12
Analisa kasus BLBI

Analisa kasus BLBI

Embed Size (px)

Citation preview

Analisa kasus BLBI

Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.

(Disadur dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bantuan_Likuiditas_Bank_Indonesia)

Apa itu BLBI ?????

Berawal dari krisis ekonomi yang menerpa negara-negara di Asia tahun 1997.

Untuk mengatasi pelemahan rupiah, Bank Indonesia kemudian memperluas rentang intervensi kurs jual dan kurs beli rupiah, dari Rp. 192 (8%), menjadi Rp. 304 (12%).

Guna mengurangi tekanan terhadap rupiah, Bank Indonesia mulai melakukan pengetatan likuiditas dengan menaikkan suku bunga SBI dari 6% menjadi 14%.

Akibatnya bank-bank umum kemudian meminta bantuan BI sebagai lender of the last resort ( pencegah krisis finansial yang berdampak sistemik)

Penyimpangan BLBI dimulai saat BI berikan dispensasi kpd bank-bank umum utk mengikuti kliring (penyelesaian utang piutang antar bank menggunakan surat berharga), Dispensasi diberikan ke semua bank tanpa melakukan pre-audit utk mengetahui apakah bank itu benar-benar butuh bantuan likuiditas & sehat. Akibatnya, banyak bank yang tidak mampu mengembalikan BLBI. 

Disadur dari : http://ketahananpangannasional.blogspot.com/2013/06/kronologi-kasus-blbi.html

Asal Mula kasus BLBI ??

11 Juli 1997: Pemerintah RI memperluas rentang intervensi kurs dari 192 (8%) menjadi 304 (12%), melakukan pengetatan likuiditas dan pembelian surat berharga pasar uang, serta menerapkan kebijakan uang ketat.

14 Agustus 1997: Pemerintah melepas sistem kurs mengambang terkendali (free floating). Masyarakat panik, lalu berbelanja dolar dlm jumlah sangat besar. Setelah dana pemerintah ditarik ke BI, tingkat suku bunga & deposito melonjak drastis krn bank berebut dana rakyat.

1 September 1997: BI menurunkan suku bunga SBI sebanyak 3 kali. Berkembang isu di masyarakat mengenai beberapa bank besar yg mengalami kalah kliring dan rugi dalam transaksi valas. Kepercayaan masyarakat terhadap bank nasional mulai goyah. Terjadi rush kecil-kecilan.

3 September 1997: Sidang Kabinet Terbatas Bid. Ekonomi, Keuangan & Pembangunan, Produksi & Distribusi berlangsung di Bina Graha, dipimpin langsung Soeharto. Hasilnya: pemerintah akan bantu bank sehat yg alami kesulitan likuiditas. Bank 'sakit', akan dimerger/likuidasi. Belakangan, kredit ini disebut bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Disadur dari : http://ketahananpangannasional.blogspot.com/2013/06/kronologi-kasus-blbi.html

Kronologi kasus

1 NOVEMBER 1997: 16 bank dilikuidasi. 26 DESEMBER 1997: Gubernur BI Soedradjad

Djiwandono melayangkan surat ke Soeharto, memberitahukan kondisi perbankan nasional yang terus alami saldo debit akibat tekanan penarikan dana nasabah. Soedradjad usul: "mengganti saldo debit dgn Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) Khusus

27 DESEMBER 1997: Surat Gubernur BI dijawab surat nomor R-183/M.Sesneg/12/1997, ditandatangani Mensesneg Moerdiono. Isinya, Presiden menyetujui saran direksi BI utk mengganti saldo debit bank dengan SBPU Khusus agar tidak banyak bank yg tutup dan dinyatakan bangkrut.

10 APRIL 1998: Menkeu diminta untuk mengalihkan tagihan BLBI kepada BPPN dengan batas waktu pelaksanaan 22 April 1998.

Kronologi kasus

MEI 1998: BLBI yg dikucurkan ke 23 bank capai Rp 164 triliun, dana penjamin antarbank Rp 54 triliun, biaya rekapitalisasi Rp 103 triliun. Adapun penerima terbesar (hampir dua pertiga dari jumlah keseluruhan) hanya empat bank. Yakni BDNI Rp 37,039 triliun; BCA Rp 26,596 triliun; Danamon Rp 23,046 triliun; dan BUN Rp 12,067 triliun.

4 JUNI 1998: Pemerintah diminta membayar seluruh tagihan kredit perdagangan (L/C) bank-bank dalam negeri oleh Kesepakatan Frankfurt. Ini merupakan prasyarat agar L/C yang diterbitkan oleh bank dalam negeri bisa diterima dunia internasional. Pemerintah terpaksa memakai dana BLBI senilai US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 18 triliun pada kurs Rp 14 ribu waktu itu).

Kronologi kasus

Ada beberapa bentuk perilaku menyimpang dalam kaitannya dengan BLBI yang dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana, di antaranya: A. saldo debet : Penyimpangan dalam

melakukan penarikan tunai, dan transfer dana ke cabang-cabang bank yang bersangkutan meskipun rekening gironya dibank BI bersaldo debet.

B. Fasilitas Diskonto (Fasdis) : Kebijakan pemberian Fasdis I dan ii untuk mengkonversi saldo debet rekening giro bank di BI tersebut ternyata tidak sesuai dengan ketentuan BI mengenai Fasdis

C. Fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus (FSBPUK) : Terdapat ketidaksesuaian pelaksanaan FSBPUK yang dijalankan.

Analisa Hukum Kasus BLBI

D. Dana Talangan Valas : BI telah memberikan penafsiran yang berlebihan terhadap hal-hal yang telah disepakati dalam Frankfurt Agreement dan kurang memperhatikan prosedur-prosedur yang menjamin prinsip kehati-hatian dalam pemberian dan talangan valas

Analisa Hukum Kasus BLBI

Bedasarkan uraian tersebut terbukti bahwa BI melanggar hukum tindak pidana, yaitu tidak konsisten dalam melaksanakan

peraturan-peraturan yang sudah dibuatnya dan yang sudah disetujui oleh presiden.

Kelalaian terhadap seleksi penerimaan dana BLBI yang menyebabkan kerugian negara.

Kelalaian terhadap pengawasan dana yang menyebabkan penyimpangan dana/ korupsi sebesar 138 T.

Penyelesaian kasus BLBI sudah ditangani dengan berbagai versi yang disesuaikan dengan kebutuhan penyelesaian kasus, diantaraya :

Kepolisian menyelesaikan kasus BLBI dengan menggunakan instrument perbankan.

Kasus BLBI juga ditangani kejaksaan dengan mengacu pada UU no.3 Tahun 1971,karena kasus ini terjadi sebelum lahirnya UU No 31 Tahun 1999.

Sampai saat ini masih terdapat beda pendapat khususnya penafsiran pasal 9 dan pasal 68 UU tentang KPK