analisis hubungan

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Pengungkapan akuntansi lingkungan (Environmental Accounting

Disclosure selanjutnya disingkat dengan EAD) di negara-negara berkembang memang masih sangat kurang. Banyak penelitian di area Social Accounting Disclosure (selanjutnya akan disingkat dengan SAD) umumnya dan EAD pada khususnya memperlihatkan bahwa pihak perusahaan melaporkan kinerja lingkungan yang masih sangat terbatas. Kondisi ini, salah satunya dikarenakan lemahnya sangsi hukum yang berlaku di negara tersebut. Mobus (2005) menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara sangsi hukum dengan pengungkapan akuntansi lingkungan yang wajib dengan penyimpangan aturan yang dilakukan oleh perusahaan. Artinya, semakin keras sangsi hukum yang berlaku di suatu negara, akan semakin mengurangi penyimpangan aturan yang telah ditetapkan oleh pihak regulator. Hal ini menunjukan bahwa sesungguhnya pihak regulator memiliki kekuatan untuk menekan pihak perusahaan dalam meminimalisasikan dampak kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan usaha mereka. Sebagian besar pengungkapan informasi sosial di laporan keuangan tahunan (annual reports) memuat informasi mengenai tenaga kerja, lingkungan

2

dan masyarakat. Alasan pengungkapan yang dilakukan perusahaan terhadap informasi sosial merupakan subyek yang banyak dikaji dalam penelitian (Epstein & Freedman, 1994; Gray et. al., 1995). Kebanyakan dari penelitian tersebut menyatakan bahwa responden akan melakukan tindakan yang berbeda terhadap keputusan investasi pada kondisi mereka memperoleh informasi sosial dan pada kondisi tidak memperoleh informasi sosial (Deegan & Rankin, 1997). Sementara itu Diekers & Antal (1985) berpendapat bahwa suatu informasi sosial yang bermanfaat bagi stockholder akan berpengaruh terhadap keputusan yang mereka buat. Gray (1993) menjelaskan bahwa pengungkapan akuntansi lingkungan merupakan bagian dari pengungkapan laporan keuangan. Dia juga menjelaskan bahwa ada banyak studi yang menguji lebih lanjut informasi sosial yang dihasilkan oleh perusahaan, dan menemukan bahwa informasi lingkungan merupakan salah satu bagian dari informasi tersebut. Lebih jauh, Gray menyatakan pengungkapan akuntansi lingkungan merupakan bagian penting dari suatu laporan keuangan perusahaan. Dunlap dan Scarce (1991) menyatakan bahwa dari hasil polling, publik memandang kegiatan bisnis dan perusahaan sebagai kontributor terbesar terhadap permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini. Selanjutnya, publik juga ingin tahu sebesar apa kegiatan perusahaan itu berdampak terhadap lingkungan. Untuk itu perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi mengenai kinerja kepada publik. Beberapa bentuk media dapat digunakan oleh perusahaan untuk

3

menyampaikan laporan lingkungan, seperti laporan tahunan (annual reports), laporan lingkungan tersendiri (stand alone environmental reports) dan website. Di Indonesia saat ini, sudah ada peraturan yang mengatur tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan. Berdasarkan pasal 47 UU PT No. 40/2007 menyatakan bahwa: 1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib

melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. 2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. 3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini dilakukan untuk menjaga reputasi perusahaan atau agar perusahaan bisa tetap berkelanjutan (going concern) dan terhindar dari berbagai bentuk penolakan masyarakat. Penjelasan ini didukung oleh teori legitimasi (legitimacy theory) yang memberikan alternatif jawaban atas pertanyaan mengapa perusahaan mengungkapkan akuntansi lingkungan.

4

Selain itu, banyak para peneliti yang mempertanyakan kualitas informasi yang disampaikan dalam pengungkapan akuntansi lingkungan. Studi di Australia menunjukan adanya jurang (gap) antara pengungkapan akuntansi lingkungan dan kinerja lingkungan. Penelitian ini membuktikan bahwa kualitas pengungkapan ini belum memadai, karena tidak ada kesesuaian antara yang diungkapkan dengan kinerja yang sesungguhnya. Sehingga terlihat bahwa pengungkapan akuntansi lingkungan yang dikeluarkan oleh pihak manajemen perusahaan sesungguhnya akan diwarnai oleh kontrak sosial, yang tidak lain adalah berdirinya legitimasi (Deegan, 2002; ODwyer, 2003). Studi lain juga menemukan bukti bahwa perusahaan cenderung mengungkapkan hal-hal yang baik saja dan menahan (withheld) informasi lingkungan yang berpengaruh buruk terhadap image perusahaan. Studi yang dilakukan Lindrianasari (2004), memberikan bukti yang bahwa usaha perusahaan dalam melestarikan lingkungan masih kurang. Hal ini memberikan implikasi bahwa pengungkapan akuntansi lingkungan digunakan oleh sebagian perusahaan untuk membenarkan (legitimize) aktifitas-aktifitas perusahaan yang berdampak buruk terhadap lingkungan. Ada tiga faktor yang akan menjadi dasar dalam penelitian ini yaitu, kinerja ekonomi, kinerja lingkungan dan alokasi dana Corporate Social and Responsibility (CSR). Pemilihan dasar penelitian ini mengacu pada penelitian terdahulu Lindrianasari (2007) yang berjudul Hubungan antara Kinerja Lingkungan dan Kualitas Pengungkapan Lingkungan dengan Kinerja Ekonomi Perusahaan di Indonesia. Ketiga faktor itu bisa menjadi indikator

5

yang mudah dilihat dari suatu pengungkapan dari laporan tahunan dan laporan tanggung jawab lingkungan dan sosial perusahaan. Disamping itu terdapat pembagian yang jelas dan menjadikan penjelasan yang bisa mendasari pihak internal dan eksternal dalam menyikapi pengambilan keputusan kedepannya. Kinerja ekonomi disajikan dalam bentuk variabel keuangan yang berhubungan positif signifikan dengan kinerja lingkungan. Hal ini

mengimplikasikan bahwa kinerja ekonomi yang baik akan mendorong semakin baiknya kinerja lingkungan suatu perusahaan. Dalam penelitian ini menggunakan beberapa variabel ekonomi yang mewakili yaitu, marjin perusahaan, return on asset, dan return on equity. Ketiga variabel tersebut didapat dari laporan tahunan perusahaan (annual report). Kinerja lingkungan disajikan dalam bentuk variabel lingkungan yang dihubungkan positif signifikan dengan kualitas pengungkapan akuntansi lingkungan perusahaan dan juga kinerja ekonomi. Preston (1981) menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki kinerja lingkungan yang baik dan melakukan pengungkapan yang tinggi memposisikan mereka sebagai perusahaan yang memiliki aktifitas yang berguna dan kualitas pengungkapan ini juga didorong legitimasi terhadap masyarakat. Dalam penelitian ini menggunakan beberapa variabel lingkungan yang mewakili yaitu, ISO 9001, ISO 14001 dan program lingkungan. Variabel tersebut dilihat dari ada tidaknya ketiga variabel diatas dari setiap perusahaan. Data dapat

6

dilihat dari laporan tanggung jawab lingkungan dan sosial perusahaan serta penjabaran dari website tiap-tiap perusahaan. Penelitian Lindrianasari (2007) bahwa kualitas pengungkapan lingkungan dihubungkan dengan rasio akuntansi untuk mengukur kinerja ekonomi (Freedman dan Jaggi, 1982). Hasil yang didapat melalui bukti statistik ternyata tidak cukup kuat untuk menolak hipotesis nul, yang berarti mereka melihat adanya hubungan yang tidak signifikan antara kinerja ekonomi dengan kualitas pengungkapan lingkungan. Oleh karena itu, dalam penelitian saat ini mengambil asumsi hasil penelitian sebelumnya dan lebih memfokuskan meneliti pada alokasi dana CSR yang tercantum dalam laporan lingkungan (sustainability report). Penelitian ini alokasi dana CSR menggantikan kualitas pengungkapan lingkungan. Hal ini dikarenakan peneliti ingin meneliti lebih dalam menganalisis pengaruh dengan menggunakan alokasi dana CSR. Variabel alokasi dana CSR yaitu, sustainability report, ketersediaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) dan persentase penggunaan dana perusahaan untuk melakukan tanggung jawab lingkungan dan sosial. Data dapat diambil dari laporan tahunan perusahaan, sustainability report dan juga website masing-masing perusahaan. Pemilihan perusahaan ekstraktif berdasarkan bahwasanya perusahaan dengan jenis ini mengambil langsung bahan mentah untuk kegiatan operasional dari alam. Sektor industri ekstraktif merupakan salah satu sektor yang memberikan pemasukan bagi negara. Bahan mentah yang dipergunakan untuk produksi dapat berupa hasil perkebunan, kehutanan, mineral, minyak bumi, gas

7

bumi, batubara, tekstil, dan berbagai jenis logam. Berdasarkan dari data IeSR (Institute for Essential Service Reform) untuk produksi, konsumsi, ekspor dan impor gas bumi periode tahun 2008 terlihat kenaikan dari tahun 2007.

Gambar 1.1 Produksi, Pemanfaatan Gas Bumi per Tahun (MSCF)

Data Produksi Terakhir: Okt 2009

Data Pemanfaatan Terakhir: Okt 2009

Sumber : IeSR (Institute for Essential Service Reform) Web: http://www.iesr-indonesia.org/wp-content/uploads/ei_haribumi.pdf

Dan untuk produksi, penjualan domestik serta ekspor batubara pada tahun 2009 mengalami peningkatan dari tiap bulan. Disini menggambarkan bahwa permintaan atas batubara oleh berbagai pabrik sebagai bahan bakar terus mengalami kenaikan. Sehingga perusahaan batubara harus benar-benar

memfokuskan diri dalam mengatasi dampak buruk di lingkungan sekitar perusahaan.

8

Gambar 1.2 Produksi, Penjualan Domestik, Ekspor Batubara per Tahun Bulan (Ton)

Data Produksi Terakhir: Des 2009 Data Penjualan Domestik Terakhir: Des 2009 Data Ekspor Terakhir: Des 2009 Sumber : IeSR (Institute for Essential Service Reform) Web: http://www.iesr-indonesia.org/wp-content/uploads/ei_haribumi.pdf

Hal ini sejajar dengan pendapatan negara dari industri ekstraktif di Indonesia. Untuk pendapatan sektor migas, pendapatan tersebut didapat dari bagian minyak pemerintah, pajak dan pembayaran-pembayaran lainnya. Untuk pertambangan umum, sumber pendapatan negara berasal dari royalti, pajak dan pembayaran-pembayaran atas biaya-biaya lainnya. Tabel 1.1 Pendapatan Negara dari Industri Ekstraktif (2004-2008)PendapatanTahunan(dalamJutaUSD) 2004 12,18 1,01 0,72 2005 14,26 1,82 1,33 2006 21,02 3,27 2,54 2007 20,53 4,11 3,15 2008 26,35 3,66 2,62

Pendapatan 1.Pendapatan 2.PendapatanHasilTambang a.Tax

9

b.Nontax 3.Pendapatanlainlain TOTAL TotalPendapatandalam APBN KontribusiSektor

0,29 0,02 13,21 45,37 29,10%

0,49 0,03 16,11 51,28 31,40%

0,73 0,07 24,36 72,28 36,10%

0,96 0,14 24,77 77,92 30,20%

1,05 0,1 30,12 83,69 36,00%

Sumber: Kementrian ESDM Tabel 1.1 menjelaskan adanya kenaikan kontribusi sektor ekstraktif dari tahun 2004 sampai 2008. Pada tahun 2007 yang mempunyai kontribusi sektor sebesar 30,20% meningkat pada tahun 2008 menjadi 36,00%. Dari beberapa jenis hasil tambang kerusakan lingkungan akibat penambangan batubara adalah yang paling parah diakibatkan oleh teknik penambangan open pit mining yaitu dengan menghilangkan vegetasi penutup tanah, mengupas lapisan atas tanah yang relatif subur. Teknik ini dipakai biasanya ketika cadangan batubara relatif dekat dengan permukaan tanah dan biasa diterapkan oleh perusahaan yang relatif bermodal kecil sehingga hanya mampu menggunakan teknologi rendah yang bersifat tidak ramah lingkungan. Teknik ini sangat memungkinkan merusak alam antara lain perubahan sifat tanah, munculnya lapisan bahan induk berproduktivitas rendah, laham menjadi masam dan garam meracuni tanaman, dan terjadinya erosi dan sedimentasi. (Sumber: JATAM / Jaringan Advokasi Tambang Indonesia).

1.2. Masalah dan Ruang Lingkup

10

Berdasarkan latar belakang, maka penelitian ini didasarkan atas pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah ada hubungan antara alokasi dana CSR dengan kinerja lingkungan? 2. Apakah ada hubungan antara kinerja ekonomi dengan kinerja lingkungan? 3. Apakah ada hubungan antara kinerja ekonomi dengan alokasi dana CSR? Karena pengukuran kinerja lingkungan dilakukan oleh pihak pemerintah yang tidak mempertimbangkan laporan keuangan perusahaan, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana keefektifan laporan keuangan perusahaan dan informasi pengungkapan akuntansi lingkungan di laporan tahunan perusahaan dalam menjelaskan kinerja lingkungan perusahaan tersebut. Penelitian ini hanya menggunakan beberapa perusahaan yang didasarkan pada: 1. Perusahaan ini berkonsentrasi pada pengungkapan informasi lingkungan yang dipaparkan di laporan tahunan (annual reports), laporan lingkungan tersendiri (stand alone environmental reports) dan website. 2. Terdapatnya perusahaan kehutanan dan pertambangan yang akan diteliti dengan kriteria terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan yang mempunyai pergerakan nilai saham yang baik.

11

3. Beberapa perusahaan tersebut memiliki ketersediaan data yang memadai untuk diteliti.

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini: 1. Mengetahui apakah ada hubungan positif atau signifikansi antara alokasi dana CSR dengan kinerja lingkungan, hubungan positif antara kinerja ekonomi dengan kinerja lingkungan dan hubungan positif antara kinerja ekonomi dengan alokasi dana CSR. 2. Mengetahui sejauhmana tingkat keefektifan laporan keuangan (financial reports) perusahaan dan informasi pengungkapan akuntansi lingkungan di laporan tahunan (annual reports) dalam menjelaskan kinerja lingkungan perusahaan tersebut. 3. Mengetahui tingkat korelasi antar variabel-variabel kinerja lingkungan, kinerja ekonomi dan alokasi dana CSR. 1.3.2. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini: 1. Untuk mengetahui adanya hubungan yang positif antara alokasi dana CSR dengan kinerja lingkungan, hubungan positif antara kinerja ekonomi

12

dengan kinerja lingkungan dan hubungan positif antara kinerja ekonomi dengan alokasi dana CSR. 2. Dapat dijadikan informasi tambahan kepada pihak-pihak yang

berkepentingan bahwa terdapat keterkaitan dari ketiga variabel di atas. Sehingga untuk mencapai kinerja yang optimal, perusahaan harus berupaya memperbaiki ketiga kualitas kinerja tersebut. 3. Bermanfaat bagi stockholder dalam pengambilan keputusan untuk penanaman investasi.

1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan manfaat kepada berbagai pihak, diantaranya perusahaan, akademisi, pemerintah dan masyarakat luas mengenai hubungan positif antara ketiga variabel di atas. 2. Memberikan implikasi bahwa pengungkapan akuntansi lingkungan digunakan oleh perusahaan khususnya kehutanan, pertambangan dan industri untuk membenarkan (legitimize) aktifitas-aktifitas perusahaan yang berdampak buruk terhadap lingkungan.

13

1.5. Sistematika Adapun sistematika penyajian dari skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN, memuat pembahasan latar belakang permasalahan, ruang lingkup, tujuan penulisan, hipotesis, pendekatan dan data, serta diakhiri dengan sistematika penulisan. BAB II TELAAH PUSTAKA, menjelaskan teori-teori yang relevan berkaitan dengan hubungan ketiga variabel kinerja kualitas (Kinerja ekonomi, kinerja lingkungan dan alokasi dana CSR), teori legitimasi, tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility), regulasi lingkungan di Indonesia, teori akuntansi lingkungan (Environmental Accounting) serta teori lain yang terkait. Bagian ini juga akan memaparkan hasil-hasil penelitian sebelumnya. BAB III METODE PENELITIAN, memaparkan desain penelitian, populasi dan sampel, variabel penelitian dan definisi operasional variabel, instrumen penelitian, lokasi dan waktu penelitian, prosedur pengumpulan data, serta metode analisis guna menjawab pertanyaan penelitian yang telah dijelaskan pada Bab I. BAB IV DATA DAN HASIL PENELITIAN, memaparkan data yang digunakan dalam penelitian serta hasil analisa empiris berdasarkan metode langkah pada bab sebelumnya serta menjelaskan korelasi antara hasil dengan kenyataan yang ada. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN, merupakan bagian penutup yang

berisikan simpulan, keterbatasan dan saran-saran yang dapat digunakan dari hasil penelitian.

14

BAB II TELAAH PUSTAKA

2.1

Regulasi Lingkungan di Indonesia Berdasarkan isu yang berkembang yang berkaitan dengan lingkungan

banyak pihak menyarankan agar perlunya suatu standar yang mengatur masalah pengungkapan lingkungan. Dengan demikian diharapkan bahwa perusahaan terpaksa harus menyampaikan informasi yang lebih akurat mengenai kinerja lingkungan mereka. Beberapa negara maju seperti Amerika dan Australia telah melakukan hal ini, sedangkan di Indonesia, Ikatan Akuntan Indonesia telah menyusu suatu standar pengungkapan akuntansi lingkungan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 32 dan 33. Kedua PSAK ini mengatur tentang kewajiban perusahaan dari sektor pertambangan dan pemilik Hak Pengusaha Hutan (HPH) untuk melaporkan item-item lingkungannya dalam laporan keuangan. Selain kewajiban yang tertuang di dalam PSAK 32 (Akuntansi Kehutanan) dan 33 (Akuntansi Pertambangan Umum) tersebut, Indonesia telah memiliki suatu kerangka kerja untuk konservasi lingkungan. Peraturan ini sebagai landasan dan petunjuk dalam menyusun laporan akuntansi lingkungan (Environment

Accounting).

15

Peraturan tentang Manajemen Lingkungan tahun 1982, yang kemudian direvisi tahun 1997, telah menyediakan suatu legalitas untuk mengawasi dan memaksa dipatuhinya regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut. Sejak tahun 1986 pihak pemerintah melalui BAPEDAL, yang resmi berdiri tahun 1990, telah melakukan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Selain itu juga, agen-agen yang bertujuan untuk mengendalikan dampak lingkungan berdiri semarak di Indonesia di bawah lembaga nonpemerintah (NGO). Tidak kurang dari 40 NGO baik yang lokal, maupun yang internasional terdaftar di KLH. Dan mereka semua adalah pihak-pihak yang memiliki atensi terhadap lingkungan. Lebih jauh lagi, suatu nota kesepahaman (MoU) antara KLH dengan BI telah ditandatangani tahun 2005 yang lalu sebagai tindak lanjut dari Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang penetapan peringkat kualitas aktiva bagi bank umum. Aspek lingkungan menjadi salah satu variabel penentu dalam pemberian kredit dan kinerja lingkungan yang dikeluarkan oleh KLH melalui PROPER adalah tolok ukur mereka. PROPER menggunakan standar pengukur kualitas limbah perusahaan dengan teknis tertentu. Dengan memiliki lima peringkat (hitam, merah, biru, hijau dan emas) perusahaan akan diperingkat berdasarkan kualitas limbah perusahaannya. Sehingga kedepannya, setiap perusahaan yang ingin mendapatkan kredit perbankan, harus memperlihatkan kepedulian perusahaan terhadap pengelolaan lingkungan. Nota kesepahaman ini adalah harapan baru bagi pencerahan kondisi lingkungan hidup di Indonesia.

16

2.2

Akuntansi Lingkungan Akuntansi lingkungan (Environmental Accounting) adalah suatu istilah

yang berupaya untuk menspesifikasikan pembiayaan yang dilakukan perusahaan dan pemerintah dalam melakukan konservasi lingkungan ke dalam pos lingkungan di dalam praktek bisnis perusahaan dan pemerintah. Dari kegiatan konservasi lingkungan ini pada akhirnya akan muncul biaya lingkungan (Environmental Cost) yang harus ditanggung perusahaan. Akuntansi lingkungan juga dapat dianalogikan sebagai suatu kerangka kerja pengukuran yang kuantitatif terhadap kegiatan konservasi lingkungan yang dilakukan perusahaan. Aktifitas yang dapat dilakukan sehubungan dengan konservasi lingkungan: 1. Konservasi terhadap kondisi yang berpengaruh terhadap lesehatan mahluk hidup dan lingkungan hidup yang berasal dari polusi udara, polusi air dan pencemaran tanah, kebisingan, getaran, bau busuk dan lain sebagainya. 2. Konservasi terhadap kondisi yang berpengaruh secara menyeluruh seperti pemanasan global, penipisan lapisan ozon, serta pencemaran air laut. 3. Konservasi terhadap sumber daya (termasuk air). Konservasi ini dapat dilakukan dengan cara mengurangi penggunaan bahan kimia yang dapat mencemari lingkungan, mengendalikan sampah dari kegiatan produksi perusahaan, penggunaan material dari hasil daur ulang, dan lain sebagainya. 4. Konservasi lain yang berhubungan.

17

2.3

Teori Legitimasi (Legitimacy Theory) Legitimacy theory menyatakan bahwa organisasi hanya bisa bertahan

apabila masyarakat dimana organisasi tersebut berada merasa bahwa organisasi beroperasi berdasarkan sistem nilai yang sama dengan sistem nilai yang dimiliki oleh masyarakat, menurut (Linblom, 1994) dalam (Gray, 1995). Sedangkan Suchman dalam Tsang (1988) mendefinisikan legitimacy theory sebagai persepsi yang umum atau asumsi bahwa tujuan, metode operasi, dan output organisasi harus sesuai dengan norma dan nilai sosial. Sesuai dengan hal tersebut maka sistem akuntabilitas dan akuntansi sosial menjadi penting bagi perusahaan. Legitimacy theory menurut Guthrie dan Parker (1989) adalah organisasi mendasarkan operasi bisnisnya pada lingkungan sosial perusahaan melalui kontrak sosial yang disetujui dan berbagai keinginan masyarakat sebagai bentuk penghargaan atas persetujuan organisasi dan keberlanjutan perusahaan.

Perusahaan akan berusaha membangun congruence antara aktivitasnya dan implikasi social values dengan norma perilaku yang dapat diterima dalam sistem sosial dimana perusahaan menjadi bagiannya. Deegan, Robin dan Tobin (2002) menyatakan bahwa legitimasi perusahaan akan diperoleh, jika terdapat kesamaan antara hasil dengan yang diharapkan oleh masyarakat dari perusahaan, sehingga tidak ada tuntuntan dari masyarakat. Sehingga perusahaan dapat melakukan pengorbanan sosial sebagai refleksi dari perhatian perusahaan terhadap masyarakat.

18

2.4

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Perusahaan merupakan bagian dari sistem sosial yang terbentuk dari

proses yang panjang. Perusahaan merupakan subsistem dari masyarakat dimana permasalahan yang ada di masyarakat juga merupakan masalah perusahaan, karenanya perusahaan memiliki kewajiban atas apa yang terjadi di masyarakat. Manajer dianggap memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan hal itu, karena perusahaan dalam operasionalnya menggunakan dana dari investor (stockholder) dan menggunakan sumber dana dari masyarakat serta menggunakan sumbersumber alam yang juga merupakan milik masyarakat sehingga wajar jika masyarakat mempunyai harapan terhadap perusahaan (Hasibuan, 2001). Gray et. al. (1996) dalam Hasibuan (2001) menyatakan bahwa perusahaan dalam memenuhi informasi yang dibutuhkan masyarakat, khususnya stakeholders harus dapat menilai substantive environment yang terdiri dari: 1. Primary level Terdapat interaksi antara perusahaan dengan lingkungan, pemegang saham, pemerintah daerah, konsumen, karyawan dimana mereka berhak mendapatkan informasi pertanggungjawaban.

19

2. Secondary level Menggambarkan interaksi sosial perusahaan yang lebih luas yaitu pengguna infrastruktur, pengaruh estetika, kesehatan karyawan, advertensi sampah sisa, teknologi dan sumber-sumber serta social opportunity cost. 3. Tertiary level Menggambarkan interaksi dalam sistem organisasional yang lebih komplek seperti moral, pendidikan, budaya, dan estetika. Pendapat ini sesuai dengan Ivancevic (1992) dalam Retno (1995) yang digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.1 Tanggung jawab sosial perusahaanConsumers

Employee

BusinessActivities

Environment

Investor

Sumber: Ivancevic (1992) dalam Retno (1995) Vasin, Heyn & Company mendefinisikan corporate social responsibilty sebagai penekanan komitmen suatu organisasi untuk bertindak secara ekonomis

20

dan mempertimbangkan lingkungan yang berkelanjutan dan kepentingan stakeholder secara langsung. Vasin, Heyn & Company (2001) menyatakan alasan social responsibility sebagai berikut: 1. Pertimbangan Persepsi Kondisi pertama digolongkan sebagai alasan persepsi oleh Vasin, Heyn & Company (2001) meliputi pengertian bahwa mitra bisnis, supplier dan konsumen melakukan bisnis dengan perusahaan yang mempunyai reputasi baik. 2. Pertimbangan Bisnis Strategi pemasaran yang memperhatikan lingkungan dapat menciptakan pasar baru dan memperkuat penguasaan pasar perusahaan. Kondisi ini dapat meningkatkan reputasi dalam pandangan pemerintah dan konsumen karena reputasi baik, memerlukan adanya kepercayaan. 3. Pertimbangan Altruistik Perusahaan mempunyai suatu kewajiban untuk berbagi kesuksesan dengan masyarakat karena kesuksesan perusahaan terjadi karena adanya keterlibatan masyarakat dan juga lingkungan.

Prinsip-prinsip corporate social responsibility menurut Ernst dan Ernst (1976) dalam Gray, Kouhy, dan Lavers (1995) terdiri dari lingkungan, energi,

21

praktik bisnis yang fair, sumberdaya manusia, dan produk. Sedangkan Carrol (1996) membagi social responsibility ke dalam beberapa prinsip yaitu energi dan sumberdaya mineral, manajemen sumberdaya manusia, perlindungan terhadap lingkungan, serta perlindungan terhadap konsumen.

2.5

Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia World Commission on Environment and Development (WCED) dalam

Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P, singkatan dari Profit, Planet dan People. Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit). Melainkan pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people). Pengertian CSR di Asia sebagai komitmen perusahaan untuk beroperasi secara berkelanjutan (going concern) berdasarkan prinsip ekonomi, sosial dan lingkungan, seraya menyeimbangkan beragam kepentingan para stakeholders. Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan pemasok, masyarakat sekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa dan pemerintah sekalu regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu perusahaan dengan lainnya, tergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan (Supomo, 2004).

22

Penggunaan istilah CSR (Corporate Social Responsibility) semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (Corporate Social Activity) atau aktifitas sosial perusahaan. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk peran serta dan kepedulian perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional. Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwasanya kegiatan perusahaan membawa dampak for better of worse, bagi kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi. Undang-undang tentang CSR di Indonesia diatur dalam UU PT No.40 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1). UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b) menyatakan bahwa Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Selajutnya lebih terperinci adalah UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN. UU ini kemudiaan dijabarkan lebih jauh oleh Peraturan Menteri Negara BUMN No.4 Tahun 2007 yang mengatur mulai dari besaran dana hingga tata cara pelaksanaan CSR. Kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagaian keuntungannnya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat dan profesional

23

merupakan wujud nyata dari pelaksanaan CSR di Indonesia dalam upaya penciptaan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.

2. 6

Media Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Banyak penelitian menggunakan laporan tahunan sebagai satu-satunya

sumber untuk pengumpulan data pada pengungkapan informasi tanggung jawab sosial. Alasan yang tepat untuk memfokuskan pada pengungkapan yang ada di dalam laporan tahunan adalah : Pertama, laporan tahunan adalah alat komunikasi perusahaan yang utama, di mana menunjukan perusahaan secara keseluruhan. Beberapa penelitian mempertimbangkan bahwa laporan tahunan mungkin sebagai dokumen yang paling penting sebagai metode bagi sebuah organisasi untuk membangun sendiri image sosial kepada semua stakeholders ( Gray et. al., 1995a). Lebih dari itu, Neu et. al. (1998) yang menguji pengungkapan lingkungan, menyatakan bahwa laporan tahunan memberikan organisasi sebuah metode efektif untuk memanajemen kesan eksternal tidak sedikit karena laporan tahunan dipertimbangkan untuk menguasai sebuah derajat kredibilitas yang tidak berhubungan dengan media komunikasi perusahaan yang lain. Proxi dari material naratif di dalam laporan tahunan untuk laporan keuangan yang telah di audit dan kenyataannya bahwa auditor harus membaca material yang memberikan tingkat kredibilitas dan media lain diklaim tidak mempunyai hal itu.

24

Penemuan lain yang penting dari Zeghal dan Ahmed (1990) adalah, mereka menyatakan bahwa pilihan dari media pengungkapan informasi tergantung pada target masyarakat tentang pesan yang dimaksud dan yang memiliki ongkos produksi yang lebuh rendah dan pendistribusian brosur memberikan kesempatan perusahaan untuk memberikan informasi yang lebih luas pada masyarakat umum yang lain di mana perusahaan mengharapkan pencapaian target (Zeghal dan Ahmed, 1990). Pertimbangan itu juga dapat digunakan ketika menganalisa pengungkapan tanggung jawab melalui internet. Penelitian mengenai penggunaan internet sebagai media alternatif pengungkapan informasi tanggung jawab sosial telah banyak dilakukan (misal: Esrock dan Leichty, 1998, 2000; Williams dan Pei, 1990; Maignan dan Ralston, 2002; Pattern, 2002; Cooper, 2003; Snider et. al., 2003; Campbell dan Beck, 2004; Douglas et. al., 2004). Penelitian-penelitian tersebut berusaha untuk menganalisa penggunaan internet sebagai alat untuk berkomunikasi dengan stakeholder selain laporan tahunan perusahaan. Keuntungan dari penggunaan internet sebagai media komunikasi informasi kepada stakeholders dibandingkan dengan saluran komunikasi tradisional pada hakekatnya dihubungkan dengan kemungkinan untuk memberikan informasi yang sedikit lebih mahal dan lebih tepat waktu, interaktif secara alami. Salah satu fitur dari internet yang menarik adalah bahwa internet memberikan kesempatan untuk menyediakan informasi yang ditargetkan kepada stakeholders yang berbeda dan untuk memperoleh umpan balik dari mereka. Seperti yang ditunjukan oleh Esrock dan Leichty (2000), tidak sama dengan media massa tradisional, website tunggal

25

(single website) dapat mempunyai berbagai bagian yang masing-masing mentargetkan pada penggunaan yang berbeda. Salah satu aspek penting yang dapat dijadikan sebagai batasan dari internet adalah ketika dihubungkan dengan dekatnya material naratif antara laporan tahunan dengan laporan keuangan audited (Neu et. al., 1998). Dekatnya material naratif tersebut menuntut auditor harus membaca setiap material yang memberikan tingkat kredibilitas, sedangkan media lain diklaim tidak memiliki hal tersebut termasuk internet. Beberapa penelitian membandingkan pengungkapan informasi tanggung jawab sosial melalui internet dengan laporan tahunan (William dan Pie, 1999; Pattern dan Crampton, 2004; Douglas et. al., 2004, Branco dan Rodrigues, 2006). William dan Pie (1999) menguji pengungkapan tanggung jawab sosial di laporan tahunan dan pada website dibandingkan dalam laporan tahunan.

2.7

Kerangka Konseptual antara Kinerja Ekonomi dan Kinerja Lingkungan dengan Alokasi Dana CSR Berdasarkan penelitian sebelumnya, sebagian besar pengungkapan

informasi sosial di laporan keuangan tahunan memuat informasi mengenai tenaga kerja, lingkungan dan masyarakat. Alasan pengungkapan yang dilakukan perusahaan terhadap subyek yang banyak dikaji dalam penelitian (Epstein & Freedman, 1994; Gray et. al., 1995). Namun dari penelitian tersebut menyatakan

26

adanya responden yang melakukan tindakan yang berbeda terhadap keputusan investasi pada kondisi mereka dalam memperoleh informasi sosial dan pada kondisi tidak memperoleh informasi sosial. Sementara itu penelitian Diekers & Antal (1985) membuktikan bahwa ada pengaruh keputusan yang dibuat stakeholder terhadap informasi sosial perusahaan. Studi lain juga menemukan bukti bahwa perusahaan cenderung mengungkapkan hal-hal yang baik saja dan menahan informasi lingkungan yang sebenarnya dinilai buruk dan mempengaruhi reputasi perusahaan. Studi yang dilakukan penelitian selanjutnya Lindrianasari (2004), memberikan bukti bahwa usaha perusahaan dalam melestarikan lingkungan masih sangat kurang. Adanya audit kepatuhan menjadi tolok ukur bagi perusahaan yang mempunya informasi lingkungan yang baik akan lebih bersedia terbuka dalam memberikan informasi kepada masyarakat. Studi penelitian yang akan dilakukan memberikan suatu pembuktian baru terhadap pandangan hubungan antara perusahaan dan lingkungan. Didukung dengan peraturan baru tahun 2007 tentang kewajiban perusahaan yang kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumberdaya alam melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Hal ini dilakukan agar adanya kepatutan dan kewajaran suatu tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan sekitarnya. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah adanya hubungan yang signifikan antara kegiatan ekonomi perusahaan, program lingkungan perusahaan

27

dan kualitas pengungkapan laporan akuntansi lingkungan yang dilakukan perusahaan.

GAMBAR 2.2 MODEL KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

Kinerja Lingkungan

Ha2

Kinerja Ekonomi

Ha3 Ha1

Alokasi Dana CSR

2.7.1

Ha 1: Hubungan yang positif signifikan antara alokasi dana CSR dengan kinerja lingkungan Hipotesis pertama berbunyi adanya hubungan yang positif dan signifikan antara alokasi dana CSR dengan kinerja lingkungan. Pada penelitian Lindrianasari (2007) mengenai hubungan positif dan signifikan

28

antara kualitas pengungkapan lingkungan terhadap kinerja lingkungan menjadikan peneliti ingin meneliti lebih jauh. Peneliti ingin

mengungkapkan bahwasanya adanya alokasi dana CSR didalam pengungkapan laporan lingkungan (sustainability report) perusahaan. Isi laporan lingkungan perusahaan menjabarkan tiap-tiap jumlah dana pemasukan dan pengeluaran perusahaan untuk melakukan programprogram CSR. Alokasi dana CSR merupakan hasil pertanggungjawaban yang diberikan perusahaan terhadap sosial dan lingkungan. Bentuk pertanggungjawaban perusahaan tersebut dapat berupa program

pendidikan, kesehatan, penanaman pohon secara besar-besaran, bakti sosial, program kesejahteraan karyawan, penanganan limbah akibat kegiatan bisnis perusahaan dan lain sebagainya. Dana CSR yang dianggarkan perusahaan diasumsikan berasal dari total pendapatan atas penjualan produk dan jasa perusahaan. Hal ini dikarenakan kegiatan produksi perusahaan akan menimbulkan limbah sehingga perusahaan harus menjaga keseimbangan lingkungan sekitar perusahaan. Setiap produk dan jasa yang diproduksi akan dibebankan nilai kelestarian lingkungan kepada pelanggan yang menggunakan produk dan jasa tersebut. Dari total pendapatan yang diterima dari penjualan produk dan jasa, perusahaan akan menganggarkan untuk alokasi dana CSR yang akan dilakukan demi kelestarian sosial dan lingkungan. Semua itu diharapkan dapat berkesinambungan terhadap kinerja lingkungan perusahaan. Kinerja lingkungan yang didasari dengan kualitas

29

mutu usaha (ISO 9001 dan ISO 14001) dan program CSR didalamnya akan membuat perusahaan lebih perhatian terhadap sosial dan lingkungan sekitar. Sehingga para stakeholder menilai lebih perusahaan yang melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan dibanding yang tidak melakukan.

2.7.2

Ha 2: Hubungan yang positif signifikan antara kinerja ekonomi dengan kinerja lingkungan Hipotesisi kedua berbunyi ada hubungan yang positif dan signifikan antara kinerja ekonomi dengan kinerja lingkungan. Dalam penelitian yang memperlihatkan hubungan antara kinerja ekonomi dan kinerja lingkungan menyajikan beberapa variabel ekonomi (termasuk di dalamnya variabel keuangan) yang berhubungan positif signifikan dengan kinerja lingkungan. Hal ini mengimplikasikan bahwa kinerja ekonomi yang baik akan mendorong semakin baiknya kinerja lingkungan suatu perusahaan. Penelitian di bidang ini sebelumnya telah memperlihatkan hasil yang mixed. Beberapa studi mengenai kinerja lingkungan dan

hubungannya kinerja ekonomi telah dilakukan (Lefebvre et. al., 2003; Halkos et. al., 2002; Leiggh J, 2001). Haikos et. al., 2002, menemukan dalam studinya empat faktor yang paling berpengaruh dalam pelaksanaan

30

sistem manajemen lingkungan, yaitu ukuran perusahaan, legislations, kewajiban lingkungan serta perception. Penelitian di Cina (Christmann, 2003) mengungkapkan bahwa faktor globalisasi seperti kepemilikan multinasional, konsumen

multinasional dan export ke negara-negara maju dapat dan telah mendorong kinerja lingkungan. Andonova (2003) dalam penelitiannya juga mengungkapkan perusahaan multinasional mampu menunjukkan praktek-praktek manajemen lingkungan yang baik sehingga lebih siap dalam menghadapi tekanan publik dalam isu-isu lingkungan. Adapun penelitian lain yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja lingkungan mengungkapkan bahwa profitabilitas adalah salah satu faktor yang dominan (Spicer, 1978; Stanwick dan Stanwick, 1998). Dalam penelitiannya, Halkos (2002) menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kinerja lingkungan dengan ukuran perusahaan. Penelitian yang menggunakan variabel yang serupa juga ditahun-tahun selanjutnya berhasil mendukung temuan Halkos (Orlitzky, 2003; Salama, 2005). Misi World Bank untuk Indonesia telah melakukan penelitian untuk perusahaan manufaktur di Indonesia. Dalam penelitian Kaiser and Schulze (2003), mereka menggunakan variabel intensitas ekspor, ukuran perusahaan, sektor usaha (diwakili output), penggunaan energi dan kepemilikan asing. Mereka menemukan bahwa intensitas ekspor,

31

penggunaan energi, umur perusahaan dan ukuran perusahaan berhubungan positif signifikan terhadap kinerja lingkungan. Sedangkan untuk kepemilikan asing, mereka menjelaskan bahwa perusahaan yang dimiliki asing ternyata tidak memperlihatkan laporan pembiayaan lingkungan yang signifikan. Namun, jika dibandingkan dengan perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki lokal, perusahaan yang mayoritas sahamnya dimiliki asing lebih besar melakukan pembiayaan terhadap lingkungan (Kaiser dan Schulze,2003). Al-Tuwaijri et. al. (2003) menggunakan variabel, diantaranya pertumbuhan dan profit margin di dalam penelitiannya dan menemukan hubungan yang positif signifikan untuk keduanya terhadap kinerja lingkungan. Hal ini sejalan dengan penelitian Smith dan Watts (1992) yang menemukan hubungan yang positif antara pertumbuhan ekonomi dengan kinerja lingkungan.

2.8.3 Ha 3: Hubungan yang positif signifikan antara kinerja ekonomi dengan alokasi dana CSR Hipotesis ketiga berbunyi ada hubungan yang positif dan signifikan antara kinerja ekonomi dengan alokasi dana CSR. Berdasarkan penelitian Lindrianasari (2007) mengenai hubungan yang positif dan signifikan

32

antara kinerja ekonomi terhadap kualitas pengungkapan lingkungan menjadikan acuan untuk diteliti lebih dalam lagi. Penelitian selanjutnya kualitas pengungkapan lingkungan dijadikan dasar bagi alokasi dana CSR. Dimana untuk mengetahui kualitas pengungkapan lingkungan terdapat dana CSR yang dialokasikan oleh perusahaan dan diungkapkan di laporan lingkungan (sustainability report). Perusahaan melakukan kegiatan CSR salah satunya untuk memenuhi kewajiban perusahaan terhadap lingkungan dan sosial sekitarnya. Hal ini membuat para masyarakat merasa lebih diperhatikan oleh perusahaan. Selain itu, perusahaan juga akan dinilai baik oleh para stakeholders-nya dikarenakan adanya informasi sosial dan lingkungan yang diungkapkan perusahaan (Pava dan Krausz, 1996). Sehingga para pemegang saham akan lebih tertarik menanamkan modalnya di perusahaan yang mempunyai kegiatan CSR dan mengungkapkan secara benar alokasi dana CSR pada laporan lingkungan dibanding yang tidak melakukan hal tersebut. Dengan meningkatnya penambahan modal dari para investor, perusahaan juga dapat memperluas unit bisnis sehingga diimbangin dengan peningkatan jumlah pendapatan perusahaan. Dan diharapkan semakin banyak juga kegiatan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan.

33

Al Tuwaijri et. al. (2003) memperjelas hubungan antara kinerja ekonomi dengan kinerja lingkungan. Dengan menggunakan Visual Partial Least Square (VPLS) sebagai parameter estimasi atas variabel yang diuji dan dirasakan lebih efisien dibandingkan dengan penggunaan regresi berganda pada penelitian sebelumnya, mereka menyatakan bahwa kinerja lingkungan yang baik didukung dengan kinerja ekonomi yang baik. Atau kinerja ekonomi yang baik akan berhubungan dengan kinerja lingkungan yang baik pula. Al Tuwaijri et. al. (2003) mendukung pandangan sebagian besar investor yang melihat bahwa kinerja lingkungan yang baik sebagai intangible assets. Temuan mereka ini sejalan dengan temuan peneliti sebelumnya (Porter dan Lindes, 1995).

34

BAB III METODE PENELITIAN

3.1

Desain Penelitian Studi ini ingin membuktikan bahwa ada hubungan yang signifikan pada

kinerja ekonomi terhadap kinerja lingkungan dengan alokasi dana CSR perusahaan di Bursa Efek Indonesia. Keterkaitan antara isi laporan keuangan dengan laporan lingkungan perusahaan menjadi faktor yang penting dan perlu dibuktikan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, pertama akan dilihat terlebih dulu korelasi antara variabel yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan matriks korelasi. Namun untuk dapat menjawab pertanyaan dari hipotesis penelitian, diperlukan lebih sekadar matriks korelasi. Penyusunan dan penggolongan variabel-variabel kedalam ketiga hubungan penelitian tersebut diperlukan kejelian untuk memastikan variabel tersebut sesuai berdasarkan fungsi penelitiannya

3.2

Variabel Penelitian Terdapat tiga variabel laten (konstruk), yaitu: 1. Kinerja Ekonomi 2. Kinerja Lingkungan

35

3. Alokasi Dana CSR Ketiga variabel laten diatas dihubungkan satu sama lain sehingga membentuk suatu hasil penelitian baru. Pertama, meneliti apakah ada hubungan yang signifikan antara alokasi dana CSR dengan kinerja lingkungan. Kedua, meneliti apakah ada hubungan yang signifikan antara kinerja ekonomi terhadap kinerja lingkungan. Terakhir, apakah ada hubungan yang signifikan antara kinerja ekonomi terhadap alokasi dana lingkungan. Dari tiap hasil analisis diatas akan juga didapat pengaruh bila ada hubungan yang signifikan dan juga bila tidak.

3.3

Definisi Kinerja Ekonomi, Kinerja Lingkungan, dan Alokasi Dana CSR Penelitian ini memakai tiga bagian yang saling berhubungan yaitu, kinerja

ekonomi, kinerja lingkungan, dan alokasi dana CSR. Disetiap bagian akan ada indikator yang menjadi tolok ukur seberapa erat hubungan variabel yang akan dipakai dan dapat berguna menjadi variabel yang sesuai dengan tujuan penelitian. 3.3.1 Kinerja Ekonomi Khusus untuk kinerja ekonomi di fokuskan hanya pada tahun 2008, dikarenakan belum semua perusahaan memasukkan laporan keuangan dan laporan tahun 2009. Sehingga untuk mencapai suatu informasi yang sejenis dipilih karena kinerja ekonomi tahun 2008.

36

Empat variabel dipilih untuk mewakili kinerja ekonomi. Ketiga variabel tersebut adalah marjin perusahaan sebagai proksi kinerja ekonomi, Return On Asset (ROA) dan Return on Equity (ROE). Untuk marjin, seperti dalam Al-Tuwaijri et. Al. (2003) akan dilakukan pendekatan dengan membandingkan net sales terhadap net income after tax. MARJIN = Net Sales Net Income After Tax Return On Asset (ROA) adalah salah satu bentu dari rasio profitabilitas yang dimaksudkan untuk mengukur kemampuan perusahaan atas keseluruhan dana yang ditanamkan dalam aktifitas yang digunakan untuk aktivitas operasi perusahaan dengan tujuan menghasilkan laba dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Return On Asset (ROA) merupakan rasio yang terpenting di antara rasio terpenting di antara rasio profitabilitas yang ada (Ang, 1997). Secara matematis ROA dapat dirumuskan sebagai berikut: ROE = NIAT Average Total Asset NIAT merupakan pendapatana bersih sesudah pajak. Average Total Asset merupakan rata-rata total assets awal tahun dan akhir tahun. Semakin besar ROA menunjukan kinerja yang semakin baik, karena tingkat pengembalian yang semakin besar (Ang, 1997 : 18.33).

37

Return On Equity (ROE) atau sering disebut juga dengan Return On Common Equity. Dalam bahasa Indonesia, istilah ini sering juga diterjemahkan sebagai rentabilitas modal sendiri (Hanafi dan Halim, 2000 : 179). ROE merupakan rasio antara laba bersih setelah pajak terhadap penyertaan modal saham sendiri yang berarti juga merupakan untuk menilai seberapa besar tingkat pengembalian (prosentase) dari saham sendiri yang ditanamkan dalam bisnis (Widiyanto, 1995 : 18.33). ROE = NIAT Average Total Equity 3.3.2 Kinerja Lingkungan Tolok ukur kinerja lingkungan yang akan dipakai di dalam setiap penelitian dapat saja beragam, tergantung dari indikator yang dipakai. Paling tidak ada empat indikator kinerja lingkungan yang saat ini bisa digunakan; AMDAL (uji BOD dan COD air limbah), PROPER, ISO (yakni ISO 9001 untuk sistem manajemen kualitas (mutu), ISO 14001 untuk sistem manajemen lingkungan internasional, dan ISO 17025 untuk Sertifikasi Uji Lingkungan dari lembaga independen), program lingkungan perusahaan (Corporate Social Responsibility / CSR) dan GRI (Global Reporting Initiative). GRI merupakan pioner dalam mengembangkan rerangka kerja pelaporan sustainability yang berisikan laporan keuanganm lingkungan dan sosial sebagai pembanding laporan keuangan.

38

Kinerja lingkungan yang digunakan dalam penelitian ini akan diwakilkan dengan ISO 9001 dan ISO 14001 yaitu sertifikasi manajemen kualitas (mutu) serta manajemen lingkungan yang diperoleh perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pemilihan ini dikarenakan ISO 9001 dan ISO 14001 umumnya diberikan kepada perusahaan yang telah memiliki Sistem Manajemen Kualitas dan Lingkungan yang memenuhi standar internasional dan dikeluarkan oleh pihak yang berkompeten. Nilai 1 akan dilekatkan kepada perusahaan yang memperoleh ISO 9001 dan ISO 14001 dan nilai 0 bagi yang belum memperoleh. Khusus untuk perusahaan pelayaran, menggunakan standar IOPP (International Oily Pollution Prevention) yaitu suatu sertifikasi yang diberikan kepada perusahaan pelayaran yang semua kapal-kapal yang digunakan di dalam kegiatan operasionalnya bebas dari pencemaran minyak di laut. Sertifikasi ini disetarakan dengan ISO 9001 dan ISO 14001. Informasi ISO 9001 dan ISO 14001 diperoleh dari Database Nasional Sertifikasi ISO 9001 dan ISO 14001 yang dikeluarkan oleh KLH tahun 2005 dan juga pencarian melalui internet. Pemilihan kinerja lingkungan melalui PROPER sesungguhnya mudah diperoleh dan sudah tersedia melalui website KLH. Namun karena sebagian besar PROPER melakukan pengujian secara sektoral, sehingga untuk perusahaan yang besar, yang memiliki anak perusahaan, cabang ataupun pabrik, kadangkala tidak memiliki peringkat yang sama, sehingga pada akhirnya peneliti mengalami kesulitan untuk memberikan kesimpulan peringkat perusahaan secara

keseluruhan.

39

Hal inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa PROPER tidak dipilih mewakili variabel kinerja lingkungan. Pada program lingkungan perusahaan atau CSR, peneliti melihat dari ada tidaknya pelaksanaan program CSR perusahaan kepada masyarakat yang tertuang pada Sustanaibility Reporting (SR). Pemberian nilai 1 kepada perusahaan yang melaksanakan program lingkungan perusahaan dan nilai 0 bagi perusahaan yang tidak melaksanakan. 3.3.3 Alokasi dana CSR (Allocation of Environment Fund) Informasi yang digunakan di dalam penelitian adalah pengungkapan yang dilakukan perusahaan pada laporan keuangan tahun 2008. Penelitian ini menganggap penggunaan informasi pada satu tahun tersebut berkaitan dengan kinerja lingkungan perusahaan yang mana ada peraturan baru pada tahun 2007 tentang kewajiban perusahaan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pemilihan variabel alokasi dana CSR terdiri dari ada tidaknya Sustainability Reporting (SR) dan dana yang dikeluarkan untuk program lingkungan perusahaan. Pemberian nilai 1 kepada perusahaan yang masingmasing memiliki Sustanability Reporting (SR) dan dana program tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Dan pemberian nilai 0 pada sebaliknya. Selain itu, dipakai juga variabel prosentase dana program tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan yang biasanya tertera dalam biaya administrasi

40

umum yang terperinci salah satunya sebagai biaya pemeliharaan terhadap penjualan bersih. Hal ini didasarkan akan keterkaitan yang mendekati terhadap alokasi dana CSR.

3.4

Populasi dan Sampel Sulitnya memperoleh sampel yang memenuhi kriteria pengukuran

membuat mengharuskan penelitian ini memisahkan secara jelas masing-masing sampel untuk pengujian. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan informasi seoptimal mungkin dengan menggunakan sampel yang maksimal. Dari data yang tersedia dan dapat peneliti kumpulkan, dengan mempertimbangkan cluster masing-masing perusahaan agar memenuhi semua kriteria populasi di Indonesia, akhirnya terpilihlah 54 sampel di dalam penelitian ini. Sampel tersebut akan dirinci sebagai berikut: 1. Sektor Perkebunan Terdiri dari perkebunan sebanyak 6 perusahaan. 2. Sektor Pertambangan Terdiri dari: a. Pertambangan Batu Bara sebanyak 6 perusahaan.

41

b. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi sebanyak 4 perusahaan. c. Pertambangan Logam dan Mineral lainnya sebanyak 3 perusahaan. 3. Sektor Industri Dasar dan Kimia Terdiri dari: a. Semen sebanyak 3 perusahaan. b. Logam dan sejenisnya sebanyak 12 perusahaan. c. Kayu dan Pengolahannya sebanyak 4 perusahaan. d. Pulp dan Kertas sebanyak 4 perusahaan. 4. Sektor Aneka Industri terdiri dari tekstil dan garmen sebanyak 12 perusahaan. 5. Sektor Industri Barang Konsumsi yang terdiri dari rokok sebanyak 1 perusahaan. 3.5 Jenis dan Sumber Data Untuk pengambilan jenis data diperlukan klasifikasi yang jelas dan sesuai terhadap perusahaan yang akan diteliti. Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang sudah tersedia di lembagalembaga penyedia informasi yang berkompeten.

42

Data sekunder tersebut di ambil dari Bursa Efek Indonesia melalui website (www.idx.co.id). Selain itu, melalui website masing-masing perusahaan yang menyediakan informasi lengkap seperti company profile, kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan (program CSR) perusahaan tersebut. dan juga informasi terbaru mengenai

3.6

Metode Pengumpulan Data Pada penelitian ini dalam pengambilan sampel menggunakan secara acak

(random).

Kelengkapan

informasi

yang

disediakan

perusahaan

menjadi

pertimbangan utama dalam metode pengambilan data. Data yang lengkap dan sesuai dengan kebutuhan penelitian akan sangat membantu. Dari 76 perusahaan yang dilihat melaksanakan program lingkungan, terpilih 54 perusahaan yang mempunyai informasi yang terlengkap dan berkompeten. Informasi ini sangat berguna untuk mewakili tiap-tiap indikator sehingga semua variabel dapat diukur menggunakan indikator tersebut.

3.7

Metode Analisis Untuk ketiga hipotesis yang akan diajukan di dalam penelitian ini

dilakukan pengujian dengan menggunakan analisis regresi partial ( Partial Least Square / PLS). Masing-masing hipotesis akan dianalisis menggunakan sofware

43

Visual PLS (VPLS) yang cukup pas untuk menguji hubungan antar variabel tersebut. 3.7.1 Metode Partial Least Square (PLS)

3.7.1.1 Pengertian PLS merupakan pendekatan yang lebih tepat untuk tujuan prediksi, hal ini terutama pada kondisi dimana indikator bersifat formatif. Dengan variabel laten berupa kombinasi linier dari indikatornya, maka prediksi nilai dari variabel laten dapat dengan mudah diperoleh, sehingga prediksi nilai terhadap variabel laten yang dipengaruhinya juga dapat dengan mudah diperoleh, sehingga prediksi terhadap variabel laten yang dipengaruhi juga dapat dengan mudah dilakukan. Melalui pendekatan ini, diasumsikan bahwa semua varian yang dihitung merupakan varian yang berguna untuk penjelasan. Pendekatan pendugaan variabel laten dalam PLS adalah sebagai exact kombinasi linear dari indikator, sehingga mampu menghindari masalah indeterminacy dan menghasilkan skor komponen yang tepat. Dengan menggunakan algoritma iteratif yang terdiri dari beberapa analisis dengan metode kuadrat kecil biasa (ordinary least square) maka persoalan identifikasi tidak menjadi masalah, karena model bersifat rekursif. Pendekatan PLS didasarkan pada pergeseran analisis dari pengukuran estimasi parameter model menjadi pengukuran prediksi yang relevan. Sehingga fokus analisis bergeser dari hanya estimasi dan penafsiran signifikan parameter menjadi validitas dan akurasi prediksi.

44

Didalam PLS variabel laten bisa berupa hasil pencerminan indikatornya, diistilahkan dengan indikator refleksif (reflective indicator). Disamping itu, juga bisa konstruk dibentuk (formatif) oleh indikatornya, diistilahkan dengan indikator formatif (formative indicator).

3.7.1.2 Model Indikator Refleksif

Dikembangkan

berdasarkan

pada

classical

test

theory

yang

mengasumsikan bahwa variasi skor pengukuran konstruk merupakan fungsi dari true score ditambah error. Jadi konstruk laten seolah-olah mempengaruhi variasi pengukuran dan asumsi hubungan kausalitas dari konstruk ke indikator. Model refleksif sering juga disebut principal factor model dimana kovarian pengukuran indikator seolah-olah dipengaruhi oleh konstruk laten atau mencerminkan variasi dari konstruk laten.

Pada model refleksif, konstruk (unidimensional) digambarkan dengan bentuk ellips dengan beberapa anak panah dari konstruk ke indikator. Model ini menghipotesiskan bahwa perubahan pada konstruk laten akan mempengaruhi perubahan pada indikator. Model indikator refleksif harus memiliki internal konsistensi karena semua indikator diasumsikan mengukur satu konstruk, sehingga dua indikator yang sama reliabilitasnya dapat saling dipertukarkan. Walaupun reliabilitas (Cronbach Alpha) suatu konstruk akan rendah jika hanya ada sedikit indikator, tetapi validitas konstruk tidak akan berubah jika satu indikator dihilangkan.

45

Contoh model indikator refleksif adalah konstruk yang berkaitan dengan sikap (attitude) dan niat membeli (purchase intention). Sikap umumnya dipandang sebagi jawaban dalam bentuk favorable (positif) atau unfavorable (negatif) terhadap suatu obyek dan biasanya diukur dengan skala multi item dalam bentuk semantik differences seperti, good-bad, like-dislike, dan favorableunfavorable. Sedangkan niat membeli umumnya diukur dengan ukuran subyektif seperti how likely-unlikely, probable-improbable, dan/atau possible-impossible.

Gambar 3.1 Principal Factor (Reflective) Model

X1

e1

Principal Factor

X2

e2

X3

e3

Sumber: Prof. Dr. Imam Ghozali, M.Com, Akt., Structural Equation Modeling Metode Alternatif dengan Partial Least Square, Jan 2004, hal 9

Ciri-ciri model indikator reflektif adalah:

Arah hubungan kausalitas seolah-olah dari konstruk ke indikator. Antar indikator diarapkan saling berkorelasi (memiliki internal consitency reliability).

46

Menghilangkan satu indikator dari model pengukuran tidak akan merubah makna dan arti konstruk.

Menghitung adanya kesalahan pengukuran (error) pada tingkat indikator.

3.7.1.3 Model Indikator Formatif

Konstruk dengan indikator formatif mempunyai karakteristik berupa komposit, seperti yang digunakan dalam literatur ekonomi yaitu index of sustainable economics welfare, the human development index, dan the quality of life index. Asal usul model formatif dapat ditelusuri kembali pada operational definition, dan berdasarkan definisi operasional, maka dapat dinyatakan tepat menggunakan model formatif atau refleksif. Jika menggambarkan suatu variabel laten dan x adalah indikator, maka: = x

Oleh karena itu, pada model formatif variabel komposit seolah-olah dipengaruhi (ditentukan) oleh indikatornya. Jadi arah hubungan kausalitas seolaholah dari indikator ke variabel laten.

Dalam

model

formatif,

perubahan

pada

indikator

dihipotesakan

mempengaruhi perubahan dalam konstruk (variabel laten). Tidak seperti pada model refleksif, model formatif tidak mengasumsikan bahwa indikator dipengaruhi oleh konstruk tetapi mengasumsikan bahwa semua indikator mempengaruhi single konstruk. Arah hubungan kausalitas seolah-olah mengalir dari indikator ke konstruk laten dan indikator sebagai group secara bersama-sama menentukan konsep, konstruk atau laten.

47

Oleh karena, diasumsikan bahwa indikator seolah-olah mempengaruhi konstruk laten, maka ada kemungkinan antar indikator saling berkorelasi, tetapi model formatif tidak mengasumsikan perlunya korelasi antar indikator secara konsisten. Sebagai misal komposit konstruk yang diukur oleh indikator yang saling mutually exclusive, adalah konstruk Status Sosial Ekonomi diukur dengan indikator antara lain Pendidikan, Pekerjaan dan Tempat Tinggal.

Oleh karena diasumsikan bahwa antar indikator tidak saling berkorelasi maka ukuran internal konsistensi reliabilitas (Alpha Cronbach) tidak diperlukan untuk menguji reliabilitas konstruk formatif. Kausalitas hubungan antar indikator tidak menjadi rendah nilai validitasnya hanya karena memiliki internal konsistensi yang rendah. Untuk menilai validitas konstruk perlu dilihat vaiabel lain yang mempengaruhi konstruk laten. Jadi untuk menguji validitas dari konstruk laten, peneliti harus menekankan pada nimological dan atau criterion-related validity.

Implikasi lainnya dari model formatif adalah dengan menghilangkan (dropping) satu indikator dalam model akan menimbulkan persoalan serius. Menurut para ahli psikometri indikator formatif memerlukan semua indikator yang membentuk konstruk. Jadi menghilangkan satu indikator akan

menghilangkan bagian yang unik dari konstruk laten dan merubah makna dari konstruk. Komposit variabel laten memasukkan error term dalam model, hanya error term diletakkan pada konstruk laten dan bukan pada indikator.

Model formatif memandang (secara matematis) indikator seolah-olah sebagai variabel yang mempengaruhi variabel laten, dalam hal ini memang

48

berbeda dengan model analisis faktor, jika salah satu indikator meningkat, tidak harus diikuti oleh peningkatan indikator lainnya dalam satu konstruk, tapi jelas akan meningkatkan variabel latennya. Model refleksif mengasumsikan semua indikator seolah-olah dipengaruhi oleh variabel konstruk, oleh karena itu menghendaki antar indikator saling berkorelasi satu sama lain. Dalam hal ini konstruk diperoleh menggunakan analis faktor. Sedangkan, model formatif (konstruk diperoleh melalui analisis komponen utama) tidak mengasumsikan perlunya korelasi antar indikator, atau secara konsisten berasumsi tidak ada hubungan antar indikator. Oleh karena itu, internal konsisten (Alpha Cronbach) kadang-kadang tidak diperlukan untuk menguji reliabilitas konstruk formatif. Gambar 3.2 Composite Latent Variable (Formative) Model X1Zeta

Composite Factor

X2

X3 Sumber: Prof. Dr. Imam Ghozali, M.Com, Akt., Structural Equation Modeling Metode Alternatif dengan Partial Least Square, Jan 2004, hal 11

Ciri-ciri model indikator formatif adalah: Arah hubungan kausalitas dari indikator ke konstruk.

49

Antara indikator diasumsikan tidak berkorelasi (tidak diperlukan uji konsistensi internal atau cronbach alpha ).

Menghilangkan satu indikator berakibat merubah makna dari konstruk Kesalahan pengukuran diletakkan pada tingkat konstruk (zeta) Konstruk mempunyai makna surplus Skala skor tidak menggambarkan konstruk

3.7.1.4 Kegunaan Metode Partial Least Square (PLS) Kegunaan PLS adalah untuk mendapatkan model struktural yang powerfull untuk tujuan prediksi. Pada PLS, penduga bobot (weight estimate) untuk menghasilkan skor variabel laten dari indikatornya dispesifikasikan dalam outer model, sedangkan inner model adalah model struktural yang

menghubungkan antar variabel laten. 3.7.1.5 Pengukuran Metode Partial Least Square (PLS) Pendugaan parameter di dalam PLS meliputi 3 hal, yaitu : 1) Weight estimate yang digunakan untuk menciptakan skor variabel laten. 2) Estimasi jalur (path estimate) yang menghubungkan antar variabel laten dan estimasi loading antara variabel laten dengan indikatornya. 3) Means dan lokasi parameter (nilai konstanta regresi, intersep) untuk indikator dan variabel laten.

50

Untuk memperoleh ketiga estimasi ini, PLS menggunakan proses iterasi tiga tahap dan setiap tahap iterasi menghasilkan estimasi. Tahap pertama menghasilkan penduga bobot (weight estimate), tahap kedua menghasilkan estimasi untuk inner model dan outer model, dan tahap ketiga menghasilkan estimasi means dan lokasi (konstanta). Pada dua tahap pertama proses iterasi dilakukan dengan pendekatan deviasi (penyimpangan) dari nilai means (rata-rata). Pada tahap ketiga, estimasi bisa didasarkan pada matriks data asli dan taua hasil penduga bobot dan koefisien jalur pada tahap kedua, tujuannya untuk menghitung means dan lokasi parameter.

3.7.1.6 Langkah-langkah PLS

1) Langkah Pertama: Merancang Model Struktural (inner model) 2) Langkah Kedua: Merancang Model Pengukuran (outer model) 3) Langkah Ketiga: Mengkonstruksi Diagram Jalur 4) Langkah Keempat: Konversi Diagram Jalur kedalam Sistem Persamaan 5) Langkah Kelima: Estimasi 6) Langkah Keenam: Goodness of Fit 7) Langkah Ketujuh: Pengujian Hipotesis

3.7.1.7 Asumsi PLS

Asumsi pada PLS hanya berkait dengan pemodelan persamaan struktural, dan tidak terkait dengan pengujian hipotesis, yaitu:

1) Hubungan antar variabel laten dalam inner model adalah linier dan aditif

51

2) Model struktural bersifat rekursif

3.7.1.8 Ukuran Sampel

Dasar yang digunakan untuk pengujian hipotesis pada PLS adalah resampling dengan Bootstrapping yang dikembangkan oleh Geisser & Stone. Ukuran sampel dalam PLS dengan perkiraan sebagai berikut:

1) Sepuluh kali jumlah indikator formatif (mengabaikan indikator refleksif)

2) Sepuluh kali jumlah jalur struktural (structural paths) pada inner model

3) Sample size kecil 30 50 atau sampel besar lebih dari 200

3.7.1.9 Software Untuk PLS

Software untuk menganalis Partial Least Square (PLS) pertama kali dikembangkan oleh Jan-Bernd Lohmoller (1984, 1987, 1989) under DOS dan disebut LVPLS versi 1.8 (Latent Variable Partial Least Square), dapat didownload di http://kiptron.psyc.virginia.edu. Software ini dikembangkan lebih lanjut oleh Wynne W Chin (1998, 1999, 2001) menjadi under windows dengan tampilan grafis dan tambahan perbaikan teknik validasi dengan memasukkan bootstrapping dan jacknifing. Software yang dikembangkan oleh Chin diberi nama PLS GRAPH versi 3.0, versi student dapat didownload secara gratis di www.bauer.uh.edu. Versi student ini mampu mengolah maksimum 30 variabel.

52

Di University of Hamburg Jerman juga dikembangkan software PLS yang diberi nama SmartPLS. Versi pertama adalah SmartPLS versi 1.01, kemudian dikembangkan lagi ke versi 2.0 dan yang terakhir (akhir tahun 2006) adalah SmartPLS versi 2.0 M3. Pengembangan software ini meliputi perbaikan tampilan, penambahan fasilitas untuk efek moderator, tambahan report/output yakni communality, redundancy, dan Alpha Cronbach. Software SmartPLS dapat didownload secara gratis di www.smartpls.de.

Software PLS lain dikembangkan oleh Jen Ruei Fu dari National Kaohsiung University, Taiwan, yang diberi nama VPLS (VisualPLS). Software ini dapat didownload secara gratis di http://www2.kuas.edu.tw.

Software lain yang dapat menjalankan PLS melalui tampilan grafis adalah PLS-GUI yang dikembangkan oleh Yuan Li dari Management Science Department, The More School of Business, University of South Carolina. Software ini dapat di download gratis dari http://dmsweb.badm.sc.edu.

53

BAB IV HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN

4.1

Deskripsi Objek Penelitian Data yang disajikan dalam penelitian ini yang berasal dari

perusahaan yang tercantum di Bursa Efek Indonesia (www.idx.co.id). Dari 76 perusahaan yang terdaftar, terdapat 54 perusahaan yang memenuhi kelengkapan informasi yang dibutuhkan. Informasi yang dibutuhkan antara lain: 1. Kinerja Ekonomi, antara lain: Persentase marjin perusahaan Persentase ROA Persentase ROE 2. Kinerja Lingkungan, antara lain: Ada / Tidak ISO 9001 Ada / Tidak ISO 14001 Ada / Tidak program lingkungan 3. Alokasi Dana CSR, antara lain:

54

Ada / Tidak laporan lingkungan ( Sustainability Reports ) Ada / Tidak dana perusahaan yang dialokasikan untuk program lingkungan perusahaan Persentase dana CSR yang dikeluarkan perusahaan Namun hanya 42 perusahaan yang sesuai (compatible) dipakai dalam pengolahan data. Hal ini karena ada beberapa data yang dinilai mempunyai persentase yang ekstrim (melebihi rata-rata), sehingga dapat mengganggu hasil akhir penelitian. Dan berpengaruh pada interpretasi data nantinya. Perusahaan yang digunakan adalah jenis perusahaan ekstraktif yaitu perusahaan yang proses produksinya diambil langsung dari alam (natural resources). Perusahaan tersebut akan dirinci sebagai berikut: Tabel 4.1 Daftar Data Perusahaan

NO1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 PERKEBUNAN

SEKTOR

KODEAALI GZCO LSIP SGRO TBLA UNSP BRPT SULI TIRT FASW INRU

NAMAPERUSAHAANAstraArgoLestariTbk GozcoPlantationTbk PPLondonSumateraTbk SampoernaAgroTbk TunasBaruLampungTbk BakrieSumateraPlantationTbk BaritoPacificTbk SumalindoLestariJayaTbk TirtaMahakamResourcesTbk FajarSuryaWisesaTbk TobaPulpLestariTbk

KAYU&PENGOLAHAN PULP&KERTAS

55

12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42

ROKOK PERTAMBANGANBATUBARA

PERTAMBANGANMINYAK&GASBUMI PERTAMBANGANLOGAM&MINERALLAINNYA SEMEN LOGAM

RMBA ADRO BYAN ITMG KKGI PTBA ELSA MEDC RUIS ANTM INCO TINS INTP SMCB SMGR ALMI BTON CTBN INAI ITMA JPRS LION LMSH PICO DOID INDR UNTI POLY RDTX SSTM UNTX

BentoelInternationalInv.Tbk AdaroEnergyTbk BayanResourcesTbk IndoTambangrayaMegahTbk ResourcesAlamIndonesiaTbk TambangBatubaraBukitAsamTbk ElnusaTbk MedcoEnergyInternationalTbk RadiantUtamaInterinscoTbk AnekaTambang(Persero)Tbk InternationalNickelInd.Tbk TimahTbk IndocementTunggalPrakarsaTbk HolcimIndonesiaTbk SemenGresik(Persero)Tbk AlumindoLightMetalInds.Tbk BetonjayaManunggalTbk CitraTubindoTbk IndalAluminiumIndustryTbk ItamarayaTbk JayaPariSteelTbk LionMetalWorksTbk LionMeshPrimaTbk PelangiIndahCanindoTbk DeltaDuniaPetroindoTbk IndoRamaSynteticTbk NusantaraIndahCorporaTbk PolysindoEkaPerkasaTbk RodaVivatexTbk SunsonTextileManufactureTbk UnitexTbk

Sumber: Bursa Efek Jakarta ( www.idx.co.id ), diolah. Penelitian ini mengenai pengaruh hasil analisis hubungan Kinerja Ekonomi dan Kinerja Lingkungan dengan Alokasi Dana CSR. Dari tiaptiap variabel laten (konstruk) terdapat indikator-indikator yang bersifat

56

refleksif, yaitu arah panah variabel laten (konstruk) menuju ke indikator, yang berarti mengasumsikan konstruk laten mempengaruhi variasi pengukuran dan asumsi hubungan kausalitas dari konstruk laten ke indikator. Model refleksif sering disebut juga principal factor model dimana covariance pengukuran indikator dipengaruhi oleh konstruk laten atau mencerminkan variasi dari konstruk pada laten. konstruk Model laten ini akan

menghipotesiskan

bahwa

perubahan

mempengaruhi perubahan pada indikator (Bollen dan Lenox, 1991). Variabel laten (konstruk) sebagai berikut: 1. Kinerja Ekonomi. Mempunyai tiga indikator, yaitu: Marjin perusahaan ROA ROE 2. Kinerja Lingkungan. Mempunyai tiga indikator, yaitu: ISO 9001 ISO 14001 Program Lingkungan 3. Alokasi Dana CSR. Mempunyai tiga indikator, yaitu: Sustainability Report

57

Dana Lingkungan Persentase Dana Lingkungan Alat uji yang digunakan dalam penelitian adalah Visual Partial Least Square (Visual PLS / VPLS). Alasan menggunakan alat uji ini adalah: 1. Tujuan Visual PLS berorientasi prediksi. 2. Visual PLS dapat menganalisis sekaligus variabel laten (konstruk) yang dibentuk dengan indikator reflektif atau formatif dan hal ini tidak mungkin dijalankan oleh alat uji yang lain. 3. Besar sampel yang disajikan Kekuatan analisis didasarkan pada porsi dari model yang memiliki jumlah prediktor terbesar. Minimal direkomendasikan berkisar dari 30 sampai 100 kasus.

Dalam melakukan penelitian, peneliti mengacu pada buku Structural Equation Modeling, Metode Alternatif dengan Partial Least Square (PLS) karangan Prof. Dr. Imam Ghozali, M.Com, Akt. tahun 2008. Penelitian ini menjelaskan hubungan dan pengaruh antara tiga variabel laten yaitu, Kinerja Ekonomi, Kinerja Lingkungan dan Alokasi Dana CSR. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang meneliti tentang

58

hubungan Kinerja Lingkungan dan kualitas pengungkapan lingkungan dengan Kinerja Ekonomi memunculkan pemikiran baru yang tertuang pada tiga hipotesis baru. Hipotesis pertama, mengenai hubungan Alokasi Dana CSR terhadap Kinerja Lingkungan. Hipotesis kedua, mengenai hubungan Kinerja Ekonomi terhadap Kinerja Lingkungan. Dan hipotesis ketiga, mengenai hubungan Kinerja Ekonomi terhadap Alokasi Dana CSR.

4.2

Analisis Hasil Dari data yang telah diolah didapatkan hasil olah berikut ini:

Tabel 4.2 Factor Structure Matrix of Loadings and Cross Loadings Factor Structure Matrix of Loadings and Cross-Loadings Scale Items KL KE ADL x1 0.0000 0.0000 0.0000 x2 0.1403 -0.1041 1.0244 x3 0.0000 0.0000 0.0000 z1 0.1468 -0.2833 0.8569 z2 -0.1907 0.1658 0.8265 z3 0.0402 0.1825 0.7611 y1 0.0000 0.0000 0.0000 y2 0.0000 0.0000 0.0000 y3 -0.1041 -0.2509 1.0244

Sumber: Data Sekunder 2008, diolah.

Nilai factor loading konstruk harus diatas 0.70. Factor loading menggambarkan seberapa besar keterkaitan indikator-indikator terhadap

59

masing-masing konstruknya. Kinerja Ekonomi memiliki keseluruhan nilai indikator diatas 0.70 yaitu indikator Z1 (Marjin Perusahaan) pada nilai 0.8569, indikator Z2 (ROA) pada nilai 0.8265 dan indikator ROE pada nilai 0.7611. Hasil ini berarti ada keterkaitan yang baik antara indikator-indikator dengan masing-masing konstruk. Sedangkan pada Kinerja Lingkungan hanya memiliki satu indikator yaitu, ada / tidak adanya ISO 14001 yang memiliki nilai diatas 0.70 sebesar 1.0244. Indikator ini dapat dijadikan acuan untuk Kinerja Lingkungan walaupun nilai indikator Kinerja Lingkungan tidak mendukung. Begitu juga dengan Alokasi Dana CSR yaitu pada indikator Y3 (persentase dana CSR) yang dikeluarkan perusahaan. Indikator persentase dana CSR (Y3) dapat dijadikan acuan bagi konstruk alokasi ana CSR. Tabel 4.3 Correlations of the Latent Variables Correlation of Latent VariablesKL KL KE AD_CSR 1.000 0.143 -0.102 1.000 -0.257 1.000 KE AD_CSR

Sumber: Data Sekunder 2008, diolah.

Keterkaitan antara variabel laten menjelaskan mengenai hubungan antara tiap-tiap variabel laten (konstruk). Kinerja Ekonomi mempunyai hubungan yang positif dengan Kinerja Lingkungan sebesar 0.143.

60

Namun jika dihubungkan dengan Alokasi Dana CSR ternyata mempunyai hubungan negatif sebesar -0.102. Kinerja Ekonomi mempunyai hubungan negatif dengan Alokasi Dana CSR yaitu sebesar -0.257. Sedangkan Kinerja Lingkungan tidak berpengaruh dengan Kinerja Ekonomi. Begitu pula dengan Alokasi Dana CSR. Dan Kinerja Ekonomi tidak berkorelasi dengan Alokasi Dana CSR. Tabel 4.3 secara garis besar dapat memberikan hasil dari hipotesis yang diajukan antara keterkaitan Kinerja Ekonomi dengan Kinerja Lingkungan serta Alokasi Dana CSR. Tabel 4.4 Reliability and AVE Reliability and AVE Composite AVE Reliability 0.333333 0.333333 0.386579 0.699524 0.333333 0.333333

Construct KL KE AD_CSR

Cronbach Alpha -0.000000 -1.130138 0.000000

Sumber: Data Sekunder 2008, diolah. Pengukuran composite reliability dengan cara mengukur internal consistency dan nilainya harus di atas 0.60. Namun ternyata tidak ada satupun variabel laten yang memenuhi syarat tersebut. Walaupun demikian, nilai composite reliability pada Kinerja Lingkungan sebesar 3,33% sudah cukup memberikan informasi dari sekian banyak indikator yang harus dimasukan untuk mewakilkan konstruk Kinerja Lingkungan. Begitu juga nilai composite reliability

61

pada konstruk Kinerja Ekonomi sebesar 3,86% dan konstruk Alokasi Dana CSR sebesar 3,33%. Nilai average variance extracted (AVE) harus di atas 0.50. Dari tabel ini dapat disimpulkan hanya Kinerja Ekonomi yang memiliki nilai AVE di atas 0.50 yaitu sebesar 0.699524.

Tabel 4.5 Factor Structure Matrix of Loadings and Cross-Loadings Factor Structure Matrix of Loadings and CrossLoadings Scale KL KE AD_CSR Items x1 0.0000 0.0000 0.0000 x2 0.1403 -0.1041 1.0244 x3 0.0000 0.0000 0.0000 z1 0.1468 -0.2833 0.8569 z2 0.1658 0.1907 0.8265 z3 0.0402 0.1825 0.7611 y1 0.0000 0.0000 0.0000 y2 0.0000 0.0000 0.0000 y3 1.0244 0.1041 0.2509

Sumber: Data Sekunder 2008, diolah.

Factor structure matrix of loadings and cross-loading menjelaskan seberapa kuat indikator-indikator berpengaruh pada masing-masing variabel laten (konstruk). Menurut Chin (1998) suatu indikator bisa

62

dikatakan mempunyai reliabilitas yang baik jika nilainya lebih besar dari 0.70. Pada Konstruk Kinerja Lingkungan ternyata indikator X2 (ada / tidak ISO 9001) mempunyai pengaruh yang kuat terhadap konstruk dengan nilai sebesar 1.0244. Sedangkan indikator X1 dan X2 tidak bepengaruh kuat pada konstruk Kinerja Lingkungan. Indikator pada Konstruk Kinerja Ekonomi yang mempunyai pengaruh yang kuat adalah Z1 (Marjin Perusahaan) dengan nilai sebesar 0.8569. Sedangkan indikator Z2 dan Z3 tidak berpengaruh karena bernilai negatif. Pada Konstruk Alokasi Dana CSR hanya indikator Y3 (Persentase Program Lingkungan) yang memenuhi nilai lebih dari 0.70 yaitu 1.0244, yang berarti indikator ini mempunyai pengaruh kuat terhadap Konstruk Alokasi Dana CSR.

Gambar 4.1 Hasil Analisis antara Kinerja Ekonomi dan Kinerja Lingkungan dengan Alokasi Dana CSR

63

Sumber: Data Sekunder 2008, diolah.

Berdasarkan pengolahan data yang menggunakan alat uji Visual PLS dengan model indikator refleksif didapatkan hasil seperti gambar 4.1. Nilai R-Square yang ada pada gambar diatas sebesar 0.066 yang berarti variabilitas Alokasi Dana CSR yang dapat dijelaskan oleh Kinerja Ekonomi hanya sebesar 6,6%. Hal ini dikarenakan bahwa masih ada faktor atau indikator lain dalam Kinerja Ekonomi yang mempengaruhi Alokasi Dana CSR. Namun dalam hal ini dinilai sudah cukup mewakili akan informasi yang digunakan oleh pengguna informasi perusahaan.

64

Sedangkan, nilai R-Square sebesar 0.025 berarti variabilitas Kinerja Ekonomi yang dapat menjelaskan oleh Kinerja Lingkungan hanya sebesar 2,5%. Hal ini berarti Kinerja Ekonomi telah mencakup 2,5% informasi yang dibutuhkan oleh Kinerja Lingkungan sebagai pengaruh antara dua konstruk tersebut.

Tabel 4.6 Structural Model Structural ModelBootStrap Entire Mean Standard Sample of T-Statistic error estimate Subsamples AD_CSR->KL -0.0700 -0.0760 0.0578 -1.2111 KE->KL 0.1250 0.1818 0.1213 1.0303 KE->AD_CSR -0.2570 -0.2803 0.1230 -2.0898 Sumber: Data Sekunder 2008, diolah.

Tabel diatas memberikan hasil hubungan antar konstruk. Dari tabel ini jelas terlihat terdapat hubungan positif antara Kinerja Ekonomi dengan Kinerja Lingkungan dengan koefisien sebesar 1.0303.

Sedangkan, terdapat hubungan negatif antara Alokasi Dana CSR terhadap Kinerja Lingkungan sebesar -0.2111. Namun antara Kinerja Ekonomi dengan Alokasi Dana CSR sebesar -2.0890 menandakan pengaruh yang signifikan namun negatif. Nilai yang negatif disebabkan oleh data yang diperoleh yang dijadikan indikator-indikator untuk Kinerja Ekonomi dan Alokasi Dana CSR

65

Disamping itu, hubungan antar konstruk hanya antara Kinerja Ekonomi dengan Alokasi Dana CSR yang berpengaruh signifikan karena nilai T hitung lebih besar dari nilai T tabel 1.96.

4.3

Interpretasi Hasil

4.3.1 Hipotesis Pertama Hipotesis pertama berbunyi terdapat hubungan yang positif signifikan antara Alokasi Dana CSR dengan Kinerja Lingkungan. Dari hasil analisis menggunakan Visual PLS dengan memilih model pengukuran refleksif didapatkan hasil bahwa hubungan Alokasi Dana CSR terhadap Kinerja Lingkungan tidak signifikan (Nilai T statistik Hitung < T Tabel 1.96) dan bernilai negatif. Hal ini terlihat dari nilai -1.211 yang berarti konstruk Alokasi Dana CSR tidak berpengaruh pada konstruk Kinerja Lingkungannya. Dengan kata lain perusahaan yang menganggarkan sejumlah dana untuk melakukan program lingkungan perusahaan tidak akan memcerminkan Kinerja Lingkungan yang baik juga. Tidak ada jaminan yang kuat bahwa dana lingkungan yang besar, besar pula program dan juga dampak dari pelaksaan program lingkungan perusahaan tersebut. 4.3.2 Hipotesis Kedua Hipotesis kedua menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan antara Kinerja Ekonomi dengan Kinerja Lingkungan.

66

Berdasarkan hasil pengujian didapat nilai 1.0303 yang berarti bahwa hubungan antara Kinerja Ekonomi dengan Kinerja Lingkungan bernilai positif namun tidak signifikan. Hal ini menggambarkan Kinerja Ekonomi suatu perusahaan tidak sangat mempengaruhi Kinerja Lingkungan. Perusahaan terkadang kurang menyadari bahwa semakin tingkat produksi yang meningkat pesat, semakin besar bahan mentah yang diambil dari alam dan juga semakin luas dampak lingkungan akibat limbah industri mereka. Jadi seharusnya perusahaan harus

menyeimbangkan antara jumlah produksi dengan peningkatan program lingkungan hidup. Dan selain itu pemerintah harus turut peran langsung dalam pengaturan tersebut.

6.3.3 Hipotesis Ketiga Hipotesis ketiga menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan antara Kinerja Ekonomi dengan Alokasi Dana CSR. Hasil pengujian penelitian menyatakan bahwa nilai T statistik adalah -2.0898. Nilai ini berarti hubungan antara Kinerja Ekonomi dengan Alokasi Dana CSR tidak positif namun signifikan. Karena nilai T hitung lebih besar dari nilai T tabel 1.96. Hal ini menggambarkan ada pengaruh antara Kinerja Ekonomi dengan Alokasi Dana CSR perusahaan. Perusahaan yang memiliki Kinerja Ekonomi baik, tentu mempunyai anggaran pengalokasian dana lingkungan yang baik juga.

67

Kebanyakan perusahaan bersifat tidak hanya memikirkan laba yang tinggi dengan membuat anggaran untuk modal usaha yang besar tanpa mempedulikan dampak dari mendapatkan laba yang tinggi. Dengan kata lain, keuntungan perusahaan merupakan salah satu hasil dari program lingkungan sehingga akan ada pengadaan laporan lingkungan maupun penganggaran untuk dana lingkungan perusahaan yang baik. Perusahaan menjadikan program lingkungan sebagai investasi masa depan perusahaan karena program ini dinilai sangat efektif untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap produk dan jasa perusahaan. Sehingga perusahaan dapat melakukan aktifitas bisnis yang berkelanjutan.

68

BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan Kurangnya perhatian perusahaan pada pengungkapan laporan akuntansi lingkungan membuat para akuntan ingin ikut berkontribusi untuk meninjau kembali dan melakukan lebih cermat pada pelaksanaan pelaporan akuntansi lingkungan. Karena hal ini sangat penting bagi masa depan kelanjutan perusahaan. Apa yang harus dilakukan para akuntan untuk ikut berperan mempertahankan kelangsungan perusahaan mereka? Disalah satu artikel yang ditemukan peneliti di internet bahwasanya para akuntan akan bertindak sebagai penggerak dan pengawas pada perusahaan. Hal yang perlu dicermati oleh para akuntan adalah menganalisis pada saat membuat rencana alokasi dana CSR, penganggaran dana lingkungan, pengawasan bagi kinerja lingkungan dan juga penggerak bagi kinerja ekonomi. Jika hal tersebut dapat dilaksanakan dengan tertib dan benar, niscaya banyak perusahaan yang mulai menyadari akan pentingnya lingkungan sekitar bagi kelangsungan hidup ( going concern ) kegiatan usaha perusahaan. Tujuan penelitian ini antara lain, menjadikan suatu referensi baru, membuka wawasan baru akan peran para akuntan sekarang ini. Tidak hanya berkutat pada masalah keuangan perusahaan (financial corporate), tapi juga

69

sebagai penyelamat keabadian lingkungan secara tidak langsung yang dilakukan oleh kegiatan bisnis perusahaan. Hal-hal seperti ini yang harus dimulai pada era globalisasi dimana kekayaan alam akan habis dan masih banyak kegiatan produksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kedepannya. Ada tiga hal penting yang sesuai menjadi sebuah penelitian baru, yaitu: 1. Kinerja Ekonomi Kinerja ini dilihat dari tiap-tiap komponen keuangan perusahaan yang informasinya dapat diambil pada laporan keuangan perusahaan ( financial reports ). 2. Kinerja Lingkungan Perusahaan yang melaksanakan program lingkungan dan mempunyai mutu kualitas produk berarti perusahaan tersebut menjalankan kinerja lingkungan. Kinerja lingkungan dinilai baik atau tidaknya tergantung pada pelaporan laporan lingkungan atau disebut sustainability reports. 3. Alokasi Dana CSR Untuk memulai merencanakan program lingkungan, terlebuh dahulu perusahaan membuat anggaran lingkungan. Anggaran ini berupa alokasi sejumlah dana yang dikeluarkan perusahaan sebagai wujud peran serta perusahaan untuk melestarikan lingkungan sekitar. Program lingkungan dapat berupa bakti sosial, kesehatan, kesejahteraan masyarakat, pendidikan serta pelestarian alam.

70

Penelitian tiga hal penting diatas menghasilkan informasi baru seputar tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan, yaitu: 1. Tidak ada hubungan yang signifikan antara alokasi dana CSR dengan kinerja lingkungan. Hal ini berati tidak adanya ketergantungan jumlah dana lingkungan perusahaan yang dikeluarkan untuk melaksanakan program lingkungan yang baik dan berdampak luas bagi lingkungan sekitar. Dengan kata lain perusahaan bisa berpikir lebih kreatif, efisien dan efektif dalam menganggarkan dana CSR sehingga perusahaan memperoleh hasil yang benar-benar berdampak besar dan menyeluruh pada lingkungan sekitar khususnya masyarakat. 2. Tidak ada hubungan yang signifikan antara kinerja ekonomi dengan alokasi dana CSR. Hal ini berarti keadaan ekonomi perusahaan tidak berpengaruh pada penganggaran dana lingkungan perusahaan. Perusahaan akan tetap melakukan program lingkungan sebagai kontribusi bagi masyarakat dan lingkungan. Biasanya perusahaan menginginkan nilai baik dimata masyarakat untuk mempertahankan nama perusahaan. 3. Adanya hubungan yang positif dan tidak signifikan antara kinerja ekonomi dengan kinerja lingkungan.

71

Hal ini menggambarkan tidak adanya pengaruh kinerja ekonomi terhadap kinerja lingkungan. Kinerja lingkungan tidak menimbulkan kinerja ekonomi sebuah perusahaan juga bernilai baik. Perusahaan yang memiliki standar kualitas mutu (ISO 9001 dan ISO 14001) serta melakukan program CSR tidak berarti dapat menunjang kinerja ekonomi yang diharapkan lebih baik. Hal ini didorong adanya banyak faktor pendukung yang lain selain kinerja lingkungan. Analisis tentang hubungan antara kinerja lingkungan dan kinerja ekonomi yang cukup komprehensif serta analisis alokasi dana CSR ini merupakan kelebihan penelitian dibandingkan penelitian-penelitian terdahulu yang dijadikan rujukan oleh penelitian ini.

5.2 Keterbatasan Setelah melakukan analisis dan mengetahui interpretasi hasil, maka peneliti menemukan beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, antara lain: Informasi yang disajikan Begitu banyak indikator dari tiap-tiap variabel penelitian, peneliti melakukan pemilahan terhadap indikator yang sangat berhubungan dengan variabel. Pemilihan ini didasarkan dengan ketersediaan informasi yang lengkap yang disajikan oleh tiap-tiap laporan tahunan perusahaan. Namun, informasi yang didapat terkadang sangat minim sehingga peneliti tidak

72

dapat meneliti secara lebih detail pada setiap kebutuhan informasi untuk tiap-tiap variabel yang akan diteliti. Waktu penelitian Peraturan yang diwajibkan bagi perusahaan agar melakukan program lingkungan dimulai sejak tahun 2007. Oleh karena itu, peneliti mengambil data penelitian untuk tahun 2008. Namun pada kenyataannya, sekitar tahun 2008 masih banyak perusahaan ekstraktif yang masih belum menaati peraturan pemerintah tersebut. Hal ini terlihat pada sedikitnya jumlah daftar perusahaan ekstraktif pada Bursa Efek Indonesia (BEI) yang melakukan program lingkungan. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan sekira masih dalam perkembangan ilmu pengetahuan oleh para ahli. Namun, peneliti selanjutnya dapat menggunaka alat uji yang lebih kompleks dan menyeluruh agar hasil yang disajikan lebih akurat dalam memberikan informasi yang lebih kepada para pembaca.

5.3 Saran Dengan melihat pada hasil penelitian maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: Bagi pemerintah, sebaiknya menggalakan peraturan-peraturan yang telah dibuat berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Perusahaan yang melanggar perarturan-peraturan tersebut haruslah diberikan sanksi yang

73

sesuai. Sehingga perusahaan lain menyadari pentingnya pengelolaan lingkungan hidup karena pelanggaran peraturan tersebut akan

menimbulkan biaya dan merugikan perusahaan.

BAPEPAM dapat membentuk suatu daftar perusahaan yang tergolong kelompok yang mencemari lingkungan dan kelompok yang mendukung pengelolaan lingkungan hidup. Daftar ini diterbitkan secara berkala melalui media massa sehingga membuat insentif dan hukuman terhadap perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini mengikuti cara pemerintah Amerika Serikat dan EPA (Environmental Protection Agency). BAPEPAM juga dapat meminta BEI untuk menghentikan perdagangan saham perusahaan bagi perusahaan yang melanggar peraturan-peraturan yang telah ditetapkan.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) perlu memperbaiki mekanisme dan sistem alokasi dana dari program tanggung jawab sosial (corporate social responsibility), khususnya yang terkait dengan program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL).

Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) diharapkan dapat mendorong semua perusahaan untuk mengikuti program PROPER dan mengawasi tiap perusahaan agar selalu menjalankan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan.

74

Bagi eksekutif dan manajer perusahaan diharapkan mulai melakukan pemikiran greening of management dalam menjalankan usahanya. Di era pemanasan global ini, perusahaan seharusnya menyadari bahwa kegiatan operasional perusahaan dan dampaknya terhadap kelestarian lingkungan hidup dapat memperparah kelangsungan bumi. Dan perusahaan juga diharapkan memenuhi segala peraturan yang telah ditetapkan.

Stakeholders sebaiknya ikut berperan aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup. Investor dapat melakukannya dengan mempertimbangkan kriteria kinerja lingkungan perusahaan kedalam strategi berinvestasi, atau juga dapat disebut green portfolio strategy. Stakeholders lain juga sebaiknya memberikan apresiasi pada perusahaan yang memiliki kinerja lingkungan yang baik. Perusahaan menjalankan kegiatan pengelolaan lingkungan

hidup ketika terdapat insentif ekonomis dalam melakukannya. Oleh karena itu, sistem yang dibangun oleh stakeholder serta masyarakat luas untuk melestarikan lingkungan hidup seharusnya dapat menciptakan keuntungan finansial bagi perusahaan.

Bagi peneliti berikutnya sebaiknya menggunakan sampel yang lebih besar untuk mendapatkan hasil yang lebih representatif dan general. Peneliti dapat menambahkan sektor industri lain yang memiliki dampak yang besar terhadap lingkungan seperti sektor industri manufaktur. Selain itu

75

diharapkan dapat memperbanyak indikator pada variabel alokasi dana CSR seperti detail program lingkungan yang dilaksanakan serta penjelasan biaya-biaya pengelolaan lingkungan. Indikator pada variabel kinerja keuangan seperti keadaan nilai saham tahun tersebut. Serta indikator pada variabel kinerja lingkungan seperti penambahan standar kualitas mutu produksi perusahaan. Hal ini diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih lengkap dan akurat kepada pembaca.

76

DAFTAR PUSTAKA

Al-Tuwaijri, Sulaiman A., Christensen, Theodore E., Hughes II, K.E. (2003). The Relationship Amng Environment Disclosure, Environmental Performance, and Economic Performance: A Simultaneous Equation Approach. Bewley, K., Li, Y. (2000). Disclosure of Environmental Information by Canadian Manufacturing Companies: A Voluntary Disclosure Perspectives. In: Freedman and Jaggi (Eds). Advanced in Environmental Accounting and Management, Vol 1. JAI Press, Greenwich, pp. 201-226. Deegan, C. (2002). The Legitimising Effect of Social and Environmental Disclosure A Theoritical Foundation. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 15(3): 282-311. Deegan, C. and., M. Rankin (1997). The Materiality of Environmental Information to Users of Annual Reports. Accounting, Auditing