34
BAB 1 PENDAHULUAN Hipertensi yang sudah ada adalah alasan medis yang paling umum untuk menunda operasi. Hipertensi juga dikenal sebagai faktor risiko kegawatan kardiovaskular, risiko yang meluas selama periode perioperatif. Manajemen perioperatif hipertensi meliputi evaluasi dan kondisi pasien secara optimal pada saat pra operasi, saat pasien berada di bawah agen anestesi selama operasi dan perawatan pasca operasi. Pasien dengan hipertensi cenderung memiliki ketidakstabilan hemodinamik dan lebih sensitif terhadap anestesi dan prosedur operasi, sehingga perlu pengawasan yang lebih ketat terutama untuk mengontrol hemodinamik pasien. 1

Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

  • Upload
    lip

  • View
    291

  • Download
    24

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

BAB 1

PENDAHULUAN

Hipertensi yang sudah ada adalah alasan medis yang paling umum untuk

menunda operasi. Hipertensi juga dikenal sebagai faktor risiko kegawatan

kardiovaskular, risiko yang meluas selama periode perioperatif. Manajemen

perioperatif hipertensi meliputi evaluasi dan kondisi pasien secara optimal pada saat

pra operasi, saat pasien berada di bawah agen anestesi selama operasi  dan perawatan

pasca operasi. Pasien dengan hipertensi cenderung memiliki ketidakstabilan

hemodinamik dan lebih sensitif terhadap anestesi dan prosedur operasi, sehingga

perlu pengawasan yang lebih ketat terutama untuk mengontrol hemodinamik pasien.

1

Page 2: Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

BAB II

ANESTESI PADA PASIEN HIPERTENSI

Diagnosis dan Klasifikasi Hipertensi

Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan adanya

peningkatan tekanan arteri diatas nilai normal yang diperkenankan

berdasarkan umur, jenis kelamin dan ras. Batas atas tekanan darah normal yang

diijinkan adalah sebagai berikut :

Dewasa 140/90 mmHg

Dewasa muda (remaja) 100/75 mmHg

Anak usia prasekolah 85/55 mmHg

Anak < 1 tahun (infant) 70/45 mmHg

M e n u r u t T h e J o i n t N a t i o n a l C o m m i t t e e 7 ( J N C 7 ) o n

p r e v e n t i o n , d e t e c t i o n , evaluation, and treatment of high blood

pressure tahun 2003, klasifikasi hipertensi dibagi atas prehipertensi, hipertensi

derajat 1 dan 2 (lihat tabel 1)

Tabel 1. Klasifikasi hipertensi menurut JNC 7.

2

Page 3: Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

Klas i f i ka s i d i a t a s un tuk dewasa 18 t ahun ke a t a s . Has i l

pengukuran TD dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk posisi dan

waktu pengukuran, emosi, a k t i v i t a s , o b a t y a n g s e d a n g

d i k o n s u m s i d a n t e k n i k p e n g u k u r a n T D . K r i t e r i a ditetapkan

setelah dilakukan 2 atau lebih pengukuran TD dari setiap kunjungan dan adanya

riwayat peningkatan TD darah sebelumnya. Penderita dengan klasifikasi

prehipertensi mempunyai progresivitas yang meningkat untuk menjadi

hipertensi. Nilai rentang TD antara 130-139/80-89 mmHg mempunyai risiko 2 kali

berkembang menjadi hipertensi dibandingkan dengan nilai TD yang lebih rendah dari

nilai itu.

Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau

tekanan  darah diastolik > 90 mmHg .1 Hipertensi yang sudah ada dapat menyebabkan

berbagai tanggapan kardiovaskular yang berpotens i meningkatkan resiko

pembedahan, termasuk disfungsi diastolik dari hipertrofi ventrikel kiri, disfungsi

sistolik menyebabkan gagal jantung kongestif, kerusakan ginjal, dan otak dan

penyakit occlusive koroner. Tingkat risiko tergantung pada tingkat keparahan

hipertensi.2 Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial yang akan

menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup empat hal dasar yang harus dicari,

yaitu jenis pendekatan medikal yang diterapkan dalam terapi hipertensinya, penilaian

ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ yang telah terjadi,  penilaian

yang akurat tentang status volume cairan tubuh penderita dan penentuan kelayakan

penderita untuk dilakukan tindakan teknik hipotensi, untuk prosedur pembedahan

yang memerlukan teknik hipotensi.3 Selama operasi, pasien dengan dan tanpa

hipertensi memiliki  kemungkinan untuk terjadinya peningkatan tekanan darah dan

tachycardia selama induksi anestesi. Prediktor umum hipertensi perioperatif adalah

memiliki riwayat hipertensi sebelumnya, terutama tekanan darah diastolik lebih besar

dari 110 mm Hg.4 Sedangkan prinsip umum dalam pemberian anestesi pada pasien

hipertensi adalah menjaga stabilitas kardiovaskular selama anestesi dan periode

perioperatif. Pasien dengan hipertensi memiliki  resiko perubahan tekanan darah lebih

besar daripada populasi normal dan telah terbukti bahwa ketidakstabilan tekanan

darah dapat dikaitkan dengan morbiditas kardiovaskular dan peningkatan  kematian

pasca operasi, terutama pada pasien dengan hipertensi berat yang  tidak terkontrol.

3

Page 4: Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

Pasien yang memiliki hipertensi, membutuhkan tekanan darah yang lebih tinggi untuk

perfusi organ yang memadai daripada pasien dengan normotensi (terutama  pada

orang tua).  Menghindari hipotensi (dan normotension pada pasien yang biasanya

memiliki angka tekanan darah yang tinggi dalam kesehariannya), dapat mencegah

komplikasi akibat perfusi yang kurang, terutama untuk mengontrol hemodinamik.

Hipertensi pasca operasi yang didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥ 190 mm

Hg dan / atau diastolik 100 mm Hg di dua pembacaan berturut-turut setelah operasi,

mungkin memiliki gejala sisa yang secara signifikan merugikan pada kedua jantung

dan noncardiac pasien. Hipertensi, dan krisis hipertensi, sangat umum  pada periode

pascaoperasi awal dan terkait dengan tonus simpatik yang meningkat dan resistensi

pembuluh darah. Hipertensi pascaoperasi sering dimulai sekitar 10-20 menit setelah

operasi dan dapat berlangsung sampai 4 jam. Jika tidak diobati, pasien akan

meningkatkan risiko untuk pendarahan, peristiwa serebrovaskular, dan infark

miokard.5

Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa

sebaiknya yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya

penundaan anestesia dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD

110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia

atauoperasi kecuali operasi emergensi. Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan

tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring

dengan pe r t ambahan umur , d imana pe rubahan i n i l eb ih d i anggap

s ebaga i pe rubahan f i s i o log ik d iband ingkan pa to log ik . Namun

bebe rapa ah l i menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar

risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler  d iband ingkan

h ipe r t ens i d i a s to l i k . Pendapa t i n i muncu l ka r ena da r i ha s i l s t ud i

m e n u n j u k k a n b a h w a t e r a p i y a n g d i l a k u k a n p a d a

h i p e r t e n s i s i s t o l i k d a p a t menurunkan r i s i ko t e r j ad inya

s t roke dan MCI pada popu l a s i yang be rumur t ua . D a l a m b a n y a k

u j i k l i n i k , t e r a p i a n t i h i p e r t e n s i p a d a p e n d e r i t a h i p e r t e n s i

a k a n menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai

20-25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%.

Menunda operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi

khususnya p a d a p a s i e n d e n g a n k a s u s h i p e r t e n s i y a n g r i n g a n

4

Page 5: Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

s a m p a i s e d a n g . N a m u n pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk

menjaga kestabilan hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai

efek samping yang lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit

hipertensinya itu sendiri.

Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya

kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan

sebelum operasi. The American Hea r t Assoc i a t i on / Amer i can Co l l ege

o f Ca rd io logy (AHA/ACC) menge lua rkan acuan bahwa TD sistole

180 mmHg dan/atau TD diastole 110 mmHg sebaiknya dikontrol s ebe lum

d i l akukan ope ra s i , t e rkecua l i ope ra s i be r s i f a t u rgens i . Pada

keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam

beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi

yang bersifat rapid acting. Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung

mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Pasien

hipertensi preoperatif yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan

baikakan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak

dikontrol dengan baik..

Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah

sama pen t i ngnya dengan pengon t ro l an h ipe r t ens i pada pe r i ode

p r eope ra t i f . Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan

autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini

akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD

diturunkan secara tiba-tiba. Terapi  j a n g k a p a n j a n g d e n g a n o b a t

a n t i h i p e r t e n s i a k a n m e n g g e s e r k e m b a l i k u r v a a u t r e g u l a s i

k e k i r i k e m b a l i k e n o r m a l .

A n e s t e s i a a m a n j i k a d i p e r t a h a n k a n d e n g a n b e r b a g a i

t e k n i k t a p i d e n g a n memperha t i kan ke s t ab i l an hemod inamik

yang k i t a i ng inkan . A n e s t e s i a r e g i o n a l d a p a t dipergunakan

sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anesthesia regional

sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada

pa s i en dengan keadaan h ipovo l emia .

5

Page 6: Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

Hipertensi Intraoperatif

Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga

pada periode anestesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif

yang tidak berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan

antihipertensi secara parenteral, namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa

diatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea

harus disingkirkan terlebih dahulu.

Manajemen Post Operatif

Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien

yang mende r i t a h ipe r t ens i e s ens i a l . H ipe r t ens i dapa t

men ingka tkan kebu tuhan oks igen mioka rd s eh ingga be rpo t ens i

menyebabkan i skemia mioka rd , d i s r i tm ia  jantung dan CHF.

Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan u l ang l uka

ope ra s i ak iba t t e r j ad inya d i s rups i va sku l e r dan dapa t

be rkons t r i bus i m e n y e b a b k a n h e m a t o m a p a d a d a e r a h l u k a

o p e r a s i s e h i n g g a m e n g h a m b a t penyembuhan luka operasi.

Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada banyak faktor, disamping

secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak teratasi dengan

baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, ove r l oad

ca i r an a t au d i s t ens i da r i kandung kemih . Sebe lum d ipu tu skan

un tuk memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut

harus d iko reks i du lu .

Nye r i me rupakan s a l ah s a tu f ak to r yang pa l i ng be rkons t r i bus i

menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri

sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara infuse

kon t i nyu . Apab i l a h ipe r t ens i mas ih ada mesk ipun nye r i sudah

t e r a t a s i , maka i n t e rvens i s eca r a f a rmako log i ha rus s ege ra

d i l akukan dan pe r l u d i i nga t bahwa meskipun pasca operasi TD

kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai riwayat

hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap diberikan.

Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi secara

parenteral misalnya dengan beta blocker yang terutama digunakan untuk

6

Page 7: Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

menga t a s i h ipe r t ens i dan t ak ika rd i a yang t e r j ad i . Apab i l a

penyebabnya ka rena overload cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan

apabila hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya diberikan ACE-

inhibitor. Pasien dengan iskemia m i o k a r d y a n g a k t i f s e c a r a

l a n g s u n g m a u p u n t i d a k l a n g s u n g d a p a t d i b e r i k a n nitrogliserin

dan beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi

beratsebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside. Apabila penderita

sudah bias m a k a n d a n m i n u m s e c a r a o r a l s e b a i k n y a

a n t i h i p e r t e n s i s e c a r a o r a l s e g e r a dimulai.

7

Page 8: Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

BAB III

ANESTESI SPINAL

Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang

subarackhnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal

ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai

analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.

Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kulis

subkutis Lig. Supraspinosum Lig. Interspinosum Lig. Flavum ruang

epidural durameter ruang subarachnoid.

Medulla spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan

serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus venosus).

Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3. Oleh karena itu,

anestesi/analgesi spinal dilakukan ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-

L3 atau L3-L4 atau L4-L5.6

Indikasi anestesi spinal:6

1.  Bedah ekstremitas bawah

2.  Bedah panggul

8

Page 9: Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

3.  Tindakan sekitar rektum perineum

4.  Bedah obstetrik-ginekologi

5.  Bedah urologi

6.  Bedah abdomen bawah

7.  Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan

dengan anesthesia umum ringan

Kontra indikasi absolute: 6

1.  Pasien menolak untuk dilakukan anestesi spinal

2.  Infeksi pada tempat suntikan

3.  Hipovolemia berat, syok

4.  Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan

5.  Tekanan intrakranial meningkat

6.  Fasilitas resusitasi minim

7.  Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.

Kontra indikasi relative: 6

1. Infeksi sistemik

2. Infeksi sekitar tempat suntikan

3. Kelainan neurologis

4. Kelainan psikis

5. Bedah lama

6. Penyakit jantung

7. Hipovolemia ringan

9

Page 10: Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

8. Nyeri punggung kronik

Persiapan analgesia spinal

Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia

umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya

ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan

prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini : 6

1.      Informed consent

Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal

2.      Pemeriksaan fisik

Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung

3.      Pemeriksaan laboratorium anjuran

Hb, Ht, PT (Protrombin Time) , PPT (Partial Tromboplastin Time)

Peralatan analgesia spinal6

1.      Peralatan monitor: tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dll.

2.      Peralatan resusitasi

3.      Jarum spinal

Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing/quinckebacock) atau jarum

spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare)

Page 11: Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

Anastetik lokal untuk analgesia spinal6

Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008. 

Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobarik. Anastetik lokal dengan

berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih

kecil dari CSS disebut hipobarik. Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis

hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis

hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.

Anestetik lokal yang paling sering digunakan: 6

1. Lidokaine(xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis 20-

100mg (2-5ml)

2. Lidokaine(xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.033, sifat

hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)

3. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis 5-

20mg (1-4ml)

4. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat

hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml)

Teknik analgesia spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah

ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa

dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi

berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat. 6

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.

Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang

stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah

teraba. Posisi lain adalah duduk.

Page 12: Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka,

misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko

trauma terhadap medulla spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.

4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml

5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,

25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G

dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit

10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit kearah sefal,

kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum

tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum

(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring

bevel mengarah keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor

yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi

menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit

berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi

aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda

yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar

arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat

dimasukan kateter.

Page 13: Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid

(wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ±

6cm.

Penyebaran anastetik lokal tergantung6

1. Faktor utama:

a. Berat jenis anestetik lokal (barisitas)

b. Posisi pasien

c. Dosis dan volume anestetik lokal

2. Faktor tambahan

a. Ketinggian suntikan

b. Kecepatan suntikan/barbotase

c. Ukuran jarum

d. Keadaan fisik pasien

e. Tekanan intra abdominal

Lama kerja anestetik lokal tergantung:

1.  Jenis anestetia lokal

2.  Besarnya dosis

Page 14: Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

3.  Ada tidaknya vasokonstriktor

4.  Besarnya penyebaran anestetik lokal

Komplikasi tindakan anestesi spinal 6

1. Hipotensi berat

Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan

memberikan infus cairan elektrolit 1000ml atau koloid 500ml sebelum tindakan.

2. Bradikardia

Dapat terjadi tanpa  disertai hipotensi atau hipoksia,terjadi akibat blok sampai

T-2

3. Hipoventilasi

Akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas

4. Trauma pembuluh saraf

5. Trauma saraf

6. Mual-muntah

7. Gangguan pendengaran

8. Blok spinal tinggi atau spinal total

Komplikasi pasca tindakan6

1.  Nyeri tempat suntikan

2.  Nyeri punggung

3.  Nyeri kepala karena kebocoran likuor

4.  Retensio urine

5.  Meningitis

Page 15: Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

BAB IV

HIPOTENSI AKIBAT ANESTESI SPINAL

Hipotensi merupakan salah satu komplikasi akut anestesi spinal yang paling sering

terjadi. Penelitian prospektif yang dilakukan pada lebih dari 1800 pasien yang mendapat

anestesi spinal, 26 % pasien mengalami komplikasi anestesi spinal, mayoritas ( 16 % ) berupa

hipotensi. Carpenter dkk. Mendapatkan insiden hipotensi pada anestesi spinal sebesar 33 %.

Insiden dan derajat hipotensi pada anestesi spinal dipengaruhi oleh beberapa faktor,

diantaranya adalah jenis obat anestesi lokal, tingkat penghambatan sensorik, umur, jenis

kelamin, berat badan, kondisi fisik pasien dan manipulasi operasi.

Patofisiologi hipotensi pada anestesi spinal terutama akibat blok saraf simpatis

preganglionik yang menyebabkan vasodilatasi tidak hanya pada pembuluh darah arteri dan

arteriola, tapi juga pada vena dan venula, sehingga terjadi penurunan tahanan pembuluh darah

perifer. Smith dkk. Menyatakan terjadinya hipotensi pada anestesi spinal akibat turunnya

venous return karena penumpukan darah pada pembuluh darah vena.

Untuk mencegah dan terapi hipotensi akibat anestesi spinal adalah dengan pemberian

infus cairan dan atau pemberian obat-obat vasopressor. Banyak penelitian telah dilakukan

baik pada pemberian cairan infus maupun obat-obat vasopressor dengan berbagai macam

cara atau metode dan jenis yang berbeda.

Insiden Hipotensi Pada Anestesi Spinal

Hipotensi merupakan penyulit yang sering timbul pada anestesi spinal sebagai akibat

blok simpatis. Untuk kepentingan klinis praktis, diagnosis hipotensi ditegakkan bila ada

penurunan tekanan darah sistolik sebesar 20 – 30 % dari tekanan darah sistolik semula atau

tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg.

Page 16: Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

Angka kejadian hipotensi pada anestesi spinal sekitar 1/3 dari seluruh kasus. Carpenter

dkk menyatakan bahwa pasien yang mengalami hipotensi akut pada anestesi spinal biasanya

juga mengalami komplikasi lain dan biasanya terjadi lebih awal dengan insiden 33 %.

Peneliti lain melaporkan dari sekitar 26 % pasien yang mengalami komplikasi pada anestesi

spinal, 16 % disertai dengan hipotensi.

Patofisiologi

Patofisiologi hipotensi pada anestesi spinal terutama akibat blok saraf simpatis

preganglionik yang menyebabkan vasodilatasi tidak hanya pada pembuluh darah arteri dan

arteriola, tapi juga pada vena dan venula, sehingga terjadi penurunan tahanan pembuluh darah

perifer.

Penurunan tekanan darah setelah anestesi spinal akan merangsang baroreseptor di arkus

aorta, sinus karotikus, atrium dan ventrikel. Jaras aferen dari baroreseptor melalui N IX dan

N X memproyeksikan ke pusat vasomotor di medulla oblongata. Jaras eferen dari lengkung

refleks terdiri dari serabut parasimpatis menuju ke jantung malaui N X dan serabut simpatis

menuju ke jantung dan pembuluh darah mengakibatkan vasokonttriksi arteri dan vena,

peningkatan laju jantung, peningkatan kontraksi miokardium.

Tahanan pembuluh darah tepi ditentukan oleh tonus arteri yang diatur oleh persarafan

simpatis. Blokade vasokonstriktor arteri menyebabkan dilatasi arteri dan kehilangan tonus

arteri, tetapi tidak semuanya hilang dan masih terdapat sisa tonus yang bermakna. Dilatasi

arteri tidak merata, bahkan di daerah yang mengalami blokade simpatis. Vasodilatasi daerah

yang di blok membuat kompensasi vasokonstriksi daerah yang tidak di blok.

Smith dkk. Menyatakan terjadinya hipotensi pada anestesi spinal akibat turunnya

venous return karena penumpukan darah pada pembuluh darah vena.

Walaupun terjadi hipotensi akibat anestesi spinal, volume darah tetap dalam keadaan normal,

sehingga jaringan dirasakan hangat dan kering oleh karena vasodilatasi dan tidak akan terjadi

anoksia / hipoksia seluler serta gangguan metabolik sebagaimana yang terjadi pada hipotensi

akibat hipovolemia. Derajat hipotensi yang relatif ringan sebagian besar berasal dari

perubahan tahanan pembuluh darah tepi. Bila tekanan terus turun dibawah batas kritis,

hipotensi paling sering disebabkan perubahan curah jantung. Batas kritis hipotensi untuk

Page 17: Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

penderita normal akibat perubahan curah jantung adalah sistolik 90 mmHg, tetapi ada

pendapat lain yang mengatakan sistolik 80 mmHg.

Derajat dan insiden hipotensi pada anestesi spinal dipengaruhi oleh beberapa faktor,

yaitu umur, jenis kelamin, berat badan, kondisi fisik, jenis obat anestesi lokal, tingkat

penghambatan sensorik, posisi pasien dan manipulasi operasi.

Umur

o Pada pasien muda sehat biasanya terjadi hipotensi yang kurang berat

dibanding pasien tua dengan tinggi anestesi spinal yang sama. Insiden

hipotensi meningkat secara progresif setelah umur 50 tahun dari 10% menjadi

30% pada umur 80 tahun.

Jenis Kelamin

o Hipotensi, mual dan muntah lebih sering terjadi pada wanita, hal ini mungkin

berhubungan dengan tingkat blok yang lebih tinggi pada wanita meskipun

jumlah anestesi lokal yang diberikan sama. Perbandingan insiden komplikasi

spinal antara wanita dan pria adalah 32% dan 20%.

Berat Badan

o Resiko mengalami hipotensi, mual dan muntah pada anestesi spinal lebih

besar pada pasien yang memiliki Body Mass Index ( BMI )lebih dari 30%.

Kondisi fisik

o Pada pasien dewasa muda sehat dan normovolemia, blok simpatis hingga

pertengahan toraks mungkin tidak akan menimbulkan hipotensi atau hanya

hipotensi ringan. Pada pasien usia lanjut dan atau hipovolemia atau pasien

dengan kompresi pembuluh darah besar abdomen (hamil, tumor abdomen ),

blok dengan tinggi yang sama akan terjadi hipotensi berat.

Jenis obat anestesi lokal

o Lidokain lebih cepat menimbulkan hipotensi dari pada bupivakain, rata – rata

timbul pada 18 menit pertama, tetapi bupivakain lebih sering. Bupivakain

Page 18: Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

hiperbarik menimbulkan hipotensi pada 23 menit pertama, sedangkan

bupivakain isobarik menimbulkan hipotensi pada 38 menit pertama.

Tingkat penghambatan sensorik

o Insiden dan derajat hipotensi pada anestesi spinal sangat tergantung dan

berhubungan erat dengan tingginya blok. Pada tingkat T 1 – T 5 25 % pasien

mengalami hipotensi. Bila tinggi anestesi spinal mencapai tingkat servikal 50

% pasien atau lebih mengalami hipotensi.

Posisi pasien

o Posisi head up atau kaki pasien lebih rendah dari pada kepala, misal pada

operasi artroskopik sendi lutut, akan mengalami pooling darah vena sehingga

lebih mudah terjadi hipotensi.

Manipulasi operasi

o Semakin banyak manipulasi operasi semakin berat hipotensi yang terjadi

sehingga sukar untuk mengkompensasi.

Hipotensi pada anestesi spinal menimbulkan gejala yang berhubungan dengan hipoksia

jaringan, yaitu berupa gelisah, ketakutan, tinitus, pusing dan sakit kepala, biasanya juga

disertai mual dan muntah. Efek lebih lanjut berupa mengantuk, disorientasi dan koma

yang pada akhirnya bisa menimbulkan syok dan kematian.

Mekanisme Kompensasi Akibat Hipotensi

Hipotensi biasanya terjadi pada 15 – 20 menit pertama setelah penyuntikan

subarachnoid dan bila dibiarkan tekanan darah mencapai tingkat paling rendah dalam waktu

20 – 25 menit. Setelah tekanan darah mencapai penurunan yang terendah, secara spontan

akan naik kembali sekitar 5 – 10 mmHg setelah 10 – 15 menit kemudian, hal ini terjadi oleh

karena kompensasi aktifitas simpatis dari bagian yang tidak terblok dan bukan karena

naiknya curah jantung, yang kemudian tekanan darah tersebut stabil sampai efek obat

anestesi lokal habis.

Page 19: Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

Kontrol aliran darah oleh sistim saraf otonom berlangsung cepat ( 1 detik ) , komponen

terpenting adalah saraf simpatis. Mekanisme cepat untuk regulasi tekanan darah diatur oleh

refleks baroreseptor, refleks kemoreseptor, refleks atrium, dan refleks iskemik sistem saraf

pusat.

Barorefleks memberikan mekanisme kontrol umpan balik negatif untuk

mempertahankan tekanan darah sistemik pada level relatif konstan. Bila terjadi hipotensi

akibat anestesi spinal harus segera diterapi dengan tujuan untuk mengembalikan oksigenasi

jaringan, yaitu dengan meningkatkan curah jantung, meningkatkan tekanan dan aliran perfusi

jaringan dan meningkatkan kandungan oksigen dalam darah. Jika hipotensi tidak segera

diatasi akan menimbulkan efek yang lebih berat yaitu syok dan kematian

Usaha pencegahan hipotensi

Crichley, Short dan Gin dalam satu penelitiannya mendapatkan bahwa preload NaCl

0,9% 16 ml/kg gagal mempertahankan tekanan darah sistolik pada 5 dari 10 pasien, meskipun

mampu mempertahankan cardiac index, systemic vascular resistance index dan tekanan vena

sentral. McCrae dkk juga menyimpulkan bahwa preload cairan kristaloid 16 ml/kgBB gagal

mempertahankan tekanan darah sistolik yang adekuat pada beberapa pasien yang mendapat

anestesi spinal.

.

Sternio dkk. Menyatakan bahwa pemberian cairan preload kristaloid saja kurang efektif

untuk mencegah hipotensi pada anestesi spinal terutama pada pasien tua dengan kelainan

jantung. Studi kualitatif tahun 1988-2000 disimpulkan bahwa preload kristaloid untuk

mencegah hipotensi tidak konsisten dibandingkan dengan koloid.

Penggunaan preload larutan dextrosa 5% juga kurang efektif mencegah hipotensi pada

seksio sesaria dengan tehnik anestesia regional. Preload Gelatin 4 % (Gelofusine) 15ml/kgBB

juga membutuhkan lebih sedikit metaraminol dibandingkan tanpa preload pada seksio

sesaria.

Page 20: Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

Sejak Valesco dkk.(1980) pertama kali menguraikan manfaat larutan NaCl hipertonik

7,5% sebagai small volume resuscitation untuk syok hemoragik berat, penelitian tentang

pemakain larutan ini baik secara sendiri maupun sebagai kombinasi dengan koloid terus

berkembang. Larutan NaCl hipertonik 3% memiliki kadar natrium lebih dari 3,3 kali besar

dari laruatan NaCl 0,9% dan memiliki tekanan osmotik 1026 mOsm/l.

Mekanisme cairan NaCl hipertonis dalam melawan perubahan-perubahan hemodinamik

akibat anestesi spinal adalah terutama melalui mobilisasi cairan endogen sepanjang gradien

tekanan osmotik dari intraseluler dan interstisiil ke dalam intravaskuler. Penggunaan preload

1,6 ml/kgBB NaCl hipertonik (7,5%) adalah sama baiknya dengan 13 ml/kg BB NaCl 0,9 %

dalam pencegahan hipotensi karena anestesi spinal. Koloid jarang dipakai oleh karena

pertimbangan biaya dan resiko anafilaktik. Shiv K Sarma juga meneliti preload larutan

hetastrach 6% 500 ml yang ternyata lebih efektif mencegah hipotensi dibandingkan dengan

larutan ringer laktat 1000 ml. Dengan insiden hipotensinya 45% berbanding 80%.

Penggunaan Hydroxyethylstarch (HES) 10% 500 ml juga lebih efektif dibandingkan

larutan Ringer Laktat 1000 ml 25. Insiden hipotensinya 40% berbanding 80%. Pada pasien

tua, derajat hipotensi atau kebutuhan obat vasopresor tidak berhubungan dengan preload

kristaloid atau koloid

Terapi Hipotensi Pada Anestesi Spinal

Terdapat 4 tindakan utama terapi hipotensi pada anestesi spinal :

Posisi head down/ Trendelenberg.

o Tindakan memposisikan pasien head down/ trendelenberg yaitu Kepala pasien

diturunkan sekitar 5 – 8 derajat merupakan tindakan yang sederhana, mudah

dan sangat bermanfaat. Adanya gravitasi dari posisi tersebut akan

meningkatkan venous return dan curah jantung sehingga tekanan darah akan

meningkat. 

o Selama anestesi spinal tekanan darah akan meningkat dari 80/ 70 mmHg

menjadi 130/100 mmHg hanya dengan posisi ini saja, hal ini telah dibuktikan

oleh Gordh ( 1945 ). 

Page 21: Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

o Tindakan ini sebaiknya tidak boleh dilakukan bila hipotensi terjadi pada 15

menit pertama setelah anestesi spinal oleh karena bahaya penyebaran anestesi

lokal hiperbarik ke segmen yang lebih tinggi.

Pemberian oksigen.

o Tujuan pemberian oksigen selama hipotensi untuk meningkatkan kandungan

oksigen darah arteri sehinga dapat mengurangi hipoksia sekaligus mual dan

muntah.

Pemberian cairan intra vena.

o Hipotensi selama anestesi spinal dapat juga diterapi dengan infus cairan iv

cepat dengan volume cairan yang relatif besar, biasanya 1 – 1,5 liter per 70

kgBB dalam waktu kurang dari 10 menit. Larutan yang sering digunakan

larutan seimbang elektrolit. Pemberian cairan ini akan meningkatkan venous

return dan curah jantung.

o Pemberian cairan yang berlebihan justru sebaliknya akan merugikan dan

membahayakan pasien oleh karena bisa terjadi hemodilusi dan mengganggu

transport oksigen. 

o Pada penderita normovolemik penurunan tekanan darah arteri tidak dapat

dipertahankan hanya dengan infus iv larutan kristaloid, tetapi harus

dikombinasi dengan posisi head down dan penggunaan vasopresor.

Terapi vasopressor. 

o Obat vasopressor bekerja melalui 4 mekanisme, yaitu : aksi langsung pada otot

arteriola yang mengakibatkan vasokonstriksi, stimulasi pusat vasomotor,

stimulasi miokard dan melalui konstriksi vena yang akan meningkatkan curah

jantung dan venous return. 

o Obat-obat vasopressor yang biasa digunakan pada hipotensi selama anestesi

spinal yaitu efedrin, metoksamin, fenilefrin, adrenalin, metaraminol, dopamin

dan dobutamin.

Page 22: Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

BAB V

KESIMPULAN

Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai, dengan angka

penderitayang cukup t i ngg i . H ipe r t ens i s end i r i me rupakan f ak to r r i s i ko

mayor yang b i s a menyebabkan terjadinya komplikasi seperti penyakitpenyakit jantung,

serebral, ginjald a n v a s k u l e r . M e n g i n g a t t i n g g i n y a a n g k a k e j a d i a n d a n

k o m p l i k a s i y a n g b i s a ditimbulkan oleh penyakit hipertensi ini, maka perlu

adanya pemahaman para ahlianestesia dalam manajemen selama periode

perioperatif.

Manajemen perioperatif dimulai sejak evaluasi prabedah, selama operasi

dan dilanjutkan sampai periodepasca bedah. Evaluasi prabedah sekaligus optimalisasi

keadaan penderita sangatpen t i ng d i l akukan un tuk memin ima lkan t e r j ad inya

kompl ika s i , ba ik yang t e r j ad i selama intraoperatif maupun yang terjadi pada

pascapembedahan. Goncanganhemodinamik mudah terjadi, baik berupa hipertensi

maupun berupa hipotensi, yangbisa menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi. Hal ini

harus diantisipasi denganperlunya pemahaman tentang teknik anestesia yang benar,

Page 23: Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

manajemen cairanperioperatif, pengetahuan farmakologi obat-obat yang digunakan, baik

obat-obatanantihipertensi maupun obatobatan anestesia serta penanganan nyeri akut

yangadekuat. Dengan manajemen perioperatif yang benar terhadap penderita-

penderitahipertensi yang akan menjalani pembedahan, diharapkan bisa menurunkan

ataumeminimalkan angka morbiditas maupun mortalitas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hypertension management. 2009. Available at:

http://www.surgicalcriticalcare.net/Guidelines/Hypertension%20management

%202009.pdf

2.   Kaplan MN., Perioperative management of hypertension. http://www.uptodate.com

3. Wiryana M., 2008. Manajemen perioperatif pada hipertensi.

http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/6_manajemen%20perioperatif%20pd%20hipertensi.pdf

4. Varon J and Marik PE. 2008. Perioperative hypertension management.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2515421/

5.   Mayell AC. 2006. Hypertension in anaesthesia. http://www.frca.co.uk/article.aspx?

articleid=100656

6. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua.

Jakarta: Bagian anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI: 2010.

7. Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dahlan R, editors. Anestesiologi. Jakarta: Bagian

Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 1989.

Page 24: Anestesi Spinal Pada Pasien Hipertensi

8. Rastogi S, Turner J, Nerve damage associated with peripheral nerve block, Royal College

Anaesthetists revised edition 2009