of 48 /48
i ABSTRAK Penelitian ini membahas mengenai Kebijakan Hukum Tentang Pidana Pengganti Kerugian Negara Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun permasalahan yang dikaji yaitu bagaimanakah kebijakan formulasi pidana pengganti kerugian negara dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sekarang ini dan bagaimana kebijakan reformulasi pidana pengganti kerugian negara yang akan datang. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan serta menganalisis terkait peraturan pidnana pengganti dalam tindak pidana korupsi. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui serta mengkaji hal-hal yang dapat menjadi masukan dalam penyusunan peraturan terkait tindak pidana pengganti di kemudian hari. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) , yakni dengan menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai bahan hukum primer. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan- pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Berdasarkan penelitian, terdapat norma kosong dalam peraturan pelaksanaan pidana pengganti kerugian negara dalam tindak pidana korupsi, serta kekaburan norma dengan dimuatnya kata “dapat” dalam pelaksanaan sita dalam rangka tindak pidana pengganti kerugian negara dalam tindak pidana korupsi. Kata kunci : Kebijakan, Pidana Pengganti, Korupsi.

ABSTRAK - sinta.unud.ac.id€¦ · pengganti kerugian negara dalam pemberantsan tindak pidana korupsi sekarang ini dan bagaimana kebijakan reformulasi pidana pengganti kerugian negara

  • Author
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Text of ABSTRAK - sinta.unud.ac.id€¦ · pengganti kerugian negara dalam pemberantsan tindak pidana...

  • i

    ABSTRAK

    Penelitian ini membahas mengenai Kebijakan Hukum Tentang Pidana

    Pengganti Kerugian Negara Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

    Adapun permasalahan yang dikaji yaitu bagaimanakah kebijakan formulasi pidana

    pengganti kerugian negara dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sekarang

    ini dan bagaimana kebijakan reformulasi pidana pengganti kerugian negara yang

    akan datang. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan serta

    menganalisis terkait peraturan pidnana pengganti dalam tindak pidana korupsi.

    Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui serta mengkaji hal-hal

    yang dapat menjadi masukan dalam penyusunan peraturan terkait tindak pidana

    pengganti di kemudian hari.

    Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, penelitian ini

    menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) , yakni dengan

    menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai bahan hukum primer.

    Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah

    semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum

    yang sedang ditangani. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan konsep

    (conceptual approach). Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-

    pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.

    Berdasarkan penelitian, terdapat norma kosong dalam peraturan pelaksanaan

    pidana pengganti kerugian negara dalam tindak pidana korupsi, serta kekaburan

    norma dengan dimuatnya kata “dapat” dalam pelaksanaan sita dalam rangka

    tindak pidana pengganti kerugian negara dalam tindak pidana korupsi.

    Kata kunci : Kebijakan, Pidana Pengganti, Korupsi.

  • ii

    ABSTRACK

    This study discusses the Legal Policy on Criminal Replacement of State

    Losses in the Eradication of Criminal Acts of Corruption. The problems studied

    are how the formulation of state penal redress policy in the current corruption

    corruption and how the criminal reformulation policy substitute for future state

    losses. The purpose of this paper is to describe and analyze related substitute

    pidnana rules in corruption. In addition, this research also aims to know and

    examine the things that can be input in the preparation of regulations related to

    substitute crime in the future.

    The method used is normative legal research, this study using statutory

    approach (statute approach), that is by using the legislation as the primary legal

    material. The statutory approach is conducted by reviewing all laws and

    regulations pertaining to legal issues being addressed. This research also uses a

    conceptual approach. The conceptual approach goes from the views and doctrines

    that develop in the science of law.

    Based on the research, there are empty norms in the regulation of the

    implementation of criminal substitution of state losses in corruption crime, as well

    as the obscurity of the norm with the word "can" in the implementation of

    confiscation in the framework of the crime of substitute state losses in corruption

    crime.

    Keywords: Policy, Substitute Criminal, Corruption.

  • iii

    RINGKASAN

    Tesis ini membahas mengenai bagaimanakah kebijakan formulasi pidana

    pengganti kerugian negara dalam pemberantsan tindak pidana korupsi sekarang

    ini dan bagaimana kebijakan reformulasi pidana pengganti kerugian negara yang

    akan datang. Tesis ini terdiri dari 5 ( lima ) Bab pokok bahasan yaitu Bab I adalah

    pendahuluan, Bab II tinjauan umum, Bab III dan IV adalah pembahasan, serta Bab

    V adalah penutup.

    Bab I menguraikan latar belakang mengenai penyebab munculnya

    permasalahan dalam penelitian ini. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam bab ini

    juga akan menguraikan rumusan masalah, ruang lingkup masalah, tujuan

    penelitian, manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, landasan teoritis, kerangka

    berpikir dan metode penelitian.

    Bab II menguraikan tinjauan umum yang terdiri atas 3 ( tiga ) sub bab

    mengenai kebijakan hukum pidana. Sub bab kedua membahas pemahaman hukum

    tindak pidana korupsi, sub bab ketiga membahas mengenai pidana pengganti

    dalam tindak pidana korupsi serta sub bab keempat membahas kerugian negara

    dalam tindak pidana korupsi.

    Bab III menguraikan mengenai pembahasan dari permasalahan yang pertama

    dalam penelitian ini yang terdiri dari 3 (tiga) bagian yaitu bagian pertama adalah

    membahas mengenai pidana pengganti kerugian negara dalam hukum pidana

    Indonesia. Bagian kedua membahas prosedur penyitaan sebagai pengganti

  • iv

    pembayaran uang pengganti menurut KUHAP. Bagian ketiga membahasa Perma

    No 5 Tahun 2014 sebgai alternatif prosedur pelaksanaan pidana pengganti.

    Bab IV menguraikan mengenai pembahasan dari permasalahan yang kedua

    dalam penelitian ini yang terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu bagian pertama

    membahas tentang kebijakan reformulasi hukum terhadap pidana pengganti yang

    akan dating. Sedangkan bagian kedua membahas peraturan hukum pengembalian

    asset.

    Bab V merupakan penutup yang menguraikan simpulan dan saran. Simpulan

    merupakan hasil dari pembahasan penelitian baik baik dari rumusan masalah

    pertama dan kedua, sedangkan saran memuat tentang hal-hal yang menjadi

    rekomendasi terkait permasalahan dalam penelitian sebagai bentuk jalan keluar

    atas masalah yang dimaksud sehingga patut dan layak untuk segera dilaksanakan.

  • v

    DAFTAR ISI

    HALAMAN SAMPUL DEPAN ...................................................................... i

    HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER .................................. ii

    LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iii

    SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT …………………………….. .. iv

    UCAPAN TERIMAKASIH.............................................................................. v

    HALAMAN ABSTRAK ……………………………………………………... ix

    HALAMAN ABSTRACT ……………………………………………………. x

    RINGKASAN ………………………………………………………………... x

    DAFTAR ISI ………………………………………………………………… . xii

    BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

    1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................... 1

    1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 14

    1.3 Ruang Lingkup Masalah .................................................................. 15

    1.4 Tujuan Penelitian ............................................................................. 16

    1.4.1.Tujuan Umum......................................................................... 16

    1.4.2.Tujuan Khusus ......................................................................... 16

    1.5 Manfaat Penelitian .............................................................................. 17

    1.5.1 Manfaat Teoritis .................................................................... 17

    1.5.2 Manfaat Praktis ....................................................................... 17

  • vi

    1.6 Orisinalitas Penelitian .......................................................................... 18

    1.7 Landasan Teoritis.................................................................................. 19

    1.7.1 Teori Kebijakan … .................................................................. 19

    1.7.2 Teori Pemidanaan ..................................................................... 26

    1.7.3 Teori Keadilan ..................................................................... 28

    1.8 Metode Penelitian ............................................................................... 32

    1.8.1 Jenis Penelitian ......................................................................... 32

    1.8.2 Jenis Pendekatan........................................................................ 33

    1.8.3 Sumber Bahan Hukum ............................................................ 34

    1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum …………...... ..... ........... 35

    1.8.5 Teknik Analisis …………....................................................... 35

    BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEBIJAKAN HUKUM PIDANA,

    TINDAK PIDANA KORUPSI, PIDANA PENGGANTI, DAN

    KERUGIAN NEGARA ...................................................................... 38

    2.1 Kebijakan Hukum Pidana .................................................................. 38

    2.2 Pemahaman Hukum Tindak Pidana Korupsi ................................... 42

    2.2.1 Pengertian Korupsi ………………………............................. 45

    2.2.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi ……............................. 48

    2.2.3 Pelaku Tindak Pidana Korupsi ……………........................... 50

  • vii

    2.3 Pidana Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi............................... 52

    2.4 Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi .............................. 56

    BAB III KEBIJAKAN FORMULASI PENGGANTI KERUGIAN NEGARA

    DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA ..................…………….64

    3.1 Pidana Pengganti Kerugian Negara Dalam ukum Pidana Indonesia 64

    3.1.1 Dasar Hukum Pengaturan Uang Pengganti ………………….. 68

    3.2 Produser Penyitaan Sebagai Pengganti Pembayaran Uang Pengganti

    Menurut KUHAP ............................................................................... 78

    3.3 Perma No 5 Tahun 2014 Sebagai Alternatif Prosedur Pelaksanaan

    Pidana Pengganti ………………………………………………….... 81

    BAB IV KEBIJAKAN REFORMULASI DALAM UPAYA

    PENGEMBALIAN ASET NEGARA, DAN PENGGANTI

    KERUGIAN NEGARA DI MASA YANG AKAN DATANG …... 87

    4.1 Kebijakan Reformulasi Hukum Terhadap Pidana Pengganti Yang

    Akan Datang ……………………………………………………..….. 87

    4.1.1 Prinsip-prinsip dalam UNCAC untuk mendukung formulasi

    Pidana Pengganti Kerugian Negara .…………………….. 94

    4.1.2 Konsep dalam melakukan perampasan asset yang akan datang 94

    4.2 Hambatan dalam peraturan hukum perampasan aset dalam rangka

    pelaksanaan eksekusi pidana pengganti sebagai pertimbangan dalam

    formulasi norma yang akan datang ……………………..……. 99

    4.3 Pengaturan perdata dalam upaya pengembalian aset sebagai kajian

  • viii

    formulasi yang akan datang …….……………………..……. 110

    BAB V SIMPULAN DAN SARAN ……………………………...……......... 116

    5.1 Simpulan …………………………………………….................... 116

    5.2 Saran …………………………………………………………….... 117

  • ix

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

    1945 menegaskan bahwa „Negara Indonesia adalah Negara Hukum‟. Artinya

    bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas

    hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan (machtstaat), dan

    pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme

    (kekuasaan yang tidak terbatas). Dengan demikian, terdapat 3 (tiga) prinsip

    dasar yang wajib dijunjung oleh setiap warga negara yaitu supremasi hukum,

    kesetaraan di hadapan hukum, dan penegakan hukum dengan cara-cara yang

    tidak bertentangan dengan hukum.

    Pembangunan nasional berkelanjutan untuk kesejahteraan rakyat

    Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, aman, dan tertib

    berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

    Tahun 1945, perlu terus ditingkatkan, dengan tetap menjunjung tinggi prinsip

    dasar di atas, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang

    berdasar atas hukum.

    Salah satu hambatan terhadap pembangunan nasional yang berkelanjutan

    di atas adalah lemahnya penegakan hukum dan semakin meluasnya tindak

    pidana korupsi, baik kualitas maupun kuantitasnya. Untuk mencegah dan

    memberantas tindak pidana korupsi perlu diambil langkah-langkah terpadu

  • x

    berupa pembentukan undang-undang yang aspiratif, penegakan hukum yang

    konsisten, peningkatan peran serta masyarakat, dan kerja sama internasional.

    Istilah korupsi yang mengemuka sebagai hambatan dari pembangunan

    nasional merupakan persoalan lama yang terus menghantui pembangunan

    bangsa Indonesia kedepannya. Korupsi merupakan perkataan yang berasal dari

    perkataan corruption, yang berarti kerusakan. Istilah ini misalnya dipakai

    dalam kalimat naskah kuno Negara kertagama yakni ada yang corrupt

    (rusak).1

    Masalah korupsi yang terjadi di Indonesia sudah semakin pada titik

    nadir. Korupsi di negeri ini sudah begitu parah, mengakar, bahkan sudah

    membudaya. Praktek korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi baik di

    tingkat Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif, serta telah menjalar di dunia

    usaha.2

    Korupsi adalah masalah besar yang dihadapi negara-negara dengan

    perkembangan ekonomi pesat, demikian salah satu kesimpulan Transparency

    International ketika merilis Corruption Perseptions Index (CPI) 2014 hari

    Rabu (03/12/14) di Berlin, Jerman. 18 negara mendapat skor di bawah 40 dari

    seluruhnya 100 skor. 0 berarti terkorup dan 100 berarti paling bersih.

    Indonesia mendapat skor 34, naik dari tahun lalu, 32. Indonesia kini

    menduduki peringkat 107, bersama-sama dengan Argentina dan Djibouti.

    1 I Ketut Mertha, 2014, Efek Jera Pemiskinan Koruptor dan Sanksi Pidana , Udayana University

    Press, Denpasar, h.48 2 Muhammad Yusuf, 2013, Merampas Aset Koruptor Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia,

    PT. Kompas Media Indonesia, Jakarta, h.1

  • xi

    Tahun 2014, Indonesia berada di peringkat 114 dari seluruhnya 174 negara

    yang diperiksa.3

    Korupsi tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi hampir di semua Negara-

    negara sedang berkembang ( NSB ) seperti Nigeria, Peru, dan Filipina.

    Sebagai suatu kejahatan yang melintasi batas teritorial suatu negara dan

    sebagai suatu kejahatan terorganisasi, bahkan korupsi seringkali melibatkan

    korporasi sebagai pelaku. Gambaran ini mengingatkan bahwa penanganan

    korupsi menjadi semakin rumit, dengan semakin banyaknya aset publik yang

    dikorup kemudian disimpan pada sentra-sentra finansial di negara-negara

    maju terlindungi oleh sistem hukum yang berlaku di negara tersebut, ditambah

    lagi dengan jasa para profesional yang disewa oleh koruptor sehingga tidak

    mudah untuk melacak, apalagi memperoleh kembali aset tersebut. 4

    Tindak pidana korupsi, pada awalnya dimasukkan sebagai delik-

    delik jabatan (ambsdelicten) dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum

    Pidana (KUHP). Kompleksnya permasalahan serta perkembangan serta modus

    operandi tindak pidana korupsi mengakibatkan makin melemahnya

    kemampuan KUHP untuk menyeret pelaku korupsi. Indonesia sebagai satu

    bagian dari bangsa di dunia tidak terlepas dari korupsi. Hal ini dilihat dari

    nilai indeks korupsi Indonesia yang dibuat oleh lembaga Tranparansi

    Internasional yang mencapai poin 32. Dari peringkat indeks tersebut Indonesia

    menduduki peringkat 118 dari 174 negara dunia, dan menduduki peringkat ke

    3 Tersedia di http//www.detik.com/indexkorupsiindonesia.

    4 Mahrus Ali, 2011, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, h. 6

  • xii

    56 negara terkorup di dunia.5 Korupsi di Indonesia diduga telah merugikan

    keuangan negara sejumlah 39,3 triliun rupiah dalam rentang waktu dari tahun

    2004 - 2011.6

    Pelaksanaan pembangunan nasional dan pertumbuhan ekomoni menjadi

    terganggu dengan semakin merajalelanya korupsi yang terjadi diseluruh aspek

    lapisan masyarakat dalam segala bidang yang lambat laun telah menggerogoti

    hasil pembangunan yang telah dicapai karena korupsi telah banyak

    menyebabkan kerugian keuangan negara dan perekonomian negara.

    Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana

    khusus7 (ius singulare, ius speciale atau bijzonder strafrecht) dan ketentuan

    hukum positif (ius constitutum) Indonesia, yang diatur dalam UU Nomor 31

    Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang

    Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

    Pidana Korupsi.8

    Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana

    khusus.9 Apabila dijabarkan, tindak pidana korupsi mempunyai spesifikasi

    tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti penyimpangan

    hukum acara10 dan materi yang diatur dimaksudkan menekan seminimal

    5 Tersedia di Republika.co.id, “Indonesia Berada di Peringkat 56 Negara Terkorup di Dunia

    Tahun 2012”, www.republika.co.id/berita /hukum/nasional/13/01/02

    6 Tersedia di Fokus news, “Puluhan Trilun Rupiah Menguap karena Korupsi”, www.fokusnews

    viva.co.id. 4 Desember 2012. 7 Adami Chazawi, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi,Bandung, Alumni, h. 1.

    8 Juniver Girsang, 2012, Abuse of Power, Penyalahgunaan Kekuasaan Aparat Penegak Hukum

    Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, J.G. Publishing ,h. 8. 9 Adami Chazawi, Op.Cit.

    10 Moch. Faisal Salam, 2001, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Bandung, Mandar

    Maju, h. 2-3.

    http://www.republika.co.id/berita%20/hukum/nasional/13/01/02

  • xiii

    mungkin terjadinya kebocoran serta penyimpangan terhadap keuangan dan

    perekonomian negara. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti

    Korupsi 2003 (United Nations Convention Against Corruption (UNCAC),

    2003)11 mendeskripsikan masalah korupsi sudah merupakan ancaman serius

    terhadap stabilitas, keamanan masyarakat nasional dan internasional, telah

    melemahkan institusi, nilai-nilai demokrasi dan keadilan serta membahayakan

    pembangunan berkelanjutan maupun penegakan hukum.

    Indonesia sendiri memandang korupsi merupakan salah satu bentuk

    tindak pidana yang mendapatkan perhatian yang sangat besar dari masyarakat

    Indonesia dewasa ini, isu akan pemberantasan perkara korupsi seakan-akan

    telah menjadi sebuah topic hangat yang tidak henti-hentinya di perbincangkan

    di tengah-tengah masyarakat.

    Korupsi merupakan kejahatan yang sangat luar biasa sehingga sering

    disebut sebagai extraordinary crime sehingga dalam penangannya diperlukan

    aturan khusus dan upaya yang khusus pula. Wujud dari keseriusan

    pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai extraordinary crime yang

    memerlukan penanganan khusus ditandai dengan dikeluarkannya UU No 20

    Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 Tentang

    pemberantasan Tindak pidana korupsi yang memuat banyak ketentuan-

    ketentuan khusus yang mempunyai aturan yang berbeda bila disandingkan

    dengan aturan umum yang dimuat dalam kitab undang-undang hukum pidana

    11

    Romli Atmasasmita, 2006, Strategi Dan Kebijakan Pemberantasan Korupsi Pasca Konvensi

    PBB Menentang Korupsi Tahun 2003: Melawan Kejahatan Korporasi, Jakarta, Paper

    2006, h. 1

  • xiv

    (KUHP), salah satunya adalah terdapat ancamam pidana pengganti terhadap

    kerugian Negara yang terjadi.

    Kerugian keuangan negara atau perekonomian negara yang sebutkan

    diatas telah menjadi unsur dari delik korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2

    dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang

    Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU

    Tipikor).

    Pasal 2 UU Tipikor menyebutkan:

    ”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

    memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat

    merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan

    pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)

    tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit

    RP.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak

    Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

    Sedangkan Pasal 3 UU Tipikor menyebutkan:

    ”Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain

    atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana

    yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan

    keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara

    seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling

    lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit RP.50.000.000,00 (lima

    puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar

    rupiah)”.

    Untuk mencari apa yang dimaksud dengan kerugian negara yang

    disebutkan dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi

    tersebut dapat dicari beberapa rujukan antara lain :

    Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

    Negara mendefinisikan keuangan negara adalah, “semua hak dan kewajiban

    negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang

  • xv

    maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung

    pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal

    1 ayat 22 menjelaskan “Kerugian negara/ daerah adalah kekurangan uang,

    surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat

    perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.”

    Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur dari kerugian

    negara yaitu:

    1. Kerugian negara merupakan berkurangnya keuangan negara berupa uang berharga, barang milik negara dari jumlahnya dan/ atau nilai yang

    seharusnya.

    2. Kekurangan dalam keuangan negara tersebut harus nyata dan pasti jumlahnya atau dengan perkataan lain kerugian tersebut benar-benar telah

    terjadi dengan jumlah kerugian yang secara pasti dapat ditentukan

    besarnya, dengan demikian kerugian negara tersebut hanya merupakan

    indikasi atau berupa potensi terjadinya kerugian.

    Kerugian tersebut akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja

    maupun lalai, unsur melawan hukum harus dapat dibuktikan secara cermat dan

    tepat.12

    Terhadap kerugian keuangan negara ini dalam undang-undang

    pemberantasan tindak pidana korupsi baik yang lama yaitu UU No. 3 tahun

    1971 maupun yang baru yaitu UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun

    2001, menetapkan kebijakan bahwa kerugian keuangan negara itu harus

    dikembalikan atau diganti oleh pelaku korupsi.

    Berkaitan dengan pengaturan pengembalian aset tersebut di atas,

    pemerintah Indonesia telah menerbitkan pelbagai peraturan yang dapat

    dijadikan sebagai dasar/landasan dalam upaya pemerintah untuk

    12 Hernol Ferry Makawimbang, 2015, Memahami dan menghindari Perbuatan Merugikan

    Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang, Thafa Media,

    Yogyakarta, h.15

  • xvi

    mengembalikan kerugian keuangan negara sebagai akibat dari tindak pidana

    korupsi. Upaya-upaya dimaksud diatur dalam :

    1. UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UUU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi)

    2. UU No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Anti Korupsi)

    Ratifikasi Konvensi ini merupakan komitmen nasional untuk

    meningkatkan citra bangsa Indonesia dalam percaturan politik

    internasional. Arti penting lainnya dari ratifikasi Konvensi tersebut

    adalah:

    - untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil

    tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri;

    - meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik;

    - meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana,

    pengalihan proses pidana, dan kerja sama penegakan hukum; -

    mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi

    dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di

    bawah payung kerja sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis

    pada lingkup bilateral, regional, dan multilateral; dan

    - harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan

    Konvensi ini.

    3. UU No 5 Tahun 2009 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-

    Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi).

    Konvensi menyatakan bahwa tujuan Konvensi ini adalah untuk

    meningkatkan kerja sama internasional yang lebih efektif dalam

    mencegah dan memberantas tindak pidana transnasional yang

    terorganisasi, dan salah satu tindak pidana yang dimaksud ialah tindak

    pidana pencucian uang hasil kejahatan korupsi yang bersifat

    transnasional.

    4. UU 15 tahun 2002 sebagaimana diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) , dan yang tebaru

    UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

    Pidana Pencucian Uang.

    Secara historis, hasil korupsi sangat erat kaitannya dengan kasus

    pencucian uang dalam yurisdiksi tertentu di mana hasil-hasil kejahatan

    dapat disembunyikan. Sehubungan dengan itu, Pasal 54 ayat 1 (b)

    UNCAC mengharuskan setiap negara Pihak untuk menjamin

    kemampuan mereka dalam menyita hasil tindak pidana dari negara lain

    terkait kasus pencucian uang

  • xvii

    UNCAC tersebut juga mempunyai maksud dan tujuan umum, yaitu

    untuk memajukan dan meningkatkan / memperkuat tindakan pencegahan

    dan pemberantasan korupsi yang lebih efisien dan efektif, untuk

    memajukan, memfasilitasi, dan mendukung kerjasama internasional dan

    bantuan teknis dalam mencegah dan memerangi korupsi, terutama

    pengembalian aset, serta meningkatkan integritas dan akuntabilitas dan

    manejemen publik dalam pengelolaan kekayaan negara. “Pengembalian

    aset negara yang dikorupsi di negara-negara sedang berkembang

    (termasuk Indonesia) yang umumnya disimpan di sentra-sentra finansial

    negara maju, merupakan agenda kerjasama internasional dalam konvensi

    ini. Bagi Indonesia pengembalian aset negara sangatlah penting

    mengingat korupsi di indonesia secara sistematik sebagai suatu

    perbuatan yang sangat merugikan serta merusak sendi-sendi kehidupan

    perekonomian suatu negara”. 13

    5. UU No. 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana .

    Apabila kita lihat beberapa ketentuan diatas, konvensi PBB yang telah

    disyahkan menjadi undang-undang tersebut sangat relevan dengan kenyataan

    banyaknya hasil korupsi di simpan pada bank-bank di luar negeri yang

    dipandang aman dari pelacakan oleh aparat penegak hukum Indonesia.14

    Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang

    mengikutsertakan masyarakat, dalam The United Nations Convention Against

    Corruption 2003, pada Pasal 13 disebutkan, bahwa :

    Each state party shall take appropriate measures, within its means and

    in accordance with the fundamental principles of its domestic law, to

    promote the active participation of individuals and groups outside the

    public sector, such as civil society, nongovernmental organizations and

    community-based organizations, in the prevention of and the fight

    against corruption

    (Terjemahan bebas :Masing-masing negara pihak wajib mengambil

    tindakan-tindakan yang semestinya, dalam kewenanganya dan sesuai

    13

    I Gusti Ketut Ariawan, 1 januari 2008, Stolen Aset Recovery Initiative, Suatu Harapan Dalam

    Pengembalian Aset Negara, Majalah Hukum Kertha Patrika. 14

    I Ketut Mertha,2014, Efek Jera Pemiskinan Koruptor dan Sanksi Pidana , Udayana University

    Press, Denpasar, h.55.

  • xviii

    dengan prinsip-prinsip dasar hukum internalnya; meningkatkan

    partisipasi aktif perorangan dan kelompok di luar sektor publik, seperti

    masyarakat sipil, organisasi-organisasi non pemerintah (NGO/LSM) dan

    organisasi-organisasi berbasis masyarakat). Hal ini dilakukan dalam

    rangka pencegahan dan perlawanan terhadap korupsi dan meningkatkan

    kewaspadaan masyarakat mengenai keberadaan, penyebab dan

    kegawatan dari dan ancaman yang ditunjukan oleh korupsi.

    Konvensi anti korupsi (KAK) telah membuat terobosan besar mengenai

    pengembalian asset kekayaan negara yang telah dikorupsi, meliputi sistem

    pencegahan dan deteksi hasil tindak pidana korupsi (Pasal 52 KAK); sistem

    pengembalian asset secara langsung (Pasal 53 KAK) ; sistem pengambalian

    asset secara tidak langsung dan kerjasama internasional untuk tujuan

    penyitaan (Pasal 55 KAK). Ketentuan esensial yang teramat penting dalam

    konteks ini adalah ditujukan khusus terhadap pengembalian asset-aset hasil

    korupsi dari negara ketempatan (custodial state) kepada negara asal (country

    of origin) asset korupsi.

    Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31

    Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sendiri lebih rinci

    memuat upaya pengembalian kerugian negara dalam ketentuan Pasal 18 yakni:

    ayat (1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab

    Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:

    a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh

    dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana

    dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang

    menggantikan barang-barang tersebut.

    b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

    c. Penutupan seluruh atau sebagaian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;

  • xix

    d. Pencabutan seluruh atau sebgaian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau diberikan

    oleh pemerintah kepada terpidana.

    Ayat (2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana

    dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan

    sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

    tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk

    menutupi uang pengganti tersebut.

    Ayat (3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang

    mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam

    ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak

    melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan

    ketentuan Undang-Undang ini dan lamaya pidana tersebut sudah

    ditentukan dalam putusan pengadilan.15

    Implementasi dari ketentuan Pasal 18 dalam undang-undang

    pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut dapat kita temui pada salah satu

    point putusan pengadilan tindak pidana korupsi biasanya dalam putusannya

    menyebutkan besaran uang pengganti, bila kita mengacu pada peraturan yang

    ada, seharusnya dalam jangka waktu satu bulan sejak putusan tersebut

    mendapat kekuatan hukum tetap terpidana wajib mekakukan pembayaran, dan

    bila tidak dilakukan maka harta bendanya dapat disita untuk menutupi

    kerugian negara yang terjadi, penyitaan dalam rangka pelaksanaan putusan

    tersebut hingga saat ini tidak diatur dalam norma tersendiri, padahal tindakan

    penyitaan terhadap asset individu sangat rentan akan perlawanan mengingat

    terdapat hak keperdataan yang juga dilindungi oleh Hukum

    Pentingnya mengoptimalkan ketentuan Pasal 18 dalam undang-undang

    pemberantasan tindak pidana korupsi dengan tidak hanya berhenti pada

    15 Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

    Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah dirubah menjadi Undang-Undang Republik

    Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31

    Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

  • xx

    putusan pidana pokok yang telah dijatuhkan, harus dilaksanakan dengan serius

    mengingat esensi dari tindak pidana korupsi itu sendiri ada pada hilangnya

    keuangan negara yang mengakibatkan kerugian negara, kemudian setelah

    pelaku dijatuhi pidana sebagai bentuk pertanggung jawaban atas perbuatan

    yang telah dilakukan, sering kali jumlah kerugian negara yang terjadi tidak

    kembali kepada kas negara.

    Konsep pengembalian keuangan negara yang bersifat progresif mutlak

    diperlukan untuk mengatasi kekosongan norma saat dalam undang-undang

    pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini, dimana kedudukan pidana

    pembayaran uang pengganti sebagai “lembaga baru” dalam sistem hukum

    pidana Indonesia, menyebabkan terdapat kekosongan dalam pengaturannya.

    sehingga memerlukan “manuver interpretasi” ketentuan yang ada misalnya

    dengan mengharmonisasikan pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

    Menentang Korupsi (United Nations Convention Against Corruption/UNCAC)

    Tahun 2003, atau menciptakan kebijakan hukum pidana pengganti yang

    memadai dalam upaya pemberantasan tidak pidana korupsi.

    Situs hukum online melansir beberapa perkara tindak pidana korupsi

    besar yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam peradilan yang

    putusannya in absentia yakni :16

    No Terpidana Kerugian Negara Uang Pengganti

    1 Hendra Raharja Korupsi

    BLBI Bank BHS

    Rp.

    305.345.074.000

    dan

    AS$2.304.809,36

    Rp1,9 triliun

    2 Bob Hasan Korupsi AS$243 juta Rp1,9 triliun

    16

    Devisa Negara Tanpa Aturan Yang Jelas, http://www.hukumonline.com 16 Januari 2006.

  • xxi

    Pemotretan dan Pemetaan

    Hutan lindung

    3 Samadikun Hartono

    Korupsi BLBI Bank

    Modern

    Rp.

    80.742.270.581

    Rp. 169 miliar

    4 Sudjiono Timan

    Korupsi BPUI

    AS$. 126 juta Rp. 369 miliar

    5 David Nusa Widjaja

    Korupsi BLBI Bank

    Servitia

    Rp. 1,29 trilun Rp. 1,29 triliun

    6 Huzrin Hood Korupsi

    APBD Kepulauan Riau

    (Kepri)

    Tahun 2001 dan 2002

    Rp. 3,4 miliar Rp. 3,4 miliar

    7 Bambang Sutrisno dan

    Adrian Kiki Aryawan

    Korupsi

    BLBI Bank Surya

    Rp1, 5 triliun Rp1,5 triliun

    8 Eddy Tansil korupsi

    BAPINDO

    Rp1,3 triliun uang pengganti

    Rp. 500 miliar dan

    membayar

    kerugian negara

    Rp1,3 triliun

    9 Asriadi, Korupsi di bidang

    pajak

    Rp. 40 miliar Rp. 13 miliar

    10 Iwan Zulkarnaen Korupsi

    di bidang pajak

    Rp. 40 miliar Rp. 27 miliar

    Rekapitulasi uang pengganti dari bahan yang disampaikan tersebut yakni

    terdapat sisa uang pengganti yang belum tertagih tahun 2004 yaitu sebesar Rp.

    2.889.892.947.825, dan yang berhasil dieksekusi hanya sebesar Rp.

    500.000.000,- dengan demikian masih terdapat sisa uang pengganti yang

    cukup besar yang masih tertunggak yang entah bagaimana permasalahan

    tersebut dapat diselesaikan.

    Audit BPK juga menunjukkan bahwa tunggakan uang penganti sebanyak

    13 Trilyun yang belum diselesaikan oleh Kejaksaan Agung hal ini merujuk

    pada hasil audit BPK atas laporan keuangan Kejagung tahun 2012 dan 2013

  • xxii

    yang disampaikan ke pihak kejaksaan pada 30 Mei 2014. Meski tidak

    menyebut semua kasus yang masih ada tunggakan uang pengganti , dan untuk

    itu Jaksa Agung HM Prasetyo menegaskan bahwa tim verifikasi dan

    klarifikasi masalah tunggakan uang pengganti kasus korupsi tengah bekerja.17

    Hal ini sudah menunjukkan bahwa upaya eksekusi uang pengganti tidak

    mudah dilaksanakan walaupun telah terdapat norma hukum yang

    mengaturnya, namun tidak berjalannya dengan baik norma tersebut

    diakibatkan karena tidak adanya pengaturan hukum lebih lanjut bagaimanana

    pelaksanaan perampasan asset dalam rangka melaksanakan putusan

    pengadilan untuk mengganti kerugian negara yang telah timbul dapat

    dilaksanakan.

    Berdasarkan uraian diatas terlihat adanya kebutuhan untuk mereformulasi

    sistem hukum pidana di Indonesia yang mengatur mengenai pelaksanaan

    penyitaan harta terpidana korupsi dilakukan sebelum dikenakan pidana

    pengganti kerugian negara, upaya pengaturan tersebut selain harus

    komprehensif juga harus terintegrasi dengan pengaturan lain agar undang-

    undang yang akan disusun bisa berjalan dengan baik dan mampu memberikan

    kepastian hukum serta jaminan perlindungan hukum kepada masyarakat, dan

    kebijakan hukum pidana dalam upaya perampasan asset terhadap kekayaan

    koruptor mutlak diperlukan, melalui pendekatan kebijakan hukum pidana

    yang lebih bersifat progresif untuk mengatasi kekosongan norma pidana

    17

    Tersedia di detik.com/ Tunggakan-Uang-Pengganti-Jaksa/ diakese 20 Mei 2015

  • xxiii

    pengganti pengembalian kerugian negara selama ini, agar pengembalian asset

    yang menjadi roh untuk mengembalikan kerugian negara dapat tercapai.

    1.2 Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dikemukakan

    permasalahan yang menjadi pokok pembahasan pada bab berikutnya. Adapaun

    permalasalahan dimaksud penulis rumuskan sebagai berikut:

    1. Bagaimanakah kebijakan formulasi pidana pengganti kerugian negara

    dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sekarang ini (ius

    constitutum) ?

    2. Bagaimana kebijakan reformulasi pidana pengganti kerugian negara

    yang akan datang (ius constituendum) ?

    1.3 Ruang Lingkup Masalah

    Suatu karya ilmiah perlu kiranya di tentukan secara tegas materi yang

    akan diuraikan dalam tulisan ini. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah agar

    materi atau isi uraian ini tidak menyimpang dari pokok permasalahan,

    sehingga permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini dapat diuraikan secara

    sistematis. Sebelum diuraikan lebih lanjut tentang ruang lingkup permasalahan

    diatas, maka terlebih dahulu perlu dibatasi materi yang akan di bahas dalam

    Tesis ini tentang “KEBIJAKAN HUKUM TENTANG PIDANA

    PENGGANTI KERUGIAN NEGARA DALAM PEMBERANTASAN

    TINDAK PIDANA KORUPSI”.

  • xxiv

    Adapun yang menjadi permasalah yang akan di bahas dalam usulan

    penelitian ini adalah tentang bagaimana mereformulasi tentang pidana

    pengganti kerugian negara dalam tindak pidana korupsi apakah telah cukup

    norma yang ada saat ini. Dengan mengetahui hal tersebut kemudian

    dibandingkan dengan penjelasan ketentuan norma pasal 18 UU Tindak Pidana

    Korupsi, kemudian melihat ketentutan peraturan perundang-undangan yang

    berlaku dan melihat bahan hukum yang ada mengenai formulasi norma uang

    pengganti yang berlaku saat ini, dengan mempelajari mekanisme yang

    ditempuh tersebut sehingga dapat dijadikan bahan masukan maupun rujukan

    dalam menyusun formulasi ketentuan yang lebih baik dikemudian hari

    mengenai pidana pengganti kerugian negara dalam tindak pidana korupsi.

    Dengan demikian akan dapat dilihat apakah ketentuan dalam Pasal 18

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah menjadi

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

    Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

    Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih baik atau diperlukan kebijakan

    hukum untuk memperbaharui norma tersebut.

    1.4 Tujuan Penelitian

    1.4.1 Tujuan Umum

    Penelitian ini secara umum bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum

    terkait dengan dengan norma hukum pidana pengganti kerugian negara

  • xxv

    dalam kasus tindak pidana korupsi, karena peraturan pemerintah / petunjuk

    pelaksanaan hukum pidana pengganti bagi terpidana yang tidak sanggup

    membayar, terdapat kekosongan hukum dalam undang-undang maupun

    peraturan pemerintah yang mengatur petunjuk pelaksanaan uang pengganti

    sehingga penulisan ini dapat dijadikan rujukan umum untuk melihat

    masalah yang ada dalam norma yang berlaku saat ini (Ius Constitutum).

    1.4.2 Tujuan Khusus

    Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui bagaimana

    kebijakan hukum tentang pidana pengganti kerugian negara dalam

    pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku saat ini di Indonesia, ,

    dan bagaimana kebijakan hukum yang akan datang untuk mengisi

    kekosongan norma hukum yang terdapat dalam formulasi sebelumnya.

    Dengan melihat peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini

    sejauh kemudian membandingkan peraturan mengenai uang pengganti dari

    negara lain, untuk selanjutnya dapat ditarik sebuah solusi dalam

    penyusunan norma uang pengganti dalam kasus tindak pidana korupsi di

    Indonesia.

    1.5 Manfaat Penelitian

    1.5.1 Manfaat Teoritis

    - Dapat memberikan informasi sejauh mana suatu teori dalam ilmu

    hukum dapat membantu dalam pemecahan masalah terhadap suatu

    kasus khususnya dalam pengambilan suatu kebijakan hukum.

  • xxvi

    - Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi arah

    kebijakan legislasi baru (ius constitutum) dalam membuat undang-

    undang pidana pada umumnya dan khususnya terhadap undang-

    undang tentang kebijakan hukum tentang pidana pengganti kerugian

    negara dalam pemberantasan tindak pidana korupsi nantinya.

    1.5.2 Manfaat Praktis

    - Dapat memberikan pengetahuan tentang bagaimana norma pidana

    pengganti terhadap kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi

    saat ini .

    - Dapat memberikan wawasan pengetahuan mengenai beberapa

    formulasi uang pengganti dan kendala yang ada dalam formulasi saat

    ini sehingga diperoleh masukan atau kajian akademis untuk

    penyusunan norma pidana pengganti kerugian negara dalam kasus

    tindak pidana korupsi yang akan datang.

    1.6 Orisinalitas Tesis

    Sepanjang pengetahuan penulis penelitian dengan judul “KEBIJAKAN

    HUKUM TENTANG PIDANA PENGGANTI KERUGIAN NEGARA

    DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI”, belum

    pernah diajukan dilingkungan Pasca Sarjana Ilmu hukum Universitas

    Udayana, dan permasalah terkait pokok permasalahan yang penulis sebutkan

    diatas belum pernah penulis dalam literature ilmiah manapun mengingat

    permasalah tersebut sangat sering terjadi, namun penelitian mendalam untuk

  • xxvii

    menyelesaikan permasalah tersebut hingga saat ini masih sangat minim baik

    yang berupa tesis maupun jurnal-jurnal ilmiah yang ada.

    Untuk menunjukkan orisinalitas penelitian dari tesis ini, maka dapat

    dibandingkan dengan tesis atau skripsi lainnya antara lain:

    1. Proposal Tesis karya Ni Wayan Sinarwati dengan judul “ Peranan

    Jaksa Untuk Menuntut Terdakwa Korupsi Dalam Pengembalian

    Kerugian Keuangan Negara Perspektif Sistem Peradilan Pidana

    Indonesia”

    Rumusan Masalah:

    a. Apa peran jaksa dalam pengembalian kerugian keuangan Negara

    oleh koruptor dalam proses peradilan pidana?

    b. Apa bentuk tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh jaksa

    dalam proses persidangan ?

    2. Karya Ilmiah Michael Barama Universitas Samratulangi yang

    mengambil judul “Uang Pengganti Sebagai Pidana Tambahan Dalam

    Perkara Korupsi”

    Rumusan Masalah:

    a. Bagaimana Kedudukan Uang Pengganti Sebagai Pidana Tambahan

    Dalam Perkara Pidana Korupsi?

    b. Bagaimana Proses Pelaksanaan Hukuman Tambahan Uang

    Pengganti Dalam Perkara Pidana Korupsi?

  • xxviii

    3. Tesis Karya A.A Ngurah Oka Yudisthira Darmadi yang mengambil

    judul “Kebijakan Hukum Pidana Pengembalian Aset Tindak Pidana

    Korupsi di Indonesia.

    Rumusan Masalah:

    a. Implikasi ratifikasi UNCAC 2003 dalam pengembalian asset tindak

    pidana terhadap kebijakan peraturan perundang-undangan tindak

    pidana korupsi?

    b. Kebijakan hukum dalam rangka meperkuat system hukum pidana

    pengembalian ases tindak pidana korupsi di Indonesia.

    1.7 Landasan Teori

    1.7.1 Teori Kebijakan Hukum Pidana

    Landasan teori adalah merupakan butir-butir pendapat, teori, tesis

    mengenai suatu permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan

    teori yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.18

    Melalui landasan teori

    maka ditentukan arah penelitian dan dalam memilih konsep yang tepat guna

    pembentukan analisis dan hasil penelitian yang dilakukan.19

    Dalam Landasan

    teoritis selain terdapat teori-teori yang digunakan untuk mengupas

    permasalahan juga terdapat asas, konsep, dan doktrin20

    yang memiliki korelasi

    yang erat dengan permasalahan yang di bahas yaitu kebijakan formulasi

    18

    Endang Komara, 2011, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Refika Aditama, Bandung, h. 8 19

    Muhammad Erwin, 2011, Filsafat Hukum, Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Raja Grafindo

    Persada, Jakarta, h. 13 20

    Hans Kelsen 2012, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, h. 23

  • xxix

    pidana pengganti kerugian negara dalam pemberantasan tindak pidana

    korupsi.

    Dalam Konteks kebijakan hukum pidana (penal Policy) menurut Marc

    Ancel, penal policy adalah :

    ” Both a science and art of which the practical purpose ultimately are to

    unable the positive rules better formulated and to guide not only the

    legislator who has to draft criminal statues, but the court by which they

    are applied and the prison administration which gives practical effect to

    the court decision.”21

    Suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis

    untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan seara lebih

    baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-

    undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang,

    dan kepada penyelenggara atau pelaksanaan putusan pengadilan).

    Kemudian menurut A. Mulder kebijakan hukum pidana dipadankan

    dengan straftrechtpolitiek, yang artinya sebagai garis kebijakan untuk

    menentukan:

    1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah

    dan diperbaharui.

    2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.

    3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, perailan dan pelaksanaan

    pidana yang harus dilaksanakan.22

    Sejalan dengan pandangan Marc Ancel dan Mulder, Sudarto menyatakan

    bahwa penal policy dapat diartikan sebagai usaha mewujudkan peraturan

    perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada

    21

    Marc Ancel,1965, Social Defence A Modern Approach Problem ,Routkege &keagen Paul,

    London, h.209. 22

    Barda Nawawi Arief , 2007, Beberapa Asepek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan

    Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.3 (selanjutnya disebut BARDHA

    NAWAWI ARIEF I)

  • xxx

    waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Pada sumber lain juga Sudarto

    menyatakan “bahwa menjalankan politik (kebijakan) hukum pidana juga

    mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana

    yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna.23

    Esensi teori kebijakan pidana yang dikemukakan Marc Ancel, A. Mulder

    dan Sudarto menunjukkan bahwa betapa luasnya ruang lingkup dari kebijakan

    (politik) hukum pidana (penal policy), secara sistematis dapat dirangkum

    meliputi tahapan seperti :

    1. Kebijakan legislative (formulasi)

    2. Kebijakan yudikatif (aplikasi)

    3. Kebijakan Eksekutif ( eksekusi).

    Selain itu, istilah kebijakan dalam beberapa tulisan disebut dengan

    “politik"24

    , "policy" (Inggris) , "politiek" (Belanda)17

    yang kemudian dapat

    disebut 25

    pula sebagai politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing istilah

    “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain

    “penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechts politiek”.26

    Sudarto

    memberikan arti politik hukum sebagai berikut :

    1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan

    keadaan dan situasi pada suatu waktu.27

    23

    Sudarto, 2005, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h.19 24

    Sudarto, 2009, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Penerbit SinarBaru,Bandung,

    h.16. 25

    Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan

    Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, h. 26. (selanjutnya disebut Bardha Nawawi Arief II)

    26 Loc.cit.

    27 Sudarto, 2008, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h.159.

  • xxxi

    2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

    menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa

    digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam

    masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. 28

    Mahfud merumuskan politik hukum sebagai:29

    Kebijakan hukum yang

    akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula

    pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara

    melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan

    hukum itu. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal

    yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan, melainkan harus dipandang

    sebagai subsistem yang dalam kenyataan bukan tidak mungkin sangat

    ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasalpasalnya

    maupun dalam implementasi dan penegakannya.

    Pendapat Marc Ancel yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief yang

    menyebutkan bahwa "penal policy" adalah suatu ilmu sekaligus seni yang

    pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan

    hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman

    tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan

    yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau

    28

    Sudarto, Hukum Pidana dan ..., Op.cit., hlm 20. 29

    Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatuilah, 2005, Politik Hukum Pidana (Kajian Kebijakan

    Kriminalisasi dan Deskriminalisasi), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 12

  • xxxii

    pelaksana Putusan Pengadilan, mempunyai persamaan dengan definisi politik

    hukum pidana yang dikemukakan oleh Sudarto.30

    Selanjutnya dinyatakan olehnya :

    "Di antara studi mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan

    studi mengenai teknik perundang-undangan dilain pihak, ada tempat bagi

    suatu ilmu pengetahuan yang mengamati dan menyelidiki fenomena

    legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, di mana para sarjana dan

    praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum dapat bekerja sama tidak

    sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling berselisih, tetapi sebagai

    kawan sekerja yang terikat di dalam tugas bersama, yaitu terutama untuk

    menghasilkan suatu kebijakan pidana yang realistik, dan berpikiran maju

    (progresif) lagi sehat.

    "(Between the study of criminological factors on the one hand, and the

    legal technique on the other, there is room for a science which observes

    legislative phenomenon and for a rational art within which scholar and

    practitioners, criminologist and lawyers can come together, not as

    antagonists or in fratricidal strike, but as fellowworkers engaged in a

    common task, which is first and foremost to bring into effect a realistic,

    humane, and healthy progressive penal policy).

    Pengertian politik kriminal menurut Sudarto dapat diberi arti sempit,

    lebih luas dan paling luas, yaitu : 31

    a. dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

    b. dalam arti yang lebih luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan

    polisi;

    c. dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk

    menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

    Secara singkat Sudarto memberikan definisi politik kriminal sebagai

    usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.32

    Melaksanakan politik kriminal berarti mengadakan pemilihan dari sekian

    30

    Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai ….. Op,cit, h. 23 31

    Sudarto, 2006, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,Bandung, h 113-114. 32

    Sudarto, Hukum dan ..., Op.cit, h.38

  • xxxiii

    banyak alternatif, mana yang paling efektif dalam usaha penanggulangan

    tindak pidana tersebut.33

    Sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana

    mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan

    suatu perundang-undangan pidana yang baik.34

    Sedangkan dilihat dari sudut

    politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian

    "kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana" .35

    Menurut Barda Nawawi Arief, upaya melakukan pembaharuan hukum

    pidana (penal reform) pada hakekatnya termasuk bidang "penal policy" yang

    merupakan bagian dan terkait erat dengan "law enforcement policy”,

    "criminal policy" dan "social policy". Ini berarti, pembaharuan hukum pidana

    pada hakikatnya : 32

    a. Merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan

    penegakan hukum;

    b. Merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk memberantas/menanggulangi tindak pidana dalam rangka perlindungan

    masyarakat;

    c. Merupakan bagian dari kebijakan (upaya rasional) untuk mengatasi masalah sosial dan masalah kemanusiaan dalam rangka

    mencapai/menunjang tujuan nasional (yaitu "social defence" dan "social

    welfare"):

    d. Merupakan upaya peninjauan dan penilaian kembali ("reorientasi dan reevaluasi") pokok-pokok pemikiran, ide-ide dasar atau

    nilai-nilai sosio-filosofik, sosio-politik dan sosiokultural yang melandasi

    kebijakan kriminal dan kebijakan (penegakan) hukum pidana selama ini.

    Bukankah pembaharuan (reformasi) hukum pidana apabila orientasi nilai

    dari hukum pidana yang dicita-citakan sama saja dengan orientasi nilai

    dari hukum pidana lama warisan penjajah (KUHP lama atau WVS).

    33

    Sudarto, Kapita Selekta ....... Op.cit., h. 114 34

    Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai......Op.cit, h. 26-27. 35

    Ibid, h.28.

  • xxxiv

    Secara singkat Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pembaharuan

    hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang

    berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) dan pendekatan yang

    berorientasi pada nilai (value-oriented approach).36

    Selanjutnya Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pembaharuan

    hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang

    pada hakivvkatnya pembaharuan hukum pidana hanya merupakan bagian dari

    suatu langkah kebijakan atau “policy” (yaitu bagian dari politik

    hukum/penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal dan politik

    sosial). Didalam setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai.

    Oleh karena itu, pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada

    pendekatan-nilai.37

    Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa. pembaharuan hukum pidana

    dilihat dari sudut pendekatan-kebijakan adalah :38

    a. sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-

    masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka

    mencapai/menunjang tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat dan

    sebagainya);

    b. sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat

    (khususnya upaya penanggulangan tindak pidana);

    c. sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui

    substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan

    penegakan hukum.

    36

    Ibid. h. 3-4 37

    Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai…..Op.cit, h. 29 38

    Ibid, h.29-30

  • xxxv

    Sedangkan pembaharuan hukum pidana dilihat dari sudut pendekatannilai

    merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi

    dan reevaluasi) nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio-kultural yang

    melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum

    pidana yang dicita-citakan.39

    1.7.2 Teori Pemidanaan

    Moelyatno mengatakan istilah hukuman berasal dari kata “straf” dan

    istilah “dihukum” yang berasal dari perkataan “woedt gestrqft” merupakan

    istilah-istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu

    dan menggunakan istilah yang non konvensional, yaitu pidana untuk

    menggantikan kata “straf” dan “diancam dengan pidana” untuk

    menggantikan kata “wordt gestraf”.40

    Selanjutnya Jimly Asshiddiqie mengatakan dirinya menuruti pendapat

    Sudarto dan iang menggunakan instilah pidana bukan “hukuman” ataupun

    “hukuman pidana.41

    Pendapat para sarjana terhadap mengenai tujuan pidana

    diantaranya Richard D. Schwartz dan Jerome H. Skolnick yang menyatakan

    sanksi Pidana Dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak

    pidana (to prevent recidivism), mencegah orang lain melakukan perbuatan

    yang sama seperti yang dilakukan si terpidana (to deter other from the

    39

    Ibid, h. 30. 40

    Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2014, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung,

    h.1 41

    Jimly Asshiddiqie, 2008, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Angkasa, Bandung, h.15

  • xxxvi

    performance of similar act), menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-

    motif balas (to provide a channel for the expression of retaliatory motives).42

    a. Teori Retributif

    Menurut Teori ini yang menjadi dasar hukum dijatuhkannya pidana

    adalah kejahatan itu sendiri. Teori ini berfokus pada hukuman/pemidanaan

    sebagai suatu tuntutan mutlak untuk mengadakan pembalasan (vergelding)

    terhadap orang-orang yang telah melakukan perbuatan jahat. Selanjutnya

    dikatakan oleh karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan pada si korban,

    maka harus diberikan pula penderitaan sebagai pembalasan terhadap orang

    yang melakukan perbuatan jahat. Jadi penderitaan harus dibalas dengan

    penderitaan. Teori ini ada dua corak, yaitu corak subjektif (subjectif

    vergelding), yaitu pembalasan langsung ditujukan kepada kesalahan si

    pembuat; kedua adalah corak obyektif , yaitu pembalasan ditujukan sekedar

    pada perbuatan apa yang telah dilakukan oleh orang yang bersangkutan.43

    Teori Retributif dalam tujuan pemidanaan disandarkan pada alasan bahwa

    pemidanaan merupakan “morally Justifed” (pembenaran secara moral) karena

    pelaku kejahatan dapat dikatakan layak untuk menerimanya atas kejahatannya.

    Asumsi yang penting terhadap pembenaran untuk menghukum sebagai respon

    terhadap suatu kejahatan karena pelaku kejahatan telah melakukan

    pelanggaran terhadap norma moral tertentu yang mendasari aturan hukum

    42

    M. Abul Khair dan Mohammad Eka Putra, 2011, Pemidanaan, USU Press, Medan, h.20 43 Philip Bean, 1981, Punishment (A Philosophical and Criminological Inquiry), Laiden Bibl, h.27

  • xxxvii

    yang dilakukan secara sengaja dan sadar dan hal ini merupakan bentuk dari

    tanggung jawab moral dan kesalahan hukum si pelaku.44

    Selajutnya , Alexander Fatic mengemukakan lebih lanjut tentang alasan

    yang medasari teori retributive ini, yaitu:

    “…punishment is morally justified because the offender is considered morally

    responsibility for breaking a moral normsupposedly underlying the law; also

    he is considered legally culpable, liable to legal punishment, because the

    criminal law is an instrument for bringing „causality‟ linking crime and

    pusnishment is moral;morality is seen in retributivism as requiring penalties

    for those sorts or behavior that deviate from its norm. In other words,

    retributive morality is essential punitive, generaly justifying the imposition of

    unpleasant consequences on those who transgress it. The supreme moral

    standar in this perppective is that if meritocratic justice: people should get

    what they deserve, wether by doing the „right‟ thing they „merit reward, or by

    commiting moral and legal „wrong‟ they „deserve‟ punishment. 45

    b. Teori Deterrence (Teori Pencegahan)

    Tujuan yang kedua dari pemidanaan adalah “deterrence”. Terminologi

    “deterrence” menurut Zimring dan Hawkins, digunakan lebih terbatas pada

    penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan tersebut

    membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan

    kejahatan. Namun “The net deterrence effect” dari ancaman secara khusus

    kepada seseorang ini dapat juga menjadi ancaman bagi seluruh masyarakat

    untuk tidak melakukan kejahatan.

    1.7.3 Teori Keadilan

    a. Teori Keadlian Aristoteles

    44 Marlina,, 2011, Hukum Penitensier, Reflika Aditama, Bandung, h.42 45

    Aleksandar Fatic, 1995, Punishment and Restorative Crime-Handling, Avebury Ashagate Publishing Limited, USA, h.9.

  • xxxviii

    Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan

    dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya,

    dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan,

    yang, berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari

    filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya

    dengan keadilan”.46

    Yang sangat penting dari pandanganya ialah pendapat bahwa keadilan

    mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat

    pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional.

    Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah

    yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan

    ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum.

    Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai

    dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini

    Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar

    keadilan.

    Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif

    dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua

    dalam hukum perdata dan pidana. Kedailan distributif dan korektif sama-sama

    rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami

    dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah

    bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata.

    46

    Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum ...., h. 24. 5

    Ibid, hal 25.

  • xxxix

    Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang

    disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan

    dihilangkan.

    Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor,

    kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam

    masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah

    bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang

    berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi

    yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai

    kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.5

    Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang

    salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka

    keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak

    yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang

    sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan

    akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah

    terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan

    tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah

    peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah.47

    Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya

    dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat

    kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim,

    47

    Ibid

  • xl

    dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum

    tertentu. Pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara

    hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat.

    Karena, berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu

    dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas

    tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam

    bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alamjika bisa

    didapatkan dari fitrah umum manusia.48

    b. Keadilan sosial ala John Rawls

    John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori keadilan

    sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of

    opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan

    ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi

    mereka yang paling kurang beruntung.

    Istilah perbedaan sosil-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada

    ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok

    kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair

    equality of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang

    mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan

    otoritas. Mereka inilah yang harus diberi perlindungan khusus.

    Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama

    sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume,

    48

    Ibid, hal. 26-27.

  • xli

    Bentham dan Mill. Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur

    menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri,

    lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls

    juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang

    dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan

    demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan

    ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung

    dalam masyarakat.

    Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang

    sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang

    paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi

    ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang

    paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga

    dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan

    orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang

    terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan

    peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua

    perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang

    bersifat primordial, harus ditolak.

    Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka program penegakan

    keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip

    keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas

    kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap

  • xlii

    orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang

    terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik

    (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari

    kelompok beruntung maupun tidak beruntung. 49

    Dengan demikian, prisip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar

    masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal

    utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan

    orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus

    diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan

    terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan

    menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang

    memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memosisikan diri sebagai

    pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi

    ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.

    1.8 Metode Penelitian

    1.8.1 Jenis Penelitian

    Peter Mahmud Marzuki berpendapat, penelitian hukum adalah suatu

    proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun

    doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini

    sesuai dengan karakter preskriptif ilmu hukum.50

    49

    John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang

    sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori

    Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. 50

    Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, h. 35.

  • xliii

    Menurut William H. Putman, “Legal research is a part of the legal analys

    process. It is that part of the legal analysis process that involves finding the

    law that applies to the legal question raised by the facts of client‟s case”.51

    Terjemahan bebas: Penelitian hukum adalah bagian dari proses analisis hukum

    termasuk mencakup dalam hal menemukan hukum yang dapat diaplikasikan

    dalam pernyataan hukum yang diajukan berdasarkan fakta-fakta dari kasus-

    kasus.

    Ada dua jenis penelitian hukum yang dikemukakan oleh Soerjono

    Soekanto, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris atau

    sosiologis.52

    Jenis Penelitian mengenai “KEBIJAKAN HUKUM TENTANG

    PIDANA PENGGANTI KERUGIAN NEGARA DALAM

    PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI” sehubungan dengan

    penyusunan tesis ini adalah penelitian hukum normatif Philipus M Hadjon

    berpendapat bahwa jenis penelitian hukum normatif yaitu suatu penelitian

    yang terutama mengkaji ketentuan-ketentuan hukum positif maupun asas-asas

    hukum.53

    1.8.2 Jenis Pendekatan

    Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang bertujuan

    mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan diteliti.

    51 William H. Putman,2009, Legal Research: Second Edition, Delmar, United State of America, h.

    372. 52

    Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press,

    Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III), h. 147. 53

    Philipus M Hadjon, 1997, Pengkajian Ilmu Hukum, Makalah Penelitian Metode Penelitian

    Hukum Normatif, Universitas Airlangga, Surabaya,h.20.

  • xliv

    Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah

    pendekatan Undang-Undang (statute approach), pendekatan kasus (case

    approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan

    konseptual (conceptual approach).54

    Berdasarkan permasalahan penelitian ini,

    maka penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute

    approach) , yakni dengan menggunakan peraturan perundang-undangan

    sebagai bahan hukum primer. Pendekatan perundang-undangan (statute

    approach) dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi

    yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.55

    Penelitian

    ini juga menggunakan pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan

    konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang

    berkembang di dalam ilmu hukum.56

    Serta juga dengan membandingkan

    beberapa peraturan perundang-undangan yang ada (comparative approach)

    Dengan demikian, penelitian Penelitian mengenai “ KEBIJAKAN HUKUM

    TENTANG PIDANA PENGGANTI KERUGIAN NEGARA DALAM

    PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI” menggunakan

    pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, serta pendekatan

    komparatif.

    1.8.3 Sumber Bahan Hukum

    54 Peter Mahmud Marzuki,Op.Cit.h.93. 55 Ibid 56

    Ibid. h.119.

  • xlv

    Bahan hukum yang akan dikaji dan dianalisis dalam penelitian ini adalah

    terdiri dari bahan hukum Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder serta

    bahan hukum tersier.57

    Sumber bahan hukum penelitian ilmu hukum dengan aspek normatif ini

    berasal dari penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian

    kepustakaan ini dilakukan terhadap berbagai macam sumber bahan hukum

    yang dapat digolongkan atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

    Pendapat Peter Mahmud Marzuki,bahan hukum primer merupakan bahan

    hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan

    hukum primer terdiri dari perundangundangan, catatan-catatan resmi atau

    risalah dalam pembuatan perundangundangan dan putusan-putusan hakim.58

    a. Bahan Hukum Primer : adalah hukum asas dan kaidah hukum.

    Perwujudan asas hukum dan kaidah hukum ini dapat berupa :

    peraturan dasar atau konstitusi, konvensi ketatanegaraan; peraturan

    perundang – undangan khusunya yang menyangkut masalah

    ketentuan norma uang pengganti kerugian negara dalam perkara

    tindak pidana korupsi, Putusan Pengadilan.

    b. Bahan Hukum Sekunder adalah: publikasi hukum, internet

    dengan menyebut nama situsnya, rancangan undang – undang,

    hasil karya ilmiah para sarjana, hasil – hasil penelitian, buku – buku

    hukum (Texs Books) jurnal – jurnal hukum.

    57

    Sutrisno Hadi, 2010, Methodologi Research 1, Gadjah Mada University, Semarang, h. 26 58

    Ibid. h.140.

  • xlvi

    1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

    Tehnik yang diterapkan dalam pengumpulan bahan hukum adalah

    dengan cara mengumpulkan dan menginventarisasi bahan hukum primer yang

    berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, yang selanjutnya diklafikasikan

    menurut kelompoknya sesuai dengan hierarkhi peraturan perundang-

    undangan. Terhadap bahan hukum sekunder dan tersier dikumpulkan dengan

    menggunakan telaahan kepustakaan (studi document). Telaah kepustakaan

    dilakukan dengan sistem kartu (card system) yakni dengan cara mencatat dan

    memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan-bahan

    hukum primer, sekunder maupun tersier. Penulisan tesis ini lebih menitik

    beratkan pada penelitian kepustakaan (library research) serta bahan-bahan

    lain yang dapat menunjang dalam kaitannya dengan pembahasan

    permasalahan

    1.8.5 Teknik Analisis

    Analisis dapat dirumuskan sebagai suatu proses penguraian secara

    sistematis dan konsisten terhadap gejala-gejala tertentu.59

    Analisis bahan

    hukum adalah bagaimana memanfaatkan sumber-sumber bahan hukum yang

    telah terkumpul untuk digunakan dalam memecahkan permasalahan dalam

    penelitian. Dasar dari penggunaan analisis secara normatif, dikarenakan

    bahan-bahan hukum dalam penelitian ini mengarah pada kajian-kajian yang

    59

    Soerjono Soekanto, 2004, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Jakarta, Rajawali, h. 137.

  • xlvii

    bersifat teoritis dalam bentuk asas-asas hukum, konsep-konsep hukum, serta

    kaidah-kaidah hukum.

    Bahan-bahan hukum yang telah berhasil dikumpulkan berkenaan dengan

    “KEBIJAKAN HUKUM TENTANG PIDANA PENGGANTI KERUGIAN

    NEGARA DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI”

    kemudian diolah dengan menggunakan :

    1. Teknik deskripsi dengan menguraikan (mengabstrasikan) apa adanya

    terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisiproposisi hukum dan

    non hukum yang dijumpai (fakta-fakta hukum). Teknik interpretasi

    atau penafsiran menggunakan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu

    hukum secara normatif terhadap proposisi-proposisi yang dijumpai

    untuk selanjutnya disistematisasi sesuai pembahasan atas pokok

    permasalahan tesis ini.

    2. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju

    atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah, oleh peneliti

    terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, baik

    yang tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum

    sekunder.

    3. Teknik sistematisasi adalah berupaya untuk mencari kaitan rumusan

    suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan

    perundang-undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat.

    Hasil dari ketiga teknik analisis tersebut kemudian dilakukan analisis

    menurut isinya (content analysis), serta diberikan argumentasi untuk

  • xlviii

    mendapat kesimpulan atas pokok permasalahan dalam tesis ini.60

    Sehingga analisa yang dilakukan dalam tulisan ini tidak menggunakan

    angka-angka untuk memberikan jawaban berkenaan dengan pokok

    permasalahan melainkan berupa fakta-fakta. Proses analisis dilakukan

    secara terus menerus hingga mendapatkan hasil penelitian yang valid

    sesuai dengan substansi permasalahan yang diteliti.

    60

    Sumandi Suryabrata, 2005, Metodologi Penelitian, CV. Rajawali, Jakarta, h. 85