teori mengenai street-level
bureaucrat dan implementasi kebijakan
2. Bagi lembaga terkait yaitu Dinas Sosial Kabupaten Sleman dan UUPKH
Kabupaten Sleman, dan Pendamping PKH.
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi
Dinas Sosial Kabupaten Sleman dan UUPKH Kabupaten Sleman dalam
mengimplementasikan Program Keluarga Harapan di Desa Caturharjo,
Kecamatan Sleman
3. Bagi Pembaca
Memberikan pengetahuan mengenai peran street-level bureaucrat
dalam proses implementasi program dan menambah referensi bagi