Analisa Kasus Extremis

  • Upload
    melati

  • View
    37

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Analisa Kasus

Citation preview

LAPORAN PSIKOLOGI POLITIKANALISIS KASUS EXTREMIS (TERORISME) DI POSOMakalah ini diajukan sebagai Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Psikologi Politik tahun ajaran 2014

Disusun oleh:Melati Isjwara Adjani190110110143

FAKULTAS PSIKOLOGIUNIVERSITAS PADJADJARAN2014

BAB IPENDAHULUAN

1.1Latar BelakangKASUS TERORISME DI POSOBERITA 1Liputan6.com, Palu - Baku tembak antara tim gabungan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri, Brimob Polda Sulteng, dan Polres Poso dengan kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso kembali terjadi di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Dalam perstiwa itu, tidak ada korban jiwa. "Kejadiannya di Desa Taunca, Kecamatan Poso Pesisir Selatan, Kabupaten Poso, Kamis (30 Oktober 2014) sekitar pukul 09.00 Wita," ujar Plt Kabid Humas Polda Sulteng AKBP Utoro Saputro, di Palu, Jumat (31/10/2014). Menurut dia, tidak ada korban jiwa dalam baku tembak yang berlangsung selama 30 menit itu. Namun, 1 anggota Polres Poso terluka."Terluka karena terkena selongsong senjatanya sendiri saat baku tembak terjadi. Jadi bukan terluka karena terkena tembakan kelompok tersebut," kata Utoro. Baku tembak antara tim gabungan dengan kelompok teroris, bermula saat dilakukannya patroli rutin di hutan pegunungan Desa Taunca."Sedang patroli anggota langsung ditembaki, dari situ anggota kemudian membalas tembakan, sehingga baku tembak terjadi kurang lebih 30 menit," ungkap Utoro. Saat ini, pengejaran dengan menyisir seluruh wilayah hutan pegunungan di desa tersebut dilanjutkan. Bahkan, Kapolda Sulteng Brigjen Pol Idham Aziz yang baru menjabat memimpin langsung pengejaran itu. "Kapolda dari kemarin berada di Poso. Dan dia yang memimpin langsung pengejaran," tandas Utoro.Kelompok yang diduga jaringan teroris MIT pimpinan Santoso alias Abu Wardah alias Abu Yahya sebelumnya menyerang tim Brimob yang hendak ke lokasi peledakan bom pada Selasa 7 Oktober 2014 sekitar pukul 05.00 WITA.Saat tim Brimob belum sampai di tujuan, tiba-tiba langsung diserang kolompok tersebut, tepat di Desa Dewua, Kecamatan Poso Pesisir Selatan.Dalam penyerangan teroris itu tidak ada korban jiwa dan luka dari pihak Brimob. Tapi, mobil patroli yang digunakan Brimob rusak parah setelah terkena berondongan tembakan dan lemparan bom jenis rakitan. (Yus)

BERITA 2Liputan6.com, Palu - Pengejaran yang dilakukan tim gabungan Polda Sulawesi Tengah, Polres Poso, dan Kodim 1307 terhadap kelompok yang diduga jaringan teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso pasca-penyerangan di Desa Dewua, Kecamatan Poso Pesisir Selatan pada 7 Oktober 2014 memang belum menuai hasil. Meskipun demikian, sejumlah barang bukti dari penyisiran di tempat kejadian perkara (TKP) tersebut, berhasil diamankan.Barang bukti yang berhasil ditemukan di lokasi penyerangan tersebut berupa pecahan dan serpihan bom rakitan, dua unit bom lempar rakitan yang masih aktif dan belum meledak, serta puluhan selongsong peluru pelbagai jenis, namun didominasi oleh kaliber 5,56 milimeter yang diduga kuat milik kelompok teroris."Barang bukti itu masih diamankan di Polres Poso untuk diperiksa lebih lanjut. Tim gabungan menemukan usai melakukan penyisiran dan pengejaran dua hari lalu di seputaran TKP. Hingga saat ini, penyisiran terus dilakukan," kata Plt Kabid Humas Polda Sulteng AKBP Utoro Saputro di Palu, Sulawesi Tengah, Senin (13/10/2014).Selain terus menyisir, tim gabungan juga menggencarkan razia kendaraan bermotor di sejumlah pintu masuk Kabupaten Poso. "Mulai dari arah Palu menuju Poso dan arah Makassar menuju Poso tim lakukan razia. Itu semua untuk mempersempit ruang gerak kelompok-kelompok teroris yang ingin keluar dan masuk ke Poso," tandas Utoro.Pada Selasa 7 Oktober 2014 sekitar pukul 05.00 Wita, kelompok yang diduga jaringan teroris MIT pimpinan Santoso alias Abu Wardah alias Abu Yahya itu menyerang tim Brimob yang hendak ke lokasi peledakan bom. Ketika itu, saat tim Brimob belum sampai di tujuan, tiba-tiba langsung diserang kelompok tersebut. Kejadian persis di Desa Dewua, Kecamatan Poso Pesisir Selatan.Dalam serangan teroris itu tidak ada korban jiwa dan luka dari pihak Brimob. Hanya saja mobil patroli yang digunakan Brimob rusak parah setelah terkena berondongan tembakan dan lemparan bom rakitan. (Ein)

BERITA 3Merdeka.com - Densus 88 Antiteror kembali menangkap seorang pria yang diduga kuat anggota kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) didikan buronan teroris Santoso. Pria itu ditangkap Rabu (10/12) lalu sekitar pukul 06.19 WITA, di perempatan Kalimantan dan Jalan Pulau Seram, Kecamatan Poso, Sulawesi Tengah.

"Ditangkap diduga terkait dengan jaringan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) atas nama AW alias Yono Adem alias Yono Adim (28)," kata Kabag Penum Mabes Polri Kombes Pol Agus Rianto di Humas Mabes Polri, Jakarta, Senin (15/12)."Yang bersangkutan diduga terkait bendahara ataupun penyuplai logistik kelompok Santoso yang ada di gunung," sambungnya.Yang bersangkutan juga diduga mengetahui pelaku bom di Mapolres Poso, 3 Juni 2013 silam. Sehingga masuk daftar pencarian orang terkait kasus tersebut."Diduga mengetahui perakitan bom Poso karena perakitan dilakukan di rumah yang bersangkutan," ujarnya.Jelang sehari setelahnya tepatnya pada Kamis (11/12) sekitar Pukul 06.20 WITA di Jalan Trans Sulawesi Tinombo, Kabupaten Parigi Maoutong, ditangkap seorang atas nama FM alis Farid Tinombo. Dia ditangkap karena diduga ikut dalam pelatihan militer yang diselenggarakan Mujahid Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso."Yang bersangkutan juga menerima hasil curanmor dalam rangka fa'i (pendanaan teoris) di daerah Kalman, Poso," ujarnya.Tersangka juga diduga ikut terlibat meracik bom cair bersama ketiga tersangka lainnya yakni Yono Adim, Ato dan Kholid. "Yang bersangkutan ikut melempar bom pada anggota saat penangkapan salah satu terduga, Ustad Yasin dan Kholid di Kanyamanya, Poso beberap waktu lalu," pungkasnya.

SEJARAH TERORISME DI INDONESIAAksi terorisme di Indonesia terus saja terjadi hingga saat ini. Korban jiwa dan material sudah demikian besar dan nampaknya ini akan terus terjadi di masa yang akan datang. Aksi-aksi terorisme di Indonesia yang paling menonjol adalah sebagai berikut:1981Teroris menyamar sebagai penumpang dan membajak pesawat DC-9 Woyla milik maskapai Garuda Indonesia pada 28 Maret 2081. Teroris bersenjata senapan mesin, granat dan mengaku sebagai Komando Jihad.2000Bom meledak di lantai parker P2 gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ), pada 13 September 2000. Sebanyak 10 orang tewas, 90 lainnya luka-luka dan 104 mobil rusak berat.Serangkaian ledakan pada malan Natal, 24 Desember 2000 di beberapa kota Indonesia. Sebanyak 16 orang tewas.2001Bom meledak di Gereja Santa Anna dan HKBP kawasan Kalimalang, Jakarta Timur pada 22 Juli 2001. Korban 5 orang tewas.Bom meledak di Plaza Atrium, Senen, Jakarta pada 23 September 2001. Korban 6 orang luka-luka.2002Dua ledakan bom terjadi di Paddys Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali. Secara bersamaan bom juga meledak di Konsulat Amerika Serikat. Aksi tersebut kemudian dikenal sebagai Bom Bali I yang menewaskan 202 orang dan melukai ratusan orang lainnya. Korban sebagian besar warga negara asing.2003Ledakan dahsyat mengguncang hotel JW Marriott Jakarta pada 5 Agustus 2003. Sebanyak 11 orang tewas dan 152 lainnya luka-luka.2004Ledakan bom yang disimpan di dalam sebuah mobil box menghancurkan sebagian kantor Kedubes Australia di Jakarta pada 9 September 2004. Korban 5 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka.2005Bom meledak di pasar Tentena, Poso, Sulawesi Tengah pada 28 Mei 2005. Aksi tersebut menewaskan sedikitnya 20 orang.Bom kembali meledak di Bali pada 5 Oktober 2005. Terjadi di kawasan Kuta dan Jimbaran yang mengakibatkan korban 22 orang tewas. Aksi tersebut kemudian dikenal dengan Bom Bali II.2009Dua ledakan bom mengguncang hotel JW Marriott dan Ritz Carlton Jakarta pada 17 Juli 2009. Ledakan menewaskan 9 orang dan melukai lebih dari 50 orang. Dikenal sebagai Bom Mega Kuningan 2009.2010Terjadi sejumlah penembakan warga sipil di Aceh. Jaringan teroris pimpinan Abu Tholud melakukan pelatihan militer di pegunungan Janto Aceh Besar.Terjadi perampokan bank CIMB Niaga Medan pada September 2010, pelaku adalah kelompok jaringan Medan.2011Ledakan bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon pada 11 April 2011. Bom menewaskan M. Syarif pelaku bom bunuh diri dan melukai 25 orang lainnya termasuk Kapolresta Cirebon.Bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo, Jawa Tengah menewaskan pelaku Ahmad Hayat dan melukai 22 orang lainnya.2012Pelemparan granat dan penembakan terjadi di sejumlah pos polisi pengamanan Lebaran di solo pada 17, 19 dan 30 September 2012. Korban 1 polisi tewas dan dua polisi luka-luka. Pelaku teror adalah kelompok Farhan.Pada 31 September 2012 malam penyergapan dilakukan di Jalan Veteran menewaskan teroris Muchsin dan Farhan. Dalam penyergapan itu satu anggota Densus 88 Polri tewas.Tiga anggota Brimob Polda Sulteng ditembak kelompok bersenjata di kawasan Tambarana, Poso pada 20 Desember 2012. Sebelumnya pada Oktober 2012 dua anggota Polres Poso ditemukan tewas dibunuh di hutan Tamanjeka, Poso.2013Polisi melakukan serangkaian penangkapan teroris, mulai dari Jakarta, Depok, Bandung, Kendal dan Kebumen. Kelompok yang berhasil dibongkar jaringannya adalah kelompok Thoriq, Farhan, Hasmi, Abu Roban (Mujahidin Indonesia Barat) serta sejumlah perampokan bank dan toko emas di berbagai tempat di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah yang terkait juga kelompok Santoso (Mujahidin Indonesia Timur) di Poso. Sejumlah teroris tewas dan berhasil ditahan.Polisi berhasil menembak mati 7 teroris dan menangkap13 teroris lainnya dalam penyergapan di Jakarta, Bandung, Kendal dan Kebumen yang berlangsung selama dua hari tanggal 8-9 Mei 2013.Polisi melakukan penyergapan yang menewaskan 6 teroris kelompok Dayat di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten pada 31 Desember 2013.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

Ekstrimis adalah sikap yang sangat antusias dan sangat berlebihan dalam tindakan yang tidak tepat, karena terlalu memfokuskan diri pada interpretasi pribadi yang berlebihan dalam melihat dunia, hanya memperhatikan logika berpikir dari perilaku diri sendiri, pemikiran pihak lain lewat, dan cenderung close mind, dan tidak berempati terhadap pihak lain dan cenderung tidak manusiawi terhadap korban2 mereka.Penyebab ekstrimis sendiri menurut Cataldo Neuberger and Valentini (1996), Pearlstein (1991) dan Post (1990) mengatakan bahwa penyebab ekstremis adalah penyimpangan kepribadian / mental disorder. Tetapi Braungart & Braungart (1992), Crenshaw (2000), Rabbie (1991), Ross (1994), dan Silke (1998) menolak pandangan tersebut, mereka berargumentasi bahwa kepribadian bukanlah penyebab ekstremisme.Secara politik, perilaku ekstrimis dipandang bukan dari hasil psikopatologi / mental disorder, melainkan karena adanya ideologi bersama yang kuat dan solidaritas kelompok yang kokoh (aktivitas kelompok).Baumeister (1997:190) mengatakan bahwa perilaku kekerasan oleh ekstrimis hampir selalu didorong oleh semangat kelompok. Dalam hal ini ada dukungan dan tekanan dari kelompok, sehingga peran individu sendiri tidak begitu kuat.Tajfel dan Turner (1979) menyatakan banyak perilaku sosial kita yang bisa dijelaskan dari kecenderungan kita untuk mengidentifikasikan diri kita sebagai bagian dari sebuah kelompok dan menilai orang lain sebagai bagian dari kelompok itu atau bukan. Tajfel dan Turner mengemukakan tiga proses kognitif dalam menilai orang lain sebagai golongan kita atau mereka. 1. Pengelompokan sosial, kita mengidentifikasikan diri kita dan orang lain sebagai anggota kelompok sosial. Kita semua cenderung membuat pengelompokan social seperti jender, ras, dan kelas. Beberapa kelompok sosial lebih relevan bagi sebagian orang daripada yang lain, misalnya penggemar sepak bola dan pecinta kucing. Kelompok yang kita anggap paling penting berbeda-beda menurut individu yang bersangkutan, tetapi kita tidak bergabung dengan kelompok karena individunya. Kita menerima kelompok-kelompok yang kita tahu memang penting. Tentu saja kita bisa mengelompokkan diri kita sebagai bagian dari beberapa kelompok sekaligus. 2. Identifikasi sosial, kita mengambil identitas kelompok yang kita ikuti. Misalnya, jika anda mengelompokkan diri anda sebagai seorang mahasiswa, kemungkinan anda akan mengambil identitas sebagai seorang mahasiswa dan mulai bersikap dengan cara yang anda percaya sebagai cara bersikap seorang mahasiswa. Identifikasi anda pada suatu kelompok akan memberikan suatu makna emosional, dan harga diri anda akan terkait erat dengan keanggotaan kelompok.3. Perbandingan sosial. Sekali kita sudah mengelompokkan diri kita sebagai bagian dari sebuah kelompok dan berpihak pada kelompok itu, maka kita cenderung membandingkan kelompok kita dengan kelompok lain. Bila harga diri kita harus dipertahankan, kelompok kita harusdibandingkan secara menguntungkan dengan kelompok lain. Inilah yang penting dalam memahami prasangka, sebab begitu dua kelompok mengidentifikasikan diri sebagai musuh, mereka terpaksa bersaing agar harga diri anggota-anggotanya dapat ditegakkan. Maka, persaingan dan permusuhan diantara kelompok bukan hanya masalah berebut sarana seperti pekerjaan, tetapi juga dampak dari identitas yang diperebutkan. Tentu saja, ini tidak berarti bahwa kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk meredakan prasangka.

Peran Social LearningPada dasarnya manusia membutuhkan orang lain / masyarakat untuk belajar. Menurut Ausubel terdapat 4 macam tipe belajar:1. Reception Learning (menerima): individu hanya menyerap bahan yang tersedia dan bisa mereproduksi kembali.2. Discovery learning (menemukan): individu menemukan sendiri materi yang harus dipelajari. Menyerap, mengorganisir dan mengintegrasikan materi ke dalam struktur kognitif3. Rote Learning (menghafal): mengingat-ingat bahan yang dipelajari secara verbatim (rangkaian kata-kata)4. Meaningful learning (mengartikan): bahan yang dipelajari secara potensial mempunyai arti; menghubungkan informasi/ konsep baru dengan struktur kognitif yang sudah ada dan relevanAdanya penanaman informasi yang keliru pada proses pembelajaran, mengakibatkan individu mengalami brain wash, sehingga dirinya akan mengikuti segala kemauan si pencuci otak. Jadi, peran social learning disini sangat kuat dalam membentuk seseorang untuk bertindak ekstrim. Adanya aktivitas kelompok dan brain wash, akan semakin mendukung munculnya bias persepsi pada kelompok tertentu, sehingga pada akhirnya akan memunculkan pola close mind, dan cenderung mengkambing hitamkan (scape goat) kelompok tertentu ataupun keadaan yang ada. Dampaknya adalah, ketika justifikasi sosial terlalu besar, maka akan menimbulkan dehumanisasi dari kelompok yang dikambing-hitamkan tersebut. Salah satu bentuk ekstrimisme adalah terorisme.Terrorism is an action as the calculated use of unexpected, shocking, and unlawful violence against noncombatants (including,in addition to civilians, off-duty military and security personnel in peaceful situations) and other symbolic targets perpetrated by a clandestine member(s) of a subnational group or a clandestine agent(s) for the psychological purpose of publicizing a political or religious cause and/or intimidating or coercing a government(s) or civilian population into accepting demands on behalf of the cause (Hudson, 1999)Terorisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan, dalam usaha mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik).Teroris adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut (biasanya untuk tujuan politik). Terror adalah perbuatan sewenang-wenang, kejem, bengis dan usaha menciptakan ketakutan, kengerian oleh seseorang atau golongan.Terorisme secara kasar merupakan suatu istilah yang digunakan untuk penggunaan kekerasan terhadap penduduk sipil untuk mencapai tujuan politik, dalam skala lebih kecil dari pada perang .Dalam terjemahan bebas, Hudson mencoba mengidentifikasi bahwa terorisme merupakan aksi yang tiba-tiba atau tidak disangka di tempat umum yang tentu saja targetnya adalah orang atau kelompok yang non kombatan atau bukan militer aktif. Dengan kata lain, terorisme terjadi dalam suasana damai, yaitu saat para calon korbannya tidak menyadari bahwa mereka sedang menjadi target pembunuhan. Dalam perkembangannya terorisme tidak saja ditujukan kepada orang perorang, namun juga tempat umum atau fasilitas publik yang targetnya tidak spesifik.Selanjutnya, Hudson juga menjelaskan bahwa terorisme memiliki tujuan psikologis untuk mendapatkan perhatian khalayak ramai untuk mempublikasi eksistensi mereka, bukan saja secara fisik namun secara ideologis. Hudson juga mengidentifikasi bahwa motivasi tindak teror disebabkan oleh situasi politik dan juga masalah keagamaan untuk diperjuangkan. Para pelaku dari tindak teror ini dilakukan oleh kelompok maupun agen-agen yang mempersiapkannya secara cermat dan tertutup.Menurut Hudson ada 4 (empat) tipologi kelompok teroris, yaitu: nasional-separatis, religius fundamentalis, religius baru, dan revolusi sosial. Kelompok pertama merujuk kepada kelompok-kelompok teroris yang menghendaki adanya kemandirian pemerintahan lepas dari dominasi kelompok mayoritas yang memiliki legitimasi pemerintah yang absah. Kelompok teroris tipe ini misalnya adalah kelompok pembabasan Tamil di Srilangka, IRA di Irlandia, etnis Kurdi di Turki dan masih banyak lagi. Kedua, adalah kelompok teroris yang dilatarbelakangi oleh pamahaman yang fundamental atas ajaran agama tertentu. Tipologi inilah yang paling popular dalam konteks kekinian, terutama yang dilekatkan kepada Islam. Namun perlu dipahami bahwa tidak hanya Islam yang memiliki potensi radikalisme, beberapa agama, jikalau tidak mengatakan semua agama memiliki potensi untuk dijadikan sumber inspirasi tindak teror oleh pemeluk-pemeluknya. Tipe ini, memotivasi anggotanya untuk memusuhi kelompok-kelompok agama lain yang dianggap menjadi musuh secara keyakinan atau lebel kafir yang harus dimusnahkan. Selanjutnya, tipe yang ketiga agak sulit dijelaskan karena memang Hudson tidak memberikan definisi pada semua tipe ini. dalam penafsiran bebas, religius baru yang dimaksud Hudson mungkin merupakan kelompok agama yang baru, dengan kata lain memiliki nabi yang juga baru yang memberikan doktrin kepada pemeluknya untuk melakukan tindak teror dalam upayanya menjalakan perintah langsung dari Tuhan. Pembedaan tegas dengan tipe yang kedua adalah tipe ini merupakan agama baru tidak diakui oleh agama-agama mapan. Keempat adalah kelompok teroris yang dipengaruhi oleh pemahaman-pemahaman sosial radikal terutama oleh ideologi Marxis-Leninis. Tujuan mereka diidentifikasi sebagai usaha untuk merubah kondisi sosial yang lebih adil dan jauh dari eksploitasi kelas-kelas dominan yang korup.Setelah membagi kelompok teroris berdasarkan latar belakang politik dan ideologinya, Hudson juga menawarkan beberapa pendekatan dalam menganalisa masalah terorisme. Hudson memperkenalkan 5 (lima) pendekatan yang dapat dipakai dalam menganalisa masalah terorisme. Kelima pendekatan tersebut antara lain:1. Multi Causal approachPendekatan ini merupakan kritik atas pendekatan psikologis yang menjadi arus utama dalam mengkaji masalah terorisme. Dalam pendekatan ini juga ditinjau permasalahan yang terkait dengan bidang ekonomi, politik, sosial, dan juga budaya. Pendekatan ini merujuk kepada penelitian Paul Wilkinson (1977) yang menyimpulkan bahwa revolusi dan kekerasan politik menyebabkan munculnya tindakan terorisme. Selanjutnya pendekatan ini juga meliputi pembahasan yang menyangkut konflik etnis, kemiskinian, globalisasi, dan lain-lain.2. Political approachPendekatan ini mengindikasikan bahwa tindak terorisme terjadi dipengaruhi oleh lingkungan pada tingkat nasional muapun internasional. Sebagaimana pendapat Miller dan Russel, kampus menjadi sarana pengembangan ide-ide terorisme yang terutama dipengaruhi oleh pemahaman Marxis dan Leninis yang memunculkan kelompok radikal yang tidak puas dengan kondisi yang terjadi.3. The Organizational approachPendekatan ini mengidentifikasi munculnya terorisme bukan atas inisiatif individual semata. Terorisme dapat dipastikan diselenggarakan oleh kelompok-kelompok rahasia yang memiliki mekanisme organisasi yang ketat dan rapih. Pendapat ini diusung oleh Crenshaw (1990) yang mengatakan bahwa kelompok teroris muncul atas ide dari tokoh karismatik yang mampu mempengaruhi banyak orang untuk bergabung dan membentuk organisasi rahasia dengan kesamaan nilai ideologi.4. Physiological approachPendekatan ini mengidentifikasi bahwa prilaku teror dilakukan atas pengaruh dari media massa. Hal ini dipahami karena media massa dalam pemberitaanya kerap memberikan gambaran-gambaran spesifik-teknis mengenai mekanisme tindak teror dilaksanakan. Dengan demikian, para audien yang menyaksikan pemberitaan itu menjadi paham bagaimana melakukan tindak teror. Dengan demikian, tiap individu yang memiliki potensi kekecewaan, frustasi, atau bahkan simpati pun terpengaruh untuk melakukan tindak terorisme.5. Psychological approachPendekatan ini menganalisa teroris berdasarkan pelakunya secara individual. Dalam analisas lebih lanjut, peneliti akan mengkaji biografi, motivasi, kelakuan, kepercayaan, serta karir dalam dunia terorisme. Sehingga dapat didapatkan karakteristik umum dari pelaku terorisme.

Selanjutnya Hudson memperkenalkan beberapa hipotesis yang muncul. Ada tiga hipotesis, diantaranya sebagai berikut:1. Frustration-Aggression HypothesisHipotesis ini dikembangkan atas berbagai penelitian yang telah mengidentifikasi bahwa munculnya terorisme disebabkan oleh frustasi atas kondisi sosial, politik, dan ekonomi, atau tujuan-tujuan pribadi. Hipotesis ini merupakan yang paling mengemuka, premis utamanya adalah bahwa tindak terorisme tidak dapat dilihat tanpa melibatkan kontek atau kondisi eksternal yang ada.2. Negative Identity HypothesisHipotesis ini dikembangkan atas berbagai penelitian yang menyimpulkan bahwa tindk terorisme dilakukan oleh kelompok atau individu yang memiliki identitas yang terpinggirkan dari kelas dominan. Salah satu contohnya adalah tindakan yang dilakukan oleh etnis minoritas, individu yang diasingkan oleh kelompok masyarakatnya dan lain-lain.3. Narcissistic Rage HypothesisHipotesis ini diintrodusir setelah beberapa penelitian menyimpulkan bahwa tindak terorisme muncul akibat adanya perasaan membanggakan diri yang berlebihan. Atau dengan kata lain, bahwa dirinya, atau kelompoknya merupakan yang terbaik atau yang paling benar, sehingga memiliki sikap yang meremehkan atau bahkan menghancurkan kelompok atau individu lain yang dianggapnya sebagai kompetitor atas eksistensi mereka.

Dalam kajian psikologi dalam menganalisa permasalahan terorisme ada tiga ranah yang dapat dijadikan subjek penelitian. Tentunya ranah kajian psikologis memfokuskan kajiannya pada unit analisa individu, serta mengeliminasi permasalahan pada level konteks sosial yang melatarinya. Ketiga ranah tersebut antara lain, motivasi teroris, proses menjadi bagian kelompok teroris, dan teroris pengidap sakit jiwa.Dalam analisa ranah yang pertama yang menjadi objek penelitian antara lain adalah corak pengambilan keputusan pelaku teror, kemudian masalah kepemimpinan dan otoritas, pemilihan target teror, dan strategi kelompok untuk menjadi media dalam menekan individu. Sedangkan pada ranah yang kedua, melihat bahwa ada pola umum dari pelaku teroris muncul dari populasi yang rentan. Sehingga mereka merasa perlu untuk membentuk aksi perlawanan terhadap dominasi kelas yang berkuasa. Walaupun ada perbedaan pelaku di negara-negara maju dan negara berkembang. Di negara-negara maju, para pelaku teroris cenderung berpendidikan tinggi, sedangkan pada negara berkembang adalah kelas bawah yang miskin dan tidak berpendidikan tinggi. Terakhir yang ketiga, melihat pelaku teror sebagai individu yang memiliki gangguan mental, hal ini ditandai dengan kemauannya melakukan teror bom bunuh diri ataupun melakukan pembajakan pesawat yang beresiko tinggi bagi keselamatanya sendiri.Dalam buku berjudul Terorisme di Indonesia: Dalam Tinjauan Psikologi, Guru Besar Psikologi, Sarlito Wirawan Sarwono mengutip lima ide berbahaya oleh Eidelson & Eidelson (2003) yang jika terjadi pada individu akan menyebabkan perasaan tidak senang, tidak percaya diri, sampai gelisah dan gangguan neurosis. Sementara pada tingkat kelompok, lima ide berbahaya ini bisa memicu kekerasan antarkelompok. Kelima ide tersebut adalah superioritas, ketidakadilan (injustice), kerentanan (vulnerability), ketidakpercayaan (distrust), dan ketidakberdayaan (helplessness).

BAB IIIANALISIS

Berdasarkan masalah yang ditemukan, maka kasus terorisme di Poso, Indonesia akan dibahas dengan teori ekstrimisme serta didukung teori terorisme. Ekstrimisme sendiri merupakan sebuah hal yang wajar di dunia. Banyak faktor yang menyebabkan ekstrimisme ini muncul. Terorisme sendiri merupakan salah satu bentuk ekstrimis yang umumnya berlandaskan pada agama. Faktor politik seringkali menjadi salah satu alasan yang paling kuat.Ketika ada campur tangan dari negara lain untuk memaksakan sebuah iedologi di negara lain, misalnya, kelompok ekstrimis ini berpotensi untuk muncul. Mereka merasa bahwa ideologi yang seharsusnya dipakai di negara mereka telah dilanggar oleh negara lain. Akhirnya, dengan menunggangi agama sebagai pegangan mereka, mereka melakukan sebuah aksi untuk menentang keberadaan penjajah tersebut.Selain faktor politik, ketidaksenangan dengan sebuah sistem pemerintahan juga bisa menjadi faktor yang menyebabkan munculnya ekstrimisme ini. Ketidaksukaan pada sebuah iedologi yang diletakkan sebagai dasar negara, bisa dijadikan alasan mereka melakukan gerakan ekstrim mereka sendiri untuk menggapi tujuan subjektif mereka.Selain itu, ada kemungkinan juga ketika sebuah pemerintah dianggap lalai untuk melindungi segenap warga negaranya, maka kelompok ekstrimis ini akan munul. Hal ini semata-mata dilakukan untuk memprotes pemerintah yang dianggap abai terhadap warga nya. Dalam hal analisa yang dilakukan oleh seorang rekan di kompasiana ini, jika memang benar, maka bisa jadi alasan yang dilakukan oleh kelompok ekstrimis ini adalah sebagai sebuah bentuk protes kepada pemerintah yang dianggap lalai dan abai dalam menjaga kebebasan beragama dan beribadah di Indonesia.Mengingat Indonesia adalah sebuah negara yang majemuk, ekstrimisme dalam hal beragama ini tentu saja tidak bisa dibiarkan berlanjut di Indonesia, entah itu ekstrimisme yang dilakukan oleh agama apapun.Beberapa hal yang perlu menjadi catatan mengenai perlunya ekstrimisme dalam beragama di Indonesia ditiadakan adalah karena ekstrimisme dalam beragama ini akan mengerucut pada tujuan subjektif sebuah kelompok agama, tanpa memperhatikan siapa sebenarnya yang memiliki Indonesia ini.Kelompok ekstrimis ini kemudian juga seringkali melakukan segala sesuatunya dengan kekerasan, tanpa melalui pikir panjang mengenai dampak yang akan terjadi akibat kegiatan mereka tersebut.Kelompok ini lupa bahwa Indonesia adalah milik semua orang Indonesia dan tidak bisa dikotak-kotakkan hanya ke dalam mereka yang beragama tertentu saja. Jika ekstrimisme ini dibiarkan berlanjut, maka yang terjadi adalah keinginan untuk meninggikan agamanya di antara yang lainnya.Kelompok teroris ini memiliki antara lain, sebagai berikut: Mempunyai organisasi yang solid, disiplin tinggi, militan dengan struktur organisasi berupa kelompok-kelompok kecil, dan perintah dilakukan melalui indoktrinasi serta teroris dilatihan bertahun-tahun sebelum melaksanakan aksinya. Menganggap bahwa proses damai untuk mendapatkan perubahan sulit untuk diperoleh. Memilih tindakan yang berkaitan dengan tujuan politik dengan cara kriminal dan tidak mengindahkan norma dan hukum yang berlaku. Memilih sasaran yang menimbulkan efek psikologi yang tinggi untuk menimbulkan rasa takut dan mendapatkan publikasi yang luas.Sedangkan sasaran strategis teroris antara lain : Menunjukkan kelemahan alat-alat kekuasaan ( Aparatur Pemerintah ) Menimbulkan pertentangan dan radikalisme di masyarakat atau segmen tertentu dalam masyarakat. Mempermalukan aparat pemerintah dan memancing mereka bertindak represifkemudian mendiskreditkan pemerintah dan menghasilkan simpati masyarakat terhadap tujuan teroris. Menggunakan media masa sebagai alat penyebarluasan propaganda dan tujuan politik teroris. Sasaran fisik bangunan antara lain : Instalasi Militer, bangunan obyek vital seperti pembangkit energi , instalasi komunikasi, kawasan industri, pariwisata dan sarana transportasi, Personil Aparat Pemerintah, Diplomat ,Pelaku bisnis dan Personil lawan politik.Berdasarkan data aksi terorisme di Indonesia, setelah pasca reformasi mulai tahun 2000 aksi terorisme marak di Indonesia. Hampir tiap tahun terjadi serangan teroris. Hal ini disebabkan karena pergantian kekuasaan Orde Baru yang begitu keras menekan gerakan-gerakan radikal baik kiri maupun kanan dengan kebijakan undang-undang suversibnya. Tindakan keras dan pencegahan yang dilakukan terbukti efektif untuk menghentikan aksi terorisme, sehingga pada Era Orde Baru hampir tidak ada kasus terorisme. Tetapi setelah berganti Era Reformasi, penguasa dan politik menjadi gila kebebasan yang dianggap sebagai zaman demokrasi. Hiporia kebebasan ini akhirnya melemahkan kewaspadaan dan tindakan terhadap gerakan radikalisme, bahkan dengan emosional dicabutnya undang-undang suversib. Kebijakan emosional ini akhirnya mengakibatkan geraka-gerakan radikal, khususnya kanan (Islam) yang selama Orde Lama tiarap beramai-ramai muncul di permukaan dan berbiak seperti jamur di musim hujan. Mulai gerakan separatis di Aceh (GAM) hingga terbentuknya laskar-laskar Islam yang merupakan organisasi massa Islam radikal. Kebangkitan gerakan Islam radikal ini pastinya menghidupkan ideology lama mereka yang telah terpendam dengan satu tujuan tegaknya syariat Islam dalam bentuk Negara Islam Indonesia. Peristiwa inilah yang kemudian menjadikan Indonesia menjadi hujan bom oleh aksi-aksi teroris gerakan Islam radikal (politik Islam).Bila disimak, aksi teroris dari awal tahun 2000 sampai 1999 yang dijadikan target adalah sasaran presentasi asing; hotel asing, pub / caf, Keduataan Besar, Konsulat Jendral, bank dan tempat pariwisata yang banyak dihuni orang asing khususnya warga Amerika dan sekutunya. Hal ini dikarenakan fatwa dari Osama bin Laden pimpinan Al Qaeda yang menyerukan untuk menyerang, membunuh warga Amerika / sekutu baik sipil maupun militer dimanapun berada. Fatwa itu muncul karena perkembangan situasi global di Timur Tengah yang dianggapnya sebagai tindakan anti-kemanusiaan Amerika terhadap warga negara Islam di Jazera Arab.Tetapi pada tahun 2010 hingga kini, orientasi target mereka berubah. Yaitu sasaran mengarah pada aparat pemerintah (polisi) dan issue kristenisasi atau agama tertentu (Budha). Pergeseran target ini disebabkan karena perkembangan situasi Lokal (dalam negeri). Polisi dijadikan sasaran karena dianggap thogut karena bagian dari pemerintah yang bukan berdasarkan hukum Allah, tetapi berdasarkan hukum buatan manusia. Polisi juga dianggap sebagai penghalang bagi gerakan dan aksinya untuk mencapai tujuan. Selain itu alasan lain bahwa polisi telah banyak berbuat dzolim kepada ikhwan-ihwan mereka dengan menangkap, menyiksa, dan menembak mati. Sehingga aksi penyerangan terhadap polisi dianggapnya sebagai aksi balas dendam.Issue kristenisasi sudah lama ada, tetapi benturan yang paling besar adalah pada konflik di Poso, Ambon dan Maluku Utara. Aksi terorisme terhadap target Nasrani karena dianggap sebagai balasan terhadap kesadisan dan pembantaian umat Muslim di daerah konflik tersebut oleh kelompok Nasrani. Penyebab lain karena adanya issue Laskar Kristus yang dianggap mereka sebagai pasukan tandingan yang sengaja diciptakan Gereja untuk melawan Laskar Islam. Padahal Laskar Kristus hanyalah bahasa dakwah untuk memerangi hawa nafsu.Target komunitas Budha terkait dengan pembantaian umat Muslim Rohiyang di Myanmar. Serangan terhadap vihara merupan aksi balas dendam dan simpati terhada saudara-saudara Muslim.Mulai 2010, setelah Noordin M. Top ditembak mati di Solo, banyak bermunculan kelompok-kelompok teroris baru sebagai regenerasi dari jaringan Noordi M. Top. Kelompok Noordin M. Top terpecah dalam kelompok kecil-kecil dengan jumlah anggota yang tidak banyak. Kelompok yang lebih kecil akan lebih sulit diakses oleh aparat. Tetapi kelemahannya kelompok baru ini anggotanya masih pemula sehingga dapat dikatakan premature kurang pengalaman dibandingkan senior-senior mereka pada jaringan lama. Anggota kelompok baru hanya mendapatkan pelatihan lokal dengan seadanya dan waktu yang singkat karena tekanan aparat dan minimnya dana. Sedangkan jaringan lama mendapatkan pelatihan memadai di berbagai tempat latihan paramiliter baik di Afganistan dan Moro, Filipina dengan pratek tempur, perlengkapan persenjataan dan pendidikan yang memadai.Lalu dalam buku berjudul Terorisme di Indonesia: Dalam Tinjauan Psikologi, Guru Besar Psikologi, Sarlito Wirawan Sarwono mengutip lima ide berbahaya oleh Eidelson & Eidelson (2003) yang jika terjadi pada individu akan menyebabkan perasaan tidak senang, tidak percaya diri, sampai gelisah dan gangguan neurosis. Sementara pada tingkat kelompok, lima ide berbahaya ini bisa memicu kekerasan antarkelompok yaitu dalam konteks ini adalah kelompok terorisme dengan masyarakat Indonesia beserta pemerintah. Kelima ide tersebut adalah superioritas, ketidakadilan (injustice), kerentanan (vulnerability), ketidakpercayaan (distrust), dan ketidakberdayaan (helplessness).Mengenai superioritas, pelaku mengklaim kelompoknya sebagai kelompok terpilih. Sehingga untuk memerangi kekafiran pelaku terorisme mengaku rela mati, karena mati sebagai syahid dipercaya akan mendapat imbalan surga. Mengenai ketidakadilan, disebutkan bahwa gagasan ini menjadi alasan mengapa kelompok terorisme kerapkali berusaha memerangi pemerintah yang mereka sebut thagut atau pemerintah yang Islam tetapi tidak membela Islam, justru menzalimi Islam. Persepsi ketidakadilan ini tentu saja subjektif. Oleh karena itu biasanya dibutuhkan sosok yang dapat mengantisipasi perasaan tersebut, umumnya pemimpin yang mampu berpidato dengan retorika yang dahsyat yang mengajak kelompok untuk beraksi.Sementara, kerentanan dapat ditemukan melatarbelakangi konflik Israel-Palestina yang berkelanjutan. Menurut Eidelson & Eidelson, rasa vulnerability kelompok biasanya berawal dari ketidakpastian akan nasib mereka di masa depan. Untuk memastikan masa depan, isunya berubah menjadi isu teritorial (untuk menguasai wilayah Indonesia atau mendirikan negara Indonesia). Lalu ide ketidakpercayaan inilah yang mendominasi konflik-konflik di Indonesia. Dalam hal ini, kelompok terorisme tersebut tidak mempercayai pemerintah.

BAB IVDAFTAR PUSTAKA

Cottam, Martha, et. al. 2004. The Introduction to Political Psychology. London : Lawrence Erlbaum Associates Publisher.Hudson, Rex A. 1999. The Sociology and Psychology of Terrorism: Who Becomes A Terrorist and Why?. Washington, DC, United States: Federal Research Division of the Library of Congress.Moghaddam, Fathali M. 2005. The Staircase to Terrorism: A Psychological Exploration. Diterbitkan dalam jurnal American Psychological Association.http://news.liputan6.com/read/2127390/polisi-baku-tembak-dengan-kelompok-teroris-santoso-di-poso diakses pada tanggal 17 Desember pukul 13.02http://news.liputan6.com/read/2118333/usai-serangan-teroris-di-poso-polisi-amankan-2-bom-aktif diakses pada tanggal 17 Desember pukul 13.05http://www.merdeka.com/peristiwa/yono-adem-bendahara-kelompok-teroris-santoso-diciduk-di-poso.html diakses pada tanggal 17 Desember pukul 13.15https://www.academia.edu/6365636/Memutus_Mata_Rantai_Radikalisme_dan_Terorisme diakses pada tanggal 17 Desember pukul 14.22http://eprints.undip.ac.id/9609/1/PSIKOLOGI_POLITIK.ppt diakses pada tanggal 17 Desember pukul 15.03

18