Author
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
i
ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai Kebijakan Hukum Tentang Pidana
Pengganti Kerugian Negara Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adapun permasalahan yang dikaji yaitu bagaimanakah kebijakan formulasi pidana
pengganti kerugian negara dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sekarang
ini dan bagaimana kebijakan reformulasi pidana pengganti kerugian negara yang
akan datang. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan serta
menganalisis terkait peraturan pidnana pengganti dalam tindak pidana korupsi.
Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui serta mengkaji hal-hal
yang dapat menjadi masukan dalam penyusunan peraturan terkait tindak pidana
pengganti di kemudian hari.
Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, penelitian ini
menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) , yakni dengan
menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai bahan hukum primer.
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah
semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum
yang sedang ditangani. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan konsep
(conceptual approach). Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.
Berdasarkan penelitian, terdapat norma kosong dalam peraturan pelaksanaan
pidana pengganti kerugian negara dalam tindak pidana korupsi, serta kekaburan
norma dengan dimuatnya kata “dapat” dalam pelaksanaan sita dalam rangka
tindak pidana pengganti kerugian negara dalam tindak pidana korupsi.
Kata kunci : Kebijakan, Pidana Pengganti, Korupsi.
ii
ABSTRACK
This study discusses the Legal Policy on Criminal Replacement of State
Losses in the Eradication of Criminal Acts of Corruption. The problems studied
are how the formulation of state penal redress policy in the current corruption
corruption and how the criminal reformulation policy substitute for future state
losses. The purpose of this paper is to describe and analyze related substitute
pidnana rules in corruption. In addition, this research also aims to know and
examine the things that can be input in the preparation of regulations related to
substitute crime in the future.
The method used is normative legal research, this study using statutory
approach (statute approach), that is by using the legislation as the primary legal
material. The statutory approach is conducted by reviewing all laws and
regulations pertaining to legal issues being addressed. This research also uses a
conceptual approach. The conceptual approach goes from the views and doctrines
that develop in the science of law.
Based on the research, there are empty norms in the regulation of the
implementation of criminal substitution of state losses in corruption crime, as well
as the obscurity of the norm with the word "can" in the implementation of
confiscation in the framework of the crime of substitute state losses in corruption
crime.
Keywords: Policy, Substitute Criminal, Corruption.
iii
RINGKASAN
Tesis ini membahas mengenai bagaimanakah kebijakan formulasi pidana
pengganti kerugian negara dalam pemberantsan tindak pidana korupsi sekarang
ini dan bagaimana kebijakan reformulasi pidana pengganti kerugian negara yang
akan datang. Tesis ini terdiri dari 5 ( lima ) Bab pokok bahasan yaitu Bab I adalah
pendahuluan, Bab II tinjauan umum, Bab III dan IV adalah pembahasan, serta Bab
V adalah penutup.
Bab I menguraikan latar belakang mengenai penyebab munculnya
permasalahan dalam penelitian ini. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam bab ini
juga akan menguraikan rumusan masalah, ruang lingkup masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, landasan teoritis, kerangka
berpikir dan metode penelitian.
Bab II menguraikan tinjauan umum yang terdiri atas 3 ( tiga ) sub bab
mengenai kebijakan hukum pidana. Sub bab kedua membahas pemahaman hukum
tindak pidana korupsi, sub bab ketiga membahas mengenai pidana pengganti
dalam tindak pidana korupsi serta sub bab keempat membahas kerugian negara
dalam tindak pidana korupsi.
Bab III menguraikan mengenai pembahasan dari permasalahan yang pertama
dalam penelitian ini yang terdiri dari 3 (tiga) bagian yaitu bagian pertama adalah
membahas mengenai pidana pengganti kerugian negara dalam hukum pidana
Indonesia. Bagian kedua membahas prosedur penyitaan sebagai pengganti
iv
pembayaran uang pengganti menurut KUHAP. Bagian ketiga membahasa Perma
No 5 Tahun 2014 sebgai alternatif prosedur pelaksanaan pidana pengganti.
Bab IV menguraikan mengenai pembahasan dari permasalahan yang kedua
dalam penelitian ini yang terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu bagian pertama
membahas tentang kebijakan reformulasi hukum terhadap pidana pengganti yang
akan dating. Sedangkan bagian kedua membahas peraturan hukum pengembalian
asset.
Bab V merupakan penutup yang menguraikan simpulan dan saran. Simpulan
merupakan hasil dari pembahasan penelitian baik baik dari rumusan masalah
pertama dan kedua, sedangkan saran memuat tentang hal-hal yang menjadi
rekomendasi terkait permasalahan dalam penelitian sebagai bentuk jalan keluar
atas masalah yang dimaksud sehingga patut dan layak untuk segera dilaksanakan.
v
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN ...................................................................... i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER .................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iii
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT …………………………….. .. iv
UCAPAN TERIMAKASIH.............................................................................. v
HALAMAN ABSTRAK ……………………………………………………... ix
HALAMAN ABSTRACT ……………………………………………………. x
RINGKASAN ………………………………………………………………... x
DAFTAR ISI ………………………………………………………………… . xii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 14
1.3 Ruang Lingkup Masalah .................................................................. 15
1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................. 16
1.4.1.Tujuan Umum......................................................................... 16
1.4.2.Tujuan Khusus ......................................................................... 16
1.5 Manfaat Penelitian .............................................................................. 17
1.5.1 Manfaat Teoritis .................................................................... 17
1.5.2 Manfaat Praktis ....................................................................... 17
vi
1.6 Orisinalitas Penelitian .......................................................................... 18
1.7 Landasan Teoritis.................................................................................. 19
1.7.1 Teori Kebijakan … .................................................................. 19
1.7.2 Teori Pemidanaan ..................................................................... 26
1.7.3 Teori Keadilan ..................................................................... 28
1.8 Metode Penelitian ............................................................................... 32
1.8.1 Jenis Penelitian ......................................................................... 32
1.8.2 Jenis Pendekatan........................................................................ 33
1.8.3 Sumber Bahan Hukum ............................................................ 34
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum …………...... ..... ........... 35
1.8.5 Teknik Analisis …………....................................................... 35
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEBIJAKAN HUKUM PIDANA,
TINDAK PIDANA KORUPSI, PIDANA PENGGANTI, DAN
KERUGIAN NEGARA ...................................................................... 38
2.1 Kebijakan Hukum Pidana .................................................................. 38
2.2 Pemahaman Hukum Tindak Pidana Korupsi ................................... 42
2.2.1 Pengertian Korupsi ………………………............................. 45
2.2.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi ……............................. 48
2.2.3 Pelaku Tindak Pidana Korupsi ……………........................... 50
vii
2.3 Pidana Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi............................... 52
2.4 Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi .............................. 56
BAB III KEBIJAKAN FORMULASI PENGGANTI KERUGIAN NEGARA
DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA ..................…………….64
3.1 Pidana Pengganti Kerugian Negara Dalam ukum Pidana Indonesia 64
3.1.1 Dasar Hukum Pengaturan Uang Pengganti ………………….. 68
3.2 Produser Penyitaan Sebagai Pengganti Pembayaran Uang Pengganti
Menurut KUHAP ............................................................................... 78
3.3 Perma No 5 Tahun 2014 Sebagai Alternatif Prosedur Pelaksanaan
Pidana Pengganti ………………………………………………….... 81
BAB IV KEBIJAKAN REFORMULASI DALAM UPAYA
PENGEMBALIAN ASET NEGARA, DAN PENGGANTI
KERUGIAN NEGARA DI MASA YANG AKAN DATANG …... 87
4.1 Kebijakan Reformulasi Hukum Terhadap Pidana Pengganti Yang
Akan Datang ……………………………………………………..….. 87
4.1.1 Prinsip-prinsip dalam UNCAC untuk mendukung formulasi
Pidana Pengganti Kerugian Negara .…………………….. 94
4.1.2 Konsep dalam melakukan perampasan asset yang akan datang 94
4.2 Hambatan dalam peraturan hukum perampasan aset dalam rangka
pelaksanaan eksekusi pidana pengganti sebagai pertimbangan dalam
formulasi norma yang akan datang ……………………..……. 99
4.3 Pengaturan perdata dalam upaya pengembalian aset sebagai kajian
viii
formulasi yang akan datang …….……………………..……. 110
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ……………………………...……......... 116
5.1 Simpulan …………………………………………….................... 116
5.2 Saran …………………………………………………………….... 117
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menegaskan bahwa „Negara Indonesia adalah Negara Hukum‟. Artinya
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas
hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan (machtstaat), dan
pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme
(kekuasaan yang tidak terbatas). Dengan demikian, terdapat 3 (tiga) prinsip
dasar yang wajib dijunjung oleh setiap warga negara yaitu supremasi hukum,
kesetaraan di hadapan hukum, dan penegakan hukum dengan cara-cara yang
tidak bertentangan dengan hukum.
Pembangunan nasional berkelanjutan untuk kesejahteraan rakyat
Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, aman, dan tertib
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, perlu terus ditingkatkan, dengan tetap menjunjung tinggi prinsip
dasar di atas, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang
berdasar atas hukum.
Salah satu hambatan terhadap pembangunan nasional yang berkelanjutan
di atas adalah lemahnya penegakan hukum dan semakin meluasnya tindak
pidana korupsi, baik kualitas maupun kuantitasnya. Untuk mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi perlu diambil langkah-langkah terpadu
x
berupa pembentukan undang-undang yang aspiratif, penegakan hukum yang
konsisten, peningkatan peran serta masyarakat, dan kerja sama internasional.
Istilah korupsi yang mengemuka sebagai hambatan dari pembangunan
nasional merupakan persoalan lama yang terus menghantui pembangunan
bangsa Indonesia kedepannya. Korupsi merupakan perkataan yang berasal dari
perkataan corruption, yang berarti kerusakan. Istilah ini misalnya dipakai
dalam kalimat naskah kuno Negara kertagama yakni ada yang corrupt
(rusak).1
Masalah korupsi yang terjadi di Indonesia sudah semakin pada titik
nadir. Korupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah
membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di
tingkat Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif, serta telah menjalar di dunia
usaha.2
Korupsi adalah masalah besar yang dihadapi negara-negara dengan
perkembangan ekonomi pesat, demikian salah satu kesimpulan Transparency
International ketika merilis Corruption Perseptions Index (CPI) 2014 hari
Rabu (03/12/14) di Berlin, Jerman. 18 negara mendapat skor di bawah 40 dari
seluruhnya 100 skor. 0 berarti terkorup dan 100 berarti paling bersih.
Indonesia mendapat skor 34, naik dari tahun lalu, 32. Indonesia kini
menduduki peringkat 107, bersama-sama dengan Argentina dan Djibouti.
1 I Ketut Mertha, 2014, Efek Jera Pemiskinan Koruptor dan Sanksi Pidana , Udayana University
Press, Denpasar, h.48 2 Muhammad Yusuf, 2013, Merampas Aset Koruptor Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia,
PT. Kompas Media Indonesia, Jakarta, h.1
xi
Tahun 2014, Indonesia berada di peringkat 114 dari seluruhnya 174 negara
yang diperiksa.3
Korupsi tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi hampir di semua Negara-
negara sedang berkembang ( NSB ) seperti Nigeria, Peru, dan Filipina.
Sebagai suatu kejahatan yang melintasi batas teritorial suatu negara dan
sebagai suatu kejahatan terorganisasi, bahkan korupsi seringkali melibatkan
korporasi sebagai pelaku. Gambaran ini mengingatkan bahwa penanganan
korupsi menjadi semakin rumit, dengan semakin banyaknya aset publik yang
dikorup kemudian disimpan pada sentra-sentra finansial di negara-negara
maju terlindungi oleh sistem hukum yang berlaku di negara tersebut, ditambah
lagi dengan jasa para profesional yang disewa oleh koruptor sehingga tidak
mudah untuk melacak, apalagi memperoleh kembali aset tersebut. 4
Tindak pidana korupsi, pada awalnya dimasukkan sebagai delik-
delik jabatan (ambsdelicten) dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP). Kompleksnya permasalahan serta perkembangan serta modus
operandi tindak pidana korupsi mengakibatkan makin melemahnya
kemampuan KUHP untuk menyeret pelaku korupsi. Indonesia sebagai satu
bagian dari bangsa di dunia tidak terlepas dari korupsi. Hal ini dilihat dari
nilai indeks korupsi Indonesia yang dibuat oleh lembaga Tranparansi
Internasional yang mencapai poin 32. Dari peringkat indeks tersebut Indonesia
menduduki peringkat 118 dari 174 negara dunia, dan menduduki peringkat ke
3 Tersedia di http//www.detik.com/indexkorupsiindonesia.
4 Mahrus Ali, 2011, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, h. 6
xii
56 negara terkorup di dunia.5 Korupsi di Indonesia diduga telah merugikan
keuangan negara sejumlah 39,3 triliun rupiah dalam rentang waktu dari tahun
2004 - 2011.6
Pelaksanaan pembangunan nasional dan pertumbuhan ekomoni menjadi
terganggu dengan semakin merajalelanya korupsi yang terjadi diseluruh aspek
lapisan masyarakat dalam segala bidang yang lambat laun telah menggerogoti
hasil pembangunan yang telah dicapai karena korupsi telah banyak
menyebabkan kerugian keuangan negara dan perekonomian negara.
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana
khusus7 (ius singulare, ius speciale atau bijzonder strafrecht) dan ketentuan
hukum positif (ius constitutum) Indonesia, yang diatur dalam UU Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.8
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana
khusus.9 Apabila dijabarkan, tindak pidana korupsi mempunyai spesifikasi
tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti penyimpangan
hukum acara10 dan materi yang diatur dimaksudkan menekan seminimal
5 Tersedia di Republika.co.id, “Indonesia Berada di Peringkat 56 Negara Terkorup di Dunia
Tahun 2012”, www.republika.co.id/berita /hukum/nasional/13/01/02
6 Tersedia di Fokus news, “Puluhan Trilun Rupiah Menguap karena Korupsi”, www.fokusnews
viva.co.id. 4 Desember 2012. 7 Adami Chazawi, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi,Bandung, Alumni, h. 1.
8 Juniver Girsang, 2012, Abuse of Power, Penyalahgunaan Kekuasaan Aparat Penegak Hukum
Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, J.G. Publishing ,h. 8. 9 Adami Chazawi, Op.Cit.
10 Moch. Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Bandung, Mandar
Maju, h. 2-3.
http://www.republika.co.id/berita%20/hukum/nasional/13/01/02
xiii
mungkin terjadinya kebocoran serta penyimpangan terhadap keuangan dan
perekonomian negara. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti
Korupsi 2003 (United Nations Convention Against Corruption (UNCAC),
2003)11 mendeskripsikan masalah korupsi sudah merupakan ancaman serius
terhadap stabilitas, keamanan masyarakat nasional dan internasional, telah
melemahkan institusi, nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan
pembangunan berkelanjutan maupun penegakan hukum.
Indonesia sendiri memandang korupsi merupakan salah satu bentuk
tindak pidana yang mendapatkan perhatian yang sangat besar dari masyarakat
Indonesia dewasa ini, isu akan pemberantasan perkara korupsi seakan-akan
telah menjadi sebuah topic hangat yang tidak henti-hentinya di perbincangkan
di tengah-tengah masyarakat.
Korupsi merupakan kejahatan yang sangat luar biasa sehingga sering
disebut sebagai extraordinary crime sehingga dalam penangannya diperlukan
aturan khusus dan upaya yang khusus pula. Wujud dari keseriusan
pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai extraordinary crime yang
memerlukan penanganan khusus ditandai dengan dikeluarkannya UU No 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 Tentang
pemberantasan Tindak pidana korupsi yang memuat banyak ketentuan-
ketentuan khusus yang mempunyai aturan yang berbeda bila disandingkan
dengan aturan umum yang dimuat dalam kitab undang-undang hukum pidana
11
Romli Atmasasmita, 2006, Strategi Dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pasca Konvensi
PBB Menentang Korupsi Tahun 2003: Melawan Kejahatan Korporasi, Jakarta, Paper
2006, h. 1
xiv
(KUHP), salah satunya adalah terdapat ancamam pidana pengganti terhadap
kerugian Negara yang terjadi.
Kerugian keuangan negara atau perekonomian negara yang sebutkan
diatas telah menjadi unsur dari delik korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2
dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU
Tipikor).
Pasal 2 UU Tipikor menyebutkan:
”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit
RP.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Sedangkan Pasal 3 UU Tipikor menyebutkan:
”Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit RP.50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)”.
Untuk mencari apa yang dimaksud dengan kerugian negara yang
disebutkan dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi
tersebut dapat dicari beberapa rujukan antara lain :
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara mendefinisikan keuangan negara adalah, “semua hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang
xv
maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal
1 ayat 22 menjelaskan “Kerugian negara/ daerah adalah kekurangan uang,
surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.”
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur dari kerugian
negara yaitu:
1. Kerugian negara merupakan berkurangnya keuangan negara berupa uang berharga, barang milik negara dari jumlahnya dan/ atau nilai yang
seharusnya.
2. Kekurangan dalam keuangan negara tersebut harus nyata dan pasti jumlahnya atau dengan perkataan lain kerugian tersebut benar-benar telah
terjadi dengan jumlah kerugian yang secara pasti dapat ditentukan
besarnya, dengan demikian kerugian negara tersebut hanya merupakan
indikasi atau berupa potensi terjadinya kerugian.
Kerugian tersebut akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja
maupun lalai, unsur melawan hukum harus dapat dibuktikan secara cermat dan
tepat.12
Terhadap kerugian keuangan negara ini dalam undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi baik yang lama yaitu UU No. 3 tahun
1971 maupun yang baru yaitu UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun
2001, menetapkan kebijakan bahwa kerugian keuangan negara itu harus
dikembalikan atau diganti oleh pelaku korupsi.
Berkaitan dengan pengaturan pengembalian aset tersebut di atas,
pemerintah Indonesia telah menerbitkan pelbagai peraturan yang dapat
dijadikan sebagai dasar/landasan dalam upaya pemerintah untuk
12 Hernol Ferry Makawimbang, 2015, Memahami dan menghindari Perbuatan Merugikan
Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang, Thafa Media,
Yogyakarta, h.15
xvi
mengembalikan kerugian keuangan negara sebagai akibat dari tindak pidana
korupsi. Upaya-upaya dimaksud diatur dalam :
1. UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UUU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi)
2. UU No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Anti Korupsi)
Ratifikasi Konvensi ini merupakan komitmen nasional untuk
meningkatkan citra bangsa Indonesia dalam percaturan politik
internasional. Arti penting lainnya dari ratifikasi Konvensi tersebut
adalah:
- untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil
tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri;
- meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik;
- meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana,
pengalihan proses pidana, dan kerja sama penegakan hukum; -
mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi
dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di
bawah payung kerja sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis
pada lingkup bilateral, regional, dan multilateral; dan
- harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan
Konvensi ini.
3. UU No 5 Tahun 2009 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi).
Konvensi menyatakan bahwa tujuan Konvensi ini adalah untuk
meningkatkan kerja sama internasional yang lebih efektif dalam
mencegah dan memberantas tindak pidana transnasional yang
terorganisasi, dan salah satu tindak pidana yang dimaksud ialah tindak
pidana pencucian uang hasil kejahatan korupsi yang bersifat
transnasional.
4. UU 15 tahun 2002 sebagaimana diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) , dan yang tebaru
UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang.
Secara historis, hasil korupsi sangat erat kaitannya dengan kasus
pencucian uang dalam yurisdiksi tertentu di mana hasil-hasil kejahatan
dapat disembunyikan. Sehubungan dengan itu, Pasal 54 ayat 1 (b)
UNCAC mengharuskan setiap negara Pihak untuk menjamin
kemampuan mereka dalam menyita hasil tindak pidana dari negara lain
terkait kasus pencucian uang
xvii
UNCAC tersebut juga mempunyai maksud dan tujuan umum, yaitu
untuk memajukan dan meningkatkan / memperkuat tindakan pencegahan
dan pemberantasan korupsi yang lebih efisien dan efektif, untuk
memajukan, memfasilitasi, dan mendukung kerjasama internasional dan
bantuan teknis dalam mencegah dan memerangi korupsi, terutama
pengembalian aset, serta meningkatkan integritas dan akuntabilitas dan
manejemen publik dalam pengelolaan kekayaan negara. “Pengembalian
aset negara yang dikorupsi di negara-negara sedang berkembang
(termasuk Indonesia) yang umumnya disimpan di sentra-sentra finansial
negara maju, merupakan agenda kerjasama internasional dalam konvensi
ini. Bagi Indonesia pengembalian aset negara sangatlah penting
mengingat korupsi di indonesia secara sistematik sebagai suatu
perbuatan yang sangat merugikan serta merusak sendi-sendi kehidupan
perekonomian suatu negara”. 13
5. UU No. 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana .
Apabila kita lihat beberapa ketentuan diatas, konvensi PBB yang telah
disyahkan menjadi undang-undang tersebut sangat relevan dengan kenyataan
banyaknya hasil korupsi di simpan pada bank-bank di luar negeri yang
dipandang aman dari pelacakan oleh aparat penegak hukum Indonesia.14
Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang
mengikutsertakan masyarakat, dalam The United Nations Convention Against
Corruption 2003, pada Pasal 13 disebutkan, bahwa :
Each state party shall take appropriate measures, within its means and
in accordance with the fundamental principles of its domestic law, to
promote the active participation of individuals and groups outside the
public sector, such as civil society, nongovernmental organizations and
community-based organizations, in the prevention of and the fight
against corruption
(Terjemahan bebas :Masing-masing negara pihak wajib mengambil
tindakan-tindakan yang semestinya, dalam kewenanganya dan sesuai
13
I Gusti Ketut Ariawan, 1 januari 2008, Stolen Aset Recovery Initiative, Suatu Harapan Dalam
Pengembalian Aset Negara, Majalah Hukum Kertha Patrika. 14
I Ketut Mertha,2014, Efek Jera Pemiskinan Koruptor dan Sanksi Pidana , Udayana University
Press, Denpasar, h.55.
xviii
dengan prinsip-prinsip dasar hukum internalnya; meningkatkan
partisipasi aktif perorangan dan kelompok di luar sektor publik, seperti
masyarakat sipil, organisasi-organisasi non pemerintah (NGO/LSM) dan
organisasi-organisasi berbasis masyarakat). Hal ini dilakukan dalam
rangka pencegahan dan perlawanan terhadap korupsi dan meningkatkan
kewaspadaan masyarakat mengenai keberadaan, penyebab dan
kegawatan dari dan ancaman yang ditunjukan oleh korupsi.
Konvensi anti korupsi (KAK) telah membuat terobosan besar mengenai
pengembalian asset kekayaan negara yang telah dikorupsi, meliputi sistem
pencegahan dan deteksi hasil tindak pidana korupsi (Pasal 52 KAK); sistem
pengembalian asset secara langsung (Pasal 53 KAK) ; sistem pengambalian
asset secara tidak langsung dan kerjasama internasional untuk tujuan
penyitaan (Pasal 55 KAK). Ketentuan esensial yang teramat penting dalam
konteks ini adalah ditujukan khusus terhadap pengembalian asset-aset hasil
korupsi dari negara ketempatan (custodial state) kepada negara asal (country
of origin) asset korupsi.
Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sendiri lebih rinci
memuat upaya pengembalian kerugian negara dalam ketentuan Pasal 18 yakni:
ayat (1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh
dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana
dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang
menggantikan barang-barang tersebut.
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c. Penutupan seluruh atau sebagaian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
xix
d. Pencabutan seluruh atau sebgaian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau diberikan
oleh pemerintah kepada terpidana.
Ayat (2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan
sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut.
Ayat (3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang
mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak
melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang ini dan lamaya pidana tersebut sudah
ditentukan dalam putusan pengadilan.15
Implementasi dari ketentuan Pasal 18 dalam undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut dapat kita temui pada salah satu
point putusan pengadilan tindak pidana korupsi biasanya dalam putusannya
menyebutkan besaran uang pengganti, bila kita mengacu pada peraturan yang
ada, seharusnya dalam jangka waktu satu bulan sejak putusan tersebut
mendapat kekuatan hukum tetap terpidana wajib mekakukan pembayaran, dan
bila tidak dilakukan maka harta bendanya dapat disita untuk menutupi
kerugian negara yang terjadi, penyitaan dalam rangka pelaksanaan putusan
tersebut hingga saat ini tidak diatur dalam norma tersendiri, padahal tindakan
penyitaan terhadap asset individu sangat rentan akan perlawanan mengingat
terdapat hak keperdataan yang juga dilindungi oleh Hukum
Pentingnya mengoptimalkan ketentuan Pasal 18 dalam undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi dengan tidak hanya berhenti pada
15 Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah dirubah menjadi Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
xx
putusan pidana pokok yang telah dijatuhkan, harus dilaksanakan dengan serius
mengingat esensi dari tindak pidana korupsi itu sendiri ada pada hilangnya
keuangan negara yang mengakibatkan kerugian negara, kemudian setelah
pelaku dijatuhi pidana sebagai bentuk pertanggung jawaban atas perbuatan
yang telah dilakukan, sering kali jumlah kerugian negara yang terjadi tidak
kembali kepada kas negara.
Konsep pengembalian keuangan negara yang bersifat progresif mutlak
diperlukan untuk mengatasi kekosongan norma saat dalam undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini, dimana kedudukan pidana
pembayaran uang pengganti sebagai “lembaga baru” dalam sistem hukum
pidana Indonesia, menyebabkan terdapat kekosongan dalam pengaturannya.
sehingga memerlukan “manuver interpretasi” ketentuan yang ada misalnya
dengan mengharmonisasikan pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Menentang Korupsi (United Nations Convention Against Corruption/UNCAC)
Tahun 2003, atau menciptakan kebijakan hukum pidana pengganti yang
memadai dalam upaya pemberantasan tidak pidana korupsi.
Situs hukum online melansir beberapa perkara tindak pidana korupsi
besar yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam peradilan yang
putusannya in absentia yakni :16
No Terpidana Kerugian Negara Uang Pengganti
1 Hendra Raharja Korupsi
BLBI Bank BHS
Rp.
305.345.074.000
dan
AS$2.304.809,36
Rp1,9 triliun
2 Bob Hasan Korupsi AS$243 juta Rp1,9 triliun
16
Devisa Negara Tanpa Aturan Yang Jelas, http://www.hukumonline.com 16 Januari 2006.
xxi
Pemotretan dan Pemetaan
Hutan lindung
3 Samadikun Hartono
Korupsi BLBI Bank
Modern
Rp.
80.742.270.581
Rp. 169 miliar
4 Sudjiono Timan
Korupsi BPUI
AS$. 126 juta Rp. 369 miliar
5 David Nusa Widjaja
Korupsi BLBI Bank
Servitia
Rp. 1,29 trilun Rp. 1,29 triliun
6 Huzrin Hood Korupsi
APBD Kepulauan Riau
(Kepri)
Tahun 2001 dan 2002
Rp. 3,4 miliar Rp. 3,4 miliar
7 Bambang Sutrisno dan
Adrian Kiki Aryawan
Korupsi
BLBI Bank Surya
Rp1, 5 triliun Rp1,5 triliun
8 Eddy Tansil korupsi
BAPINDO
Rp1,3 triliun uang pengganti
Rp. 500 miliar dan
membayar
kerugian negara
Rp1,3 triliun
9 Asriadi, Korupsi di bidang
pajak
Rp. 40 miliar Rp. 13 miliar
10 Iwan Zulkarnaen Korupsi
di bidang pajak
Rp. 40 miliar Rp. 27 miliar
Rekapitulasi uang pengganti dari bahan yang disampaikan tersebut yakni
terdapat sisa uang pengganti yang belum tertagih tahun 2004 yaitu sebesar Rp.
2.889.892.947.825, dan yang berhasil dieksekusi hanya sebesar Rp.
500.000.000,- dengan demikian masih terdapat sisa uang pengganti yang
cukup besar yang masih tertunggak yang entah bagaimana permasalahan
tersebut dapat diselesaikan.
Audit BPK juga menunjukkan bahwa tunggakan uang penganti sebanyak
13 Trilyun yang belum diselesaikan oleh Kejaksaan Agung hal ini merujuk
pada hasil audit BPK atas laporan keuangan Kejagung tahun 2012 dan 2013
xxii
yang disampaikan ke pihak kejaksaan pada 30 Mei 2014. Meski tidak
menyebut semua kasus yang masih ada tunggakan uang pengganti , dan untuk
itu Jaksa Agung HM Prasetyo menegaskan bahwa tim verifikasi dan
klarifikasi masalah tunggakan uang pengganti kasus korupsi tengah bekerja.17
Hal ini sudah menunjukkan bahwa upaya eksekusi uang pengganti tidak
mudah dilaksanakan walaupun telah terdapat norma hukum yang
mengaturnya, namun tidak berjalannya dengan baik norma tersebut
diakibatkan karena tidak adanya pengaturan hukum lebih lanjut bagaimanana
pelaksanaan perampasan asset dalam rangka melaksanakan putusan
pengadilan untuk mengganti kerugian negara yang telah timbul dapat
dilaksanakan.
Berdasarkan uraian diatas terlihat adanya kebutuhan untuk mereformulasi
sistem hukum pidana di Indonesia yang mengatur mengenai pelaksanaan
penyitaan harta terpidana korupsi dilakukan sebelum dikenakan pidana
pengganti kerugian negara, upaya pengaturan tersebut selain harus
komprehensif juga harus terintegrasi dengan pengaturan lain agar undang-
undang yang akan disusun bisa berjalan dengan baik dan mampu memberikan
kepastian hukum serta jaminan perlindungan hukum kepada masyarakat, dan
kebijakan hukum pidana dalam upaya perampasan asset terhadap kekayaan
koruptor mutlak diperlukan, melalui pendekatan kebijakan hukum pidana
yang lebih bersifat progresif untuk mengatasi kekosongan norma pidana
17
Tersedia di detik.com/ Tunggakan-Uang-Pengganti-Jaksa/ diakese 20 Mei 2015
xxiii
pengganti pengembalian kerugian negara selama ini, agar pengembalian asset
yang menjadi roh untuk mengembalikan kerugian negara dapat tercapai.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dikemukakan
permasalahan yang menjadi pokok pembahasan pada bab berikutnya. Adapaun
permalasalahan dimaksud penulis rumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kebijakan formulasi pidana pengganti kerugian negara
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sekarang ini (ius
constitutum) ?
2. Bagaimana kebijakan reformulasi pidana pengganti kerugian negara
yang akan datang (ius constituendum) ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Suatu karya ilmiah perlu kiranya di tentukan secara tegas materi yang
akan diuraikan dalam tulisan ini. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah agar
materi atau isi uraian ini tidak menyimpang dari pokok permasalahan,
sehingga permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini dapat diuraikan secara
sistematis. Sebelum diuraikan lebih lanjut tentang ruang lingkup permasalahan
diatas, maka terlebih dahulu perlu dibatasi materi yang akan di bahas dalam
Tesis ini tentang “KEBIJAKAN HUKUM TENTANG PIDANA
PENGGANTI KERUGIAN NEGARA DALAM PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI”.
xxiv
Adapun yang menjadi permasalah yang akan di bahas dalam usulan
penelitian ini adalah tentang bagaimana mereformulasi tentang pidana
pengganti kerugian negara dalam tindak pidana korupsi apakah telah cukup
norma yang ada saat ini. Dengan mengetahui hal tersebut kemudian
dibandingkan dengan penjelasan ketentuan norma pasal 18 UU Tindak Pidana
Korupsi, kemudian melihat ketentutan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan melihat bahan hukum yang ada mengenai formulasi norma uang
pengganti yang berlaku saat ini, dengan mempelajari mekanisme yang
ditempuh tersebut sehingga dapat dijadikan bahan masukan maupun rujukan
dalam menyusun formulasi ketentuan yang lebih baik dikemudian hari
mengenai pidana pengganti kerugian negara dalam tindak pidana korupsi.
Dengan demikian akan dapat dilihat apakah ketentuan dalam Pasal 18
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah menjadi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih baik atau diperlukan kebijakan
hukum untuk memperbaharui norma tersebut.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum
terkait dengan dengan norma hukum pidana pengganti kerugian negara
xxv
dalam kasus tindak pidana korupsi, karena peraturan pemerintah / petunjuk
pelaksanaan hukum pidana pengganti bagi terpidana yang tidak sanggup
membayar, terdapat kekosongan hukum dalam undang-undang maupun
peraturan pemerintah yang mengatur petunjuk pelaksanaan uang pengganti
sehingga penulisan ini dapat dijadikan rujukan umum untuk melihat
masalah yang ada dalam norma yang berlaku saat ini (Ius Constitutum).
1.4.2 Tujuan Khusus
Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui bagaimana
kebijakan hukum tentang pidana pengganti kerugian negara dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku saat ini di Indonesia, ,
dan bagaimana kebijakan hukum yang akan datang untuk mengisi
kekosongan norma hukum yang terdapat dalam formulasi sebelumnya.
Dengan melihat peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini
sejauh kemudian membandingkan peraturan mengenai uang pengganti dari
negara lain, untuk selanjutnya dapat ditarik sebuah solusi dalam
penyusunan norma uang pengganti dalam kasus tindak pidana korupsi di
Indonesia.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
- Dapat memberikan informasi sejauh mana suatu teori dalam ilmu
hukum dapat membantu dalam pemecahan masalah terhadap suatu
kasus khususnya dalam pengambilan suatu kebijakan hukum.
xxvi
- Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi arah
kebijakan legislasi baru (ius constitutum) dalam membuat undang-
undang pidana pada umumnya dan khususnya terhadap undang-
undang tentang kebijakan hukum tentang pidana pengganti kerugian
negara dalam pemberantasan tindak pidana korupsi nantinya.
1.5.2 Manfaat Praktis
- Dapat memberikan pengetahuan tentang bagaimana norma pidana
pengganti terhadap kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi
saat ini .
- Dapat memberikan wawasan pengetahuan mengenai beberapa
formulasi uang pengganti dan kendala yang ada dalam formulasi saat
ini sehingga diperoleh masukan atau kajian akademis untuk
penyusunan norma pidana pengganti kerugian negara dalam kasus
tindak pidana korupsi yang akan datang.
1.6 Orisinalitas Tesis
Sepanjang pengetahuan penulis penelitian dengan judul “KEBIJAKAN
HUKUM TENTANG PIDANA PENGGANTI KERUGIAN NEGARA
DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI”, belum
pernah diajukan dilingkungan Pasca Sarjana Ilmu hukum Universitas
Udayana, dan permasalah terkait pokok permasalahan yang penulis sebutkan
diatas belum pernah penulis dalam literature ilmiah manapun mengingat
permasalah tersebut sangat sering terjadi, namun penelitian mendalam untuk
xxvii
menyelesaikan permasalah tersebut hingga saat ini masih sangat minim baik
yang berupa tesis maupun jurnal-jurnal ilmiah yang ada.
Untuk menunjukkan orisinalitas penelitian dari tesis ini, maka dapat
dibandingkan dengan tesis atau skripsi lainnya antara lain:
1. Proposal Tesis karya Ni Wayan Sinarwati dengan judul “ Peranan
Jaksa Untuk Menuntut Terdakwa Korupsi Dalam Pengembalian
Kerugian Keuangan Negara Perspektif Sistem Peradilan Pidana
Indonesia”
Rumusan Masalah:
a. Apa peran jaksa dalam pengembalian kerugian keuangan Negara
oleh koruptor dalam proses peradilan pidana?
b. Apa bentuk tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh jaksa
dalam proses persidangan ?
2. Karya Ilmiah Michael Barama Universitas Samratulangi yang
mengambil judul “Uang Pengganti Sebagai Pidana Tambahan Dalam
Perkara Korupsi”
Rumusan Masalah:
a. Bagaimana Kedudukan Uang Pengganti Sebagai Pidana Tambahan
Dalam Perkara Pidana Korupsi?
b. Bagaimana Proses Pelaksanaan Hukuman Tambahan Uang
Pengganti Dalam Perkara Pidana Korupsi?
xxviii
3. Tesis Karya A.A Ngurah Oka Yudisthira Darmadi yang mengambil
judul “Kebijakan Hukum Pidana Pengembalian Aset Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia.
Rumusan Masalah:
a. Implikasi ratifikasi UNCAC 2003 dalam pengembalian asset tindak
pidana terhadap kebijakan peraturan perundang-undangan tindak
pidana korupsi?
b. Kebijakan hukum dalam rangka meperkuat system hukum pidana
pengembalian ases tindak pidana korupsi di Indonesia.
1.7 Landasan Teori
1.7.1 Teori Kebijakan Hukum Pidana
Landasan teori adalah merupakan butir-butir pendapat, teori, tesis
mengenai suatu permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan
teori yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.18
Melalui landasan teori
maka ditentukan arah penelitian dan dalam memilih konsep yang tepat guna
pembentukan analisis dan hasil penelitian yang dilakukan.19
Dalam Landasan
teoritis selain terdapat teori-teori yang digunakan untuk mengupas
permasalahan juga terdapat asas, konsep, dan doktrin20
yang memiliki korelasi
yang erat dengan permasalahan yang di bahas yaitu kebijakan formulasi
18
Endang Komara, 2011, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Refika Aditama, Bandung, h. 8 19
Muhammad Erwin, 2011, Filsafat Hukum, Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h. 13 20
Hans Kelsen 2012, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, h. 23
xxix
pidana pengganti kerugian negara dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Dalam Konteks kebijakan hukum pidana (penal Policy) menurut Marc
Ancel, penal policy adalah :
” Both a science and art of which the practical purpose ultimately are to
unable the positive rules better formulated and to guide not only the
legislator who has to draft criminal statues, but the court by which they
are applied and the prison administration which gives practical effect to
the court decision.”21
Suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis
untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan seara lebih
baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-
undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang,
dan kepada penyelenggara atau pelaksanaan putusan pengadilan).
Kemudian menurut A. Mulder kebijakan hukum pidana dipadankan
dengan straftrechtpolitiek, yang artinya sebagai garis kebijakan untuk
menentukan:
1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah
dan diperbaharui.
2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, perailan dan pelaksanaan
pidana yang harus dilaksanakan.22
Sejalan dengan pandangan Marc Ancel dan Mulder, Sudarto menyatakan
bahwa penal policy dapat diartikan sebagai usaha mewujudkan peraturan
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada
21
Marc Ancel,1965, Social Defence A Modern Approach Problem ,Routkege &keagen Paul,
London, h.209. 22
Barda Nawawi Arief , 2007, Beberapa Asepek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.3 (selanjutnya disebut BARDHA
NAWAWI ARIEF I)
xxx
waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Pada sumber lain juga Sudarto
menyatakan “bahwa menjalankan politik (kebijakan) hukum pidana juga
mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana
yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.23
Esensi teori kebijakan pidana yang dikemukakan Marc Ancel, A. Mulder
dan Sudarto menunjukkan bahwa betapa luasnya ruang lingkup dari kebijakan
(politik) hukum pidana (penal policy), secara sistematis dapat dirangkum
meliputi tahapan seperti :
1. Kebijakan legislative (formulasi)
2. Kebijakan yudikatif (aplikasi)
3. Kebijakan Eksekutif ( eksekusi).
Selain itu, istilah kebijakan dalam beberapa tulisan disebut dengan
“politik"24
, "policy" (Inggris) , "politiek" (Belanda)17
yang kemudian dapat
disebut 25
pula sebagai politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing istilah
“politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain
“penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechts politiek”.26
Sudarto
memberikan arti politik hukum sebagai berikut :
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu waktu.27
23
Sudarto, 2005, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h.19 24
Sudarto, 2009, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Penerbit SinarBaru,Bandung,
h.16. 25
Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, h. 26. (selanjutnya disebut Bardha Nawawi Arief II)
26 Loc.cit.
27 Sudarto, 2008, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h.159.
xxxi
2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. 28
Mahfud merumuskan politik hukum sebagai:29
Kebijakan hukum yang
akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula
pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara
melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan
hukum itu. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal
yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan, melainkan harus dipandang
sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat
ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasalpasalnya
maupun dalam implementasi dan penegakannya.
Pendapat Marc Ancel yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief yang
menyebutkan bahwa "penal policy" adalah suatu ilmu sekaligus seni yang
pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan
hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman
tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan
yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau
28
Sudarto, Hukum Pidana dan ..., Op.cit., hlm 20. 29
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatuilah, 2005, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan
Kriminalisasi dan Deskriminalisasi), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 12
xxxii
pelaksana Putusan Pengadilan, mempunyai persamaan dengan definisi politik
hukum pidana yang dikemukakan oleh Sudarto.30
Selanjutnya dinyatakan olehnya :
"Di antara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan
studi mengenai teknik perundang-undangan dilain pihak, ada tempat bagi
suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena
legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, di mana para sarjana dan
praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum dapat bekerja sama tidak
sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling berselisih, tetapi sebagai
kawan sekerja yang terikat di dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk
menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, dan berpikiran maju
(progresif) lagi sehat.
"(Between the study of criminological factors on the one hand, and the
legal technique on the other, there is room for a science which observes
legislative phenomenon and for a rational art within which scholar and
practitioners, criminologist and lawyers can come together, not as
antagonists or in fratricidal strike, but as fellowworkers engaged in a
common task, which is first and foremost to bring into effect a realistic,
humane, and healthy progressive penal policy).
Pengertian politik kriminal menurut Sudarto dapat diberi arti sempit,
lebih luas dan paling luas, yaitu : 31
a. dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
b. dalam arti yang lebih luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan
polisi;
c. dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk
menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.
Secara singkat Sudarto memberikan definisi politik kriminal sebagai
usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.32
Melaksanakan politik kriminal berarti mengadakan pemilihan dari sekian
30
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai ….. Op,cit, h. 23 31
Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,Bandung, h 113-114. 32
Sudarto, Hukum dan ..., Op.cit, h.38
xxxiii
banyak alternatif, mana yang paling efektif dalam usaha penanggulangan
tindak pidana tersebut.33
Sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana
mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan
suatu perundang-undangan pidana yang baik.34
Sedangkan dilihat dari sudut
politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian
"kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana" .35
Menurut Barda Nawawi Arief, upaya melakukan pembaharuan hukum
pidana (penal reform) pada hakekatnya termasuk bidang "penal policy" yang
merupakan bagian dan terkait erat dengan "law enforcement policy”,
"criminal policy" dan "social policy". Ini berarti, pembaharuan hukum pidana
pada hakikatnya : 32
a. Merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan
penegakan hukum;
b. Merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memberantas/menanggulangi tindak pidana dalam rangka perlindungan
masyarakat;
c. Merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk mengatasi masalah sosial dan masalah kemanusiaan dalam rangka
mencapai/menunjang tujuan nasional (yaitu "social defence" dan "social
welfare"):
d. Merupakan upaya peninjauan dan penilaian kembali ("reorientasi dan reevaluasi") pokok-pokok pemikiran, ide-ide dasar atau
nilai-nilai sosio-filosofik, sosio-politik dan sosiokultural yang melandasi
kebijakan kriminal dan kebijakan (penegakan) hukum pidana selama ini.
Bukankah pembaharuan (reformasi) hukum pidana apabila orientasi nilai
dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja dengan orientasi nilai
dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WVS).
33
Sudarto, Kapita Selekta ....... Op.cit., h. 114 34
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai......Op.cit, h. 26-27. 35
Ibid, h.28.
xxxiv
Secara singkat Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pembaharuan
hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) dan pendekatan yang
berorientasi pada nilai (value-oriented approach).36
Selanjutnya Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pembaharuan
hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang
pada hakivvkatnya pembaharuan hukum pidana hanya merupakan bagian dari
suatu langkah kebijakan atau “policy” (yaitu bagian dari politik
hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal dan politik
sosial). Didalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai.
Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada
pendekatan-nilai.37
Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa. pembaharuan hukum pidana
dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan adalah :38
a. sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-
masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka
mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan
sebagainya);
b. sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat
(khususnya upaya penanggulangan tindak pidana);
c. sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui
substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan
penegakan hukum.
36
Ibid. h. 3-4 37
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai…..Op.cit, h. 29 38
Ibid, h.29-30
xxxv
Sedangkan pembaharuan hukum pidana dilihat dari sudut pendekatannilai
merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi
dan reevaluasi) nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural yang
melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum
pidana yang dicita-citakan.39
1.7.2 Teori Pemidanaan
Moelyatno mengatakan istilah hukuman berasal dari kata “straf” dan
istilah “dihukum” yang berasal dari perkataan “woedt gestrqft” merupakan
istilah-istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu
dan menggunakan istilah yang non konvensional, yaitu pidana untuk
menggantikan kata “straf” dan “diancam dengan pidana” untuk
menggantikan kata “wordt gestraf”.40
Selanjutnya Jimly Asshiddiqie mengatakan dirinya menuruti pendapat
Sudarto dan iang menggunakan instilah pidana bukan “hukuman” ataupun
“hukuman pidana.41
Pendapat para sarjana terhadap mengenai tujuan pidana
diantaranya Richard D. Schwartz dan Jerome H. Skolnick yang menyatakan
sanksi Pidana Dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak
pidana (to prevent recidivism), mencegah orang lain melakukan perbuatan
yang sama seperti yang dilakukan si terpidana (to deter other from the
39
Ibid, h. 30. 40
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2014, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung,
h.1 41
Jimly Asshiddiqie, 2008, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Angkasa, Bandung, h.15
xxxvi
performance of similar act), menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-
motif balas (to provide a channel for the expression of retaliatory motives).42
a. Teori Retributif
Menurut Teori ini yang menjadi dasar hukum dijatuhkannya pidana
adalah kejahatan itu sendiri. Teori ini berfokus pada hukuman/pemidanaan
sebagai suatu tuntutan mutlak untuk mengadakan pembalasan (vergelding)
terhadap orang-orang yang telah melakukan perbuatan jahat. Selanjutnya
dikatakan oleh karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan pada si korban,
maka harus diberikan pula penderitaan sebagai pembalasan terhadap orang
yang melakukan perbuatan jahat. Jadi penderitaan harus dibalas dengan
penderitaan. Teori ini ada dua corak, yaitu corak subjektif (subjectif
vergelding), yaitu pembalasan langsung ditujukan kepada kesalahan si
pembuat; kedua adalah corak obyektif , yaitu pembalasan ditujukan sekedar
pada perbuatan apa yang telah dilakukan oleh orang yang bersangkutan.43
Teori Retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa
pemidanaan merupakan “morally Justifed” (pembenaran secara moral) karena
pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya.
Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon
terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan
pelanggaran terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum
42
M. Abul Khair dan Mohammad Eka Putra, 2011, Pemidanaan, USU Press, Medan, h.20 43 Philip Bean, 1981, Punishment (A Philosophical and Criminological Inquiry), Laiden Bibl, h.27
xxxvii
yang dilakukan secara sengaja dan sadar dan hal ini merupakan bentuk dari
tanggung jawab moral dan kesalahan hukum si pelaku.44
Selajutnya , Alexander Fatic mengemukakan lebih lanjut tentang alasan
yang medasari teori retributive ini, yaitu:
“…punishment is morally justified because the offender is considered morally
responsibility for breaking a moral normsupposedly underlying the law; also
he is considered legally culpable, liable to legal punishment, because the
criminal law is an instrument for bringing „causality‟ linking crime and
pusnishment is moral;morality is seen in retributivism as requiring penalties
for those sorts or behavior that deviate from its norm. In other words,
retributive morality is essential punitive, generaly justifying the imposition of
unpleasant consequences on those who transgress it. The supreme moral
standar in this perppective is that if meritocratic justice: people should get
what they deserve, wether by doing the „right‟ thing they „merit reward, or by
commiting moral and legal „wrong‟ they „deserve‟ punishment. 45
b. Teori Deterrence (Teori Pencegahan)
Tujuan yang kedua dari pemidanaan adalah “deterrence”. Terminologi
“deterrence” menurut Zimring dan Hawkins, digunakan lebih terbatas pada
penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan tersebut
membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan
kejahatan. Namun “The net deterrence effect” dari ancaman secara khusus
kepada seseorang ini dapat juga menjadi ancaman bagi seluruh masyarakat
untuk tidak melakukan kejahatan.
1.7.3 Teori Keadilan
a. Teori Keadlian Aristoteles
44 Marlina,, 2011, Hukum Penitensier, Reflika Aditama, Bandung, h.42 45
Aleksandar Fatic, 1995, Punishment and Restorative Crime-Handling, Avebury Ashagate Publishing Limited, USA, h.9.
xxxviii
Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan
dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya,
dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan,
yang, berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari
filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya
dengan keadilan”.46
Yang sangat penting dari pandanganya ialah pendapat bahwa keadilan
mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat
pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional.
Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah
yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan
ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum.
Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai
dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini
Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar
keadilan.
Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif
dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua
dalam hukum perdata dan pidana. Kedailan distributif dan korektif sama-sama
rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami
dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah
bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata.
46
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum ...., h. 24. 5
Ibid, hal 25.
xxxix
Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang
disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan
dihilangkan.
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor,
kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam
masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah
bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang
berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi
yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai
kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.5
Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang
salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka
keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak
yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang
sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan
akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah
terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan
tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah
peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah.47
Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya
dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat
kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim,
47
Ibid
xl
dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum
tertentu. Pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara
hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat.
Karena, berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu
dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas
tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam
bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alamjika bisa
didapatkan dari fitrah umum manusia.48
b. Keadilan sosial ala John Rawls
John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori keadilan
sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of
opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan
ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi
mereka yang paling kurang beruntung.
Istilah perbedaan sosil-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada
ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok
kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair
equality of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang
mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan
otoritas. Mereka inilah yang harus diberi perlindungan khusus.
Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama
sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume,
48
Ibid, hal. 26-27.
xli
Bentham dan Mill. Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur
menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri,
lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls
juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang
dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan
demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan
ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung
dalam masyarakat.
Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang
sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang
paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi
ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang
paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga
dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan
orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang
terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan
peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua
perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang
bersifat primordial, harus ditolak.
Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka program penegakan
keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip
keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas
kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap
xlii
orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang
terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik
(reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari
kelompok beruntung maupun tidak beruntung. 49
Dengan demikian, prisip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar
masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal
utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan
orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus
diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan
terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan
menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang
memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memosisikan diri sebagai
pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi
ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Peter Mahmud Marzuki berpendapat, penelitian hukum adalah suatu
proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun
doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini
sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum.50
49
John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang
sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori
Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. 50
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, h. 35.
xliii
Menurut William H. Putman, “Legal research is a part of the legal analys
process. It is that part of the legal analysis process that involves finding the
law that applies to the legal question raised by the facts of client‟s case”.51
Terjemahan bebas: Penelitian hukum adalah bagian dari proses analisis hukum
termasuk mencakup dalam hal menemukan hukum yang dapat diaplikasikan
dalam pernyataan hukum yang diajukan berdasarkan fakta-fakta dari kasus-
kasus.
Ada dua jenis penelitian hukum yang dikemukakan oleh Soerjono
Soekanto, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris atau
sosiologis.52
Jenis Penelitian mengenai “KEBIJAKAN HUKUM TENTANG
PIDANA PENGGANTI KERUGIAN NEGARA DALAM
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI” sehubungan dengan
penyusunan tesis ini adalah penelitian hukum normatif Philipus M Hadjon
berpendapat bahwa jenis penelitian hukum normatif yaitu suatu penelitian
yang terutama mengkaji ketentuan-ketentuan hukum positif maupun asas-asas
hukum.53
1.8.2 Jenis Pendekatan
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang bertujuan
mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan diteliti.
51 William H. Putman,2009, Legal Research: Second Edition, Delmar, United State of America, h.
372. 52
Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press,
Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III), h. 147. 53
Philipus M Hadjon, 1997, Pengkajian Ilmu Hukum, Makalah Penelitian Metode Penelitian
Hukum Normatif, Universitas Airlangga, Surabaya,h.20.
xliv
Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah
pendekatan Undang-Undang (statute approach), pendekatan kasus (case
approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach).54
Berdasarkan permasalahan penelitian ini,
maka penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
approach) , yakni dengan menggunakan peraturan perundang-undangan
sebagai bahan hukum primer. Pendekatan perundang-undangan (statute
approach) dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi
yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.55
Penelitian
ini juga menggunakan pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan
konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang
berkembang di dalam ilmu hukum.56
Serta juga dengan membandingkan
beberapa peraturan perundang-undangan yang ada (comparative approach)
Dengan demikian, penelitian Penelitian mengenai “ KEBIJAKAN HUKUM
TENTANG PIDANA PENGGANTI KERUGIAN NEGARA DALAM
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI” menggunakan
pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, serta pendekatan
komparatif.
1.8.3 Sumber Bahan Hukum
54 Peter Mahmud Marzuki,Op.Cit.h.93. 55 Ibid 56
Ibid. h.119.
xlv
Bahan hukum yang akan dikaji dan dianalisis dalam penelitian ini adalah
terdiri dari bahan hukum Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder serta
bahan hukum tersier.57
Sumber bahan hukum penelitian ilmu hukum dengan aspek normatif ini
berasal dari penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian
kepustakaan ini dilakukan terhadap berbagai macam sumber bahan hukum
yang dapat digolongkan atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Pendapat Peter Mahmud Marzuki,bahan hukum primer merupakan bahan
hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan
hukum primer terdiri dari perundangundangan, catatan-catatan resmi atau
risalah dalam pembuatan perundangundangan dan putusan-putusan hakim.58
a. Bahan Hukum Primer : adalah hukum asas dan kaidah hukum.
Perwujudan asas hukum dan kaidah hukum ini dapat berupa :
peraturan dasar atau konstitusi, konvensi ketatanegaraan; peraturan
perundang – undangan khusunya yang menyangkut masalah
ketentuan norma uang pengganti kerugian negara dalam perkara
tindak pidana korupsi, Putusan Pengadilan.
b. Bahan Hukum Sekunder adalah: publikasi hukum, internet
dengan menyebut nama situsnya, rancangan undang – undang,
hasil karya ilmiah para sarjana, hasil – hasil penelitian, buku – buku
hukum (Texs Books) jurnal – jurnal hukum.
57
Sutrisno Hadi, 2010, Methodologi Research 1, Gadjah Mada University, Semarang, h. 26 58
Ibid. h.140.
xlvi
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Tehnik yang diterapkan dalam pengumpulan bahan hukum adalah
dengan cara mengumpulkan dan menginventarisasi bahan hukum primer yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, yang selanjutnya diklafikasikan
menurut kelompoknya sesuai dengan hierarkhi peraturan perundang-
undangan. Terhadap bahan hukum sekunder dan tersier dikumpulkan dengan
menggunakan telaahan kepustakaan (studi document). Telaah kepustakaan
dilakukan dengan sistem kartu (card system) yakni dengan cara mencatat dan
memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan-bahan
hukum primer, sekunder maupun tersier. Penulisan tesis ini lebih menitik
beratkan pada penelitian kepustakaan (library research) serta bahan-bahan
lain yang dapat menunjang dalam kaitannya dengan pembahasan
permasalahan
1.8.5 Teknik Analisis
Analisis dapat dirumuskan sebagai suatu proses penguraian secara
sistematis dan konsisten terhadap gejala-gejala tertentu.59
Analisis bahan
hukum adalah bagaimana memanfaatkan sumber-sumber bahan hukum yang
telah terkumpul untuk digunakan dalam memecahkan permasalahan dalam
penelitian. Dasar dari penggunaan analisis secara normatif, dikarenakan
bahan-bahan hukum dalam penelitian ini mengarah pada kajian-kajian yang
59
Soerjono Soekanto, 2004, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta, Rajawali, h. 137.
xlvii
bersifat teoritis dalam bentuk asas-asas hukum, konsep-konsep hukum, serta
kaidah-kaidah hukum.
Bahan-bahan hukum yang telah berhasil dikumpulkan berkenaan dengan
“KEBIJAKAN HUKUM TENTANG PIDANA PENGGANTI KERUGIAN
NEGARA DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI”
kemudian diolah dengan menggunakan :
1. Teknik deskripsi dengan menguraikan (mengabstrasikan) apa adanya
terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisiproposisi hukum dan
non hukum yang dijumpai (fakta-fakta hukum). Teknik interpretasi
atau penafsiran menggunakan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu
hukum secara normatif terhadap proposisi-proposisi yang dijumpai
untuk selanjutnya disistematisasi sesuai pembahasan atas pokok
permasalahan tesis ini.
2. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju
atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah, oleh peneliti
terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, baik
yang tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum
sekunder.
3. Teknik sistematisasi adalah berupaya untuk mencari kaitan rumusan
suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan
perundang-undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat.
Hasil dari ketiga teknik analisis tersebut kemudian dilakukan analisis
menurut isinya (content analysis), serta diberikan argumentasi untuk
xlviii
mendapat kesimpulan atas pokok permasalahan dalam tesis ini.60
Sehingga analisa yang dilakukan dalam tulisan ini tidak menggunakan
angka-angka untuk memberikan jawaban berkenaan dengan pokok
permasalahan melainkan berupa fakta-fakta. Proses analisis dilakukan
secara terus menerus hingga mendapatkan hasil penelitian yang valid
sesuai dengan substansi permasalahan yang diteliti.
60
Sumandi Suryabrata, 2005, Metodologi Penelitian, CV. Rajawali, Jakarta, h. 85