Analgetik Opioid

Embed Size (px)

Citation preview

REFERATOBAT ANESTESI GOLONGAN OPIOID

Baiq Trisna SatrianaH1A 008 042

PEMBIMBINGdr. H. Sulasno, Sp.An.

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAANKLINIK MADYA BAGIAN / SMF ANESTESIDAN REAMINASI RUMAH SAKIT UMUMPROVINSI NTB2014

BAB IPENDAHULUAN

Analgetik adalah suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri. Nyeri timbul akibat oleh berbagai rangsangan pada tubuh misalnya rangsangan mekanis, kimiawi dan fisis sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan yang memicu pelepasan mediator nyeri seperti bradikinin dan prostaglandin yang akhirnya mengaktivasi reseptor nyeri di saraf perifer dan diteruskan ke otak. Secara umum analgetik dibagi dalam dua golongan, yaitu analgetik non narkotik dan analgetik narkotik (opioid).Opioid adalah kelompok obat yang sering dipergunakan pada penanganan pasien dengan nyeri yang berat. Berawal dari tumbuhan Papaver somniferum atau opium yang diekstrak dan digunakan secara luas pada peradaban kuno Persia, Mesir dan Mesopotamia. Kata opium sendiri berasal dari bahasa yunani yang berarti jus. Telah dicatat bahwa penggunaan opium yang pertama kali adalah pada salah satu teks kuno bangsa Sumeria pada tahun 4000 SM. 1, 2, 3, 4Opium digunakan dengan dihirup atau dengan cara ditusukkan pada kulit yang akan memberikan efek analgesia, selain itu juga akan menyebabkan depresi pernafasan dan kematian sesuai dengan derajat absorbsi yang diberikan. Opium merupakan campuran bahan kimia yang mengandung gula, protein, lemak, air, lilin nabati alami, lateks, dan beberapa alkaloid. Adapun alkaloid yang terkandung antara lain morfin (10%-15%), kodein (1%-3%), noskapin (4%-8%), papaverin (1%-3%), dan thebain (1%-2%). Beberapa dari alkaloid-alkaloid tersebut banyak digunakan untuk pengobatan diantaranya: untuk nyeri (morfin dan kodein), untuk batuk (kodein dan noskapin) dan untuk mengobati spasme visceral (papaverin). Morfin berhasil diisolasi oleh Seturner pada tahun 1803, kemudian dilanjutkan dengan kodein tahun 1832 lalu papaverin tahun 1848. 1,4,5,6Istilah opioid digunakan untuk semua obat baik alami maupun sintetik yang dapat menduduki reseptor opioid di tubuh manusia. istilah opiat digunakan untuk semua obat yang diekstrak dari tumbuhan opium yang menempati dan bekerja pada reseptor opioid.Opiat atau yang dikenal sebagai narkotik adalah bahan yang digunakan untuk menidurkan atau melegakan rasa sakit, tetapi mempunyai potensi yang tinggi untuk menyebabkan ketagihan. Sebagian dari opiat ,seperti candu, morfin, heroin dan kodein diperoleh dari getah buah popi yang terdapat atau berasal dari negara-negara Timur Tengah dan Asia. Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin, dan tidak semua obat golongan opioid dipasarkan di Indonesia. Akan tetapi dengan sediaan yang sudah ada kiranya penangganan nyeri yang membutuhkan obat opioid dapat dilakukan. Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat.Obat-obat opioid yang biasanya digunakan dalam anastesi antara lain adalah morfin, petidin dan fentanil. Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium maupun morfin. Meskipun mempelihatkan berbagai efek farmakologik yang lain, golongan obat ini digunakan terutama untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri.1, 2, 3Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin, dan tidak semua obat golongan opioid yang dipasarkan di Indonesia. Akan tetapi dengan sediaan yang sudah ada kiranya penangganan nyeri yang membutuhkan obat opioid dapat dilakukan. Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat.4, 5Dahulu digunakan istilah analgesik narkotik untuk analgesik kuat yang mirip morfin. Istilah ini berasal dari kata yunani yang berarti stupor. Istilah narkotik ini telah lama ditinggalkan jauh sebelum ditemukannya ligand yang mirip opioid endogen dan reseptor untuk zat ini. Dengan ditemukannya obat yang bersifat campuran agonis dan antagonis opioid yang tidak meniadakan ketergantungan fisik akibat morfin maka penggunaan istilah analgesik narkotik untuk pengertian farmakologik tidak sesuai lagi.3

BAB IIPEMBAHASAN

1. DEFINISIOpioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan.2, 3

2. KLASIFIKASI OPIOIDYang termasuk golongan opioid ialah : (1) obat yang berasal dari opium-morfin ; (2) senyawa semisintetik morfin ; (3) senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.3Di dalam klinik opioid dapat digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin). Akan tetapi pembagian ini sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi relatifnya, dan bukannya pada potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi yang lebih luas, dan dapat menyembuhkan nyeri yang berat lebih banyak dibandingkan dengan opioid lemah. Penggolongan opioid lain adalah opioid natural (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain), semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).2, 4Klasifikasi Opioid :a). Natural opiates alkaloid- Morfin- Kodein- Theibaine- Papaverine- Noscapineb). Semisintetik opioid- Hidromorphone- Hidrocodone- Oxycodone- Oxymorphone- Desomorphone- Diacetylmorphine (heroin)- Nocimorphine- Dexrtomethorphanc). Sintetik opioid- Fentanyl- Petidhine- Methadone- Tramadol- MeperidineSedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat digolongkan menjadi ;2, 3, 41. Agonis opioidMerupakan obat opioid yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor, terutama pada reseptor m, dan mungkin pada reseptor k contoh ; morfin, papaveretum, petidin (meperidin, demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.2. Antagonis opioidMerupakan obat opioid yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor dan pada saat bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor, contoh : nalokson.3. Agonis-antagonis (campuran) opioidMerupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja sebagai agonis pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain, contoh pentazosin, nabulfin, butarfanol, bufrenorfin.

3. MEKANISME KERJAReseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan system saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipothalamus corpus striatum, sistem aktivasi retikuler dan di korda spinalis yaitu substantia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek.2Reseptor tempat terikatnya opioid disel otak disebut reseptor opioid dan dapat diidentifikasikan menjadi 5 golongan, yaitu antara lain:2, 3, 4 Reseptor (mu) : -1, analgesia supraspinal, sedasi. -2, analgesia spinal, depresi nafas, euphoria, ketergantungan fisik, kekakuan otot. Reseptor d (delta) : analgesia spinal, epileptogen. Reseptor k (kappa) : k-1, analgesia spinal. k-2 tak diketahui. k-3 analgesia supraspinal. Reseptor s (sigma) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung. Reseptor e (epsilon) : respon hormonal.Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor akan tetapi dengan afinitas yang berbeda, dan dapat bekerja sebagai agonis, antagonis, dan campuran.3, 4Opioid mempunyai persamaan dalam hal pengaruhnya pada reseptor ; karena itu efeknya pada berbagai organ tubuh juga mirip. Perbedaan yang ada menyangkut kuantitas, afinitas pada reseptor dan tentu juga kinetik obat yang bersangkutan.Secara umum, efek obat-obat narkotik/opioid antara lain :4A. Efek sentral :a. Menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi (pacuan) pada reseptor opioid (efek analgesi).b. Pada dosis terapik normal, tidak mempengaharui sensasi lain.c. Mengurangi aktivitas mental (efek sedative).d. Menghilangkan konplik dan kecemasan (efek transqualizer).e. Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah pasien merasakan sebaliknya (efek disforia).f. Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek depresi respirasi dan antitusif).g. Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek emetik), tapi pada akhirnya menghambat pusat emetik (efek antiemetik).h. Menyebabkan miosis (efek miotik).i. Memicu pelepasan hormon antidiuretika (efek antidiuretika).j. Menunjukkan perkembangan toleransi dan dependensi dengan pemberian dosis yang berkepanjangan.B.Efek perifer :a. Menunda pengosongan lambung dengan kontriksi pilorus.b. Mengurangi motilitas gastrointestinal dan menaikkan tonus (konstipasi spastik).c. Kontraksi sfingter saluran empedu. d. Menaikkan tonus otot kandung kencing.e. Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi ortostastik.f. Menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan histamin, dan memicu bronkospasmus pada pasien asma.

4. OBAT GOLONGAN OPIAT YANG UMUM DIGUNAKANGolongan Agonis Kuat :1. MorfinMeskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah dan menguntungkan, yang dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).2, 3Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatif selektif, yakni tidak begitu mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran ; bahkan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi3, 4 Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin meninggikan ambang rangsang nyeri ; (2) morfin dapat mempengaruhi emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul di korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus ; (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.3

Farmakodinamik Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos. Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika (ADH).2, 3, 4, 6Farmakokinetik Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaruhi janin. Eksresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat.2, 3, 4, 6IndikasiMorfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai ; (1) Infark miokard ; (2) Neoplasma ; (3) Kolik renal atau kolik empedu ; (4) Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner ; (5) Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan ; (6) Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.3Efek samping Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi pernafasan, nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan pada traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi.2, 3, 4, 5, 6Dosis dan sediaanMorfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yamg diperlukan.2, 3

2. PetidinPetidin ( meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Secara kimia petidin adalah etil-1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat.3FarmakodinamikMeperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor m (mu). Seperti halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah dibanding morfin, tetapi leih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis 3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri neuropatik. 3, 6Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai berikut :21. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam air. 2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit yang masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin. 3. Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan takikardia. 4. Seperti morpin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan. 5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak ada hubungannya dengan hipiotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa. Morfin tidak. 6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin. FarmakokinetikAbsorbsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi. Setelah pemberian meperidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama, kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang lebih 60% meperidin dalam plasma terikat protein. Metabolisme meperidin terutama dalam hati. Pada manusia meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian sebagian mengalami konyugasi. Meperidin dalam bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demitilasi.Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan tekanan intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda persalinan, akan tetapi dapat masuk kefetus dan menimbulkan depresi respirasi pada kelahiran.Indikasi Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik, untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang karena menyebabkan depresi nafas pada janin.Dosis dan sediaanSediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.4, 6Efek sampingEfek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.3, 4, 6

3. FentanilFentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin. Fentanil merupakan opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin. Lebih larut dalam lemak dan lebih mudah menembus sawar jaringan.2, 3, 4

Farmakodinamik Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu analgesik, fentanil 75-125 kali lebih potendibandingkan dengan morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil (dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang tinggi menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf tepi. Fentanil dikombinasikan dengan droperidol untuk menimbulkan neureptanalgesia.3, 6Farmakokinetik Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.6Indikasi Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 /kg BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml.4, 6Efek sampingEfek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol. 2Obat terbaru dari golongan fentanil adalah remifentanil, yang dimetabolisir oleh esterase plasma nonspesifik, yang menghasilkan obat dengan waktu paruh yang singkat, tidak seperti narkotik lain durasi efeknya relatif tidak tergantung dengan durasi infusinya.4

Golongan Agonis-Antagonis1. KodeinKodein mempunyai analgesic yang kurang poten disbanding morphin, tetapi mempunyai kemanjuran peroral yang lebih tinggi. Obat ini mempunyai potensi penyalahgunaan yang lebih rendah daripada morfin. Kodein sering digunakan dalam kombinasi aspirin atau asetaminofen.2. PropoksifenEfek analgesic : untuk menghilangkan rasa nyeri ringan sampai sedang.Efek samping : Pada dosis toksik, akan menimbulkan depresi pernafasan, konvulsi, halusinasi, dan bingung. Propoksifen dapat menimbulkan mual, anoreksia, dan konstipasi.

Golongan campuran Agonis-Antagonis1. Alkaloid semisintetik : Nalbufin Nalbufin adalah agonis-antagonis opioid yang secara kimia mirip dengan oksimorfon dan nalokson. Nalbufin dimetabolisme terutama di hepar. Efek samping yang paling sering adalah sedasi pada pemberian nalbufin. Tidak seperti pentazosin dan butorfanol, nalbufin tidak menyebabkan pelepasan katekolamin sehingga hemodinamik pasien relatif stabil. Oleh karena itu nalbufin merupakan pilihan yang tepat untuk digunakan pada pasien dengan gangguan jantung, seperti pada tindakan kateterisasi jantung. 7,8,9

2. Opioid sintetik : a. Derivat benzomorfan : Pentazosin Pentazosin merupakan agonis dan antagonis reseptor opioid yang lemah pada reseptor k dan d dengan potensi sekitar 1/5 dari obat nalorfin. Pentazosin diserap baik melalui rute oral maupun perenteral yang kemudian dimetabolisme di hepar melui proses oksidasi menjadi glukoronid inaktif yang akan diekskresikan terutama melalui urin dan kemudian empedu. Dengan dosis 10-30mg iv atau 50mg oral, setara dengan kodein 60 mg, mampu mengatasi nyeri sedang. Efek samping yang sering dari pentazosin adalah sedasi yang kemudian diikuti dengan diaphoresis dan pusing. Pentazosin menyebabkan pelepasan katekolamin pada tubuh kita sehingga Pentazosin sebesar 20-30 mg im mempunyai efek analgesia, sedasi dan depresi pernafasan yang setara dengan 10 mg morfin. Tidak seperti morfin, pentazosin tidak memiliki efek miosis pada pupil mata. 8,9b. Derivat morfinian : Butorfanol Butorfanol adalah agonis dan antagonis opioid yang menyerupai pentazosin. Efek agonisnya 20 kali lebih besar dan efek antagonisnya 10 hingga 30 kali lebih besar jika dibandingkan dengan pentazosin. Butorfanol memiliki afinitas yang lemah sebagai antagonis pada reseptor u dan afinitas yang sedang pada reseptor k untuk menghasilkan analgesia dan efek anti menggigil. Pada prakteknya butorfanol 2-3 mg im menghasilkan efek analgesia dan depresi pernafasan setara dengan morfin 10 mg. Butorfanol terutama dimetabolisme menjadi metabolit inaktif hidroksibutorfanol yang diekskresi terutama di empedu dan sebagian kecil pada urin. Efek samping yang paling sering adalah sedasi, mual dan diaphoresis. Efek pelepasan katekolamin yang dimiliki pentazosin juga dimilikioleh butorfanol ini sehingga akan didapat peningkatan laju nadi dan tekanan darah pada pasien. 7,8,9

Menghambat sistem serotoninTramadolMekanisme kerja: tramadol adalah analgesik yang bekerja sentral, agonis terhadap reseptor serta mempunyai afinitas yang lemah pada reseptor k dan d. Melalui reseptor tramadol meningkatkan efek inhibisi descending spinal melalui penurunan reuptake norepinefrin dan serotonin. Efek tramadol hanya bisa diantagonis oleh nalokson sebesar 30%. Tramadol dibuat sebagai rasemik yaitu campuran antara enansiomer dimana enansiomer yang satu berfungsi menghambat reuptake norepinefrin sedangkan yang satu lagi bekerja menghambat reuptake serotonin. 7,8,9Metabolisme: tramadol dimetabolisme di hepar melalui enzim P-450 menjadi O-dismetiltramadol dan di sekresikan oleh ginjal dalam bentuk metabolic aktif sehingga pada seseorang yang mengalami gangguan hati dan ginjal harus dikurangi dosisnya. 7,8Dosis tramadol 3mg/kgBB oral, im, maupun iv efektif untuk penanganan nyeri sedang hingga berat. Selain itu tramadol juga dapat digunakan sebagai agent anti menggigil postoperative. Salah satu efeksampingnya yang sering terjadi adalah mual dan muntah. 7,8,9

BAB IIIKESIMPULAN

1. Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin, dan tidak semua obat golongan opioid yang dipasarkan di Indonesia. Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat. 2. Obat golongan obat yang agonis yang sering digunakan didalam anastesia antara lain adalah morfin, petidin, fentanil. 3. Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor morfin, opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan. 4. Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat opioid dapat digolongkan menjadi : agonis opioid, antagonis opioid, agonis-antagonis (campuran) opioid.

Daftar Pustaka

1. Muhardi dan Susilo. Penanggulangan Nyeri Pasca Bedah. Bagian Anestiologi dan Terapi Intensif FK-UI. Jakarta. 1989. hal : 199.2. Latief, S. A, Suryadi, K. A, dan Dachlan, M. R. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi II. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI. Jakarta. Juni. 2001. hal : 77-83, 161.3. H. Sardjono, Santoso dan Hadi Rosmiati D. Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi FK-UI. Jakarta. 1995. hal : 189-206.4. Samekto Wibowo dan Abdul Gopur. Farmakoterapi Dalam Neuorologi, Penerbit Salemba Medika. hal : 138-143.5. Sunatrio S. Ketamin vs Petidin as Analgetic for Tiva with Propofol, Majalah Kedokteran Indonesia. Vol : 44. Nomor : 5, Mei 1994. hal : 278-279.6. Omorgui, S. Buku Saku Obat-obatan Anastesi. Edisi II. EGC. Jakarta. 1997. hal : 203-207.7. Brunton L, Parker K, Blumenthal D. Opioid analgesics in Goodman and Gilmans Manual of farmacology and Therapeutics..New York:Lange Medical Books/Mc Graw Hill; 2008.p 351-718. Stoelting RK, Hillier SC. Pharmacology and physiology in anesthetic practice. 4thed. Philadelphia; Lippincott William and Wilkins;2006.p.87-1229. Katzung BG. Basic and clinical pharmacology 10thed. New York: Lange Medical Books/ Mc-Graw-Hill;2007.

20