36
BAB III PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI TIDAK MENGHAPUSKAN DIPIDANANYA PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI A. Latar belakang munculnya Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebenarnya sudah dimiliki oleh bangsa ini dari masa orde lama, yang terus mengalami penyempurnaan. Proses penyempurnaan tersebut didasari oleh pemikiran bahwa undang-undang yang ada masih dirasakan kurang efektif dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat dibawah ini : 1. Konsiderans Prt/Perpu/013/1958. 31 31 . Download internet, konsiderans Prt/perpu/013/1958, hari Kamis tanggal 24 Nopember 2009 jam 11.15 Wib 32

Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

BAB III

PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARADALAM TINDAK PIDANA KORUPSI TIDAK MENGHAPUSKAN

DIPIDANANYA PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Latar belakang munculnya Undang-undang No. 20 tahun 2001

tentang pemberantasan tindak pidana Korupsi

Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi

sebenarnya sudah dimiliki oleh bangsa ini dari masa orde lama, yang

terus mengalami penyempurnaan. Proses penyempurnaan tersebut

didasari oleh pemikiran bahwa undang-undang yang ada masih dirasakan

kurang efektif dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan

masyarakat. Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat dibawah ini :

1. Konsiderans Prt/Perpu/013/1958. 31

Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang menyangkut keuangan

negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal

kelonggaran-kelonggaran lainnya dari masyarakat, misalnya baik

koperasi, wakaf, maupun yang lainnya yang bersangkutan dengan

kedudukan si pembuat pidana, perlu diadakan tambahan berupa aturan

31. Download internet, konsiderans Prt/perpu/013/1958, hari Kamis tanggal 24 Nopember 2009 jam 11.15 Wib

32

Page 2: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

pidana, pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan yang dapat

memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut perbuatan korupsi.

Bahwa dalam hubungan pemberantasan perbuatan perbuatan

korupsi sebagaimana dimaksud di atas, perlu diadakan pula peraturan

yang memungkinkan penyitaan dan perampasan harta benda yang kurang

atau tidak terang siapa pemilik atau yang dicurigai cara memperolehnya.

2. Konsiderans Undang-undang nomor 24 PRp tahun 1960 tanggal 9

Juni 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak

pidana korupsi. 32

Bahwa untuk perkara-perkara pidana yang menyangkut keuangan

negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal

dan atau kelonggaran lainnya dari negara atau masyarakat, bank,

korporasi, wakaf dan lain-lain atau yang bersangkutan dengan kedudukan

si petindak pidana, perlu diadakan beberapa aturan pidana khusus dan

peraturan-peraturan khusus tentang pengusutan, penuntutan dan

pemeriksaan yang dapat memberantas perbuatan-perbuatan yang disebut

perbuatan itu yang disebut tindak pidana korupsi.

Maksud diadakannya peraturan Peperpu tersebut ialah supaya dalam

tempo singkat dapat dibongkar perbuatan-perbuatan korupsi yang dewasa

32. Download internet,,UU No. 24/PRp tahun 1960, hari Kamis tanggal 24 Nopember 2009 jam 11.30 Wib hal 1

33

Page 3: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

itu sangat meraja-lela sebagai akibat dari suasana seakan-akan

Pemerintah tidak mempunyai kewibawaan lagi. Oleh karena itu peraturan-

peraturan itu dimaksudkan untuk berlaku buat sementara waktu saja

(temporair).

Dan untuk memudahkan penuntut umum dan Hakim guna

mendapatkan bukti-bukti seperlunya, maka mengenai pengusutan,

penuntutan dan pemeriksaan diadakan ketentuan- ketentuan, yang

menyimpang dari acara pidana biasa, mengenai pemberian keterangan-

keterangan, pemeriksaan surat-surat dan pemeriksaan dirumah atau

kantor dan sebagainya, ketentuan-ketentuan mana dikuatkan dengan

sanksi seperlunya.

Acara pengusutan atau penuntutan yang menyimpang dari acara

biasa adalah sebagai berikut :

1. Tersangka dan setiap orang wajib memberi keterangan yang

dikehendaki oleh Jaksa; kewajiban ini tidak berlaku bagi anggota

yang sangat dekat [pasal 274 ayat (1) dan (3)], petugas agama dan

dokter-dokter; sedang bagi bank, kewajiban ini digantungkan kepada

syarat-syarat tertentu, sebagaimana dicantumkan dalam peraturan

mengenai Rahasia Bank (harus disebutkan nama tersangka, sebab-

sebab keterangan diminta, hubungan antara keterangan-keterangan

itu dengan perkara korupsinya dan izin dari Menteri Pertama). Tidak

34

Page 4: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

memenuhi kewajiban tersebut diancam dengan hukuman penjara

atau denda (periksa pasal 5 yo. pasal 18 dan 19).

2. Setiap orang, kecuali petugas agama dan dokter-dokter, yang dapat

menolaknya, wajib memperlihatkan surat-surat yang diminta oleh

Jaksa. Kewajiban bank dalam hal ini digunakan juga kepada syarat-

syarat tersebut dimuka ini (pasal 6).

3. Setiap waktu Jaksa dapat memasuki setiap tempat yang

dianggapnya perlu untuk tugas pengusutannya (pasal 8). Surat-surat

atau kiriman-kiriman yang melalui Jawatan Pos, Telegrap dan

Telepon, seberapa ada hubungannya dengan perkara pidana korupsi

yang bersangkutan, dapat dibuka atau diperiksa atau disita oleh

Jaksa (pasal 7).

Hakim diberi beberapa wewenang yang menyimpang dari acara

biasa, yakni : kewajiban terdakwa dan setiap orang, terkecuali

keluarganya yang terdekat (pasal 274 ayat (1) dan (3) H.I.R.). para

petugas agama dan dokter-dokter, untuk memberi keterangan kepada

Hakim yang memintanya; tidak memenuhi kewajiban ini diancam dengan

hukuman penjara atau denda (pasal 11, 12 dan pasal 18, 20 dan 21).

3. Konsiderans Undang-undang nomor 3 tahun 1971 tanggal 29 Maret

1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. 33

33. Download internet, UU No. 3 tahun 1971, hari Jumat tanggal 16 Oktober 2009 jam 09.00 Wib hal 1

35

Page 5: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

Bahwa perbuatan-perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan /

perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional,

Undang-undang nomor 24 Prp tahun 1960 tentang pengusutan,

penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi berhubung dengan

perkembangan masyarakat kurang mencukupi untuk dapat mencapai hasil

yang diharapkan dan oleh karenanya undang-undang tersebut perlu

diganti.

Dengan perumusan tindak pidana korupsi dalam Undang-undang

No.24 Prp. tahun 1960, banyak perbuatan-perbuatan yang merugikan

keuangan dan perekonomian negara serta pelaksanaan pembangunan

Nasional, yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan

dipidana, ternyata tidak dapat dipidana karena perumusan tersebut

mensyaratkan bagi tindak pidana korupsi, adanya suatu kejahatan atau

pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Dalam

kenyataan banyak perbuatan yang merugikan keuangan dan

perekonomian negara, tidak selamanya didahului oleh suatu kejahatan

atau pelanggaran. Perbuatan tersebut sesungguhnya bersifat koruptif

tidak dapat dipidana berdasarkan Undang-undang No. 24 Prp. tahun

1960, oleh karena tidak termasuk dalam perumusan tindak pidana korupsi

menurut Undang-undang tersebut. Untuk mencakup perbuatan semacam

itu rumusan tindak pidana korupsi dirumuskan sedemikian rupa, hingga

36

Page 6: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

meliputi perbuatan memperkaya diri-sendiri atau orang lain atau suatu

badan yang dilakukan secara "melawan hukum" yang secara langsung

atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian

negara, atau diketahui atau patut disangka bahwa perbuatan tersebut

merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dengan

mengemukakan sarana "melawan hukum", yang mengandung pengertian

formil maupun materil, maka dimaksudkan agar supaya lebih mudah

memperoleh pembuktian tentang perbuatan yang dapat dihukum, yaitu

"memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan", dari pada

memenuhi ketentuan untuk membuktikan lebih dahulu adanya kejahatan

atau pelanggaran seperti disyaratkan oleh Undang-undang No. 24 Prp.

tahun 1960.

Guna mempercepat dan mempermudah penyidikan, penuntutan dan

pemeriksaan di persidangan, ada beberapa ketentuan acara yang

menyimpang seperti :

1. Tersangka atau terdakwa wajib memberi keterangan tentang seluruh

harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak dan setiap

orang, serta badan yang diduga mempunyai hubungan dengan

perkara yang bersangkutan apabila diminta oleh penyidik atau Hakim

(Pasal 6 dan 18 ayat (1).

37

Page 7: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

2. Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk memberikan

keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan

tindak pidana korupsi. Ketentuan tersebut tidak mengurangi

kewajiban atau kesempatan Jaksa untuk memberikan pembuktian

tentang kesalahan terdakwa (Pasal 17).

3. a. Kecuali beberapa anggota keluarga dekat yang meliputi ayah,

ibu, nenek, kakak, saudara kandung, isteriatau suami, anak,

cucu dari tersangka atau terdakwa, setiap orang wajib memberi

keterangan sebagai saksi atau ahli kepada penyidik maupun

Hakim (Pasal 7 dan 20).

b. Kecuali petugas agama, maka mereka yang menurut ketentuan

hukum yang berlaku harus merahasiakan pengetahuannya

berhubung dengan martabat, jabatan, atau pekerjaannya, wajib

memberi keterangan sebagai saksi kepada penyidik maupun

Hakim (Pasal 8 dan 21).

c. Dalam pemeriksaan di muka pengadilan saksi dilarang

menyebut nama atau alamat atau hal-hal lain yang memberi

kemungkinan dapat diketahuinya pelapor (Pasal 10 dan 19).

4. Penyidik setiap waktu berwenang memasuki setiap tempat yang

dipandang perlu dalam hubungannya dengan tugas pemeriksaan

(Pasal 13).

38

Page 8: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

5. Jika terdakwa setelah dipanggil dengan semestinya tidak hadir dalam

sidang pengadilan tanpa memberi alasan yang sah, maka ia dapat

diperiksa dan diputus oleh Hakim di luar kehadirannya (Pasal 23).

6. Perkara korupsi harus didahulukan dari perkara-perkara yang lain

untuk diajukan ke Pengadilan guna diperiksa dan diselesaikan dalam

waktu yang sesingkat-singkatnya (Pasal 4).

7. Barang kepunyaan terhukum dapat dirampas dan di samping itu

terhukum dapat dihukum untuk membayar uang pengganti yang

jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan nilai harta benda yang

diperoleh dari korupsi (Pasal 34).

8. Apabila terdakwa tidak dapat memberi keterangan ( Pasal 18 ayat

(1)) yang memuaskan sidang pengadilan tentang sumber

kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk

memperkuat keterangan saksi lain, bahwa terdakwa telah melakukan

tindak pidana korupsi (Pasal 18).

9. Baik dalam pemeriksaan pendahuluan maupun dalam pemeriksaan

di muka pengadilan, saksi dilarang menyebut nama atau alamat atau

hal-hal lain yang memberi kemungkinan dapat diketahuinya pelapor

(Pasal 10 dan 19).

39

Page 9: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

4. Konsiderans undang-undang nomor 31 tahun 1999 tanggal 16

Agustus 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi butir c.34

Bahwa undang-undang nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan

tindak pidana korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan

kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan

undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang baru sehingga

diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana

korupsi.

Undang-undang ini dimaksudkan untuk menggantikan Undang-

undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi

perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mencegah

dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi

yang sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.

Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan

keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan

rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang ini

dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara

34. Ibidt hal. 1

40

Page 10: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

“melawan hukum” dalam pengertian formil dan materiil. Dengan

perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana

korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut

perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.

Dalam Undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara

tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat penting untuk

pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang dianut dalam Undang-

undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara,

pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap

dipidana. Perkembangan baru yang diatur dalam Undang-undang ini

adalah korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat

dikenakan sanksi. Hal ini tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 3

Tahun 1971.

Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah

dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat

ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya,

yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang

lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan

pidana. Selain itu Undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi

pelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana

tambahan berupa uang pengganti kerugian negara.

41

Page 11: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

Undang-undang ini juga memperluas pengertian Pegawai Negeri,

yang antara lain adalah orang yang menerima gaji atau upah dari

korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau

masyarakat. Yang dimaksud dengan fasilitas adalah perlakuan istimewa

yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang

tidak wajar, harga yang tidak wajar, pemberian izin yang eksklusif,

termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di samping itu Undang-undang ini juga menerapkan pembuktian

terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai

hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi

dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan

harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau

korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang

bersangkutan, dan tidak mengurangi kewenangan penuntut umum untuk

membuktikan dakwaannya.

Undang-undang ini juga memberi kesempatan yang seluas-luasnya

kepada masyarakat berperan serta untuk membantu upaya pencegahan

dan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan terhadap anggota

masyarakat yang berperan serta tersebut diberikan perlindungan hukum

dan penghargaan. Selain memberikan peran serta masyarakat tersebut,

42

Page 12: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

Undang-Undang ini juga mengamanatkan pembentukan Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang akan diatur dalam Undang-

undang tersendiri dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak

Undang-undang ini diundangkan. Keanggotaan Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur

masyarakat.

5. Konsiderans Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tanggal 21

Nopember 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31

tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi butir a

dan b. 35

Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas,

tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga telah merupakan

pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara

luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan

yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.

Bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari

keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap

hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil

dalam memberantas tindak pidana korups, perlu diadakan perubahan atas

35. Progresif books, Op.Cit, hal. 1

43

Page 13: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

Mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas

sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah

melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka

pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan

demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan

cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni

pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.

Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman

penafsiran, dan perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi,

perlu diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan perluasan

mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah yang berupa petunjuk,

dirumuskan bahwa mengenai "petunjuk" selain diperoleh dari keterangan

saksi, surat, dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain

yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan

secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi

tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data

interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili, dan

dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat

44

Page 14: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau

tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik

apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang

berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka,

atau perforasi yang memiliki makna. Ketentuan mengenai "pembuktian

terbalik" perlu ditambahkan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang

bersifat "premium remidium" dan sekaligus mengandung sifat prevensi

khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1

angka 2 atau terhadap penyelenggara negara sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 Undangundang Nomor 28 Tahun 1999 tentang

Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pembuktian

terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan

terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal

dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,

Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-

undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini.

Dalam Undang-undang ini diatur pula hak negara untuk mengajukan

gugatan perdata terhadap harta benda terpidana yang disembunyikan

45

Page 15: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan

memperoleh kekuatan hukum tetap. Harta benda yang disembunyikan

atau tersembunyi tersebut diduga atau patut diduga berasal dari tindak

pidana korupsi. Gugatan perdata dilakukan terhadap terpidana dan atau

ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut, negara dapat menunjuk

kuasanya untuk mewakili negara.

Selanjutnya dalam Undang-undang ini juga diatur ketentuan baru

mengenai maksimum pidana penjara dan pidana denda bagi tindak pidana

korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan rasa kekurangadilan

bagi pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil.

B. Perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara

dikategorikan sebagai tindak pidana Korupsi

Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak saja

telah menyatakan dengan tegas bahwa tindak pidana korupsi sebagai

delik formil, tetapi telah memperluas juga pengertian melawan hukum dari

delik korupsi dalam pengertian formil dan materiil serta memperluas

pengertian alat bukti petunjuk dari pasal 188 ayat 2 KUHAP, tidak hanya

46

Page 16: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa,

tetapi meliputi juga informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau

disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu

dan dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat

dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau

tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik

apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang

berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka

atau perforasi yang memiliki makna sebagaimana digariskan (pasal 26 A

UU No. 20 tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999).

Dengan pengertian delik formil, maka perbuatan tersebut dapat di

pidana, jika perbuatan tersebut telah memenuhi rumusan delik, tanpa

harus dibuktikan lagi akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan terdakwa.

Begitu juga terhadap pengembalian hasil korupsi, kepada negara, tidak

menghapus sifat melawan hukum perbuatan si pelaku tindak pidana

korupsi, karena itu pelaku tetap dapat diajukan ke pengadilan dan

dipidana.

Sedangkan pengertian sifat melawan hukum formil dan materiil

menurut penjelasan pasal 2 ayat 1 UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20

tahun 2001, walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan

perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap

47

Page 17: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

tercela, karena tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat atau

norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan

tersebut dapat dipidana.

Perluasan perumusan asas legalitas tersebut dasar pemikirannya

adalah dalam rangka untuk mewujudkan dan sekaligus menjamin asas

keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat,

dan antara kepastian hukum dengan keadilan dan kemanfaatan hukum.

Perluasan perumusan asas legalitas dengan pengertian diatas, maka

batas-batas tindak pidana juga diperluas, yang tidak hanya didasarkan

pada kriteria formal menurut undang-undang, tetapi juga kriteria materiil

menurut hukum yang hidup (hukum tidak tertulis). Alur pemikiran yang

demikian merupakan penegasan dianutnya pandangan sifat melawan

hukum materiil. Dengan penegasan tersebut, maka sifat melawan hukum

materiil merupakan unsur mutlak dari tindak pidana, di samping sifat

melawan hukum formil.

Harus diakui, bahwa upaya menjerat para pelaku korupsi bukan

merupakan hal yang mudah, karena diperlukan suatu ketelitian,

kecermatan dan keuletan dalam mengungkap fakta-fakta hukum yang

akan dirumuskan ke dalam unsur delik yang didakwakan. Menghadapi hal

yang demikian itu, maka diperlukan adanya suatu upaya yang strategis,

terutama dalam hal penuntutan terkait dengan sistem pembuktian yang

48

Page 18: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

dianut oleh hukum acara pidana kita berupa Negatief Wettelijk Stelsel,

sebagaimana yang telah ditentukan oleh pasal 183 KUHAP, tidak saja

harus mengacu kepada minimal dua alat bukti, tetapi Hakim harus

mendapat keyakinan terhadap alat bukti tersebut bahwasanya perbuatan

terdakwa telah memenuhi unsur-unsur delik yang didakwakan.

Permasalahan yang muncul pada tanggal 25 Juli 2006 yang lalu,

Mahkamah Konstitusi melalui putusan Yudicial Review No.

003/PUU-IV/2006, telah menyatakan, bahwa pengertian melawan hukum

dalam arti formil maupun dalam arti materiil, sebagaimana tercantum di

dalam Penjelasan pasal 2 ayat 1 UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20

tahun 2001, telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat lagi. Namun demikian putusan Yudicial Review tersebut

tidak serta merta menganulir putusan Mahkamah Agung yang selama ini

sudah menjadi yurisprudensi tetap. 36

Perspektif yang berbeda akan dikembangkan menyikapi putusan

yudicial review Mahkamah Konstitusi tersebut dan akan mempunyai

implikasi hukum terhadap upaya pemberantasan korupsi ke depan,

meskipun undang-undang tindak pidana korupsi mengatur juga jenis-jenis

lain dari delik korupsi yang tidak memuat unsur melawan hukum.

36. Download internet,,Putusan Mahkamah Konstitusi, No.003/PUU-IV/2006, hari Kamis tanggal 24 Nopember 2009 jam 13.00 Wib hal 63

49

Page 19: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

Suatu penyimpangan, penggunaan anggaran dan pengelolaan

keuangan di daerah, tersebut dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan

merugikan negara atau dapat merugikan negara dalam tindak pidana

korupsi, pertama perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan

hukum atau penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang

ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dan kedua para pihak

ada yang diperkaya dan diuntungkan, baik sipelaku sendiri, orang lain

atau korporasi (pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 31 th 1999 jo Undang-

Undang No. 20 th 2001).

Dengan demikian bahwa setiap perbuatan melawan hukum tertulis

(Normatif) yang mengakibatkan timbulnya kerugian keuangan negara atau

keuangan daerah, jelas merupakan perbuatan tindak pidana korupsi

sebagaimana di atur didalam pasal 2 dan pasal 3 UU No. 31 tahun 1999

jo UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

C. Pengembalian kerugian keuangan negara tidak serta merta

menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana Korupsi

Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian

keuangan Negara. Terhadap kerugian keuangan negara ini membuat

Undang-undang korupsi baik yang lama yaitu UU No. 3 tahun 1971

50

Page 20: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

maupun yang baru yaitu UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001,

menetapkan kebijakan bahwa kerugian keuangan negara itu harus

dikembalikan atau diganti oleh pelaku tindak pidana korupsi.

Menurut Undang-undang korupsi tersebut, pengembalian kerugian

keuangan negara dapat dilakukan melalui dua instrumen hukum, yaitu

instrumen pidana dan instrumen perdata. Instrumen pidana dilakukan oleh

penyidik dengan menyita harta benda milik pelaku dan selanjutnya oleh

penuntut umum dituntut agar dirampas oleh Hakim. Instrument perdata

dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN) atau instansi yang

dirugikan terhadap pelaku korupsi (tersangka, terdakwa, terpidana atau

ahli warisnya bila terpidana meninggal dunia). Instrumen pidana lebih

lazim dilakukan karena proses hukumnya lebih sederhana dan mudah.

Penggunaan instrumen perdata dalam perkara korupsi, menimbulkan

kasus perdata yang sepenuhnya tunduk kepada ketentuan hukum perdata

yang berlaku, baik materiil maupun formil.

Undang-undang Korupsi yang berlaku saat ini, yaitu UU No. 31 tahun

1999 jo UU No. 20 tahun 2001 dengan tegas menyatakan penggunaan

instrumen perdata, sebagaimana pada pasal 32, 33, 34, UU No. 31 tahun

1999 dan pasal 38 C UU No. 20 tahun 2001.

Kasus perdata yang timbul berhubungan dengan penggunaan

instrumen perdata tersebut adalah sebagai berikut:

51

Page 21: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

a. Bila penyidik menangani kasus yang secara nyata telah ada kerugian

keuangan negara, tetapi tidak terdapat cukup bukti untuk

membuktikan unsur-unsur pidana korupsi, maka penyidik

menghentikan penyidikan yang dilakukan.

Dalam hal ini penyidik menyerahkan berkas perkara hasil

penyidikannya kepada Jaksa Pengacara Negara atau kepada

instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap

bekas tersangka yang telah merugikan keuangan negara tersebut

(pasal 32 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999)

b. Hakim dapat menjatuhkan putusan bebas dalam perkara korupsi,

meskipun secara nyata telah ada kerugian negara, karena unsur-

unsur pidana korupsi tidak terpenuhi. Dalam hal ini penuntut umum

(PU) menyerahkan putusan Hakim kepada Jaksa Pengacara Negara

atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan

perdata terhadap bekas terdakwa yang telah merugikan keuangan

negara (pasal 32 ayat (2) UU no.31 tahun 1999)

c. Dalam penyidikan perkara korupsi ada kemungkinan tersangka

meninggal dunia, sedangkan secara nyata telah ada kerugian

keuangan negara. Penyidikan terpaksa dihentikan dan penyidik

menyerahkan berkas hasil penyidikannya kepada Jaksa Pengacara

Negara atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan

52

Page 22: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

gugatan perdata terhadap ahli waris tersangka (pasal 33 UU no.31

tahun 1999)

d. Bila terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di

sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian

keuangan negara, maka penuntut umum menyerahkan salinan

berkas berita acara sidang kepada Jaksa Pengacara Negara atau

kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata

terhadap ahli waris terdakwa (pasal 34 UU no.31 tahun 1999)

e. Ada kemungkinan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan

hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana

korupsi yang belum dikenakan perampasan, (sedangkan di sidang

pengadilan terdakwa tidak dapat membuktikan harta benda tersebut

diperoleh bukan karena korupsi), maka negara dapat melakukan

gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya (pasal 38

C UU no.20 tahun 2001). Dalam kasus ini instansi yang dirugikan

dapat memberi kuasa kepada Jaksa Pengacara Negara atau kuasa

hukumnya untuk mewakilinya.

Sebagaimana disinggung di atas, bahwa upaya pengembalian

kerugian keuangan negara menggunakan instrument perdata,

sepenuhnya tunduk pada disiplin hukum perdata materiil maupun formil,

meskipun berkaitan dengan tindak pidana korupsi.

53

Page 23: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

Berbeda dengan proses pidana yang menggunakan sistem

pembuktian materiil, maka proses perdata menganut sistem pembuktian

formil yang dalam prakteknya bisa lebih sulit daripada pembuktian materiil.

Dalam tindak pidana korupsi baik penuntut umum maupun terdakwa

sama-sama mempunyai beban pembuktian, yaitu terdakwa wajib

membuktikan bahwa harta benda miliknya diperoleh bukan karena

korupsi. Beban pembuktian pada terdakwa ini disebut “pembuktian terbalik

terbatas” (penjelasan pasal 37 UU no.31 tahun 1999)

Didalam penjelasan Pasal 32 Undang-undang No. 31 tahu 1999

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada

kerugian negara adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung

jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau

akuntan publik”

Pengertian “nyata” di sini didasarkan pada adanya kerugian negara

yang sudah dapat dihitung jumlahnya oleh instansi yang berwenang atau

akuntan publik. Jadi pengertian “nyata” disejajarkan atau diberi bobot

hukum sama dengan pengertian hukum “terbukti”.

Dalam sistem hukum kita, hanya Hakim dalam suatu persidangan

pengadilan mempunyai hak untuk menyatakan sesuatu terbukti atau tidak

terbukti. Perhitungan instansi yang berwenang atau akuntan publik

tersebut dalam sidang pengadilan tidak mengikat hakim. Hakim tidak akan

54

Page 24: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

serta merta menerima perhitungan tersebut sebagai perhitungan yang

benar, sah dan karenanya mengikat.

Kemudian Pasal 38 C UU No. 20 tahun 2001 menyatakan bahwa

terhadap “harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga

berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan

untuk negara maka negara dapat melakukan gugatan perdata”. Dengan

bekal “dugaan atau patut diduga” saja penggugat (JPN atau instansi yang

dirugikan) pasti akan gagal menggugat harta benda tergugat (terpidana).

Penggugat harus bisa membuktikan secara hukum bahwa harta benda

tergugat berasal dari tindak pidana korupsi; “dugaan atau patut diduga”

sama sekali tidak mempunyai kekuatan hukum dalam proses perdata.

Selanjutnya Tindak pidana korupsi dalam undang-undang ini

dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil, hal ini sangat

penting untuk pembuktian. Dengan rumusan formil yang dianut dalam

undang-undang ini berarti meskipun hasil korupsi telah dikembalikan

kepada negara tidak menghapus sifat melawan hukum, perbuatan dan

pelaku tindak pidana korupsi akan tetap diajukan ke Pengadilan dan tetap

dipidana sesuai dengan Pasal 4 yang berbunyi sebagai berikut :

“Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian

negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”.

55

Page 25: Bab III Pengembalian Kerugian Keuangan Negara TP Korupsi tdk hapuskan pidana

Penjelasan dari pasal tersebut adalah :

“Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi, melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara, tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tersebut hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan”.

56