31
BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Tinjauan Pustaka Haryanti, Sri, dkk (2010) melakukan penelitian tentang pengaruh karateristik hujan terhadap gerakan lereng di saluran induk Kalibawang, Kulon Progo, Yogyakarta. Sudut kemiringan lereng antara 30 ᵒ - 45ᵒ. Dalam penelitian tersebut digunakan dua buah software yaitu Seep/W dan Sigma/W. Penelitian ini membuat 6 permodelan hujan dengan berbagai kondisi. Hasil penelitian menunjukkan gerakan atau deformasi lereng oleh hujan deras durasi pendek (Model Hujan II) sangat kecil, sehingga bisa dikatakan hujan deras durasi pendek tidak berpengaruh pada gerakan atau deformasi lereng. Karakteristik hujan yang paling berpengaruh pada lereng adalah hujan normal 20 mm yang terjadi selama 61 hari (model hujan IV), yang menyebabkan gerakan atau deformasi lereng terbesar,yaitu sebesar 1,01 m pada hari ke-43. Zain, Andika ,dkk (2012), melakukan analisa stabilitas lereng dengan memvariasikan kedalaman muka air tanah. Sampel tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah undisturb yang diambil dari lereng Desa Kemuning, 4

BAB 2.2 Dasar Teori

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Bab 2 dasar teori yang disusun

Citation preview

Page 1: BAB 2.2 Dasar Teori

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1. Tinjauan Pustaka

Haryanti, Sri, dkk (2010) melakukan penelitian tentang pengaruh karateristik

hujan terhadap gerakan lereng di saluran induk Kalibawang, Kulon Progo,

Yogyakarta. Sudut kemiringan lereng antara 30 ᵒ - 45ᵒ. Dalam penelitian

tersebut digunakan dua buah software yaitu Seep/W dan Sigma/W. Penelitian

ini membuat 6 permodelan hujan dengan berbagai kondisi. Hasil penelitian

menunjukkan gerakan atau deformasi lereng oleh hujan deras durasi pendek

(Model Hujan II) sangat kecil, sehingga bisa dikatakan hujan deras durasi

pendek tidak berpengaruh pada gerakan atau deformasi lereng. Karakteristik

hujan yang paling berpengaruh pada lereng adalah hujan normal 20 mm yang

terjadi selama 61 hari (model hujan IV), yang menyebabkan gerakan atau

deformasi lereng terbesar,yaitu sebesar 1,01 m pada hari ke-43.

Zain, Andika ,dkk (2012), melakukan analisa stabilitas lereng dengan

memvariasikan kedalaman muka air tanah. Sampel tanah yang digunakan dalam

penelitian ini adalah tanah undisturb yang diambil dari lereng Desa Kemuning,

Kabupaten Jember. Dalam penelitian ini juga dilakukan pembasahan. Proses

pembasahan (wetting) adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan kadar air

di dalam pori pori suatu massa tanah. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui perubahan kadar air akibat pembasahan terhadap parameter fisik yaitu

kadar air (w), angka pori (e), derajat kejenuhan (Sr), tegangan air pori negatif

(suction) dan tegangan geser (c) pada tanah dan untuk mengetahui pengaruh

pembasahan terhadap nilai SF lereng. Permodelan kelongsoran dilakukan dengan

bantuan program Slope/W . Dari penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa

dari proses pembasahan benda uji dilaboratorium diketahui bahwa parameter

kadar air ( wc ), angka pori (e), dan derajat kejenuhan (Sr) nilainya cenderung

meningkat . Sedangkan untuk parameter tegangan air pori negatif (suction),

4

Page 2: BAB 2.2 Dasar Teori

5

tegangan kuat geser tanah (c), dan sudut geser dalam (φ) nilainya cenderung

menurun setelah dilakukannya proses pembasahan.

Widayatno, Janu (2014) melakukan penelitian pengaruh hujan 2 hari berurutan

terhadap nilai SF lereng di DAS Tirtomoyo ,Wonogiri. Hujan 2 hari berurutan

yaitu hujan yang terjadi pada dua hari berturut-turut meskipun dengan durasi

singkat. Lokasi penelitian terletak di Desa Pagah, Hargantoro, Wonogiri. Dari

lokasi penelitian diambil sampel tanah untuk mengetahui jenis tanah dan nilai

parameter tanah (γ, φ, dan c). Stabilitas lereng dimodelkan dengan variasi

kemiringan 30°, 45°, dan 60° menggunakan metode elemen hingga. Metode SCS

CN digunakan untuk mengubah hujan menjadi beban lereng dengan menghitung

infiltrasi yang terjadi sesuai tutupan lahan. Data hujan yang digunakan antara

tahun 2007 sampai 2011 dengan menganalisis infiltrasi setiap bulan pada bulan

November sampai dengan April. Hasil analisis menunjukkan nilai infiltrasi

terbesar terjadi pada bulan Desember dan menyebabkan penurunan nilai SF dari

2,7 menjadi 2,69 pada kemiringan 30°, 1,64 menjadi 1,63 pada kemiringan 45°,

dan 1,25 menjadi 1,22 pada kemiringan 60°.

Pratiwi, Heny (2014) melakukan penelitian untuk menganalisis potensi longsor di

Desa Sumbersari Das Tirtomoyo Wonogiri akibat curah hujan bulanan maksimum

Data hujan yang dihitung sebagai beban pada lereng diamati pada bulan basah

selama periode lima tahun yaitu tahun 2007 sampai dengan tahun 2011. Analisis

Stabilitas Lereng menggunakan Metode Fellenius. Hasil analisa stabilitas lereng

tanpa beban hujan pada kemiringan lereng 30◦, 45◦, dan 60◦ berturut-turut 1,39,

1,01 dan 0,72. Hasil analisa stabilitas lereng pada kondisi tidak ada hujan

menunjukan bahwa lereng pada kemiringan 45◦ dan lereng pada kemiringan 60◦

sudah longsor dengan nilai SF <1.07 Hasil analisa stabilitas lereng pada kondisi

tidak ada hujan menunjukan bahwa nilai SF mengalami penurunan stabilitas

lereng untuk kemiringan yang curam. Hasil analisa stabilitas lereng pada kondisi

hujan menunjukan bahwa lereng dengan kemiringan 30◦ berada dalam kondisi

kritis dengan nilai SF < 1,07 akibat intensitas hujan bulanan > 250 mm/bulan.

Page 3: BAB 2.2 Dasar Teori

6

Hutomo (2014) melakukan penelitian untuk menganalisis potensi longsor di Desa

Sumbersari Das Tirtomoyo Wonogiri akibat curah hujan 2 harian berurutan. Data

hujan yang dihitung sebagai beban lereng diamati pada bulan basah yaitu hujan 2

harian yang terjadi pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Nopember, dan

Desember selama periode lima tahun antara 2007 – 2011. Tanah pada lokasi

penelitian adalah pasir berbutir halus. Stabilitas lereng dihitung menggunakan

metode Fellenius dengan variasi kemiringan yaitu 30°, 45°, dan 60°. Metode CN

(SCS) digunakan untuk menghitung kapasitas infiltrasi air hujan yang terjadi

sesuai tata guna lahan dan luasan masing-masing tata guna lahan tersebut. Tata

guna lahan menggunakan dua kondisi yang berbeda yaitu kondisi tutupan lahan

eksisting (Hutan 66,98%, Tegalan 20,51%, dan Rumput 12,51%) dan kondisi

tutupan lahan hutan (Hutan 100%). Hasil analisis menunjukkan bahwa lereng

dengan kemiringan 30° pada dua kondisi tutupan lahan di semua bulan

pengamatan mempunyai nilai SF di atas SF kritis (1,07). Lereng dengan

kemiringan 45° di bulan Maret tahun 2008 dan Maret tahun 2011 pada kondisi

tutupan lahan eksisting mempunyai nilai SF di bawah SF kritis sedangkan pada

kondisi tutupan lahan hutan mempunyai nilai SF di atas SF kritis. Lereng dengan

kemiringan 60° semua bulan pengamatan mempunyai nilai SF di bawah SF kritis.

Jika dibandingkan nilai SF sebelum terjadi hujan maka pada kondisi tutupan lahan

hutan cenderung mengalami penurunan nilai SF yang lebih kecil daripada kondisi

tutupan lahan eksisting

Page 4: BAB 2.2 Dasar Teori

Tabel 2.1 Variasi penelitian analisa stabilitas lereng

Nama Judul Penelitian Lokasi Penelitian Metode Analisis Beban Lereng

Sri Haryanti, dkkAnalisis Pengaruh Karateristik Hujan Terhadap Gerakan Lereng

Saluran Induk Kalibawang, Kulon Progo, Yogyakarta

Metode MorgernsternDistribusi Hujan Periode Ulang 2 tahunan

Andika Zain N, dkk

Analisa Kestabilan Lereng Akibat Variasi Tinggi Muka Air Tanah (Lokasi desa Kemuning Kabupaten Jember, Jawa Timur)

Desa Kemuning, Kabupaten Jember, Jawa Timur

Metode MorgernsternPembasahan di Laboratorium

Janu Widayatno

Analisis Stabilitas Lereng di DAS Tirtomoyo Wonogiri Akibat Hujan Dua Hari Berurutan (Studi Kasus Desa Pagah, Hargantoro, Wonogiri)

Dusun Pagah, Hargantoro, Tirtomoyo, Wonogiri

Metode MorgernsternHujan Dua Hari Berurutan

Heny Pratiwi

Analisa Stabilitas Lereng Akibat Curah Hujan Bulanan Dengan Metode Fellenius di desa Sumbersari DAS Tirtomoyo Wonogiri

Desa Sumbersari, Tirtomoyo, Wonogiri

Metode Fellenius Hujan Bulanan

Hawin WidyoPengaruh Hujan 2 Harian Terhadap Stabilitas Lereng Di DAS Tirtomoyo Wonogiri

Desa Sumbersari, Tirtomoyo, Wonogiri

Metode FelleniusHujan Dua Hari Berurutan

Febrian Rizal Trisatya

Analisa Stabilitas Lereng di DAS Tirtomoyo Wonogiri dengan Metode Simplified Bishop Akibat Hujan Periode Ulang

Dusun Simpangan, Hargantoro, Tirtomoyo, Wonogiri

Metode Simplified Bishop

Hujan Periode Ulang

7

Page 5: BAB 2.2 Dasar Teori

8

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Tanah

Tanah adalah himpunan mineral, bahan organik, dan endapan-endapan yang

relatif lepas terletak di atas batuan dasar. Istilah pasir, lempung, lanau atau lumpur

digunakan untuk menggambarkan ukuran partikel pada batas ukuran butiran yang

telah ditentukan. Kebanyakan jenis tanah terdiri dari banyak campuran, atau lebih

dari satu macam ukuran partikel. Tanah lempung belum tentu terdiri dari partikel

lempung saja, akan tetapi dapat bercampur dengan butir-butiran lanau maupun

pasir. (Hardiyatmo, 2010).

Kuat geser tanah adalah kemampuan tanah melawan tegangan geser yang terjadi

pada saat terbebani. Keruntuhan geser tanah terjadi bukan disebabkan karena

hancurnya butir-butir tanah tersebut tetapi karena adanya gerak relatif antara

butir-butir tanah tersebut. Pada peristiwa kelongsoran suatu lereng berarti telah

terjadi pergeseran dalam butir-butir tanah tersebut. Kekuatan geser yang dimiliki

oleh suatu tanah disebabkan oleh :

Pada tanah berbutir halus (kohesif) misalnya lempung kekuatan geser yang

dimiliki tanah disebabkan karena adanya kohesi atau lekatan antar butir-butir

tanah (c soil).

Pada tanah berbutir kasar (non kohesif), kekuatan geser disebabkan karena

adanya gesekan antara butir-butir tanah sehingga sering disebut sudut gesek

dalam (φ soil).

Pada tanah yang merupakan campuran antara tanah halus dan kasar (c dan φ

soil), kekuatan geser disebabkan karena adanya lekatan (karena kohesi) dan

gesekan antara butir-butir tanah (karena φ).

Berat isi tanah (γ) diperlukan untuk perhitungan beban pada analisis stabilitas

lereng. Curah hujan akan merubah berat isi dari lapisan tanah pada lereng.

Perubahan tersebut cenderung menambah beban untuk lereng. Berat isi dibedakan

menjadi berat isi asli, berat isi jenuh, dan berat isi terendam air yang masing-

masing penggunaannya bergantung pada kondisi lapangan.

Page 6: BAB 2.2 Dasar Teori

9

2.2.2. Pengertian Longsoran

Lereng merupakan suatu bentuk bentang alam yang memiliki kemiringan tertentu

terhadap bidang horisontal. Lereng dapat terjadi secara alamiah atau dibentuk oleh

manusia dengan tujuan tertentu. Jika permukaan membentuk suatu kemiringan

maka komponen massa tanah di atas bidang gelincir cenderung akan bergerak ke

arah bawah akibat gravitasi. Jika komponen gaya berat yang terjadi cukup besar,

dapat mengakibatkan longsor pada lereng tersebut. Kondisi ini dapat dicegah jika

gaya dorong (driving force) tidak melampaui gaya perlawanan yang berasal dari

kekuatan geser tanah sepanjang bidang longsor seperti yang diperlihatkan pada

Gambar 2.1.

(Sumber :Hardiyatmo, 2010)

Gambar 2.1 Kelongsoran Lereng

Bidang gelincir dapat terbentuk dimana saja di daerah-daerah yang lemah. Jika

longsor terjadi dimana permukaan bidang gelincir memotong lereng pada dasar

atau di atas ujung dasar dinamakan longsor lereng (slope failure) seperti yang

diperlihatkan pada Gambar 2.2a. Lengkung kelongsoran disebut sebagai lingkaran

ujung dasar (toe circle), jika bidang gelincir tadi melalui ujung dasar maka disebut

lingkaran lereng (slope circle). Pada kondisi tertentu terjadi kelongsoran dangkal

(shallow slope failure) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.2b. Jika longsor

terjadi dimana permukaan bidang gelincir berada agak jauh di bawah ujung dasar

dinamakan longsor dasar (base failure) seperti pada Gambar 2.2c. Lengkung

kelongsorannya dinamakan lingkaran titik tengah (midpoint circle) (Braja M. Das,

2002). Proses menghitung dan membandingkan tegangan geser yang terbentuk

keadaan tanah

setelah longsor

bidang gelincir

Page 7: BAB 2.2 Dasar Teori

10

sepanjang permukaan longsor yang paling mungkin dengan kekuatan geser dari

tanah yang bersangkutan dinamakan dengan Analisis Stabilitas Lereng (Slope

Stability Analysis).

2.2.3. Mekanisme Longsoran

Mekanisme suatu longsoran sangat sulit diprediksi waktu dan penyebab terjadinya

sehingga keadaan suatu lereng yang dianggap stabil juga tidak dapat dinyatakan

aman dari longsor. Mekanisme terjadinya longsor baru dapat diketahui pasca

terjadinya longoran dengan meneliti penyebab-penyebabnya.

Menurut Hardiyatno (2010) dalam Mekanika Tanah II, stabilitas lereng

dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut :

a. Gaya-gaya yang menggerakkan, contohnya berat sistem tanah

b. Gaya rembesan dalam lereng

c. Kemiringan dari bidang longsor

d. Kuat geser pada bidang longsor

e. Pengurangan kuat geser pada bidang longsor oleh tekanan hidrostatik

Pada penelitian ini, faktor faktor yang akan dianalisa adalah gaya-gaya yang

menggerakan, kuat geser dan kemiringan dari bidang longsor.

2.2.4. Analisis Stabilitas Lereng

Suatu lereng dikatakan stabil jika lereng tersebut tidak mengalami pergerakan dan

tidak berpotensi mengalami pergerakan. Kondisi tersebut dapat tercapai jika

besarnya komponen gaya penahan pada lereng lebih besar dibanding komponen

gaya penggerak lereng (Hardiyatmo, 2010)

Angka keamanan (SF) didefinisikan sebagai perbandingan antara gaya yang

menahan dan gaya yang menggerakkan .Rumus factor aman bisa dilihat dalam

persamaan 2.1a

SF= ττd

(2.1a)

τ : tahanan geser maksimum yang dapat dikerahkan oleh tanah (kN/m2)

Page 8: BAB 2.2 Dasar Teori

11

τd : tegangan geser yang terjadi akibat gaya berat tanah yang akan longsor

(kN/m2)

Menurut teori Mohr-Coulomb, besarnya kohesi tanah tergantung pada jenis tanah

dan kepadatannya namun tidak tergantung pada tegangan yang bekerja pada

bidang gesernya. Sedangkan gesekan antar butir tanah berbanding lurus dengan

tegangan pada bidang gesernya. Secara umum teori diatas digambarkan pada

Gambar 2.2.

(Sumber :Hardiyatmo, 2010)

Gambar 2.2. Teori Keruntuhan Mohr-Coulomb

Berdasarkan Gambar 2.4, maka tahanan geser (τ) yang dapat dikerahkan oleh

tanah di sepanjang bidang longsornya, dapat dinyatakan oleh persamaan 2.1b :

τ = c + σ tan φ (2.1b)

Dimana : c = kohesi tanah (kN/m2)

σ = tegangan normal (kN/m2)

φ = sudut gesek dalam tanah (o)

Dengan cara yang sama, dapat dituliskan persamaan tegangan geser yang terjadi

(τd) akibat beban tanah dan beban-beban lain pada bidang longsornya :

τ d=cd +σ tan φd , dengan cd danφ d adalah kohesi dan sudut gesek dalam yang

terjadi atau yang dibutuhkan untuk keseimbangan pada bidang longsornya.

τ = c + σ tan φ

Page 9: BAB 2.2 Dasar Teori

12

Persamaan tersebut juga dapat berlaku pada tegangan geser penahan tanah,

sehingga persamaan SF dapat dilihat pada persamaan 2.2:

SF = c+σ tan φ

cd+σ d tan φd (2.2)

Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas lereng sehingga mendorong

terjadinya pergerakan lereng yaitu topografi, kondisi geologi (litologi dan struktur

geologi), hidrologi, vegetasi, karakteristik tanah/batuan penutup lereng, gempa

bumi dan iklim (Hutchinson, 1984 dalam Bismoseno,2006).

Varnes (1958) dalam Bismoseno (2006) menguraikan faktor-faktor

ketidakstabilan suatu lereng dalam dua kelompok antara lain :

1. Tegangan geser yang meningkat yang disebabkan oleh bertambahnya

beban lereng ( bangunan dan timbunan pada bagian atasnya), hilangnya

dukungan lateral (pemotongan dan penggalian pada kaki lereng),

perubahan muka air yang berbatasan dengan lereng yang berlangsung

cepat (sudden draw down), meningkatkan tegangan lateral (celah-celah

retakan terisi oleh air), dan akibat beban gempa yang terjadi.

2. Terjadinya pengurangan tahanan geser yang disebabkan oleh

meningkatnya tekanan air pori yang mengurangi tegangan efektif

(infiltrasi air hujan ke dalam lereng, tidak terkontrolnya aliran air dalam

drainase, gempa bumi yang menyebabkan tekanan air murni),

pengembangan pada tanah lempung, pelapukan dan degradasi sifat kimia

serta keruntuhan progresif karena melemahnya tegangan geser.

Pemisahan longsoran biasanya dimulai dari titik-titik lemah seperti retakan

pada batuan tua, retakan pada lereng sendiri, atau pada batas antar lapisan tanah,

dan berawal dari gerakan lambat yang semakin cepat sampai pada akhirnya massa

tanah yang longsor terlepas dari asalnya (Krynine, 1957 dalam Bismoseno, 2006)

2.2.5 Metode Bishop yang Disederhanakan (Simplified Bishop Method).

Bila tanah tidak homogen dan aliran rembesan terjadi di dalam tanahnya

memberikan bentuk aliran dan berat volume tanah yang tidak menentu, cara yang

lebih cocok adalah dengan metode irisan (method of slice).

Page 10: BAB 2.2 Dasar Teori

13

Gaya normal yang bekerja pada suatu titik di lingkaran longsor, terutama

dipengaruhi oleh berat tanah di atas titik tersebut. Dengan metode irisan, massa

tanah yang longsor dipecah-pecah menjadi beberapa irisan vertikal. Kemudian,

keseimbangan dari tiap-tiap irisan diperhatikan. Gaya-gaya yang bekerja pada

irisan diperlihatkan pada gambar 2.3.

(a) Detail Potongan Irisan

(b) Gaya yang Berlaku(Sumber : Hardiyatmo ,2010)Gambar 2.3 Detail Potongan Irisan dan Gaya yang Berlaku Menurut Metode

Irisan

Keterangan :

Page 11: BAB 2.2 Dasar Teori

14

X1 dan Xr

E1 dan Er

=

=

Gaya geser efektif di sepanjang sisi irisan

Gaya normal efektif di sepanjang sisi irisan

Ti = Resultan gaya geser efektif yang bekerja di sepanjang dasar irisan

Ni = Resultan gaya normal efektif yang bekerja di sepanjang dasar irisan

U1, Ur = Tekanan air pori yang bekerja di kedua sisi irisan

Ui

R

=

=

Tekanan air pori di dasar irisan

Jari-jari lingkaran bidang longsor

Wi = Berat masa tanah irisan ke-i

Өi = Sudut antara jari-jari lingkaran dengan garis kerja masa tanah

bi = Lebar lapisan

Metode Bishop disederhanakan (Bishop, 1955) menganggap bahwa gaya-gaya

yang bekerja pada sisi irisan mempunyai resultan nol pada arah vertikal.

Persamaan kuat geser dalam tinjauan tegangan efektif yang dapat dikerahkan

tanah, hingga tercapainya kondisi keseimbangan batas dengan memperhatikan

faktor aman sehingga dapat disimpulkan dalam bentuk persamaan 2.3 :

SF=

∑i=1

i=n

[ c' bi +W i (1- ru ) ](1Cos θi (1+tg θi tg φ ' / S F ) )∑i=1

i=n

W i Sin θ i

(2.3)

Keterangan :

SF = Faktor aman

c’ = Kohesi tanah efektif (kN/m2)

φ ' = Sudut gesek dalam tanah efektif (derajat)

bi = Lebar irisan ke-i (m)

Wi = Berat irisan tanah ke-i (kN)

θi = Sudut yang didefinisikan (derajat)

ui = Tekanan air pori pada irisan ke-i (kN/m2)

Page 12: BAB 2.2 Dasar Teori

15

Rasio tekanan air pori (pore water pressure) didefinisikan dalam persamaan 2.4:

r u =u . bW

=uγh

(2.4)

Keterangan :

ru = Rasio tekanan air pori

u = Tekanan air pori (kN/m2)

b = Lebar irisan (m)

γ = Berat volume tanah (kN/m3)

h = Tinggi irisan rata-rata (m)

Untuk mempermudah dalam melakukan perhitungan secara manual, Gambar 2.4

dapat digunakan untuk menentukan nilai dari fungsi Mi, dengan

Mi=cosθi (1+tgθ i tg φ' /SF ) (2.5)

(Sumber :Hardiyatmo, 2010)Gambar 2.4 Diagram untuk Menentukan Mi (Janbu dkk, 1956)

Menurut Bowles (1989) nilai dari faktor keamanan berdasarkan intensitas

kelongsorannya seperti tabel 2.2.

Tabel 2. 2 Hubungan nilai SF dan kejadian longsorNilai SF Intensitas atau Kejadian Longsor

SF <1,07 Longsor biasa terjadi/sering (lereng labil)

Page 13: BAB 2.2 Dasar Teori

16

1,07 < SF < 1,25 Longsor pernah terjadi (lereng kritis)

SF > 1,25 Longsor jarang terjadi (lereng relatif stabil)

(Sumber : Bowles ,1989)

2.2.6. Hujan

2.2.6.1. Perhitungan Curah Hujan Wilayah

Ada beberapa metode yang digunakan untuk menghitung hujan wilayah

diantaranya adalah metode rata-rata aljabar, polygon thiessen, dan ishoyet. Dari

tiga metode tersebut penulis memilih menggunakan metode polygon thiessen

yang dalam aplikasinya sangat sederhana.

2.2.6.2. Metode Thiessen

Metode polygon thiessen lebih akurat dibandingkan dengan metode lainnya

karena setiap bagian wilayah tangkapan hujan diwakili secara proporsional

dengan satu alat penangkap hujan. Penggunaan metode ini sangat sederhana

dimana setiap stasiun hujan dihubungkan menjadi satu garis kemudian ditarik

garis lurus atau ditarik garis berat tiap satu garis penghubung. Sehingga

membentuk luasan tiap stasiun hujan, seperti yang tergambar dalam 2.5 berikut ini

Gambar 2.5 Metode Poligon Thiessen

(Sumber: ttp://komunitas-atlas.blogspot.com/2010/05/curah-hujan-rara-rata.html)

------ = Batas

DAS,

Batas daerah aliranaliran

Page 14: BAB 2.2 Dasar Teori

17

= Batas Poligon,

= Sungai,

= Stasiun Hujan A,B,C,D

Berdasarkan gambar diatas maka untuk encari hujan wilayah dapat diformulasikan

sesuai dengan persamaan 2.6 di bawah ini :

P=A1 . P1+A 2 . P2 +…+ An. Pn

A1 + A2+…+ An(2.6)

(sumber : Suripin, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan)

Keterangan :

P = curah hujan wilayah

P1,P2 = curah hujan di penangkaran pos 1 dan 2

Pn = curah hujan di penangkaran pos –n

A1,A2 = luas areal polygon 1, 2

An = luas areal polygon n

2.2.6.3. Analisis Frekuensi dan Probabilitas

Dalam melakukan analisis hidrologi sering dihadapkan pada kejadian-kejadian

ekstrim seperti banjir dan kekeringan. Tujuan analisis frekuensi data hidrologi

berkaitan dengan besaran peristiwa-peristiwa ekstrim yang berkaitan dengan

frekuensi kejadiannya melalui penerapan distribusi kemungkinan. Data hidrologi

yang dianalisis diasumsikan tidak bergantung (independent), terdistribusi secara

acak, dan bersifat stokastik.

Periode ulang adalah waktu hipotetik dimana hujan dengan suatu besaran tertentu

akan disamai atau dilampaui. Analisis frekuensi ini didasarkan pada sifat statistik

data kejadian yang telah lalu untuk memperoleh probabilitas besaran hujan di

masa yang akan datang dengan anggapan bahwa sifat statistik kejadian hujan di

masa akan datang akan masih sama dengan sifat statistik kejadian hujan masa lalu.

Parameter-parameter statistik Cs (Koefisien Skewness) dan Ck (Koefisien

Kurtosis), dan S (Standar Deviasi) diperlukan untuk menentukan macam analisis

frekuensi yang dipakai

Page 15: BAB 2.2 Dasar Teori

18

Standar Deviasi (S) dihitung dengan persamaan :

S=√∑1=l

n

(( X−X )2 )

n−1

(2.7)

Koefisien kepencengan/skewness (Cs) dihitung dengan persamaan :

Cs =n . Σ(X−X )3

(n−1)(n−2)S4 (2.8)

Koefisien kepuncakan/curtosis (Ck) dihitung dengan persamaan :

Ck = n2 .∑

1=l

n

((X−X )4 )

(n−1 ) (n−2 ) (n−3 ) . S4

(2.9)

dimana :

n = jumlah data

X = rerata data hujan (mm)

S = standar deviasi (standar deviasi)

X = data hujan (mm)

2.2.6.4. Hujan Periode Ulang

Pearson telah mengembangkan banyak model matematik fungsi distribusi untuk

membuat persamaan empiris dari suatu distribusi. Ada 12 tipe distribusi Pearson,

namun hanya distribusi log Pearson III yang banyak digunakan dalam hidrologi,

terutama dalam analisis data maksimum. Bentuk distribusi log Pearson III

merupakan hasil transformasi dari distribusi Pearson III dengan transformasi

variat menjadi nilai log. (Bambang Triatmodjo, 2008). PDF(probability density

function) dari distribusi log pearson III dirumuskan sesuai dengan persamaan

2.10:

Page 16: BAB 2.2 Dasar Teori

19

p ( x )=¿ xγ−1 e−x/ β

βγ T (γ )(2.10)

Dengan β dan γ adalah parameter

Rerata dari distribusi gamma adalah βγ ,varians adalah β2 γ, dan kemencengan

adalah 2/(γ )1/2 . Persamaan CDF(cumulative density function) dirumuskan dalam

persamaan 2.11 :

T ( γ )=∫0

xγ−1 e−x dx (2.11)

Metode Log Pearson III apabila digambarkan pada kertas peluang logaritmik

akan merupakan persamaan garis lurus, sehingga dapat dinyatakan sebagai

model matematik dengan persamaan 2.12 sebagai berikut (Soemarto, 1999) :

Y = + k.S Ӯ (2.12)

di mana :

Y = Nilai logaritmik dari X atau log X

X = Curah hujan (mm)

Ӯ = Rata-rata hitung (lebih baik rata-rata geometrik) nilai Y

S = Deviasi standar nilai Y

K = Karakteristik distribusi peluang Log-Pearson tipe III, seperti ditunjukkan

pada Tabel 2.3.

Distribusi Log Pearson III digunakan apabila parameter statistik Cs dan Ck

mempunyai nilai selain dari parameter statistik untuk distribusi yang lain (normal,

log normal , Gumbel).

Penggunaan metode log Pearson III dilakukan dengan menggunakan langkah-

langkah berikut ini:

-Data debit banjir maksimum tahunan disusun dalam tabel.

-Hitung nilai algoritma dari data debit banjir tersebut dengan transformasi

yi = ln xi (2.13)

atau

yi = log xi (2.14)

Page 17: BAB 2.2 Dasar Teori

20

-Hitung nilai rerata Ӯ, deviasi standar sy , koefisien kemencengan Csy dari niai

logaritma yi .

-Dihitung nilai yi. Untuk persamaan berbagai periode ulang yang dikehendaki

dengan menggunakan persamaan

-Hitung debit banjir xr untuk setiap periode ulang dengan menghitung anti-lognya:

xT = arc ln y (2.15)

atau

xT = arc log y (2.16)

Tabel 2.3 Nilai KT untuk Distribusi Pearson III (kemencengan positif)

Tahun 2 5 10 25 50 100 200 1000

Z 50 20 10 4 2 1 0,5 0,1

Cs                

3,0 -0,396 0,420 1,180 2,278 3,152 4,051 4,970 7,150

2,9 -0,390 0,440 1,195 2,270 3,134 4,013 4,909 7,030

2,8 -0,384 0,460 1,210 2,275 3,114 3,973 4,847 6,920

2,7 -0,376 0,479 1,224 2,272 3,093 3,932 4,783 6,790

2,6 -0,368 0,499 1,238 2,267 3,071 3,889 4,718 6,670

2,5 -0,360 0,518 1,250 2,262 3,048 3,845 4,652 6,550

2,4 -0,351 0,537 1,262 2,256 3,023 3,800 4,581 6,420

2,3 -0,341 0,555 1,274 2,248 2,997 3,753 4,515 6,300

2,2 -0,330 0,574 1,284 2,240 2,970 3,705 4,444 6,170

2,1 -0,319 0,592 1,294 2,230 2,912 3,656 4,372 6,040

2,0 -0,307 0,609 1,302 2,219 2,912 3,605 4,298 5,910

1,9 -0,294 0,627 1,310 2,207 2,881 3,553 4,223 5,780

1,8 -0,282 0,643 1,318 2,193 2,848 3,499 4,147 5,640

1,7 -0,268 0,660 1,324 2,179 2,815 3,444 4,069 5,510

1,6 -0,254 0,675 1,329 2,163 2,780 3,388 3,990 5,370

1,5 -0,240 0,690 1,333 2,146 2 .743 3,330 3,910 5,230

1,4 -0,225 0,705 1,337 2,128 2,706 3,271 3,828 5,100

1,3 -0,210 0,719 1,339 2,108 2,666 3,211 3,745 4,960

1,2 -0,195 0,732 1,340 2,087 2,626 3,149 3,661 4,810

1,1 -0,180 0,745 1,341 2,066 2,585 3,087 3,575 4,670

1,0 -0,164 0,758 1,340 2,043 2,542 3,022 3,489 4,530

0,9 -0,148 0,769 1,339 2,018 2,498 2,957 3,401 4,390

Page 18: BAB 2.2 Dasar Teori

21

0,8 -0,132 0,780 1,336 1,993 2,453 2,891 3,312 4,240

0,7 -0,116 0,790 1,333 1,967 2,407 2,824 3,223 4,100

0,6 -0,099 0,800 1,328 1,939 2,359 2,755 3,132 3,960

0,5 -0,083 0,808 1,323 1,910 2,311 2,686 3,041 3,810

0,4 -0,066 0,816 1,317 1,880 2,261 2,615 2,949 3,670

0,3 -0,050 0,824 1,309 1,849 2,211 2,544 2,856 3,520

0,2 -0,033 0,830 1,301 1,818 2,159 2,472 2,763 3,380

0,1 -0,017 0,836 1,292 1,785 2,107 2,400 2,670 3,230

0,0 0,000 0,842 1,282 1,751 2,054 2,326 2,576 3,090(Sumber : Bambang Triatmodjo, 2008)

Tabel 2.4 Nilai KT untuk distribusi Pearson III (kemencengan negatif)

Tahun 2 5 10 25 50 100 200 1000

Z 50 20 10 4 2 1 0,5 0,1

Cs                

0,0 0,000 0,842 1,282 1,751 2,054 2,326 2,576 3,090

-0,1 0,017 0,846 1,270 1,716 2,000 2,252 2,482 2,950

-0,2 0,033 0,850 1,258 1,680 1,954 2,178 2,380 2,810

-0,3 0,050 0,853 1,245 1,643 1,890 2,104 2,294 2,670

-0,4 0,066 0,855 1,231 1,606 1,834 2,029 2,201 2,530

-0,5 0,083 0,856 1,216 1,567 1,777 1,955 2,108 2,400

-0,6 0,099 0,857 1,200 1,528 1,720 1,880 2,016 2,270

-0,7 0,116 0,857 1,183 1,488 1,663 1,806 1,926 2,140

-0,8 0,132 0,856 1,166 1,448 1,606 1,733 1,837 2,020

-0,9 0,148 0,854 1,147 1,407 1,549 1,660 1,749 1,900

-1,0 0,164 0,852 1,128 1,366 1,492 1,588 1,664 1,790

-1,1 0,180 0,848 1,107 1,324 1,435 1,518 1,581 1,680

-1,2 0,195 0,844 1,086 1,282 1,379 1,449 1,501 1,580

-1,3 0,210 0,838 1,064 1,240 1,324 1,383 1,424 1,480

-1,4 0,225 0,832 1,041 1,198 1,270 1,318 1,351 1,390

-1,5 0,240 0,825 1,018 1,157 1,217 1,256 1,282 1,310

-1,6 0,254 0,817 0,994 1,116 1,166 1,197 1,216 1,240

-1,7 0,268 0,808 0,970 1,075 1,116 1,140 1,155 1,170

-1,8 0,282 0,799 0,945 1,035 1,096 1,097 1,097 1,110

-1,9 0,294 0,788 0,920 0,996 1,023 1,037 1,044 1,050

-2,0 0,307 0,777 0,895 0,956 0,980 0,990 0,995 1,000

-2,1 0,319 0,765 0,869 0,923 0,939 0,946 0,949 0,950

Page 19: BAB 2.2 Dasar Teori

22

-2,2 0,330 0,752 0,844 0,888 0,900 0,905 0,907 0,910

-2,3 0,341 0,739 0,819 0,855 0,864 0,867 0,869 0,870

-2,4 0,351 0,725 0,795 0,823 0,830 0,832 0,833 0,833

-2,5 0,360 0,711 0,771 0,793 0,798 0,799 0,800 0,800

-2,6 0,368 0,696 0,747 0,764 0,768 0,769 0,769 0,770

-2,7 0,376 0,681 0,724 0,738 0,740 0,740 0,741 0,740

-2,8 0,384 0,666 0,702 0,712 0,714 0,714 0,714 0,714

-2,9 0,390 0,651 0,681 0,683 0,689 0,690 0,690 0,690

-3,0 0,396 0,636 0,660 0,666 0,666 0,667 0,667 0,670(Sumber : Bambang Triatmodjo, 2008)

2.2.7. Analisa SCS-CN

Metode CN didasarkan atas hubungan infiltrasi pada setiap jenis tanah dengan

jumlah curah hujan yang jatuh pada setiap kali hujan. Total curah hujan yang

jatuh pada setiap hujan (P) di atas tanah dengan potensi maksimal tanah untuk

menahan (retention) air (S) tertentu, akan terbagi menjadi tiga komponen; Air

larian (Q), Infiltrasi (F) dan Abtraksi awal (Initial Abstraction: Ia),sehingga

dirumuskan dalam persamaan 2.17:

Q = (P - Ia)2/(P – Ia) + S

(2.17)

Menurut hasil pengalaman empiris di banyak tempat (di AS) diperoleh:

Ia = 0,2 S

(2.18)

Dan dari hubungan di atas maka nilai Q bisa diperoleh dari input P berdasarkan persamaan 2.19:

Q = (P – 0,2S)2/(P + 0,8S)

(2.19)

Q dan P dapat diketahui dari hasil pengukuran, sedangkan S dan Ia merupakan

parameter yang tidak diketahui. Penetapan nilai S dilakukan dengan melalui nilai

runoff Curve Number (CN) dirumuskan dalam persamaan 2.20 :

Page 20: BAB 2.2 Dasar Teori

23

S = (25400/CN) – 254 S dalam satuan mm

(2.20)

CN adalah indeks yang mencerminkan kombinasi faktor-faktor

hidrologis tanah yang merupakan fungsi dari tiga faktor : jenis

(tekstur) tanah, tutupan lahan, dan kelembapan tanah awal.

SCS membagi tanah menjadi empat kelas (A, B, C, dan D) seperti

diperlihatkan pada tabel 2.5. Pembagian tutupan lahan menjadi

21 kelas dan pembagian kelembapan tanah awal (antecedent

moisture classes: AMC) menjadi tiga kelas diperlihatkan pada

tabel 2.6. Nilai CN berada pada kisaran antara 0 sampai 100.

Apabila P dan Q sudah diketahui maka berarti S juga sudah diketahui sehingga Ia

dan F dapat dihitung. Sehingga dapat dirumuskan dalam persamaan 2.21:

F = (P-Ia)-Q

(2.21)

Maka kita akan dapat mengetahui nilai infiltrasi yang terjadi pada sebuah area

dengan tutupan lahan tertentu.

Tabel 2.5 Pengelompokan Tanah Hidrologi

Jenis Tanah Tingkat Perembesan Kelompok

Pasiran dalam Tinggi A

Pasiran dangkal dan tekstur Sedang B

Tekstur menengah/berat dan dangkal Rendah C

Lempung atau lapisan keras di bawah permukaan tanah

Sangat Rendah D

(sumber : Engineering Handbook dalam Analisis Bendung Brangkal )

Tabel 2.6 Modifikasi Angka-angka Kurve Limpasan untuk Jawa (AMC II)

Tata Guna Tanah dan PerlakuannyaKondisi

Hidrologi

Kelompok Tanah

Hidrologi

B C D

Page 21: BAB 2.2 Dasar Teori

24

TegalanTanaman yang ditanam sejajar, seperti : jagung, tebu, singkong, dan berkontur berteras-teras

JelekBagus

7471

8078

8281

Tanaman berbiji kecil seperti : padi gogo, berkontur dan berteras-teras

JelekBagus

7270

7978

8281

Padang rumput, berkontur JelekSedangBagus

675935

817570

888379

DAERAH PEGUNUNGANPadang rumput

Hutan

JelekSedangBagus

JelekSedangBagus

796961

666055

867974

777370

898480

837977

KAMPUNG/PEKARANGANKOTA

JelekSangat-Jelek

6682

7787

8389

(sumber : Engineering Handbook dalam Analisis Bendung Brangkal )