Upload
dewifatimah2342
View
2.118
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
I. PENDAHULUAN
Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang kedokteran/biomedis telah
berjalan puluhan tahun yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan pembangunan keselamatan manusia
di dunia adalah adanya Deklarasi Helsinki,yang dihasilkan oleh Sidang Kesehatan Dunia ke 16 di
Helsinki, Finlandia, pada tahun 1964 (Sulaksono, M.E., 1987).
Deklarasi tersebut merupakan rekomendasi kepada penelitian kedokteran, yaitu tentang segi
etik penelitian yang melibatkan manusia sebagai obyek penelitian. Disebutkan, perlunya dilakukan
percobaan pada hewan sebelum percobaan di bidang biomedis maupun riset lainnya dilakukan atau
diperlakukan terhadap manusia
(Sulaksono, M.E., 1987).
Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan
tertentu, antara lain persyaratan genetis/ keturunan dan lingkungan yang memadai dalam
pengelolaannya, di samping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan
reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia (Sulaksono, M.E., 1987).
Farmakologi merupakan sifat dari mekanisme kerja obat pada sistem tubuh termasuk
menentukan toksisitasnya. Bentuk sediaan dan cara pemberian merupakan penentu dalam
memaksimalkan proses absorbsi obat oleh tubuh karena keduanya sangat menentukan efek biologis
suatu obat seperti absorpsi, kecepatan absorpsi dan bioavailabilitas (total obat yang dapat diserap),
cepat atau lambatnya obat mulai bekerja (onset of action), lamanya obat bekerja (duration of
action), intensitas kerja obat, respons farmakologik yang dicapai serta dosis yang tepat untuk
memberikan respons tertentu (Anonim I., 2008).
Obat sebaiknya dapat mencapai reseptor kerja yang diinginkan setelah diberikan melalui rute
tertentu yang nyaman dan aman seperti suatu obat yang memungkinan diberikan secara intravena
dan diedarkan di dalam darah langsung dengan harapan dapat menimbulkan efek yang relatif lebih
cepat dan bermanfaat. Jalur pemakaian obat yang meliputi secara oral, rektal, dan parenteral serta
yang lainnya harus ditentukan untuk mencapai efek yang maksimal (Anonim I., 2008).
II. TUJUAN PERCOBAAN
- Untuk mengetahui bagaimana cara memberi penandaan pada hewan percobaan.
- Untuk mengetahui berbagai pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang ditimbulkan.
- Untuk mengetahui teknik pemberian obat melalui rute intraperitoneal (i.p.) dan secara oral.
- Untuk mengetahui pengaruh peningkatan dosis terhadap efek yang ditimbulkan.
- Untuk menyatakan onset of action obat berdasarkan rute yang diberikan.
- Untuk menyatakan duration of action obat berdasarkan rute yang diberikan.
- Untuk mengetahui efek dari pemberian Luminal Natrium berdasarkan dosis dan rute
pemberian terhadap hewan percobaan.
III. PRINSIP PERCOBAAN
- Penandaan hewan dilakukan dengan cara menandai bagian ekor hewan dengan menggunakan spidol
permanen dengan bentuk-bentuk tertentu.
- Dengan membandingkan berbagai rute pemberian obat (oral dan intraperitoneal), sehingga dapat
diperoleh onset of action, intensitas, dan duration of action dari suatu obat.
- Dengan membandingkan peningkatan dosis terhadap efek yang ditimbulkan.
IV. TINJAUAN PUSTAKA
Ditinjau dari segi sistem pengelolaannya atau cara pemeliharaannya, di mana faktor keturunan dan
lingkungan berhubungan dengan sifat biologis yang terlihat/karakteristik hewan percobaan, maka
ada 4 golongan hewan, yaitu
1). Hewan liar.
2). Hewan yang konvensional, yaitu hewan yang dipelihara secara terbuka.
3). Hewan yang bebas kuman spesifik patogen, yaitu hewan yang dipelihara dengan sistim barrier
(tertutup).
4). Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman, yaitu hewan yang dipelihara dengan sistem
isolator Sudah barang tentu penggunaan hewan percobaan tersebut di atas disesuaikan dengan
macam percobaan biomedis yang akan dilakukan. Semakin meningkat cara pemeliharaan, semakin
sempurna pula hasil percobaan yang dilakukan. Dengan demikian, apabila suatu percobaan
dilakukan terhadap hewan percobaan yang liar, hasilnya akan berbeda bila menggunakan hewan
percobaan konvensional ilmiah maupun hewan yang bebas kuman (Sulaksonono, M.E., 1987).
Jenis-jenis Hewan percobaan:
No Jenis hewan percobaan Spesies
1. Mencit (Laboratory mince) Mus musculus 2. Tikus (Laboratory Rat) Rattus norvegicus 3. Golden (Syrian) Haruster Mescoricetus auratus 4. Chinese Haruster Cricetulus griseus 5. Marmut Cavia porcellus (Cavia cobaya) 6. Kelinci Oryctolagus cuniculus 7. Mongolian gerbil Meriones unguiculatus 8. Forret Mustela putorius furo 9. Tikus kapas (cotton rat) Sigmodon hispidus 10. Anjing Canis familiaris 11. Kucing Fells catus 12. Kera ekor panjang (Cynomolgus) Macaca fascicularis (Macaca irus)13. Barak Macaca nemestrina 14. Lutung/monyet daun Presbytis ctistata 15. Kera rhesus Macaca mulata 16. Chimpanzee Pan troglodytes 17. Kera Sulawesi Macaca nigra 18. Babi Sus scrofa domestica 19. Ayam Gallus domesticus 20. Burung dara Columba livia domestica 21. Katak Rana sp. 22. Salamander Hynobius sp.No Jenis hewan percobaan Spesies
23 Lain-lain
Cara memegang hewan (handling) dan penentuan jenis kelamin
Masih dalam rangka pengelolaan hewan percobaan secara keseluruhan, cara memegang
hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara memegang hewan dari
masing-masing jenis hewan adalah ber,eda-beda dan ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik
(besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan
atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau
pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya
(Sulaksono, M.E., 1992).
Identiftikasi (Pemberian tanda pada hewan).
Tujuan dari pada pemberian tanda pada hewan adalah disamping untuk mencegah kekeliruan
hewan dalam sistim pembiakannya juga untuk mempermudah pengamatan dalam percobaan.
Bermacam-macam cara yang dipakai dalam identifikasi tergantung kepada selera dan juga lama
tidaknya hewan tersebut terpaki atau dipelihara. (marking, ear punching, too clipping, ear tags,
tattocing, coat colors) (Sulaksono, M. E., 1992).
Obat dalam tubuh akan mengalami beberapa fase yaitu:
- Fase farmasetik
- Fase farmakokinetik
- Fase farmakodinamik
Fase-fase estafet utama dalam aksi obat dalam tubuh dapat dilihat:
Dosis
I. Fase Farmasetik
Optimasi ketersediaan
farmasetik
Absorpsi
Distribusi
Biotransformasi
Ekskresi
Disintegrasi bentuk dosis
Disolusi Substansi Aktif
II. Fase Farmakokinetik
Optimasi ketersediaan
biologik
III. Fase
Farmakodinamik
Optimasi efek biologik
yang dikehendaki
Efek
(Reksohadiprodjo, M.S., 1994)
Rute Penggunaan Obat
Memilih rute penggunaan obat tergantung dari tujuan terapi, sifat obatnya serta kondisi pasien.
Oleh sebab itu perlu mempertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:
a. tujuan terapi mengkehendaki efek lokal atau efek sistemik
b. apakah kerja awal obat yang dikehendaki itu cepat atau masa kerjanya lama
c. stabilitas obat di dalam lambung dan atau usus
d. keamanan relatif dalam penggunaan melalui bermacam-macam rute
e. rute yang tepat dan menyenangkan bagi pasien dan dokter
Interaksi obat reseptor dalam jaringan target
f. kemampuan pasien menelan obat melelui oral (Anief, M., 1994).
Bentuk sediaan obat yang diberikan akan mempengaruhi kecepatan dan efek terapi/obat.
Bentuk sediaan obat dapat memberi efek obat secara lokal atau sistemik. Efek sistemik diperoleh
jika obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah, sedangkan efek lokal adalah efek obat
yang hanya berkerja setempat misalnya salep
(Anief, M., 1994).
Efek sistemik dapat diperoleh dengan cara:
a. oral melalui saluran gastrointestinal atau rektal
b. parenteral dengan cara intravena, intramuskular dan subkutan
c. inhalasi langsung ke dalam paru-paru
Efek lokal dapat diperoleh dengan cara:
a. intraokular, intranasal, aural, dengan jalan diteteskan pada mata, hidung, telinga
b. intrarespiratoral, berupa gas masuk paru-paru
c. rektal, uretral, dan vaginal dengan jalan dimasukkan ke dalam dubur, saluran kencing dan
kemaluan wanita, obat melelh atau larut pada keringat badan atau larut dalam cairan badan.
Rute penggunaan obat dapat dengan cara:
a. melalui rute oral
b. melalui rute parenteral
c. melalui rute inhalasi
d. melalui rute membran mukosa seperti mata, hidung, telinga, vagina dan sebagainya
e. melalui rute kulit (Anief, M., 1994).
Rute penggunaan obat dapat diperlihatkan sebagai berikut:
No. Istilah Letak masuk dan jalan absorpsi obat
1. Per oral (per os) Melalui mulut masuk saluram intestinal (lambung),
penyerapan obat melalui membran mukosa pada
lambung dan usus memberi efek sistemik
2. Sublingual Dimasukkan di bawah lidah, penyerapan obat mellaui
membran mukosa, memberi efek sistemik
3 Parenteral atau
injeksi
a. intravena
b. intrakardial
c. intrakutan
d. subkutan
e. intramuskular
melalui selain jalan lambung dengan merobek beberap
jaringan
Masuk pembuluh darah balik (vena), memberi efek
sistemik
Menembus jantung, memberi efek sistemik
Menembus kulit, memberi efek sistemik
Di bawah kulit, memberi efek sistemik
Menembus otot daging, memberi efek sistemik
4 Intranasal Diteteskan pada lubang hidung, memberi efek lokal
5 Aural Diteteskan pada lubang telinga, memberi efek lokal
No. Istilah Letak masuk dan jalan absorpsi obat
6 Intrarespiratoral Inhalasi berupa gas masuk paru-paru, memberi efek
lokal
7 Rektal Dimasukkan ke dalam dubur, memberi efek lokal +
sistemik
8 Vaginal Dimasukkan ke dalam lubang kemaluan wanita,
memberi efek lokal
9 Uretral Dimasukkan ke dalam saluran kencing, memberi efek
lokal
(Anief, M., 1994).
SEDATIVA DAN HIPNOTIKA
Hipnotika atau obat tidur (Yun: hypnos= tidur) adalah zat-zat yang dalam dosis terapi
diperuntukkan meningkatkan keinginan faali untuk tidur dan mempermudah atau menyebabkan
tidur. Lazimnya, obat ini diberikan pada malam hari. Bilamana zat-zat ini diberikan pada siang
hari dalam dosis yang lebih rendah untuk tujuan menenangkan, maka dinamakan sedativa (obat-
obat pereda). Oleh karena itu, tidak ada perbedaan yang tajam antara kelompok obat sedativa
maupun kelompok obat hipnotika (Tjay, T.H., 2002).
Hipnotika/ sedativa, seperti juga antipsikotropika (neuroleptika), termasuk ke dalam kelompok
psikoleptika yang mencakup obat-obat yang menekan atau menghambat fungsi-fungsi SSP tertentu
(Tjay, T.H., 2002).
Sedativa berfungsi untuk menurunkan aktivitas, mengurangi ketegangan, dan menenangkan
penggunanya. Keadaan sedasi juga merupakan efek samping dari banyak obat yang khasiat
utamanya tidak menekan SSP, misalnya seperti antikolinergika (Tjay, T.H., 2002).
Hipnotika menimbulkan rasa kantuk (drowsiness), mempercepat tidur, dan sepanjang malam
mempertahankan keadaan tidur yang menyerupai tidur alamiah mengenai sifat-sifat EEG-nya.
Selain sifat-sifat ini, secara ideal obat tidur tidak menimbulkan aktivitas sisa pada keesokan harinya
(Tjay, T.H., 2002).
GOLONGAN BARBITURAT
Di samping sebagai sedatif dan hipnotik, golongan barbiturat dapat pula dimanfaatkan
sebagai obat antikonvulsi; dan yang biasa digunakan adalah barbiturat kerja lama. (long-acting
barbiturates). Di sini dibicarakan khasiat antiepilepsi prototipe barbiturat, fenobarbital,
mefobarbital, dan metarbital; serta primidon yang mirip dengan barbiturat (Utama, H dan Vincent
H.S. Gan,1995).
Sebagai antiepilepsi fenobarbital menekan letupan di fokus epilepsi. Barbiturat menghambat tahap
akhir oksidasi mitokondria, sehingga mengurangi pembentukan fosfatase berenergi tinggi. Senyawa
fosfat ini perlu untuk sintesis neurotransmiter misalnya Ch, dan untuk repolarisasi membran sel
neuron setelah depolarisasi
(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).
FENOBARBITAL
Fenobarbital (asam 5,5-fenil-etil barbiturat) merupakan senyawa organik pertama yang digunakan
dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya, membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan
ambang rangsang. Fenobarbital masih merupakan obat antikonvulsi dengan potensi terkuat,
tersering digunakan, dan termurah. Dosis efektif relatif rendah. Efek sedatif, dalam hal ini dianggap
efek samping, dapat diatasi dengan pemberian amfe-tamin atau stimulan sentral lainnya tanpa
menghi-langkan khasiat antikonvulsinya. Kemungkinan intoksikasi kecil; kadang-kadang hanya
timbul ruam skarlatiniform pada kulit (2%). Efek toksik yang berat pada penggunaan sebagai
antiepilepsi belum pernah dilaporkan. Fenobarbital adalah obat terpilih untuk memulai terapi
epilepsi grand mal. Karena efek toksik berbeda dengan obat antikonvulsi lainnya, khususnya
dengan fenitoin, penggunaan fenobarbital sering dikombinasikan dengan obat-obat tersebut
(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).
Indikasi penggunaan fenobarbital ialah terhadap grand mal atau berbagai serangan kortikal lainnya;
juga terhadap status epileptikus serta konvulsi fe-bril. Sekalipun khasiatnya terbatas, karena sifat
antikonvulsi berspektrum lebar dan aman, fenobarbital sering cocok untuk terapi awal serangan
absence, spasme mioklonik, dan epilepsi akinetik; apalagi mengingat kemungkinan komplikasi
serangan tonik-klonik umum (grand mal) pada ketiga je-nis epilepsi tersebut. Terhadap epilepsi
psikomotor manfaatnya terbatas dan penterapan hams berhati-hati, oleh karena ada kemungkinan
terjadinya eksaserbasi petit mal. Hal ini terutama hams di-ingat oleh mereka yang menggunakan
fenobarbital sebagai obat terpilih pada setiap kelainan dengan konvulsi (umpamanya pada bidang
kesehatan anak) (Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).
Dosis yang biasa digunakan pada orang dewasa adalah dua kali 100 mg sehari. Untuk
mengendali-kan epilepsi disarankan mendapatkan kadar plasma optimal, berkisar antara 10 sampai
30 meg/ml. Kadar plasma di atas 40 meg/ml sering disertai gejala toksik yang nyata. Penghentian
pemberian fenobarbital harus secara bertahap guna mencegah kemungkinan meningkatnya
frekuensi serangan kembali, atau malahan serangan status epileptikus
(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).
MEFOBARBITAL
Mefobarbital (asam 3-metil-5.5-feniletil barbiturat), efek sedatifnya lebih lemah daripada feno-
barbital; demikian pula khasiat antikonvulsinya. Tetapi mefobarbital tetap efektif terhadap grand
mal. Sifat-sifatnya dan efektivitasnya sama dengan fenobarbital karena terjadi N-demetilasi di hati.
Khasiat mefobarbital terhadap petit mal jelas me-lebihi fenobarbital, akan tetapi kurang bila diban-
dingkan dengan obat yang selektif terhadap petit mal. Dosis yang biasa diberikan pada orang
dewasa adalah 400-600 mg sehari dalam dosis terbagi
(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).
METARBITAL
Metarbital diperoleh dengan metilasi-N3 pada barbital dan menjadi asam 3-metil-5,5-dietilbar-
biturat. Senyawa ini merupakan jenis barbiturat dengan masa kerjanya paling lama. Metarbital tidak
memiliki gugus fenil (yang memberikan si-fat antikonvulsi); tetapi dalam kombinasi ataupun
sebagai obat tunggal berguna terhadap grand mal yang sudah refrakter terhadap pengobatan lazim;
juga terhadap epilepsi mioklonik dan petit mal. Khusus terhadap spasme mioklonik pada anak kecil
(infant) metarbital paling baik khasiatnyajdan pada kelainan dengan konvulsi akibat kerusakan pada
otak, metarbital juga sangat berguna
(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).
Efek samping berupa kantuk, pusing, gelisah, gangguan lambung, dan ruam kulit. Dosis awal
dewasa adalah 100-300 mg sehari diberikan terbagi 2-3 kali sehari dan dapat dinaik-kan menjadi
800 mg sehari. Untuk anak 5-15 mg/ kg berat badan sehari, diberikan terbagi. (Utama, H dan
Vincent H.S. Gan,1995)
Obat hipnotik dapat menimbulkan rasa mengantuk dan memperlama keadaaan tidur. Efek hipnotik
lebih bersifat depresan terhadap susunan saraf pusat daripada sedasi dan obat ini dapat diperoleh
secara mudah pada kebanyakan obat-obat sedatif dengan jalan meningkatkan dosis
(Utama, H dan Vincent H.S. Gan,1995).
Derajat dosis yang tergantung pada depresi fungsi susunan saraf pusat adalah karakteristik untuk
obat-obat hipnotif sedatif. Walaupun begitu, pada masing-masing obat, terdapat perbedaan dalam
hubungan antara dosis dan tingkat depresi susunan saraf pusat. Dua contoh dari hubungan dosis-
respon diperlihatkan pada Gambar 21-1. Slope yang linier dari obat A adalah khas dari kebanyakan
obat sedativa-hipnotika yang lebih tua, termasuk barbiturat dan alkohol. Pada obat-obat tersebut,
peningkatan dosis diatas yang diperlukan untuk hipnotis dapat menimbulkan suatu keadaan anestesi
umum. Dengan dosis yang lebih tinggi lagi, hipnotik-sedatif dapat menekan pusat pernapasan dan
pusat vasomotor di medula, menimbulkan koma dan kematian. Deviasi dari hubungan linier dosis-
respon seperti terlihat pada obat B, akan memerlukan proporsi yang lebih besar dalam peningkatan
dosis untuk mendapatkan depresi susunan saraf pusat yang lebih dalam daripada hipnosis. Hal ini
menunjukkan/ ditunjukkan oleh kebanyakan obat dari golongan benzodiazepin, dan batas
keamanaan yang lebih besar merupakan penawaran yang penting dalam penggunaan klinik yang
luas untuk mengobati keadaan ansietas dan gangguan tidur.
Koma Obat A
E
F Anestesi Obat B
E
K
Hipnosis
S
S
P Sedasi
Kenaikan Dosis
(Katzung, B.G., 1998)
VI. METODE PERCOBAAN
5.1. Alat dan Bahan
5.1.1. Alat
- oral sonde mencit
- spidol permanent
- spuit 1 ml
- beaker glass 25 ml
- erlenmeyer 10 ml
- labu tentukur 100ml
- jam tangan
- timbangan elektrik
5.1.2. Bahan
- mencit 5 ekor
- akuadest
- luminal Na konsentrasi 0,7%
5.2. Prosedur Percobaan
1. Penandaan Hewan
- dipegang ujung ekor mencit dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut
pada kawat kasa kandang
- ditandai ekor mencit dengan spidol permanent
- diletakkan di atas timbangan elektrik, kemudian catat beratnya
2. Persiapan Hewan
- dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan terpaut pada kawat
kasa kandang
- dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari telunjuk
dan ibu jari tangan kiri
- ditukarkan pegangan ekor dari tangan ke jari kelingking kiri supaya mencit itu dapat
dipegang dengan sempurna
- mencit siap untuk disuntik
3. Cara Pemberian Obat
a. Intraperitoneal
Percobaan kontrol (dengan pemberian aquadest)
- dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari
melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala
- disuntikkan aquadest pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat
- diamati efek yang terjadi
Pemberian Luminal Na 0,7%
- dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari
melingkar di bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala
- disuntikkan Luminal Na 0,7% pada bagian bawah tengah abdomen perlahan-lahan
- diamati efek obat yang terjadi
b. Peroral
Pemberian Luminal Na 0,7%
- dipegang tengkuk mencit
- diselipkan jarum oral yang telah berisi Luminal Na 0,7% berdekatan dengan langit-
langit dan didorong hingga masuk ke esofagus
- Larutan didesak keluar dari alat suntik
5.3 . Flow Sheet
Mencit
1. Penandaan Hewan
Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki
depan berpaut pada kawat kasa dari kandang
Ditandai ekornya dengan spidol permanent
Diangkat ke atas timbangan elektrik
Dicatat beratnya
2. Persiapan Hewan
Mencit
Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan
dibiarkan kaki depan berpaut pada kawat
kasa di kandang
Hasil
Dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan
menggunakan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri
Ditukarkan pegangan ekor dari tangan kanan ke jari kelingkng kiri
supaya mencit dapat dipegang dengan sempurna
3. Cara Pemberian Obat
a. Per Oral
Mencit
Ditandai dan ditimbang mencit
Dihitung dosis, dimasukkan obat ke oral sonde
Dipegang tengkuk mencit
Diselipkan jarum oral yang telah berisi obat berdekatan
dengan langit-langit dan dorong hingga masuk ke esofagus
Didesak larutan obat keluar dari alat suntik
Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu
10 menit
Dibuat grafik respon terhadap waktu
Hasil
Hasil
b. Intraperitoneal
Mencit
Ditandai dan ditimbang mencit
Dihitung dosis, dimasukkan obat ke spuit
Dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan
tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di bawah rahang (bukan
tenggorokan) sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala
Disuntikkan larutan obat pada bagian bawah tengah
abdomen dengan cepat
Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu
10 menit
Dibuat grafik respon terhadap waktu
Hasil
VI. PERHITUNGAN DATA, GRAFIK DAN PEMBAHASAN
6.1. Perhitungan Dosis
Dosis mencit I
Berat mencit 25,6gr
Dosis : Kontrol aquadest dosis 1 % / BB (i.p)
Syringe : 80 skala (1skala = 1 / 80 = 0,0125 ml)
Jumlah larutan obat yang disuntikkan :
= 1 / 100 x 25,6gr = 0,256ml
Jumlah skala yang diberikan dalam syringe :
Dosis mencit II
Berat mencit : 26,1 gr
Dosis : Luminal-Na 0,7 %, 80 mg / kg BB (oral)
Syringe : 80 skala (1skala = 1 / 80 = 0,0125 ml)
Jumlah obat yang diberikan :
Konsentrasi obat 0,7 %
= 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml
Jumlah larutan obat yang disuntikkan
Jumlah skala yang diberikan dalam syringe
Dosis mencit III
Berat mencit : 29,8 gr
Dosis : Luminal-Na 0,7%, 90 mg / kg BB (oral)
Syringe : 80 skala (1skala = 1 / 80 = 0,0125 ml)
Jumlah obat yang diberikan :
=
Konsentrasi obat 0,7 %
= 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml
Jumlah larutan obat yang disuntikkan
Jumlah skala yang diberikan dalam syringe
Dosis mencit IV
Berat mencit : 25,0 gr
Dosis : Luminal-Na 0,7 %, 80 mg / kg BB (i.p)
Syringe : 80 skala (1skala = 1 / 80 = 0,0125 ml)
Jumlah obat yang diberikan :
=
Konsentrasi obat 0,7 % = 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml
Jumlah larutan obat yang disuntikkan
Jumlah skala yang diberikan dalam syringe
Dosis mencit V
Berat mencit : 24,7 gr
Dosis : Luminal-Na 0,7%, 90 mg / kg BB (i.p)
Syringe : 80 skala (1skala = 1 / 80 = 0,0125 ml)
Jumlah obat yang diberikan :
=
Konsentrasi obat 0,7 %
= 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml
Jumlah larutan obat yang disuntikkan
Jumlah skala yang diberikan dalam syringe
6.2. Data Percobaan
Keterangan:
1.1 Normal
1.2 Garuk-Garuk (reaktif)
1.3 Gerak lambat
1.4 Tidur
i.p = intraperitoneal
6.3. Grafik Percobaan
Terlampir
6.4. Pembahasan
No Perlakuan Waktu
10 20 30 40 50 60 70 80 90
1. Kontrol (aquadest)
secara i.p
1.1 1.2 1.1 1.1 1.1 1.1 1.1 1.2 1.2
2. Luminal dosis 80
mg/Kg BB secara oral
1.1 1.1 1.1 1.1 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3
3. Luminal dosis 80
mg/Kg BB secara i.p
1.2 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3
4. Luminal dosis 90
mg/Kg BB secara oral
1.1 1.1 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3 1.3
5. Luminal dosis 90
mg/Kg BB i.p
1.1 1.3 1.3 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4
Berdasarkan hasil percobaan diperoleh bahwa peningkatan dosis yaitu dari 80mg/KgBB menjadi
90mg/KgBB dengan rute pemberian yang sama yaitu Mencit II (Luminal Na 0,7% dosis
80mg/KgBB secara oral) dengan Mencit IV ((Luminal Na 0,7% dosis 90mg/KgBB secara oral) dan
antara Mencit III ((Luminal Na 0,7% dosis 80mg/KgBB secara i.p.) dengan Mencit V (Luminal Na
0,7% dosis 90mg/KgBB secara i.p.) akan memberikan efek luminal Na (tidur) lebih cepat.
Sementara Mencit I I (kontrol (aquadest) secara i.p. 1% BB ) tidak menunjukkan efek mengantuk
(walaupun pada menit ke-20, menit ke-80 dan menit ke-90 mencit berlaku reaktif). Hal ini mungkin
hanya disebabkan oleh perilaku mencit saja.
Menurut literatur, derajat dosis yang tergantung pada depresi fungsi susunan saraf pusat adalah
karakteristik untuk obat-obat hipnotif sedatif. Pada obat-obat tersebut, peningkatan dosis diatas
yang diperlukan untuk hipnotis dapat menimbulkan suatu keadaan anestesi umum. Dengan dosis
yang lebih tinggi lagi, hipnotik-sedatif dapat menekan pusat pernapasan dan pusat vasomotor di
medula, menimbulkan koma dan kematian (Katzung, B. G., 1998).
Berdasarkan percobaan juga diperoleh hasil bahwa pemberian obat secara i.p. menunjukkan onset
of action yang lebih cepat bila dibandingkan dengan pemberian obat secara oral. Oleh karena itu,
Mencit V (Luminal Na 0,7% dosis 90mg/KgBB secara i.p.) menunjukkan onset of action yang
paling cepat diantara semua mencit karena pemberiannya secara i.p. dan dosisnya yang tinggi.
Menurut literatur, pemberian obar secara oral merupakan cara pemberian obar secara umum
dilakukan karena mudah, aman, dan murah. Namun kerugiannya ialah banyak faktor yang dapat
mempengaruhi bioavailabilitasnya. Sedangkan pemberian secara suntikan yaitu pemberian
intraperitoneal, memiliki keuntungan karena efek yang timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan
dengan pemberian secara oral karena tidak mengalami tahap absorpsi maka kadar obat dalam darah
diperoleh secara cepat, tepat dan dapat disesuaikan langsung dengan respons penderita. Namun
suntikan i.p. tidak dilakukan pada manusia karena bahaya injeksi dan adesi terlalu besar (Setiawati,
A. dan F.D. Suyatna, 1995).
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
- Pada penandaan hewan percobaan dibuat pada ekor dengan garis-garis yang disesuaikan
dengan urutan mencit.
- Cara pemberian secara intraperitonial (i.p.) dengan menyuntikkan tepat pada bagian abdomen
mencit dan melaui oral dengan menggunakan oral sonde untuk mempermudah masukknya
obat kedalam mulut mencit yang sempit dan langsung ke kerongkongan.
- Pada pemberian obat secara oral lebih lama menunjukkan onset of action dibanding secara
Intraperitonial, hal ini dikarenakan Intraperitonial tidak mengalami fase absorpsi tapi
langsung ke dalam pembuluh darah.Sementara pemberian secara oral, obat akan mengalami
absorpsi terlebih dahulu lalu setelah itu masuk ke pembuluh darah dan memberikan efek.
- Semakin tinggi dosis yang diberikan akan memberikan efek yang lebih cepat
- Onset of action dari rute pemberian obat secar IP lebih cepat diperoleh daripada rute
pemberian obat secara oral.
- Duration of action dari rute pemberian obat secara IP lebih panjang (lama) dibandingkan rute
pemberian obat secara oral.
- Dari hasil yang diperoleh diketahui :
Mencit I (kontrol [aquadest 1%] secara i.p) pada menit ke 10 sampai 90 normal walaupun
pada menit ke-20, 80 dan 90 menunjukkan gerakan reaktif
Mencit II (Luminal Na 0,7%, 80 mg/Kg BB secara oral) pada menit ke 10 sampai menit ke-
40 normal diteruskan dengan gerakan lambat pada menit ke-50 sampai 90.
Mencit III (Luminal Na 0,7 %, 80 mg/Kg BB secara i.p) pada menit ke-10 langsung reaktif
kemudian menunjukkan gerakan lambat dari menit ke-20 sampai menit ke-90.
Mencit IV (Luminal Na 0,7 %, 90 mg/Kg BB secara oral) pada menit ke-10 dan 20
menunjukkan gerakan normal lalu diikuti gerakan lambat pada menit ke-30 sampai 90
(efeknya lebih cepat dibandingkan dengan mencit II karena dosis ditingkatkan)
Mencit V (Luminal Na 0,7 %, 90 mg/Kg BB secara i.p.) pada menit ke-10 normal dan pada
menit ke-20 sampai menit ke-30 gerakan lambat dan mulai tidur pada menit ke-40 sampai
menit ke-90 (efeknya lebih cepat bila dibandingkan dengan mencit III karena dosis
ditingkatkan).
7.2 Saran
Lebih berhati-hati dalam penanganan hewan percobaan dan dalam pembacaan skala spuit
agar dosis yang diberikan tepat dan tercapai efek yang dikehendaki.
Lebih berhati-hati dalam pemberian obat secara interperitonial agar tidak mengalami
kerusakan pada abdomen maupun tusukan pada organ-organ dalam yang vital.
Dapat digantikan atau digunakan turunan barbiturat lainnya maupun obat golongan sedatif-
hipnotik lainnya (seperti benzodiazepin) untuk mengetahui perbandingan onset of action
dan duration of action.
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M., 1994. Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hal. 42-43.
Anonim I, 2008.Farmakologi-1.
http://71mm0.files.wordpress.com/2008/05/farmakologi-1.doc
Katzung, B.G., 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 351.
Reksohadiprodjo, M.S., 1994. Pusat Penelitian Obat Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Hal. 3.
Setiawati, A. dan F.D. Suyatna, 1995. Pengantar Farmakologi Dalam “Farmakologi dan Terapi”.
Edisi IV. Editor: Sulistia G.G. Jakarta: Gaya Baru. Hal. 3-5.
Sulaksono, M.E., 1987. Peranan, Pengelolaan dan Pengembangan Hewan Percobaan. Jakarta.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/16_PerkembangbiakanHewanPercobaan.pdf/
16_PerkembangbiakanHewanPercobaan.html
Sulaksono, M.E., 1992. Faktor Keturunan dan Lingkungan Menentukan Karakteristik Hewan
Percobaan dan Hasil Suatu Percobaan Biomedis. Jakarta.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_FaktorKeturunandanLingkungan.pdf/
15_FaktorKeturunandanLingkungan.html
Tjay, T.H. dan K. Rahardja. 2002.Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek
Sampingnya. Edisi Kelima. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo
Kelompok Gramedia. Hal. 357.
Utama, H dan Vincent H.S.Gan,1995. Antikonvulsi Dalam “Farmakologi dan Terapi”. Edisi IV.
Editor: Sulistia G.G. Jakarta: Gaya Baru. Hal. 168-169.
Faktor Keturunan dan LingkunganMenentukan Karakteristik HewanPercobaan dan Hasil SuatuPercobaan BiomedisIr. M. Edhie SulaksonoStaf Penelitian pada Badan Penelitian dan PengembanganKesehatan, Departemen Kesehatan R.I.PENDAHULUANPenggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiahdibidang kedokteran/biomedis telah berjalan puluhan tahunyang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan pembangunan kese-lamatan manusia di dunia adalah adanyaDeklarasi Helsinki,yang dihasilkan oleh Sidang Kesehatan Dunia ke 16 di Hel-sinki, Finlandia, pada tahun 1964. Deklarasi tersebut merupa-kan rekomendasi kepada penelitian kedokteran, yaitu tentangsegi etik penelitian yang melibatkan manusia sebagai obyekpenelitian. Disebutkan, perlunya dilakukan percobaan padahewan sebelum percobaan di bidang biomedis maupun risetlainnya dilakukan atau diperlakukan terhadap manusia.Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslahmemenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain per-syaratan genetis/keturunan dan lingkungan yang memadaidalam pengelolaannya, di samping faktor ekonomis, mudahtidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologisyang mirip kejadiannya pada manusia. Ditinjau dari segi sistempengelolaannya atau cara pemeliharaannya, di mana faktorketurunan dan lingkungan berhubungan dengan sifat biologisyang terlihat/karakteristik hewan percobaan, maka ada 4golongan hewan, yaitu1). Hewan liar.2). Hewan yang konvensional, yaitu hewan yang dipeliharasecara terbuka.3). Hewan yang bebas kuman spesifik patogen, yaitu hewanyang dipelihara dengan sistimbarrier(tertutup).4). Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman, yaituhewan yang dipelihara dengan sistem isolator.Sudah barang tentu penggunaan hewan percobaan tersebutdi atas disesuaikan dengan macam percobaan biomedis yangakan dilakukan. Semakin meningkat cara pemeliharaan, se-makin sempurna pula hasil percobaan yang dilakukan.Dengan demikian, apabila suatu percobaan dilakukanterhadap hewan percobaan yang liar, hasilnya akan berbedabila menggunakan hewan percobaan konvensional ilmiahmaupun hewan yang bebas kuman(Germfree animal).FAKTOR GENETIS/KETURUNAN DARI HEWAN PER-COBAAN
Faktor keturunan merupakan salah satu faktor yang ikutmenentukan hasil suatu sifat-sifat biologis yang terlihat, ataukarekteristik hewan percobaan, atau yang lazim disebutdenganpenotipa.Faktor keturunan adalah unsur-unsur yangdianggap mempunyai sifat-sifat turunan yang diwariskanoleh kedua tetuanya kepada keturunannya. Ada dua macamsifat-sifat yang diturunkan yang menghasilkan suatu penotipahewan, yaitu:1). Sifat turunan yang kualitatif (tidak dapat diukur), misalnya warna bulu (hitam, albino, coklat atau warna campuran);sifat mudah dan cepat menjadi besar; golongan darah maupunkemampuan memberikan reaksi kekebalan dan lain sebagai-nya.2). Sifat turunan yang kuantitatif (dapat diukur), misalnyaproduksi anaknya(litter size)dan sifat-sifat lainnya.Sifat-sifat turunan inipada dasarnya diatur oleh adanya suatugen, yaitu suatu unit dasar pembentuk sifat-sifat di atas, yangditerimanya dari kedua tetuanya. Sedangkan jumlah gen yangCermin Dunia Kedokteran No. 42, 1987 51
diwariskan kepada anaknya, berapa tepatnya tidak ada orangyang tabu. Susunan gen-gen yang membentuk sifat, bentukatau karakter (penotipa) individu turunannya dinamakangenotipa.Sebagai contoh adalah hewan percobaanMencitAlbino (putih).Albino adalah warna bulu untuk putih, se-dangkan warna bulu adalah merupakan salah satu sifat bio-logis yang terlihat dari hewan Mencit tadi yang bersifat me-nurun (sifat turunan yang kualitatif dan tidak dapat diukur).W arna bulu sudah jelas yaitu putih. Lalu, bagaimana dengansusunan genotipanya? Genotipanya telah ditentukan oleh paraahli terdahulu yaituaayang tersusun dari beberapa gen,sehingga terbentuklah warna bulu yang albino tadi.StrainMencit(inbred strain)di dunia yang terdaftar berjumlah230strainpada tahun 1979 (FESTING, 1979). Jumlah inibelum termasuksubstraindari masing-masingstrainMencittersebut.Masing-masingstrainMencit tersebut memiliki simbolgen yang berbeda-beda dan karakteiristik yang berbeda pula.Masing-masing memiliki perbedaan dalam perilaku, kemampu-an imunologis, infeksi penyakit, kemampuan dalam mem-berikan reaksi terhadap obat, .kemampuan reproduksi danlain sebagainya. MisalnyaStrainBALB/c, karakteristiknyasebabagi berikut:Strainini dibentuk oleh Mc. Dowell padatahun 1923. Mempunyai kemampuan reproduksi yang baik;secara normal kejadian tumor glandula mammae sangat kecilsekali, akan tetapi apabila diinfeksikan dengan virus tumorglandula mammae dengan cara menggunakanfostering strainC3H(virus carrier)
akan mempertinggi kejadian tumor ter-sebut pada Mencit BALB/c. Ciri yang lainnya adalah resistenterhadap efek alergik ensefalomielitis (FESTING, 1979).Karakteristik yang timbul dari masing-masingstrainMencit tersebut adalah akibat daripada pemilikan gen-gen yangberbeda-beda yang diturunkan kepada keturunannya, sehinggadengan demikian masing-masingstrainmemiliki perbedaandalam pemakaian sebagai model penelitian.FAKTORLINGKUNGANYang dimaksud dengan faktor lingkungan antara lainiklim setempat, temperatur ruangan, kelembaban, makananhewan yang diberikan, cara perawatan, program pemberantas-an dan pencegahan penyakit dan lain sebagainya (lihat ilus-trasi 2).Alam, dengan situasi lingkungan yang berbeda-beda,memberikan banyak variasi lingkungan yang sangat pentingdipandang dari segi genetis/keturunan, karena1). Faktor lingkungan dapat menutupi variasi (perbedaan-perbedaan) yang ditimbulkan oleh faktor genetis/keturunan.2). Keadaan lingkungan tertentu dibutuhkan suatu individu(dalam hal ini hewan percobaan) untuk dapat memberikanpotensi genetisnya (kemampuan untuk memberikan keturun-an yang baik).3). Faktor lingkungan jelas tidak dapat diturunkan tetua ke-pada keturunannya. Misalnya dalam hal bertumbuh menjadibesar dari Marmutstrain Hartley,di mana hewan ini mem-52 Cermin Dunia Kedokteran No.42, 1987punyai kemampuan genetis baik sekali dan mempunyai sifatrentan/peka terhadap kuman tbc.Dalam jangka waktu kurang lebih 30 hari setelah lahir mampumenghasilkan berat badan kurang lebih 250--300 gram (ber-dasarkan hasil pengamatan di bidang Binatang Percobaan),sedangkan untuk Marmut lokal/pasar, karena tidak mem-punyai kemampuan genetis yang baik, sangat sulit mencapaiberat yang sama dan dalam waktu yang sama pula. Persoalan-nya adalah, apabila MarmutstrainHartley teresebut tidak di-pelihara dalam lingkungan yang baik (suhu, kelembaban,makanan dan lain sebagainya), maka akan memberikan karak-teristik atau penotipa yang kurang menguntungkan, sehinggadengan demikian akan sia-sialah pekerjaan yang salama ini
telah dilakukan.KARAKTERISTIK HEWAN PERCOBAAN(PENOTIPA)Sifat-sifat karakteristik ini selamanya akan timbul, karenaadanya kerja sama antara faktor keturunan dan lingkungan.Jadi adanya berbagai macam bentuk maupun sifat karakteris-tik disebabkan oleh karenaadanya perbedaan-perbedaanyang ditimbulkan oleh faktor genetis dan faktor lingkungan.PENGARUH FAKTOR KETURUNAN DAN LINGKUNGANTERHADAP PENOTIPA HEWAN PERCOBAANSecara matematis/perhitungan aljabar, pengaruh faktorketurunan dan lingkungan terhadap penotipa hewan per-cobaan dapat digambarkan sebagai berikutK + L +VariasiKL = PK=Faktor keturunan/genetisL=Faktor lingkunganP=PenotipaAda 4 kemungkinan pengaruh kedua faktor (genetik danlingkungan) terhadap penotipa hewan percobaan, yaitu:I). K (sama) + L (sama) = P (sama).Artinya : apabila terdapat 2 kelompok/grup hewan percoba-an atau lebih (mencit, misalnya), yang ierasal dari keturunanyang sama(strainyang sama) (dalam hal ini faktor K sama),mendapatkan perlakuan yang sama pula (iklim, makanan,perawatan, dan lain-lain) (dalam hal ini faktor L sama), makaakan dihasilkan hewan yang berpenotipa yang baik pula(P sama).2). K (berbeda) + L (sama) = P (berbeda).Artinya : apabila terdapat 2 kelompok/grup hewan percoba-an atau lebih yang berasal dari keturunan yang berlainan(strain berbeda) dan mendapat perlakuan yang sama, makaakan dihasilkan penotipa dari kedua kelompok/grup hewanpercobaan tadi yang berlainan satu sama lain.3). K (sama) + L (berbeda) = P (berbeda).Artinya : walaupun terdapat dua kelompok/grup hewanpercobaan atau lebih yang sama asal keturunannya (strain
sama), apabila dipelihara dalam lingkungan yang berbeda,maka penotipa yang dihasilkandarikedua kelompok/gruphewan percobaan tadi akan berbeda pula.4). K (berbeda)+L (berbeda)=P (berbeda).Artinya : Penotipadarikedua kelompok/grup hewan per-cobaan atau lebih tadi akan berbeda sama sekali, apabilamasing-masing kelompok/grup hewan tersebut berasaldariketurunan yang berlainan dan dipelihara dalam lingkunganyang berbeda pula.PENGARUH FAKTOR KETURUNAN DAN LINGKUNG-AN TERHADAP HASIL SUATU PERCOBAAN BIOMEDIS(DRAMATIPA)Yang dimaksud dengan percobaan biomedis antara lainpercobaan potensi/khasiat produk biologi (misalnya vaksin,sera, antibiotik, hormon dan lain-lain), tes keracunan, pe-nelitian di bidang virologi, imunologi, farmasi dan lain se-bagainya. Semua percobaan tersebut bisa menggunakanhewan percobaan sebagai modelnya sebelum dilakukan per-cobaan pada manusia. Sebagai persyaratannya, hewan per-cobaan yang digunakan haruslah proses yang terjadi padahewan percobaan tersebut sama atau banyak kesamaannyadalam proses yang terjadi pada manusia. Di samping itu,susunan genetis yang hampir sama (diperlukan usaha pem-biakan yang terarah dan teratur sesuai dengan sistem yangada dalam program pembiakan/breeding) dan lingkungan yangmemadai sebagai penunjang faktor genetis, sangat berpengaruhterhadap karakteristik hewan percobaan itu sendiri (DJ.SHORT, DP. W OODNOTT, 1969).Secara imunologis untuk menentukan grup Mencit yangpaling baik (mampu memberikan reaksi kekebalan)daribeberapa kelompok/grup/strain, antara lain dengan melaluipercobaan pemeriksaan potensi vaksin baik Tetanus maupunPertusis, misalnya.Masing-masing
strainMencit diimunisasi sehingga akanmemberikan reaksi kekebalan yang berbeda. Berdasarkananalisa statistik,strainMencit yang memberikan reaksi ke-kebalan yang paling baik (tinggi) dianggap merupakanstrainMencit yang paling baik pula. Reaksi kekebalan yang di-timbulkan oleh hewan percobaan bila diimunisasi tersebutdipengaruhi oleh mekanisme kekebalan yang ada dalamtubuh hewan dan mekanismenya dipengaruhi oleh beberapafaktor-faktor genetik, lingkungan, anatomi hewan, fisiologi,faktor mikroba dan lain-lain (BELLANTI, YOSEPH, A,1971) (lihat ilustrasi 1).Faktor genetika (keturunan)Perbedaan hasil pemeriksaan potensi yang dilakukandibeberapa negara yaitu misalnya Jepang, Amerika Serikat,Eropa mauoun Indonesia disebabkan karenastrainhewanpercobaan yang digunakan berbeda,(PERKINS, FT. 1980).Dengan demikian, jelas bahwa secara genetis, Mencit yangdipakai sebagai model percobaandaribeberapa negara ter-sebut adalah berbeda dan dengan demikian penotipa hewantersebut juga berbeda, lebih-lebih pola pemeliharannya dimasing-masing negara tersebut berbeda pula.Faktor lingkunganMeningkatnya kejadian penyakit infeksi pada hewanpercobaan, disebabkan karena kondisi lingkungan yang jelekdi mana hewan itu tinggal. Maka dengan meningkatnya ke-jadian penyakit infeksi dan disertai dengan keadaan nutrisiyang jelek pula, akan berakibat resistensi tubuh menurun,sehingga akan berpengaruh terhadap hasil suatu percobaan.KESIMPULAN DAN SARANDariuraian tersebut di atas, dapat disimpulkan, terdapatdua faktor utama di dalam mengontrol pertumbuhan dan per-kembangan hewan percobaan (termasuk penotipa), yaitufaktor keturunan dan faktor lingkungan (eksternal). Pening-katan mutu genetis dan adanya kontrol genetik serta denganpeningkatan pengelolaan hewan percobaan akan sangat mem-
bantu dalam peningkatan mutu/kualitas hewan percobaan,walaupun hewan tersebut tergolong hewan yang konvensional.Peningkatan sistem pemeliharaan akan lebih diperlukan dalamkegiatan penelitian biomedisdarisistem yang konvensionalke sistem pemeliharaan yang lebih tinggi lagi di masa men-datang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan kemajuanjaman. Usaha sentralisasi maupun desentralisasi hewan per-cobaan yang mencakup secara nasional dan dikelola secaraCermin Dunia Kedokteran No. 42, 1987 53