View
85
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
2
JAWABAN
Pendekatan ini penulis anggap penting untuk dipelajari karena pendekatan-
pendekatan psikologis saat ini (psikologi mainstream / psikologi lintas budaya)
kebanyakan berorientasi ke barat sehingga terkadang gagal mengatasi berbagai
masalah yang timbul di ranah lokal. Psikologi Indigenous yang lebih berwawasan
lokal dipandang dapat menjadi alternatif solusi terhadap permasalahan-permasalahan
tersebut. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Hong (dalam Hakim, 2013) bahwa
tata nilai kultural memiliki fungsi sebagai kerangka kerja dasar mental manusia
(mental framework).
Prof. Sarlito Sarwono juga menjelaskan bahwa keberadaan psikologi di
Indonesia saat ini memang sedang menghadapi beberapa permasalahan, antara lain
apa yang sudah berhasil diterapkan di Barat tidak selalu dapat diterapkan di
Indonesia. Hal ini bisa terjadi karena adanya perbedaan etnik dan kondisi masyarakat
Negara kita, misalnya masyarakat desa dan kota. Sehingga, apa yang sudah berhasil
diterapkan di satu etnik belum tentu sesuai untuk etnik lain (Ali, 2011).
Pendekatan Psikologi Indigenous mendorong kita yang mempelajarinya agar
mampu berpikir secara kontekstual; yakni memahami perilaku dan proses mental
berdasarkan partikularitas latar dimana keduanya muncul, baik itu dari segi latar
kesejarahan, kultur, agama, politik, bahasa, dan lain sebagainya. Indonesia yang
terdiri dari kurang lebih 3000 pulau dan 300 etnik meng-cover segala kemajemukan
latar-latar tersebut dengan beragamnya nilai-nilai kesejarahan, seperti banyaknya
3
kerajaan-kerajaan di masa lampau yang tentunya mewariskan kultur, agama, bahasa,
dan lain-lain yang berbeda-beda pula bagi masyarakatnya.
Sebuah wacana tentang Tradisi Papijs atau Tukar Pasangan (Swinger) akan
dimaknai secara berbeda oleh masyarakat Suku Asmat dan masyarakat Suku Aceh.
Apabila Tradisi Papijs dilakukan di suatu tempat di Aceh dan dilihat oleh banyak
orang termasuk polisi, maka konsekuensi pelaku selanjutnya akan jauh lebih tragis
bila dibandingkan jika tradisi tersebut dilakukan di tengah perkampungan Suku
Asmat itu sendiri. Ada nilai-nilai kultural yang dianut oleh Suku Asmat yang
mendasari kenapa Tradisi Papijs “legal” dilakukan dan ada pula nilai-nilai kultural
dan agamis dari Suku Aceh yang mendasari kenapa hal-hal semacam itu ditentang
dengan sangat keras, padahal kedua suku tersebut ada di Indonesia.
Memahami senyum Amrozi, menurut Prof. Achmad Mubarok, tidaklah cukup
hanya dengan membandingkan senyuman orang barat karena senyumannya itu bukan
hanya berdimensi horizontal, tetapi juga berdimensi vertikal. Ia harus dicari akarnya
pada budaya orang Jawa Timur, budaya santri, budaya pekerja wiraswasta, dan
budaya pejuang bersenjata (mujahid). Apalagi, Amrozi dan teman-temannya (Imam
Samudera CS.) pernah terlibat dalam perang (fisik dan mental) melawan penjajah Uni
Soviet di Afghanistan (Ali, 2011).
Contoh lainnya misalnya dalam pengukuran inteligensi terhadap sekelompok
masyarakat pada daerah yang berbeda. Pada masyarakat tertentu di Indonesia yang
hidup di daerah dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah (misalnya di daerah
pedalaman), pengukuran inteligensi tidak dapat dilakukan dengan menggunakan
standar norma yang sudah ada untuk menghasilkan skor, karena skor yang diperoleh
akan cenderung menempatkan mereka pada kategori inteligensi yang rendah
meskipun skor murni (potensi inteligensi yang sebenarnya) belum tentu rendah. Hal
ini yang tidak bisa disamaratakan dengan masyarakat di daerah lainnya. Untuk
4
menghindari ketidaksetaraan tersebut diperlukan norma yang telah disesuaikan
dengan konteksnya.
Namun demikian, bukan berarti pendekatan Psikologi Indigenous hanya
berfokus pada aspek partikularitas. Allwood & Berry (dalam Hakim, 2013)
menyatakan bahwa Psikologi Indigenous adalah suatu pendekatan yang berupaya
mengakomodasi baik aspek partikularitas (Psikologi Budaya) maupun aspek
universalitas (Psikologi Lintas Budaya) dari perilaku manusia. Kim, et.al. (dalam
Hakim, 2013) mendefinisikan Psikologi Indigenous sebagai psikologi yang berasal
dari orang lokal, dikembangkan oleh orang lokal, dan digunakan untuk kepentingan
orang lokal.
Walaupun orientasi Psikologi Indigenous lebih diarahkan kepada kepentingan
orang lokal, akan tetapi di sisi lain mereka juga memiliki agenda untuk membangun
psikologi global (Enriquez & Ho dalam Hakim, 2013). Psikologi global yang dicita-
citakan ini merupakan representasi akumulasi aspek kesamaan dari studi-studi
Psikologi Indigenous dari berbagai konteks budaya yang masing-masing bersifat
saling melengkapi dan berada di dalam posisi yang egaliter (Enriquez, et.al. dalam
Hakim, 2013).
Psikologi Indonesia masih belum memiliki ciri khas karena masih “berkiblat”
pada pendekatan psikologi barat, terutama Amerika dan Eropa, sehingga cenderung
kehilangan identitas diri. Oleh karena itu, disamping penting untuk mewadahi
permasalahan-permasalahan yang terjadi di Indonesia dalam konteks yang khusus
dari keberagaman Indonesia itu sendiri, menurut Hakim (2013), Psikologi Indigenous
di Indonesia memiliki potensi besar untuk dapat berkontribusi secara signifikan
dalam membangun psikologi global di masa depan. Dengan mempertimbangkan
bahwa kekayaan kultural merupakan modal berharga dalam pengembangan psikologi
di Asia (Kashima, et.al. dalam Hakim, 2013), melalui pendekatan Psikologi
5
Indigenous, psikologi Indonesia dapat menunjukkan keotentikannya sekaligus
menyampaikan aspirasi kepada dunia psikologi global.
Adapun langkah yang sebaiknya ditempuh sebagai implementasi
pengembangan Psikologi Indigenous di Indonesia salah satunya adalah dengan
membenahi teknis penelitian / prosedur ilmiah. Kita tahu bahwa Enriquez (dalam
Hakim, 2013) memetakan dua model indigenisasi yang umum digunakan oleh para
peneliti Psikologi Indigenous dalam mengembangkan psikologi global, yaitu
indigenisasi dari jalur luar (indigenization from without) dan indigenisasi dari jalur
dalam (indigenization from within).
Kedua model tersebut memiliki teknik tersendiri. Indigenisasi dari jalur luar
merupakan usaha indigenisasi dengan cara mengambil konsep, teori, dan metode
psikologi yang sudah ada dan memodifikasinya sehingga menjadi fit secara kultural
(Kim dalam Hakim, 2013). Dengan pendekatan jalur dari luar, peneliti menempatkan
diri sebagai ‘orang luar’ dan melalui pendekatan top-down, menempatkan budaya
lokal sebagai target indigenisasi (Enriquez dalam Hakim, 2013). Berkebalikan dengan
indigenisasi dari jalur luar, indigenisasi dari jalur dalam mensyaratkan peneliti berasal
dari komunitas budaya yang akan menjadi target penelitian (Hakim, 2013). Model
indigenisasi dari jalur dalam berusaha mengembangkan teori psikologi yang berakar
dari konsep-konsep, teori, dan metode penelitian yang sesuai dengan budaya lokal
(Kim & Park dalam Hakim, 2013).
Namun demikian, masing-masing model indigenization from without dan
indigenization from within memiliki kritik atas kelemahannya masing-masing.
Penulis beranggapan bahwa kedua model patut dipertimbangkan secara bersamaan
dalam melakukan indigenisasi, sehingga kelemahan-kelemahan tersebut dapat ter-
cover oleh satu sama lain. Lebih lanjut, Kim, et.al. (dalam Hakim, 2013)
merekomendasikan para peneliti orang dalam untuk bekerjasama dengan orang-orang
6
dari luar budayanya karena mereka cenderung lebih sensitif dalam menangkap
kekhasan perilaku di dalam konteks budaya yang asing baginya.
Langkah lainnya dalam upaya mengembangkan Psikologi Indigenous adalah
dengan melakukan sosialisasi hasil-hasil penelitian dalam publikasi nasional dan
internasional, serta menghimbau para psikolog Indonesia untuk menggabungkan diri
dengan asosiasi profesi Indigenous Psychology. Salah satu universitas ternama di
Indonesia telah menyusun rencana pengembangan Indegenous Psychology di
lingkungan kampus. Hingga kini terdapat beberapa mata kuliah bermuatan
Indigenous Psychology yang termasuk dalam kurikulum pembelajaran. Hal ini
merupakan awal bagi akademisi muda untuk membangun generasi peneliti muda
yang memiliki ambisi, komitmen, dan kreatifitas dalam mengembangkan Psikologi
Indigenous Indonesia.
Referensi
Ali, N. H. (2011). Indigenous psychology, apa, dan bagaimana. (online), (http://fpscs.uii.ac.id/suara-mahasiswa/indigenous-psychology-apa-dan-bagaimana-suara-mahasiswa-470, diakses pada 8 Juni).
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (2008). Psikologi lokal yang mengglobal. (online), (http://psikologi.ugm.ac.id/berita.263/psikologi-lokal-yang-mengglobal.html, diakses pada 8 Juni).
Hakim, M. A. (2013). Dari lokal ke global: Berfikir kontekstual, indigenous psychology, dan masa depan psikologi Indonesia di arena internasional. (online), (https://uns-id.academia.edu/mahakim/Papers, diakses pada 8 Juni).