Upload
anonymous-db09jmvv
View
235
Download
12
Embed Size (px)
Citation preview
ANTI INFLAMASI
1. Tujuan Praktikum
Tujuan dilakukannya praktikum kali ini adalah :
a. Mengenal cara untuk mengevaluasi secara eksperimental efek anti
inflamasi suatu obat.
b. Memahami mekanisme kerja obat antiinflamasi.
2. Landasan Teori
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan
yang disebabkan oleh trauma fisik, Zat kimia yang merusak, atau zat-zat
mikrobiologik. Iflamasi adalah usaha tubuh untuk mengaktivasi tubuh atau .
organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat
perbaikan jaringan. Jika penyembuhan lengkap,proses peradangan biasanya reda.
Namun, kadang kadang inflamasi tidak bisa dicetuskan oleh suatu zat yang
tidak berbahaya seperti tepung sari, atau oleh suatu respon imun, seperti asma atau
artistis rematoid. Pada kasus seperti ini, Reaksi pertahanan tubuh mereka sendiri
mungkin menyebabakan luka-luka jaringan progresif, dan obat-obat anti inflamasi
atau imunosupresi mungkin dipergunakan untuk memodulasi proses peradangan.
Inflamasi dicetuskan oleh pelepasan mediator kimiawi dari jaringan yang rusak
dan migrasi sel. Mediator kimiawi spesifik berpariasi dengan tipe proses
peradangan dan meliputi amin, seperti histamin dan 5- hidroksitritamin , lipid
seperti prostagladin, peptida kecil, seperti bradiki inin dan peptida besar seperti
interleukin 1. Penemuan yang luas diantaranya mediator kimiawi telah
menerangkan paradoks yang tampak bahwa obat-obat anti-inflamasi dapat
mempengaruhi kerja mediator utama yang penting untuk satu tipe inflamasi tetapi
tanpa efek pada proses inflamasi yang penting pada satu tipe inflamasi yang
melibatkan mediator target obat (Mycek, M.J.,2001).
Peradangan dapat didefinisikan sebagai reaksi jaringan terhadap cedera,
yang secara khas terdiri atas respon vascular dan selular, yang bersama-sama
berusaha menghancurkan substansi yang dikenali sebagai asing untuk tubuh.
Jaringan itu kemudian dipulihkan sediakala atau diperbaiki sedemikian rupa agar
jaringan atau organ itu dapat tetap bertahan. (Tamanyong, 2000).
Penyebab-penyebab peradangan banyak dan berfariasi, dan penting untuk
memahami bahwa peradangan dan infeksi tidak sinonim dengan demikian infeksi
(adanya mikroorganisme hidup di dalam jaringan) hanya merupakan salah satu
penyebab peradangan. Perdangan dapat terjadi dengan mudah dalam keadaan
yang benar-benar steril. Karena banyaknya keadaan yang mengakibatkan
peradangan (Price dan Wilson, 2005).
Radang dapat dibagi 3 yaitu :
a. Radang akut
b. Radang sub akut
c. Radang kronik
Gambaran makroskopik peradangan akut, tanda-tanda pokok peradangan
mencakup kemerahan (Rubor), panas (kalor), nyeri (dolor), bengkak (tumor), dan
gangguan fungsi (fungsio laesa).
a. Rubor (kemerahan)
Biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami
peradangan. Sering dengan munculnya reaksi peradangan, arterior yang memasok
darah tersebut berdilatasi sehingga memungkinkan lebih banyak darah mengalir
kedalam mikrosirkulasi darah lokal.
b. Kolor (panas)
Kolor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan pad reaki
peradangan akut. Daerah peradangan dikulit menjadi lebih hangat dibanding
dengan sekelilingnya karena lebih banyak darah (pada suhu 370 C) dialirkan dari
dalam tubuh kepermukaan daerah yang terkena dibandingkan dengan daerah yang
normal.
c. Dolor (nyeri)
Pada suatu nyeri peradangan tampaknya ditimbulkan dalam berbagai cara.
Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang
ujung-ujung saraf. Hal yang sama, pelepasan zat-zat kimia bioaktif lain dapat
merangsang saraf. Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang
menyebabkan peningkatan tekanan lokal yang tidak diragukan lagi dapat
menimbulkan nyeri.
d. Tumor (pembengkakan)
Pembengkakan lokal yang dihasilkan oleh cairan dan sel-sel yang
berpindah dari aliran darah kejaringan intestisial. Campuran cairan dan sel-sel ini
yang tertimbun didaerah peradangan disebit eksudat.
e. Fungsio laesa (perubahan fungsi)
Perubahan fungsi merupakan bagian yang lazim pada reaksi peradangan.
Sepintas mudah dimengerti, bagian yang bengkak, nyeri disertai sirkulasi
abnormal dan lingkungan kimiawi lokal yang abnormal, seharusnya berfugsi
secara abnormal.
Penyebab-penyebab peradangan meliputi agen-agen fisik, kimia, reaksi
imunologik, dan infeksi oleh organism-organisme patogenik. Infeksi tidak sama
dengan peradangan dan infeksi hanya merupakan salah satu penyebab
peradangan. (Price dan Wilson, 2005).
Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian
diikuti oleh radang adalah kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.),
suhu (panas atau dingin), berbagai jenis sinar (sinar X atau sinar ultraviolet),
listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang yang ditimbulkan oleh berbagai
agen ini menunjukkan proses yang mempunyai pokok-pokok yang sama, yaitu
terjadi cedera jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau nekrosis (kematian)
jaringan, pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera dinding kapiler,
terkumpulnya cairan dan sel (cairan plasma, sel darah, dan sel jaringan) pada
tempat radang yang disertai oleh proliferasi sel jaringan makrofag dan fibroblas,
terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya perubahan-perubahan imunologik
(Rukmono, 2000).
Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh
darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan,
kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah
besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang
disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam
jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam
jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk jaringan yang
menimbulkan reaksi ini adalah histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin,
beberapa macam produk reaksi sistem komplemen, produk reaksi sistem
pembekuan darah, dan berbagai substansi hormonal yang disebut limfokin yang
dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi (Guyton, 1997).
Proses inflamasi ini juga dipengaruhi dengan adanya mediator-mediator
yang berperan, di antaranya adalah sebagai berikut (Abrams, 2005) :
o amina vasoaktif: histamin & 5-hidroksi tritophan (5-HT/serotonin).
Keduanya terjadi melalui inaktivasi epinefrin dan norepinefrin
secara bersama-sama
o plasma protease: kinin, sistem komplemen & sistem koagulasi
fibrinolitik, plasmin, lisosomalesterase, kinin, dan fraksi
komplemen
o metabolik asam arakidonat: prostaglandin, leukotrien (LTB4
LTC4, LTD4, LTE4 , 5-HETE (asam 5-hidroksi-eikosatetraenoat)
o produk leukosit – enzim lisosomal dan limfokin
o activating factor dan radikal bebas
Obat antiinflamasi dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok utama, yaitu:
a. Glukokortikoid (golongan steroidal) yaitu antiinflamasi steroid.
Anti inflamasi steroid memiliki efek pada konsentrasi, distribusi dan fungsi
leukosit perifer serta penghambatan aktivitas fosfolipase. Contohnya
golongan predinison.
b. NSAIDs (Non Steroid Anti Inflamasi Drugs ) juga dikenal dengan AINS (Anti
Inflamasi Non Steroid). NSAIDs bekerja dengan menhhambat enzim
siklooksigenase tetapi tidak Lipoksigenase.
Secara kimiawi, obat-obat ini biasanya dibagidalam beberapa kelompok, yaitu :
a. Salisilat : asetosal, benorilat dan diflunisal. Dosis anti radangnya
terletak 2-3 kali lebih tinggi daripada dosis
analgesiknya. Berhubung resiko efek sampingnya,
maka jarang digunakan pada rematik.
b. Asetat : diklofenak, indometasin, dan sulindak (Clinoril).
Indometsin termasuk obat yang terkuat efek anti
radangnya, tetapi lebih sering menyebabkan keluhan
lambung dan usus.
c. Propionat : ibuprofen, ketoprofen, flubirprofen, naproksen dan
tiaprofenat.
d. Oksicam : piroxicam, tenosikam dan meloksikam.
e. Pirazolon : (oksi) fenbutazon dan azapropazon (Prolixan)
f. Lainnya : mefenaminat, nabumeton, benzidamin dan befexamac
(Parfenac). Benzidamin berkhasiat anti radang agak kuat,
tetapi kurang efektif pada gangguan rematik. (Tjay dan
Raharja, 2007).
NSAIDs bekerja dengan cara menghambat enzim siklooksigenase (COX),
dan dengan melakukan hal ini, NSAIDs juga bekerja untuk menurunkan produksi
prostaglandin dan Leukotriena. Prostaglandin COX-1 merangsang fungsi
fisiologis tubuh, seperti produksi mukus lambung yang bersifat protektif dan
maturasi trombosit.
Sebaliknya, lintasan COX-2 diinduksi oleh kerusakan jaringan/ inflamasi,
dan prostaglandin yang dihasilkan merupakan substansi proinflamasi, inhibisi
lintasan COX-2 akan mengurangi respon inflamasi, mengurangi udema dan
meredahkan nyeri.
Obat kortikosteroid anti-inflamasi, seperti kortisol dan prednisone
menghambat pengaktifan fosfolipase A2 dengan menyebabkan sintesis protein
inhibitor yang disebut lipokortin. Lipokortin menghambat aktifitas fosfolipase
sehingga membatasi produksi PG. Preparat steroid juga mengganggu fungsi
limfosit sehingga produksi IL menjadi lebih sedikit. Keadaan ini mengurangi
komunikasi antar limfosit dan proliferasi limfosit. Oleh karena itu, pasien uang
menggunakan steroid dalam jangka pnjang lebih rentang terkena infeksi. (Chang
dan Daly, 2009).
3. Alat dan Bahan
- Alat :
~ Pletysmograf
~ Alat Suntik
- Bahan :
~ Tikus putih
~ Karagen 1%
~ Na-CMC
~ Suspensi Obat Anti Inflamasi
4. Cara Kerja
1. Timbang berat badan Tikus.
2. Dengan spidol berikan tanda batas pada sendi kaki belakang kiri untuk
setiap tikus, agar pemasukkan kaki ke dalam air raksa setiap kali selalu
sama.
3. Ukur volume kaki tikus dan dinyatakan sebagai volum dasar untuk
setiap tikus.
4. Penyuntikkan dimulai untuk obat secara intraperitoneal. Tikus kontrol
hanya diberi larutan gom. Pada menit ke 25 disuntikkan larutan
karagen pada telapak kaki kiri tikus dan untuk semuanya diberikan
volum 0,5 ml.
5. Satu jam kemudian volum kaki yang disuntik karagen diukur pada alat
dan dicatat. Lakukan pengukuran yang sama setiap 30 menit dan 60
menit. Catat perbedaan volum kaki untuk setiap jam pengukuran.
6. Hasil-hasil pengamatan dimuat dalam tabel untuk setiap kelompok.
Tabel harus memuat persentase kenaikan volum kaki setiap jam.
Perhitungan % kenaikan volum kaki dilakukan dengan
membandingkannya terhadap volum dasar sebelum penyuntikkan
karagen.
7. Selanjutnya, untuk setiap kelompok hitung % rata-rata dan
dibandingkan % yang diperoleh kelompok yang diberi obat terhadap
kelompok kontrol. Perhitungan dilakukan untuk setiap pengukuran.
8. Gambarkan grafik variasi % inhibisi udem yang tergantung pada
waktu.
5. Hasil dan Pembahasan
- Hasil :
Kel
.
Dosis BB
(gram)
Vol.
awal
Pengukuran Vol. Udem % Inhibisi
30’ 60’ 30’ 60’ 30’ 60’
1 Asetosal
100mg/KgBB
143 5,05 7,61 ml 7,48 ml 2,56 ml 2,43 ml -80,23 -23,35
2 Asetosal
150mg/KgBB
172 4,77 7 ml 7,12 ml 2,23 ml 2,35 ml -57,04 -19,28
3 Kontrol
Na-CMC 1%BB
154 4,38 5,85 ml 6,35 ml 1,42 ml 1,97 ml - -
4 Na-diklofenak
100mg/KgBB
155 3,80 5,06 ml 5,51 ml 1,26 ml 1,71 ml 11,27 13,2
5 Na- diklofenak
150mg/KgBB
163 3,76 7 ml 6,23 ml 3,24 ml 2,47 ml -12,8 -25,38
Tabel. Hasil Pengamatan
- Perhitungan
Perhitungan volume udem:
30’
- Kelompok1: 7,61 – 5,05 =2, 56
- Kelompok2: 7 – 4,77 = 2,23
- Kelompok3: 5,80 – 4,38 = 1,42
- Kelompok4: 5,06 – 3,80 =1,26
- Kelompok5: 7 – 3,76 = 3,24
60’
- Kelompok1: 7,48 – 5,05 = 2,43
- Kelompok2: 7,12 – 4,77 = 2,35
- Kelompok3: 6,35 – 4,38 = 1,97
- Kelompok4: 5,51 – 3,80 = 1,71
- Kelompok5: 6,23 – 3,76 = 2,47
%inhibisi: volume udem kontrol−v .udem perlakuan
volume udem kontrolx 100 %
%inhibisi 30’
- Kelompok 1: 1, 42−2,56
1,42x 100 %=−80,23 %
- Kelompok 2: 1,42−0,2,23
1,42x 100 %=−57,04 %
- Kelompok4: 1,42−1,26 ,
1,42x 100 %=11,27%
- Kelompok5: 1,42−3,24
1,42x100 %=−1,28 %
%inhibisi 60’
- Kelompok1: 1,97−2,43
1,97x100 %=−23,35 %
- Kelompok2: 1,97−2,35
1,97x100 %=−19,28 %
- Kelompok4: 1,97−1,71
1,97x 100 %=13,2%
- Kelompok5: 1,97−2,47
1,97x100 %=−25,38 %
- Grafik Percobaan
30 60
-90-80-70-60-50-40-30-20-10
0
Grafik Perbandingan antara Waktu dan % asetosal 100mg/KgBB dan 150 mg/KgBB
asetosal 100 mg/KgBB (kel 2 )asetosal 150 mg/KgBB
waktu (menit)
% In
hibi
si
30 60
-160-140-120-100
-80-60-40-20
02040
Grafik Perbandingan antara Waktu dan % Inhibisi Na diklofenat 100 mg/KgBB dan
150 mg/KgBB
100 mg/KgBB150 mg/KgBB
waktu (menit
% in
hibi
si
- Pembahasan :
Percobaan kali ini bertujuan untuk mengevaluasi secara eksperimental efek
anti inflamasi suatu obat dan memahami mekanisme kerja obat anti inflamasi.
Pada percobaan ini digunakan plethysnometer untuk mengukur volume udem
telapak kaki hewan uji Tikus Putih yang bekerja sesuai hukum Archimedes,
dimana volume udem telapak kaki yang di celupkan pada larutan NaCl adalah
sama banyaknya dengan skala yang ditunjukan.
Pada rangkaian modifikasi alat plethysnometer digunakan larutan NaCl
dengan tujuan untuk menghindari berkurangnya volume cairan pada alat tersebut
ketika telapak kaki dicelupkan oleh karena untuk mencegah hal demikian air tidak
digunakan untuk serangkian alat tersebut.
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan diperoleh % rata-rata
penurunan udem untuk Asetosal 100mg/KgBB adalah -80,23 % (pada menit yang
ke 30) dan -23,35% (pada menit yang ke 60), untuk Asetosal 150mg/KgBB adalah
-57,04 % (pada menit yang ke 30) dan -19,28% (pada menit yang ke 60).
Sedangkan, untuk Na. Diklofenak 100mg/KgBB 11,27% (untuk menit yang ke
30) dan 13,2% (pada menit ke 60). Untuk Na-Diklofenak 150mg/KgBB -12,8 %
(pada menit ke 30) dan -25,38% (pada menit ke 60). Disini, Na CMC 1 % b/v
memperlihatkan kenaikan volume udem. Seharusnya, Na-CMC menunjukkan
penurunan volume udem yang paling kecil, hal ini di sebabkan karena Na CMC
1% b/v bukan merupakan obat, melainkan hanya sebagai kontrol negatif.
Hasil yang didapat sangat berbeda dengan literatur, hal ini karena adanya
kesalahan – kesalahan dalam praktikum antara lain :
1. Kesalahan dalam membaca skala
2. Bagian kaki yang tercelup pada saat pengukuran pertama dan selanjutnya tidak
sama
3. Tidak semua obat diberikan
4. Kurang mahir dalam melakukan praktikum
5. Kesalahan dalam pengukuran
6. Kesalahan dalam pemberian dosis obat pada mencit.
7. Mencit yang digunakan tidak dipuasakan
6. Kesimpulan
Dari praktikum ini, dapat diperoleh beberapa kesimpulan, diantaranya
yaitu :
- Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan
yang disebabkan oleh trauma fisik, Zat kimia yang merusak, atau zat-zat
mikrobiologik. Iflamasi adalah usaha tubuh untuk mengaktivasi tubuh atau .
organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat
perbaikan jaringan. Jika penyembuhan lengkap,proses peradangan biasanya
reda.
- Efek yang ditimbulkan akibat pemberian karagenan pada hewan percobaan
adalah terjadinya udem, yang terlihat dari bertambahnya volume kaki tikus
setelah diukur dengan alat pletismometer.
- Mekanisme karagenan dalam menimbulkan inflamasi adalah dengan
merangsang lisisnya sel mast dan melepaskan mediator-mediator radang
yang dapat mengakibatkan vasodilatasi sehingga menimbulkan eksudasi
dinding kapiler dan migrasi fagosit ke daerah radang sehingga terjadi
pembengkakan pada daerah tersebut.
- Inflamasi terjadi karena reaksi antara antigen dengan antibodi yang dapat
merangsang pelepasan mediator radang sehingga terjadi vasodilatasi
pembuluh kapiler dan migrasi fagosit ke daerah radang, yang
mengakibatkan hiperemia dan udem pada daerah terjadinya inflamasi.
7. Jawaban Pertanyaan-Pertanyaan
Pertanyaan :
1. Bahas hasil-hasil yang diperoleh dari segi aktivitas obat anti inflamasi
yang diberikan.
2. Apakah sama mekanisme kerja anti inflamasi asetosal dan
indometasin? Jelaskan.
Jawaban :
1. Telah banyak bukti menunjukkan bahwa prostaglandin juga aktif di dalam
bagian tubuh yang mengalami inflamasi. Oleh karena aspirin menghambat
produksi prostaglandin, inflamasi tubuh juga dikurangi dan pembengkakan dapat
diatasi. Dengan pemakaian di bawah pengawasan dokter, Aspirin® juga dapat
memberikan kemampuan mengurangi inflamasi dan pembengkakan yang
berhubungan dengan cedera, bahkan arthritis sekalipun.
Dosis antiinflamasi rata-rata dapat sampai 4 gram per hari. Untuk anak-anak
50-75 mg/kg/hari. Kadar dalam darah 15-30 mg/dl. Waktu paro 12 jam. Biasanya
dosi terbagi 3 kali/hari, sesudah makan.
Pada dosis yang biasa, efek aspirin yang paling berbahaya adalah gangguan
lambung. Efek ini bisa dikurangi denggan penyanggaan yang sesuai (menelan
aspirin bersamaan dengan makanan diikuti dengan segelas air atau antacid).
Dengan dosisi lebih tinggi , pasien-pasien mungkin mengalami salicylism,
muntah - muntah, tinnitus, pendengaran yang berkurang, dan vertigo yang
reversible dengan mengurangi dosis. Dosis salicylate yeng lebih tinggi
menyebabkan hiperpne melalui efek langsung pada medulla batang otak,
sedangkan dosis salicylate yang lebih rendah alkalosisi respiratorik mungkin
terjadi.
Terkadang juga dapat menyebabkan hepatitis ringan dan penurunan filtrasi
glomeruli. Pada dosisi harian 2 gr atau kurang, akan menaikan kadar asam urat
dalam serum.
2. Asetosal menghambat biosintesis prostaglandin, dengan memblok enzim
siklooksigenase, suatu katalisator reaksi asam arakhidonat ke senyawa
endoperoksid. Pada dosis tinggi, obat ini menurunkan pembentukan prostaglandin
dan tromboksan A2. Aspirin menghambat mendekatnya granulosit dan
menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear dan makrofag ke tempat
inflamasi.
Sedangkan Indometasin menghambat prostagladin dengan cara membentuk
ikatan dengan enzim siklooksigenase sehingga asam arachidonat tidak dapat
berikatan dengan enzim dan prostagladin tidak dapat terbentuk. Kompleks enzim-
indometasin ini sifatnya reversible, artinya, indometasin dapat lepas dari enzim.
Bersifat time dependent karenaketika kompleks enzim-indometzsin bertaha dalam
selang waktu tertentu, dapat terjadi konformasi pada enzim yang akan
menghasilkan ikatan yang lebih kuat dengan indometasin.
Daftar Pustaka
Chan, E dan Daly J. 2009. Patofisiologi : Aplikasi Pada Praktik Keperawatan.
EGC : Jakarta.
Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia, Edisi III. Depkes RI : Jakarta.
Dirjen POM. 2007. Pelayanan Informasi Obat. Depkes : Jakarta.
Price, S. A dan Wilson. 2005. Patofisiologi ; Konsep Klinis Proses-Proses
penyakit. EGC : Jakarta.
Tambayong J. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. EGC : Jakarta.
Tjay. T. H dan Raharja. K. 2007. Obat-Obat Penting. Gramedia : Jakarta.