Upload
christopher-whitley
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini, beberapa obat antikanker ataupun imunosupresan yang tersedia masih
banyak menimbulkan efek samping dibandingkan manfaat obat karena dibutuhkan dosis
tinggi untuk jangka pemberian yang cukup lama. Salah satu cara menurunkan efek samping
tersebut adalah dengan menginkorporasikan obat antikanker ataupun imunosupresan ke
dalam pembawa obat (drug carrier) yang telah banyak diteliti yaitu liposom 2-4. Liposom
yang mempunyai gambaran mirip dengan sel yang bermembran dua lapis
fosfolipid, .merupakan suatu pembawa obat. Liposom umumnya dibuat dari lesitin atau
fosfatidilkolin dari kedelai (Soya bean Phosphatidylcholine/SPC) atau dari kuning telur
(Eggyolk Phosphatidylcholine/EPC) 5. Selain fosfatidilkolin sebagai lipid utama, liposom
dapat juga dibuat kombinasi dengan lipid lain untuk meningkatkan stabilitas liposom,
misalnya kolesterol atau tetra eter lipid (TEL) 6-8. Tetra eter lipid merupakan lipid membran
bakteri Archaea yang akhir-akhir ini banyak diteliti sebagai lipid utama pada formulasi
liposom per oral, karena stabil pada pH 2. Bakteri Archaea yang sudah banyak diekstrak
untuk mendapatkan TEL adalah Thermoplasma acidophilum7 dan Sulfolobus
acidocaldarius8. Pada penelitian ini digunakan TEL dari Thermoplasma acidophilum.
Liposom kombinasi EPC-TEL 2,5 terbukti dapat mengikat obat lebih baik dibandingkan
liposom EPC atau liposom jenis lain9-10, namun belum pernah dilakukan uji stabilitas
liposom EPC-TEL 2,5 terhadap pengaruh fisik (perbedaan suhu), pengaruh bahan kimia yaitu
NaCl, MgCl2 dan CaCl2 pada berbagai pH dan pengaruh metabolisme di hepar pada uji
stabilitas biologik. Apabila liposom EPC-TEL 2,5 cukup stabil pada uji stabilitas fisik dan
kimia, tidak stabil pada uji stabilitas biologik, maka formulasi terbaru liposom tersebut dapat
dimanfaatkan untuk menginkorporasikan obat-obat, terutama obat yang hanya efektif pada
dosis tinggi ataupun obat-obat untuk jangka panjang, sehingga efek toksik obat dapat ditekan
serendah mungkin.
1
BAB II
ISI
2.1 Definisi
Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan respon imun
seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit autoimun dan mencegah
hemolisis rhesus dan neonatus. Sebagain dari kelompok ini bersifat sitotokis dan digunakan
sebagai antikanker. Immunosupresan merupakan zat-zat yang justru menekan aktivitas
sistem imun dengan jalan interaksi di berbagai titik dari sistem tersebut. Titik kerjanya
dalam proses-imun dapat berupa penghambatan transkripsi dari cytokin, sehingga mata
rantai penting dalam respon-imun diperlemah. Khususnya IL-2 adalah esensial bagi
perbanyakan dan diferensial limfosit, yang dapat dihambat pula oleh efek sitostatis
langsung. Lagi pula T-cells bisa diinaktifkan atau dimusnahkan dengan pembentukan
antibodies terhadap limfosit.
2.2 Deskripsi
Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan respon
imun seperti pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit autoimun dan mencegah
hemolisis rhesus dan neonatus. Sebagain dari kelompok ini bersifat sitotokis dan digunakan
sebagai antikanker.
Respon imun
Pada mahkluk tingkat tinggi seperti hewan vertebrata dan manusia, terdapat dua sistem
pertahanan (imunitas), yaitu imunitas nonsepesifik (innate immunity) dan imunitas
spesifik ( adaptive imunity).
1. Imunitas nonspesifik
Merupakan mekanisme pertahanan terdepan yang meliputi komponen fisik berupa
keutuhan kulit dan mukosa; komponen biokimiawi seperti asam lambung, lisozim,
komploment ; dan komponen seluler nonspesifik seperti netrofil dan makrofag.
Netrofil dan makrofag melakukan fagositosis terhadap benda asing dan memproduksi
berbagai mediator untuk menarik sel-sel inflamasi lain di daerah infeksi. Selanjutnya
benda asing akan dihancurkan dengan mekanisme inflamasi.
2
2. Imunitas spesifik
Memiliki karakterisasi khusus antara lain kemampuannya untuk bereaksi secara
spesifik dengan antigen tertentu; kemampuan membedakan antigen asing dengan
antigen sendiri (nonself terhadap self) ; dan kemampuan untuk bereaksi lebih cepat
dan lebih efesien terhadap antigen yang sudah dikenal sebelumnya. Respon imun
spesifik ini terdiri dari dua sistem imun , yaitu imunitas seluler dan imunitas humoral.
Imunitas seluer melibatkan sel limposit T, sedangkan imunitas humoral melibatkan
limposit B dan sel plasma yang berfungsi memproduksi antibodi.
Aktivitas respon imun spesifik
Aktivitas sistem imun spesifik memerlukan partisipasi kelompok sel yang disebut sebagai
antigen presenting sel
Indikasi imunosupresan
Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu, transplanatasi organ, penyakit
autoimun, dan pencegahan hemolisis Rhesus pada neonatus.
1. transplantasi organ
2. penyakit autoimun
3. pencegahan hemolisis Rhesus pada neonates
Prinsip umum terapi imunosupresan
Prinsip umum penggunaan imunosupresan untuk mencapai hasil terapi yang optimal
adalah sebagai berikut:
1. Respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan dibandingkan dengan
respon imun sekunder. Tahap awal respon primer mencakup: pengolahan antigen oleh
APC, sintesis limfokin, proliferasi dan diferensiasi sel-sel imun. Tahap ini merupakan
yang paling sensitif terhadap obat imunosupresan. Sebaliknya, begitu terbentuk sel
memori, maka efektifitas obat imunosupresan akan jauh berkurang.
2. Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap antigen yang berbeda.
Dosis yang dibutuhkan untuk menekan respon imun terhadap suatu antigen berbeda
dengan dosis untuk antigen lain.
3
3. Penghambatan respon imun lebih berhasil bila obat imunosupresan diberikan sebelum
paparan terhadap antigen. Sayangnya, hampir semua penyakit autoimun baru bisa
dikenal setelah autoimuitas berkembang, sehingga relatif sulit di atasi.
Pilahan Obat Imunosupresan
Secara praktis, di klinik penggunaan obat imunosupresan berdasarkan waktu
pemberiannya. Untuk itu, respon imun dibagi dalam dua fase:
1. Fase pertama adalah fase induksi, yang meliput
Fase pengolahan antigen oleh makrofag, dan pengenalan antigen oleh limfosit
imunokompeten
Fase proliferasi dan diferensiasi sel B dan sel T
2. Fase kedua adalah fase produksi, yaitu fase sintesis aktif antibodi dan limfokin.
Berdasarkan respon imun, imunosupresan dibagi menjadi tiga kelas:
Kelas I: harus diberikan sebelum fase induksi yatu sebelum terjadi perangsangan
oleh antigen. Kerjanya merusak limfosit imunokompeten. Jika diberikan setelah
terjadi perangsangan oleh antigen, biasanya tidak diperoleh efek imunosupresif
sehingga respon imun dapat berlanjut terus.
Kelas II: harus diberikan dalam fase induksi, biasanya satu atau dua hari setelah
perangsangan oleh antigen berlangsung. Obat golongan ini bekerja mengambat
proses diferensiasi dan proliferasi sel imunokompeten, misalnya antimetabolit.
Kelas III: memiliki sifat dari kelas I dan II. Jadi golongan ini dapat menghasilkan
imunosupresi bila diberikan sebelum maupun sesudah adanya perangsangan oleh
Antigen.
2.3 Obat Imunosupresan
1. Azatioprin
Azatioprin sudah digunakan selama 20 tahun untuk menekan penolakan cangkok
organ ginjal dan sudah merupakan prosedur yang diterima. Juga digunakan untuk
pengobatan artritis reumatoid berat yang refrakter.
Toksisitas terhadap darah seperti leukopenia dan trombositopenia harus dimonitor
dengan baik sebagai petunjuk penentuan dosis azatioprin.
4
Mekanisme kerja.
Azotioprin adalah antimetabolit golongan purin yangMerupakan prekursor 6-
merkaptopurin. Azotioprin dalam tubuh diubah menjadi 6-merkaptopurin(6-MP)
yang merupakan metabolit aktif dan bekerjaMenghambat sintesis de novo purin.
Interaksi
Penggunaan bersama allopurinol menyebabkan hambatanXantin oksidase yang juga
merupakan enzim pentingDalam metabolisme 6-merkaptopurin,sehingga
kombinasiIni meningkatkan toksisitas azotioprin dan merkaptopurin.
Penggunaan klinis
Azotioprin digunakan antara lain untuk mencegahPenolakan transplantasi,lupus
nefritis.GNA, AR,Penyakit Crohn,dan sklerosis multipel.Obat ini kadang2 digunakan
untuk ITP dan AIHA yangRefrakter terhadap steroid.Untuk profilaksis digunakan dosis
3-10 mg/KgBB per hari1 atau 2 hari sebelum transplantasi.Dosis pemeliharaan 1-3
mg/KgBB per hari.Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 50 mg dan iv100mg/vial
Efek Samping
Menghambat proliferasi sel-sel yang cepat tumbuh sepertiMukosa usus,dan sumsum
tulang dengan akibatleukopeni dan trombositopeni.Ruam kulit,mual.mutah dan
diare.Dapat terjadi peningkatan enzim transaminase,kolestasis. Efek samping lain
dapat terjadi peningkatan risikoInfeksi dan efek mutagenisitas dan karsinogenisitas
2. Metotreksat (MTX)
Digunakan sebagai obat tunggal atau kombinasi dengan siklosporin dalam mencegah
penolakan cangkok sumsum tulang. MTX juga berguna untuk penyakit autoimun dan
peradangan tertentu. Saat ini disetujui untuk digunakan dalam pengobatan artritis
reumatoid yang aktif dan berat pada orang dewasa dan pada psoriasis yang sudah
refrakter terhadap obat lain.
Nama : 4-amino-4-deoxy–10-methylpteoryl-L-glutamic acid.
Struktur kimia : C20H22N8O5
Sifat Fisikokimia : Serbuk kristal berwarna kuning atau oranye, higroskopis. Praktis
tidak larut dalam air, alkohol, diklorometan, terurai dalam larutan asam mineral, basa
hidroksida dan karbonat.
5
Golongan/Kelas Terapi
Antineoplastik, Imunosupresan dan obat utnuk terapi.
Nama dagang
Emthexate-Combiphar/Pharmachemie,Methotrexat-Ebewe, Methotrexate-Kalbe.
Indikasi :
Pengobatan untuk neoplasma trofoblatik, leukemia, psoriasis, reumatoid
artritis, termasuk terapi poliartikular juvenile reumatoid artritis (JDR); karsinoma
payudara, karsinoma leher dan karsinoma kepala,karsinoma paru, osteosarkoma,
sarcoma jaringan lunak, karsinoma saluran gastrointestinal, karsinoma esofagus,
karsinoma testes, karsinoma limfoma.
Dosis, cara pemberian dan lama pemberian :
Dosis 100 – 500 mg/m² membutuhkan leucovorin rescue, > 500 mg/m² harus
menggunakan leucovorin rescue baik secara iv, im, maupun oral. Leucovorin 10
mg/m² setiap 6 jam untuk 6-8 dosis dimulai 24 jam setelah pemberian metotreksat.
Pemberian leucovorin dilanjutkan sampai kadar metotreksat dalam darah sebesar <
0.1 micromolar. Jika kadar metotreksat setelah 48 jam > 1 mikromolar atau setelah
72 jam > 0.2 micromolar,berikan leucovorin 100 mg/m² setiap 6 jam sampai kadar
metotreksat sebesar < 0.1 micromolar.
Farmakologi :
Onset kerja : Antirematik: 3-6 minggu; tambahan perbaikan bisa dilanjutkan lebih
lama dari 12 minggu.
Absorpsi : Oral: cepat : diserap baik pada dosis rendah (<30 mg/m2); tidak
lengkap setelah dosis tinggi ; I.M.: Lengkap
Distribusi : Penetrasi lambat sampai cairan fase 3 (misal pleural efusi,
ascites), eksis lambat dari kompartemen ini (lebih lambat dari plasma), melewati
plasenta, jumlah sedikit masuk kelenjar susu, konsentrasi berangsur-angsur
dikeluarkan di ginjal dan hati.
Ikatan protein: 50%
Metabolisme: <10%: Degradasi dengan flora intestinal pada DAMPA dengan
karboksipeptida, oksidasi aldehid konversi metotreksat menjadi 7-OH metotreksat di
6
hati; poliglutamat diproduksi secara mempunyai kekuatan samadengan metotreksat,
produksinya tergantung dosis, durasi dan lambat dieliminasi oleh sel.
T ½ eliminasi: Dosis rendah: 3-10 jam; I.M.: 30-60 menit.
Ekskresi : Urin (44%-100%); feses (jumlah kecil)
Stabilitas penyimpanan :
Tablet dan vial disimpan pada suhu kamar (15-25°C), hindari cahaya matahari
langsung.
Kontra Indikasi :
Hipersensitifitas dari metotreksat dan komponan lain dari sediaan; kerusakan
hebat ginjal dan hati,pasien yang mengalami supresi sum-sum tulang dengan
psoriasis atau reumatoid artritits,penyakit alkoholik hati,AIDS,darah
diskariasis,kehamilan,menyusui.
Efek samping :
Efek samping beragam sesuai rute pemberian dan dosis.
1. Hematologi dan/atau toksisitas gastrointestinal : sering terjadi pada penggunaan
umum dari dosis umum metotreksat; reaksi ini lebih sedikit terjadi ketika
digunakan pada dosis topikal untuk reumatoid artritis.
2. SSP : (dengan pemberian intratekal atau terapi dosis tinggi): Arachnoides:
Manifestasi reaksi akut sebagai sakit kepala hebat, rigidity nuchal, muntah dan
demam, dapat alleviated dengan pengurangan dosis.
3. Subakut toksisitas: 10% pasien diobat dengan 12-15 mg/m2 dari intratekal
metotreksat bisa membuat ini dalam minggu kedua atau ketiga dari terapi; konsis
dari paralisis motor dari ekstremites,palsy nerve kranial, seizure, atau koma.Hal
ini juga terlihat pada pediatrik yang menerima dosis tinggi IV metotreksat.
4. Demyelinating enselopati: telihat dalam bulan atau tahun setelah menerima
metotreksat; biasanya diasosiasikan dengan iradiasi kranial atau kemoterapi
sistemik yang lain.
5. Dermatologi: Kulit menjadi kemerahan.Endokrin dan metabolik:
Hipoerurikemia,detektif oogenesis, atau spermatogenesis.
7
6. GI: Ulserativ stomatitis, glossitis, gingivitis, mual, muntah, diare, anoreksia,
perforasi intestinal, mukositis (tergantung dosis; terlihat pada 3-7 hari setelah
terapi, terhenti setelah 2 minggu)
7. Hematologi: Leukopenia, trombositopenia.Ginjal: Gagal ginjal,
azotemia,nefropati.Pernafasan: Faringitis. 1%-10%
8. Kardiovaskular: Vaskulitis.SSP, pusing, malaise, enselopati, seizure, demam,
chills.
9. Myelosupresif : Terutama faktor batas-dosis (bersama dengan mukositis) dari
metotreksat, terjadi sekitar 5-7 hari setelah terapi, dan harus dihentikan selama 2
minggu.
10. WBC : Ringan, Platelet: Sedang, Onset: 7 hari, Nadir: 10 hari, Recovery: 21 hari
11. Hepatik : Sirosis dan fibrosis portal pernah diasosiasikan dengan terapi kronik
metotreksat, evaliasi akut dari enzym liver adalah biasa terjadi setelah dosis tinggi
dan biasanya resolved dalam 1 hari.Neuromuskular dan skeletal:
Arthalgia.Okular: Pandanga
12. Renal : Disfungsi ginjal. Manifestasi karena abrupt rise pada serum kreatinin dan
BUN dan penurunan output urin, biasa terjadi pada dosis tinggi dan berhubungan
dengan presipitasi dari obat.
13. Respirator (Penumositis) : Berhubungan dengan demam, batuk, dan interstitial
pulmonari infitrates; pengobatan dengan metotreksat selama reaksi akut;
interstitial pneumisitis pernah dilaporkan terjadi dengan insiden dari 1% pasien
dengan RA (dosis 7.5-15 mg/minggu) <1% (terbatas sampai penting untuk
penyelamatan hidup): Neurologi akut sindrom (pada dosis tinggi- simptom
termasuk kebingungan, hemiparesis, kebutaan transisi,dan koma); anafilaksis
alveolitis; disfungsi kognitif (pernah dilaporkan pada dosis rendah),penurunan
resistensi infeksi,eritema multiforma, kegagalan hepatik, leukoenselopati
(terutama mengikuti irasiasi spinal atau pengulangan terapi dosis tinggi),disorder
limpoproliferatif, osteonekrosis dan nekrosis jaringan lunak (dengan radioterapi),
perikarditis, erosions plaque (Psoriasis), seizure (lebih sering pada pasien dengan
ALL),sindrom Stevens – Johnson, tromboembolisme.
8
Interaksi :
1. Dengan Obat lain
Efek meningkatkan/toksisitas: Pengobatan bersama dengan NSAID telah
menghasilkan supresi sum-sum tulang berat, anemia aplastik dan toksisitas pada
saluran gastrointestinal. NSAID tidak boleh digunakan selama menggunakan
metotreksat dosis sedang atau tinggi karena dapat meningkatkan level
metotreksat dalam darah (dapat menaikkan toksisitas):
NSAID digunakan selama pengobatan dari reumatoid artritis tidak
pernah amati, tapi kelanjutan dari regimen terdahulu pernah diikuti pada
beberapa keadaan, dengan peringatan monitoring. Salisilat bisa meningkatkan
level metotreksat, bagaimanapun penggunaan salisilat untuk profilaksis dari
kejadian kardiovaskular tidak mendapat perhatian.
2. Dengan Makanan
level metotreksat bisa menurun jika bersama dengan makanan. Makanan
dengan banyak susu dapat menurunkan absorpsi metotreksat. Folat dapat
menurunkan respons obat. Hindari echinacea (mempunyai sifat sebagai
imunostimulan).
Pengaruh :
1. Kehamilan
Faktor resiko X
2. Ibu menyusui
Metotreksat didistribusikan ke dalam air susu, dikontraindikasikan untuk ibu
menyusui.
Bentuk Sediaan : Tablet 2.5 ml, Vial 5 mg/2ml, Vial 50 mg/2 ml, Ampul 5 mg/ml,
Vial 50mg/5ml
3. Siklofosfamid
Secara umum siklofosfamid mengurangi respon imun humoral dan meningkatkan
respon imun selular. Selain pada bedah cangkok, obat ini juga digunakan pada artritis
reumatoid, sindrom nefrotik dan granulomatosis Wegener.
9
4. Kortikosteroid
Yang digunakan sebagai imunosupresan adalah golongan glukokortikoid yaitu
prednison dan prednisolon. Kortikosteroid (glukokortikoid) digunakan sebagai
obatTunggal atau dalam kombinasi dengan imunosupresanLain untuk mencegah reaksi
penolakan transplantasi danUntuk mengatasi penyakit aoutoimun.
Mekanisme Kerja
Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah limfosit secaraCepat, terutama bila diberikan
dalam dosis besar.Studi terbaru menunjukkan bahwa kortikosteroid
menghambatProliferasi sel limfosit T,imunitas seluler.
Penggunaan Klinik
Kortikosteroid biasanya digunakan bersama imunosupresanLain dalam mencegah
penolakan transplantasi.Untuk ini diperlukan dosis besar untuk beberapa
hari.Kortikosteroid juga digunakan untuk mengurangi reaksi Alergi yang bisa timbul
pada pemberian antibodi monoklonal Atau antibodi antilimfosit.juga digunakan
untuk berbagai Penyakit autoimun
Toksisitas
Penggunaan steroid dalam jangka panjang seringMenimbulkan berbagai efek
samping,seperti meningkatnyaRisiko infeksi
5. Siklosporin (Cyclosporin A)
Berasal dari jamur Tolypocladium inflatum gams. Siklosporin punya efek
imunosupresan karena mempunyai kemampuan yang selektif dalam menghambat sel T.
Siklosporin digunakan terutama dalam kombinasi denga prednison untuk
mempertahankan ginjal, hati dan cangkok jantung pada transplantasi.
Siklospurin (sandimun).Sediaan iv terdapat dalam bentuk larutan dalamEthanol-
polyxyethylated castor oil dengan kadar 50 mg/ml.Dan sediaan oral berupa kapsul lunak
25-100 mg dan larutan100 mg/mlPemberian peroral kadar puncak tercapai setelah 1,3-4
jam. Adanya makanan berlemak sangat mengurangi absorbsiSiklospurin kapsul
lunak.Waktu paruh kurang lebih 6 jam.Ekskresi terutama melalui empedu dan
feces,hanya 6%Yang melalui urin
10
6. Rho (D) imunoglobulin
Antibodi ini merupakan bentuk spesifik dalam pengobatan imunologi untuk ibu
denga Rho (D) negatif yang terpapar darah Rho (D) positif pada perdarahan
karenaabortus, amniosintesis, trauma abdomen atau kelahiran biasa dari janin.
7. Tacrolimus (prograf)
Senyawa makrolida ini diekstraksi dari jamur streptomyces tsukubaensis (1993).
Khasiat dan mekanisme immunosupressivenya sama dengan sikolosporin, tetapi ca lebih
kuat 50x dalam hal pencegahan sintesa IL-2 yang mutlak perlu untuk proliferasi sel –T.
Juga bersifat sangat lipofil dan sama efektifnya dengan siklosporin pada transplantasi
hati, jantung, paru-paru, dan ginjal. Terutama digunakan bersama kortikosteroida. Lebih
sering menimbulkan efek samping berupa toksisitas bagi ginjal dan saraf.
Dosis : infuse i.v. 0,05-0,1 mg /kg/hari, 6 jam setelah transplantasi selama 2-3 hari, lalu
dilanjutkan oral 0,15-0,3 mg/kg/hari dalam 2 dosis.
8. Mycofenolat-mofetil (CellCept)
Obat terbaru ini (1996) adalah prodrug dengan khasiat menekan perbenyakan dari
khusus limfosit melalui inhibisi enzim dehidrogenasi yang diperlukan untuk sintese purin
(DNA/RNA). Ternyata sangat efektif untuk melawan penolakan akut setelah transplantasi
ginjal. Dibandingkan dengan obat-obat lainya , yaitu azatioprin dan siklosporin ( dan
prednisone), persentase penolakan dikurangi sampai 50%. Lagi pula efek sampingnya
lebih sedikit. Mungkin berdaya pula untuk menghambat penolakan menahun (jangka
panjang) yang smpai kini merupakan maslah besar.
Resorpsinya dari usus baik, dengan BA 90%. Dalam hati segera diubah menjadi
asam mycofenolat aktif . Ekskresinya berlangsung melaluiurin sebagai glukuronidanya
(inaktif), sesudah mengalami resirkulasi enterohepatis. Plasma – t1/2 mycofenolat adalah
ca 16 jam.
Dosis : dalam waktu 72 jam setelah transplantasi 2 dd 1ga.c dengan minyak air.
9. Talidomida (synovir)
Derivat-piperidin ini (1957) adalah obat tidur dengan efek teratogen sangat kuat
(peristiwa softenon, 1962, lihat edisi empat), yang berdasarkan khasiat anti-
angiogenesisnya. Juga berdaya imunosupresif (anti-TNF). Dan antiradang. Setelah
11
dilarang peredaranya selama lebih dari 25 tahun, sejak awal tahun 1990-an talidomida
mulai digunakan lagi antara lain untuk menekan reaksi lepra dan meringankan gejala
AIDS seperti (aphtae) dimulut , kerongkongan, dan kemaluan, serta diare dan kehilangan
bobot serius. Di AS penggunaanya pada lepra disahkan kembali sejak akhir tahun 1997
dengan syarat- syarat ketat. Dewasa ini efektivitasnya sedang diselidiki secara klinis
untuk berbagai penyakit auto-imun.
10. Sulfalazin (sulcolon)
Sulfalazin adalah persenyawaan sulfapiridin dengan 5- ASA yang bersifat
antiradang dengan jalan blokade siklo-oksigenase serta lipoksigenase dan dengan
demikian mencegah sintesis prostaglandin dan leukotrien . Sulfalazin mempengaruhi
fungsi limfosit, mungkin lewat cytokine, juga berdaya antioksidans ( ‘ Menangkap’
radikal bebas O2). Zat ini digunakan khusus pada penyakit usus beradang kronis (crohn,
colitis) dan pada rema.
2.4 Contoh Penyakit
Salah satu penyakit yang dapat diobati dengan imunosupresan adalah Penyakit Lupus.
a.Pengertian
Penyakit lupus adalah penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun, artinya
tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh sendiri,
seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya
ditujukan untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.
Lupus adalah penyakit yang disebabkan sistem imun menyerang sel-sel jaringan organ
tubuh yang sehat. sistem imun yang terbentuk berlebihan. Kelainan ini dikenal dengan
autoimunitas. pada kasus satu penyakit ini bisa membuat kulit seperti ruam merah yang
rasanya terbakar (lupus DLE). pada kasus lain ketika sistem imun yang berlebihan itu
menyerang persendian dapat menyebabkan kelumpuhan (lupus SLE).
SLE (Sistemics lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang
sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan
atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoimun
dalam tubuh.Pada penderita lupus, sistem imunitasnya tidak mampu membedakan antara
12
substansi asing dan sel-sel dan jaringan tubuh. Antibodi yang dihasilkan justru melawan
sel-sel yang seharusnya dibutuhkan oleh tubuh.
b. Etiologi
Sehingga kini faktor yang merangsangkan sistem pertahanan diri untuk menjadi
tidak normal belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman virus, sinaran
ultraviolet, dan obat-obatan tertentu memainkan peranan.Penyakit Sistemik Lupus
Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum wanita. Ini menunjukkan
bahwa hormon yang terdapat pada wanita mempunyai peranan besar, walau
bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita
saat ini masih dalam kajian.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) bukanlah suatu penyakit keturunan.
Walau bagaimanapun, mewarisi gabungan gen tertentu meningkatkan lagi risiko
seseorang itu mengidap penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE).
c. Klasifikasi
Ada 3 jenis penyakit Lupus yang dikenal yaitu:
1) Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit Lupus
yang menyerang kulit.
2) Systemics Lupus, penyakit Lupus yang menyerang kebanyakan system di dalam
tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati, otak, dan system saraf.
Selanjutnya kita singkat dengan SLE (Systemics Lupus Erythematosus).
3) Drug-Induced, penyakit Lupus yang timbul setelah penggunaan obat tertentu. Gejala-
gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan.Pengaruh
kehamilan terhadap SLE, Eksaserbasi terjadi karena hormone estrogen meningkat
selama kehamilan.
d. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan
penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari,
luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
13
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti
kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-
obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoimun diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-
supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi
tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
e. Manifestasi Klinis
1. Sistem Muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika
bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem integument
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi.Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum
durum.
3. Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan
purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau
sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk
penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
14
f. Pemeriksaan lupus :
Untuk menguji apakah seseorang menderita lupus, maka dilakukan sebuah
pengujian dengan menggunakan tes darah bernama Anti Nuclear Antibody (ANA). Tes
ini akan mengidentifikasi autoantibodi (antibodi perusak) yang memakan sel-sel berguna
di dalam tubuh. Hasil positip tes ini belum bisa dikatakan seseorang menderita lupus.
Dibutuhkan data-data lain seperti gejala-gejala, catatan fisik pasien, dan tes lengkap
laboratorium hingga dipastikan si pasien apakah menderita lupus.
g. Gejala-gejala awal lupus :
1. Rasa ngilu yang luar biasa di bagian persendian
2. Penderita mengalami kelelahan yang ekstrim
3. Muncul semacam bekas luka di sekujur tubuh
4. Pipi dan hidung penderita tampak menyerupai kupu-kupu (butterfly effects)
5. Mengalami anemia yang amat parah
6. Saat bernapas, penderita mengalami tekanan yang berat
7. Timbul permasalahan di sekitar hidung dan mulut
8. Sensitif terhadap cahaya, sinar matahari maupun kilatan foto
h. Perawatan bagi penderita lupus :
Salah satu perawatan yang dilakukan untuk penderita lupus adalah pengobatan
medis. Ada beberapa jenis obat yang bisa mengurangi gejala lupus, akan tetapi,
penggunaannya akan menimbulkan efek samping. Gejala dan efek samping yang dialami
oleh masing-masing pasien sangan variatif dan tak bisa diprediksi. Jadi dibutuhkan
pendampingan oleh petugas kesehatan dalam kasus ini.
i. Obat-obatan yang diberikan bagi penderita lupus:
1. Steroid
2. Immunosuppressant
3. Antimalarial (Plaquenil/Hydroxychloroquine)
4. Non-Steroidal anti-inflammatories
j. Lupus bisa dicegah dengan:
1. Mengurangi kontak dengan sinar matahari
2. Menerapkan hidup sehat dan menghindarkan diri dari stres
15
3. Tidak merokok
4. Berolahraga secara teratur
5. Melakukan diet nutrisi
k. Fakta-fakta tentang penyakit lupus
1. Lupus adalah penyakit autoimunitas, penyakit rheumatic.
2. Pada penderita lupus, sistem imunitas tubuh menyerang sel dan jaringan miliknya
sendiri.
3. Ada lima jenis penyakit lupus dan masing-masing memiliki karakteristik yang khas
dan membutuhkan penanganan yang berbeda pula
4. Sembilan puluh persen penderita lupus adalah perempuan
5. Di Amerika Serikat terdapat 11 kampus yang mengkhususkan penanganan terhadap
penyakit lupus
6. Sampai dengan sekarang, sangatlah sulit untuk mendiagnosis penyakit lupus
7. Penanganan lupus sangat tergantung dari gejala yang timbul
8. Sebanyak 1,5 juta penduduk dunia menderita lupus
9. Ras tertentu memiliki risiko terkena lupus lebih besar dibandingkan ras lain; Afro-
Amerika, Hispanik, Asia, dan Penduduk asli Amerika.
10. Mayoritas penderita lupus, setelah diobati, akan tumbuh secara normal
11. Penanganan lupus dilakukan oleh rheumatologist.
16
KESIMPULAN
Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan respon imun seperti
pencegah penolakan transpalansi, mengatasi penyakit autoimun dan mencegah hemolisis rhesus
dan neonatus. Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama yaitu, transplanatasi organ,
penyakit autoimun, dan pencegahan hemolisis Rhesus pada neonatus.
Prinsip umum penggunaan imunosupresan untukmencapai hasil terapi yang optimal adalah
sebagai berikut:
1. Respon imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan dibandingkan dengan respon
imun sekunder.
2. Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap antigen yang berbeda.
3. Penghambatan respon imun lebih berhasil bila obat imunosupresan diberikan sebelum
paparan terhadap antigen.
Beberapa contoh obat imunosupresan antara lain Azatioprin , Metotreksat (MTX) ,
Siklofosfamid , Kortikosteroid , Siklosporin (Cyclosporin A) , Rho (D) imunoglobulin,
Tacrolimus (prograf) , Mycofenolat-mofetil (CellCept) , Talidomida (synovir), Sulfalazin
(sulcolon) .
17
DAFTAR PUSTAKA
http://bertousman.blogspot.com/2010/05/immunomodulator-imunosupresan.html
http://gwanakbstikes.blogspot.com/2010/04/obat-imunosupresan.html
http://bebekbetina.wordpress.com/2010/01/28/imunosupresan/
http://www.scribd.com/doc/42049925/Obat-Imunosupresan
18