Upload
doandung
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Duodenum
2.1.1 Anatomi Duodenum
Duodenum merupakan salah satu dari tiga bagian utama pada usus halus
dan berbentuk seperti huruf C yang menghubungkan lambung dengan bagian
lain dari usus halus. Secara anatomis, duodenum terletak pada regio epigastrika
dan umbilikalis (Corwin, 2009).
Duodenum dibagi dalam empat bagian yang tersusun secara berurutan. Bagian
pertama dari duodenum berasal dari pylorus lambung lalu berjalan ke atas
dan belakang hingga setinggi vertebra lumbalis II, bagian kedua yang berjalan
vertikal ke bawah di depan hilum renale dextrum di sisi kanan vertebra
lumbalis II dan III, bagian ketiga yang berjalan horizontal lalu melintas di depan
columna vertebralis dan berjalan menyusuri sisi bawah kaput pankreatis, dan bagian
keempat yang berjalan ke atas lalu ke kiri hingga mencapai flexura
duodenojejunalis, yang tetap berada pada posisinya karena ditahan oleh
ligamentum Treitz (Snell, 2014).
Struktur mukosa duodenum membentuk kerutan–kerutan yang berbentuk
sirkular, yang disebut plicae circulares. Struktur kerutan ini dijumpai di
seluruh bagian duodenum kecuali di bagian pertama, yang struktur mukosanya
cenderung halus. Pada plicae circulares di dinding pertengahan pada bagian
kedua duodenum, khususnya pada muara ductus choledochus dan ductus
6
pancreaticus, terdapat suatu peninggian kecil yang berbentuk bulat dan disebut
sebagai papilla duodeni major (Snell, 2014).
(Anatomi Klinis Berdasarkan Regio, Snell, 2014)
Gambar 2.1 Bagian – bagian dari Duodenum
Duodenum merupakan bagian paling proksimal, paling lebar, paling pendek, dan
paling sedikit pergerakannya dari bagian usus halus lainnya. Duodenum dibagi menjadi 4
bagian: 1) bulbus duodeni / D1; 2) descenden/ D2; 3) tranversal/ D3; 4) ascending /D4
Sistem vaskularisasi pada duodenum terdiri atas arteri dan vena,
yang membagi duodenum menjadi bagian atas dan bagian bawah. Pada
bagian atas diperdarahai oleh arteri dan vena pancreaticoduodenalis superior,
sedangkan pada bagian bawah diperdarahi oleh arteri dan vena
pancreaticoduodenalis inferior (Pearce, 2010).
Aliran limfe duodenum berjalan bersama-sama dengan vaskularisasinya.
Pembuluh limfe duodenum mengalirkan cairan limfe keatas melalui noduli
lymphatici pancreaticoduodenalis ke noduli lymphatici gastroduodenalis dan
7
kemudian ke noduli lymphatici coeliacus dan ke bawah melalui noduli
lymhaticipancreatico duodenalis ke noduli lymphatici mesentericus superior
sekitar pangkal arteri mesenteri superior (Corwin, 2009).
Persarafan traktus gastrointestinal diinervasi oleh sistem saraf otonom
yang dapat dibedakan menjadi ekstrinsik dan intrinsik (sistem saraf enterik).
Inervasi ekstrinsik dari duodenum adalah parasimpatis yang berasal dari nervus
Vagus dan simpatis yang berasal dari nervus Splanikus pada ganglion celiac.
Inervasi intrinsik dari plexus myenterikus Aurbach’s dan plexus submucosa
Meissner. Sel sel saraf ini menginervasi terget sel seperti sel-sel otot polos, sel-sel
sekretorik dan sel-sel absorbtif, dan juga sel-sel saraf tersebut berhubungan
dengan reseptor-reseptor sensoris dan interdigitatif yang juga menerima inervasi
dari sel-sel saraf lain yang terletak baik didalam maupun di luar plexus, sehingga
pathway dari sistem saraf enterik bisa saja multisinaptik, dan integrasi aktifitasnya
dapat berlangsung menyeluruh bersamaan dengan sistim saraf enterik (Sanusi,
2011).
2.1.2 Histologi Duodenum
Secara histologi, struktur duodenum dengan bagian usus halus
yang lain, yakni jejunum dan ileum memiliki karakteristik yang mirip. Struktur
mukosa dan submukosanya membentuk kerutan–kerutan yang disebut plicae
circulares, dan pada mukosanya sendiri terdapat penonjolan–penonjolan
berbentuk seperti daun yang disebut vili. Vili–vili ini tersusun atas sel absorbtif
atau enterosit, dan sel goblet, yang keseluruhannya tersusun secara kolumnar
(Inamoto et al, 2008). Sel absorbtif memiliki fungsi menyerap molekul nutrisi
yang berasal dari proses pencernaan, sedangkan sel goblet berfungsi untuk
8
menghasilkan musin glikoprotein yang akan melumasi dan melindungi
lapisan usus. Sel goblet ini jarang dijumpai dalam duodenum dan lebih banyak
dijumpai pada bagian usus halus lainnya (Mescher, 2012).
(Junqueira's Basic Histology Text and Atlas, Ed 13)
Gambar 2.2 Lapisan Duodenum
Dinding duodenum terdiri atas empat lapisan konsentris : 1) Lapisan paling luar
yang dilapisi peritoneum, disebut serosa. 2) Lapisan muskuler disebut juga tunika
muskularis yang tersusun atas serabut otot longitudinal (luar) dan sirkuler (dalam).
3)Lapisan selanjutnya yaitu submukosa yang hampir keseluruhan ditempati oleh kelenjar
duodenal tubuler yang sangat bercabang. 4) Mukosa, yang merupakan lapisan dinding
yang paling dalam.
Vili–vili pada usus halus, diantaranya terdapat suatu muara yang berasal
dari kelenjar tubular, yang disebut kriptus Lieberkuhn. Pada epitel dari kriptus
ini, selain terdiri dari sel absorptif dan sel goblet, juga dijumpai sel Panneth
yang berperan dalam imunitas alami, sel enteroendokrin yang menghasilkan
berbagai peptida yang memiliki berbagai fungsi, dan sel punca (Junqueira, 2013).
Di bawah lapisan epitel duodenum terdapat lamina propria yang terdiri
atas jaringan ikat longgar. Lapisan muscularis mucosae berfungsi dalam
menimbulkan pergerakan–pergerakan pada vili maupun plicae circulares guna
proses pencernaan. Pada lapisan submukosa duodenum terdapat kelenjar Brunner
9
yang menghasilkan produk basa yang dapat menetralkan kimus yang baru
saja masuk dari dalam lambung. Lapisan muskularis terdiri atas lapisan luar yang
sirkular dan lapisan dalam yang longitudinal. Lapisan terluar dari duodenum
adalah lapisan serosa tipis yang disertai dengan mesotel (Tarigan, 2009).
2.1.3 Fisiologi Duodenum
Duodenum melanjutkan proses pencernaan makanan yang telah
dilakukan oleh organ traktus digestivus sebelumnya. Proses pencernaan
selanjutnya oleh duodenum seperti pencernaan karbohidrat, lemak dan protein
menjadi zat yang lebih sederhana oleh bantuan enzim-enzim dari pankreas (Pearce,
2010). Pencernaan lemak juga membutuhkan garam empedu untuk
mengemusilnya, prosesnya terjadi ketika lemak yang bersentuhan mukosa
duodenum menyebabkan kontraksi kandung empedu yang diperantarai oleh kerja
kolesistokinin yang merupakan hasil sekresi dari mukosa duodenum. Di epitel
usus halus juga terdapat enzim penting untuk memecah disakarida maupun
polimer glukosa kecil menjadi monosakarida yaitu laktase, sukrase, maltase dan
alfa dekstrinase (Sherwood, 2012).
Proses selanjutnya yaitu absorbsi zat-zat penting dari makanan yang telah
dicerna sebelumnya. Absorbsi gula, asam amino dan lemak sebagian besar terjadi
di duodenum dan jejunum, begitu pula absorbsi besi dan kalsium yang
membutuhkan vitamin D. Vitamin larut lemak (A, D, E, K) di absorbsi di
duodenum dan dibutuhkan garam-garam empedu dalam prosesnya (Sherwood,
2012).
Efisiensi fungsi absorpsi duodenum ditingkatkan oleh sejumlah struktur
yang meningkatkan permukaan total dari lapisan mukosa. Struktur ini disebut
10
plika sirkularis (valvula koniventes). Plika sirkularis meningkatkan daerah
permukaan absorbsi mukosa menjadi tiga kali lipat. Pada duodenum juga terdapat
kelenjar duodenum (brunner) yang letaknya di submukosa. Kelenjar brunner
menghasilkan mukus yang alkalis untuk melindungi dinding duodenum dari getah
lambung yang sangat asam. Kelenjar ini juga menghasilkan hormon sekretin yang
akan menghambat sekresi HCL gaster dan akan meningkatkan proliferasi epitel
dalam usus halus (Guyton et al, 2013).
2.1.4 Patologi Duodenum
Pada dasarnya sel yang terkena rangsangan patologis yang berupa jejas
akan memberikan reaksi perubahan fungsi atau perubahan struktur sel yaitu
retrogresif, progresif dan adaptatif yang berupa atrofi, hipertrofi, dysplasia dan
metaplasia. Pada gastrointestinal akibat yang ditimbulkan dari jejas tergantung dari
kedalamannya. Reaksinya berupa erosi mukosa yaitu kehilangan sebagian dari
ketebalan mukosa dan ulserasi mukosa yaitu hilangnya seluruh tebal mukosa dan
kadang terjadi defek yang lebih dalam lagi hingga mencapai muskularis propia
(Underwood, 2013).
Adanya stimulus baik eksogen maupun endogen yang menimbulkan jejas
pada sel akan menyebabkan reaksi radang yakni berupa reaksi komplek pada
jaringan yang mempunyai vaskularisasi. Radang pada duodenum disebut
duodenitis. Pada duodenitis terjadi kerusakan permukaan mukosa. Jika terjadi jejas
pada duodenum, maka kelenjar brunner akan berperan dalam penyembuhan akibat
jejas tersebut. Kelenjar brunner menghasilkan Epitel Growth Factor (EGF) yang
tahan terhadap tripsin, kemotripsin dan pepsin. Cara kerja EGF yakni memodulasi
11
sekresi asam lambung dan mempengaruhi kecepatan proliferasi dalam kripte usus
(Huether, 2008).
Manifestasi klinik duodentis berupa nyeri atau rasa tidak nyaman di
epigastrium yg disebut sindrom dyspepsia. Pada gambaran histologis ditemui
gambaran sel radang sampai mukosa lamina propia, desquamasi epitel, erosi,
ulserasi pada mukosa duodenum (Sanusi, 2011).
2.1.5 Vili Duodenum
Vili duodenum merupakan penonjolan dari tunika mukosa duodenum
dengan panjang 0,5 – 1,5 mm. Vili berada khusus untuk penyerapan di usus
karena mereka memiliki dinding tipis, tebal sekitar satu sel, memungkinkan jalur
difusi lebih pendek. Vili memiliki area permukaan besar sehingga akan ada
penyerapan lebih efisien asam lemak dan gliserol ke dalam aliran darah. Vili
memiliki banyak mikrovili yang memproyeksikan dari enterosit dari epitel yang
secara kolektif membentuk perbatasan lurik atau kuas. Setiap mikrovili ini jauh
lebih kecil dari villus tunggal. Vili usus jauh lebih kecil daripada lipatan
melingkar di usus (Junqueira, 2013).
Vili mempunyai fungsi meningkatkan luas permukaan dinding usus
sehingga daerah penyerapan nutrisi cerna (monosakarida dan asam amino)
meningkat. Dengan kata lain, peningkatan luas permukaan (kontak dengan cairan
di lumen) menurun rata-rata jarak yang ditempuh oleh molekul nutrisi, sehingga
efektivitas difusi meningkat (Pearce, 2010).
12
(Junqueira's Basic Histology Text and` Atlas, Ed 13)
Gambar 2.3 Histologi Vili Duodenum
Vili duodenum merupakan penonjolan dari epitel di usus yang memiliki panjang
0,5 -1,5 mm, berfungsi untuk meningkatkan luas permukaan untuk penyerapan nutrisi
sampai 30 kali lipat.
Vili dan mikrovili yang meningkatkan luas permukaan serap usus sekitar
30 kali lipat dan 600 kali lipat, masing-masing memberikan penyerapan nutrisi
yang sangat efisien di lumen. Vili terhubung ke pembuluh darah untuk menjaga
gradien konsentrasi sehingga darah beredar kemudian membawa nutrisi yang
telah diserap. Kapiler vilus mengumpulkan asam amino dan gula sederhana
diambil oleh vili ke dalam aliran darah. Lakteal villus (kapiler getah bening)
mengumpulkan kilomikron, lipoprotein terdiri dari trigliserida, kolesterol dan
protein amphipathic, dan dibawa ke seluruh tubuh melalui cairan getah bening
(Sherwood, 2012).
Tabel 2.1 Perbandingan Vili dan Mikro Vili Manusia dengan Tikus
Indikator Manusia Tikus Perbesaran
Panjang Vili 0,5 – 1,5 mm 320-335 μm 100X
Panjang Mikro Vili 0,14-0,15 mm 1-4 μm 400X
(Junqueira's Basic Histology Text and` Atlas, Ed 13, 2013)
13
2.1.6 Anatomi-Histologi-Fisiologi pada Duodenum Tikus Putih (Rattus
norvegicus) Strain Wistar
Hewan percobaan yang memiliki karakter fisiologis mirip dengan
manusia maupun mamalia lain adalah tikus. Ada dua spesies tikus, yaitu tikus
hitam (Rattus rattus) dan tikus putih (Rattus norvegicus). Spesies yang sering
dipakai sebagai hewan model pada penelitian mengenai mamalia adalah
Rattus norvegicus (Sirois, 2005). Hewan ini dipakai dengan pertimbangan
sebagai berikut
(1) pola makan omnivora seperti manusia
(2) memiliki saluran pencernaan dengan tipe monogastrik seperti
manusia
(3) kebutuhan nutrisi hampir menyamai manusia serta
(4) mudah di cekok dan tidak mengalami muntah karena tikus ini
tidak memiliki kantung empedu (Hofstetter et al, 2005)
Penelitian ini difokuskan pada pengamatan bagian usus halus dari
saluran pencernaan tikus. Usus halus tikus terdiri atas duodenum, jejunum, dan
ileum. Pada bagian mukosa terdapat vili, kripta, dan kelenjar Liberkun. Di
permukaan vili usus halus terdapat sel epitel silindris sebaris, selain itu terdapat
juga sel goblet penghasil mukus dan sel Panet penghasil lisozim. Kripta
bergerak setiap 10-14 jam untuk mengganti sel-sel epitel yang lepas. Waktu
yang dibutuhkan oleh sel epitel untuk berpindah dari kripta hingga mencapai
ujung vili sekitar 48 jam. Jumlah kelenjar Liberkun pada usus halus tikus relatif
konstan, baik pada duodenum, jejunum maupun ileum, sedangkan jumlah
vili menurun dari duodenum sampai ke ileum. Pada bagian submukosa
14
duodenum terdapat kelenjar Brunner yang berfungsi menghasilkan mukus dan
bikarbonat, namun kelenjar ini hanya terdapat pada bagian proksimal dari
duodenum tikus (Hofstetter et al, 2005).
(Sumber: Hofstetter et al, The Rat Laboratory. 2005)
Gambar 2.4 Saluran Pencernaan pada Tikus
Usus halus tikus terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum. Pada bagian
mukosa terdapat vili, kripta, dan kelenjar Liberkun. Permukaan vili usus halus
terdapat sel epitel silindris sebaris, selain itu, terdapat juga sel goblet penghasil mukus
dan sel Panet penghasil lisozim.
2.2 Monosodium Glutamate (MSG)
2.2.1 Definisi MSG
MSG adalah hasil dari purifikasi glutamat atau gabungan dari beberapa
asam amino dengan sejumlah kecil peptida yang dihasilkan dari proses Hydrolized
Vegetable Protein (HVP). Tubuh manusia dapat menghasilkan asam glutamat,
sehingga asam glutamat digolongkon pada asam amino non esensial. Protein
nabati mengandung 40% asam glutamat sedangkan protein hewani mengandung
11-22% asam glutamat (Wakidi, 2012).
15
(Nordic Food Lab, 2015)
Gambar 2.5 Struktur Kimia MSG
MSG memiliki satu karbon asimetrik yaitu karbon empat dari kiri. Karbon
tersebut terikat oleh empat gugus yang saling berbeda sehingga merupakan bentuk isomer
yang aktif
Monosodium glutamat berbentuk tepung kristal berwarna putih yang
mudah larut dalam air dan tidak berbau. Monosodium glutamat mempunyai rumus
kimia dengan persentase unsur pokok yang terkandung dalam MSG diataranya,
glutamat 78,2%, Na 12,2%, H2O 9,6%. (Wakidi, 2012).
2.2.2 Metabolisme MSG
Konsumsi glutamat bebas akan meningkatkan kadar glutamat dalam
plasma darah, selanjutnya glutamat di dalam mukosa usus halus akan diubah
menjadi alanin dan di dalam hati akan diubah menjadi glukosa dan laktat. Kadar
puncak MSG dalam plasma dipengaruhi oleh usia hewan coba, cara pemberian
dan konsentrasi MSG dalam larutan. Pada hewan baru lahir metabolisme asam
glutamat lebih rendah dari pada hewan dewasa. Pemberian MSG secara parenteral
akan memberikan reaksi yang berbeda dengan pemberian MSG per oral karena
pada pemberian secara parenteral, MSG tidak melalui usus. Sedangkan pada
pemberian per oral, MSG akan melalui usus ke sirkulasi portal dan hati. Hati
mempunyai kesanggupan untuk metabolisme asam glutamat ke metabolit lain.
Oleh karena itu, apabila pemberian glutamat melebihi kemampuan kapasitas hati
untuk metabolismenya, maka dapat menyebabkan peningkatan glutamat plasma
(Maidawilis, 2010).
16
Glutamat menjalankan beberapa fungsi penting di dalam proses
metabolisme di dalam tubuh, antara lain :
1) Substansi untuk sintesa protein
Diperkirakan 10-40% glutamat terkandung di dalam protein. L-
glutamic acid merupakan bahan yang penting untuk sintesa protein. Asam
glutamat memiliki karakter fisik dan kimia yang dapat menjadi struktur
sekunder dari protein yang disebut rantai α (Gani et al, 2014).
2) Pasangan transaminasi dengan α-ketoglutarate
L-glutamate disintesa dari ammonia dan α-ketoglutarate dalam suatu
reaksi yang dikatalisir oleh L-glutamate dehydrogenase (siklus asam sitrat).
Reaksi ini penting dalam biosintesa seluruh asam amino. Glutamat yang
diserap ditransaminasikan dengan piruvat dalam bentuk alanin. Alanin dari
hasil transaminasi dari piruvat, oleh asam amino dekarboksilat menghasilkan
α-ketoglutarat atau oksaloasetat. Glutamat yang lolos dari metabolisme
mukosa, dibawa melalui vena portal ke hati. Sebagian glutamat dikonversikan
oleh usus dan hati dalam bentuk glukosa dan laktat, kemudian dialirkan ke
darah perifer (Sukawan, 2008).
3) Prekusor glutamin
Glutamin dibentuk dari glutamat oleh glutamin sintase. Reaksi ini juga
penting dalam metabolisme asam amino. Ammonia akan dikonversikan
menjadi glutamin sebelum masuk ke sirkulasi. Glutamat dan glutamin
merupakan mata rantai karbon dan nitrogen di dalam proses metabolisme
karbohidrat dan protein (Singh dan Ahluwalia, 2012).
17
4) Neurotransmitter
Glutamat adalah transmitter mayor di otak, berfungsi sebagai mediator
untuk menyampaikan transmisi post sipnatik. Selain itu glutamat juga
berfungsi sebagai prekusor dari neurotransmitter Gamma Ammino Butiric Acid
(GABA) (Jinap dan Hajeb, 2010).
2.2.3 Efek MSG terhadap Duodenum
MSG dilaporkan memiliki efek neurotoksik mengakibatkan degenerasi sel
otak (Eweka 2007), degenerasi retina, gangguan endokrin dan beberapa kondisi
patologis seperti kecanduan, stroke, epilepsi, trauma otak, nyeri neuropatik,
skizofrenia, kecemasan, depresi, penyakit Parkinson, Alzheimer, penyakit
Huntington, dan lateral amyotrophic sclerosis (Adrienne, 1999 dalam Eweka,
2007)
1. Stres Oksidatif
Monosodium Glutamat (MSG) dapat menjadi penyebab dari stres oksidatif
seperti lipid peroksidase (LPO); enzim yang menginisiasi radikal bebas seperti
xanthine oxsidase (XOD); enzim pembersih radikal bebas seperti superoksida
dismutase (SOD), katalase (Cat), glutathione (GSH); dan, enzim metabolisme
seperti glutathione peroxidase (GPx), dan glutathione reductase (GR). Hasil
penelitian dari Singh dan Ahluwalia (2012) menyebutkan bahwa terjadi
peningkatan yang signifikan pada LPO dan XOD, sedangkan pada enzim SOD,
Cat, GSH, GPx, dan GR mengalami penurunan yang signifikan sehingga
menyebabkan peningktan radikal bebas.
Singh dan Ahluwalia (2012) mengatakan radikal oksigen mungkin
menyebabkan terbentuknya reaksi berantai dari biomembran yang disebut LPO.
18
Langkah pertama adalah reaksi inisiasi, yang dimulai dengan mengambil atom
hidrogen dari poly-unsaturated fatty acid (PUFA) oleh oksigen radikal.
Xanthine oxsidase (XOD), enzim serbaguna yang didistribusikan secara
luas dari bakteri untuk manusia, terutama sebagai NAD+ yang bergantung pada
xanthine dehidrogenase (XDH), enzim sitoplasma terlibat dalam hidroksilasi
hipoksantin untuk xantin dan oksidasi untuk asam urat dan sumber yang relevan
dari oksidan di pembuluh darah . XDH dapat mengalami proteolisis terbatas atau
oksidasi residu sistein untuk menghasilkan bentuk XOD. XOD mengkatalisis
oksidasi hipoksantin atau xanthine untuk asam urat dan menghasilkan superoksida
radikal (O2.-). H2O2 terbentuk dari O2
.- dan bisa dikonversi menjadi hidroksil
radikal yang sangat reaktif (OH) yang mengarah ke stress oksidatif yang tinggi
sebagai akibat dari oksidasi molekul biologis (Singh dan Ahluwalia, 2012).
Jumlah SOD juga mempengaruhi terjadinya stress oksidatif pada
pembuluh darah. SOD dianggap baris pertama pertahanan terhadap efek merusak
dari radikal oksigen dalam sel, dan mencari radikal oksigen reaktif dengan
mengkatalisis dismutasi O2.- radikal untuk H2O2 dan O2 (Singh dan Ahluwalia,
2012).
Katalase (CAT) melindungi sel-sel dari akumulasi H2O2 oleh dismutating
untuk membentuk H2O dan O2, atau dengan menggunakannya sebagai oksidan, di
mana ia bekerja sebagai peroksidase. Oleh karena itu, penurunan aktivitas CAT
diamati dalam karya ini bisa disebabkan kurang ketersediaan NADH sebagai
lipogenesis MSG (Onyema et al, 2006).
Glutathione (GSH), tripeptida yang dipertahankan dalam mengurangi
kondisi efisien glutation peroksidase/glutathione sistem reduktase. GSH adalah
19
antioksi dan endogen ampuh yang membantu melindungi sel-sel tubuh dari
jumlah rangsangan berbahaya termasuk oksigen berasal dari radikal bebas
(Onyema et al, 2006). Penurunan GSH secara significant akan disertai dengan
peningkatan LPO. GSH ini berhubungan dengan GPx dan GR. GPx mengkatalisis
pengurangan berbagai molekul hidrogen peroksida (ROOH dan H2O2). GPx
bekerja sama dengan GSH di dalam komposisi hidrogen peroxidase atau
hidroperoxidase lainnya, sehingga melindungi sel dari stres oksidatif (Ismail et al,
2012).
Terjadi peningkatan yang signifikan pada LPO dan XOD dan penurunan
pada enzim SOD, CAT, GSH, GPx dan GR yang signifikan menyebabkan
akumulasi glutamat dalam plasma darah sehingga menyebabkan stress oksidatif.
Stress oksidatif ini ditandai dengan peningkatan kadar hiperoksidasi lipid,
peningkatan radikal bebas dan MDA serta penurunan kadar glutathion di hati,
ginjal, otak dan usus (Diniz et al, 2005).
Radikal bebas dapat mengganggu produksi DNA, lapisan lipid pada
dinding sel, mempengaruhi pembuluh darah, produksi prostaglandin, dan protein
lain seperti enzim yang terdapat dalam tubuh. Kondisi stress oksidatif pada
enterosit selanjutnya memicu proses glikosilasi yang nantinya akan mengaktivasi
enzim Alkali Phospate (ALP) usus (Mozes et al, 2000).
2. Alkali Phospate (ALP)
Menurut penelitian Martinkova (2000), ALP merupakan enzim yang
diproduksi terutama oleh epitel hati dan osteoblast (sel-sel pembentuk tulang
baru), enzim ini juga berasal dari usus, tubulus proksimalis ginjal, plasenta dan
kelenjar mamae. ALP disekresi melalui saluran empedu. Meningkat dalam serum
20
apabila ada hambatan pada saluran empedu (kolestasis). Tes ALP terutama
digunakan untuk mengetahui apakah terdapat penyakit hati (hepatobiliar) atau
tulang. Peningkatan ALP di usus akan menurunkan Natrium Bikarbonat
(NaHCO3) yang berfungsi untuk menetralkan keasaman asam lambung yang
masuk ke dalam duodenum agar memiliki PH basa sekitar 8. Penurunan produksi
NaHCO3 akibat peningkatan ALP berakibat zat yang digunakan untuk
menetralkan asam lambung di duodenum berkurang.
3. Peningkatan asam lambung
Peran regulasi zat umami dalam proses pencernaan tidak terbatas pada fase
sefalik cairan pencernaan dan insulin yang tergantung pada eksitasi dari reseptor
rasa di rongga mulut. MSG menjadi satu-satunya asam amino secara teratur
tertelan dalam bentuk bebas, glutamat di sistem pencernaan langsung berinteraksi
dengan reseptor eksokrin dan endokrin sel di mukosa lambung, sel chief dan sel
D, dan jalur saraf. Pada waktu dikonsumsi, glutamat mengaktifkan serabut nervus
vagal aferen yang menyebabkan produksi dan pelepasan nitrat oksida menikat dan
akibatnya serotonin di mukosa sel meningkat. Tanggapan serotonin tersebut
menyebabkan meningkatnya aktivasi reseptor 5-HT3 pada fase sekresi lambung,
dimana dengan teraktivasinya reseptor 5-HT3 menyebabkan chief cell dan sel D
memproduksi pepsinogen dan asam lambung meningkat. Aktivasi nervus vagal
aferen juga mempengaruhi peningkatan motilitas dari lambung sehingga
pengosongan lambung semakin cepat (Raisa et al, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Yoshitaka et al, 2010, menunjukkan
pemberian MSG pada anjing menyebabkan peningkatan sekresi asam lambung
sesuai dengan dosis MSG yang diberikan. Glutamat bebas dapat meningkatkan
21
sekresi asam lambung melalui interaksi langsung dengan reseptor pada sel G dan
sel D mukosa lambung serta melalui aktivasi sistem nervus vagus. Aktivasi nervus
vagus terjadi akibat interaksi antara reseptor 5-HT3 (5-Hidroksitriptamin subtipe
3) dengan serotonin yang dihasilkan melalui metabolism glutamat pada sel
mukosa lambung menyebabkan peningkatan motilitas dari lambung.
4. Regenerasi sel
Braunwald et al (2008), sistem pertahanan dapat dibagi menjadi tiga
tingkatan sawar yang terdiri dari preepitel, epitel, dan subepitel. Pertahanan lini
pertama adalah lapisan mukus bikarbonat, yang berperan sebagai sawar
psikokemikal terhadap beberapa molekul termasuk ion hidrogen. Mukus
dikeluarkan oleh sel epitel permukaan lambung. Mukus tersebut terdiri dari air
(95%) dan pencampuran dari lemak dan glikoprotein (mucin). Fungsi gel mukus
adalah sebagai lapisan yang tidak dapat dilewati air dan menghalangi difusi ion
dan molekul seperti pepsin. Bikarbonat, dikeluarkan sebagai regulasi di bagian sel
epitel dari mukosa lambung dan membentuk gradien derajat keasaman (pH) yang
berkisar dari 1 sampai 2 pada lapisan lumen dan mencapai 6 sampai 7 di
sepanjang lapisan epitel sel.
Lapisan sel epitel berperan sebagai pertahanan lini selanjutnya melalui
beberapa faktor, termasuk produksi mukus, transpoter sel epitel ionik yang
mengatur pH intraselular dan produksi bikarbonat. Jika sawar preepitel dirusak,
sel epitel gaster yang melapisi sisi yang rusak dapat bermigrasi untuk
mengembalikan daerah yang telah dirusak (restitution), proses ini terjadi dimana
pembelahan sel secara independen dan membutuhkan aliran darah yang tidak
terganggu dan suatu pH alkali di lingkungan sekitarnya. Beberapa faktor
22
pertumbuhan EGF, transforming growth factor (TGF) α dan fibroblast growth
factor (FGF), memodulasi proses pemulihan. Kerusakan sel yang lebih besar yang
tidak secara efektif diperbaiki oleh proses perbaikan, tetapi membutuhkan
proliferasi sel. Regenerasi sel epitel diregulasi oleh prostaglandin dan faktor
pertumbuhan seperti EGF dan TGF α. Bersamaan dengan pembaharuan dari sel
epitel, pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis) juga terjadi pada
kerusakan mikrovaskular. Kedua faktor yaitu FGF dan VEGF penting untuk
meregulasi angiogenesis di mukosa lambung (Braunwald et al, 2008).
Sistem mikrovaskular yang luas pada lapisan submukosa lambung adalah
komponen utama dari pertahanan subepitel, yang menyediakan HCO3¯, yang
menetralisir asam yang dikeluarkan oleh sel parietal. Lebih lagi, sistem
mikrosirkulasi menyediakan suplai mikronutrien dan oksigen dan membuang
metabolit toksik. Prostaglandin memainkan peran yang penting dalam hal
pertahanan mukosa lambung. Mukosa lambung mengandung banyak jumlah
prostaglandin yang meregulasikan pengeluaran dari mukosa bikarbonat dan
mukus, menghambat sekresi sel parietal, dan sangat penting dalam mengatur
aliran darah dan perbaikan dari sel epitel (Braunwald et al, 2008).