16
1 BAB I PENDAHULUAN Profesi seseorang yang memerlukan kontak yang mendalam dengan pekerjaannya, komitmen, keterlibatan yang tinggi dan memiliki tanggung jawab atas orang lain akan cenderung menimbulkan satu masalah yang disebut dengan Job Burnout. Pada umumnya seseorang hampir tidak mungkin merasakan Job Burnout apabila tidak memberikan dan melakukan banyak usaha. Bagian berikut ini penulis akan menguraikan latar belakang dari penelitian ini tentang Locus of control Eksternal, Work-life Balance dan Job Burnout pada anggota Satuan Penjagaan dan Pengaturan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya. 1.1 Latar Belakang Kepadatan penduduk di Provinsi DKI Jakarta begitu tinggi yang notabene Jakarta merupakan pusat pemerintahan Indonesia, pusat bisnis, pusat politik, dan pusat kebudayaan yang pasti juga banyak terjadi perputaran roda ekonomi di dalamnya, hal tersebut yang menjadi alasan DKI Jakarta disebut sebagai daerah metropolitan. Menurut data Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta (2015), DKI Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia adalah pusat bisnis dan pusat pemerintahan dengan jumlah penduduk tahun 2014 mencapai 10,08 juta orang dan kepadatan penduduk 15.234 orang per km 2 , dikelilingi kawasan pemukiman Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek) yang semakin berkembang. Dari hasil survai komuter Jabodetabek tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah komuter Jabodetabek sebanyak 3.566.178 orang, terdiri dari 2.429.751 orang melakukan kegiatan bekerja dan sekolah/kursus di DKI Jakarta, 1.067.762 orang di Bodetabek, dan 68.665 orang di luar Jabodetabek. Sementara komuter Bodetabek yang melakukan kegiatan di DKI Jakarta sebanyak 1.382.296 orang (Badan Pusat Statistik, 2015). Oleh sebab itu di DKI Jakarta masalah kemacetan di seluruh jalan ibu kota menjadi pemandangan sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13235/1/T2... · 1 BAB I PENDAHULUAN . Profesi seseorang yang memerlukan kontak yang mendalam dengan

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I

PENDAHULUAN

Profesi seseorang yang memerlukan kontak yang mendalam

dengan pekerjaannya, komitmen, keterlibatan yang tinggi dan memiliki

tanggung jawab atas orang lain akan cenderung menimbulkan satu

masalah yang disebut dengan Job Burnout. Pada umumnya seseorang

hampir tidak mungkin merasakan Job Burnout apabila tidak memberikan

dan melakukan banyak usaha. Bagian berikut ini penulis akan

menguraikan latar belakang dari penelitian ini tentang Locus of control

Eksternal, Work-life Balance dan Job Burnout pada anggota Satuan

Penjagaan dan Pengaturan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya.

1.1 Latar Belakang

Kepadatan penduduk di Provinsi DKI Jakarta begitu tinggi yang

notabene Jakarta merupakan pusat pemerintahan Indonesia, pusat bisnis,

pusat politik, dan pusat kebudayaan yang pasti juga banyak terjadi

perputaran roda ekonomi di dalamnya, hal tersebut yang menjadi alasan

DKI Jakarta disebut sebagai daerah metropolitan. Menurut data Badan

Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta (2015), DKI Jakarta sebagai ibukota

Republik Indonesia adalah pusat bisnis dan pusat pemerintahan dengan

jumlah penduduk tahun 2014 mencapai 10,08 juta orang dan kepadatan

penduduk 15.234 orang per km2, dikelilingi kawasan pemukiman Bogor,

Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek) yang semakin berkembang.

Dari hasil survai komuter Jabodetabek tahun 2014 menunjukkan bahwa

jumlah komuter Jabodetabek sebanyak 3.566.178 orang, terdiri dari

2.429.751 orang melakukan kegiatan bekerja dan sekolah/kursus di DKI

Jakarta, 1.067.762 orang di Bodetabek, dan 68.665 orang di luar

Jabodetabek. Sementara komuter Bodetabek yang melakukan kegiatan di

DKI Jakarta sebanyak 1.382.296 orang (Badan Pusat Statistik, 2015). Oleh

sebab itu di DKI Jakarta masalah kemacetan di seluruh jalan ibu kota

menjadi pemandangan sehari-hari.

2

Kemacetan yang terjadi pada jalan-jalan utama di kota Jakarta

merupakan pemandangan yang umum ditemukan terutama pada jam sibuk

pagi hari dan sore hari. Kemacetan lalu lintas pada jalan utama biasanya

berawal dari simpang dan konflik pada akses ke guna lahan, tetapi pada

jalan utama yang berdampingan dengan jalan tol kemacetan lalu lintas

sering disebabkan atau berawal dari ramp on atau ramp off jalan tol dalam

kota. Pada beberapa ruas jalan utama bahkan jarak antara ramp on dan

ramp off jalan tol terlalu berdekatan sehingga tingkat konflik lalu lintas

yang terjadi semakin tinggi sehingga menyebabkan kemacetan lalu lintas

yang semakin parah (Najid dkk., 2014).

Kemacetan di ibukota DKI Jakarta tidak dapat dihindari, terutama di

titik-titik persimpangan yang rawan dengan kemacetan. Semakin hari,

kemacetan di Jakarta semakin parah. Puncak kemacetan di Jakarta terjadi

pada jam sibuk di pagi hari (sekitar pukul 06.30-09.00 WIB) dan sore hari

(sekitar pukul 16.30-19.30 WIB). Permasalahan kemacetan di Jakarta

tidak terlepas dari akar permasalahan transportasi yaitu tidak terkendalinya

pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta, serta buruknya

pelayanan sistem angkutan umum yang ada saat ini. Menurut data

Ditlantas Polda Metro Jaya (2014, dalam Badan Pusat Statistik, 2015),

penambahan kendaraan baru di Jakarta rata-rata 4.800 unit perhari,

pertumbuhan kendaraan bermotor sebesar 9,93% dan pertumbuhan sepeda

motor tertinggi sebesar 10,54% pertahun, sementara panjang dan lebar

jalan nyaris tidak berubah. Keadaan ini berakibat meningkatnya kepadatan

lalu lintas di jalan raya yang pada akhirnya menimbulkan titik-titik rawan

kemacetan di sejumlah tempat. Hasil survai Castrol Magnatec Start-Stop

(2015) tentang lalu lintas kota kota besar di dunia menunjukkan bahwa

kota Jakarta memiliki tingkat kemacetan paling buruk. Berdasarkan indeks

Castrol Magnatec Start-Stop, tingkat berhenti jalan kendaraan di Jakarta

mencapai 33.240 ribu per tahun dengan 27,22% dari waktu tempuh para

pengendara berada pada posisi diam (Boy, 2015).

Menurut Sunarjo (2014), Jakarta Selatan adalah wilayah paling

tinggi tingkat kemacetannya di antara kota Jakarta lainnya. Hal ini

3

disebabkan oleh banyaknya pusat kegiatan bisnis/perkantoran,

pembangunan apartemen dan perumahan warga kota, pembangunan pusat

perbelanjaan atau mall yang tidak terkendali yakni mencapai 57 mall pada

tahun 2009, serta diaktifkannya jalur Transjakarta atau busway sejak tahun

2004 yang pembangunannya mengambil dari sebagian ruas jalan di

Jakarta, sehingga fasilitas jalan tidak sesuai dengan jumlah kendaraan

pribadi dan angkutan umum. Hal-hal tersebut adalah pemicu kemacetan di

Jakarta. Menurut data yang diambil dari Ditlantas Polda Metro Jaya

(dalam Sunarjo, 2014) jumlah kendaraan paling banyak terdapat di

wilayah Jakarta Selatan. Ada 15 titik rawan kemacetan di wilayah Jakarta

Selatan menurut data yang diambil dari TMC (Traffic Management

Center) antara lain : Traffic Light (TL) Radio Dalam, Jl. Pangeran

Antasari, Jl. Kapten Tendean, Jl. Dr. Satrio, Jl. Casablanka, Depan

Terminal bus Lebak Bulus, Jl. Ciputat Raya, Pasar Pondok Labu, Jl. DR.

Supomo, Jl. Raya Pasar Minggu, Jl. Buncit Raya, Jl. Ciledug Raya, TL

Tarkindo, TL Pertanian, dan Jl. Raya fatmawati.

Kemacetan lalu lintas yang terjadi di kota Jakarta sekarang ini

semakin membutuhkan penanganan dan pengaturan yang serius dari para

profesional yang berkompeten dibidangnya (tentang pengaturan lalu lintas

“Gatur Lantas”), dalam hal ini para profesional yang dimaksud adalah

profesi polisi. Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan

pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu

keahlian (Indarti, 2014). Sementara itu Collins (2000) berpendapat bahwa

suatu profesi dicirikan antara lain oleh adanya spesifikasi tertentu yang

berkenaan dengan: pendidikan dan pelatihan, kepakaran/kometensi

intelekual atau teoretikal sekaligus teknis, organisasi, disiplin dan kode

etik, serta komitmen terhadap pelayanan yang bersifat altruistik

(pelayanan publik). Berdasarkan pada hubungan pelaku profesi dan

kliennya, Reiss (1971) mengatakan bahwa berbagai pekerjaan yang benar-

benar berkualitas profesi yaitu seperti hukum, dokter, dan polisi.

Berfokus pada profesi polisi, seorang polisi dituntut untuk

mempunyai komitmen terhadap pelayanan publik, menjalani pelatihan dan

4

pendidikan, memiliki kepakaran intelektual/teoretikal sekaligus teknis,

tergabung dalam suatu organisasi, serta hidup dengan disiplin dan kode

etik tertentu sebagaimana telah disepakati dan digariskan oleh profesi

polisi itu sendiri (Indarti, 2014). Di dalam UU RI No. 2 Tahun 2002

tentang kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 2, fungsi kepolisian

pada dasarnya adalah salah satu fungsi pemerintah negara di bidang

pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,

serta perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Secara umum fungsi kepolisian dibedakan diantaranya ke dalam apa yang

disebut sebagai: fungsi utama, fungsi organik, dan fungsi pendukung.

Khusus fungsi utama kepolisian lebih lanjut dijabarkan ke dalam: Reserse,

Intelkam, Sabhara, Binmas dan Lalu-lintas (Sunarno, 2010). Lalu-lintas

dan angkutan jalan merupakan masalah yang sangat vital dan penting

sekali oleh masyarakat untuk menghubungkan dari suatu tempat ke tempat

lainnya terutama dalam pelaksanaan roda perekonomian. Apabila tidak

adanya pihak lain yang terkait dalam penegakan hukum lalu-lintas dan

angkutan jalan ini maka tidak akan tercapai apa yang dicita-citakan oleh

undang-undang lalu-lintas dan angkutan jalan itu sendiri. Polisi lalu-lintas

mempunyai peranan yang penting dalam usaha menumbuh kembangkan

kesadaran hukum lalu-lintas dalam rangka menciptakan suasana berlalu-

lintas yang aman, tertib dan lancar (Hadrinal, 2009).

Pada kenyataannya suasana berlalu-lintas yang aman, tertib dan

lancar hampir tidak mungkin di dapatkan di Kota Jakarta. Dari sekian

banyak masalah yang dihadapi Jakarta, permasalahan kemacetan adalah

masalah utama yang harus mendapat prioritas untuk segera diselesaikan

(Prijanto, tahun tidak disebutkan). Maka kemacetan lalu lintas menjadi

salah satu faktor yang menambah beban kerja polisi lalu lintas. Polisi Lalu

lintas memiliki tugas mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat di

bidang gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas. Ditambahkan oleh

Suratni (2014) bahwa Polisi Lalu Lintas merupakan fungsi kepolisian

dalam rangka menjaga ketertiban, pendidikan masyarakat, penegakan

hukum, pengkajian masalah lalu lintas, administrasi registrasi dan

5

identifikasi pengemudi dan kendaraan bermotor serta melaksanakan

patroli jalan raya. Melihat begitu kompleksnya tugas Polantas tersebut

maka perlu kerja yang ekstra agar tugas tersebut dapat teratasi dengan baik

oleh aparat kepolisian khususnya polisi lalu lintas. Disisi lain, banyak

persepsi di masyarakat yang memandang masih rendahnya tingkat layanan

polisi.

Hakekat tugas Ditlantas sebenarnya cukup berat. Karena dibanding

fungsi-fungsi kepolisian lain yang mempunyai bobot tugas yang jauh lebih

berat, di dalam berlalu lintas, banyak masalah yang dihadapi, baik itu yang

menghambat atau bahkan yang mematikan proses aktivitas masyarakat.

Contohnya, kecelakaan lalu-lintas, kemacetan lalu lintas, maupun tindak

pidana yang berkaitan dengan kendaraan bermotor (Suratni, 2014).

Sunarjo (2014) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa polisi lalu-

lintas yang berdinas di Jakarta berada dibawah naungan Direktorat Lalu-

lintas Polda Metro Jaya yang membawahi berbagai (satker), salah satunya

adalah satuan Penjagaan dan Pengaturan (Sat. Gatur). Anggota polisi lalu-

lintas yang berdinas di Sat.Gatur merupakan tugas yang memiliki tingkat

stres yang lebih tinggi diantara satker lainnya, karena anggota tersebut

sepenuhnya bertugas di jalan raya, mengatur arus lalu-lintas yang penuh

dengan kemacetan serta menindak para pengguna jalan yang tidak

mematuhi peraturan lalu-lintas. Banyak faktor yang dapat menyebabkan

anggota polisi lalu-lintas yang berdinas di Sat.Gatur mudah mengalami

masalah psikologis, salah satunya adalah faktor fisik seperti kemacetan,

cuaca, debu, populasi kendaraan dan lain-lain.

Hasil wawancara yang dilakukan Sunarjo (2014) dengan salah satu

anggota polisi lalu-lintas yang bertugas di Pos Lantas Blok M, banyak

faktor yang dapat menyebabkan stres antara lain faktor cuaca yang tidak

menentu, ditambah siang hari yang panasnya sangat menyengat, debu,

polusi, asap kendaraan yang tidak sehat, bahkan membuat sesak

pernapasan, kemacetan di Jakarta yang tiada henti-hentinya,

ketidakdisiplinan pengguna jalan, dan jarak tempuh dari rumah ke lokasi

kerja yang sangat jauh dan menempuh waktu yang cukup lama serta banjir

6

di beberapa ruas jalan di Jakarta yang membuat tugas pengaturan jalan

semakin sulit, sehingga menyebabkan kelelahan fisik seperti cepat lelah,

pusing, sulit tidur, mudah sakit dan lain-lain. Selain itu adanya piket dan

keharusan stand by setiap saat menyebabkan anggota harus siap kapan saja

apabila dibutuhkan. Sehingga kewaspadaan dan tuntutan anggota harus

sehat itu sangatlah diperlukan.

Beban dan tanggungjawab tersebut menimbulkan dampak negatif,

secara fisik maupun psikologis. Salah satu dampak psikologis yang dapat

muncul dari situasi tersebut adalah gejala job burnout. Pernyataan tersebut

terdukung oleh pernyataan dari Humas Polri pada tahun 2015 merilis

bahwa 80% anggota polisi pada fungsi lalu lintas dan reserse mengalami

beban tugas yang berlebihan (Kusuma, 2015). Maka, umum diketahui

profesi polisi memiliki derajat job burnout yang cukup tinggi

(Khaerunnisa, 2013).

Ada 3 ciri-ciri umum burnout syndrome yang biasa terjadi pada

individu yang telah diuraikan oleh Pines & Aronson (1989) yaitu, Sakit

fisik dicirikan seperti sakit kepala, demam, sakit punggung, tegang pada

otot leher dan bahu, sering flu, susah tidur, rasa letih yang kronis.

Kelelahan emosi dicirikan seperti rasa bosan, mudah tersinggung, sinisme,

suka marah, gelisah, putus asa, sedih, tertekan, tidak berdaya. Kelelahan

mental dicirikan seperti acuh tak acuh pada lingkungan, sikap negatif

terhadap orang lain, konsep diri yang rendah, putus asa dengan jalan

hidup, merasa tidak berharga.

Berdasarkan ciri-ciri di atas dapat terlihat bahwa beberapa anggota

unit lalu lintas yang telah diwawancarai mengalami gejala-gejala burnout.

Gambaran burnout pada anggota unit lalu lintas, berdasarkan wawancara

awal terungkap keluhan yang hampir sama, terkait tentang kelelahan fisik,

buruknya persepsi di masyarakat, dan kondisi lingkungan saat bertugas.

Seperti yang disampaikan oleh DF, yang telah menjadi anggota Polri

fungsi lalu lintas selama 12 tahun, beliau menyampaikan bahwa

merasakan kelelahan yang sangat pada fisiknya dan mudah merasakan

pusing karena dari rumah ke lokasi kerja memakan banyak waktu, harus

7

berdiri lama disiang hari yang sangat panas dengan polusi kendaraan yang

tidak sehat, apalagi jika berada pada waktu-waktu dengan tingkat

kemacetan yang tinggi (emotional exhaustion). Ia juga selalu terpancing

emosinya apabila menghadapi ketidakdisiplinan pengguna jalan dan sulit

diatur, ia dapat berteriak, dan memukul kendaraan tersebut

(dipersonalization/cynicism). Hal ini ia hadapi setiap hari dan harus siap

kapan saja apabila dibutuhkan untuk mengurai kemacetan jalan. Selain itu,

ia juga mengungkapkan bahwa jika sudah tidak tertahankan lagi dengan

pengaturan jalan yang semakin sulit, ia akan meninggalkan tugas dan

beristirahat di pos. Ia membiarkan keadaan macet untuk beberapa waktu

karena ia merasa kemacetan ini tidak akan ada habisnya (inefficacy/reduce

personal accomplishment).

Wawancara dengan salah satu anggota Polantas yang sedang

bertugas di Pos jaga menyampaikan bahwa ketika banjir di beberapa ruas

jalanan di Jakarta dengan cuaca yang tidak menentu sehingga terus terjadi

kemacetan, pengaturan jalan menjadi semakin sulit dibanding hari biasa

maka menyebabkan kelelahan fisik hingga mudah sakit (emotional

exhaustion). Terkadang kelelahan secara emosional dan fisik juga dapat

terjadi ketika ada perubahan kebijakan pimpinan terkait jam dinas yang

bertambah karena jam kerja tidak cukup untuk mengurai kemacetan di

Jakarta (emotional exhaustion).

Tidak beda dengan WE, yang telah menjadi anggota Polri pada

fungsi lalu lintas lebih dari 14 tahun, mengungkapkan bahwa ia merasa

pandangan masyarakat terhadap Polantas adalah negatif bahkan merasa

seperti musuh, banyak juga pengguna jalan yang tidak menghargai

keberadaannya (inefficacy/reduce personal accomplishment). Ia merasa

masyarakat yang berurusan dengan Polantas artinya uang, padahal ia

hanya menjalankan tugas yang tidak bisa ia tolak yaitu menegakkan

aturan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggar. Banyak pengguna

jalan yang tidak menghiraukan bunyi peluit dan tindakan anggota polantas

maka ia dapat bersikap arogan dan lebih cepat emosi terlebih apabila

menghadapi pelanggar yang salah namun tetap tidak mau mengakui

8

kesalahan dan hal ini dapat terjadi beberapa kali dalam sehari

(dipersonalization/cynicism). Selain itu, ia juga merasa apabila berada

dalam kondisi sangat kelelahan, ia tidak melakukan apel pagi atau apel

sebelum bertugas (emotional exhaustion). Ia berfikir, tidak masalah tidak

apel yang terpenting adalah ia hadir di pos jaga. Ia mengeluhkan waktu

yang kurang untuk istirahat, karena kondisi kota yang penuh dengan

kemacetan lalu lintas dimana-mana. Padahal tidak jarang ia mengalami

kesulitan untuk tidur karena kondisi badan yang tidak mengenakkan

(emotional exhaustion).

Hasil wawancara di atas sejalan dengan pernyataan Sunarjo (2014)

dalam penelitiannya bahwa tuntutan pekerjaan yang semakin meningkat,

faktor fisik seperti kemacetan Jakarta yang sudah parah, cuaca yang tidak

menentu dan polusi kendaraan membuat anggota Polantas di jalan raya

mudah terpancing emosi sehingga banyak dari mereka bersikap arogan

terhadap pengguna jalan, selain itu keadaan seperti itu membuat anggota

cepat jenuh dengan pekerjaannya, sehingga banyak anggota Polantas

mangkir dinas untuk melepaskan kejenuhan atau sekedar untuk

beristirahat. Hasil wawancara di atas juga memperjelas tingginya tuntutan

dan beban pekerjaan yang di alami anggota Polri pada unit lalu lintas yang

bekerja dimana penuh dengan tekanan harus melayani kebutuhan dan

kepentingan masyarakat atau orang banyak dengan optimal dan sempurna.

Beratnya beban tersebut berpotensi menjadi salah satu penyebab job

burnout. Robbins (2001) menyebutkan bahwa beban tugas berasal dari

kondisi tekanan dari lingkungan kerja. Beban kerja untuk meminimalisir

jumlah tindak kejahatan dan menjamin keamanan, keselamatan, ketertiban

dan kelancaran lalu lintas merupakan beban kerja yang tidak ringan

(Muharam, 2016). Hal tersebut menyebabkan munculnya gejala kelelahan

emosional sehingga anggota Polri pada unit lalu lintas tidak dapat

memberikan pelayanan yang optimal terhadap masyarakat.

Ketidakmampuan untuk mengatasi tekanan pekerjaan menjadi polisi dapat

mengurangi gairah untuk pekerjaan tersebut, kurang tidur, meningkatkan

stres kronis, kelelahan, dan berhenti gaya (Slate, et al. 2007).

9

Bila kondisi polisi terlalu sering terpapar tuntutan pekerjaan yang

tinggi dengan kontrol yang rendah, dukungan sosial yang kurang dan

perasaan yang negatif (takut, merasa bersalah bercampur dengan

keinginan untuk istirahat), ini terus berlanjut dan tidak disertai dengan

strategi coping yang positif maka kondisi tersebut bisa mengarah ke

kondisi burnout (Backteman-Erlanson, 2013). Maka kondisi job burnout

yang dapat dialami anggota Polri pada unit lalu lintas penting untuk diteliti

karena memiliki pengaruh negatif pada pelayanan terhadap masyarakat

sehingga dapat menyebabkan peningkatan kemacetan dan memperburuk

keadaan lalu lintas di Jakarta. Dampak tersebut didukung dengan hasil

studi eksperimen yang di lakukan oleh Utami & Supriyadi (2013) yang

hasilnya menyatakan bahwa timbulnya job burnout pada karyawan akan

mengakibatkan munculnya dampak negatif, pada akhirnya akan

menurunkan kinerja, serta merasa tidak senang dan nyaman dalam

menyelesaikan pekerjaannya. Maka dengan sangat jelas bahwa job

burnout ini akan mempengaruhi perilaku seorang polisi dalam berinteraksi

dengan masyarakat (Kop, 1999).

Leiter & Maslach (1988) mengemukakan bahwa burnout

didefinisikan sebagai sindrom kelelahan emosional, depersonalisasi, dan

rasa penurunan personal, prestasi, yang dapat terjadi pada individu yang

bekerja dengan orang-orang dalam kapasitas yang sama. Kemudian di

perbarui oleh Pines & Aronson (1989) bahwa burnout merupakan

kelelahan secara fisik, emosional, dan mental yang disebabkan

keterlibatan jangka panjang dalam situasi yang penuh dengan tuntutan

emosional. Bernardin (1990) menggambarkan job burnout sebagai suatu

keadaan yang mencerminkan reaksi emosional pada orang yang bekerja

pada bidang pelayanan kemanusiaan (human service) dan bekerja erat

dengan masyarakat. Nicoara & Liliana-Amelia (2012) menyebutkan

bahwa profesi polisi menempati peringkat sepuluh besar sebagai pekerjaan

yang paling banyak menyebabkan stres di Amerika, serta dapat

dikategorikan sebagai pekerjaan yang berpotensi stres di dunia.

10

Adapun dampak negatif yang muncul dari job burnout ini telah

diteliti oleh peneliti terdahulu, Baker & Heuven (2006) menyebutkan

bahwa ada penurunan performansi kerja perawat dan polisi yang terkena

job burnout. Selain menurunnya performansi kerja dan kualitas kerja, job

burnout juga dapat mengakibatkan gangguan mental berupa depresi

(Gandi, Wai, Karick, & Dagona, 2011). Lebih lanjut menurut Dziner,

Rabenu, Radomski, & Belkin (2015) menemukan hal penting bahwa job

burnout menjadi salah satu akibat dari stres kerja karena akan

memengaruhi hubungan profesional dalam bekerja.

Dalam dunia kerja, job burnout dapat dipengaruhi oleh beberapa

faktor menurut Leiter & Maslach (1997) yaitu beban kerja, kontrol,

penghargaan, komunitas sekitar, fairless dan values. Job burnout

dipengaruhi oleh faktor eksternal yang dapat bersumber dari organisasi

(Hobfoll, 1989). Kondisi organisasi memiliki peran yang signifikan

terhadap sindrom negatif pada kondisi psikologis polisi yang kemudian

berpotensi memunculkan burnout (Suresh, Anantharaman, Angusamy, &

Ganesan 2013). Selain itu faktor internal yang terbagi menjadi dua yaitu,

faktor kepribadian dan faktor demografi. Faktor kepribadian terdiri dari

locus of control, harga diri, serta tipe kepribadian sedangkan faktor

demografi terdiri dari usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status

pernikahan, serta masa kerja (Farber, 1991 dalam Sari, 2015). Sedangkan

menurut Sari (2015) faktor kepribadian terdiri dari konsep diri rendah,

perilaku tipe A, individu yang introvert, locus of control eksternal dan

individu yang fleksibel. Hasil penelitian Sari (2015) menunjukkan bahwa

orang dengan locus of control eksternal lebih cenderung mengalami

burnout syndrome sedang dibanding locus of control internal cenderung

ringan, hal ini disebabkan karena locus of control berpengaruh terhadap

pemilihan strategi koping individu .

Selain locus of control eksternal, job burnout juga dapat dipengaruhi

oleh faktor lainnya yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Mc.

Carty & Skogan (2012) menyebutkan bahwa job burnout disebabkan oleh

faktor-faktor yang hampir sama antara polisi maupun masyarakat biasa.

11

Kesulitan dalam menyeimbangkan pekerjaan dan tanggungjawab dalam

kehidupan (work-life balance), kurangnya dukungan dari pimpinan dan

rekan kerja, kewajaran kebijakan dari organisasi dan beberapa faktor

pribadi berkontribusi kepada tingkat job burnout seseorang.

Locus of control eksternal menjadi salah satu faktor Job Burnout.

Rotter (1966) mendefinisikan locus of control eksternal sebagai keyakinan

individu bahwa keberhasilan atau kegagalan ditentukan oleh kekuatan

yang berada di luar dirinya yaitu nasib, keberuntungan atau kekuatan lain.

Locus of control eksternal mengacu pada sejauh mana seseorang

mengharapkan bahwa penguatan atau hasil merupakan fungsi dari

kesempatan, keberuntungan, atau nasib, adalah berada di bawah kendali

kekuatan orang lain, atau tidak terduga (Rotter, 1990).

Orang dengan external locus of control cenderung kurang

independen dan lebih mungkin menjadi depresif dan stres (Rotter dalam

Friedman & Schustack, 2008). Karyawan ber locus of control eksternal

merasa bahwa kekuatan eksternal seperti keberuntungan atau kegagalan

mengontrol hasil (Luthans, 2006). Hidayat dkk. (2015), menyatakan

bahwa locus of control eksternal adalah keyakinan individu dalam

memandang sumber-sumber yang berada di luar usaha pribadi dan kendali

diri mampu mempengaruhi dan menentukan hasil kerja, pencapaian

tujuan, dan peristiwa yang dialami, serta meyakini nasib keberuntungan,

peluang, kekuasaan orang lain, dan lingkungan menjadi kekuatan

pendorong pada setiap perilaku yang di hasilkan dalam aktivitas.

Dari penelitian yang dilakukan oleh McIntyre (2011) didapatkan

hubungan yang signifikan antara eksternal locus of control dan burnout

syndrome. Penelitian lain oleh Jaya & Rahmat (2005) mengungkapkan

dimana subjek dengan locus of control eksternal lebih rentan terhadap job

burnout dari subyek yang memiliki locus of control internal. Hal ini

berarti individu dengan locus of control eksternal lebih mudah merasa

tertekan dalam bekerja dikarenakan merasa tidak mampu mengontrol

kesuksesannya. Tümkaya (2001, dalam Akça & Yaman, 2010)

12

menemukan bahwa guru dengan locus of control eksternal cenderung

lebih mungkin mengalami burnout.

Selain locus of control eksternal, work-life balance juga menjadi

faktor terjadinya job burnout. Kurangnya praktek work-life balance dalam

bekerja menjadi salah satu faktor pemicu stres dan job burnout. Karena

semakin banyaknya waktu dalam bekerja maka stres akan meningkat.

Ketika seorang individu tidak menjaga keseimbangan dan bekerja terlalu

banyak dalam pengaturan organisasi, hal ini dapat menyebabkan kondisi

psikologis (pikiran, jiwa) dan konsekuensi perilaku, sebagai hasil

produktivitasnya juga akan rendah (Moedy, 2013). Work-life balance yang

baik didefinisikan sebagai situasi dimana pekerja merasa mampu

menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan pribadi atau komitmen lain

(Moore, 2007). Dapat dikatakan individu yang memperhatikan antara

keseimbangan kehidupan kerja dan kehidupan pribadi merupakan individu

yang lebih mementingkan kesejahteraan psikologisnya daripada mengejar

kekayaan semata (Ula, 2014).

Adanya Work-life balance yang dimiliki oleh anggota polisi,

diharapkan dapat menumbuhkan kondisi psikologis yang sejahtera

sehingga dapat meminimalisir job burnout. Sebuah literatur berjudul

“Work-family interference, emotional labor and burnout” menunjukkan

bahwa ketidakseimbangan kehidupan-kerja “work-life imbalance”

berkorelasi positif dengan burnout (Montgomery et al., 2006; Peeters et

al., 2005) yang artinya seseorang yang tidak memiliki work-life balance

akan cenderung lebih mudah terkena burnout dibanding dengan orang

yang memiliki work-life balance atau keseimbangan antara pekerjaan dan

kehidupan non-kerja.

Nitzsche, Pfaff, Jung & Driller (2013) menemukan bahwa semakin

banyak orang menganggap kehidupan di rumah mereka menjadi negatif

karena dipengaruhi oleh pekerjaan mereka, dan mereka lebih beresiko

untuk kelelahan. Novess (2015) juga mengungkapkan bahwa membawa

urusan pekerjaan ke dalam kehidupan di rumah atau tidak memiliki

keseimbangan antara pekerjaan dengan kehidupan non-kerja dapat

13

memicu timbulnya kelelahan kerja “job burnout”. Selain itu efek yang

dirasakan adalah efek psikososial seperti merasakan adanya gangguan

kehidupan pada keluarga, hilangnya waktu luang, kecil kesempatan untuk

berintegrasi dengan teman dan mengganggu aktivitas kelompok (Astrand

& Rodhal, 1986 ; Pulat, 1992).

Menurut Maslach, Schaufeli & Leiter (2001) job burnout juga dapat

dipengaruhi oleh faktor individu meliputi karakteristik demografis.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa usia berhubungan dengan job

burnout, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Lau dkk. (2005, dalam

Grayson et al., 2008) bahwa guru yang berusia muda lebih mengalami job

burnout dibanding dengan rekan di atas usia mereka. Namun ada

penelitian lain oleh Larasati & Paramita (2013) yang hasilnya tidak

mendukung penelitian yang dilakukan Maslach (1996, dalam Zaidi dkk.,

2011) yang hasilnya tidak menunjukkan perbedaan signifikan dengan

tingkat job burnout. Dalam pernyataanya bahwa tingkat reduce personal

accomplishment yang tinggi lebih dialami oleh responden yang berusia tua

dibandingkan dengan responden yang berusia muda.

Penelitian lain terkait karakteristik demografis juga dilakukan oleh

Triwijayanti, Dwiantoro & Warsito (2016) hasilnya mengartikan bahwa

perawat yang lebih tua memiliki tingkat burnout yang lebih rendah karena

semakin tua usia seseorang maka semakin matang dalam bersikap dan

semakin berpengalaman sesorang dalam suatu pekerjaan maka akan

semakin meningkatkan kemampuannya dalm menghadapi situasi dalam

pekerjaan sehingga perawat yang aktif dan berpengalaman akan lebih

mampu menghadapi stress dalam pekerjaan yang dapat menyebabkan

terjadi burnout pada perawat.

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang diuraikan di atas dan

beberapa hasil penelitian terdahulu yang memiliki hasil yang berbeda

kepada masing-masing partisipan maka sangat penting untuk mengetahui

pengaruh Locus of Control Eksternal dan Work-life Balance secara

simultan pada Job Burnout Anggota Polri Fungsi Lalu lintas Sat.Gatur

Ditlantas Polda Metro Jaya dan perbedaan Job Burnout anggota Sat.Gatur

14

ditinjau dari usia dan lama bekerja. Sampel dan tempat penelitian yang

digunakan dalam penelitian inilah yang membedakan penelitian ini dengan

penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian ini menjadikan ketertarikan

penulis karena sepengetahuan penulis bahwa tugas polisi tidaklah ringan,

sehingga potensi job burnout sangatlah tinggi yang kemudian

memengaruhi kualitas layanannya kepada masyarakat, oleh karena itu,

perlu dilakukan upaya-upaya untuk meminimalisir tingkat job burnout

pada anggota polisi. Kualitas layanan kepada masyarakat yang buruk akan

menggangu pencapaian Grand Strategy Polri tahap ketiga 2016-2025

(Siregar, Bhakti, Samego, Yanuarti, dan Haripin, 2015), yaitu Strive for

Excellent, terutama terkait isu membangun kemampuan pelayanan publik

yang unggul, mewujudkan good government, best practice Polri,

profesionalisme sumber daya manusia. Oleh karena itu, penulis hendak

melakukan penelitian dengan judul Locus of Control Eksternal dan Work-

life Balance sebagai prediktor Job Burnout pada Anggota Polri Fungsi

Lalu lintas Sat.Gatur Ditlantas Polda Metro Jaya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah Locus of Control Eksternal dan Work-life Balance, secara

simultan atau parsial menjadi prediktor Job Burnout pada Anggota

Polri Fungsi Lalu lintas Sat.Gatur Ditlantas Polda Metro Jaya?

2. Apakah ada perbedaan Job Burnout ditinjau dari usia Anggota Polri

Fungsi Lalu lintas Sat.Gatur Ditlantas Polda Metro Jaya?

3. Apakah ada perbedaan Job Burnout ditinjau dari lama bekerja

Anggota Polri Fungsi Lalu lintas Sat.Gatur Ditlantas Polda Metro

Jaya?

15

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian

ini adalah:

1. Menentukan pengaruh Locus of Control Eksternal dan Work-life

Balance, secara simultan atau parsial terhadap Job Burnout pada

Anggota Polri Fungsi Lalu lintas Sat.Gatur Ditlantas Polda Metro

Jaya.

2. Menentukan perbedaan Job Burnout ditinjau dari usia Anggota Polri

Fungsi Lalu lintas Sat.Gatur Ditlantas Polda Metro Jaya

3. Menentukan perbedaan Job Burnout ditinjau dari lama kerja Anggota

Polri Fungsi Lalu lintas Sat.Gatur Ditlantas Polda Metro Jaya

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu

sebagai berikut:

1. Secara Teoritis,

Penelitian ini dapat menambah informasi bukti empiris dalam ilmu

psikologi terutama dalam Job Burnout, Locus of Control Eksternal

dan Work-life Balance anggota Polri fungsi Lalu-lintas sehingga dapat

digunakan sebagai rekomendasi bagi penelitian sejenis yang akan

dilakukan di masa yang akan datang. Penelitian ini juga diharapkan

dapat melihat relevansi antara teori dan kenyataan saat ini.

2. Secara Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi instansi sebagai

bahan pertimbangan dalam pengelolaan sumber daya manusia

berdasarkan data yang diperoleh mengenai adanya locus of

control eksternal dan melalui kebijakan yang dapat mendukung

terciptanya work-life balance untuk meminimalisasi job burnout.

b. Dapat bermanfaat bagi penelitian selanjutnya sebagai bahan

acuan dalam penggalian informasi lebih dalam lagi berupa

wawancara untuk mengetahui fenomena terkait ciri-ciri umum

16

gejala burnout anggota unit lalu lintas, karena masih banyak lagi

yang dapat digali lagi misalnya seperti kelelahan fisiknya secara

spesifik.

1.5 Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh pembahasan yang sistematis, penulis menyusun

tulisan menjadi beberapa bab antara lain:

1. Bab I, dalam bab ini diuraikan tentang Pendahuluan yang membahas

tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

2. Bab II, dalam bab ini penulis menguraikan tentang Tinjauan Pustaka

yang terdiri dari masing-masing peubah, teori-teori terkait dengan

permasalahan penelitian, yaitu teori locus of control eksternal, teori

work-life balance, teori job burnout, teori usia, dimensi-dimensi,

aspek-aspek, faktor-faktor, hasil penelitian sebelumnya, landasan

teori, model penelitian dan hipotesis penelitian.

3. Bab III, dalam bab ini menguraikan tentang Metode Penelitian yang

terdiri dari peubah penelitian, definisi operasional, populasi, sampel,

dan teknik sampling, kemudian aspek dan indikator sehingga dapat

dikembangkan skala penelitian yang dibangun dari teori yang

digunakan, validitas dan reliabilitas alat ukur, serta teknik analisa

data.

4. Bab IV, dalam bab ini penulis menguraikan Hasil dan Pembahasan,

yang terdiri dari deskripsi tempat penelitian, hasil seleksi aitem dan

reliabilitas, deskripsi hasil pengukuran peubah penelitian, hasil uji

asumsi klasik, hasil uji hipotesis dan pembahasan.

5. Bab V, dalam bab ini penulis menguraikan tentang Kesimpulan dan

Saran yang terdiri dari kesimpulan penelitian, saran kepada instansi

yang terkait dalam penelitian ini, dan rekomendasi untuk penelitian

selanjutnya.