222

3('20$1 7(.1,6 $'0,1,675$6, '$1 7(.1,6 3 ... - Mahkamah Agung

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BUKU II

Edisi 2007

MAHKAMAH AGUNG RI

2008

PEDOMAN

TEKNIS ADMINISTRASI DAN

TEKNIS PERADILAN AGAMA

PEDOMAN TEKNIS ADMINISTRASI DAN TEKNIS PBKADILAN AGAMA

BUKU II

Edisi 2007

I

) \

MAHKAMAH AGUNG RI

2008

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha

Esa, Penelitian yang dilakukan selama lebih dari satu tahun, untuk

dapat merevisi Pedoman Pelaksanaan Teknis Administrasi dan Teknis

Peradilan di Lingkungan Pengadilan (Buku II), telah selesai. Revisi

ini dilakukan untuk menyesuaikan buku tersebut dengan berbagai

undang-undang dan ketentuan baru mengenai peradilan yang telah

berlaku dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Buku ini dinamakan Buku II yaitu pedoman teknis administrasi

dan teknis peradilan di peradilan tingkat pertama dan tingkat banding,

serta lampiran fonnulir-fonnulir yang berlaku di setiap lingkungan

peradilan.

Dengan selesainya revisi Buku II dan seiring dengan selesainya

pula proses satu atap di Mahkamah Agung RI, maka saya menaruh

harapan yang besar agar dalam pelaksanaan tugas sehari-hari terwujud

ketentuan-ketentuan yang mantap, jelas dan tegas tentang apa dan

bagaimana tata kerja administrasi peradilan yang hams dilaksanakan

dengan tertib dan disiplin. Sejalan dengan itu, semoga masalah-masalah

yang selama ini masih terjadi di lapangan seperti masalah transparansi

peradilan dan benturan titik singgung antar lingkungan peradilan dapat

teratasi.

Akbimya saya ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang

sebesar-besamya atas kerja keras dari seluruh Tim Peneliti Revisi Buku II, untulc mewujudkan buku pedoman tersebut, yang telah memberikan bantuan

teknik sekaligus menyeluruh sehingga pekerjaan yang berlangsung lebih

dari satu tahun ini dapat diselesaikan dengan baik.

Jakarta, 29 Juli 2007

KETUA MAHKAMAH AGUNG

REPUBLIK INDONESIA

BAGIR MANAN

iii

KETUA MAHKAMAH AGUNG

REPUBUK INDONESIA

KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG

REPUBLIK INDONESIA

Nomor: KMA/032/SK/IV/2006

Tentang

PEMBERLAKUAN BUKU II

PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS

DAN ADMINISTRASI PENGADILAN

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

Menimbang a. Bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan

negara yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila, demi terselenggarannya

negara hukum Republik Indonesia;

b. Bahwa kekuasaan kehakiman tersebut dilakukan

oleh badan-badan Peradilan Umum, Peradilan

Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata

Usaha Negara yang berpuncak pada Mahkamah

Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap

jalannya peradilan serta tingkah laku perbuatan

hakim;

c. Bahwa dengan memperhatikan kedudukan

dan peran Mahkamah Agung seperti tersebut

v

di atas, maka Mahkamah Agung menganggap

perlu ditetapkannya perbaikan pengaturan lebih

lanjut yang mantap, jelas dan tegas tentang

Pedoman Pelaksanaan Togas dan Administrasi

Pengadilan;

d. Bahwa ketentuan-ketentuansebagaimanadihimpun

dalam Buku II tentang Teknis Administrasi dan

Teknis Peradilan dianggap memenuhi syarat

dipakai oleh Mahkamah Agung;

e. Bahwa untuk itu perlu memerintahkan kepada

semua pejabat struktural dan fungsional beserta

segenap aparat peradilan untuk melaksanakan

Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi

Pengadilan sebagaimana tersebut dalam Buku II

secara seragam, disiplin, tertib dan bertanggung

jaw ab.

f. Bahwa pelaksanaan isi ketentuan dalam Buku II

tentang Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan

mulai berlaku sejak tanggal Keputusan ini;

Mengingat

vi

I. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4

Tahon 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5

Tahon 2004 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 14 Tahon 1985tentang Mahkamah

Agong;

3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang

Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah

dan ditambah dengan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 5 Tahun 2004· '

3. Keputusan Ketua Mahkamah Republik Indonesia

Nomor : KMA/076/SKNIIl/2004 Tahon 2004

tanggal 25 Agostus 2004 tentang Pembentokan

Tim Pembuatan Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Hakim dan Revisi Buku I, II, III;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan

PERfAMA

KEDUA

KEflGA

KEEMPAT

Memberlakukan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan

Memerintahkan kepada semua pejabat struktural dan fungsional beserta aparat peradilan untuk melaksanakan Pedoman Pelaksanaan Togas dan Administrasi Pengadilan sebagaimana tersebut dalam Buku II secara seragam, disiplin, tertib dan bertanggungjawab;

Pimpinan Mahkamah Agung, Hakim Agung, semua pejabat struktural dan fungsional ditugaskan untuk mengawasi pelaksanaan Buku II tersebut serta melaporkan secara periodik kepada Ketua Mahkamah Agung; Pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam butir kedua tersebut di atas berlaku sejak tanggal Keputusan ini ditetapkan;

Ditetapkan : JAKARTA

Pada tanggal : 4 April 2006

KETUA MAHKAMAH AGUNG

REPUBLIK INDONESIA,

PROF. DR. BAGIR MANAN, SH.MCL. vii

·

KETUA MAHKAMAH AGUNG

REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN KETUA MAHKAMAH AGUNG

REPUBLIK INDONESIA

Nomor : 012/KMA/SK/II/2007

Tentang

PEMBENTUKAN TIM PENYEMPURNAAN

BUKU I, BUKU II, BUKU III DAN BUKU TENTANG PENGAWASAN (BUKU IV)

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang a. Bahwa Pasal 2 dan Pasal 10 ayat (2), Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

menetapkan, Mahkamah Agung dan Badan Peradilan

yang berada dibawahnya, merupakan salah satu Pelaku

Kekuasaan Kehakiman;

b. Bahwa Kekuasaan Kehakiman tersebut dilakukan

oleh badan-badan Peradilan Umurn, Peradilan Agama,

Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara

yang berpuncak pada Mahkamah Agung untuk

melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya

peradilan;

c. Bahwa dengan memperhatikan kedudukan dan peran

Mahkamah Agung perlu menyempumakan Buku I,

Buku II, Buku III dan Buku tentang Pengawasan

(Buku IV);

ix

Mengingat

Menetapkan

PEIUAMA

x

d. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas,

dipandang perlu membentuk Tim yang ditugaskan

menyempumakan dan mengkaji serta meneliti Buku

I, Buku II, Buku III dan Buku tentang Pengawasan

(Buku IV) tersebut;

e. Bahwa nama-nama yang tersebut dibawah inl,

dipandang mampu dan untuk diserahi togas dan

tanggung jawab dalam kegiatan tersebut

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahon

2004 tentang kekuasaan Kehakiman;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14

Tahon 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana

telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 5 Tahon 2004;

MEMUTUSKAN :

Menbentuk Tim Penyempumaan dan Pengkajian Buku

I, Buku II, Buku III dan Buku tentang Pengawasaan

(Buku IV) dengan susunan sebagai berikut :

Penanggung jawab: MARIANNA SUTADI, SH.

{Wakil Ketua Mahkamab Agung

Bidang Yudisial) Bendahara DERMA WANS. DJAMIAN, SH.,

MH., CN.

(Kepala Biro Keuangan MA-RI) Sekretaris ALBERflNA HO, SH.

(Askor nm Bl)

I. Tim Ketua Muda Perdata :

Ketua : DR. HARIAN A. TUMPA, SH., MH.

(Ketua Muda Perdata MA-RI)

Anggota : I. Atja Sondjaja, SH.

(Hakim Agung MA-RI)

2. Andi Samsan Nganro, SH., MH.

(KPN. Jakarta Selatan)

3. Haryanto, SH.

(KPN. Jakarta Barat)

4. Supamo, SH.

(KPT. Bandung)

5. Pri Pambudi Teguh, SH., MH.

(Askor 1im F)

2. Tim Ketua Muda Pidana : Ketua : H. PARMAN SOEPARMAN, SH., MH.

(Ketua Muda Pidana MA-RI)

Anggota : 1. Sarehwiyono M., SH., MH.

(Panitera Mahkamab Agung Rf)

2. H. Soewardi, SH.

(Wk. PT. DK/ Jakarta)

3. MD. Pasaribu, SH., MH.

(Panitera Muda Pidana)

4. Andriani Nordin, SH.,

(Ketua PN. Jakarta Pusat)

5. Torowa Daeli, SH., MH.

(Askor 1im G)

3. Tim Ketua Muda ULDILAG :

Ketua : Drs. H. ANDI SYAMSU ALAM, SH.,

MH.

(Ketua Muda UWJLAG MA-RI)

Anggota : 1. Dr. Abdul Manan, SH., S.IP., M.Hum.

(Hakim Agung MA-RI)

2. Ors. H. Habiburrahman, SH., M.Hum.

(Hakim Agung MA-RI)

3. Drs. H. Zainuddin Fajari, SH., MH.

(Direktur Pranata dan Tata Laksana

Perkara Peradilan Agama)

4. Ors. H. Hasan Bisri, SH., M.Hum.

(Panitera Muda Perdata Agama)

5. Ors. H. Edy Riadi, SH., MH.

(Askor 1im B 2)

4. Tim Ketua Muda ULDILMIL

Ketua : GERMAN HOEDIARfO, SH

(Ketua Muda UWILMIL MA-RI)

xi

Anggota 1. Sonson Basar, SH.

(Dirjen. Badan Peradilan Militer dan

TUN )

2. S. Elgin, SH., M.KN. (Direktur Pembinaan Tenaga Tehnis dan

Administrasi Peradilan Militer; Dirjen Badilmiltuny

3. H. Sannan Mulyana, SH. (Direktur Pranata dan Tata Laksana

Perakara Pidana Militer Dlrjen

Badilmiltun)

4. Hj. Reflinar Nunnan SH., M.Hum. (Panitera Muda Pidana Militer pada

MA-RI)

5. Letkol CHK. Yaya Riswaya (Kepala Subdit Pembinaan TeknisPerdilan

Militer)

5. Tim Ketua Muda ULDILTUN

Ketua PROF. DR. PAULUS E. LOTULUNG, SH.

(Ketua Muda ULDILTUN MA-Rf)

Anggota I. H. Imam Soebechi, SH., MH. (Hakim Agung MA-Rf)

2. H. Soemaryono, SH. (Hakim Tinggi TUN Jakarta)

3. H. Kadar Slamet, SH.

(Wakil Ketua PTUN Jakarta)

6. Tim Ketua Muda Pidana Khusus

Ketua ISKANDAR KAMIL, SH.

(Ketua Muda Pidana Khusus MA-Rf)

Anggota I. M. Bahaudin Qaudry, SH. (Hakim Agung MA-RI)

2. Djoko Sarwoko, SH., MH. (Hakim Agung MA-RI)

3. Suhadi, SH., MH.

(Ketua PN Tanggerang)

4. Rudi Suparmono, SH., MH.

(Hakim Yustisial pada MA-RI)

xii

5. Mulyadi, SH., MH.

(Hakim Yusdisial pada MA-RI)

6. Susilo Atmoko, SH.

(Hakim Yustisial pada MA-RI)

7. Tim Ketua Muda Perdata Niaga:

Ketua H. ABDUL KADIR MAPPONG, SH.

(Ketua Muda Perdata Niaga MA-Rf)

Anggota l. DR. Abdurrahman, SH.

(Hakim Agung MA-RI)

2. Parwoto Wignjosumarto, SH.

(Panitera Muda Perdata Khusus pada

MA-RI)

3. I Gusti Agung Sumanatha, SH.

(Sekretaris Badan Penelitian dan

Pengembangan Diklat Hukum dan

Peradilan MA-RI)

4. Cicut Sutiarso, SH., MH.

(KPN. Jakarta pusat)

5. Budiman Sijabat, SH., MH.

(Pansek PN Jakarta Pusat)

8. Tim Ketua Muda Pembinaan :

Ketua Ors. H. AHMAD KAMIL, SH., M.Hum.

(Ketua Muda Pembinaan MA-RI)

Anggota l. Sabi Rusad, SH.

(Panitera Mahkamah Agung)

3. Subagyo, SH., MM.

(Kepala Badan Urusan Admtnistrasi

MA-RI)

4. Anwar Usman, SH., MH.

(Kepala Badan Litbang Diktat Hukum

dan Peradilan)

5. Abidin, SH.

(Kepala Biro Umum MA-Rf)

6. Drs. H.M. Fauzan, SH., MM., MH.

(Hakim Yustisial pada MA-RI)

xiii

9. Tim Ketua Muda Pengawasan

Ketua : GUNANTO SURYONO, SH.

(Ketua Muda Pengawasan MA-RI)

Anggota l. Ansyahrul, SH., M.Hum. (Kepala Badan Pengawasan MA-Rf)

2. Lilik Srihartati, SH., M.Hum. (Sekretaris Kepala Badan Pengawasan

MA-RI)

3. T. Abdurrahman Husny, SH. (Hakim 1inggillnspektur Wilayah W Badan

Pengawasan pada MA-RI)

4. Wahyu Rahardjo, SH. (Hakim Tinggi Pengawasan pada MA•

R[)

5. Ors. Bahrusam Yunus, SH., MH. (Hakim Tinggi Pengawasan pada MA•

R[)

10. Sekretariat

Koordinator TRI DIANA WIDOWATI, SH.,

M.Pd.

(Kepala Biro Kesekretariatan pimpinan

Mahkamah Agung)

Operator I. Susetiyo, SH. 2. Makmur Sulaeman 3. Rohili 4. Ahmad Athoyari, SH. 5. Lasiman Suradi

KEDUA : Melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggungjawab dan

melaporkan hasilnya kepada Ketua Mahkamah Agung RI.

KETIGA : Segala biaya yang bersangkutan dengan pelaksanaan tugas

tersebut dibebankan kepada DIPA Mahkamah Agung RI. KEEMPAT : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan

dengan ketentuan bahwa segala sesuatu akan diubah dan

diperbaiki sebagaimana mestinya apabila dikemudian

hari terdapat kekeliruan.

SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada :

1. Para Wakil Ketua Mahkamah Agung RI.

2. Para Ketua Muda Mahkamah Agung RI.

3. Sekretaris Mahkamah Agung RI.

4. Panitera Mahkamah Agung RI.

5. Kepala Badan Urusan Administrasi

MA-RI.

6. Kepala Biro Keuangan MA-RI.

7. Yang bersangkutan untuk diketahui dan

dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : JAKARTA. Pada tanggal 05 Februari 2007

KETUA MAHAKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

BAGIR MANAN

xv

a. Pendaftaran Perkara Tingkat Pertama .......... 1 b. Pendaftaran Perkara Tingkat Banding ......... 4 c. Pendaftaran Perkara Kasasi ......................... 7 d. Pendaftaran Permohonan Peninjauan Kembali 12 e. Administrasi Biaya Perkara ......................... 14 f. Register Perkara ........................................... 19 g. Laporan ........................................................ 21

Persiapan Persidangan ......................................... 23

a. Penetapan Majelis Hakim ............................ 23 b. Penunjukan Panitera Pengganti ................... 25 c. Penetapan Harl Sidang ................................. 25

d. Pemanggilan para Pihak .............................. · 26

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………………………………..iii

Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor : KMA/032/SK/IV /2007 Tentang : Memberlakukan Buku II

Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan ……………………………….v

Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor : 012/KMA/SK/11/2007 Tentang : Pembentukan Tim Penyempumaan

Buku I, Buku II, Buku III dan Buku Tentang Pengawasan (Buku IV) ………………….vii

Daftar lsi xvii

PEDOMAN TEKNIS ADMINISTRASI DAN

TEKNIS PERADILAN AGAMA/MAHKAMAH SYAR'IV AH

I. TEKNIS ADMINISTRASI ................................................... 1

A. PENGADILAN AGAMA ................................................. 1 1. Penerimaan Perkara ............................................. 1

2.

xvii

3. Pelaksanaan Persidangan..................................... 29

a Ketentuan Umum Persidangan 29

b. Berita Acara Persidangan.. .. ... .. .. . . . . 31

c. Rapat Permusyawaratan Majelis.................. 32

d. Putusan......................................................... 3 2

e. Pemberitahuan Isi Putusan........................... 33

f. Minutasi Berkas Perkara .. .. . . . .. . .. . . . . .. . .. . . .. .. . .. 3 3

g. Penyampaian Salinan Putusan 33

4. Bundel............................................................... 34

s. Pengarsipan.......................................................... 38

B. PENGADILANTINGGI AGAMA 40

I . Pendaftaran Perkara Banding . . . . . .. .. . . .. . . . . . . . . . . . 40

a Penerimaan Berkas Perkara . .. .. .. .. .. . . ..... ... . 40

b. Administrasi Biaya Perkara Banding........... 41

c. Registrasi Perkara 43

2. Persiapan Persidangan............... .. .. 45

3. Pemberkasan Perkara Banding............................ 45

4. Laporan............................................................... 47

5. Arsip Berkas Perkara Banding............................ 48

II. TEKNIS PERADILAN 50

A. Kedudukan dan Wewenang Pengadilan Agarna/

Mahkamah Syar'iyah 50

I. Kedudukan.......................................................... 50

2. Dasar Hukum .. . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . .. .. . . . 50

3. Kewenangan Peradilan Agama/Mahkamah

Syar'iyah............................................................. 51

4. Hukum Materil bagi Pengadilan

Agama!Mahkamah Syar'iyah............................. 52

5. Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan

Agarna/Mahkamah Syar'iyah............................. 53

6. Asas Personalitas Keislaman.............................. 53

xviii

7. Pilihan Hukum.................................................... 55

8. Sengketa Hak Milik............................................ 55

B. Pedoman Beracara pada Pengadilan Agama 56

1. Pedoman Umum 56

a. Perm.ohonan 56

b. Gugatan 58

c. Perkara Prodeo 59

d. Wewenang Relatif..... .. 60

e. Wewenang Absolut...................................... 62

f. Kuasa/Wakil................................................. 63

g. Perkara Gugur 65

h. Perkara Verstek............................................ 67

1. Perlawanan Terhadap PutusanVerstek......... 68

J. Pencabutan Gugatan 70

k. Perubahan Gugatan 70

I. Rekonvensi................................................... 70

m. Kumulasi Gugatan 71

n. Masuknya Pihak Ketiga Dalam Proses

Perkara

72

o. Gugatan Perwakilan Kelompok................... 74

p. Gugatan Untuk Kepentingan Umum . . . . .. . .. .. 78

q. Perdamaian................................................... 79

r. Penggugat/f ergugat Meninggal Dunia 83

s. Pengunduran Sidang .. . . .. .. . 83

t. Hal-Hal Yg Dapat Terjadi Selama

Pemeriksaan Perkara .. . . .. . .. . . .. . .. . . . . 84

u. Tangkisan/Eksepsi . . .. .. . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 85

v. Pengunduran Diri Hakim............................. 86

w. Pembuktian 87

x. Sita Jaminan................................................. 96

Y · Sita jaminan Terhadap Barang Milik

Tergugat 98

xix

1) Poligami . .. . .. .. .. .. .. .. .. .. . . .. ..

2) Izin Kawin, dis pensa si Kawin da n W ali

z. Sita Terhadap Barang Milik Penggugat 100

aa. Sita Persamaan. 101

ab. Sita Harta Bersama 104

ac. Sita Eksekusi................................................ 104

ad. Putusan Serta Merta..................................... 105

ae. Putusan Provisi . . . . .... .. .. .. . . . .. . . . . .. . . . .. . .. . . . . . . . . . . . 107

af. Aksekusi Grose Akte .. .. . .. .. .. .. 108

ag. Eksekusi Hak Tanggungan 109

I,.'.

ah. Eksekusi Jamioan......................................... 113

ai. Eksekusi Putusan Yg BHT 115

aj. Lelang 118

ak. Perlawanan Terhadap Eksekusi 123

al. Perlawanan Pihak Ketiga .. .. 123 am. Penangguhan Eksekusi . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . 126

an. Putusan Non Executable 127

ao. Penawaran Pembayaran Tunai Dan

Konsignasi.................................................... 127

2. Pedoman Khusus

129

a. Hukum Keluarga.......................................... 129

129

Adhal 133

3) Penolakan Perkawinan ex Pasal 21 UU

No.l/1974 136

4) Pencegahan Perkawinan .. 13 8

5) Pembatalan Perkawinan .. 140

6) Itsbat Nikah. 142

7) Perkawinan Campuran . .. .. .. .. .. . . 148

8) Cerai Talak .. 150

9) Cerai Gugat 152

10) Harta Bersama 154

11) Talak Khuluk......................................... 156

xx

12) Syiqaq ·... .. . . . . . .. . . . . . . . . . . . .. . . 156

13) Li'an 157

14) Asal Usul Anak 159

15) Pemeliharaan dan Nafkah Anak 162

16) Perwalian. .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 164

17) Pengangkatan Anak 165

b. Hukum Kewarisan 167

c. Wasiat clan Hibah......................................... 180

d. Wakaf 181

e. Ekonomi Syari' ah . .. .. .. .. . . .. . . . . . . . . .. 183

f. Zak.at, Infaq dan Shadaqah... .. . . . . . . . . .. . . .. . . . . . 184

g. Sengketa Kewenangan Mengadili 185

h. Itsbat Rukyat Hilal .. .. .. .. .. . .. .. .. .. . . . . .. . . 187

Lampiran I Berita Acara Tentang Pemyataan Kesediaan

Untuk Membayar 190

Lampiran II Berita Acara Pemberitahuan Akan

Dilakukan Penyimpanan/Konsignasi

di Kas Kepaniteraan.......... .. .. 192

Lampiran III Berita Acara Penyimpanan/Konsignasi 194

.

xxi

PEDOMAN TEKNIS

ADMINISTRASI DAN PERADILAN

PENGADILAN AGAMA I MAHKAMAH SYAR'IYAH

I. TEKNIS ADMINISTRASI

A. PENGADILAN AGAMA

1. Penerimaan Perkara

a. Pendaftaran Perkara Tingkat Pertama

1) Petugas Meja I menerima gugatan, permohonan,

verzet, pennohonan banding, permohonan kasasi,

pennohonan peninjauan kembali, permohonan

eksekusi dan perlawanan pihak ketiga (derden

verzet).

2) Perlawanan atas putusan verstek (verzet) tidak

didaftar sebagai perkara baru clan Pelawan

dibebani biaya untuk pemanggilan clan

pemberitahuan pihak-pihak yang ditaksir oleh

petugas Meja I.

3) Perlawanan pihak ketiga (derden verzet) didaftar

sebagai perkara baru dalam register gugatan.

4) Dalam pendaftaran perkara, dokumen yang perlu

diserahkan kepada petugas Meja I adalah :

a) Surat gugatan atau surat permohonan yang

ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama

yang berwenang.

b) Surat kuasa khusus (dalam haI Penggugat atau

pemohon menguasakan kepada pihak lain).

c) Fotokopi kartu anggota advokat bagi yang

menggunakan jasa advokat.

1

d) Bagi kuasa insidentil, harus ada surat

keterangan tentang hubungan keluarga dari

Kepala Desa/Lurah dan/atau surat izin khusus

dari atasan bagi PNS dan anggota 1NI/POLRI

(Surat Edaran TUADA ULDILTUN MARI

No. MAIKUMDIL/8810/1987).

e) Salinan putusan (untuk permohonan eksekusi).

t) Salinan surat-surat yang dibuat di luar negeri

harus disahkan oleh Kedutaan/Perwakilan

Indonesia di negara tersebut, dan harus

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh

penerjemah yang disumpah.

5) Surat gugatan/permohonan diserahkan kepada

petugas Meja I sebanyak jumlah pihak, ditambah 3

(tiga) rangkap termasuk asli untuk majelis.

6) Petugas Meja I menerima dan memeriksa keleng•

kapan berkas dengan menggunakan daftar periksa

(check list).

7) Petugas Meja I menaksir panjar biaya perkara atas

dasar Surat Keputusan Ketua Pengadilan Agama,

8) Perincian panjar biaya perkara tersebut harus

ditempel pada papan pengumuman Pengadilan

Agama.

9) Dalam penaksiran panjar biaya perkara perlu

dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

a). Jumlah pihak-pihak yang berperkara.

b). Jarak tempat tinggal dan kondisi daerah para

pihak.

c). Dalam perkara cerai talak harus diperhitungkan

juga biaya pemanggilan para pihak untuk

sidang ikrar talak.

2

10) Setelah menaksir panjar biaya perkara, petugas

Meja I membuat Surat Kuasa Untuk Membayar

(SKUM) dalam rangkap 3 (tiga) :

a) Lembar pertama untuk Penggugat/Pemohon.

b) Lembar kedua untulc Pemegang Kas.

c) Lembar ketiga dilampirkan dalam berkas

gugatan/ permohonan.

11) Petugas Meja I mengembalikan berkas kepada

Penggugat/ Pemohon untuk diteruskan kepada

Pemegang Kas.

12) Penggugat/Pemohon membayar uang panjar biaya

perkara yang tercantum dalam SKUM ke Bank.

13) Pemegang Kas menerima bukti setor ke Bank dari

Penggugat/Pemohon clan membukukannya dalam

Buku Jurnal keuangan perkara.

14) Pemegang Kas membubuhkan cap tanda lunas dan

memberi nomor pada SKUM.

15) Nomor halaman Buku Jurnal adalah nomor urut

perkara yang kemudian dicantumkan dalam

SKUM clan lembar pertama surat gugatan/

permohonan.

16) Pemegang Kas menyerahkan berkas perkara

kepada Penggugat/Pemohon agar didaftarkan

kepada petugas Meja II

17) Petugas Meja Il mencatat perkara tersebut dalam

Buku Register induk gugatan/pennohonan sesuai

dengan nomor perkara yang tercantum pada

SKUM.

18) Petugas Meja II menyerabkan satu rangkap surat

gugatan/ permohonan yang telah terdaftar berikut

3

SKUM rangkap pertama kepada Penggugat/

Pemohon.

19) Petugas Meja II memasukkan berkas surat

gugatan/ permohonan tersebut dalam map berkas

perkara clan menyerahkannya kepada Wakil

Panitera untuk disampaikan kepada Ketua

Pengadilan Agama melalui Panitera.

b. Pendaftaran Permohonan Banding

1) Permohonan banding didaftarkan kepada petugas

Meja I.

2) Permohonan banding dapat diajukan dalam waktu

14 hari setelah putusan diucapkan atau setelah

diberitahukan dalam hal putusan tersebut

diucapkan di luar hadir.

3) Penghitungan waktu 14 hari dimulai pada bari

berikutnya (besoknya) setelah putusan diucapkan

atau setelah putusan diberitahukan, dan apabila

hari ke-14 (keempat belas) jatuh pada hari libur,

maka diperpanjang sampai hari kerja berikutnya

4) Terhadap permohonan banding yang diajukan

melampaui tenggat waktu tersebut di atas tetap

dapat diterima dan dicatat, kemudian Panitera

membuat surat keterangan bahwa permohonan

banding telah lampau waktu.

5) Petugas Meja I menentukan besarnya panjar biaya

banding yang dituangkan dalam SKUM, yang

terdiri dari :

a) Biaya banding yang dikirimkan ke Pengadilan

Tinggi Agama.

4

b) Ongkos pengiriman biaya banding melalui

Bank/Kantor Pos.

c) Biaya fotokopi/penggandaan dan pemberkasan.

d) Ongkos pengiriman berkas perkara banding.

e) Ongkos jalan petugas pengiriman.

f) Biaya-biaya pemberitahuan, yang berupa :

( 1) biaya pemberitahuan akta banding.

(2) biaya pemberitahuan memori banding.

(3) biaya pemberitahuan kontra memori

banding.

(4) biaya pemberitahuan memeriksa berkas

(inzage) bagi pembanding.

(5) biaya pemberitahuan memeriksa berkas

(inzage) bagi terbanding.

(6) biaya pemberitahuan amar putusan bagi

pembanding.

(7) biaya pemberitahuan amar putusan bagi

terbanding.

6) Berkas perkara banding yang telah lengkap

dibuatkan SKUM dalam rangkap tiga :

a) lembar pertama untuk pemohon banding.

b) lembar kedua untuk Pemegang Kas.

c) lembar ketiga dilampirkan dalam berkas

pennohonan banding.

7) Petugas Meja I menyerahkan berkas permohonan

banding yang dilengkapi dengan SKUM kepada

pihak yang bersangkutan untuk membayar uang

panjar yang tercantum dalam SKUM kepada

Pemegang Kas.

5

8) Pemegang Kas setelah menerima uang panjar

biaya perkara banding harus menandatangani dan

membubuhkan cap lunas pada SKUM.

9) Pemegang Kas kemudian membukukan uang

panjar biaya perkara banding yang tercantum pada

SKUM dalam Buku Jurnal Keuangan Perkara

Banding.

10) Pemyataan banding dapat diterima apabila panjar

biaya perkara banding yang ditentukan dalam

SKUM telah dibayar lunas.

11) Apabila panjar biaya perkara banding telah dibayar

lunas, Panitera membuat akta pemyataan banding

dan mencatat permohonan banding tersebut dalam

Buku Register Induk Perkara Gugatan dan Buku

Register Permohonan Banding.

12) Permohonan banding dalam waktu 7 (tujuh) hari

kerja harus telah diberitahukan kepada pihak

lawan.

13) Tanggal penerimaan memori banding dan kontra

memori banding harus dicatat dalam Buku

Register Induk Perkara dan Buku Register Permo•

honan Banding, kemudian salinannya disampaikan

kepada masing-masing lawannya dengan membuat

Relaas pemberitahuan/penyerahannya.

14) Sebelum berkas perkara dikirim ke Pengadilan

Tinggi Agama harus diberikan kesempatan kepada

kedua belah pihak untuk memeriksa berkas

perkara (inzage) dan hal itu dituangkan dalam

akta.

15) Dalam waktu 30 hari sejak permohonan banding

diajukan, berkas perkara banding berupa bundel A

6

clan bundel B harus sudah dikirim ke Pengadilan

Tinggi Agama.

16) Biaya perkara banding untuk Pengadilan Tinggi

Agama harus dikirim melalui Bank/Kantor Pos

dan tanda bukti pengiriman uang harus dikirim

bersamaan dengan berkas yang bersangkutan.

17) Ketua Pengadilan Agama harus membaca putusan

banding dengan cermat dan teliti sebelum

menyampaikan kepada para pihak.

18) Fotokopi Relaas pemberitahuan amar putusan

banding dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi

Agama

c. Pendaftaran Perkara Kasasi

1) Permohonan Kasasi didaftarkan kepada petugas

Meja I.

2) Permohonan kasasi dapat diajukan dalam waktu 14

hari setelah putusan diucapkan atau setelah

pemberitahuan amar putusan.

3) Penghitungan waktu 14 hari dimulai pada hari

berikutnya (besoknya) setelah putusan diucapkan

atau setelah putusan diberitahukan, clan apabila

hari ke-14 (keempat belas) jatuh pada hari libur,

maka diperpanjang sampai hari kerja berikutnya.

4) Petugas Meja I menentukan besarnya panjar biaya

kasasi yang dituangkan dalam SKUM, yang terdiri

dari:

a) Biaya perkara kasasi yang dikirim ke

Mahkamah Agung R.I.

b) Ongkos pengiriman biaya perkara kasasi.

c) Biaya pemberitahuan akta kasasi.

7

d) Biaya pemberitahuan memori kasasi.

e) Biaya pemberitahuan kontra memori kasasi.

f) Biaya pemberitahuan memeriksa berkas

(inzage) bagi Pemohon Kasasi.

g) Biaya pemberitahuan memeriksa berkas

(inzage) bagi Tennohon Kasasi.

h) Biaya fotokopi/penggandaan dan pemberkasan.

i) Ongkos pengiriman berkas perkara kasasi.

j) Ongkos jalan petugas pengiriman.

k) Biaya pemberitahuan amar putusan kasasi

kepada Pemohon Kasasi.

I) Biaya pemberitahuan amar putusan kasasi

kepada Termohon Kasasi.

5) Berkas permohonan kasasi yang telah lengkap

dibuatkan SKUM dalam rangkap tiga:

a) Lembar pertama untuk Pemohon Kasasi.

b) Lembar kedua untuk Pemegang Kas.

c) Lembar ketiga dilampirkan dalam berkas

permohonan kasasi.

6) Petugas Meja I menyerahkan berkas permohonan

kasasi yang dilengkapi dengan SKUM kepada

pihak yang bersangkutan agar membayar uang

panjar biaya perkara kasasi yang tercantum dalam

SKUM kepada Pemegang Kas.

7) Pemegang Kas setelah menerima pembayaran

panjar biaya perkara kasasi hams menandatangani

dan membubuhkan cap Iunas pada SKUM.

8) Permohonan kasasi dapat diterima apabila panjar

biaya perkara kasasi yang tercantum dalam SKUM

telah dibayar lunas.

8

9) Pemegang Kas membukukan uang panjar biaya

kasasi yang tercantum dalam SKUM pada Buku

Jurnal keuangan perkara kasasi.

10) Apabila panjar biaya perkara kasasi telah dibayar

lunas, maka Panitera pada hari itu juga membuat

akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada

berkas perkara dan mencatat pennohonan kasasi

tersebut dalam Buku Register Induk Perkara dan

Buku Register Pennohonan Kasasi.

11) Permohonan kasasi yang telah terdaftar, dalam

waktu 7 (tujuh) hari harus telah diberitahukan

kepada pihak lawan.

12) Memori kasasi, selambat-lambatnya 14 (empat

belas) hari sesudah permohonan kasasi terdaftar,

harus sudah diterima pada kepaniteraan Pengadilan

Agama, Apabila dalam waktu tersebut memori

kasasi belum diterima, Pemohon Kasasi dianggap

tidak menyerahkan memori kasasi. Penghitungan

14 (empat belas) hari tersebut sama dengan pada

angka 3 di atas.

13) Panitera memberikan tanda terima atas penerimaan

memori kasasi clan dalam waktu selambat•

lambatnya 7 (tujuh) hari salinan memori kasasi

harus diberitahukan kepada pihak lawan.

14) Kontra memori kasasi selambat-lambatnya 14

(empat belas) hari setelah diberitahukannya

memori kasasi, harus sudah disampaikan kepada

kepaniteraan Pengadilan Agama untuk

diberitahukan kepada pihak lawan.

15) Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima

kontra memori kasasi, Pengadilan Agama membe-

9

ritahukan kepada pihak yang berperkara untuk

memeriksa berkas perkara (inzage) dengan

dibuatkan Relaas pemberitahuan.

16) Para pihak dapat memeriksa berkas perkara

(inzage) selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak

diterimanya pemberitahuan dengan dibuatkan alcta

pemeriksaan berkas (inzage).

17) Dalam waktu 60 hari sejak permohonan kasasi

diajukan, berkas permohonan kasasi berupa bundel

A dan bundel B harus dikirim ke Mahkamah

Agung.

18) Apabila syarat formal permohonan kasasi tidak

dipenuhi oleh Pemohon Kasasi, berkas perkaranya

tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung (Pasal 45 A

ayat (3) UU No. 5 Tahun 2004).

19) Yang dimaksud dengan syarat formal permohonan

kasasi adalah tenggang waktu permohonan kasasi,

pemyataan kasasi, panjar biaya perkara kasasi dan

memori kasasi, yang ditentukan dalam Pasal 46

dan 47 UU No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah

diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004.

20) Panitera Pengadilan Agama membuat surat

keterangan bahwa permohonan kasasi tersebut

tidak memenuhi syarat formal.

21) Berdasarkan surat keterangan Panitera tersebut dan

setelah meneliti kebenarannya, Ketua Pengadilan

Agama membuat penetapan yang menyatakan

bahwa pennohonan kasasi tersebut tidak dapat

diterima.

22) Salinan penetapan Ketua Pengadilan Agama

tersebut pada butir 21 di atas diberitahukan/

10

'

disampaikan kepada para pihak sesuai ketentuan

yang berlaku.

23) Dengan dikeluarkannya penetapan Ketua

Pengadilan Agama tersebut, maka putusan yang

dimohonkan kasasi menjadi berkekuatan hukum

tetap dan terhadap penetapan ini tidak dapat

dilakukan upaya hukum.

24) Petugas Kepaniteraan mencatat kode "TMS" (tidak

memenuhi syarat formal) dalam kolom keterangan

pada Buku lnduk Register Perkara.

25) Ketua Pengadilan Agama melaporkan permo-

honan kasasi yang tidak memenuhi syarat formal

dengan dilampiri penetapan tersebut ke Mahkamah

Agung.

26) Biaya permohonan kasasi untuk Mahkamah Agung

dikirim oleh Pemegang Kas melalui Bank BRI

Cabang Veteran-JI. Veteran Raya No. 8 Jakarta

Pusat Rekening Nomor 31.46.0370.0 dan bukti

pengirimannya dilampirkan dalam berkas perkara

yang bersangkutan.

27) Tanggal penerimaan memori kasasi dan kontra

memori kasasi hams dicatat dalam Buku Register

lnduk Perkara dan Buku Register Permohonan Kasasi.

28) Ketua Pengadilan Agama hams membaca putusan

kasasi dengan cermat dan teliti sebelum

menyampaikan kepada para pihak.

29) Fotokopi Relaas pemberitahuan amar putusan

kasasi dikirim ke Mahkamah Agung.

11

d. Pendaftaran Permohonan Peninjauan Kembali

I) Permohonan peninjauan kembali didaftarkan

kepada petugas Meja I.

2) Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan

dalam waktu 180 hari setelah putusan mempunyai

kekuatan hukum tetap atau sejak ditemukannya bukti

baru (novum).

3) Petugas Meja I menentukan besarnya panjar biaya

peninjauan kembali yang dituangkan dalam

SKUM, yang terdiri dari :

a) Biaya perkara peninjauan kembali yang

dikirimkan ke Mahkamah Agung.

b) Ongkos pengiriman biaya perkara peninjauan

kembali melalui Bank/Kantor Pos.

c) Biaya pemberitahuan pemyataan dan alasan

peninjauan kembali.

d) Biaya pemberitahuan jawaban atas permo•

honan dan alasan peninjauan kembali.

e) Biaya fotokopi/penggandaan dan pemberkasan.

f) Ongkos pengiriman berkas perkara peninjauan

kembali.

g) Ongkos jalan petugas pengiriman.

h) Biaya pemberitahuan amar putusan peninjauan

kembali kepada Pemohon Peninjauan Kembali.

i) Biaya pemberitahuan amar putusan peninjauan

kembali kepada Tennohon Peninjauan

Kembali.

4) Berkas perkara yang telah lengkap dibuatkan Surat

Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap

tiga, masing-masing:

12

a) Lembar Pertama untuk Pemohon Peninjauan

Kembali

b) Lembar kedua untuk Pemegang Kas.

c) Lembar ketiga dilampirkan dalam berkas

permohonan peninjauan kembali.

5) Petugas Meja I menyerahkan berkas permohonan

peninjauan kembali yang dilengkapi dengan

SKUM kepada pihak yang bersangkutan agar

membayar biaya yang tercantum dalam SKUM

kepada Pemegang Kas.

6) Pemegang Kas menandatangani dan membubuh•

kan cap lunas pada SKUM setelah menerima

pembayaran biaya tersebut.

7) Permohonan peniniauan kembali clapat diterima

. apabila panjar biaya perkara yang ditentukan

clalam SKUM telah dibayar lunas.

8) Pemegang Kas membukukan uang panjar biaya

perkara yang tercantum pada SKUM dalam Buku

Jurnal Permohonan Peninjauan Kembali.

9) Apabila panjar biaya perkara telah dibayar lunas,

Pengadilan Agama pada hari itu juga membuat

akta permohonan peniniauan kembali yang

dilampirkan pada berkas perkara clan mencatat

permohonan peniajauan kembali tersebut dalam

Buku Register Induk Perkara dan Buku Register

Peninjauan Kembali.

10) Selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas)

hari, Panitera memberitahukan permohonan

peninjauan kembali kepada pihak lawan dengan

memberikan salinan permohonan peninjauan

kembali beserta alasan-alasannya.

13

11) Selambat-Iambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak

alasan peninjauan kembali diterima, jawaban atas

alasan peninjauan kembali harus sudah diserahkan

di kepaniteraan Pengadilan Agama untuk

disampaikan kepada pihak lawan.

12) Jawaban atas permohonan dan alasan peninjauan

kembali yang diterima di kepaniteraan Pengadilan

Agama harus dibubuhi hari dan tanggal

penerimaan yang dinyatakan di atas surat jawaban

tersebut.

13) Dalam waktu 30 hari setelah menerima jawaban

tersebut, berkas permohonan peninjauan kembali

berupa bundel A dan bundel B harus dikirim ke

Mahkamah Agung.

14) Ketua Pengadilan Agama harus membaca putusan

peninjauan kembali dengan cermat dan teliti

sebelum menyampaikan kepada para pihak.

15) Fotokopi Relaas pemberitahuan amar putusan

peninjauan kembali supaya dikirim ke Mahkamah

Agung.

e. Administrasi Biaya Perkara

1) Pemegang Kas melaksanakan tugas-tugas adminis-

trasi biaya perkara.

2) Biaya administrasi untuk perkara gugatan/

permohonan dikeluarkan pada saat telah diterimanya

panjar biaya perkara.

3) Hak-hak kepaniteraan yang berupa biaya pencatatan

juga dikeluarkan setelah diterimanya panjar biaya

perkara.

14

4) Biaya meterai clan redaksi dikeluarkan pada saat

perkara diputus.

5) Pengeluaran uang hak-hak kepaniteraan yang lain

dilakukan menurut ketentuan yang berlaku.

6) Semua pengeluaran uang yang merupakan hak-hak

kepaniteraan adalah sebagai pendapatan negara.

7) Seminggu sekali Pemegang K.as menyerahkan

uang hak-hak kepaniteraan kepada bendaharawan

penerima untuk disetorkan ke kas negara. Setiap

penyerahan, besarnya uang dicatat dalam kolom 19

KI-PA8 dengan dibubuhi tanggal clan tanda tangan

serta nama Bendaharawan Penerima.

8) Pengeluaran uang yang diperlukan bagi penyeleng•

garaan peradilan untuk ongkos-ongkos panggilan,

pemberitahuan, pelaksanaan sita, pemeriksaan

setempat, sumpah, penerjemah, dan eksekusi harus

dicatat dengan tertib dalam masing-masing buku

jurnal.

9) Ongkos-ongkos tersebut dapat dikeluarkan atas

keperluan yang nyata sesuai dengan jenis kegiatan

tersebut.

10) Pemegang Kas mencatat penerimaan dan

pengeluaran uang setiap hari dalam buku jurnal yang

bersangkutan dan mencatat dalam buku kas bantu

yang dibuat rangkap dua, lembar pertama disimpan

oleh Pemegang Kas dan lembar kedua diserahkan

kepada panitera sebagai laporan.

11) Panitera atau petugas yang ditunjuk dengan surat

keputusan Ketua Pengadilan Agama, mencatat

dalam Buku Induk Keuangan Perkara yang

bersangkutan.

15

12) Buku Keuangan Perkara terdiri dari :

a) Buku Jurnal Perkara Gugatan (KI-PAl/G).

b) Buku Jurnal Perkara Permohonan (KI-PAl/P).

c) Buku Jumal Permohonan Banding (KI-PA2).

d) BukuJumal Pennohonan Kasasi (KI- PA3).

e) Buku Jumal Pennohonan Peninjauan

Kembali (KI-PA4).

f) Buku Jumal Permohonan Eksekusi (KI-PAS).

g) Buku Induk Keuangan Perkara (KI-PA6).

h) Buku Keuangan Biaya Eksekusi (KI-PA7).

i) Buku Penerimaan Uang Hak-hak

Kepaniteraan (KI-PA8).

j) Buku Jumal Biaya Penyitaan (KI-PA9).

k) Buku Keuangan Konsinyasi (K.1-PAlO)

13) Buku Jurnal Keuangan Perkara digunakan untuk

mencatat semua kegiatan penerimaan dan

pengeluaran biaya untuk setiap perkara :

a) Untuk perkara tingkat pertama (gugatan dan

permohonan) dimulai dengan penerimaan panjar

clan ditutup pada tanggal perkara diputus.

b) Untuk perkara banding, kasasi, dan peninjauan

kembali dimulai dengan penerimaan panjar dan

ditutup pada tanggal pemberitahuan putusan

pada tingkat masing-masing kepada para pihak.

c) Permohonan eksekusi dimulai dengan peneri•

maan panjar dan ditutup pada tanggal selesai

pelaksanaan eksekusi.

14) Bukujumal diberi nomor halaman, halaman pertama

clan terakhir ditandatangani Ketua Pengadilan

Agama dan halaman lainnya diparaf.

16

15) Banyaknya halaman pada setiap buku jurnal

dinyatakan oleh Ketua Pengadilan Agama pada

halaman awal dan keterangan tersebut clitanda•

tangani oleh Ketua Pengadilan Agama.

16) Buku lnduk Keuangan Perkara digunakan untuk

mencatat seluruh kegiatan penerimaan dan penge•

luaran dari seluruh perkara (kecuali permohonan

eksekusi), dan dicatat menurut urutan tanggal

penerimaan dan pengeluaran dalam Buku Jumal

yang terkait, yang climulai setiap awal bulan dan

ditutup pada akhir bulan.

17) Buku Keuangan Biaya Eksekusi digunakan untuk

mencatat seluruh kegiatan penerimaan clan

pengeluaran eksekusi menurut urutan tanggal

penerimaan dan pengeluaran dalam Buku Jumal

Eksekusi.

18) Buku Penerimaan Uang Hak-hak Kepaniteraan,

cligunakan untuk mencatat penerimaan uang hak-hak

kepaniteraan, dan dalam kolom keterangan cliisi

dengan tanggal, jumlah uang yang disetor, serta

tanda tangan dan nama Bendaharawan Penerima.

19) Buku Keuangan Biaya Penyitaan cligunakan untuk

mencatat kegiatan penerimaan dan pengeluaran

penyitaan.

20) Buku Induk Keuangan Perkara, Buku Keuangan

Biaya Eksekusi dan Buku Penerimaan Uang Hak-

hak Kepaniteraan diberi nomor balaman. Halaman

pertama clan terakhir ditandatangani oleh Ketua

Pengadilan Agama dan halaman lainnya diparaf.

21) Banyaknya halaman clan adanya tandatangan serta

paraf tersebut diterangkan pada halaman awal dari

17

masing-masing buku, clan keterangan tersebut

ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Agama,

22) Penutupan Buku Induk Keuangan Perkara dan Buku

Keuangan Biaya Eksekusi dilakukan oleh Panitera

dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Agama.

23) Pada setiap penutupan Buku lnduk Keuangan

tersebut, harus dijelaskan sisa uang menurut buku

kas, sisa uang dalam kas maupun yang disimpan di

Bank, serta perincian dari uang tersebut.

24) Apabila terdapat selisih antara jumlah uang menurut

buku kas dengan uang kas sesungguhnya, maka

harus dijelaskan alasan terjadinya selisih tersebut.

25) Ketua Pengadilan Agama sebelum menandatangani

Buku Induk Keuangan Perkara, harus meneliti

kebenaran keadaan uang menurut buku kas dan

menurut keadaan yang nyata, baik dalam brankas

maupun yang tersimpan di Bank, dengan disertai

bukti penyimpanan uang di Bank,

26) Ketua Pengadilan Agama setiap saat dapat

memerintahkan Panitera untuk menutup Buku Induk

Keuangan Perkara dan meneliti kebenaran setiap

penerimaan dan pengeluaran uang perkara, sesuai

dengan Buku Jurnal yang berkaitan, dan meneliti

keadaan uang menurut buku kas dan uang yang ada

dalam brankas maupun yang disimpan di Bank,

disertai bukti- buktinya.

27) Penutupan Buku Induk Keuangan Perkara atas dasar

perintah Ketua Pengadilan Agama tersebut di atas,

hendaknya dilakukan secara mendadak sekurang-

kurangnya 3 (tiga) bulan sekali, dengan dibuatkan

berita acara pemeriksaan.

18

28) Buku Jumal dan Buku Induk Keuangan setiap tahun

harus diganti dan tidak boleh digabung dengan tahun

sebelumnya

f. Register perkara

1) Pendaftaran perkara dalam Buku Register hams

dilakukan dengan tertib clan cermat.

2) Buku Register perkara di Pengadilan Agama tercliri

dari:

(a) Register Induk Perkara Gugatan.

(b) Register Induk Perkara Permohonan.

(c) Register Permohonan Banding.

(d) Register Permohonan Kasasi.

(e) Register Permohonan Peninjauan Kembali.

(f) Register Penyitaan Barang Bergerak.

(g) Register Penyitaan Barang Tidak Bergerak.

(h) Register Surat Kuasa Khusus.

(i) Register Eksekusi.

G) Register Akta Cerai.

3) Buku Register diberi nomor halaman, halaman

pertama dan terakhir ditandatangani oleh Ketua

Pengadilan Agama dan halaman lainnya diparaf.

4) Banyaknya halaman pada setiap Buku Register

dinyatakan pada halaman awal dan keterangan

tersebut ditandatangani oleh Ketua Pengadilan

Agama

5) Buku Register lnduk Perkara memuat seluruh data

perkara dalam tingkat pertama, banding, kasasi,

peninjauan kembali, dan eksekusi.

6) Buku Register harus diganti setiap tahun dan tidak

boleh digabung dengan tahun sebelumnya.

19

7) Buku Register Induk Perkara Gugatan clan Buku

Register lnduk Perkara Permohonan ditutup setiap

bulan. Nomor urut setiap bulan dimulai dari nomor

I, sedangkan nomor perkara berlanjut untuk satu

tahun.

8) Penutupan Buku Register setiap akhir bulan,

ditandatangani oleh petugas register, dengan

perincian sebagai berikut:

a) Sisa bulan lalu

b) Masuk bulan ini

c) Putus bulan ini

d) Sisa bulan ini

: perkara

: perkara

: perkara

: perkara

9) Penutupan Buku Register setiap akhir tahun,

ditandatangani oleh Panitera dan diketahui Ketua

Pengadilan Agama, dengan perincian sebagai

berikut:

a) Sisa tahun lalu : perkara

b) Masuk tahun ini : perkara

c) Putus tahun ini : perkara

d) Sisa tahun ini : perkara

10) Buku Register Permohonan Banding, Register

Permohonan Kasasi, dan Register Permohonan

Peninjauan Kembali ditutup setiap akhir tahun,

dengan rekapitulasi sebagai berikut:

a) Sisa tahun lalu : perkara

b) Masuk tahun ini : perkara

c) Putus tahun ini : perkara

d) Sisa akhir tahun : perkara

(I) Sudah dikirim : perkara

(2) Belum dikirim : perkara

20

6) Laporan Keadaan Perkara berisi tentang keadaan

perkara sejak diterima sampai diputus dan

diminutasi.

7) Laporan Perkara yang Dimohonkan Banding berisi

tentang keadaan perkara yang dimohonkan banding,

mulai tanggal putusan, tanggal permohonan banding,

sampai tanggal pengiriman berkas perkara ke

Pengadilan Tinggi Agama.

8) Laporan Perkara yang Dimohonkan Kasasi berisi

tentang keadaan perkara yang dimohonkan kasasi,

mulai tanggal penerimaan berkas dari Pengadilan

Tinggi Agama sampai dengan tanggal pengiriman

berkas perkara ke Mahkamah Agung.

9) Laporan Perkara yang Dimohonkan Peninjauan

Kembali berisi tentang keadaan perkara yang

dimohonkan peninjauan kembali, mulai tanggal

penerimaan berkas dari Mahkamah Agung atau

Pengadilan Tinggi Agama sampai dengan tanggal

pengiriman berkas perkara ke Mahkamah Agung.

10) Laporan Perkara yang Dimohonkan Eksekusi berisi

tentang keadaan perkara yang dimohonkan eksekusi,

mulai tanggal permohonan eksekusi sampai dengan

selesainya eksekusi.

ll)Perkara yang lebih dari 6 (enam) bulan sejak

diterima ternyata belum diputus, harus disebutkan

alasannya dalam kolom keterangan.

12) Perkara sebagaimana tersebut pada angka 1) huruf b)

sampai dengan huruf e) di atas, tetap dilaporkan

dalam setiap laporan sampai perkara diputus.

13) Laporan Kegiatan Hakim berisi tentang jumlah

perkara yang diterima, diputus, sisa perkara, serta

22

g. Laporan

1) Laporan Pengadilan Agama terdiri dari :

a) Laporan Keadaan Perkara : L.I.PA. I

b) Laporan Perkara yang Dimohonkan

Banding. : L.1.PA.2

c) Laporan Perkara yang Dimohonkan

Kasasi : L.I.PA.3

d) Laporan Perkara yang Dimohonkan PK : L.I.PA.4

e) Laporan Perkara yang Dimohonkan

Eksekusi : L.I.PA.5

f) Laporan Kegiatan Hakim : L.I.PA.6

g) Laporan Keuangan Perkara : L.I.PA. 7 h)

Laporan Jenis Perkara. : L.I.PA.8

2) Asli laporan clikirim kepada Ketua Pengadilan

Tinggi Agama, sedangkan lembar kedua dikirimkan

kepada Mahkamah Agung cq. Direktur Jendral

Badan Peradilan Agama,

3) Laporan Keadaan Perkara, Laporan Keuangan

Perkara, dan Laporan Jenis Perkara dibuat setiap

akhir bulan dan harus diterima oleh Pengadilan

Tinggi Agama dan Mahkamah Agung selambat•

lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya.

4) Laporan Perkara yang Dimohonkan Banding,

Laporan Perkara yang Dimohonkan Kasasi, Laporan

Perkara yang Dimohonkan Peninjauan Kembali dan

Laporan Perkara yang Dimohonkan Eksekusi, dibuat

setiap 4 (empat) bulan, yaitu pada akhir bulan April,

Agustus, dan Desember.

5) Laporan Kegiatan Hakim dibuat setiap 6 bulan yaitu

pada akhir bulan Juni dan Desember.

21

jumlah perkara yang sudah maupun yang belum

diminutasi.

14) Laporan tentang keadaan keuangan perkara harus

sesuai dengan Buku Induk Keuangan Perkara.

15)Laporan LI-PAI sampai dengan LI-PA7 adalah

laporan yang bersifat evaluasi, sebingga dari

laporan-laporan tersebut dapat dipantau tentang

kegiatan para pejabat peradilan secara keseluruhan,

baik Hakim maupun pejabat kepaniteraan yang

berhubungan dengan jalannya penyelenggaraan

peradilan.

16) Laporan LI-PA8 adalah laporan yang berisi tentang:

a) jumlah danjenis perkara,

b) jumlah perkara yang diputus.

c) sisa perkara yang belum diputus pada setiap

akhir bulan.

17) Cara pengisian formulir laporan berpedoman kepada

Petunjuk Pelaksanaan Pola BINDALMIN.

18)Tentang ekonomi syari'ah dan Mahkamah Syar'iyah

akan dirumuskan dalam pedoman tersediri.

2. Peniapan Penidangan

a. Penetapan Majelis Hakim

1) Dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja setelah

proses registrasi diselesaikan, petugas Meja Il

menyampaikan berkas gugatan/permohonan

kepada wakil Panitera untuk disampaikan kepada

Ketua Pengadilan Agama melalui Panitera dengan

dilampiri formulir Penetapan Majelis Hakim

(PMH).

23

2) Majelis Hakim harus terdiri dari tiga orang hakim

(kecuali undang-undang menentukan lain), dengan

ketentuan:

a) Ketua clan Wakil Ketua Pengadilan Agama

selalu menjadi Ketua Majelis.

b) Ketua Majelis Hakim hendaknya Hakim senior

pada pengadilan tersebut, Senioritas tersebut

didasarkan pada Iamanya seseorang menjadi

hakim.

c) Tiga orang hakim yang menempati urutan

senioritas terakhir dapat salin~ menjadi Ketua

Majelis dalam perkara yang berlainan.

d) Susunan Majelis Hakim hendaknya ditetapkan

secara tetap untuk jangka waktu tertentu.

e) Untuk memeriksa perkara-perkara tertentu,

Ketua Pengadilan Agama dapat membentuk

majelis khusus.

f) Majelis Hakim clibantu oleh Panitera Pengganti

dan Jurusita.

3) Ketua Pengadilan Agama selambat-Iambatnya

dalam waktu 3 (tiga) hari kerja menetapkan

Majelis Hakim yang akan menyidangkan perkara.

4) Apabila Ketua Pengadilan Agama karena

kesibukannya berhalangan untuk melakukan hal

itu, maka ia clapat melimpahkan tugas tersebut

untuk seluruhnya atau sebagiannya kepada Wakil

Ketua Pengadilan Agama atau Hakim senior yang

bertugas di Pengadilan Agama itu.

5) Penetapan Majelis Hakim dicatat oleh petugas

Meja II dalam Buku Register Induk Perkara.

24

b. Penunjukkan Panitera Pengganti.

1) Panitera menunjuk Panitera Pengganti untulc

membantu Majelis Hakim dalam menangani

perkara

2) Panitera Pengganti membantu Majelis Hakim

dalam persidangan.

3) Penunjukan Panitera Pengganti dicatat oleh

petugas Meja II dalam Buku Register Induk

Perkara.

e, Penetapan Bari Sidang

1) Perkara yang sudah ditetapkan Majelis Hakimnya

segera diserahkan kepada Ketua Majelis Hakim

yang ditunjuk dengan dilengkapi formulir

Penetapan Harl Sidang (PHS).

2) Ketua Majelis Hakim setelah mempelajari berkas

dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja harus sudah

menetapkan hari sidang. Pemeriksaan perkara

cerai dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga

puluh) hari sejak tanggal surat gugatan didaftarkan

di kepaniteraan Pengadilan Agama.

3) Dalam menetapkan hari sidang, Ketua Majelis

Hakim harus memperhatikan jauh/dekatnya tempat

tinggal para pihak yang berperkara dengan tempat

persidangan.

4) Dalam menetapkan hari sidang, dimusyawarahkan

dengan para Anggota Majelis Hakim.

5) Setiap Hakim harus mempunyai jadwal

persidangan yang lengkap clan dicatat dalam Buku

Agenda Perkara masing-masing.

25

6) Daftar perkara yang akan disidangkan harus sudah

clitulis oleh Panitera Pengganti pada papan

pengumunan Pengadilan Agama sebelum persi•

dangan dimulai sesuai nomor urut perkara.

1) Panitera Pengganti harus melaporkan hari sidang

pertama, penunclaan sidang beserta alasannya

kepada petugas Meja II dengan menggunakan

lembar instrumen.

8) Petugas Meja II hams mencatat laporan Panitera

Pengganti tersebut dalam Buku Register Perkara.

d, Pemanggilan para pihak

1) Panggilan terhadap para pihak untuk menghadiri

sidang dilakukan oleh Jurusita/Jurusita Pengganti

kepada para pihak atau kuasanya di tempat

tinggalnya.

2) Apabila para pihak tidak dapat ditemui di tempat

tinggalnya, maka surat panggilan diserahkan

kepada Lurah/Kepala Desa dengan mencatat nama

penerima dan ditandatangani oleh penerima, untuk

diteruskan kepada yang bersangkutan.

3) Tenggat waktu antara panggilan para pihak dengan

hari sidang paling sedikit 3 (tiga) hari kerja

4) Surat panggilan kepada Tergugat untuk sidang

pertama harus dilampiri salinan surat gugatan.

Jurusita harus memberitahukan kepada pihak

Tergugat bahwa ia boleh mengajukan jawaban

tertulis yang diajukan dalam sidang.

5) Penyampaian salinan gugatan dan pemberitahuan

bahwa Tergugat dapat mengajukan jawaban ter•

tulis tersebut harus ditulis dalam Relaas panggilan.

26

6) Apabila tempat kediaman orang yang dipanggil

tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat

kediaman yang jelas di Indonesia, maka pemang-

gilannya dapat dilaksanakan dengan melihat jenis

perkaranya, yaitu :

a) Perkara di bidang perkawinan.

(1) Pemanggilan dilaksanakan melalui satu

atau beberapa surat kabar atau media massa

lainnya yang ditetapkan oleh Ketua

Pengadilan Agama.

(2) Pengumuman melalui surat kabar atau

media massa sebagaimana tersebut di atas

harus dilaksanakan sebanyak dua kali

dengan tenggat waktu antara pengumuman

pertama dan kedua selama satu bulan.

Tenggat waktu antara panggilan terakhir

dengan persidangan ditetapkan sekurang-

kurangnya tiga bulan.

(3) Dalam hal pemanggilan sudah dilaksa-

nakan sebagaimana tersebut dan Tergugat

atau kuasa hukumnya tidak hadir, maka

gugatan diterima tanpa hadirnya Tergugat,

kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau

tidak beralasan.

(4) Apabila dalam persidangan pertama per-

kara belum putus maka dalam persidangan

berikutnya Tergugat/termohon tidak perlu

dipanggil lagi (Pasal 27 PP No. 9 Tahun

1975 jo Pasal 139 Kill).

(5) Apabila sebelum bari persidangan yang

telah ditetapkan Tergugat/termohon hadir

27

dan/atau diketahui tempat tinggalnya maka

Penggugat/pemohon harus memperbaiki

surat gugatan/permohonan sesuai dengan

tempat tinggal Tergugat/termohon dan

selanjutnya panggilan disampaikan ke

tempat tinggalnya.

b) Perkara yang berkenaan dengan harta

kekayaaan.

(1) Pemanggilan dalam perkara yang berke-

naan dengan harta kekayaan dilaksanakan

melalui Bupati/Walikota dalam wilayah

yurisdiksi Pengadilan Agama setempat.

(2) Surat panggilan ditempelkan pada papan

pengumuman Bupati/Walikota clan papan

pengumuman Pengadilan Agama (Pasal

390 ayat (3) HIR/Pasal 718 ayat (3) RBG).

(3) Dalam hal yang dipanggil meninggal

dunia, maka panggilan disampaikan kepada

ahli warisnya. Jika ahli warisnya tidak

dikenal atau tidak diketahui tempat

tinggalnya, maka panggilan dilaksanakan

melalui Kepala Desa/Lurah (Pasal 390 ayat

(2) lHR/Pasal 718 ayat (2) RBG).

1) Pemanggilan terhadap Tergugat/termohon yang

berada di luar negeri harus dikirim melalui

Departemen Luar Negeri cq. Dirjen Protokol clan

Konsuler Departemen Luar Negeri dengan tembusan

disampaikan kepada Kedutaan Besar Indonesia di

negara yang bersangkutan.

8) Permohonan pemanggilan sebagaimana tersebut

pada angka 1 tidak perlu dilampiri surat panggilan,

28

tetapi permohonan tersebut dibuat tersendiri yang

sekaligus berfungsi sebagai surat panggilan

(Relaas). Meskipun surat panggilan (Relaas) itu

tidak kembali atau tidak dikembalikan oleh

Direktorat Jenderal Protokol clan Konsuler

Departemen Luar Negeri, panggilan tersebut

sudah dianggap sah, resmi clan patut (Surat KMA

kepada Ketua Pengadilan Agama Batam Nomor

055/75/91/1/UMTU/Pdt./ 1991 tanggal 11 Mei

1991).

9) Tenggat waktu antara pemanggilan dengan

persidangan sebagaimana tersebut dalam angka 7)

dan 8) sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sejak

surat permohonan pemanggilan dikirimkan.

10) Terhadap perkara yang telah ditetapkan prodeo tidak

dikenakan biaya apapun.

3. Pelaksanaan Persidangan

a. Ketentuan umum persidangan

1) Perkara hams diperiksa clan diputus selambat-

lambatnya dalam waktu 6 (enam) bulan sejak

perkara didaftarkan. Jika dalam waktu tersebut

belum putus, maka Ketua Majelis hams

melaporkan keterlambatan tersebut kepada Ketua

Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan

Agama dengan menyebutkan alasannya.

2) Sidang Pengadilan Agama dimulai pada pukul

09.00 waktu setempat, kecuali dalam hal tertentu

sidang dapat dimulai beberapa saat kemudian

pada hari yang sama, namun hal itu harus

diumumkan terlebih dahulu.

29

3) Sidang Pengadilan harus dilaksanakan di ruang

sidang. Dalam hal dilakukan pemeriksaan di

tempat, sidang sedapat-dapatnya dibuka dan

ditutup di kantor Kelurahan/ Kepala Desa atau

ditempat lain yang memungkinkan,

4) Ketua Majelis Hakim bertanggung jawab atas

jalannya persidangan. Agar pemeriksaan perkara

berjalan teratur, tertib clan lancar, sebelum

pemeriksaan dimulai harus dipersiapkan

pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan.

5) Majelis Hakim yang memeriksa perkara terlebih

dahulu harus mengupayakan perdamaian (Pasal

130 IIlR/154 RBG jo. Pasal 82 UU No. 7 Tahun

1989 jo. UU. 3 Tahun 2006 Jo. PERMA No. 2

Tahun 2003).

6) Apabila tercapai perdamaian maka perdamaian

di bidang harta kekayaan dituangkan dalam

putusan perdamaian. Sedangkan perdamaian

dalam perkara perceraian tidak dibuatkan

putusan perdamaian, tetapi perkara dicabut oleh

para pihak dan dituangkan dalam penetapan

pencabutan.

7) Dengan adanya upaya perdamaian sebagaimana

yang diatur dalam PERMA No. 2 Tahun 2003,

maka Majelis Hakim agar memperhatikan dan

menyesuaikan tenggang waktu perdamaian

dengan hari persidangan berikutnya.

8) Sidang pemeriksaan perkara cerai talak clan cerai

gugat dilalcukan secara tertutup, namun putusan

harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk

umum.

30

9) Apabila Ketua Majelis berhalangan, persidangan

tetap dibuka oleh Hakim Anggota yang senior

untuk menunda persidangan. Apabila salah

seorang Hakim Anggota berhalangan, ia dapat

digantikan oleh Hakim lain yang ditunjuk oleh

Ketua Pengadilan Agama. Penggantian Hakim

Anggota harus dicatat dalam berita acara.

10) Dalam keadaan luar biasa di mana sidang yang

telah ditentukan tidak dapat terlaksana karena

semua Hakim berhalangan, maka sidang ditunda

dan penundaan tersebut sesegera mungkin

diumumkan.

b. Berita Acara Persidangan

1) Ketua Majelis Hakim bertanggung jawab atas

pembuatan dan kebenaran berita acara

persidangan dan menandatanganinya sebelum

sidang berikutnya.

2) Panitera Pengganti yang ikut bersidang harus

membuat berita acara sidang yang memuat

segala sesuatu yang terjadi di persidangan, yaitu

mengenai susunan persidangan, siapa-siapa yang

hadir, serta jalannya pemeriksaan perkara

tersebut dengan lengkap dan jelas. Berita acara

sidang harus sudah ditandatangani sebelum

sidang berikutnya.

3) Nomor halaman berita acara sidang harus dibuat

secara bersambung dari sidang pertama sampai

sidang yang terakhir.

4) Pada waktu musyawarah Majelis Hakim semua

berita aeara harus sudah selesai diketik dan

31

ditandatangani sehingga dapat dipakai sebagai

bahan musyawarah oleh Majelis Hakim yang

bersangkutan.

c. Rapat Pennusyawaratan Majelis Hakim

1) Rapat Pennusyawaratan Majelis Hakim bersifat

rahasia (Pasal 19 ayat (3) UU No. 4 Tahun

2004). Panitera sidang dapat mengikuti rapat

permusyawaratan Majelis Hakim apabila

dipandang perlu dan mendapat persetujuan oleh

Majelis Hakim.

2) Ketua Majelis Hakim mempersilahkan Hakim

Anggota II untuk mengemukakan pendapatnya,

disusul oleh Hakim Anggota I dan terakhir Ketua

Majelis akan menyampaikan pendapatnya.

3) Semua pendapat harus dikemukakan secarajelas

dengan menunjuk dasar hukumnya, kemudian

dicatat dalam buku agenda sidang.

4) Dalam rapat permusyawaratan, setiap hakim

wajib menyampaikan pertimbangan atau

pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang

diperiksa.

d. Putusan

1) Putusan sedapat mungkin diambil dengan suara

bulat. Apabila mengenai sesuatu masalah

terdapat perbedaan pendapat, maka suara

terbanyak menjadi putusan Majelis.

2) Putusan serta merta hanya dapat dijatuhkan

apabila memenuhi syarat-syarat sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 180 ayat (1) HIR/191

32

ayat (1) RBg serta Surat Edaran Mahkamah

Agung No. 3 Tahun 2000 dan No. 4 Tahun 2001.

3) Pada waktu diucapkan, putusan harus sudah siap

dan segera diserahkan kepada Panitera Pengganti

untuk diselesaikan lebih lanjut.

e. Pemberitahuan isi putusan

1) Jika Penggugat/Pemohon atau Tergugat/

Termohon tidak hadir dalam sidang pembacaan

putusan, maka Panitera/Jurusita Pengganti harus

memberitahukan isi putusan kepada para pihak

yang tidak hadir.

2) Jika Tergugatffermohon tidak hadir dalam sidang

pembacaan putusan clan alamatnya tidak diketahui

di seluruh wilayah RI, maka pemberitahuan isi

putusan dilakukan melalui Pemerintah Daerah

Tk.11 setempat untuk diumumkan pada papan

pengumuman, baik dalam perkara bidang

Perkawinan maupun yang lainnya

f. Minutasi berkas perkara

3) Ketua Majelis Hakim bertanggung jawab atas

ketepatan batas waktu minutasi perkara,

4) Selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak putusan

diucapkan berkas perkara harus sudah diminutasi.

5) Berkas perkara yang telah diminutasi, dijahit dan

disegel dengan kertas yang dibubuhi stempel

Pengadilan Agama sebagai pengaman.

g. Penyampaian Salinan Putusan.

I) Petugas Meja III mengirimkan pemberitahuan

tentang telah terjadinya perceraian yang telah

diputus oleh Pengadilan Agama kepada Pegawai

33

Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama (KUA) di

mana perkawinan dicatat, dan di tempat para

pihak berdomisili.

2) Petugas Meja III juga bertugas menerima clan

memberikan tanda terima:

a) memori banding.

b) kontra memori banding.

c) memori kasasi.

d) kontra memori kasasi.

e) jawaban/tanggapan atas alasan PK.

3) Petugas Meja III menyiapkan dan menyerahkan

salinan putusan pengadilan kepada para pihak

apabila diminta.

4. Bundel

a. Bundel A merupakan himpunan surat-surat yang

diawali dengan surat gugatan dan semua kegiatan

proses persidangan/ pemeriksaan perkara tersebut

yang selalu disimpan di Pengadilan Agama yang

terdiri dari :

1) Surat gugatan/permohonan.

2) Penetapan Majelis/Hakim.

3) Penetapan Harl Sidang.

4) Relaas-Relaas panggilan.

5) Berita acara sidang (jawaban/replik/duplik

pihak-pihak, dimasukkan dalam kesatuan

Berita Acara).

6) Surat Kuasa dari kedua belah pihak (bila ada).

7) Penetapan sita conservatoir/revindicatoir (bila

ada).

34

8) Berita Acara sita conservatoirlrevindicatoir

(bila ada).

9) Lampiran-lampiran surat yang diajukan oleh

kedua belah pihak (bila ada).

10) Surat-surat bukti Penggugat (bila ada).

11) Surat-surat bukti Tergugat (bila ada).

12) Tanggapan bukti-bukti Tergugat dari Penggu•

gat (bila ada).

13) Tanggapan bukti-bukti Penggugat dari Tergu•

gat (bila ada).

14) Gambar situasi (bila ada).

15) Surat-surat lain.

b. Bundel B yang berkaitan dengan permohonan

banding yang pada akhirnya akan menjadi arsip

Pengadilan Tinggi Agama adalah himpunan surat•

surat perkara yang diawali dengan permohonan

pemyataan banding serta semua kegiatan

berkenaan dengan adanya permohonan banding,

yang terdiri dari:

I) Salinan putusan Pengadilan Agama.

2) Akta banding.

3) Akta pemberitahuan banding.

4) Pemberitahuan penyerahan memori banding.

5) Pemberitahuan penyerahan kontra memori

banding.

6) Pemberitahuan memberi kesempatan pihak•

pihak untuk melihat, membaca, dan memeriksa

berkas (inzage).

7) Surat kuasa khusus (bila ada).

8) Tanda bukti pengiriman biaya perkara banding.

35

c. Bundel B yang berkaitan dengan permohonan

kasasi yang pada akhirnya akan menjadi arsip

berkas perkara pada Mahkamah Agung adalah

himpunan surat-surat perkara yang diawali dengan

pennohonan pemyataan kasasi serta semua

kegiatan berkenaan dengan adanya permohonan

kasasi yang terdiri dari:

1) Relaas-Relaas pemberitahuan amar putusan

banding kepada kedua belah pihak.

2) Akta pennohonan kasasi.

3) Surat kuasa khusus dari Pemohon Kasasi (bila

ada).

4) Relaas pemberitahuan akta permohonan kasasi

kepada pihak lawan.

5) Memori kasasi.

6) Tanda terima memori kasasi.

7) Surat keterangan Panitera apabila Pemohon

Kasasi tidak menyerahkan memori kasasi.

8) Relaas pemberitahuan memori kasasi kepada

pihak lawan.

9) Kontra memori kasasi (bila ada).

10) Relaas pemberitahuan kontra memori kasasi

kepada pihak lawan.

11)Relaas pemberitahuan kepada pihak-pihak

untuk melihat, membaca, dan memeriksa

berkas perkara (inzage).

12) Salinan putusan Pengadilan Agama.

13) Salinan putusan Pengadilan Tinggi Agama.

14) Tanda bukti pengiriman biaya kasasi melalui

Bank/Kantor Pos.

15) Surat-surat lain (bila ada).

36

d. Bundel B yang berkaitan dengan permobonan

Peninjauan Kembali yang pada akhimya akan

menjadi arsip berkas perkara pada Mabkamah

Agung adalah merupakan himpunan surat-surat

perkara yang diawali dengan permobonan

pemyataan peninjauan kembali serta semua

kegiatan berkenaan dengan adanya permobonan

peninjauan kembali yang terdiri dari:

~, 1) Relaas pemberitahuan amar putusan kasasi

kepada Pemohon Peninjauan Kembali (apabila

peninjauan kembali diajukan terbadap putusan

kasasi) atau Relaas pemberitahuan amar

putusan banding (apabila permohonan

peninjauan kembali diajukan atas putusan

Pengadilan Tinggi Agama).

2) Akta permohonan peninjauan kembali.

3) Surat permohonan penmjauan kembali

dilampiri dengan surat bukti.

4) Tanda terima surat permohonan peninjauan

kembali.

5) Surat kuasa khusus (kalau ada).

6) Surat pemberitahuan dan penyeraban salinan

permohonan peninjauan kembali kepada pihak

lawan.

7) Jawaban surat pennohonan peninjauan

kembali.

8) Surat pemberitabuan dan penyerahan salinan

jawaban atas permohonan peninjauan kembali.

8) Salinan putusan Pengadilan Agama.

9) Salinan putusan Pengadilan Tinggi Agama

(bila perlu).

37

10) Salinan putusan kasasi (bila perlu).

11) Tanda bukti pengiriman biaya permohonan

peninjauan kembali dari Bank/kantor pos.

12) Surat-surat lain (bila ada).

5. Pengarsipan

a. Setelah berkas perkara diminutasi, maka petugas

Meja III (tiga) menyimpan berkas perkara untuk

keperluan arsip.

b. Secara umum berkas perkara dapat dibedakan

menjadi 2 (dua) jenis :

1) Arsip aktif (masih berjalan) yaitu berkas

perkara yang telah diputus dan diminutasi,

tetapi masih dalam proses banding, kasasi atau

peninjauan kembali, dan masih memerlukan

penyelesaian akhir.

2) Arsip tidak aktif (sudah final) yaitu berkas

perkara yang putusannya telah mempunyai

kekuatan hukum tetap dan tidak memerlukan

penyelesaian akhir.

c. Berkas perkara yang masih berjalan dikelola oleh

Panitera Muda Banding/petugas yang bertanggung

jawab untuk itu, sedangkan arsip berkas perkara

yang sudah tidak aktif dipindahkan pengelolaannya

pada Panitera Muda Hukum.

d. Penataan berkas perkara dan arsip berkas perkara

dilakukan dalam 3 (tiga) tahap, yakni :

1) Tahap pertama

a) Pendataan dan pemisahan arsip aktif dan tidak aktif.

38

b) Arsip berkas perkara yang masih aktif

disusun secara vertikal/horizontal sesuai

dengan situasi dan kondisi ruangan.

c) Penataan arsip berkas perkara dimasukkan

dalam box dengan diberikan catatan :

(1) Nomor urut box.

(2) Tahun perkara.

(3) Jenis perkara,

(4) Nomor urut perkara.

2) Tahap Kedua

a) Membuat daftar isi yang ditempel dalam

box.

b) Arsip yang telah disusun menurut jenis

perkara, dipisahkan menurut klasifikasi

perkaranya dan disimpan dalam box

tersendiri.

c) Menghimpun salinan resmi putusan untuk

dijilid sesuai klasifikasi masing-masing clan

menyimpannya di perpustakaan.

d) Memasukkan berkas perkara dalam box,

dan menyimpannya dalam rak/almari.

e) Membuat Daftar Isi Rak (DIR) atau Daftar

Isi Almari (DIL)

3) Tahap ketiga

a) Memisahkan berkas perkara yang sudah

mencapai masa untuk dihapus (30 tahun).

b) Menyimpan arsip berkas perkara yang

memiliki nilai sejarah untuk dimasukkan

dalam box untuk disimpan dalam rak/

almari tersendiri.

39

c) Menghapus arsip berkas perkara yang telah

memenuhi syarat penghapusan dengan

membuat berita acara yang ditandatangani

oleh Panitera dan Ketua Pengadilan Agama

d) Melaporkan penghapusan arsip tersebut

kepada Mahkamah Agung dengan dilam-

piri berita acara penghapusan.

e. Penyimpanan dalam bentuk lain

Pengadilan juga dapat menyimpan berkas perkara

dalam bentuk lain, seperti pada pita magnetik,

disket, atau media lainnya.

B. PENGADILAN TINGGI AGAMA

1. Pendaftaran Perkara Banding

a. Penerimaan berkas perkara

1) Berkas perkara banding yang dikirim oleh Pengadilan

Agama diterima oleh Petugas Meja I.

2) Petugas Meja I mengecek kelengkapan berkas perkara

tersebut dan meminta kekurangannya kepada Pengadilan

Agama yang bersangkutan (kalau perlu).

3) Dalam hal memori/kontra memori banding disampaikan

langsung oleh para pihak ke Pengadilan Tinggi Agama,

Petugas Meja I mengirim salinan memori/kontra memori

banding tersebut kepada Pengadilan Agama untuk

diberitahukan kepada pihak lawan dan Relaasnya segera

dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama.

4) Petugas Meja I menerima kembali Relaas pemberi•

tahuan memori/kontra memori banding tersebut untuk

disatukan dengan berkas yang bersangkutan.

40

5) Berkas yang telah lengkap diserahkan kepada Petugas

Meja II untuk dicatat dalam Buku Register Perkara

Banding.

b. Administrasi Keuangan Perkara Banding

1) Buku keuangan perkara terdiri dari:

a) Buku Jurnal Keuangan Perkara (K II-PTA 1)

b) Buku Induk Keuangan Perkara (K II-PTA 2)

c) Buku Penerimaan Uang Hak-Hak Kepaniteraan.

(K II-PTA 3)

2) Pada waktu akan digunakan, Buku Jurnal Keuangan

Perkara, Buku lnduk Keuangan Perkara, dan Buku

Penerimaan Uang Hak-Hak Kepaniteraan harus diberi

nomor halaman. Halaman pertama dan terakhir

ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama

dan halaman lainnya diparaf.

3) Banyaknya halaman dan adanya tandatangan serta paraf

tersebut diterangkan pada halaman awal setiap buku,

dan keterangan tersebut ditandatangani oleh Ketua

Pengadilan Tinggi Agama.

4) Buku Jurnal Keuangan Perkara, Buku Induk Keuangan

Perkara dan Buku Penerimaan Uang Hak-Hak

Kepaniteraan, setiap awal tahun harus diganti dan tidak

boleh digabung dengan tahun sebelumnya.

5) Buku Jurnal Keuangan Perkara digunakan untuk

mencatat semua kegiatan penerimaan dan pengeluaran

biaya untuk setiap perkara, dimulai dari tanggal

penerimaan biaya perkara dan ditutup pada tanggal

perkara diputus.

6) Pemegang Kas menerima uang panjar biaya perkara

banding yang diterima dari Pengadilan Agama dan

membukukannya dalam Buku Jurnal Keuangan Perkara.

41

7) Pencatatan penerimaan biaya perkara dalam Buku Jurnal

dan pemberian nomor perkara dilakukan setelah berkas

perkara diterima.

8) Biaya administrasi dikeluarkan bersamaan dengan

pencatatan penerimaan biaya perkara.

9) Biaya meterai dan biaya redaksi dikeluarkan pada waktu

perkara diputus.

10) Buku Induk Keuangan Perkara dikerjakan oleh Panitera

selaku Bendaharawan Khusus Biaya Perkara dan dalam

pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada petugas lain

dengan surat penunjukan dari Ketua Pengadilan Tinggi Agama

11) Buku Induk Keuangan Perkara digunakan untuk

mencatat kegiatan penerimaan dan pengeluaran biaya

seluruh perkara, masing-masing dicatat menurut urutan

tanggal penerimaan dan pengeluaran dalam Buku Jurnal.

12) Jumlah uang tunai dalam kas tidak boleh melebihi

jumlah maksimum sesuai ketentuan perundang•

undangan yang berlaku dan sisanya harus disimpan pada

Bank Pemerintah.

13) Resiko atas pelanggaran ketentuan pada butir 12 di atas

menjadi tanggung jawab Panitera.

14) Setiap akhir hulan, Buku Induk Keuangan Perkara

ditutup oleh Panitera dengan diketahui oleh Ketua

Pengadilan Tinggi Agama.

15) Dalam penutupan tersebut harus dibuat catatan

mengenai sisa uang menurut buku, sisa uang menurut

kas dan uang yang disimpan di Bank, selisih antara buku

dengan kas, dan perincian uang yang ada dalam kas.

42

16) Apabila terdapat selisih antara sisa uang menurut buku

dengan kas, maka harus dijelaskan sebab-sebab terjadi•

nya selisih tersebut.

17) Ketua Pengadilan Tinggi Agama sebelum menanda•

tangani catatan tersebut harus mencocokkan sisa uang

menurut buku dengan sisa uang menurut kas, baik

berupa uang tunai, surat-surat berharga, maupun yang

disimpan di Bank.

18) Ketua Pengadilan Tinggi Agama secara insidentil dapat

memerintahkan Panitera untuk menutup buku induk

keuangan, meneliti kebenaran penerimaan dan

pengeluarannya sesuai buku jurnal, dan meneliti

keadaan uang menurut buku dengan uang menurut kas,

berikut bukti-buktinya.

19) Perintah penutupan buku induk secara insidentil tersebut

sekurang-kurangnya dilakukan 3 (tiga) bulan sekali

secara mendadak dan dibuatkan berita acara pemerik•

saan.

20) Buku Penerimaan Uang Hak-hak Kepaniteraan

digunakan untuk mencatat penerimaan uang hak-hak

kepaniteraan.

21) Dalam kolom keterangan buku tersebut diisi dengan

tanggal, jumlah uang yang disetor, serta tandatangan clan

nama Bendaharawan Penerima.

e, Registrasi perkara

1) Registrasi perkara baru dapat dilakukan setelah biaya

perkara diterima oleh Pemegang Kas dan dicatat dalam

Buku Jurnal.

43

2) Petugas Meja II mencatat perkara tersebut dalam Buku

Register Perkara Banding sesuai dengan urutan tanggal

penerimaan.

3) Nomor perkara hams sama dengan nomor urut pada

BukuJumal.

4) Berkas perkara yang telah cliregister hendaknya

dilengkapi dengan formulir Penetapan Majelis Hakim

dan selanjutnya disampaikan kepada Wakil Panitera

untuk diserahkan kepada Ketua Pengadilan Tinggi

Agama melalui Panitera

5) Pelaksanaan tugas-tugas pada Meja I dan Meja II

dilakukan oleh Panitera Muda Banding clan berada

dibawah pembinaan clan pengawasan Wakil Panitera.

6) Setiap tahun Buku Register harus diganti dan tidak

digabung dengan tahun sebelumnya

7) Buku Register diberi nomor halaman, halaman pertama

clan terakhir ditandatangani oleh Ketua Pengadilan

Tinggi Agama dan halaman lainnya diparaf.

8) Pada halaman awal Buku Register diberi catatan yang

ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama

mengenai jumlah halaman dan adanya tandatangan serta

paraf tersebut.

9) Buku Register harus memuat seluruh data perkara dan

pengisiannya dilaksanakan dengan tertib dan cermat

sesuai dengan perkembanganperkara.

10) Setiap akhir bulan, Buku Register ditutup oleh petugas

register dan diketahui oleh Panitera, dengan diberi

keterangan mengenai jumlah perkara yang diterima,

perkara yang diputus, sisa perkara, perkara yang

diminutasi, clan sisa perkara yang belum diminutasi.

44

11) Setiap akhir tahun, Buku Register ditutup oleh Panitera

dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama

dengan diberi keterangan sebagaimana pada angka 10 di

atas.

2. Persiapan Persidangan

a Berkas perkara yang telah clidaftar dalam Buku Register,

clilengkapi dengan fonnulir Penetapan Majelis Hakim dan

Penunjukan Panitera Pengganti, diserahkan oleh petugas

Meja II kepada Wakil Panitera untuk diteruskan kepada

Ketua Pengadilan Tinggi Agama melalui Panitera.

b. Ketua Pengadilan Tinggi Agama membuat Penetapan

Majelis Hakim untuk memeriksa perkara.

c. Panitera membuat penunjukan Panitera Pengganti untuk

membantu Majelis Hakim.

d. Petugas Meja II mencatat susunan Majelis Hakim dan

Panitera Pengganti dalam Buku Register dan segera menye•

rahkan berkas perkara kepada Majelis Hakim yang ditunjuk.

3. Pemberkasan Perkara Banding

Berkas perkara banding yang dikirim ke Pengadilan Tinggi

Agama terdiri dari bundel A dan bundel B. Bundel A

merupakan asli surat-surat yang diawali dengan surat gugatan,

ditambah dengan surat-surat lain yang berkaitan dengan proses

pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama. Sedang bundel B

merupakan himpunan surat yang berkaitan dengan permohonan

banding, yang diawali dengan salinan putusan Pengadilan

Agama, ditambah dengan surat-surat yang berkaitan dengan

permohonan banding tersebut. Oleh karena yang dikirim ke

Pengadilan Tinggi Agama adalah aslinya, maka baik bundel A

45

maupun bundel B harus dibuat salinannya untuk tetap disimpan

di Pengadilan Agama.

a Bundel A terdiri dari:

1) Surat gugatan;

2) Surat kuasa khusus (bila ada);

3) Bukti pembayaran panjar biaya perkara;

4) Penetapan Penunjukan Majelis Hakim;

5) Penetapan hari sidang;

6) Relaas-Relaas panggilan;

7) Berita acara Sidang;

8) Penetapan sita (bila ada);

9) Berita acara sita;

10) Surat-surat bukti Penggugat;

11) Surat-surat bukti Tergugat;

12) Gambar situasi;

13) Surat-surat yang lain (bila ada);

b, Bundel B terdiri dari:

1. Salinan putusan Pengadilan Agama;

2. Relaas pemberitahuan amar putusan (bila ada);

3. Aleta permohonan banding;

4. Relaas pemberitahuan permohonan banding;

5. Relaas pemberitahuan memori banding (bila ada);

6. Relaas pemberitahuan kontra memori banding (bila

ada);

7. Surat keterangan Panitera bahwa para pihak tidak

mengajukan memori banding atau kontra

memori

banding (bila ada);

46

8. Relaas pemberitahuan untuk memeriksa (inzage) berkas

perkara banding;

9. Surat kuasa khusus (bila ada);

I 0. Tanda bukti pengiriman biaya perkara banding;

c. Setelah perkara putus, bundel A dikembalikan ke

Pengadilan Agama bersama salinan putusan untuk

diberitahukan kepada para pihak. Sedang bundel B disimpan

di Pengadilan Tinggi Agama bersama asli putusan untuk

keperluan arsip.

4. Laporan

a. Pengadilan Tinggi Agama membuat laporan tentang

keadaan perkara clan keuangan perkara setiap bulan, serta

laporan kegiatan hakim setiap 6 (enam) bulan.

b. Macam Laporan :

a) Laporan Keadaan Perkara (Lil-PAI);

b) Laporan Kegiatan Hakim (LII-PA2);

c) Laporan Keuangan Perkara (LII-PA3);

c. Pengadilan Tinggi Agama membuat evaluasi atas laporan

bulanan keadaan perkara yang berasal dari seluruh

Pengadilan Agama di wilayah hukumnya untuk disampai•

kan kepada Mahkamah Agung.

d. Setiap akhir tahun Pengadilan Tinggi Agama membuat

rekapitulasi atas laporan dari seluruh Pengadilan Agama di

wilayah hukumnya, tentang keadaan perkara banding,

kasasi, peninjauan kembali, dan jenis perkara serta

mengirimkan kepada Mahkamah Agung.

47

5. Arsip berkas Perkara banding

a. Setelah salinan putusan dan bundel A dikirim ke Pengadilan

Agama, maka bundel B dan asli putusan diserahkan kepada

petugas Meja III untuk keperluan arsip.

b. Secara umum, arsip berkas perkara banding dibedakan

menjadi dua, yaitu:

1) Arsip aktif (masih berjalan), yaitu berkas perkara yang

telah diputus clan diminutasi tetapi masih dalam proses

kasasi atau peninjaun kembali sehingga masih

memerlukan penyelesaian akhir.

2) Arsip tidak aktif, yaitu berkas perkara yang putusannya

telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak

memerlukan penyelesaian akhir.

c. Berkas perkara yang masih berjalan dikelola oleh Panitera

Muda Banding/petugas yang bertanggung jawab untuk itu,

sedangkan berkas perkara yang tidak aktif dipindahkan

pengelolaannya kepada Panitera Muda Hukum.

d. Pembenahan clan penataan arsip berkas perkara dilakukan

dalam 3 (tiga) tahap. Tahap pertama oleh Panitera Muda

Banding clan tahap selanjutnya oleh Panitera Muda Hukum.

1) Tahap pertama

a) Pendataan dan pemisahan antara arsip aktif dan tidak

aktif.

b) Arsip berkas perkara yang masih aktif disusun

secara vertical atau horizontal sesuai situasi clan

kondisi ruangan.

c) Arsip berkas perkara yang tidak aktif dimasukkan

dalam sampul/box clan diserahkan kepada Panitera

Muda Hukum dengan diberi catatan:

48

(1) Nomor urut box;

(2) Tahun perkara;

(3) Jenis perkara;

(4) Nomor urut perkara;

2) Tahap kedua

a) Membuat daftar isi box untuk ditempel pada box;

b) Memisahkan arsip menurut jenis perkaranya;

c) Menghimpun salinan putusan untuk dijilid dan

disimpan di perpustakaan;

d) Menyimpan berkas perkara dalam box masing-

masing;

e) Menyimpan box arsip dalam rak/almari;

f) Membuat Daftar Isi Rak (DIR) atau Daftar Isi

Almari (DIL);

3. Tahap ketiga (penghapusan berkas perkara).

a) Memisahkan clan membuat daftar berkas perkara

yang sudah mencapai usia untuk dihapus (30 tahun);

b) Menyimpan arsip berkas perkara yang memiliki nilai

sejarah untuk dimasukkan dalam box dan disimpan

dalam rak atau almari tersendiri;

c) Menghapus arsip berkas perkara yang telah

memenuhi syarat penghapusan dengan membuat

berita acara penghapusan arsip yang ditandatangani

oleh Panitera clan Ketua Pengadilan Tinggi Agama;

d) Melaporkan penghapusan arsip tersebut kepada

Mahkamah Agung dengan dilampiri salinan berita

acara penghapusan;

49

4. Penyimpanan dalam bentuk lain

Pengadilan juga dapat menyimpan berkas perkara dalam

bentuk lain, seperti pada pita magnetik, disket, atau

media lainnya.

II. TEKNIS PERADILAN

A. KEDUDUKAN DAN WEWENANG PERADILAN AGAMA/

MAHKAMAH SYAR'IYAH.

1. Kedudukan.

a. Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana

kekuasan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang

beragama Islam, mengenai perkara perdata tertentu yang

diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.

b. Mahkamah Syar'iyah merupakan pengadilan bagi setiap

orang yang beragama Islam dan berada di Aceh.

2. Dasar Hukum.

a. Pasal 24 ayat (2) clan (3) Undang-Undang Dasar 1945

beserta amandemennya

b. Pasal 10 ayat (2) jo. Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

c. Pasal 2, 3 dan 3 A Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.

d. Pasal 128 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh.

50

3. Kewenangan Peradilan Agama/Mahkamah Syar'iyah.

a Kewenangan Pengadilan Agama meliputi : memeriksa,

memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama

antara orang-orang yang beragama Islam di bidang

perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,

shadaqah dan ekonomi syariah.

b. Mahkamah Syar'iyah berwenang memeriksa, mengadili,

memutus dan menyelesaikan perkara yang diatur dalam

Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah

diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan perkara bidang

ahwalusy al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah

(hukum perdata),jinayah (hukum pidana) yang didasarkan

atas syariat Islam yang diatur dalam Pasal 128 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh dan Qanun Nomor 10 Tahun 2002

serta Qanun Nomor 11 Tahun 2002.

c. Perincian jenis kewenangan Mahkamah Syar'iyah di

bidang ahwalusy syakhsiyah meliputi perkawinan, waris

clan wasiat. (penjelasan Pasal 49 huruf a Qanun Nomor

10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam).

d. Perincian jenis kewenangan Mahkamah Syar'iyah di

bidang muamalah meliputi hukum kebendaan dan

perikatan meliputi jual beli, sewa menyewa, utang

piutang, qiradh, musaqah, muzara'ah, mukhabarah,

wakalah, syirkah, ariyah, bajru, syuf'ah, rahnun, ihyaul

mawat, ma' din, luqathah, perBankan, takaful (asuransi),

perburuhan, harta rampasan, wakaf, hibah, zakat, Infaq,

shadaqah clan hadiah (penjelasan Pasal 49 huruf b

Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat

Islam).

51

e. Perincian jenis kewenangan Mahkamah Syar'iyah di

bidang jinayah meliputi jarimah hudud (zina, qadzaf,

pencurian, perampokan, minuman keras clan napza,

murtad, bughat), jarimah Qishash/Diyat (pembunuhan,

penganiayaan), jarimah Ta 'zir (maisir/perjudian,

penipuan, pemalsuan, khalwat). Penjelasan pasal 49

huruf c Qanun Nomor IO Tahun 2002 tentang Peradilan

Syariat Islam serta pelanggaran terhadap aqidah,

ibadah dan syiar Islam yang diatur dalam Qanun Aceh

Nomor 11 Tahun 2002.

4. Hukum Materiil bagi Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar'iyah.

a. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 1954.

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun

1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974.

c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 1998.

d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

e. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang

Pengelolaan Zakat.

f. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

g. Undang-Undang Nomor ... Tahun 2008 tentang Surat

Berharga Syariah Nasional.

h. Undang-Undang Nomor ... Tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah.

52

i. Kompilasi Hukum Islam clan Kompilasi Hukum

Ekonomi Syariah.

J. Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan

ekonomi syariah.

k. Yurisprudensi Mahkamah Agung.

1. Qanun Aceh.

m. Fatwa Dewan Syariah Nasional.

n. Akad-akad ekonomi syariah.

S. Hokum Acara yang berlaku pada Pengadilan Agama/

Mahkamah Syar'iyah.

a Hukum acara Peradilan Agama :

1) HIR;

2) R.Bg;

3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dan

ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006;

4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;

5) Yurisprudensi Mahkamah Agung RI;

6) PERMA dan SEMA RI;

b. Hukum acara Mahkamah Syar'iyah :

1) Hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama;

2) Hukum acara yang berlaku di Peradilan Umum;

3) Qanun Aceh tentang hukum acara;

6. AsasPersonalitas Keislaman.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

. 53

menganut asas personalitas keislaman, sehingga segala

sengketa antara orang-orang yang beragama Islam mengenai

hal-hal yang diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 7

Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Unclang No. 3 Tahun 2006 menjadi kewenangan Pengadilan

Agama. Asas ini tidak berlaku dalam kasus-kasus sebagai

berikut:

a. Sengketa bidang perkawinan yang perkawinannya

tercatat di Kantor Urusan Agama, dimana salah satu

pihak (suami atau isteri) keluar dari agama Islam;

b. Sengketa bidang kewarisan yang pewarisnya beragama

Islam, walaupun sebagian ahli waris non Islam;

c. Sengketa bidang ekonomi syariah dimana nasabahnya

non Muslim;

d. Sengketa bidang wakaf walaupun para pihak atau salah

satu pihak beragama non muslim;

e. Sengketa bidang hibah dan wasiat yang dilakukan

berdasarkan hukum Islam;

Dalam semua sengketa tersebut di atas meskipun sebagian

subjek hukumnya bukan beragama Islam, tetap diselesaikan

oleh Peradilan Agama.

Contoh kasus :

a. Adan B kawin secara Islam di Kantor Urusan Agama,

B keluar dari agama Islam, A mengajukan perceraian,

perceraiannya menjadi wewenang Peradilan Agama.

b. A beragama non Islam melakukan transaksi bai'

murabahah dengan Bank Muamalat, ketika terjadi

sengketa merupakan kewenangan Peradilan Agama.

c. A beragama Islam mempunyai anak bemama B, A

menghibahkan sebidang tanah kepada B, B keluar dari

54

agama Islam, A mewakafkan seluruh harta kekayaannya

termasuk sebidang tanah yang telah dihibahkan kepada

B kepada sebuah yayasan. Jika B bersengketa dengan A

mengenai wakaf tersebut, maka pembatalan wakaf

tersebut menjadi wewenang Peradilan Agama.

d. Perlawanan terhadap sita eksekusi dan/atau gugatan

pembatalan lelang atas objek sengketa yang merupakan

kelanjutan pelaksanaan eksekusi dari seluruh perkara

yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama harus

diselesaikan oleh Pengadilan Agama walaupun pihak

yang bersengketa ada yang beragama selain Islam.

7. Pilihan Hukum.

Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka pilihan

hukum dalam penyelesaian sengketa waris Islam sudah

tidak berlaku lagi.

8. Sengketa Hak Milik.

a. Sengketa hale milik hanya terjadi bila objek sengketa

atau sebagian objek sengketa milik pihak ketiga yang

beragama selain Islam.

b. Jika dalam kasus yang diperiksa oleh Pengadilan Agama

terdapat objek sengketa atau sebagian objek sengketa

terdapat sengketa hak milik, Pengadilan Agama harus

memeriksa ada tidaknya bukti kepemilikan tersebut akan

tetapi tidak berwenang menilai sah tidaknya bukti hak

milik tersebut, dan Pengadilan Agama harus

menyatakan gugatan atas objek sengketa atau sebagian

objek sengketa tersebut tidak dapat diterima, jika

55

terbukti pihak ketiga yang tidak beragama Islam tersebut

memiliki bukti kepemilikan.

c. Jika bukti atas hak milik tersebut atas dasar hibah,

wasiat, wakaf dan tansaksi-transaksi syari' ah,

Pengadilan Agama berwenang untuk menilai sah

tidaknya alat bukti hak milik tersebut serta membatalkan

alas hak milik tersebut, jika bertentangan dengan hukum

dan ketertiban umum.

B. PEDOMAN BERACARA PADA PENGADILAN AGAMA

1. PEDOMAN UMUM

a. Permohonan

1) Permohonan diajukan dengan surat permohonan

yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya

yang sah dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan

Agama di tempat tinggal pemohon.

2) Pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis

dapat mengajukan permohonannya secara lisan

dihadapan Ketua Pengadilan Agama, yang akan

menyuruh mencatat permohonanannya tersebut.

(Pasal 120 HIR, Pasal 144 RBg.).

3) Permohonan disampaikan kepada Ketua Pengadilan

Agama, kemudian didaftarkan dalam buku register

dan diberi nomor perkara setelah pemohon

membayar persekot biaya perkara yang besarnya sudah

ditentukan oleh Pengadilan Agama (Pasal 121

HIR, Pasal 145 RBg.).

4) Perkara permohonan termasuk dalam pengertian

yurisdiksi voluntair dan terhadap perkara permo-

56

honan yang diajukan itu, Hakim akan memberikan

suatu penetapan.

5) Pengadilan Agama hanya berwenang untuk

memeriksa dan mengabulkan pennohonan apabila

hal itu ditentukan oleh peraturan perundang•

undangan.

Walaupun dalam redaksi undang-undang disebutkan

bahwa pemeriksaan yang akan dilakukan oleh

pengadilan atas permohonan dari pihak yang

berkepentingan antara lain sebagaimana tersebut

dalam Pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa.

6) Jenis-jenis pennohonan yang dapat diajukan melalui

Pengadilan Agama antara lain :

a) Pennohonan pengangkatan wali bagi anak yang

belum dewasa adalah 18 tahun (menurut

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan Pasal 47 menurut Undang-undang

No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak,

menurut Undang-undang No 23 Tahun 2002

Pasal 1 butir ke 1 ).

b) Pennohonan pengangkatan/penganipu bagi

orang dewasa yang kurang ingatannya atau orang

dewasa yang tidak bisa mengurus hartanya lagi,

misalnya karena pikun.

c) Permohonan dispensasi kawin bagi pria yang

belum mencapai umur 19 tahun dan bagi wanita

yang belum mencapai umur 16 tahun (Pasal 7

Undang-undang No. 1 Tahun 1974).

57

d) Pennohonan izin kawin bagi calon mempelai

yang belum berumur 21 tahun (Pasal 6 ayat (5)

Undang-undang No. 1 Tahun 1974).

e) Permohonan pengangkatan anak (harus diperha-

tikan SEMA No. 6/1983).

f) Pennohonan untuk menunjuk seorang atau

beberapa orang wasit oleh karena para pihak

tidak bisa atau tidak bersedia untuk menunjuk

wasit (Pasal 13 clan 14 UU No. 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Altematif Penyelesaian

Sengketa).

g) Permohonan agar seseorang dinyatakan dalam

keadaan mafqud (tidak hadir).

h) Permohonan agar ditetapkan sebagai wali/kuasa

untuk menjual harta warisan.

i) Permohonan penetapan ahli waris.

b. Gugatan

1) Gugatan diajukan secara tertulis yang ditandatangani

oleh Penggugat atau kuasanya yang sah (dalam hal

ini harus advokat) dan ditujukan kepada Ketua

Pengadilan Agama,

2) Penggugat yang tidak dapat membaca dan menulis

dapat mengajukan gugatannya secara lisan

dihadapan Ketua Pengadilan Agama, selanjutnya

Ketua Pengadilan Agama memerintahkan agar

gugatan tersebut dicatat (Pasal 120 HIR, Pasal 144

RBg).

3) Gugatan disampaikan kepada Pengadilan Agama,

kemudian diberi nomor dan didaftarkan dalam buku

58

Register setelah Penggugat membayar panjar biaya

perkara, yang besamya ditentukan oleh Pengadilan

Agama (Pasal 121 HIR, Pasal 145 RBg).

c. Perkara Prodeo

1) Para pihak yang tidak mampu, dapat mengajukan

gugatan/permohonan secara prodeo. Keadaan tidak

mampu itu harus dibuktikan dengan surat keterangan

Kepala Desa/K.elurahan yang bersangkutan. Dalam

register perkara hal itu akan dicatat. Semua

penerimaan clan pengeluaran, meskipun nihil dalam

jurnal harus tetap dicatat.

2) Sebelum suatu gugatan dicatat dalam buku register,

Penggugat terlebih dahulu harus mengajukan

permohonan berperkara secara prodeo, yang apabila

dikabulkan, Hakim membuat penetapan tentang izin

berperkara secara prodeo, setelah sebelumnya pihak

lawan diberi kesempatan untuk menanggapi

permohonan tersebut.

Perihal pemberian izin beracara secara prodeo ini

berlaku untuk masing-masing tingkat peradilan

secara sendiri-sendiri dan tidak dapat diberikan

untuk semua tingkat peradilan sekaligus.

Pihak Tergugat yang tidak mam.pu untuk membayar

biaya perkara, juga berhak untuk mengajukan

permohonan secara prodeo dengan cara seperti

tersebut di atas.

3) Terhadap permohonan berperkara secara prodeo,

Hakim membuat penetapan tentang diizinkannya

beracara secara prodeo setelah sebelumnya pihak

59

lawan diberi kesempatan untuk menanggapi (Sesuai

dengan Pasal 23 7 lilR dan Pasal 273 RBg).

4) Apabila terhadap perkara gugatan secara prodeo,

pihak yang beracara secara prodeo itu mengajukan

permohonan banding kepada Pengadilan Tinggi

Agama, maka berlaku ketentuan yang terdapat

dalam Pasal 12, 13, 14 Undang-undang No. 20

Tahun 1947.

d. Wewenang Relatif

1) Sesuai ketentuan Pasal 118 1-IlR/Pasal 142 RBg,

Pengadilan Agama berwenang memeriksa gugatan

yang daerah hukumnya, meliputi :

a) Tempat tinggal Tergugat, atau tempat Tergugat

sebenamya berdiam (jikalau Tergugat tidak

diketahui tempat tinggalnya).

b) Tempat tinggal salah satu Tergugat, jika terdapat

lebih dari satu Tergugat, yang tempat tinggalnya

tidak berada dalam satu daerah hukum

Pengadilan Agama menurut pilihan Penggugat.

c) Tergugat utama bertempat tinggal, jika hubungan

antara Tergugat-Tergugat adalah sebagai yang

berhutang clan penjaminnya.

d) Tempat tinggal Penggugat atau salah satu dari

Penggugat, dalam hal :

(1) Tergugat tidak mempunyai tempat tinggal

dan tidak diketahui dimana ia berada.

(2) Tergugat tidak dikenal.

(Dalam gugatan disebutkan dahulu tempat

tinggalnya yang terakhir, baru keterangan

60

bahwa sekarang ticlak diketahui lagi tempat

tinggalnya).

e) Dalam hal Tergugat tidak diketahui tempat

tinggalnya dan yang menjadi objek gugatan

adalah benda tidak bergerak (tanah), maka

gugatan diajukan di tempat benda yang tidak

bergerak terletak ( Pasal 118 ayat (3) HIR ).

f) Untuk daerah yang berlaku RBg, apabila objek

gugatan menyangkut benda tidak bergerak, maka

gugatan diajukan ke Pengadilan yang meliputi

wilayah hukum dimana benda tidak bergerak itu

berada (Pasal 142 ayat (5) RBg ).

g) Jika ada pilihan domisili yang tertulis dalam

akta, maka gugatan diajukan di tempat domisili

yang dipilih itu.

2) Apabila Tergugat pada hari sidang pertama tidak

mengajukan tangkisan (eksepsi) tentang wewenang

mengadili secara relatif, Pengadilan Agama tidak

boleh menyatakan dirinya tidak berwenang. (Lihat

Pasal 133 HIR/Pasal 159 RBg), yang menyatakan

bahwa eksepsi mengenai kewenangan relatif harus

diajukan pada pennulaan sidang, dan apabila

diajukan terlambat, Hakim dilarang untuk

memperhatikan eksepsi tersebut.

3) Pengecualian:

a) Dalam hal Tergugat tidak cakap untuk meng•

hadap dimuka pengadilan, gugatan diajukan

kepada Ketua Pengadilan Agama tempat tinggal

orang tuanya, walinya atau pengampunya (Pasal 21 B.W).

61

b) Yang menyangkut pegawai negeri, berlaku

ketentuan Pasal 118 IDR I Pasal 142 RBg.

c) Tentang penjaminan (vrijwaring), yang berwe•

nang untuk mengadilinya adalah Pengadilan

Agama yang pertama dimana pemeriksaan

dilakukan (Pasal 14 R.V).

4) Apabila eksepsi diterima maka putusan berbunyi:

Dalam eksepsi :

- Menerima eksepsi Tergugat.

- Menyatakan Pengadilan Agama (pengadilan

yang mengadili sekarang) ticlak berwenang untuk

mengadili perkara tersebut.

e. Wewenang Absolut

1) Wewenang absolut atau wewenang mutlak adalah

menyangkut pembagian kekuasaan (wewenang)

mengadili antar lingkungan peradilan.

2) Eksepsi mengenai kekuasaan absolut dapat diajukan

setiap waktu selama proses pemeriksaan berlang•

sung.

3) Hakim karena jabatannya harus menyatakan dirinya

tidak berwenang untuk memeriksa perkara yang

bersangkutan meskipun tidak ada eksepsi dari

Tergugat, dan hal ini dapat dilakukan pada semua

taraf pemeriksaan, termasuk dalam taraf banding dan

kasasi (lihat Pasal 134 IDR).

4) Apabila eksepsi diterima maka putusan berbunyi:

Dalam eksepsi :

Menerima eksepsi Tergugat.

62

- Menyatakan Pengadilan Agama tidak berwenang

untuk mengadili perkara tersebut .

Catatan : Putusan seperti ini adalah putusan akhir

yang dapat dimohonkan banding dan

kasasi.

5) Apabila eksepsi ditolak, maka Hakim memberikan

putusan sela yang amarnya menolak eksepsi tersebut

dan memerintahkan untuk melanjutkan pemeriksaan

perkara.

Putusan sela tidak dituangkan dalam suatu putusan

tersendiri, walaupun putusan sela itu harus diucap•

kan dalam sidang pengadilan, tetapi putusan sela

hanya dicatat dalam Berita Acara Persidangan (Pasal

185 ayat (1) HIR I 196 ayat (1) RBG).

6) Putusan sela yang tidak diterima para pihak, hanya

dapat diajukan banding bersama-sama dengan

putusan akhir (Pasal 9 ayat (1) Undang-undang

Nomor20Tahun 1947).

f. Kuasa/Wakil

1) Yang dapat bertindak sebagai Kuasa/Wakil dari

Penggugat/ Tergugat atau pemohon di pengadilan :

a) Advokat (sesuai dengan Pasal 32 UU No. 18

Tahun 2004 tentang Advokat, Penasihat hukum,

pengacara praktik dan konsultan hukum yang

telah diangkat pada saat Undang-undang

Advokat mulai berlaku dan dinyatakan sebagai

Advokat).

b) Jaksa dengan kuasa khusus sebagai kuasa/wakil

Negara/Pemerintah sesuai dengan Undang-

63

undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

RI Pasal 30 ayat (2).

c) Biro Hukum PemerintahffNI/Kejaksaan RI.

d) Direksi/Pengurus atau karyawan yang ditunjuk

dari suatu badan hukum.

e) Mereka yang mendapat kuasa insidentil yang

ditetapkan oleh ketua pengadilan (misalnya

LBH, Hubungan Keluarga, Biro Hukum TNII

Polri untuk perkara-perkara yang menyangkut

anggota/keluarga TNI/Polri).

f) Kuasa insidentil dengan alasan hubungan keluarga

sedarah atau semenda dapat diterima sampai

dengan derajat ketiga, yang dibuktikan surat

keterangan kepala desa/lurah.

2) Kuasa/wakil harus memiliki surat kuasa khusus yang

diserahkan di persidangan, atau pada saat mengaju•

kan gugatan/permohonan.

3) Surat Kuasa Khusus harus mencantumkan secara

jelas bahwa surat kuasa itu hanya dipergunakan

untuk keperluan tertentu dengan subyek, objek dan

Pengadilan tertentu.

4) Dalam surat kuasa tersebut harus dengan jelas

disebutkan kedudukan pihak-pihak berperkara.

5) Apabila clalam surat kuasa khusus tersebut

disebutkan bahwa kuasa tersebut mencakup pula

pemeriksaan dalam tingkat banding dan kasasi,

maka surat kuasa khusus tersebut tetap sah dan

berlaku hingga pemeriksaan dalam kasasi, tanpa

diperlukan suatu surat kuasa khusus yang baru

(Lihat SEMA No. 6 Tahun 1994).

64

6) Permohonan banding atau kasasi yang diajukan oleh

kuasa I wakil dari pihak yang bersangkutan harus

dilampiri dengan surat kuasa khusus untuk

mengajukan permohonan banding atau kasasi, atau

dilampiri surat kuasa khusus yang dipergunakan di

Pengadilan Agama yang telah menyebutkan pula

pemberian kuasa untuk mengajukan permohonan

banding atau kasasi.

7) Kuasa/wakil yang ditunjuk oleh para pihak dalam

persidangan, maka cuk.up dicatat dalam berita acara

persidangan.

8) Kuasa/wakil baru mengakhiri kuasa lama, kecuali

ada klausul yang menyatakan bahwa kuasa/wakil

lama tetap boleh/berlaku.

g. Perkara Gugur

1) Apabila pada hari sidang pertama Penggugat atau

semua Penggugat tidak hadir, meskipun telah

dipanggil dengan patut dan juga tidak mengirim

kuasanya yang sah, sedangkan Tergugat atau

kuasanya yang sah datang maka gugatan dapat

digugurkan dan Penggugat dihukum untuk

membayar biaya perkara (Pasal 124 HIR/Pasal 148

RBg.). Haros diperhatikan apakah dalam pemang•

gilan kepada Penggugat tersebut jurusita telah

bertemu sendiri dengan Penggugat atau hanya

melalui Kelurahan/Kepala Desa. Dalam hal jurusita

tidak dapat bertemu sendiri dan hanya melalui

Kelurahan/Kepala Desa, maka Penggugat dipanggil

sekali lagi.

65

2) Dalam hal perkara digugurkan, Penggugat dapat

mengajukan gugatan tersebut sekali lagi dengan

membayar panjar biaya perkara. Apabila telah

dilakukan sita jaminan, maka sita tersebut harus

diangkat.

3) Dalam hal-hal tertentu, misalnya apabila Penggugat

tempat tinggalnya jauh atau mengirim kuasanya

tetapi surat kuasanya tidak memenuhi syarat, maka

Hakim dapat mengundurkan sidang dan meminta

Penggugat dipanggil sekali lagi. Kepada pihak yang

datang diberitahukan agar ia menghadap lagi tanpa

panggilan (Pasal 126 HIR/Pasal 150 RBg.).

4) Jika Penggugat pada panggilan sidang pertama tidak

datang, meskipun ia telah dipanggil dengan patut,

tetapi pada panggilan kedua ini datang dan pada

panggilan ketiga Penggugat tidak hadir lagi,

perkaranya tidak dapat digugurkan (Pasal 124

HIR/Pasal 148 RBg).

5) Apabila gugatan gugur maka dituangkan dalam

putusan, tetapi apabila gugatan dicabut maka

dituangkan dalam bentuk penetapan.

Dalam hal perkara perceraian, apabila salah satu

pihak meninggal dunia sedangkan perkaranya

belum diputus, maka perkara menjadi gugur clan

dituangkan dalam putusan.

6) Apabila Penggugat pemah hadir tetapi kemudian

tidak hadir lagi, maka Penggugat dipanggil sekali

lagi dengan peringatan (premptoir) untuk hadir clan

apabila tetap tidak hadir sedangkan Tergugat tetap

hadir, maka pemeriksaan dilanjutkan clan diputus

secara kontradiktoir.

66

h. Perkara Verstek

1) Pasal 125 ayat (1) HIR menentukan bahwa gugatan

dapat clikabulkandengan verstek apabila :

a) Tergugat atau para Tergugat tidak datang pada

hari sidang pertama yang telah ditentukan atau

tidak mengirimkan jawaban.

b) Tergugat atau para Tergugat tersebut tidak

mengirimkan wakil/kuasanya yang sah untuk

menghadap atau tidak mengirimkan jawaban.

c) Tergugat atau para Tergugat telah dipanggil

dengan patut.

d) Gugatan beralasan dan berdasarkan hukum.

2) Dalam hal Tergugat tidak hadir pada panggilan

sidang pertama dan tidak mengirim kuasanya yang sah,

tetapi ia mengajukan jawaban tertulis berupa

tangkisan tentang Pengadilan Agama tidak

berwenang mengadili, maka perkara diputus

berdasarkan Pasal 125 HIR.

3) Dalam perkara penceraian yang Tergugatnya ticlak

cliketahui tempat tinggalnya atau tidak mempunyai

tempat kediaman yang tetap, harus diperhatikan

apakah dilakukan dengan patut, yaitu dengan cara

dipanggil ke alamatnya yang terakhir. Apabila

setelah dilakukan hal tersebut masih juga tidak

datang, maka diumumkan melalui satu atau beberapa

surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan

oleh Pengadilan, yang dilakukan sebanyak 2 kali

dengan tenggat waktu 1 bulan antara pengumuman

pertama dan kedua selanjutnya tenggat waktu antara

panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan

67

sekurang-kurangnya 3 bulan (Pasal 27 Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1975).

6) Lihat Surat Edaran Mahkamah Agung No. 9 Tahun

1964 mengenai verstek.

i. Perlawanan Terhadap Putusan Verstek

1) Sesuai Pasal 129 HIR/153 RBg. Tergugat/para

Tergugat yang dihukum dengan verstek berhak

mengajukan verzet atau perlawanan dalam waktu 14

hari terhitung setelah tanggal pemberitahuan putusan

verstek itu kepada Tergugat semula jika

pemberitahuan tersebut langsung disampaikan

sendiri kepada yang bersangkutan. (Pasal 391 lilR:

dalam menghitung tenggat waktu maka tanggal/hari

saat dimulainya penghitungan waktu tidak dihitung)

2) Jika putusan itu tidak langsung diberitahukan kepada

Tergugat sendiri dan pada waktu aanmaning

Tergugat hadir, maka tenggat waktunya sampai pada

hari kedelapan sesudah aanmaning (peringatan).

3) Jika Tergugat tidak hadir pada waktu aanmaning,

maka tenggat waktunya adalah hari kedelapan

sesudah sita eksekusi dilaksanakan. (Pasal 129 ayat

(2) jo Pasal 196 nm dan Pasal 153 ayat (2) jo Pasal

207 RBG). Kedua perkara tersebut (perkara verstek

dan verzet terhadap verstek) didaftar dalam satu

nomor perkara,

4) Perkara verzet sedapat mungkin dipegang oleh

Majelis Hakim yang telah menjatuhkan putusan

verstek.

5) Hakim yang melakukan pemeriksaan perkara verzet

atas putusan verstek harus memeriksa gugatan yang

68

telah diputus verstek tersebut secara keseluruhan.

Pemeriksaan perkara verzet dilakukan secara biasa

(lihat Pasal 129 ayat (3) HIR, Pasal 153 ayat (3)

RBg. dan SEMA No. 9 Tahun 1964).

6) Apabila dalam pemeriksaan verzet pihak Penggugat

asal (Terlawan) tidak hadir, maka pemeriksaan

dilanjutkan secara contradictoire, akan tetapi apabila

Pelawan yang tidak hadir, maka Hakim menjatuhkan

putusan verstek untuk kedua kalinya. Terhadap

putusan verstek yang dijatuhkan kedua kalinya ini

tidak dapat diajukan perlawanan, tetapi bisa diajukan

upaya hukum banding (Pasal 129 ayat ( 5) HIR dan

Pasal 153 ayat (5) RBg).

7) Apabila verzet diterima dan putusan verstek dibatal•

kan maka amar putusannya berbunyi :

a) Menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang

benar.

b) Membatalkan putusan verstek.

c) Mengabulkan gugatan Penggugat atau menolak

gugatan Penggugat

8) Apabila verzet tidak diterima dan putusan verstek

tidak dibatalkan, maka amar putusannya berbunyi :

a) Menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang tidak

benar.

b) Menguatkan putusan verstek tersebut.

9) Terhadap putusan verzet tersebut kedua belah pihak

berhak mengajukan banding. Dalam hal diajukan

banding, maka berkas perkara verstek dan verzet

disatukan dalam satu berkas dan dikirim ke

Pengadilan Tinggi dan hanya menggunakan satu

nomor perkara.

69

j. Pencabutan Gugatan

Gugatan dapat dicabut secara sepihak apabila Tergugat

belum memberikan jawaban tetapi jika Tergugat sudah

memberikan jawaban maka pencabutan perkara harus

mendapat persetujuan dari Tergugat (hal ini tidak diatur

dalam HIR atau RBg., tetapi ada dalam Pasal 271, 272

Rv).

k, Perubahan Gugatan

1) Perubahan gugatan diperkenankan, apabila diajukan

sebelum Tergugat mengajukan jawaban dan apabila

sudah ada jawaban Tergugat, maka perubahan

tersebut harus dengan persetujuan Tergugat (Pasal

127 Rv).

2) Perubahan gugatan tersebut dapat dilakukan apabila

tidak bertentangan dengan asas-asas hukum acara

perdata, tidak merubah atau menyimpang dari

kejadian materiil. (Pasal 127 Rv: asal tidak

mengubah atau menambah petitum, pokok perkara,

dasar dari gugatan).

3) Perubahan gugatan dilarang:

a) Apabila berdasarkan atas keadaan/fakta/

peristiwa hukum yang sama dituntut hal yang

lain (dimohon suatu pelaksanaan hal yang lain).

b) Penggugat mengemukakan/mendalilkan keadaan

fakta hukum yang baru dalam gugatan yang

dirubah.

I. Rekonvensi (Gugat Balik atau Gugat Balasan)

1) Gugatan Rekonvensi, menurut Pasal 132 a HIR

dapat diajukan dalam setiap perkara kecuali :

70

a) Penggugat dalam gugatan asal menuntut

mengenai sifat, sedangkan gugatan rekonvensi

mengenai dirinya sendiri dan sebaliknya.

b) Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa

tuntutan balik itu berhubung dengan pokok

perselisihan (kompetensi absolut).

c) Dalam perkara tentang menjalankan putusan

hakim.

2) Gugatan Rekonvensi harus diajukan bersama-sama

dengan jawaban pertama (Pasal 132b HIR/Pasal 158

RBg.).

3) Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak

diajukan gugatan dalam rekonvensi, maka dalam

pemeriksaan tingkat banding tidak dapat diajukan

gugatan rekonvensi.

4) Gugatan dalam konvensi dan rekonvensi diperiksa

dan diputus dalam satu putusan kecuali apabila

menurut pendapat hakim salah satu dari gugatan

dapat diputus terlebih dahulu.

5) Gugatan rekonvensi hanya boleh diterima apabila

berhubungan dengan gugatan konvensi.

6) Apabila gugatan konvensi dicabut, maka gugatan

rekonvensi tidak dapat dilanjutkan.

m. Kumulasi Gugatan

1) Penggabungan dapat berupa kumulasi subjektif atau

kumulasi objektif.

Kumulasi subjektif adalah penggabungan beberapa

Penggugat atau Tergugat dalam satu gugatan.

71

Kumulasi objektif adalah penggabungan beberapa

tuntutan terhadap beberapa peristiwa hukum dalam

satu gugatan.

2) Penggabungan beberapa tuntutan dalam satu gugatan

diperkenankan apabila penggabungan itu mengun-

tungkan proses, yaitu apabila antara tuntutan yang

digabungkan itu ada koneksitas dan penggabungan

akan memudahkan pemeriksaaan serta akan dapat

mencegah kemungkinan adanya putusan-putusan

yang saling berbeda /bertentangan.

3) Beberapa tuntutan dapat dikumulasikan dalam satu

gugatan apabila antara tuntutan-tuntutan yang

digabungkan itu terdapat hubungan erat atau ada

koneksitas dan hubungan erat ini harus dibuktikan

berdasarkan fakta-faktanya.

4) Dalam hal suatu tuntutan tertentu diperlukan suatu

acara khusus (misalnya gugatan cerai) sedangkan

tuntutan yang lain harus diperiksa menurut acara

biasa (gugatan untuk memenuhi perjanjian), maka

kedua tuntutan itu tidak dapat dikumulasikan dalam

satu gugatan.

5) Apabila dalam salah satu tuntutan hakim tidak

berwenang memeriksa sedangkan tuntutan lainnya

hakim berwenang, maka kedua tuntutan itu tidak

boleh diajukan bersama-sama dalam satu gugatan.

n, Masuknya Pihak Ketiga Dalam Proses Perkara

1) Ikut sertanya pihak ketiga dalam proses perkara

yaitu voeging, intervensiltussenkomst dan vrijwaring

tidak diatur dalam HIR atau RBg., tetapi dalam

praktek ketiga lembaga hukum ini dapat

72

dipergunakan dengan berpedoman pada Rv, Pasal

279 Rv dst. dan Pasal 70 Rv dst, sesuai dengan

prinsip bahwa hakim wajib mengisi kekosongan,

baik dalam hukum materil maupun hukum formil.

2) Voeging adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk

bergabung kepada Penggugat atau Tergugat.

3) Dalam hal ada permohonan voeging, Hakim

memberi kesempatan kepada para pihak untuk

menanggapi, selanjutnya dijatuhkan putusan sela,

dan apabila dikabulkan maka dalam putusan harus

disebutkan kedudukan pihak ketiga tersebut.

4) lntervensi (tussenkomst) adalah ikut sertanya pihak

ketiga untuk ikut dalam proses perkara itu atas

alasan ada kepentingannya yang terganggu.

Intervensi diajukan oleh karena pihak ketiga merasa

bahwa barang miliknya disengketakan/diperebutkan

oleh Penggugat dan Tergugat. Permohonan

intervensi dikabulkan atau ditolak dengan putusan

sela. Apabila permohonan intervensi dikabulkan,

maka ada dua perkara yang diperiksa bersama-sama,

yaitu gugatan asal dan gugatan intervensi.

7) Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk

bertanggung jawab (untuk membebaskan Tergugat

dari tanggung jawab kepada Penggugat). Vrijwaring

diajukan dengan sesuatu permohonan dalam proses

pemeriksaan perkara oleh Tergugat secara lisan atau

tertulis.

Misalnya: Tergugat digugat oleh Penggugat, karena

barang yang dibeli oleh Penggugat mengandung

cacat tersembunyi, padahal Tergugat membeli barang

tersebut dari pihak ketiga, maka Tergugat

73

menarik pihak ketiga ini, agar pihak ketiga tersebut

bertanggung jawab atas cacat itu.

8) Setelah ada pennohonan vrijwaring, Hakim memberi

kesempatan para pihak untuk menanggapi pennohonan

tersebut, selanjutnya dijatuhkanputusan yang menolak

atau mengabulkan permohonan tersebut:

7) Apabila permohonan intervensi ditolak, maka putusan

tersebut merupakan putusan akhir yang dapat

dimohonkan banding, tetapi pengirimannya ke

pengadilan tinggi harus bersama-sama dengan

perkara pokok.

Apabila perkara pokok tidak diajukan banding, maka

dengan sendirinya pennohonan banding dari inter-

venient tidak dapat diteruskan dan yang bersang-

kutan dapat mengajukan gugatan tersendiri.

8) Apabila pennohonan dikabulkan, maka putusan

tersebut merupakan putusan sela, dicatat dalam

Berita Acara, dan selanjutnya pemeriksaan perkara

diteruskan dengan menggabung gugatan intervensi

ke dalam perkara pokok.

o. Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action)

PERMA No. 1 Tahun 2002

1) Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata

cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau

lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan

untuk dirinya sendiri atau untuk dirinya dan

kelompok yang diwakilinya.

2) Gugatan Perwakilan Kelompok diajukan dalam hal :

a) Jumlah anggota kelompok semakin banyak

sehingga tidaklah efektif dan efesien apabila

74

gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau

secara bersama-sama dalam satu gugatan.

b) Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan

kesamaan dasar hukum yang digunakan yang

bersifat substansial, serta terdapat kesamaan

jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan

anggota kelompoknya.

c) Wakil kelompok memiliki kejujuran dan

kesungguhan untuk melindungi kepentingan

anggota kelompok yang diwakilinya.

3) Surat gugatan kelompok mengacu pada persyaratan-

persyaratan yang diatur oleh Hukum Acara Perdata

yang berlaku, dan harus memuat :

a) ldentitas lengkap dan jelas dari wakil kelompok.

b) Definisi kelompok secara rinci dan spesifik

walaupun tanpa menyebutkan nama anggota

kelompok satu persatu.

c) Keterangan tentang anggota kelompok yang

diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban

melakukan pemberitahuan.

d) Posita dari seluruh kelompok baik wakil

kelompok maupun anggota kelompok yang

teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang

dikemukakan secara jelas dan terinci.

e) Gugatan perwakilan dapat dikelompokkan

beberapa bagian kelompok atau sub kelompok,

jika tuntutan tidak sama karena sifat dan

kerugian yang berbeda.

f) Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus

dikemukakan secara jelas dan rinci, memuat

usulan tentang mekanisme atau tata cara

75

pendistribusian ganti kerugian kepada

keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan

tentang pembentukan tim atau panel yang

membantu memperlancar pendistribusian ganti

kerugian.

4) Untuk mewakili kepentingan hukum anggota

kelompok, wakil kelompok tidak dipersyaratkan

memperoleh surat kuasa khusus dari anggota

kelompok (Pasal 4).

5) Pada awal proses pemeriksaan persidangan, hakim

wajib memeriksa dan mempertimbangkan kriteria

gugatan perwakilan kelompok dan memberikan

nasihat kepada para pihak mengenai persyaratan

gugatan perwakilan kelompok, selanjutnya hakim

memberikan penetapan mengenai sah tidaknya

gugatan perwakilan kelompok tersebut.

6) Apabila penggunaan prosedur gugatan perwakilan

kelompok dinyatakan sah, maka hakim segera me•

merintahkan Penggugat mengajukan usulan model

pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim.

7) Apabila penggunaan tata cara gugatan perwakilan

kelompok dinyatakan tidak sah, maka pemeriksaan

gugatan dihentikan dengan suatu putusan hakim.

8) Dalam proses perkara tersebut Hakim wajib

mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara

dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal

persidangan maupun selama berlangsungnya peme-

riksaan perkara.

9) Cara pemberitahuan kepada anggota kelompok dapat

dilakukan melalui media cetak dan/atau elektronik,

kantor-kantor pemerintah seperti kecamatan,

76

kelurahan atau desa, kantor pengadilan, atau secara

langsung kepada anggota kelompok yang bersang-

kutan sepanjang dapat diidentifikasi berdasarkan

persetujuan hakim.

10)Pemberitahuan kepada anggota kelompok wajib

dilakukan pada tahap-tahap:

a) Segera setelah hakim memutuskan bahwa penga-

juan tata cara gugatan perwakilan kelompok

dinyatakan sah, dan selanjutnya anggota

kelompok dapat membuat pemyataan keluar.

b) Pada tahap penyelesaian dan pendistribusian

ganti rugi ketika gugatan dikabulkan.

11) Pemberitahuan memuat :

a) Nomor gugatan dan identitas Penggugat atau

para Penggugat sebagai wakil kelompok serta

pihak Tergugat atau para Tergugat.

b) Penjelasan singkat tentang kasus.

c) Penjelasan tentang pendefinisian kelompok.

d) Penjelasan dan implikasi keturutsertaan sebagai

anggota kelompok.

e) Penjelasan tentang kemungkinan anggota kelom-

pok yang tennasuk dalam definisi kelompok

untuk keluar dari keanggotaan kelompok.

f) Penjelasan tentang waktu yaitu bulan, tanggal,

jam, pemberitahuan pemyataan keluar dapat

diajukan ke pengadilan.

g) Penjelasan tentang alamat yang ditujukan untuk

mengajukan pemyataan keluar.

h) Apabila dibutuhkan oleh anggota kelompok

tentang siapa yang tepat yang tersedia bagi

penyediaan informasi tambahan.

77

i) Formulir isian tentang pemyataan keluar anggota

kelompok sebagaimana diatur dalam lampiran

Peraturan Mahkamah Agung ini.

j) Penjelasan tentang jumlah ganti rugi yang akan

diajukan.

12) Setelah pemberitahuan dilakukan oleh wakil

kelompok berdasarkan persetujuan hakim, anggota

kelompok dalam jangka waktu yang ditentukan oleh

hakim diberi kesempatan menyatakan keluar dari

keanggotaan kelompok dengan mengisi formulir

yang diatur dalam lampiran Peraturan Mahkamah

Agung ini. 13) Pihak yang telah menyatakan diri keluar dari

keanggotaan gugatan perwakilan kelompok secara

hukum tidak terkait dengan putusan atas gugatan

perwakilan kelompok yang dimaksud.

14) Gugatan perwakilan kelompok diajukan dalam

perkara wakaf, zakat, infaq dan shadaqah.

15) Dalam gugatan perwakilan kelompok/ class action,

apabila gugatan ganti rugi dikabulkan, hakim wajib

memutuskan jumlah ganti rugi secara rinci,

penentuan kelompok dan/atau sub kelompok yang

berhak, mekanisme pendistribusian ganti rugi dan

langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil

kelompok dalam proses penetapan dan

pendistribusian seperti halnya kewajiban melakukan

pemberitahuan atau notifikasi. (Pasal 9 PERMA).

p. Gugatan Untuk Kepentingan Umum

1) Organisasi kemasyarakatan/Lembaga Swadaya

Masyarakat dapat mengajukan Gugatan untuk

78

kepentingan masyarakat, dalam perkara wakaf,

zakat, infaq dan shadaqah.

2) Organisasi kemasyarakatan/Lembaga Swadaya

Masyarakat yang mengajukan gugatan untuk

kepentingan umum harus memenuhi persyaratan

yang ditentukan dalam undang-undang yang

bersangkutan.

q. Perdamaian

I) Dalam setiap perkara perdata, apabila kedua belah

pihak hadir dipersidangan, hakim wajib mendamai•

kan kedua belah pihak. Usaha mendamaikan kedua

belah pihak yang berperkara tidak terbatas pada hari

sidang pertama saja, melaink.an dapat dilakukan

dalam sidang sidang berikutnya meskipun tarap

pemeriksaan lebih lanjut (Pasal 130 HIR/Pasal 154

RBg).

2) Jika usaha perdamaian berhasil, maka dibuat akta

perdamaian, yang harus dibacakan terlebih dahulu

oleh hakim dihadapan para pihak sebelum hakim

menjatuhkan putusan yang menghukum kedua belah

pihak untuk mentaati isi perdamaian tersebut.

3) Akta/putusan perdamaian mempunyai kekuatan yang

sama dengan putusan hakim yang berkekuatan

hukum tetap dan apabila tidak dilaksanakan,

eksekusi dapat dimintakan kepada Ketua Pengadilan

Agama yang bersangkutan.

4) Akta/putusan perdamaian tidak dapat dilakukan

upaya hukum banding, kasasi dan peninjauan

kembali.

79

5) Jika usaha perdamaian tidak berhasil, hal tersebut

harus dicatat dalam berita acara persidangan,

selanjutnya pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan

membacakan surat gugatan dalam bahasa yang

dimengerti oleh para pihak, jika perlu dengan

menggunakan penterjemah (Pasal 131 HIR/Pasal

155 RBg).

6) Khusus untuk gugatan perceraian, Hakim wajib

mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa,

yang sedapat mungkin dihadiri sendiri oleh suami-

istri tersebut.

7) Apabila usaha perdamaian berhasil, maka gugatan

perceraian tersebut harus dicabut, apabila usaha

perdamaian gagal maka gugatan perceraian diperiksa

dalam sidang yang tertutup untuk umum.

8) Dalam mengupayakan perdamaian digunakan

PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang Mediasi, yang

mewajibkan agar semua perkara yang diajukan ke

pengadilan tingkat pertama wajib untuk diselesaikan

melalui perdamaian dengan bantuan mediator (Pasal

2PERMA).

9) Proses mediasi tersebut dilaksanakan sebagai

berikut:

a) Pada hari sidang pertama yang dihadiri kedua

belah pihak, hakim mewajibkan para pihak yang

berperkara untuk melakukan mediasi terlebih

dahulu, dan untuk keperluan tersebut Hakim

wajib menunda proses persidangan perkara itu

untuk memberikan kesempatan kepada para

pihak menempuh proses mediasi, serta

memberikan penjelasan kepada para pihak

80

tentang prosedur dan biaya mediasi (Pasal 3

PERMA).

b) Dalam waktu paling lama satu hari kerja setelah

sidang pertama, para pihak dan/atau kuasa

hukum mereka wajib berunding guna memilih

mediator dari daftar mediator di pengadilan

(Pasal 4 PERMA).

c) Jika dalam waktu satu hari kerja para pihak atau

kuasa hukum mereka tidak dapat bersepakat

dalam memilih mediator didalam atau diluar

daftar pengadilan, para pihak wajib memilih

mediator yang disediakan oleh pengadilan

tingkat pertama, dan jika tidak ada kata sepakat

dalam memilih mediator tersebut, ketua majelis

berwenang untuk menentukan seorang mediator

dengan penetapan (Pasal 4 ayat (2), (3)

PERMA).

d) Hakim yang memeriksa suatu perkara, baik

sebagai ketua majelis atau anggota majelis,

dilarang bertindak sebagai mediator bagi perkara

yang bersangkutan. (Pasal 4 ayat (4)).

e) Proses mediasi yang menggunakan mediator

diluar daftar mediator yang dimiliki oleh

pengadilan, berlangsung paling lama tiga puluh

hari kerja (Pasal 5 ayat 1 ), selanjutnya para pihak

wajib menghadap kembali pada hakim pada

sidang yang ditentukan, dan jika para pihak

mencapai kesepakatan, mereka dapat meminta

penetapan dengan suatu akta perdamaian.

f) Jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan

yang tidak dimintakan penetapannya sebagai

81

suatu akta perdamaian, pihak Penggugat wajib

menyatakan pencabutan gugatan.

g) Mediator dari kalangan hakim dan bukan hakim

harus memiliki sertifikat sebagai mediator, dan

prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi

wajib mengikuti PERMA No. 2 Tahun 2003.

h) Jika dalam waktu seperti yang ditetapkan

mediasi tidak menghasilkan kesepakatan,

mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa

proses mediasi telah gagal dan memberitahukan

kegagalan tersebut kepada hakim dan setelah

diterima pemberitahuan itu, hakim melanjutkan

pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum

acara yang berlaku (Pasal 12 PERMA).

i) Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan,

pemyataan dan pengakuan para pihak dalam

proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai

alat bukti dalam proses persidangan perkara yang

bersangkutan atau perkara lainnya.

j) Fotocopy dokumen dan notulen atau catatan

mediator wajib dimusnahkan, dan mediator tidak

dapat diminta menjadi saksi dalam proses

persidangan perkara yang bersangkutan (Pasal

13 PERMA).

k) Proses mediasi pada asasnya tidak bersifat

terbuka untuk umum, kecuali para pihak

menghendaki lain, akan tetapi proses mediasi

untuk sengketa publik adalah terbuka untuk

umum (Pasal 14 PERMA).

1) Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu

ruang pengadilan tingkat pertama atau ditempat

82

lain yang yang disepakati oleh para pihak.

Penyelenggaraan mediasi disalah satu ruang

pengadilan tingkat pertama tidak dikenakan

biaya, sedangkan penyelenggraan mediasi di

tempat lain, pembiayaannya dibeBankan kepada

para pihak berdasarkan kesepakatan. Penggunaan

mediator hakim tidak dipungut biaya,

sedangkan biaya mediator bukan hakim

ditanggung oleh para pihak berdasarkan

kesepakatan kecuali terhadap para pihak yang

tidak mampu (Pasal 15 PERMA).

m) Mediasi wajib dilaksanakan sesuai dengan Penna

No. 2 Tahun 2003.

n) Selama proses mediasi, dilarang meletakkan sita

jaminan atas milik salah satu pihak kecuali dapat

dibuktikan bahwa ada itikad buruk dari pihak

Tergugat untuk mengalihkan barang-barangnya.

r. Penggugat/Tergugat Meninggal Dunia

1) Jika Penggugat setelah mengajukan gugatan

meninggal dunia, maka ahli warisnya dapat

melanjutkan perkara.

2) Jika dalam proses pemeriksaan perkara Tergugat

meninggal, maka perkara harus dicabut terlebih

dahulu oleh Penggugat, selanjutnya Penggugat

dapat mengajukan gugatan kembali kepada ahli

waris Tergugat.

s, Pengunduran Sidang

1) Jika perkara tidak dapat diperiksa pada sidang

pertama, pemeriksaan diundurkan sampai sidang

83

berikutnya dalarn waktu yang tidak terlalu lama,

dengan memperhatikan waktu yang cukup dalarn

hal ada pihak yang bertempat tinggal di luar

wilayah hukum pengadilan tersebut, atau dalarn

hal pemanggilan tersebut harus dilakukan

dengan panggilan umum.

2) Pengunduran sidang harus diucapkan di

persidangan, dan bagi mereka yang hadir

pemberitahuan pengunduran sidang berlaku

sebagai panggilan (Pasal 159 HIR/Pasal 186

RBg), sedangkan bagi pihak yang tidak hadir

harus dipanggil lagi.

3) Pengunduran sidang diberitahukan oleh Panitera

Pengganti kepada petugas register perkara untuk

dicatat dalarn register yang bersangkutan.

t. Hal-hal Yang Dapat Terjadi Selama Pemeriksaan

Perkara

1) Jika selarna pemeriksaaan perkara atas

permohonan salah satu pihak ada hal-hal atau

perbuatan yang harus dilakukan, misalnya peme•

riksaan setempat, maka biayanya dibebankan

kepada Penggugat dan dianggap sebagai

persekot biaya perkara, yang kemudian hari akan

diperhitungkan dengan biaya perkara yang harus

dibayar oleh pihak yang dengan putusan Hakim

dihukum untuk membayar biaya perkara.

2) Pihak Tergugat, apabila ia mau dapat memba•

yamya, atau jika Penggugat yang memohon

tetapi keberatan untuk membayarnya, maka

biaya dibebankan kepada Tergugat. Jika kedua

84

belah pihak tersebut tidak mau membayar biaya

tersebut, maka hal/perbuatan yang harus

dilakukan itu tidak dilakukan.

3) Jika hal/perbuatan itu menurut Hakim memang

sangat diperlukan, maka Hakim dapat memerin-

tahkan para pihak membayar biaya tersebut

secara tanggung renteng. Dalam hal itu, biaya

tersebut sementara akan diambil dari uang

panjar biaya perkara yang telah dibayar oleh

Penggugat (Pasal 160 HIR/Pasal 187 RBg).

u. Tangkisan/Eksepsi

1) Tangkisan atau eksepsi yang diajukan oleh

Tergugat, diperiksa dan diputus bersama-sama

dengan pokok perkara, kecuali jika eksepsi itu

mengenai tidak berwenangnya Pengadilan

Agama untuk memeriksa perkara tersebut, maka

harus diputus dengan putusan sela (Pasal 136

HIR).

2) Apabila eksepsi yang diajukan tidak mengenai

kewenangan, maka diputus bersama-sama

dengan pokok perkara, dan dalam pertimbangan

hukum maupun dalam diktum putusan, tetap

disebutkan :

- Dalam eksepsi : (pertimbangan

lengkap).

- Dalam pokok perkara : (pertimbangan

lengkap).

85

v. Pengunduran Diri Hakim

1) Hakim wajib mengundurkan diri dari persi-

dangan apabila terikat hubungan keluarga

sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau

hubungan suami atau istri meskipun telah

bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim

anggota, jaksa, advokat atau panitera, atau

dengan pihak yang diadili (Pasal 29 ayat (3) dan

(4) Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman).

2) Hakim wajib mengundurkan diri dari persi-

clangan apabila ia mempunyai kepentingan

langsung atau tidak langsung dengan perkara

yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya

sendiri maupun atas pennintaan pihak yang

berperkara.(Pasal 29 ayat (5) Undang-undang No.

4 Tahun 2004). "Kepentingan langsung atau tidak

langsung" menurut penjelasan Pasal 29 ayat (5)

adalah termasuk apabila hakim atau panitera

atau pihak lain pernah menangani

perkara tersebut atau perkara tersebut pernah

terkait dengan pekerjaan atau jabatan yang

bersangkutan sebelumnya.

3) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap

ketentuan tersebut Pasal 29 ayat (5) putusan

dinyatakan tidak sah.

4) Untuk perkara verzet terhadap verstek, tidak

termasuk dalam pengertian tersebut Pasal 29 ayat

(5) di atas.

86

w. Pembuktian

1) Pasal 163 H.I.R. menentukan :

"Barang siapa mengatakan mempunyai barang

suatu hak atau mengatakan suatu perbuatan

untuk meneguhkan haknya atau untuk mem•

bantah hak orang lain haruslah membuktikan

hak itu atau adanya perbuatan itu".

Dalam hal ini berarti apabila yang didalilkan

(dikatakan) dibantah I disangkal maka yang

mendalilkan wajib membuktikan, tapi apabila

yang didalilkan tidak disangkal maka tidak perlu

ada pembuktian.

2) Sesuai ketentuan Pasal 164 HIR/Pasal RBg. ada

5 macam alat-alat bukti, yaitu:

a) bukti surat;

b) bukti saksi;

c) persangkaan;

d) pengakuan;

e) sumpah;

Ad. a) Bukti surat.

Ada 2 macam akta yaitu :

( 1) Akta otentik, sesuai dengan Pasal 165

H.I.R./Pasal .... RBg, adalah surat

yang dibuat oleh atau dihadapan

pegawai umum yang berwenang

untuk memberikan bukti yang cukup

bagi kedua belah pihak dan ahli

warisnya serta sekalian orang yang

mendapat hak dari padanya.

87

Nilai kekuatan pembuktian a1cta

otentik sebagaimana diatur dalam

Pasal 1870 KUHPerdata/Pasal 285

RBG adalah sempurna (volledig

bewijskracht) dan mengikat (bindende

bewijskracht), sehingga batas

minimalnya cukup pada dirinya sendiri

dan tidak perlu tambahan dari salah

satu alat bukti yang lain.

(2) Akta di bawah tangan.

Ordonansi Tahun 1867 No. 29

memuat "ketentuan-ketentuan tentang

kekuatan pembuktian dari pada

tulisan-tulisan dibawah tangan dari

orang-orang Indonesia atau yang

dipersamakan mereka."

Pasal 2 Ordonansi menentukan :

"Barang siapa yang terhadapnya

diajukan suatu tulisan dibawah

tangan diwajibkan secara tegas

mengakui atau menyangkal tanda

tangan, tetapi bagi ahli warisnya

atau orang yang mendapat hak dan

padanya cukuplah jika mereka

menerangkan tidak mengakui tulisan

atau tanda tangan itu sebagai tulisan

atau tanda tangan orang yang

mereka wakili."

Pasal 1 b Ordonansi tersebut

berbunyi: "Tulisan-tulisan dibawah

tangan, berasal dari orang-orang

88

Indonesia atau orang-orang yang

dipersamakan mereka yang diakui

oleh mereka terhadap siapa tulisan-

tulisan itu diajukan atau sebagai

telah diakui memberikan terhadap

pembuktian yang sempurna seperti

suatu akta otentik' Selanjutnya perlu

dilihat juga Pasal 1875, 1876 dan

1877 KUH Perdata.

Agar akta di bawah tangan melekat

kekuatan pembuktian, hams terpenuhi

syarat formil dan materil, yaitu :

(a) dibuat secara sepihak atau

berbentuk partai dan tanpa

campur tangan pejabat yang

berwenang;

(b) ditanda tangani pembuat atau para

pihak yang membuatnya;

(c) isi dan tanda tangan diakui;

Bila syarat di atas terpenuhi, maka

nilai kekuatan pembuktiannya sama

dengan akta otentik.

Ad. b) Bukti saksi.

(1) Dalam menimbang kesaksian hakim harus

memperhatikan kesesuaian kesaksian saksi

yang satu dengan lainnya, alasan atau sebab

mengapa saksi-saksi memberikan keterangan

tersebut, cara hidup, adat dan martabat saksi

clan segala ihwal yang dapat mempengaruhi

89

saksi sehingga saksi itu dapat dipercaya atau

kurang dipercayai." (Pasal 172 H.I.R.).

(2) Yang tidak dapat didengar sebagai saksi sesuai

Pasal 145 H.I.R. adalah :

(a) Keluarga sedarah dan keluarga semenda

menurut keturunan yang lurus dari salah

satu pihak.

(b) Suami atau istri salah satu pihak meskipun

telah bercerai.

(c) Anak-anak yang umurnya tidak diketahui

dengan benar bahwa mereka sudah

berumur lima belas tahun.

(d) Orang tua walaupun kadang-kadang

ingatannya terang.

(3) Keluarga sedarah atau keluarga semenda tidak.

boleh ditolak. sebagai sak.si karena keadaan itu

dalam perkara tentang keadaan menurut hukum

sipil dan pada orang yang berperkara atau

tentang suatu perjanjian pekerjaan.

(4) Orang yang tersebut dalam Pasal 146 ( 1) a dan

b tidak. berhak. minta mengundurkan diri dari

pada memberi kesaksian dalam perkara yang

tersebut dalam ayat dimuka.

(5) Pengadilan Agama dapat mendengar diluar

sumpah anak.-anak. atau orang-orang tua yang

kadang-kadang terang ingatannya yang

dimaksud dalam ayat pertama, akan tetapi

keterangan mereka hanya dipakai selaku

penjelasan saja.

(6) Yang dapat mengundurkan diri untuk memberi

kesaksian sesuai Pasal 146 ayat ( 1) H.I.R.

adalah:

90

(a) Saudara laki-laki dan saudara perempuan,

ipar laki-laki dan ipar perempuan dari

salah satu pihak,

(b) Keluarga sedarah menurut keturunan

yang lurus dan saudara laki-laki atau

perempuan dari suami atau istri salah satu

pihak.

(c) Sekalian orang yang karena martabatnya,

pekerjaannya atau jabatannya yang sah

diwajibkan menyimpan rahasia akan

tetapi hanya semata-mata mengenai

pengetahuan yang diserahkan kepadanya

karena martabat, pekerjaan atau

jabatannya itu.

(7) Testimonium de auditu adalah keterangan yang

diperoleh saksi dari orang lain, tidak didengar

atau dialami sendiri. Kesaksian de auditu dapat

dipergunakan sebagai sumber persangkaan.

(8) Unus testis nullus testis yang berarti "satu saksi

bukan saksi" adalah keterangan seorang saksi

saja tanpa adanya bukti yang lain. Unus testis

nullus testis harus dilengkapi dengan bukti•

bukti lain untuk dapat membuktikan dalil yang

harus di buktikannya.

Ad. c) Persangkaan.

(1) Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik

dari suatu peristiwa yang telah dianggap

terbukti atau peristiwa yang dikenal kearah

suatu peristiwa yang belum terbukti.

91

(2) Persangkaan Undang-undang diatur dalam

bab keempat buku keempat B.W, Pasal 1915

dan seterusnya.

Menurut Pasal 1916 B.W. persangkaan

undang-undang ialah persangkaan yang

berdasarkan suatu ketentuan khusus undang•

undang, dihubungkan dengan perbuatan•

perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa

tertentu.

(3) Persangkaan hakim sebagai alat bukti

mempunyai kekuatan bukti bebas, apakah

akan dianggap sebagai alat bukti berkekuatan

sempurna atau sebagai bukti penulisan atau

akan tidak diberi kekuatan apapun juga.

Ad. d) Pengakuan

(1) Menurut Pasal 174 H.I.R.: ''Pengakuan yang

diucapkan dihadapan hakim, cukup menjadi

bukti untuk memberatkan orang yang

mengaku itu, entah pengakuan itu

diucapkannya sendiri, entah dengan

perantaraan orang lain, yang diberi kuasa

khusus"

(2) Sesuai Pasal 175 H.I.R. pengakuan yang

diberikan di luar hukum itu diserahkan

kepada pertimbangan dan kewaspadaan

hakim.

(3) Pasal 176 H.I.R. memuat azas "Onsplitsbaar

aveu" atau pengakuan yang tidak boleh

dipisah-pisah, yaitu : "Tiap-tiap pengakuan

harus diterima seluruhnya, hakim berwenang

untuk menerima sebagian dan menolak

92

sebagian lagi, sehingga merugikan orang

yang mengaku itu, kecuali jika seorang

debitur dengan maksud melepaskan dirinya

menyebutkan ha/ yang terbukti tidak benar",

Ad.e) Sumpah

(1) Ada dua macam sumpah :

- Sumpah yang dibebankan oleh hakim

(sumpah penambah).

- Sumpah yang dimohonkan pihak lawan

(sumpah pemutus).

(2) Pasal 177 H.I.R menyatakan bahwa apabila

sumpah telah diucapkan, hakim tidak

diperkenankan lagi untuk meminta bukti

tambahan dari orang yang disumpah itu yaitu

perihal dalil yang dikuatkan dengan sumpah

termaksud.

(3) Sumpah penambah diatur Pasal 155 H.I.R.

sebagai berikut :

"Jika kebenaran gugatan atau kebenaran

pembelaan melawan gugatan itu tidak

menjadi terang secukupnya akan tetapi

keterangan adalah sama sekali ada dan tiada

kemungkinan akan meneguhkan dia dengan

upaya keterangan yang lain dapatlah

Pengadilan Agama karena jabatannya

menyuruh salah satu pihak bersumpah

dihadapan hakim supaya dengan itu

keputusan perkara dapat dilakukan atau

supaya dengan itu keputusan perkara dapat

dilakukan atau supaya dengan itu jumlah

93

uang yang akan diperkenankan dapat

ditentukan".

(4) Dalam hal hakim akan menambah bukti

baru dengan suatu sunpah penambah, harus

dibuat dengan putusan sela lengkap

dengan pertimbangan yang memuat alasan

alasannya.

(5) Sumpah penaksir dilakukan untuk

menentukan jumlah uang yang akan

diperkenankan atau dikabulkan. Misalnya

dalam hal telah tejadi kebakaran yang

disebabkan oleh anak Tergugat dan barang-

barang Penggugat musnah.

(6) Pasal 156 H.I.R. menentukan :

(1) "Juga boleh walaupun tidak ada barang

keteranganyang dibawa gugatan itu atau

pembelaan yang melawannya, salah satu

pihak mempertanggungkan kepada pihak

yang lain. Sumpah dimuka hakim supaya

keputusan perkara tergantung sumpah itu

asal saja sumpah itu mengenai suatu

perbuatan yang dilakukan sendiri oleh

pihak yang atas sumpahnya keputusan

perkara itu bergantung"

(2) Jika perbuatan ini sama perbuatan yang

dikerjakan oleh kedua pihak; bolehlah

pihak yang enggan mengangkat sumpah

yang dipertanggungkan kepadanya

mengembalikan sumpah itu kepada

lawannya.

94

(3) Barang siapa kepadanya sumpah diper-

tanggungkan dan enggan mengangkatnya

atau mengemba/ikan dia kepada

Iawannya ataupun juga barang siapa

mempertanggungkan sumpah tetapi

sumpah itu dikembalikan kepadanya dan

enggan mengangkat sumpah itu harus

disalahkan

(7) Sumpah pemutus hanya dapat dimintakan

oleh Penggugat pada tingkat Pengadilan

Agama, yaitu dalam hal Penggugat tidak

mempunyai bukti apapun sedangkan

Tergugat menyangkal gugatan Penggugat.

Pasal 158 ayat ( 1) H.I.R. menyatakan bahwa

tentang hal mengangkat sumpah itu harus

diucapkan dalam persidangan Pengadilan

Agama, kecuali jika hal dapat dilangsungkan

karena ada halangan yang sah.

(8) Dalam hal sumpah pemutus diminta

diucapkan ditempat ibadah yang ditunjuk

sehubungan dengan kepercayaan yang

dianutnya, misalnya : di mesjid, gereja.

vihara, atau kelenteng, maka sumpah

dilakukan ditempat yang ditunjuk tersebut,

dan dibuat berita acara tentang hal itu.

(9) Biaya yang timbul sehubungan upacara

sumpah tersebut ditanggung oleh pihak yang

perkara.

(10) Pasal 158 ayat (2) H.I.R. menentukan bahwa

baik sumpah penambah maupun sumpah

pemutus hanya dapat dilakukan apabila pihak

95

lawan telah dipanggil dengan patut, dalam

hal ia tidak hadir.

3) Fax, email, sms, fotocopy, rekaman dan sebagainya

seiring dengan perkembangan teknologi, dapat

diterima sebagai dugaan-dugaan, apabila dugaan-

dugaan itu penting, seksama, tertentu dan sesuai satu

sama lain dapat dijadikan alat bukti persangkaan.

4) Untuk perkara-perkara mengenai tanah, Hakim wajib

memperhatikan SEMA No. 7 Tahun 2001 tentang

Pemeriksaan Setempat, yaitu agar Majelis Hakim

melakukan pemeriksaan setempat atas objek perkara,

utamanya letak, luas dan batas tanah untuk

mendapatkan penjelasan/keterangan secara terperinci

atas objek perkara agar putusan dapat dilaksanakan

(tidak non executable). Apabila tanah terletak

diwilayah Pengadilan Agama lain, hakim

memberitahukan pemeriksaan setempat kepada Ketua

Pengadilan Agama tempat tanah sengketa berada.

5) Dalam hal tanah sengketa berada didalam daerah

hukum Pengadilan Agama lain. Hakim dapat

mendelegasikan kepada Pengadilan Agama tempat

tanah tersebut berada.

x. Sita Jaminan

1) Sita jaminan dilakukan atas perintah Hakim/Ketua

Majelis sebelum atau selama proses pemeriksaan

berlangsung dan untuk penyitaan tersebut

Hakim/Ketua Majelis membuat surat penetapan.

Penyitaan dilaksanakan oleh Panitera Pengadilan

Agama/Juru Sita dengan dua orang pegawai

pengadilan sebagai saksi.

96

2) Ada dua macam sita jaminan, yaitu sita jaminan

terhadap barang milik Tergugat (conservatoir beslag)

dan sita jaminan terhadap barang milik Penggugat

(revindicatoir beslag) (Pasal 227, 226 HIR, Pasal 261,

260 RBg.). Permohonan agar dilakukan sita jaminan, baik itu sita

conservatoir atau sita revindicatoir, harus

dimusyawarahkan Majelis Hakim dengan seksama,

apabila permohonan tersebut cukup beralasan dan

dapat dikabulkan maka ketua majelis membuat

penetapan sita jaminan. Sita jaminan dilakukan oleh

panitera/jurusita yang bersangkutan dengan disertai

dua orang pegawai Pengadilan Agama sebagai saksi.

3) Sebelum menetapkan permohonan sita jaminan Ketua

Pengadilan/Majelis wajib terlebih dahulu mendengar

pihak Tergugat.

4) Dalam mengabulkan permohonan sitajaminan, Hakim

wajib memperhatikan:

a) Penyitaan hanya dilakukan terhadap barang milik

Tergugat (atau dalam hal sita revindicatoir

terhadap barang bergerak tertentu milik Penggugat

yang ada di tangan Tergugat yang dimaksud dalam

surat gugat), setelah terlebih dahulu mendengar

keterangan pihak Tergugat (lihat Pasal 227 ayat (2)

HIR/Pasal 261 ayat (2) RBg.).

b) Apabila yang disita adalah sebidang tanah, dengan

atau tanpa rumah, maka berita acara penyitaan

harus didaftarkan sesuai ketentuan dalam

Pasal 227 (3) jo Pasal 198 dan Pasal 199 HIR

atau Pasal 261 jo Pasal 213 dan pasal 214

97

c) Dalam hal tanah yang disita sudah terdaftar/

bersertifikat, penyitaan harus didaftarkan di Badan

Pertanahan Nasional. Dan dalam hal tanah

yang disita belum terdaftar/belum bersertifikat,

penyitaan harus didaftarkan di Kelurahan.

d) Barang yang disita ini, meskipun jelas adalah milik

Penggugat yang sita disita dengan revindicatoir,

harus tetap dipegang/dikuasai oleh tersita. Barang

yang disita tidak dapat dititipkan kepada Lurah

atau kepada Penggugat atau membawa barang itu

untuk di simpan di gedung Pengadilan Agama.

5) Apabila telah dilakukan sita jaminan dan kemudian

tercapai perdamaian antara kedua belah pihak yang

berperkara, maka sitajaminan harus diangkat.

y. Sita Jaminan Terhadap Barang Milik Tergugat

(Conservatoir Beslag)

1) Dalam sita ini harus ada sangkaan yang beralasan bahwa

Tergugat sedang berupaya mengalihkan barang-

barangnya untuk menghindari gugatan Penggugat.

2) Yang disita adalah barang bergerak dan barang yang

tidak bergerak milik Tergugat.

3) Apabila yang disita adalah tanah, maka harus dilihat

dengan seksama, bahwa tanah tersebut adalah milik

Tergugat, luas serta batas-batasnya harus disebutkan

dengan jelas.(Perhatikan SEMA No. 2 Tahun 1962,

tertanggal 25 April 1962). Untuk menghindari kesalahan

penyitaan diwajibkan membawa Kepala Desa untuk

melihat keadaan tanah, batas serta Iuas tanah yang akan

disita.

98

4) Penyitaan atas tanah harus dicatat dalam buku tanah

yang ada di desa, selain itu sita atas tanah yang

bersertifikat harus didaftarkan di Badan Pertanahan

Nasional setempat, dan atas tanah yang belum

bersertifikat harus diberitahukan kepada Kantor

Pertanahan Daerah Tingkat IIKota/ Kabupaten.

5) Penyitaan harus dicatat di buku khusus yang disediakan

di Pengadilan Agama yang memuat catatan mengenai

tanah-tanah yang disita, kapan disita dan

perkembangannya, dan buku tersebut adalah terbuka

untuk um.um.

6) Sejak tanggal pendaftaran sita, tersita dilarang untuk

menyewakan, mengalihkan atau menjaminkan tanah

yang disita. Semua tindakan tersita yang dilakukan

bertentangan dengan larangan itu adalah batal demi

hukum.

7) Kepala Desa yang bersangkutan dapat ditunjuk sebagai

pengawas agar tanah tersebut tidak dialihkan kepada

orang lain.

8) Penyitaan dilakukan lebih dahulu atas barang bergerak

yang cukup untuk menjamin dipenuhinya gugatan

Penggugat, apabila barang bergerak milik Tergugat

tidak cukup, maka tanah-tanah dan rumah milik

Tergugat dapat disita.

9) Apabila gugatan dikabulkan, sita jaminan dinyatakan

sah dan berharga oleh Hakim dalam amar putusannya,

dan apabila gugatan ditolak atau dinyatakan tidak dapat

diterima, sita harus diperintahkan untuk diangkat.

10) Sita jaminan dan sita eksekusi terhadap barang-barang

milik negara dilarang. Pasal 50 Undang-undang No. 1

Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyata-

99

kan "Pihak manapun dilarang melakukan penyitaan

terhadap":

a) uang atau surat berharga milik negara/daerah, baik

yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada

pihak ketiga.

b) uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada

negara/daerah.

c) barang bergerak milik negara/daerah baik yang

berada pada instansi Pemerintah maupun pihak

ketiga.

d) barang bergerak dan hal kebendaan lainnya milik

negara/daerah.

e) barang milik pihak ketiga yang dilunasi negara/

daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan

tugas pemerintahan.

11) Hakim tidak melakukan Sita jaminan atas saham.

12) Pemblokiran atas saham dilakukan oleh Bapepam atas

permintaan Ketua Pengadilan Tinggi dalam hal ada

hubungan dengan perkara.

z, Sita Terhadap Barang Milik Penggugat (Revindicatoir Bes lag)

1) Sita revindtcatotr adalah penyitaan atas barang ber-

gerak milik Penggugat yang dikuasai oleh Tergugat.

(revindicatoir berasal dari kata revtndicatotr, yang

berarti meminta kembali miliknya).

2) Barang yang dimohon agar disita harus disebutkan

dalam surat gugatan atau permohonan tersendiri secara

jelas dan terperinci.

3) Apabila gugatan dikabulkan untuk dilunasi, sita

revindicatoir dinyatakan sah dan berharga dan Tergugat

100

dihukum untuk menyerahkan barang tersebut kepada

Penggugat.

4) Segala sesuatu yang dikemukakan dalam membahas sita

conservatoir secara mutatis mutandis berlaku untuk sita

revindicatoir.

5) Dalam hal objek yang disita tidak terletak di wilayah

pengadilan yang menangani gugatan tersebut maka

penyitaan dilakukan oleh Pengadilan Agama dimana objek

yang akan disita: terletak. Majelis hakim yang

mengeluarkan penetapan sita jaminan wajib

memberitahukan hal tersebut kepada ketua pengadilan,

agar ketua pengadilan meminta bantuan kepada

pengadilan dalam daerah hukum mana objek yang akan

disita itu terletak agar penyitaan tersebut dilaksanakan.

aa. Sita Persamaan

1) Sita Persamaan atau Vergelijkend Beslag, diatur dalam

Pasal 463 R.V. sebagai berikut :

"Apabila juru sita akan me/akukan penyitaan dan

menemukan barang-barang yang akan disita

sebelumnya telah disita, maka juru sita tidak dapat

melakukan penyitaan lagi, namun juru sita mempunyai

kewenangan untuk mempersamakan barang-barang

yang disita dengan Berita Acara Penyitaan yang

harus diper/ihatkan o/eh tersita kepadanya. Juru sita

kemudian dapat menyita barang-barang yang tidak

disebut da/am Berita Acara itu dan segera kepada

penyita pertama untuk menjual barang-barang

tersebut secara bersamaan dalam waktu sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 466 R. V. Berita Acara sita

101

persamaan ini berlaku sebagai sarana pencegahan

hasil lelang kepada penyita pertama".

2) Sita persamaan tidak diatur dalam HIR maupun RBG,

tetapi diatur dalam Pasal 463 Rv yang mengatur

tentang eksekusi barang bergerak.

Namun demikian telah berkembang dalam praktek

bahwa sita persamaan itu dapat saja dilakukan

terhadap barang tidak bergerak, yang tata caranya

mengikuti ketentuan dalam Pasal 463 Rv.

3) Ketentuan yang hampir serupa terdapat dalam Pasal 11

ayat (12) Undang-undang PUPN, Undang-undang No.

49 Tahun 1960, sebagai berikut:

''Atas barang yang terlebih dahulu disita untuk orang

lain yang berpiutang tidak dapat dilakukan penyitaan.

Jika jurusita mendapatkan barang yang demikian, ia

dapat memberikan salinan putusan Surat paksa

sebelum tanggal penjualan tersebut kepada Hakim

Pengadilan Agama, yang selanjutnya menentukan,

bahwa penyitaan yang dilakukan atas barang itu akan

juga dipergunakan sebagai jaminan untuk

pembayaran hutang menurut Surat paksa".

4) Apabila setelah dilakukan penyitaan, tetapi sebelun

dilakukan penjualan barang yang disita diajukan

permintaan untuk melaksanakan suatu putusan Hakim

yang ditujukan terhadap penanggung hutang kepada

Negara, maka penyitaan yang telah dilakukan itu

dipergunakan juga sebagai jaminan untuk pembayaran

hutang menuntut putusan Hakim itu dan Hakim

Pengadilan Agama jika perlu memberi perintah untuk

melanjutkan penyitaan atas sekian banyak barang yang

belum disita terlebih dahulu, sehingga akan dapat

102

mencukupi untuk membayar jumlah uang menurut

putusan-putusan itu dan biaya penyitaan lanjutan itu.

5) Dalam hal yang dimaksud dalam syarat-syarat 1 dan 2,

Hakim Pengadilan Agama menentukan cara

pembagian hasil penjualan antara pelaksana dan orang

yang berpiutang, setelah mengadakan pemeriksaan

atau melalukan panggilan selayaknya terhadap

penanggung hutang kepada Negara, pelaksana dan

orang yang berpiutang.

6) Pelaksanaan dan orang yang berpiutang yang

menghadap atas panggilan tennaksud dalam ayat (3 ),

dapat meminta banding pada Pengadilan Tinggi atas

penentuan pembagian tersebut.

7) Segera setelah putusan tentang pembagian tersebut

mendapat kekuatan pasti, maka Hakim Pengadilan

Agama mengirimkan suatu daftar pembagian kepada

juru lelang atau orang yang ditugaskan melakukan

penjualan umum untuk dipergunakan sebagai dasar

pembagian uang penjualan.

8) Oleh karena Pasal tersebut berhubungan dengan penyitaan

yang dilakukan oleh PUPN, maka sita tersebut

adalah sita eksekusi dan bukan sita jaminan, dan objek

yang disita bisa barang bergerak atau barang tidak

bergerak.

9) Sita persamaan barang tidak bergerak harus

disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional atau

Kelurahan setempat, untuk diumumkan.

10) Apabila sita jaminan (sita jaminan utama) telah

menjadi sita eksekutorial dilelang atau sudah

dieksekusi riil, maka sita persamaan dengan sendirinya

menjadi hapus demi hukum.

103

11) Apabila sita jaminan (sita jaminan utama) dicabut atau

dinyatakan tidak berkuatan hukum, maka sita

persamaan sesuai dengan urutannya menjadi sita

jaminan (sitajaminan utama).

ab. Sita Harta Bersama

1) Sita harta bersama dimohonkan oleh pihak istri/suami

terhadap harta perkawinan baik yang bergerak atau

tidak bergerak, sebagai jaminan untuk memperoleh

bagiannya sehubungan dengan gugatan perceraian,

agar selama proses berlangsung barang-barang

tersebut tidak dialihkan suami/istri.

2) Bahwa sita terhadap harta bersama dapatjuga diajukan

oleh suami/istri walaupun tidak terjadi perceraian,

bilamana istri/suami melakukan tindakan yang

mengarah pada pengalihan harta bersama.

ae, Sita Eksekusi

1) Sita jaminan atau sita revindicatoir yang telah

dinyatakan sah dan berharga dalam putusan yang

berkekuatan hukum tetap, maka sita tersebut menjadi

sita eksekusi.

2) Dalam melakukan eksekusi dilarang menyita hewan atau

perkakas yang benar-benar dibutuhkan oleh tersita untuk

mencari natkah (Pasal 197 (8) HIR, 211 RBg).

Yang tidak dapat disita adalah hewan yang benar-benar

dibutuhkan untuk mencari nafkah oleh tersita, misalnya satu

atau dua ekor sapi/kerbau yang benar-benar dibutuhkan

untuk mengerjakan sawah, sedangkan hewan dalam sebuah

petemakan dapat disita. Untuk binatang-binatang lain,

104

seperti kuda, anjing, kucing, burung, apabila harganya

tinggi dapat disita.

ad. Putusan Serta Merta

1) Diatur dalam Pasal 180 (l) HIR, Pasal 191(1) RBg.

2) Wewenang menjatuhkan putusan serta merta hanya pada

Pengadilan Agama. Pengadilan Tinggi dilarang

menjatuhkan putusan serta merta.

3) Putusan serta-merta dapat dijatuhkan, apabila telah

dipertimbangkan alasan-alasannya secara seksama

sesuai ketentuan, yurisprudensi tetap dan doktrin yang

berlaku.

4) Syarat-syarat untuk dapat dijatuhkan putusan serta-

merta adalah :

a) Surat bukti yang diajukan sebagai bukti untuk

membuktikan dalil gugatan (yang disangkal oleh

pihak lawan) adalah sebuah akta otentik atau akta

dibawah tangan yang diakui isi dan tanda tangannya

oleh Tergugat.

b) Putusan didasarkan atas suatu putusan yang sudah

berkekuatan hukum yang tetap (in kracht van

gewisjde).

c) Apabila dikabulkan suatu gugatan provisional.

d) Dalam hal sengketa bezit bukan sengketa hak milik.

e) Sebelum menjatuhkan putusan serta merta Hakim

wajib mempertimbangkan terlebih dahulu apakah

gugatan tersebut telah memenuhi syarat secara

formil, syarat mengenai surat kuasa dan syarat-

syarat formil lainnya.

f) Hakim wajib menghindari putusan serta merta yang

gugatannya tidak memenuhi syarat formil yang

105

dapat berakibat dibatalkannya putusan oleh

Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung.

g) Dilakukannya sita jaminan terhadap barang-barang

milik Tergugat atau terhadap barang-barang tertentu

milik Penggugat yang dikuasai oleh Tergugat, tidak

menjadi penghalang untuk menjatuhkan putusan

serta merta apabila syarat menjatuhkan putusan serta

merta terpenuhi.

h) Putusan serta merta hanya dapat dilaksanakan atas

perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan

Agama yang memeriksa perkara dan Pengadilan

Agama lainnya yang mewilayahi objek sengketa

(Pasal 195 HIR, Pasal 206 RBg).

i) Putusan serta merta hanya dapat dilaksanakan

setelah Ketua Pengadilan Agama memperoleh izin

dari Ketua Pengadilan Tinggi atau Ketua Mahkamah

Agung (lihat SEMA No. 3 Tahun 2000 dan SEMA

No. 4 Tahun 2001).

5) Untuk pelaksanaan eksekusi putusan serta merta, Ketua

Pengadilan Agama wajib memperhatikan SEMA No. 3

Tahun 2000 dan SEMA No. 4 Tahun 2001, yang

mengatur bahwa dalam pelaksanaan putusan serta merta

(uitvoerbaar bij voorraad) harus disertai penetapan

sebagaimana diatur dalam butir 7 SEMA No. 3 Tahun

2000 yang menyebutkan "Adanya pemberian jaminan

yang nilainya sama dengan nilai barang/objek eksekusi

sehingga tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain

apabila ternyata dikemudian hari dijatuhkan putusan

yang membatalkan putusan Pengadilan Tingkat

Pertama."

106

Apabila jaminan tersebut berupa uang harus disimpan di

Bank Pemerintah (lihat Pasal 54 Rv).

6) Pelaksanaan putusan serta merta suatu gugatan, yang

didasarkan adanya putusan Hakim perdata lain yang

telah berkekuatan hukum tetap tidak memerlukan uang

jaminan.

ae. Putusan Provisi

1) Putusan provisi adalah putusan sementara yang

dijatuhkan oleh hakim yang mendahului putusan akhir dan

tidak boleh menyangkut pokok perkara.

2) Putusan provisi atas permohonan Penggugat agar

dilakukan suatu tindakan sementara, yang apabila

putusan provisi dikabulkan, dilaksanakan secara serta

merta walaupun ada perlawanan atau banding.

Pengertian "putusan sementara" adalah putusan provisi

akan berlaku sampai putusan BHT.

3) Hakim wajib mempertimbangkan gugatan provisi dengan

seksama, apakah memang perlu dilakukan suatu tindakan

yang sangat mendesak untuk melindungi hak Penggugat,

yang apabila tidak segera dilakukan akan membawa

kerugian yang lebih besar.

4) Putusan provisi dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan Agama

setelah mendapatkan ijin dari Ketua Pengadilan Tinggi

yang bersangkutan.

5) Putusan provisi dapat diajukan permohonan banding

dalam tenggang waktu 14 hari sejak putusan provisi

dijatuhkan atau diberitahukan kepadanya.

6) Pemeriksaan banding atas putusan provisi dilakukan

bersama-sama pokok perkara.

107

7) Dalam kasus perceraian gugatan yang diatur dalam

Pasal 24 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 diajukan dalam gugatan provisi.

af. Eksekusi Grosse Akta

1) Sesuai Pasal 224 HIR/Pasal 258 RBg ada dua macam

grosse yang mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu

grosse akta pengakuan hutang dan grosse sita hipotik

bpal.

2) Grosse adalah salinan pertama dan akta otentik Salinan

pertama ini diberikan kepada kreditur.

3) Oleh karena salinan pertama dan atas pengakuan hutang

yang dibuat oleh Notaris mempunyai kekuatan eksekusi,

maka salinan pertama ini harus ada kepala Irah-irah

yang berbunyi Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa. Salinan lainnya yang diberikan kepada

debitur tidak memakai kepala I irah-irah Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Asli dari akta

(minit) disimpan oleh Notaris dalam arsip dan tidak

memakai kepala/irah-irah.

4) Grosse atas pengakuan hutang yang berkepala Demi

Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, oleh

Notaris diserahkan kepada kreditor yang dikemudian

hari bisa diperlukan dapat langsung dimohonkan

eksekusi kepada Ketua Pengadilan Agama.

5) Eksekusi berdasarkan Grosse akta pengakuan hutang

Fixed Loan hanya dapat dilaksanakan, apabila debitur

sewaktu ditegur, membenarkan jumlah hutangnya itu.

6) Apabila debitur membantah jumlah hutang tersebut, dan

besamya hutang menjadi tidak fixed, maka eksekusi

108

tidak bisa dilanjutkan. Kreditur, yaitu Bank untuk dapat

mengajukan tagihannya harus melalui suatu gugatan,

yang dalam hal ini, apabila syarat-syarat terpenuhi,

dapat dijatuhkan putusan serta merta.

7) Pasal 14 Undang-undang Pelepas Uang (Geldschieters

Ordonantie, S.1938-523), melarang Notaris membuat

atas pengakuan hutang dan mengeluarkan grosse

aktanya untuk perjanjian hutang-piutang dengan seorang

pelepas uang.

8) Pasal 224 lilR, Pasal 258 RBg, tidak berlaku untuk

grosse akta semacam ini.

9) Grosse akta pengakuan hutang yang diatur dalam Pasal

224 lilR, Pasal 258 RBg, adalah sebuah surat yang

dibuat oleh Notaris antara Orang Alamiah/Badan

Hukum yang dengan kata-kata sederhana yang

bersangkutan mengaku, berhutang uang sejumlah

tertentu clan ia berjanji akan mengembalikan uang itu

dalam waktu tertentu, misalnya dalam waktu 6 (enam)

bulan, dengan disertai bunga sebesar 2 % sebulan.

10) Jumlah yang sudah pasti dalam surat pengakuan hutang

bentuknya sangat sedethana clan tidak dapat ditambahlan

persyaratan-persyaratan lain.

11) Kreditur yang memegang grosse atas pengakuan hutang

yang berkepala "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa" dapat langsung memohon eksekusi

kepada Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan

dalam hal debitur ingkar janji.

ag. Eksekusi Bak Tanggungan 1) Pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 4 Tahun 1996

menyebutkan bahwa Hak Tanggungan atas tanah beserta

109

benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang

selanjutnya clisebut Hak Tanggungan, adalah jaminan

yang clibebankan pada hale atas tanah sebagaimana

climaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut

atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan

satu kesatuan dengan tanah milik, untuk pelunasan utang

tertentu, yang memberikan kedudukan yang cliutamalan

kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

2) Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji

untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan

pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan

merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-

piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang

menimbulkan utang tersebut, dan pemberian Hak

Tanggungan tersebut clilakukan dengan pembuatan Akta

Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT (Pasal 10 ayat

(1) dan (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).

3) Pemberian Hale Tanggungan wajib didaftarkan pada

Kantor Pertanahan, dan sebagai bukti adanya Hale

Tanggungan, Kantor Pendaftaran Tanah menerbitkan

Sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah

"DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN

YANG MAHA ESA" (Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat

(1) dan (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).

4) Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan

eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap, clan apabila

debitur cidera janji maka berdasarkan titel eksekutorial

yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan tersebut,

pemegang hak tanggungan mohon eksekusi sertifikat

110

hak tanggungan kepada Ketua Pengadilan Agama yang

berwenang. Kemudian eksekusi akan dilakukan seperti

eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.

5) Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak

Tanggungan, penjualan objek Hak Tanggungan dapat

dilaksanakan dibawah tangan, jika dengan demikian itu

akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan

semua pihak (Pasal 20 ayat (2) Undang-undang No. 4

Tahun 1996).

6) Pelaksanaan penjualan di bawah tangan tersebut hanya

dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak

diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau

pemegang Hale Tanggungan kepada pihak-pihak yang

berkepentingan clan diumumkan sekurang-kurangnya

dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang

bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta

tidak ada pihak yang menyatakan keberatan (Pasal 20

ayat (3) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).

7) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib

dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT, dan harus

memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a) tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan

hukum lain dari pada membebankan Hak

Tanggungan.

b) tidak memuat kuasa substitusi.

c) mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan,

jumlah utang dan nama serta identitas krediturnya,

nama dan identitas debitur apabila debitur bukan

pemberi Hak Tanggungan.

111

8) Eksekusi hak tanggungan dilaksanakan seperti eksekusi

putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum yang

tetap.

9) Eksekusi dimulai dengan teguran dan berakhir dengan

pelelangan tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

10) Setelah dilakukan pelelangan terhadap tanah yang

dibebani Hak tanggungan dan uang hasil lelang

diserahkan kepada Kreditur, maka hak tanggungan yang

membebani tanah tersebut akan diroya dan tanah

tersebut akan diserahkan secara bersih, dan bebas dari

semua beban, kepada pembeli lelang.

11) Apabila terlelang tidak mau meninggalkan tanah

tersebut, maka berlakulah ketentuan yang terdapat

dalam Pasal 200 (11) HIR.

12) Hal ini berbeda dengan penjualan berdasarkan janji

untuk menjual atas kekuasaan sendiri berdasarkan Pasal

1178 (2) BW, dan Pasal 11 ayat (2) e UU No. 4 Tahun

1996 yang juga dilakukan melalui pelelangan oleh

Kantor Lelang Negara atas permohonan pemegang hak

tanggungan pertama. Janji ini hanya berlaku untuk

pemegang Hak tanggungan pertama saja. Apabila

pemegang hak tanggungan pertama telah membuat janji

untuk tidak dibersihkan (Pasal 1210 BW dan Pasal 11

ayat (2) j UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan), maka apabila ada Hak tanggungan lain-

lainnya dan basil lelang tidak cukup untuk membayar

semua Hak tanggungan yang membebani tanah yang

bersangkutan, maka hale tanggungan yang tidak terbayar

itu, akan tetap membebani persil yang bersangkutan,

meskipun sudah dibeli oleh pembeli dan pelelangan

yang sah. Jadi pembeli lelang memperoleh tanah

112

tersebut dengan beban-beban hak tanggungan yang

belum terbayar. Terlelang tetap hams meninggalkan

tanah tersebut dan apabila ia membangkang, ia dan

keluarganya, akan dikeluarkan dengan paksa.

13) Dalam hal Ielang telah diperintahkan oleh Ketua

Pengadilan Agama, maka lelang tersebut hanya dapat

ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Agama dan tidak

dapat ditangguhkan dengan alasan apapun oleh pejabat

instansi lain, karena lelang yang diperintahkan oleh

Ketua Pengadilan Agama dan dilaksanakan oleh Kantor

Lelang Negara, adalah dalam rangka eksekusi, dan

bukan merupakan putusan dari Kantor Letang Negara.

14) Penjualan (lelang) benda tetap hams di umumkan dua

kali dengan berselang lima belas hari di harian yang

terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan objek

yang akan dilelang (Pasal 200 (7) HIR, Pasal 217 RBg).

ah. Eksekusi Jaminan

1) Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor

42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, butir 1, yang

dimaksud dengan FIDUSIA adalah pengalihan hak

kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan

ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya

dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik

benda.

2) Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak

baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan

benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak

dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud

dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang

Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan

113

pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang

tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan

kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.

3) Benda objek jaminan fidusia ticlak dapat dibebani Hak

tanggungan atau hipotek.

4) Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat

dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia yang

sekurang-kurangnya memuat :

a) identitas pihak pemberi dan penerima fidusia.

b) data perjanjian pokok yang dijamin fidusia,

c) uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan

fidusia,

d) nilai penjaminan. dan

e) nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia,

5) Jaminan fidusia harus didaftarkan oleh penerima fidusia

atau kuasanya kepada Kantor Pendaftaran Fidusia,

selanjutnya Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan dan

menyerahkan kepada penerima fidusia Sertifikat

Jaminan Fidusia yang mencantumkan kata-kata "DEMI

KEADILAN BERDASARK.AN KETUHANAN YANG

MAHAESA".

6) Apabila terjadi perubahan mengenai hal-hal yang

tercantum dalam Sertifikat Jaminan Fidusia Penerima

Fidusia wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas

perubahan tersebut kepada Kantor Pendaftaran Fidusia,

selanjutnya Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan

Pemyataan Perubahan yang merupakan bagian tak

terpisahkan dari Sertifikat Jaminan Fidusia,

7) Pemberi fidusia dilarang melakukan fidusia ulang

terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia

yang sudah terdaftar.

114

8) Jaminan fidusia dapat dialihkan kepada kreditor baru,

dan pengalihan tersebut harus didaftarkan oleh kreditor

baru kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.

9) Apabila debitur atau pemberi fidusia cedera janji,

eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan

fidusia dapat dilakukan dengan cara:

a) Pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan

fidusia yang mengakibatkan beralihnya demi hukum

segala hak dan kewajiban penerima fidusia kepada

Kreditur baru.

b) Penjualan benda yang menjadi objek Jaminan

Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri

melalui pelelangan umum serta mengambil

pelunasan piutang-nya dari basil penjualan.

c) Penjualan di bawah tangan yang dilakukan

berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima

Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh

harga tertinggi yang menguntungkan para pihak

(lihat Pasal 29 UU No. 40 Tahun 1999).

10) Prosedur dan tatacara eksekusi selanjutnya dilakukan

seperti dalam eksekusi hak tanggungan.

ai. Eksekusi Putusan Yang Berkekuatan Hukum Tetap

1) Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan

Pengadilan Agama yang diterima oleh kedua belah

pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan

verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau

banding. putusan Pengadilan Tinggi Agama yang

diterima oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan

kasasi. dan putusan Mahkamah Agung dalam hal kasasi.

2) Menurut sifatnya ada 3 (tiga) macam putusan, yaitu:

115

a) Putusan declaratoir

b) Putusan constitutief

c) Putusan condemnatoir

3) Putusan declaratoir adalah putusan yang hanya sekedar

menerangkan atau meneta.pkan suatu keadaan saja

sehingga ticlak perlu dieksekusi, demikian juga putusan

constitutief, yang menciptakan atau menghapuskan suatu

keadaan, tidak perlu dilaksanakan.

4) Putusan condemnatoir merupakan putusan yang bisa

dilaksanakan, yaitu putusan yang berisi penghukuman,

dimana pihak yang kalah dihukum untuk melakukan

sesuatu.

S) Putusan untuk melaksanakan suatu perbuatan, apabila

tidak dilaksanakan secara sukarela, harus dinilai dalam

sejumlah uang (Pasal 225 IIlR/Pasal 259 RBg) dan

selanjutnya akan dilaksanakan seperti putusan untuk

membayar sejumlah uang.

6) Penerapan Pasal 225 IIlR I 259 Rbg harus terlebih

dahulu temyata bahwa Termohon tidak mau

melaksanakan putusan tersebut dan pengadilan tidak

dapat I tidak mampu melaksanakannya walau dengan

bantuan alat negara. Dalam hal demikian, Pemohon

dapat mengajukan kepada Ketua Pengadilan Agama

agar tennohon membayar sejumlah uang, yang nilainya

sepadan dengan perbuatan yang harus dilakukan oleh

Tennohon. ·

Untuk memperoleh jumlah yang sepadan, Ketua

Pengadilan Agama wajib memanggil dan mendengar

Tennohon eksekusi dan apabila diperlukan Ketua

Pengadilan Agama dapat meminta keterangan dari

seorang ahli di bidang tersebut. Penetapan jumlah uang

116

yang harus dibayar oleh termohon dituangkan dalam

penetapan Ketua Pengadilan Agama

7) Putusan untuk membayar sejumlah uang, apabila tidak

dilaksanakan secara sukarela, akan dilaksanakan dengan

cara melelang barang milik pihak yang dikalahkan, yang

sebelumnya harus disita (Pasal 200 HIR, Pasal 214 s/d

Pasal 224 RBg).

8) Putusan dengan mana Tergugat dihukum untuk

menyerahkan sesuatu barang, misalnya sebidang tanah,

dilaksanakan oleh jurusita, apabila perlu dengan bantuan

alat kekuasaan negara.

9) Eksekusi harus dilaksanakan dengan tuntas. Apabila

eksekusi telah dilaksanakan, clan barang yang dieksekusi

telah diterima oleh pemohon eksekusi, kemudian

diambil kembali oleh tereksekusi, maka eksekusi tidak

bisa dilakukan kedua kalinya.

10)Jalan yang dapat ditempuh oleh yang bersangkutan

adalah melaporkan hal tersebut di atas kepada pihak

yang berwajib (pihak kepolisian) atau mengajukan

gugatan untuk memperoleh kembali barang (tanah/

rumah tersebut)

11) Putusan Pengadilan Agama atas gugatan penyerobotan,

apabila diminta dalam petitum, dapat dijatuhkan putusan

serta-merta atas dasar sengketa bezit I kedudukan

berkuasa.

12) Apabila suatu perkara yang telah berkekuatan hukum

tetap telah dilaksanakan (dieksekusi) atas suatu barang

dengan eksekusi riil, tetapi kemudian putusan yang

berkekuatan hukum tetap tersebut dibatalkan oleh

putusan peninjauan kembali, maka barang yang telah

diserahkan kepada pihak pemohon eksekusi tersebut

117

wajib diserahkan tanpa proses gugatan kepada pemilik

semula sebagai pemulihan hak.

Pemulihan hak diajukan Pemohon kepada Ketua

Pengadilan Agama.

Eksekusi pemulihan hak dilakukan menurut tata cara

eksekusi riil.

Apabila barang tersebut sudah dialihkan kepada pihak

lain, termohon eksekusi dalam perkara yang b.h.t. dapat

mengajukan gugatan ganti rugi senilai objek miliknya

yang telah dieksekusi tersebut dengan eksekusi serta

merta.

13) Apabila suatu proses perkara sudah memperoleh suatu

putusan namun belum berkekuatan hukum tetap, tetapi

terjadi perdamaian di luar pengadilan yang intinya

mengesampingkan amar putusan, temyata perdamaian

itu diingkari oleh salah satu pihak dan proses perkara

dihentikan sehingga putusan yang ada menjadi

berkekuatan hukum tetap, maka putusan yang

berkekuatan hukum tetap itulah yang dapat clieksekusi.

Akan tetapi pihak yang merasa clirugikan dengan ingkar

janjinya pihak yang membuat perjanjian perdamaian itu

dapat mengajukan gugatan dengan dasar wanprestasi.

Dalam hal yang demikian, Ketua Pengadilan Agama

dapat menunda eksekusi putusan yang berkekuatan

hukum tetap tersebut.

aj. Letang(PenjaalanUmum)

1) Pengumuman lelang dilakukan melalui harian yang

terbit di kota atau kota yang berdekatan dengan tempat

objek lelang terletak (Perhatikan Pasal 195 HIR, Pasal

206 RBg dan Pasal 217 RBg).

118

2) Lelang clilakukan berdasarkan Peraturan Lelang,

Lembaran Negara Tahun 1908 No. 189, yang bersam•

bung dengan Lembaran Negara Tahun 1940 No. 56.

3) Lelang clilakukan dengan tata cara peraturan lelang.

Surat penawaran harus dimasukkan kedalam kotak yang

telah disediakan clitempat lelang atau diserahkan oleh

calon peserta lelang sendiri kepada Pejabat lelang dari

Kantor Lelang. Surat penawaran harus tertulis dalam

bahasa Indonesia dengan angka atau huruf latin yang

jelas dan lengkap dan ditandatangani oleh penawar.

Surat penawaran tersebut setelah memenuhi syarat

clisahkanoleh pejabat lelang.

4) Penawar tidak boleh mengajukan surat penawaran lebih

dari satu kali untuk satu bidang tanah, bangunan atau

barang tertentu.

5) Orang yang telah menandatangani surat penawaran

tersebut di atas, bertanggung jawab sepenuhnya secara

pribadi atas pembayaran uang pembelian lelang apabila

dalam penawaran itu ia bertindak sebagai kuasa

seseorang, perusahaan atau badan hukum. Untuk dapat

turut serta dalam pelelangan, para penawar diwajibkan

menyetor uang jaminan yang jumlahnya ditentukan oleh

pejabat lelang, uang mana akan diperhitungkan dengan

harga pembelian, jika penawar yang bersangkutan

ditunjuk selaku pembeli.

6) Agar tujuan lelang tercapai maka sebelum lelang

dilaksanakan, kreditur dan debitur dipanggil oleh Ketua

Pengadilan Agama untuk mencarijalan keluar, misalnya

debitur diberi waktu selama 2 bulan untuk mencari

pembeli yang mau membeli tanah tersebut. Apabila hal

itu terjadi, pembayaran harus dilakukan didepan Ketua

119

Pengadilan Agama, selanjutnya pembeli, kreditur dan

debitur menghadap PPAT untuk membuat akte jual

belinya, dan kemudian dilakukan baliknama tanah

tersebut menjadi atas nama pembeli. Hak tanggungan

yang membebani tanah tersebut akan diperintahkan agar

diroya.

7) Apabila dalam waktu paling lambat selama-lamanya 2

bulan debitur tidak berhasil mendapatkan pembeli sesuai

dengan harga yang diinginkan, kreditur dan debitur,

dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama,

menentukan harga limit dari tanah yang akan dilelang.

8) Apabila selama 2 bulan tidak ada penawaran, maka

penjualan umum diumumkan lagi satu kali dalam harian

yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan

tanah yang akan dilelang. Jika pelelangan dengan harga

limit tidak tercapai, maka Ketua Pengadilan Agama

memberikan kesempatan kepada debitur untuk kembali

mencari pembeli selama-lamanya 1 bulan. Dan jika

tidak berhasil maka kreditur akan memperoleh tanah

tersebut dengan harga limit itu, selanjutnya hutang

dibayar dan hak tanggungan yang membebani tanah

tersebut diroya.

9) Apabila penawaran tertinggi tidak mencapai harga limit

yang ditentukan oleh penjual, maka jika dianggap perlu,

seketika itu juga penjualan umum diubah dengan

penawaran lisan dengan harga naik-naik.

10) Penawar/pembeli dianggap sungguh-sungguh telah

mengetahui apa yang telah ditawar/dibeli olehnya.

Apabila terdapat kekurangan atau kerusakan, baik yang

terlihat atau tidak terlihat atau terdapat cacat lainnya

terhadap barang yang telah dibelinya itu, maka ia tidak

120

berhak untuk menolak menarik diri kembali setelah

pembeliannya disahkan clan melepaskan semua hak

untuk meminta ganti kerugian berupa apapun juga.

11) Barang yang terjual, pada saat itu juga, menjadi hak dan

tanggungan pembeli clan apabila barang itu berupa tanah

dan rumah, pembeli harus segera mengurus/membalik

nama hak tersebut atas namanya.

12) Pembeli tidak diperkenankan untuk menguasai barang

yang telah dibelinya itu sebelwn uang pembelian

dipenuhi/dilunasi seluruhnya, yaitu harga pokok, bea

lelang dan uang miskin. Kepada pembeli lelang

diserahkan tanda terima pembayaran.

13) Apabila yang dilelang itu adalah tanah/tanah dan rumah

yang sedang ditempati/dikuasai oleh tersita/terlelang,

maka dengan menunjuk kepaclaketentuan yang terdapat

dalam Pasal 200 (10) dan (11) HIR atau Pasal 218 RBg.,

apabila terlelang tidak bersedia untuk menyerahkan

tanah/tanah dan rumah itu secara kosong, maka

terlelang, beserta keluarganya, akan dikeluarkan dengan

paksa, apabila perlu dengan bantuan yang berwajib

dari tanah/tanah dan rumah tersebut berdasarkan

permohonan yang diajukan oleh pemenang lelang.

14) Ketentuan yang sama berlaku bagi pembelian lelang

yang dilakukan oleh Panitia Urusan Piutang dan Lelang

Negara (PUPN). Pasal 11(11) Undang-undangNo. 49

Tahun 1960, LN 1960 No. I 56, TLN No. 2014 jo. TLN

No. 2104, berbunyi :

15) "Jika orang yang disita menolak untuk meninggalkan

barang tak bergerak tersebut, maka Hakim Pengadilan

Agama mengeluarkan perintah tertulis kepada seorang

yang berhak melaksanakan surat jurusita untuk berusaha

121

agar supaya barang tersebut ditinggalkan dan

dikosongkan oleh yang disita dengan keluarganya serta

barang-barang miliknya dengan bantuan Panitera

Pengadilan Agama lain yang ditunjuk oleh Hakim jika

perlu dengan bantuan alat kekuasan Negara".

16) Dalam hal ini Kepala Panitia Urusan Piutang clan Lelang

Negara meminta bantuan kepada Ketua Pengadilan

Agama dimana barang tersebut terletak dan

pengosongan dilakukan atas perintah dan dibawah

pimpinan Ketua Pengadilan Agama tersebut.

17) Agar diperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Pasal

198, 199, 227 (3) HIR atau Pasal 213, 214 clan Pasal 261

(2) RBg, "bahwa penyewa, pembeli, orang yang

mendapat hibah, yang memperoleh tanah/tanah dan

rumah tersebut, setelah tanah/tanah dan rumah tersebut

disita clan sita itu telah diclaftarkan sesuai ketentuan

dalam Pasal tersebut di atas ini juga termasuk orang•

orang yang akan dikeluarkan secara paksa dari

tanah/tanah dan rumah tersebut."

18) Orang yang menyewa tanah/tanah clan rumah tersebut

sebelum dilakukan penyitaan, baik sitajaminan atau sita

eksekutorial seperti tersebut dalam pasal-pasal tersebut

di atas, tidak terkena sanksi termaksud. Untuk dapat

menguasai tanah/rumah yang dibeli lelang, pembeli

Lelang harus menunggu sampai masa sewa habis.

19) Atas Pemberian Hak Tanggungan yang tidak didaftarkan

di Kantor Pertanahan setelah tanah tersebut disita, baik

sita jaminan, maupun sita eksekusi, sesuai ketentuan

yang terdapat dalam Pasal 198, 199, 227 (3) HIR atau

Pasal 213, 214, clan 261 (2) RBg, tidak berkekuatan

-hukum.

122

20) Suatu pelelangan yang telah dilaksanakan sesuai dengan

peraturan yang berlaku tidak dapat dibatalkan.

21) Dalam hal terdapat kekurangan atau pelelangan telah

dilaksanakan tidak sesuai dengan peraturan yang

berlaku, maka pelelangan tersebut dapat dibatalkan

melalui suatu gugatan yang diajukan kepada Pengadilan

Agama.

22) Pembeli lelang yang beritikad baik harus dilindungi.

ak. Perlawanan Terhadap Eksekusi

1) Perlawanan terhadap eksekusi dapat diajukan oleh orang

yang terkena eksekusi/tersita atau oleh pihak ketiga atas

dasar hak milik, perlawanan mana diajukan kepada

Ketua Pengadilan Agama yang melaksanakan eksekusi,

lihat Pasal 195 ayat (6) dan (7) IIlR.

2) Perlawanan ini pada azasnya tidak menangguhkan

eksekusi (Pasal 207 (3) lilR dan 227 RBg), kecuali

apabila segera nampak bahwa perlawanan tersebut benar

dan beralasan, maka eksekusi ditangguhkan, setidak•

tidaknya sampai dijatuhkan putusan oleh Pengadilan

Agama

3) Terhadap putusan ini dapat diajukan upaya hukum.

Al. Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Venet)

1) Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi atau sita

jaminan hanya dapat diajukan atas dasar hak milik, jadi

hanya dapat diajukan oleh pemilik atau orang yang

merasa bahwa ia adalah pemilik barang yang disita dan

diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama clan

Pengadilan Agama yang secara nyata menyita (Pasal

195 (6) 1-llR/Pasal 206 (6) RBg).

123

124

2) Pemegang hale harus dilindungi dari suatu (sita)

eksekusi dimana pemegang hak tersebut bukan sebagai

pihak dalam perkara antara lain pemegang hak pakai,

hale guna bangunan, hak tanggungan, hak sewa dan lain•

lain.

3) Perlawanan dapat diajukan oleh pemegang hak

tanggungan, apabila tanah dan rumah yang dijaminkan

kepadanya dengan hak tanggungan disita, berdasarkan

klausula yang terdapat dalam perjanjian yang dibuat

dengan debiturnya langsung dapat minta eksekusi

kepada Ketua Pengadilan Agama atau Kepala PUPN.

4) Dalam perlawanan pihak ketiga tersebut pelawan harus

dapat membuktikan bahwa barang yang disita itu adalah

miliknya, clan apabila ia berhasil membuktikan, maka ia

akan dinyatakan sebagai pelawan yang benar dan sita

akan diperintahkan untuk diangkat. Apabila pelawan

tidak dapat membuktikan bahwa ia adalah pemilik dari

barang yang disita maka pelawan akan dinyatakan

sebagai pelawan yang tidak benar atau pelawan yang

tidak jujur, dan sita akan dipertahankan.

5) Perlawanan pihak ketiga yang diajukan oleh istri atau

suami terhadap harta bersama yang disita, tidak

dibenarkan karena harta bersama selalu merupakan

jaminan untuk pembayaran hutang istri atau suami yang

terjadi dalam perkawinan, yang harus ditanggung

bersama.

6) Apabila yang disita adalah harta bawaan atau harta asal

suami atau istri maka istri atau suami dapat mengajukan

perlawanan pihak ketiga clan perlawanannya dapat

diterima, kecuali :

a) Suami istri tersebut menikah berdasarkan BW

dengan persatuan harta atau membuat perjanjian

perkawinan berupa persatuan basil dan pendapatan.

b) Suami atau istri tersebut telah ikut menandatangani

surat perjanjian hutang, sehingga harus ikut

bertanggung jawab.

7) Perlawanan pihak ketiga adalah upaya hukum luar biasa

dan pada asasnya tidak menangguhkan eksekusi.

8) Eksekusi mutlak harus ditangguhkan oleh Ketua

Pengadilan Agama yang memimpin eksekusi yang

bersangkutan, apabila perlawanan benar-benar

beralasan, misalnya, apabila sertifikat tanah yang akan

dilelang sejak semula jelas tercatat atas nama orang lain,

atau dari BPKB yang diajukan, jelas terbukti bahwa

mobil yang akan dilelang itu, sejak lama adalah milik

pelawan. Harus diperhatikan apabila tanah atau mobil

tersebut baru saja tercatat atas nama pelawan, karena

ada kemungkinan tanah atau mobil itu diperoleh oleh

pelawan, setelah tanah atau mobil itu disita, sehingga

perolehan barang tersebut tidak sah.

9) Terhadap perkara perlawanan pihak ketiga ini, Ketua

Majelis yang memeriksa perkara tersebut, selalu harus

melaporkan perkembangan perkara itu kepada Ketua

Pengadilan Agama, karena laporan tersebut diperlukan

oleh Ketua Pengadilan Agama untuk menentukan

kebijaksanaan mengenai diteruskan atau ditangguhkan•

nya eksekusi yang dipimpinnya.

10) Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan, yaitu sita

conservatoir dan sita revindicatoir, tidak diatur baik

dalam lilR, RBg, atau Rv. Dalam praktek menurut

yurisprudensi putusan Mahkamah Agung tanggal 3 1-

125

126

10-1962 No. 306 K/Sip/1962 dalam perkara: C.V Sallas

dkk melawan PT. Indonesian Far Eastern Pasific Line,

dinyatakan bahwa meskipun mengenai perlawanan

terhadap pensitaan conservatoir tidak diatur secara

khusus dalam IIlR, menurut yurisprudensi perlawanan

yang diajukan oleh pihak ketiga selalu pemilik barang

yang disita dapat diterima, juga dalam hal sita

conservatoir ini belum disahkan (van waarde

verklaard). Lihat putusan Mahkamah Agung tanggal 31-

10-1962 No. 306 K I Sip/1962, dalam Rangkuman

Yurisprudensi II halaman 370).

am. Penangguhan Eksekusi

1) Eksekusi dapat ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan

Agama yang memimpin eksekusi. Dalam hal sangat

mendesak dan Ketua Pengadilan Agama berhalangan,

Wakil Ketua Pengadilan Agama dapat memerintahkan

agar eksekusi ditunda.

2) Dalam rangka pengawasan atas jalannya peradilan yang

baik, Ketua Pengadilan Tinggi selaku voorpost dari

Mahkamah Agung dapat memerintahkan agar eksekusi

ditunda atau di teruskan. Dalam hal sangat mendesak

dan Ketua Pengadilan Tinggi berhalangan, Wakil Ketua

Pengadilan Tinggi dapat memerintahkan agar eksekusi

ditunda ..

3) Wewenang untuk menangguhkan eksekusi atau agar

eksekusi diteruskan, pada puncak tertinggi, ada pada

Ketua Mahkamah Agung. Dalam hal Ketua Mahkamah

Agung berhalangan, dilaksanakan oleh Wakil Ketua

Mahkamah Agung.

an. Putusan Non Executable

Suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap

dapat dinyatakan non eksekutabel o~eh Ketua Pengadilan

Agama, apabila :

1) Putusan yang bersifat deklaratoir dan konstitutif.

2) Barang yang akan dieksekusi ticlak berada di tangan

Tergugat/ Tennohon eksekusi.

3) Barang yang akan dieksekusi tidak sesuai dengan barang

yang disebutkan di dalam amar putusan.

4) Amar putusan tersebut tidak mungkin untuk dilaksana•

kan.

5) Ketua Pengadilan Agama tidak dapat menyatakan suatu

putusan non eksekutable, sebelum seluruh proses/acara

eksekusi dilaksanakan, kecuali yang tersebut pada

butir a.

Penetapan non eksekutable harus didasarkan Berita

Acara yang dibuat oleh juru sita yang diperintahkan

untuk melaksanakan (eksekusi) putusan tersebut.

ao. Penawaran Pembayaran Tonai Dan Konsignasi

1) Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan

penitipan I konsignasi merupakan salah satu hal I sebab

hapusnya perikatan.

2) Konsignasi diatur dalam Pasal 1404 s.d. 1412

KUHPerdata.

3) Jika si berpiutang menolak pembayaran dari yang

berutang, maka pihak yang berutang dapat melakukan

pembayaran tunai utangnya dengan menawarkan

pembayaran yang dilakukan oleh jurusita dengan

disertai 2 (dua) orang saksi. Apabila yang berpiutang

127

128

menolak menerima pembayaran , maka uang tersebut

dititipkan pada kas kepaniteraan Pengadilan Agama

sebagai titipanlkonsignasi.

4) Penawaran clan penitipan tersebut harus disahkan

dengan penetapan hakim.

5) Cara-cara konsignasi :

a) Yang berutang mengajukan permohonan tentang

penawaran pembayaran dan penitipan tersebut ke

Pengadilan Agama yang meliputi tempat dimana

persetujuan pembayaran harus dilakukan (debitur

sebagai pemohon clan kreditur sebagai termohon ).

b) Dalam hal tidak ada persetujuan tersebut pada sub a,

maka pennohonan diajukan ke Pengadilan Agama

dimana tennohon ( si berpiutang pribadi) bertempat

tinggal atau tempat tinggal yang telah dipilihnya.

c) Permohonan konsignasi didaftar dalam register

permohonan.

d) Ketua Pengadilan Agama memerintahkan jurusita

Pengadilan Agama dengan disertai oleh 2 (dua)

orang saksi, dituangkan dalam surat penetapan untuk

melakukan penawaran pembayaran kepada si

berpiutang pribadi di tempat tinggal atau tempat

tinggal pilihannya.

e) Jurusita dengan disertai 2 (dua) orang saksi

menjalankan perintah Ketua Pengadilan Agama

tersebut clan dituangkan dalam berita acara tentang

pernyataan kesediaan untuk membayar (aanbod

van gereede betaling).

f) Kepada pihak berpiutang diberikan salinan dari

berita acara tersebut.

g) Juru sita membuat berita acara pemberitahuan bahwa

karena pihak berpiutang menolak pembayaran, uang

tersebut akan dilakukan penyimpanan ( konsignasi )

di kas kepaniteraan Pengadilan Agama yang akan

dilakukan pada hari, tanggal clan jam yang

ditentukan dalam berita acara tersebut.

h) Pada waktu yang telah ditentukan dalam huruf g,

jurusita dengan disertai 2 (dua) orang saksi

menyerahkan uang tersebut kepada panitera

Pengadilan Agama dengan menyebutkan jumlah dan

rincian uangnya untuk disimpan dalam kas

kepaniteraan Pengadilan Agama sebagai uang

konsignasi.

i) Agar supaya pemyataan kesediaan untuk membayar

yang diikuti dengan penyimpanan tersebut sah dan

berharga, hams diikuti dengan pengajuan

permohonan oleh si berhutang terhadap berpiutang

sebagai termohon kepada Pengadilan Agama,

dengan petitum :

- Menyatakan sah dan berharga penawaran

pembayaran clan penitipan sebagai konsignasi.

Menghukum Pemohon membayar biaya perkara.

2. PEDOMAN KHUSUS

a. Hukum Keluarga.

1) Poligami.

a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan menganut asas monogami, kecuali

hukum agama yang dianut menentukan lain.

Suami yang beragama Islam yang menghendaki

129

130

beristri lebih dari satu orang dapat mengajukan

pennohonan izin poligami kepada Pengadilan

Agama/Mahkamah Syar'iyah, dengan syarat•

syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 dan 5

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

b) Agar pemberian izin poligami oleh Pengadilan

Agama tidak bertentangan dengan asas

monogami yang dianut oleh Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974, maka Pengadilan Agama

dalam memeriksa dan memutus perkara

pennohonan izin poligami harus berpedoman

pada hal-hal sebagai berikut:

(I) Permohonan izin poligami harus besifat

kontensius, pihak istri didudukkan sebagai

termohon.

(2) Alasan izin poligami yang diatur dalam

Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 bersifat fakultatif, maksudnya

bila salah satu persyaratan tersebut dapat

dibuktikan, Pengadilan Agama dapat

memberi izin poligami.

(3) Persyaratan izin poligami yang diatur

dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 bersifat kumulatif,

maksudnya Pengadilan Agama hanya dapat

memberi izin poligami apabila semua

persyaratan tersebut telah terpenuhi.

(4) Harta bersama dalam hal suami beristri

lebih dari satu orang, telah diatur dalam

Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam, akan

tetapi pasal tersebut mengandung ketidak

adilan, karena dalam keadaan tertentu

dapat merugikan istri yang dinikahi lebih

dahulu, oleh karenanya pasal tersebut harus

dipahami sebagaimana diuraikan dalam

angka (5) di bawah ini.

(5) Harta yang diperoleh oleh suami selama

dalam ikatan perkawinan dengan istri

pertama, merupakan harta benda bersama

milik suami clan istri pertama. Sedangkan

harta yang diperoleh suami selama dalam

ikatan perkawinan dengan istri kedua dan

selama itu pula suami masih terikat

perkawinan dengan istri pertama, maka

harta tersebut merupakan harta bersama

milik suami, istri pertama dan istri kedua.

Demikian pula halnya sama dengan perka•

winan kedua apabila suami melakukan

perkawinan dengan istri ketiga dan

keempat.

(6) Ketentuan harta bersama tersebut dalam

angka (5) tidak berlaku atas harta yang

diperuntukkan terhadap istri kedua, ketiga

clan keempat (seperti rumah, perabotan rumah

clan pakaian) sepanjang harta yang

diperuntukkan istri kedua, ketiga . dan

keempat tidak melebihi 1/3 (sepertiga) dari

harta bersama yang diperoleh dengan istri

kedua, ketiga dan keempat. Contoh: Suami

selama terikat perkawinan dengan istri

kedua memperoleh harta bersama sebanyak

100.000.000. (seratus juta rupiah), dari

131

132

harta bersama tersebut dibelikan rumah dan

mobil untuk istri kedua sebesar Rp.

30.000.000. (tiga puluh juta rupiah), maka

rumah dan mobil tersebut tidak menjadi

harta bersama antara suami, istri pertama

dan istri kedua. Yang menjadi harta

bersama suami, istri pertama dan istri

kedua adalah harta yang berjumlah Rp

70.000.000. (tujuh puluh juta rupiah). Jika

suami membelikan rumah dan mobil untuk

istri kedua sebesar Rp 50.000.000. (lima

puluh juta rupiah}, maka harta yang

diperuntukkan pada istri kedua diambil

sebagian agar tidak melebihi 1/3 dari harta

bersama yang nilainya Rp 100.000.000.

(seratusjuta rupiah).

(7) Bila terjadi pembagian harta bersama

bagi

dari

suami yang mempunyai istri lebih

satu orang karena kematian atau

perceraian, cara perhitungannya adalah

sebagai berikut:

Untuk istri pertama 1/2 dari harta bersama

dengan suami yang diperoleh selama

perkawinan, ditambah 1/3 x harta bersama

yang diperoleh suami bersama dengan istri

pertama dan istri kedua, ditambah 1/4 x

harta bersama yang diperoleh suami

bersama dengan istri ketiga, istri kedua dan

istri pertama, ditambah 1/5 x harta bersama

yang diperoleh suami bersama istri

keempat, ketiga, kedua dan pertama.

(8) Harta yang diperoleh oleh istri pertama,

kedua, ketiga dan keempat merupakan

harta bersama dengan suaminya, kecuali

yang diperoleh istri dari hadiah atau

warisan.

(9) Pada saat permohonan izin poligami,

suami wajib pula mengajukan permohonan

penetapan harta bersama dengan istri

sebelumnya, atau harta bersama dengan

istri-istri sebelumnya. Dalam hal suami

tidak mengajukan pennohonan penetapan

harta bersama yang digabung dengan

permohonan izin poligami, istri atau istri•

istrinya dapat mengajukan rekonvensi

penetapan harta bersama.

(10) Dalam hal suami tidak mengajukan

permohonan penetapan harta bersama yang

digabung dengan pennohonan izin

poligami dan istri terdahulu tidak

mengajukan rekonvensi penetapan harta

bersama dalam perkara pennohonan izin

poligami sebagaimana dimaksud dalam

angka (9) di atas, permohonan penetapan

izin poligami hams dinyatakan tidak dapat

diterima,

2) Izin Kawin, Dispensasi Kawin dan Wall Adhal.

a) Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 menganut

prinsip bahwa calon suami istri harus telah

matang jiwa raganya, agar dapat mewujudkan

rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan

133

rahmah. Untuk itu, barus clicegah adanya

perkawinan antara calon suami istri di bawah

umur. Namun demikian dalam hal-hal tertentu,

calon suami istri yang masih berada di bawah

usia 21 tahun dapat melangsungkan perkawinan

dengan syarat mendapat izin terlebih dahulu dari

orang tuanya, keluarganya dan atau walinya.

Apabila orang tua, keluarga atau walinya tidak

memberi izin, maka calon mempelai suami atau

istri dapat mengajukan permohonan izin kawin

kepada Pengadilan Agama,

b) Calon suami istri yang beragama Islam dan

belum mencapai usia 19 dan 16 tahun yang ingin

melangsungkan perkawinan orang tua yang

bersangkutan harus mengajukan permohonan

dispensasi kawin kepada Pengadilan Agama,

c) Calon mempelai wanita yang akan melang-

sungkan perkawinan yang wali nikahnya tidak

mau melaksanakan perkawinan dapat mengaju-

kan permohonan penetapan wali adhal kepada

Pengadilan Agama.

d) Pengadilan Agama dalam memeriksa dan memu-

tus perkara permohonan izin kawin, dispensasi

kawin clan wali adhal harus mempedomani hal-

hal sebagai berikut :

(1) Permohonan izin kawin diajukan oleh

calon mempelai, yang belum berusia 21

tahun dan tidak mendapat izin dari orang

tuanya, kepada Pengadilan Agama dalam

daerah dimana calon mempelai tersebut

bertempat tinggal.

134

(2) Pennohonan dispensasi kawin diajukan

oleh orang tua calon mempelai pria yang

belum berusia 19 tahun, dan/atau calon

mempelai wanita yang belum berusia 16

tahun kepada Pengadilan Agama dalam

daerah dimana calon mempelai dan/atau

orang tua · calon mempelai tersebut ber-

tempat tinggal.

(3) Permohonan izin kawin dan wali adhal

. yang diajukan oleh calon mempelai pria

dan/atau calon mempelai wanita dapat

dilakukan secara kumulatif kepada

Pengadilan Agama dalam daerah hukum

dimana calon mempelai pria dan wanita

tersebut bertempat tinggal.

(4) Pengadilan Agama dapat memberikan izin

kawin dan dispensasi kawin setelah

mendengar keterangan dari orang tua,

keluarga dekat atau walinya.

(5) Permohonan penetapan wali adhal diajukan

oleh calon mempelai wanita yang wali

nikahnya ticlak mau melaksanakan

pemikahan, kepada Pengadilan Agama

dalam daerah dimana calon mempelai

wanita tersebut bertempat tinggal.

(6) Pengadilan Agama dapat mengabulkan

permohonan penetapan wali adhal setelah

mendengar keterangan orang tua atau

keluarga dekatnya.

(7) Permohonan izin kawin, dispensasi kawin

dan wali adhal bersifat voluntair produknya

135

berbentuk penetapan. Jika Pemohon tidak

puas dengan penetapan tersebut, maka

pihak Pemohon dapat mengajukan upaya

kasasi.

(8) Terhadap penetapan dispensasi kawin, izin

kawin dan wali adhal yang diajukan oleh

calon mempelai pria dan/atau wanita, dapat

dilakukan perlawanan oleh orang tua calon

mempelai, keluarga dekat dan/atau orang

yang berkepentingan lainnya kepada

Pengadilan Agama yang mengeluarkan

penetapan tersebut.

3) Penolakan Perkawinan ex Pasal 21 Undang..

Undang Nomor 1 Tahon 1974.

a) Calon suami istri yang akan melangsungkan

perkawinan harus memenuhi syarat-syarat

perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974. Apabila calon mempelai

atau salah satu calon mempelai tidak memenuhi

syarat-syarat perkawinan, maka Pegawai

Pencatat Nikah (PPN) dapat menolak dilang•

sungkannya perkawinan tersebut.

b) Terhadap penolakan perkawinan dari PPN,

calon mempelai dapat mengajukan permohonan

pencabutan surat penolakan perkawinan dari

PPN kepada Pengadilan Agama.

c) Pengadilan Agama dalam memeriksa dan

memutus perkara tersebut harus mempedomani

hal-hal sebagai berikut :

136

(1) Kedua calon mempelai atau salah satu

calon mempelai yang pelaksanaan

perkawinannya ditolak oleh PPN, dapat

mengajukan permohonan pencabutan surat

penolakan PPN tersebut secara voluntair

kepada Pengadilan Agama dalam daerah

dimana PPN berkedudukan (ex Pasal 13

dan 14 Undang-Undang Nomor I Tahun

1974).

(2) Pengadilan Agama dalam daerah dimana

PPN berkedudukan dapat mengabulkan

permohonan pencabutan surat penolakan

perkawinan dari PPN dan memerintahkan

PPN untuk melaksanakan perkawinan

kedua calon mempelai, bila menurut

Pengadilan Agama surat penolakan

perkawinan tersebut tidak mempunyai

alasan hukum.

(3) Produk Pengadilan Agama atas permo•

honan pencabutan surat penolakan dari

PPN tersebut berbentuk penetapan. Jika

Pemohon tidak puas atas penetapan

tersebut, Pemohon dapat mengajukan

upaya hukum kasasi.

(4) Dalam hal Pegawai Pencatat Nikah tidak

puas atas penetapan Pengadilan Agama

tersebut Pegawai Pencatat Nikah dapat

melakukan perlawanan terhadap penetapan

tersebut.

137

4) Pencegahan Perkawinan.

a) Calon suami istri yang akan melangsung-

kan perkawinan harus memenuhi syarat-

syarat perkawinan yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ten-

tang Perkawinan. Apabila calon mempelai

atau salah satu calon mempelai tidak

memenuhi syarat-syarat perkawinan, maka

orang tua, keluarga, wali pengampu dari

calon mempelai dapat mengajukan

pencegahan perkawinan kepada Pengadilan

Agama.

b) Pengadilan Agama dalam memeriksa dan

memutus perkara tersebut harus mempedo-

mani hal-hal sebagai berikut :

(1) Ayah, ibu, kakek, anak, cucu,

saudara, wali nikah dan wali

pengampu dari salah seorang calon

mempelai dapat mencegah perka-

winan, apabila ada calon mempelai

tidak memenuhi syarat-syarat untuk

melangsungkan perkawinan (ex Pasal

13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974).

(2) Mereka yang tersebut dalam angka

(1) di atas berhak juga mencegah

perkawinan apabila salah seorang

calon mempelai berada di bawah

pengampuan (ex Pasal 14 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974).

138

(3) Suami atau istri dapat mencegah

perkawinan yang akan dilangsungkan

oleh istri atau suaminya (ex Pasal 15

Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974).

(4) Jaksa (ex Pasal 65 KUH Perdata),

PPN (Yurisprudensi Mahkamah

Agung RI) wajib mencegah

berlangsungnya perkawinan, apabila

ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7

ayat (1 ), Pasal 8 - 10 dan Pasal 12

Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tidak dipenuhi (ex Pasal 16

Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974).

(5) Pennohonan pencegahan perkawinan

diajukan kepada Pengadilan Agama

dalam daerah hukum dimana perka•

winan akan dilangsungkan (ex Pasal

17 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974).

(6) Pengadilan Agama menyampaikan

salinan surat pennohonan pencegahan

perkawinan kepada Kantor Urusan

Agama, agar Kantor Urusan Agama

tidak melangsungkan perkawinan

kedua belah pihak yang bersang•

kutan, selama proses pemeriksaan di

Pengadilan Agama.

(7) Proses pemeriksaan permohonan

pencegahan perkawinan bersifat

voluntair, produknya berupa pene-

139

tapan clan atas penetapan tersebut

dapat dilakukan upaya hukum kasasi

oleh pemohon.

(8) Apabila permohonan pencegahan

perkawinan tersebut dikabulkan,

clalam waktu yang singkat Pengadilan

Agama menyampaikan salinan pene•

tapan tersebut kepada KUA dimana

perkawinan itu akan dilangsungkan.

(9) Kedua calon mempelai atau salah

satu calon mempelai yang merasa

keberatan atas penetapan pencegahan

perkawinan tersebut, dapat menga-.

jukan perlawanan atas penetapan

tersebut kepada Pengadilan Agama

yang memutus pencegahan perka-

winan.

(10) Proses pemeriksaan perlawanan atas

penetapan pencegahan perkawinan

tersebut bersifat kontensius, dan

terhadap putusannya dapat dilakukan

upaya banding (ex Pasal 18 Undang-

Undang Nomor I Tahun 1974 jo.

Pasal 70 KUH Perdata dan Pasal 817,

818 Rv).

5) Pembatalan Perkawinan.

a) Calon suami istri yang akan melangsungkan

perkawinan hams memenuhi syarat-syarat

perkawinan yang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974. Apabila

140

perkawinan telah dilangsungkan, sedangkan

calon mempelai atau salah satu calon

mempelai tidak memenuhi syarat-syarat

perkawinan, maka orang tua, keluarga, PPN

dan jaksa dapat mengajukan permohonan

pembatalan perkawinan kepada Pengadilan

Agama.

b) Pengadilan Agama dalam memeriksa dan

memutus perkara tersebut harus mempedo-

mani hal-hal sebagai berikut :

(1) Permohonan pembatalan perkawinan

diajukan oleh pihak-pihak, yang diatur

dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 jo. Pasal 73 Kompilasi

Hukum Islam, kepada Pengadilan Agama

dalam daerah hukum dimana perkawinan

dilangsungkan atau di tempat tinggal

kedua suami istri, suami atau istri,

apabila para pihak yang melangsungkan

perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat

perkawinan sebagaimana diatur dalam

Pasal 22 s/d Pasal 27 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 70 s/d

Pasal 72 Kompilasi Hukum Islam.

(2) Proses pemeriksaan pembatalan perka-

winan bersifat kontensius. Atas putusan

pembatalan perkawinan dapat diajukan

upaya hukum banding.

(3) Permohonan pembatalan perkawinan atas

alasan perkawinan dilangsungkan di

muka PPN yang tidak berwenang, wali

141

nikah yang tidak sah atau yang

dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua

orang saksi, tidak dapat diajukan apabila

suami istri telah hidup bersama layaknya

suami istri dan dapat memperlihatkan

akta perkawinan yang dibuat oleh PPN

yang tidak berwenang tersebut.

(4) Permohonan pembatalan nikah oleh

suami atau istri atas alasan perkawinan

dilangsungkan di bawah ancaman y~g

melanggar hukum dapat diajukan dalam

jangka waktu 6 bulan sejak perkawinan

dilangsungkan kepada Pengadilan Agama

dalam daerah hukum dimana perkawinan

tersebut dilangsungkan.

(5) Batalnya suatu perkawinan dimulai

setelah putusan Pengadilan Agama

mempunyai kekuatan hukum yang tetap

dan berlaku surut sejak saat berlang-

sungnya perkawinan, kecuali terhadap

apa yang diatur dalam Pasal 28 ayat (2)

Undang-Undang Nomor I Tahun 1974.

6) Pengesahan Perkawinan/Itsbat Nikah.

a) Aturan pengesahan nikah/itsbat nikah,

dibuat atas dasar adanya perkawinan yang

dilangsungkan berdasarkan agama atau tidak

dicatat oleh PPN yang berwenang.

b) Aturan pengesahan nikah tercantum dalam

Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1946 jis. Pasal 49 angka (22)

142

penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan

- Pasal 7 ayat (2), (3) dan (4) Kompilasi

Hukum Islam.

c) Dalam Pasal · 49 angka (22) penjelasan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Pasal 7

ayat (3) huruf d Kompilasi Hukum Islam,

perkawinan yang disahkan hanya perkawinan

yang dilangsungkan sebelum berlakunya

Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Akan tetapi Pasal 7 ayat (3) huruf a

Kompilasi Hukum Islam memberikan

peluang untuk pengesahan perkawinan yang

tidak dicatat oleh PPN yang dilangsungkan

sebelum atau sesudah berlakunya Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 untuk

kepentingan perceraian. Pasal 7 ayat (3)

huruf a Kompilasi Hukum Islam., ini banyak

dipraktekkan di Pengadilan Agarna,

d) Perkawinan yang tidak dicatatkan oleh PPN

banyak berindikasi penyelundupan hukum

untuk mempermudah poligami tanpa

prosedur hukum, dan memperoleh hak waris

atau hak-hak lain atas kebendaan. Oleh

karena itu, Pengadilan Agama harus berhati-

hati dalam memeriksa dan memutus

permohonan pengesahan nikah/itsbat nikah,

agar proses pengesahan nikah/itsbat nikah

143

tidak dijadikan alat untuk melegalkan

perbuatan penyelundupan hukum.

e) Untuk kepentingan itu, maka proses

pengajuan, pemeriksaan clan penyelesaian

permohonan pengesahan nikah/itsbat nikah

harus mengikuti petunjuk-petunjuk sebagai

berikut:

(1) Permohonan itsbat nikah dapat

dilakukan oleh kedua suami istri atau

salah satu dari suami istri, anak, wali

nikah clan pihak lain yang berkepen•

tingan dengan perkawinan tersebut

kepada Pengadilan Agama dalam

daerah hukum dimana perkawinan

dilangsungkan.

(2) Proses pemeriksaan permohonan itsbat

nikah yang diajukan oleh kedua suami

istri bersifat voluntair, produknya

berupa penetapan, jika isi penetapan

tersebut menolak permohonan itsbat

nikah, maka pihak suami dan istri

bersama-sama atau suami, istri masing•

masing dapat mengupayakan kasasi.

(3) Proses pemeriksaan permohonan itsbat

nikah yang diajukan oleh salah seorang

suami atau istri bersifat kontensius

dengan mendudukkan istri atau suami

yang tidak mengajukan permohonan

sebagai pihak termohon, produknya

berupa putusan dan terhadap putusan

tersebut dapat diupayakan banding dan

kasasi.

144

(4) Apabila dalam proses pemeriksaan

permohonan itsbat nikah dalam angka

(2) clan (3) tersebut di atas diketahui

bahwa suaminya masih terikat dalam

perkawinan sah dengan perempuan

lain, maka istri terdahulu tersebut harus

dijadikan pihak dalam perkara. Jika

pemohon tidak mau merubah permo•

honannya dengan memasukkan istri

terdahulu sebagai pihak, pennohonan

tersebut harus dinyatakan tidak dapat

diterima.

(5) Permohonan itsbat nikah yang

dilakukan oleh anak, wali nikah dan

pihak lain yang berkepentingan harus

bersifat kontensius, dengan menduduk-

kan suami dan istri dan/atau ahli waris

lain sebagai termohon.

(6) Suami, istri yang telah ditinggal mati

oleh istri atau suaminya, dapat

mengajukan permohonan itsbat nikah

secara kontensius dengan menduduk-

kan ahli waris lainnya sebagai pihak

tennohon, produknya berupa putusan

dan atas putusan tersebut dapat diupa-

yakan banding dan kasasi.

(7) Dalam hal suami atau istri yang

ditinggal mati tidak mengetahui ada

ahli waris lain selain dirinya, maka

permohonan itsbat nikah diajukan

secara voluntair, produknya berupa

145

penetapan. Apabila permohonan

tersebut ditolak, maka pemohon dapat

mengajulcan kasasi.

(8) Orang lain yang mempunyai kepen•

tingan clan tidak menjadi pihak dalam

perkara permohonan itsbat nikah

tersebut dalam angka (2) dan (6), dapat

melakukan perlawanan kepada

Pengadilan Agama yang memutus,

setelah mengetahui ada penetapan

itsbat nikah.

(9) Orang lain yang mempunyai kepen•

tingan clan tidak menjadi pihak dalam

perkara permohonan itsbat nikah

tersebut dalam angka (3), (4) dan (5),

dapat mengajukan intervensi kepada

Pengadilan Agama yang memeriksa

perkara itsbat nikah tersebut selama

perkara belum diputus.

(10) Orang lain yang mempunyai kepen•

tingan dan tidak menjadi pihak dalam

perkara permohonan itsbat nikah

tersebut dalam angka (3), (4) dan (5),

sedan.glean permohonan tersebut telah

diputus oleh Pengadilan Agama, ia dapat

mengajukan gugatan pembatalan

perkawinan yang telah disahkan oleh

Pengadilan Agama tersebut.

(11) Sebelum perkara permohonan penge•

sahan nikah disidangkan, Pengadilan

146

Agama wajib mengumumkan permo-

honan pengesahan nikah yang diajukan

kepadanya sebanyak 3 kali dalam

jangka waktu 3 bulan pada media

massa cetak atau elektronik, dan

pemeriksaan dilakukan setelah lewat

jangka waktu satu bulan dari tanggal

pengumuman terakhir.

(12) Pengadilan Agama hanya dapat

mengabulkan permohonan itsbat nikah,

sepanjang perkawinan yang telah

dilangsungkan memenuhi syarat dan

rukun nikah secara syariat Islam dan

perkawinan tersebut tidak melanggar

larangan perkawinan yang diatur dalam

Pasal 8 s/d Pasal 10 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 39 s/d

Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam.

(13) Pengesahan nikah dapat digabungkan

dengan gugatan perceraian. Cara

penyelesaiannya diputus bersama-sama

dalam satu putusan.

(14) Pengesahan nikah dapat pula digabung•

kan dengan gugatan warisan.

(15) Untulc keseragaman amar pengesahan

nikah berbunyi sebagai berikut:

"Menetapkan sahnya perkawinan antara

. . . . . . . . . . . . . . . . ... dengan ... ... . . .. yang

dilaksanakan pada tanggal ...

di ",

147

7) Perkawinan Camporan (ex Pasal 60

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974)•

a) Undang-Undang Perkawinan bersifat

egaliter, tidak mengenal batas suku, ras dan

kewarganegaraan. Oleh karena itu dapat

terjadi perkawinan antar warga negara yang

berbeda.

b) Untuk mengbindari terjadinya perkawinan

yang melanggar ketentuan hukum negara

dari masing-masing calon mempelai, calon

mempelai diwajibkan membuktikan bahwa

yang bersangkutan tidak melanggar peraturan

penmdang-undangan di negaranya masing•

masing, Bukti tersebut berupa surat

keterangan yang dikeluarkan oleh pejabat

pencatat perkawinan yang berwenang di

negara masing-masiag.

c) Dalam bal pejabat yang berwenang menolak

memberikan surat keterangan dimaksud,

maka pihak calon mempelai dapat mengaju•

kan permohonan pembatalan surat penolakan

tersebut kepada Pengadilan Agama

d) Pengadilan Agama dalam memeriksa dan

memutus permohonan pembatalan surat

penolakan tersebut barus mempedomaoi hal-

hal sebagai berikut :

(I) Perkawinan campuran adalah perka-

winan dua orang yang di Indonesia

tnncfuk pada hukum yang berlainan

karena perbedaan kewarganegaraan dan

satu pibak bedrewaranegama Indonesia.

148

(2) Jika pejabat yang berwenang mencatat

perkawinan di negara pihak yang akan

melangsungkan perkawinan menolak

untuk memberikan surat keterangan

bahwa syarat-syarat perkawinan sudah

terpenuhi, maka pihak yang bersang-

kutan dapat mengajukan permohonan

pembatalan surat penolakan tersebut

kepada Pengadilan Agama dalam

daerah hukum dimana pihak yang

besangkutan bertempat tinggal.

(3) Pengadilan Agama memberikan kepu-

tusan atas permohonan pembatalan

surat penolakan tersebut dengan tidak

beracara serta tidak boleh diupayakan

banding.

(4) Pengadilan Agama dapat membatalkan

surat keputusan penolakan tersebut

dengan pertimbangan surat keputusan

penolakan tersebut tidak beralasan dan

putusan tersebut menjadi pengganti

surat keterangan yang dimaksud dalam

Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974.

(5) Untuk keseragaman, amar putusannya

adalah sebagai berikut : "Membatalkan

surat penolakan yang dikeluarkan oleh

......... pada tanggal ''

149

8) Cerai Talak

a) Cerai talak diajukan oleh pihak suami yang

petitumnya memohon untuk diizinkan

menjatuhkan talak terhadap istrinya.

b) Cerai talak yang diajukan oleh suami yang

telah riddah (keluar dari agama Islam),

produk putusannya bukan memberikan izin

kepada suami untuk mengikrarkan talak,

akan tetapi talak dijatuhkan oleh Pengadilan

Agama.

c) Prosedur pengajuan permohonan dan proses

pemeriksaan cerai talak agar dipedomani

Pasal 66 s/d Pasal 72 Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006 jo Pasal 14 s/d Pasal 36

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

d) Gugatan penguasaan anak dan harta bersama

dapat diajukan bersama-sama dengan permo-

honan cerai talak.

e) Selama proses pemeriksaan cerai talak

sebelum sidang pembuktian, istri dapat

mengajukan rekonvensi mengenai pengasuh-

an anak, nafkah anak, nafkah madhiyah,

nafkah iddah, mut'ah dan harta bersama.

f) Selama proses pemeriksaan cerai talak,

suami dalam permohonannya dapat menga-

jukan permohonan provisi, demikian juga

istri dalam gugatan rekonvensinya dapat

mengajukan permohonan provisi tentang hal-

150

hal yang diatur dalam Pasal 24 Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

g) Pengadilan Agama secara ex officio dapat

menetapkan kewajiban nafkah iddah atas

suami untuk istrinya, sepanjang istrinya tidak

terbukti berbuat nusyuz, dan menetapkan

kewajiban mut'ah (ex Pasal 41 huruf c

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo

Pasal 149 huruf a dan Pasal 151 Kompilasi

Hukum Islam).

h) Dalam pemeriksaan cerai talak, Pengadilan

Agama sedapat mungkin berupaya menge•

tahui jenis pekerjaan suami yang jelas dan

pasti, clan mengetahui perkiraan pendapatan

rata-rata perbulan untuk dijadikan dasar

pertimbangan menetapkan nafkah anak,

mut'ah, nafkah madhiyah dan nafkah iddah.

i) Agar memenuhi asas manfaat dan mudah

dalam pelaksanaan putusan, penetapan

mut'ah sebaiknya berupa benda bukan uang,

misalkan rumah atau tanah atau benda

lainnya.

j) Dalam hal Termohon tidak hadir di

persidangan clan perkara akan diputus

verstek, Pengadilan harus melakukan sidang

pembuktian mengenai kebenaran adanya

alasan perceraian yang didalilkan oleh

Pemohon.

k) Untuk keseragaman, amar putusan cerai talak

berbunyi:

151

''Memberi izin kepada pemohon (nama .

bin.........) untuk menjatubkao talak satu raj'i

terhadap termohon (nama.... binti ....) di

depan sidang Pengadilan Agama ..... ",

I) Untuk menghindari terjadinya talak bid'i,

Pengadilan Agama sebaiknya menunda

sidang ikrar talak, apabila si istri dalam

keadaan haid, kecuali bila istri rela clijatuhi

talak,

m) Untuk keseragaman amar putusan cera.i talak

yang diajukan oleh suami yang riddah

(keluar dari agama Islam) sebagaimana

tersebut dalam huruf b) di atas berbunyi :

"Menjatuhkan talak satu bain shughra

pemohon (nama, bin ) terhadap

termohon (nama binti )".

9) Cerai Gugat.

a) Cerai gugat diajukan oleh istri yang peti•

tumnya memohon agar Pengadilan Agama

memutuskan perkawinan Penggugat dengan

Tergugat.

b) Prosedur pengajuan gugatan clan pemerik•

saan cerai gugat agar dipedomani Pasal 73

s/d Pasal 86 UU No. 7 Tahun 1989

sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3

Tahllll 2006 jo. Pasal 14 s/d Pasal 36 PP No.

9 Tahllll 1975.

c) Gngatan hadbanah, oafkab anak, oafkab istri,

mut'ab, oafkab iddah dan harta bersama

152

suami istri, dapat diajukan bersama-sama

dengan cerai gugat.

d) Selama proses pemeriksaan cerai gugat

sebelum sidang pembuktian, suami dapat

mengajukan rekonvensi mengenai

penguasaan anak dan harta bersama.

e) Dalam perkara cerai gugat, istri dalam

gugatannya dapat · mengajukan gugatan

provisi, begitu pula suami yang mengajukan

rekonvensi dapat pula mengajukan gugatan

provisi tentaog hal-hal yang diatur dalam

Pasal 24 PP No. 9 Tahun 1975.

f) Pengadilan Agama secara ex officio dapat

menetapkan kewajiban nafkah iddah terha•

dap suami, sepanjang istrinya tidak terbukti

telah berbuat nusyuz (ex Pasal 41 huruf c

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).

g) Dalam pemeriksaan cerai gugat, Pengadilan

Agama sedapat mungkin berupaya untuk

mengetahui jenis pekerjaan dan pendidikan

suami yang jelas dan pasti dan mengetahui

perkiraan pendapatan rata-rata perbulan,

untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam

menetapkan nafkah madhiah, nafkah iddah

clan nafkah anak.

h) Cerai gugat atas alasan taklik talak harus

dibuat sejak awal bahwa perkara tersebut

perkara gugat cerai atas alasan taklik talak, agar

selaras dengan format laporan perkara.

i) Dalam hal Tergugat tidak hadir di

persidangan clan perkara akan diputus dengan

153

verstek, Pengadilan harus melakukan sidang

pembuktian mengenai kebenaran adanya

alasan perceraian yang didalilkan oleh

Penggugat.

j) Untuk keseragaman, amar putusan cerai

gugat, kecuali cerai gugat atas alasan taklik

talak dan khuluk berbunyi :"Menjatuhkan

talak satu ba'in shughra Tergugat (nama

. . . .. . .. . .. . . bin ) terhadap Penggugat

(nam.a... .....bi.nt.i... . .. . ..)" .

k) Amar putusan cerai gugat atas dasar alasan

pelanggaran taklik talak · berbunyi

"Menetapkanjatuh talak satu khul'i Tergugat

(nama bin ) terhadap Penggugat

(nama. binti ) dengan iwadh sebesar

Rp ( tulis dengan huruf)".

10) Harta Bersama.

a) Gugatan harta bersama dapat digabungkan

dengan perkara permohonan cerai talak clan

cerai gugat atau dalam bentuk gugatan

rekonvensi dalam perkara permohonan cerai

talak dan cerai gugat jika pihak pemohon

atau Penggugat tidak menggabungkan

gugatan harta bersama dengan permohonan

cerai talak dan cerai gugat sebagaimana telah

diuraikan dalam angka 8 huruf c, d dan e

serta dalam angka 9 huruf c, d dan e.

b) Gugatan pembagian harta bersama yang

tidak dilakukan bersama-sama dengan

154

pennohonan cerai talak dan cerai gugat,

diajukan setelah terjadi perceraian.

c) Gugatan harta bersama, dalam praktek

peradilan ditemukan banyak kendala yang

terkait dengan rahasia Bank apabila harta

bersama tersebut berupa uang dalam

rekening giro, tabungan atau deposito di

Bank tertentu atas nama suami atau istri.

Suami atau istri yang mendalilkan istrinya

atau suaminya mempunyai rekening giro,

tabungan atau deposito pada Bank tertentu

akan mengalami kesulitan dalam pembuk•

tian, karena yang dapat mengakses saldo

rekening giro, tabungan dan deposito Bank

tersebut hanya pihak suami atau istri yang

memiliki rekening giro, tabungan atau

deposito.

d) Pembuktian gugatan mengenai jumlah

uang dalam rekening giro, tabungan atau

deposito oleh pihak Penggugat (suami atau

istri) cukup dengan fotocopy rekening giro,

tabungan atau deposito sepanjang Tergugat

(istri atau suami) tidak menyangkal isi

fotocopy giro, tabungan atau deposito

tersebut.

e) Jika Tergugat (suami atau istri) menyangkal

isi rekening giro, tabungan atau deposito

yang atas namanya, maka Tergugat (suami

atau istri) harus membuktikan posisi saldo

rekening giro, tabungan atau deposito atas

nama yang bersangkutan berupa surat

155

keterangan saldo terakhir dari Bank yang

bersangkutan.

11) Talak Khuluk.

a) Talak khuluk ialah gugatan dari istri untulc

bercerai dari suaminya. Proses penyelesaian

gugatan tersebut dilakukan sesuai dengan

prosedur cerai gugat

b) Untuk keseragaman, amar putusan talak

khuluk berbunyi :

"Menjatuhkan talak satu khul'i Tergugat

(nama. bin ) terhadap Penggugat

(nama, binti ) dengan iwadh berupa

uang sebesar Rp... . . . .. . . .. .. . .. ( tulis dengan

huruf), dan atau dengan iwadh berupa rumah

atau benda lainnya".

12)Syiqaq.

a) Dalam proses pemeriksaan dan penyelesaian

gugat cerai atas dasar alasan cekcok terus

menerus ex Pasal 19 huruf f Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 ditambah

Pasal 116 KID, Pengadilan Agama harus

memedomani Pasal 22 Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975, dilakukan pembuktian

saksi kemudian didengar keterangan keluarga

atau orang dekat suami istri. Keterangan

keluarga atau orang dekat dari suami dan istri

bila difungsikan sebagai bukti, hams

disumpah.

156

b) Gugatan atas alasan syiqaq harus dibuat sejak

awal bahwa perkara tersebut perkara syiqaq,

bukan perubahan dari gugat cerai atas dasar

cekcok terus menerus yang kemudian dijadi•

kan perkara syiqaq.

c) Pemeriksaan clan penyelesaian gugat cerai

atas dasar syiqaq harus berpedoman pada

Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, yaitu

memeriksa saksi-saksi dari keluarga atau

orang-orang dekat dengan suami istri, setelah

itu Pengadilan Agama mengangkat keluarga

suami atau istri atau orang lain sebagai

hakam. Hakam melakukan musyawarah,

hasilnya diserahkan kepada Pengadilan Agama

sebagai dasar putusan.

d) Hasil musyawarah hakam dapat dijadikan

bukti awal oleh majelis hakim di dalam

menjatuhkan putusan.

e) Untuk keseragaman, amar putusan cerai

dengan alasan syiqaq berbunyi :

"Menjatuhkan talak satu ba'in shughra

Tergugat (nama bin ) terhadap

Penggugat (nama binti.. )".

13) Li'an.

a) Pemeriksaan dan penyelesaian cerai gugat

yang diajukan istri atas dasar alasan suami

zina, dilakukan berdasarkan hukum acara

157

yang berlaku pada gugat cerai biasa, yaitu

dilakukan pembuktian dengan saksi atau

sumpah pemutus, atau atas dasar putusan

Pidana yang telah mempunyai kekuatan

hukum yang tetap bahwa suaminya

melakukan tindak pidana zina.

b) Pemeriksaan dan penyelesaian cerai talak

yang diajukan suami atas dasar alasan istri

berzina, dapat dilakukan berdasar hukum

acara sebagaimana tersebut dalam huruf a di

atas atau dengan cara li'an (ex Pasal 87, 88

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

sebagaimana telah diubah dengan Undang•

Undang Nomor 3 Tahun 2006).

c) Proses pemeriksaan cerai talak dengan Ii'an,

setelah pemohon dan termohon melakukan

jawab menjawab, dilakukan proses pembuk•

tian. Bila tidak diketemukan alat bukti yang

diatur dalam Pasal 164 HIR jo Pasal 284

R.Bg selain bukti sumpah, Pengadilan

Agama menanyakan suami apakah akan

melakukan sumpah Ii'an. Apabila suami

menghendaki untuk mengucapkan sumpah

li'an, maka Pengadilan Agama memerin•

tabkan suami mengucapkan sumpah li'an

sebanyak empat kali yang berbunyi : "Demi

Allah saya bers,anpah bahwa istri saya

telah berbuat dna", dan setelah itu

dilanjutkan dengan ucapan : "Saya siap

menerima laknat Allah blla saya berdusta".

Setelah suami disumpah, Pengadilan Agama

158

menanyakan kepada istri apakah ia bersedia

mengangkat sumpah nukul (sumpah batik),

bila istri bersedia mengangkat sumpah nukul

(sumpah balik), Pengadilan Agama memerin•

tahkan istri untuk mengucapkan sumpah

sebanyak empat kali yang berbunyi : "Demi

Allah saya bersumpah bahwa saya tidak

berbuat zina", dan setelah itu dilanjutkan

dengan ucapan : "Saya siap menerima

laknatAllah apabilasaya berdusta".

d) Untuk keseragaman, amar putusan cerai

gugat atas dasar alasan zina berbunyi :

"Menjatuhkan talak satu ba 'in shughra

Tergugat (nama bin ) terhadap

Penggugat (nama binti.. )".

e) Amar putusan cerai talak dengan alasan Ii'an

berbunyi:

"Menjatuhkan talak ba'in kubra pemohon

(nama bin ) terhadap

termohon (nama . . .. . .. .biinti·. .. . . .. .. )" .

14) Asal Usul Anak.

a) Anak sah adalah anak yang lahir dalam atau

akibat perkawinan yang sah. Sebaliknya anak

yang tidak sah adalah anak yang lahir di luar

perkawinan.. yang sah atau lahir dalam

perkawinan yang sah akan tetapi disangkal

oleh suami dengan sebab Ii' an.

b) Di samping pengingkaran anak sah dapat pula

dilakukan perbuatan hukum sebaliknya, yaitu

pengakuan anak dimana seseorang

159

dapat mengakui seorang anak sebagai

anaknya yang sah.

c) Pengadilan Agama, dalam proses penyang-

kalan dan pengakuan anak, hams mempedo-

mani hal-hal sebagai berikut :

(1) Suami mengajukan gugatan penyang-

kalan anak kepada Pengadilan Agama

dalam daerah dimana pihak Tergugat

bertempat tinggal.

(2) Proses pemeriksaan perkara penyang-

kalan anak yang lahir dalam

perkawinan yang sah dapat dilakukan

dengan cara proses Ii' an.

(3) Proses li'an dimaksud dalam angka (2)

dapat dilakukan dalam ha! sebagai

berikut:

(a) Jika anak lahir sebelum masa 180

hari sejalc bari perkawinan dilang-

sungkan, kecuali anak tersebut basil

hubungan suami istri sebelum

dilalcukan perkawinan.

(b) Jika suami dapat membuktikan

bahwa anak yang berusia 180 hari

atau lebih yang dikandung istrinya,

atau anak yang dilahirkan bukan

anaknya yang sah, karena dia dalam

keadaao tidak mungkin untuk

melalcukan hubungan biologis

dengan istrinya.

(4) Gugatan penyangkalan anak yang tidak

dilalcukan dengan acara li'an, dilakukan

dengan pembuktian biasa.

160

(5) Gugatan penyangkalan anak diajukan

selambat-lambatnya 2 bulan setelah

anak dilahirkan, jika Penggugat bertem•

pat tinggal dalam daerah dimana anak

dilahirkan atau selambat-lambatnya 2

bulan sejak diketahui kelahiran . anak

tersebut dalam hal Penggugat berada di

luar daerah dimana anak tersebut

dilahirkan atau dalam hal kelahiran

anak tersebut disembunyikan.

(6) Pengakuan anak dapat diajukan secara

voluntair dan dapat juga diajukan

secara kontensius kepacla Pengadilan

Agama dalam daerah dimana anak atau

wali anak bertempat tinggal.

(7) Permohonan pengakuan anak yang

ticlak di bawah kekuasaan atau per•

walian orang lain, bersifat volunter.

(8) Permohonan pengakuan yang berada di

bawah kekuasaan atau perwalian orang

lain, bersifat kontensius.

(9) Permohonan dan gugatan pengakuan

anak selambat-lambatnya diajukan 6

bulan sejak anak tersebut ditemukan.

(10) Amar putusan penyangkalan anak

berbunyi:

"Menyatakan anak bemama ,

umur/lahir , bertempat tinggal di

........................., bukan anak sah dari

Penggugat"

161

(11) Amar permohonan pengakuan anak

secara voluntair berbunyi:

''Menetapkan anak bemama ,

umur/lahir , bertempat tinggal

.........., adalah anak sah dari pemohon

nama bin/binti ''

(12) Amar putusan gugatan pengakuan anak

secara kontensius berbunyi :

(a) Menetapkan anak. bernama, ,

umur/lahir , bertempat

tinggal , adalah anak sah

Penggugat nama bin/binti

(b) Menghukum Tergugat untuk

menyerabkan anak tersebut kepada

Penggugal

(14) Pengadilan Agama paling lambat

satu bulan setelah putusan mempunyai

kekuatan hukum tetap mengirimkan

salinan putusan tersebut kepada Kantor

Catatan Sipil dalam daerah dimana

anak tersebut bertempat tinggal untuk

didaftarkan dalam buku daftar yang

disediakan untuk itu.

15) Pemeliharaan dan Nafkah Anak.

a) Nafkah anak merupakan kewajiban ayah,

dalam keadaan ayah tidak mampu, ibu

berkewajiban untuk memberi nafkah anak.

Oleh karena nafkah anak merupakan

162

kewajiban ayah dan ibu, maka nafkah

lampau anak tidak dapat dituntut oleh istri

sebagai hutang suami. Tegasnya tidak ada

nafkah madhiyah untuk anak.

b) Pemeliharaan anak pada dasarnya untuk

kepentingan anak, baik untuk pertumbuhan

jasmani, rohani, kecerdasan intelektual dan

agamanya. Oleh karenanya, ibu lebih layak

dan lebih berhak untuk memelihara anak di

bawah usia 12 tahun.

c) Pemeliharaan anak yang belum berusia 12

tahun dapat dialihkan pada ayahnya, bila ibu

dianggap tidak cakap, mengabaikan atau

mempunyai perilaku buruk yang akan

menghambat pertumbuhan jasmani, rohani,

kecerdasan intelektual dan agama si anak.

d) Pengalihan pemeliharaan anak tersebut

dalam huruf c di atas, harus didasarkan atas

putusan Pengadilan Agama dengan menga•

jukan permohonan pencabutan kekuasaan

orang tua, jika anak tersebut oleh Pengadilan

Agama telah ditetapkan di bawah asuhan

istri.

e) Pencabutan kekuasaan orang tua dapat

diajukan oleh orang tua yang lain, anak,

keluarga dalam garis lurus ke atas, saudara

kandung dan pejabat yang berwenang

(jaksa).

f) Untuk keseragaman, amar putusan permo•

honan pemeliharaan anak berbunyi :

163

164

''Menetapkan anak bemama bin/

binti , umur tahun/tanggal

lahir berada di bawah hadhanah

................... ". g) Dalam hal hadbaoab dimintakan pencabutan

ke Pengadilan Agama, maka amarnya

berbunyi:

(1) Mencabut hak hadhanah dari termohon

(nama. binti )".

(2) Menetapkan anak bernama, bin/

binti berada di bawah hadhanah

pemohon (nama .. bin/ binti

.................... ).

16) Perwalian.

a) Anak yang belum mencapai umur 18 tahun ~·

atau belum pemah melangsungkan

perkawinan yang tidak berada di bawah

kekuasan orang tua berada di bawah

kekuasaan wali yang ditunjuk dengan wasiat

oleh orang tua, sebelum orang tua anak

tersebut meninggal, baik secara tertulis atau

lisan yang disaksikan oleh dua orang saksi

atau wali yang ditunjuk oleh Pengadilan

Agama karena kekuasaan kedua orang tua

dicabut

b) Dalam hal wali melalaikan kewajibannya

terhadap anak, atau berkelakuan buruk sekali

atau tidak cakap, keluarga dalam garis lurus

ke atas, saudara kandung, pejabat/kejaksaan

dapat mengajukan pencabutan kekuasaao

wali secara kontensius kepada Pengadilan

Agama dalam daerah hukum dimana wali

melaksanakan kekuasaan wali.

c) Gugatan pencabutan wali dapat digabung

dengan permohonan penetapan wali peng•

ganti serta gugatan ganti rugi terhadap wali

yang dalam melaksanakan kekuasan wali

menyebabkan kerugian terhadap harta benda

anak di bawah perwalian (ex Pasal 53 ayat

(2) dan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974).

d) Amar putusan pencabutan wali berbunyi :

( 1) Mencabut hak perwalian atas anak

nama bin/binti , umur/

lahir dari Tergugat (nama .

bin/binti.. ).

(2) Menetapkan anak bernama .

bin/ binti.. , umur/lahir di bawah

perwalian (nama bin/

binti.. ).

(3) Menghukum Tergugat untuk membayar

ganti rugi kepada Penggugat sebesar

Rp ( tulis dengan

hurut).

17) Pengangkatan Anak.

a) Pengangkatan anak dalam syariat Islam

dibolehkan bahkan dianjurkan sepanjang

motivasi pengangkatan anak tersebut untuk

kepentingan dan kesejahteraan anak serta

tidak bertentangan dengan hukum Islam.

165

166

b) Permohonan pengangkatan anak oleh Warga

Negara Indonesia (WNI) yang beragama

Islam terhadap anak WNI yang beragama

Islam merupakan kewenangan Pengadilan

Agama. Prosedur permohonan dan pemerik-

saannya harus dipedomani hal-hal sebagai

berikut:

(1) Permohonan pengangkatan anak oleh

WNI yang beragama Islam terhadap

anak WNI yang beragama Islam

diajukan kepada Pengadilan Agama

dalam daerah hukum dimana anak

tersebut bertempat tinggal (berada).

(2) Permohonan pengangkatan anak yang

diajukan oleh WNI yang beragama

Islam terhadap anak WNI yang

beragama Islam bersifat voluntair.

(3) Prosedur permohonan pemeriksaan

pengangkatan anak harus berpedoman

pada surat Edaran Mahkamah Agung

RI Nomor 2 Tahun 1979, Nomor 6

Tahun 1983 dan Nomor 3 Tahun 2005.

(4) Permohonan pengangkatan anak yang

dilakukan oleh WNI yang beragama

Islam terhadap anak WNI yang

beragama Islam dapat dikabulkan

apabila terbukti memenuhi syarat•

syarat yang diatur dalam Pasal 39

Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal

5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

Republik Indonesia, SEMA RI Nomor

2 Tahun 1979, Nomor 6 tahun 1983

clan Nomor 3 Tahun 2005.

(5) Amar penetapan pengangkatan anak

WNI yang beragama Islam oleh WNI

yang beragama Islam berbunyi :

Menetapkan:

''Menyatakan sah pengangkatan anak

yang dilakukan oleh pemohon bernama

......bin/binti , alamat, , terhadap

anak laki-laki/perempuan bemama

............................ bin/binti , umur

..................". (6) Salinan penetapan pengangkatan anak

WNI yang beragama Islam oleh WNI

yang beragama Islam dikirim kepada

Departemen Sosial, Departemen

Kehakiman cq. Dirjen Imigrasi,

Departemen Luar Negeri, Departemen

Kesehatan, Kejaksaan, Kepolisian clan

Panitera Mahkamah Agung RI.

b. Hukum Kewarisan

1) Hukum terapan Peradilan Agama di bidang waris

adalah hukum kewarisan KHI dan yurisprudensi

yang bersumber dari Al-Qur'an, Hadits Nabi dan

ijtihad.

2) Hukum kewarisan KIIl memiliki beberapa asas

sebagai berikut :

167

a) Asas bilateral/parental, yang tidak membeclakan

laki-laki dan perempuan dari segi keahliwarisan,

sehingga tidak mengenal kerabat dzawil arham.

Asas ini didasarkan atas :

(1) Pasal 174 KHI tidak membedakan antara

kakek, nenek dan paman baik dari pihak ayah

atau dari pihak ibu.

(2) Pasal 185 KHI mengatur ahli waris

pengganti, sehingga cucu dari anak

perempuan, anak perempuan dari saudara

laki-laki dan anak perempuan/anak laki-laki

dari saudara perempuan, bibi dari pihak ayah

dan bibi dari pihak ibu serta keturunan dari

bibi adalah ahli waris.

(3) Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik

Indonesia.

b) Asas ahli waris langsung dan asas ahli waris

pengganti.

(1) Ahli waris langsung (eigen hoofde) adalah

ahli waris yang disebut pada Pasal 174

Km.

(2) Ahli waris pengganti (plaatsvervu/ling)

adalah ahli waris yang diatur berdasarkan

Pasal 185 KHI, yaitu ahli waris pengganti/

keturunan dari ahli waris yang disebutkan

pada Pasal 174 Km. Di antaranya keturunan

dari anak laki-laki atau anak perempuan,

keturunan dari saudara laki-laki/perempuan,

keturunan dari paman, keturunan dari kakek

clan nenek, yaitu bibi dan keturunannya

(paman walaupun keturunan kakek dan

168

nenek bukan ahli waris pengganti karena

paman sebagai ahli waris langsung yang

disebut pada Pasal 174 KHI).

c) Asas ijbari, maksudnya pada saat seseorang

meninggal dunia, kerabatnya (atas pertalian

darah dan pertalian perkawinan) langsung

menjadi ahli waris, karena tidak ada hak bagi

kerabat tersebut untuk menolak sebagai ahli

waris atau berfikir lebih dahulu apakah akan

menolak sebagai ahli waris atau menerima

sebagai ahli waris. Asas ini berbeda dengan

ketentuan dalam KUH Perdata yang menganut

asas takhayyuri (pilihan) untuk menolak sebagai

ahli waris atau menerima sebagai ahli waris (ex

Pasal 1023 KUH Perdata).

d) Asas individual, dimana harta warisan dapat

dibagi kepada masing-masing ahli waris sesuai

bagian masing-masing, kecuali dalam hal harta

warisan berupa tanah kurang dari 2 ha (ex Pasal

189 KHI jo Pasal 89 Undang-Undang Nomor

56/Prp/1960 tentang Penetapan Laban tanah

Pertanian), dan dalam hal para ahli waris

bersepakat untuk tidak membagi harta warisan

akan tetapi membentuk usaha bersama yang

masing-masing memiliki saham sesuai dengan

proporsi bagian warisan mereka.

e) Asas keadilan berimbang, dimana perbandingan

bagian laki-laki dengan bagian perempuan 2 : 1,

kecuali dalam keadaan tertentu. Perbedaan

bagian laki-laki dengan perempuan tersebut

adalah karena kewajiban laki-laki dan kewajiban

169

perempuan dalam rumah tangga berbeda. Laki-

laki sebagai kepala rumah tangga mempunyai

kewajiban menafkahi istri clan anak-anaknya,

sedangkan istri sebagai ibu rumah tangga tidak

mempunyai kewajiban menatkahi anggota

keluarganya kecuali terhadap anak bilamana

suami tidak memiliki kemampuan untuk itu.

Mengenai bagian laki-laki dua kali bagian

perempuan dapat disimpangi apabila para ahli

waris sepakat membagi sama rata bagian laki-

laki dan perempuan setelah mereka mengetahui

bagian masing-masing yang sebenarnya menurut

hukum.

f) Asas waris karena kematian, maksudnya ter-

jadinya peralihan hak kebendaan dari seseorang

kepada kerabatnya secara waris mewaris berlaku

setelah orang tersebut meninggal dunia.

g) Asas hubungan darah yakni hubungan darah

akibat perkawinan sah, perkawinan subhat dan

atas pengakuan anak (asas fiqh Islam).

h) Asas wasiat wajibah, maksudnya anak angkat

dan ayah angkat secara timbal balik dapat

melakukan wasiat tentang harta masing-masing,

bila tidak ada wasiat dari anak angkat kepada

ayah angkat atau sebaliknya, maka ayah angkat

dan/atau anak angkat dapat diberi wasiat wajibah

oleh Pengadilan Agama secara ex officio

sebanyak-banyaknya 1/3 bagian (ex Pasal 209

KHI).

i) Asas egaliter, maksudnya kerabat karena

hubungan darah yang memeluk agama selain

170

Islam mendapat wasiat wajibah sebanyak-

banyaknya 1/3 bagian, clan tidak boleh melebihi

bagian ahli waris yang sederajat dengannya

(Yurisprudensi).

j) Asas Retroaktif Terbatas, Kompilasi Hukum

Islam tidak berlaku surut dalam arti apabila harta

warisan telah dibagi secara riil (bukan hanya

pembagian di atas kertas) sebelum Km

diberlakukan, maka keluarga yang mempunyai

hubungan darah karena ahli waris pengganti

tidak dapat mengajukan gugatan waris. Jika harta

warisan belum dibagi secara riil, maka terhadap

kasus waris yang pewarisnya meninggal dunia

sebelum Kompilasi Hukum Islam lahir, dengan

sendirinya Kompilasi Hukum Islam berlaku

surut.

3) Hibah clan wasiat kepada ahli waris diperhi-tungkan

sebagai warisan (ex Pasal 210 KHI).

4) Kompilasi Hukum Islam mengelompokkan ahli

waris dari segi cara pembagiannya dalam dua

kelompok sebagai berikut :

a) Kelompok ahli waris dzawil furud, yaitu :

(1) Ayah mendapat 1/6 bagian bila pewaris

meninggalkan anak keturunan, mendapat 1/3

bagian bila pewaris tidak meninggalkan

anak/keturunan (ex Pasal 177 KHI jo

SEMARI Nomor 2 Tahun 1994).

(2) Ibu mendapat 1/6 bagian bila pewaris

mempunyai anak/keturunan, atau pewaris

mempunyai dua orang atau lebih saudara

(sekandung, seayah, seibu) mendapat 1/3 jika

171

pewaris tidak meninggalkan anak/ keturunan

atau pewaris meninggalkan satu orang

saudara (sekandung, seayah, seibu).

(3) Duda mendapat Y4 bagian bila pewaris

meninggalkan anak/ keturunan, mendapat 1 /2

bila pewaris tidak meninggalkan anak/

keturunan.

(4) Janda mendapat 1 /8 bagian bila pewaris

meninggalkan anak/keturunan, mendapat 1/4

bila pewaris tidak meninggalkan anak/

keturunan.

(6) Seorang anak perempuan mendapat 1/2

bagian, dua orang atau lebih anak perempuan

mendapat 2/3 bagian, bila tidak ada anak

laki-laki atau keturunan dari anak laki-laki.

(7) Seorang saudara perempuan atau laki-laki

(baik sekandung, seayah dan seibu)

mendapat 1/6 bagian, apabila terdapat dua

orang atau lebih saudara (sekandung, seayah

dan seibu) mendapat 1/3 bagian, jika saudara

(sekandung, seayah dan seibu) mewaris

bersama ibu pewaris (yurisprudensi).

(8) Seorang saudara perempuan (sekandung,

seayah dan seibu) mendapat 1 /2 bagian, dua

orang atau lebih saudara perempuan

sekandung atau seayah mendapat 2/3 bagian,

jika saudara perempuan tersebut mewaris

tidak bersama ayah dan tidak ada saudara

laki-laki atau keturunan laki-laki dari saudara

laki-laki.

172

b) Kelompok ahli waris yang tidak ditentukan

bagiannya

(1) Anak laki-laki dan keturunannya.

(2) Anak perempuan dan keturunannya bila

mewaris bersama anak laki-laki.

(3) Saudara laki-laki bersama saudara perem•

puan bila pewaris tidak meninggalkan

keturunan dan ayah.

(4) Kakek dan nenek.

(5) Paman clan bibi baik dari pihak ayah maupun

dari pihak ibu dan keturunannya.

c) Kelompok ahli waris yang mendapat bagian

sebagai ahli waris pengganti

(I) Keturunan dari anak mewarisi bagian yang

digantikannya.

(2) Keturunan dari saudara laki-laki/perempuan

(sekandung, seayah dan seibu) mewarisi

bagian yang digantikannya.

(3) Kakek dan nenek dari pihak ayah mewarisi

bagian dari ayah, masing-masing berbagi

sama.

(4) Kakek dan nenek dari pihak ibu mewarisi

bagian dari ibu, masing-masing berbagi

sama,

(5) Paman clan bibi dari pihak ayah beserta

keturunannya mewarisi bagian dari ayah

apabila tidak ada kakek dan nenek pihak

ayah.

(6) Paman clan bibi dari pihak ibu beserta

keturunannya mewarisi bagian dari ibu

apabila tidak ada kakek dan nenek pihak ibu.

173

3) Prinsip-prinsip Hijab Mahjub menurut KHI dan

yurisprudensi

a) Anak laki-laki maupun perempuan serta

keturunannya menghijab saudara (sekandung,

seayah, seibu) dan keturunannya.

b) Ayah menghijab saudara dan keturunannya

kakek dan nenek yang melahirkannya beserta

paman/bibi pihak ayah dan keturunannya.

c) lbu menghijab kakek dan nenek yang

melahirkannya beserta paman/bibi pihak ibu clan

keturunannya.

d) Saudara (sekandung, seayah, seibu) dan

keturunannya menghijab paman dan bibi pihak

ayah dan ibu serta keturunannya.

4) Kompilasi Hukum Islam membedakan saudara seibu

dari saudara seayah dan sekandung (ex Pasal 181

clan 182 KIIl), dalam perkembangannya yurispru•

densi MARI menyamakan kedudukan saudara seibu

dengan saudara sekandung dengan saudara seayah,

mereka mendapat ashabah secara bersama-sama

dengan ketentuan saudara laki-laki mendapat dua

kali bagian saudara perempuan.

5) Berdasarkan prinsip dan asas kewarisan tersebut di

atas, derajat kelompok ahli waris memiliki tingkatan

sebagai berikut :

a) Kelompok derajat pertama : janda/duda, anak

dan/atau keturunannya, ayah dan ibu.

b) Kelompok derajat kedua : janda/duda, anak

dan/atau keturunannya, kakek dan nenek baik

dari pihak ayah maupun dari ibu.

174

c) Kelompok derajat keempat : janda/duda, saudara

(sekandung, seayah, seibu) dan/atau keturunan•

nya, kakek dan nenek dari pihak ayah dan pihak

ibu.

d) Kelompok derajat kelima : janda/duda, paman/

bibi dan/atau keturunannya.

6) Untuk memudahkan pemahaman bagi para pihak,

amar putusan mengenai pembagian waris sebaiknya

berbentuk prosentase.

7) Untuk memudahkan perhitungan pembagian

waris dapat mempedomani prinsip-prinsip sebagai

berikut:

a) Mendahulukan ahli waris sesuai kelompok dera•

jatnya yang dirumuskan dalam angka 4) di atas.

b) Menerapkan prinsip hijab mahjub tersebut dalam

angka 2) di atas.

c) Perbandingan bagian anak laki-laki dengan anak

perempuan, bagian saudara laki-laki dengan

saudara perempuan, bagian paman berbanding

bagian bibi adalah 2 : 1.

d) Ahli waris pengganti mewarisi bagian yang

digantikannya dengan ketentuan tidak melebihi

bagian ahli waris yang sederajat dengan ahli

waris yang diganti. Bila ahli waris pengganti

terdiri dari laki-laki dan perempuan, laki-laki

mendapat bagian dua kali bagian perempuan.

e) Bagian ahli waris dzawil furud dibagi terlebih

dahulu dari ahli waris ashabah.

f) Sisa pembagian dari ahli waris dz.awil furud

untuk ahli waris ashabah, dengan ketentuan

bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.

175

g) Jika ahli waris terdiri dari dz.awil furud clan

jumlah bagian ahli waris melebihi nilai 1 (satu),

maka dilakukan aul.

h) Jika ahli waris terdiri dari dzawil furud dan

jumlah bagian ahli waris kurang dari nilai 1

(satu), maka dilakukan rad. Rad tidak berlaku

untuk janda clan duda.

8) Contoh-contoh bagian waris sesuai derajat kelompok

ahli waris

a) Ahli waris terdiri dari duda, anak dan/atau

keturunannya, ayah dan ibu. Duda memperoleh Y4,

ayah 1/6, ibu 1/6, anak dan/atau keturunannya

memperoleh sisa.

b) Ahli waris terdiri dari janda, anak dan/atau

keturunannya, ayah clan ibu. Janda memperoleh

1/8, ayah 1/6, ibu 1/6, anak dan/atau

keturunannya memperoleh sisa.

c) Ahli waris terdiri dari duda, ayah dan ibu. Duda

memperoleh ~, ayah 1/3, ibu 1/3, karena bagian

waris lebih dari nilai 1 (satu), maka dilakukan

aul.

d) Ahli waris terdiri dari janda, ayah dan ibu. Janda

memperoleh Y4, ayah 1/3, ibu 1/3, sisanya di rad

kepada ayah dan ibu berbagi sama.

e) Ahli waris terdiri dari janda/duda, ibu dan

seorang saudara laki-laki/perempuan (sekan•

dung, seayah atau seibu). Janda memperoleh Y..

atau jika duda ia memperoleh Yi , ibu 1/3 dan

seorang saudara laki-laki/perempuan (sekan•

dung, seayah atau seibu) memperoleh 1/6 bagian.

Jika jumlah bagian lebih dari nilai 1 (satu), maka

176

hams dilakukan aul dan jika jumlah bagian

kurang dari satu, maka harus dilakukan rad. f) Ahli waris terdiri dari janda/duda, ibu dan dua

orang atau lebih saudara laki-laki/perempuan

(sekandung, seayah atau seibu). Janda memper•

oleh Y.i atau jika duda ia memperoleh Y2 , ibu 1/6

dan dua orang atau lebih saudara perempuan

(sekandung, seayah atau seibu) memperoleh 1/3

bagian. Jika jumlah bagian lebih dari nilai 1

(satu), maka harus dilakukan aul, jika jumlah

bagian lebih kecil dari satu dilakukan rad.

g) Ahli waris terdiri dari janda/duda, kakek dan

nenek pihak ayah, kakek dan nenek pihak ibu,

seorang saudara laki-laki/perempuan (sekan-

dung, seayah atau seibu). Janda memperoleh Y4

atau jika duda ia memperoleh ~, kakek dan

nenek pihak ayah memperoleh 1/3 berbagi sama,

kakek clan nenek pihak ibu memperoleh 1/3

berbagi sama, seorang saudara laki-laki/

perempuan (sekandung, seayah atau seibu)

memperoleh 1/6. Jika jumlah bagian lebih dari 1

(satu) dilakukan aul untuk kakek dan nenek

pihak ayah dan ibu serta saudara. Jika jumlah

bagian kurang dari nilai satu dilakukan rad.

h) Ahli waris terdiri dari janda/duda, kakek dan

nenek dari pihak ayah dan ibu serta dua orang

atau lebih saudara laki-laki/perempuan (sekan-

dung, seayah atau seibu). Janda memperoleh Y.i

atau jika duda ia memperoleh 1/2 kakek dan

nenek pihak ayah masing-masing memperoleh

1/6 berbagi sama, kakek dan nenek pihak ibu

177

memperoleh 1/6 berbagi sama, dua orang atau

lebih saudara laki-laki/perempuan (sekandung,

seayah atau seibu) memperoleh 1/3 bagian. Jika

jumlah nilai bagian kurang dari nilai 1 (satu),

maka dilakukan rad untuk kakek dan nenek

pihak ayah dan ibu serta dua orang atau lebih

saudara laki-laki/perempuan (sekandung, seayah

atau seibu). Jika jumlah bagian melebihi nilai 1

(satu), maka dilakukan aul.

i) Ahli waris terdiri dari janda/duda, paman/bibi

pihak ayah dan ibu dan/atau keturunannya.

Janda/duda memperoleh Y4 atau jia duda ia

memperoleh ~' paman/bibi dari pihak ayah

dan/atau keturunannya memperoleh bagian ayah

(1/3 bagian), paman/bibi dari pihak ibu dan/atau

keturunannya memperoleh bagian ibu (1/3

bagian). Jika jumlah bagian kurang dari nilai 1

(satu), maka dilakukan rad untuk paman/bibi dari

pihak ayah dan ibu dan/atau keturunannya. Jika

jumlah bagian lebih dari nilai 1 (satu), maka

dilakukan aul.

9) Pembagian harta warisan yang ahli warisnya sudah

bertingkat-tingkat akibat berlarut-larutnya harta

warisan tidak dibagi, hams dilakukan pembagian

secara jelas ahli waris dan harta warisannya dalam

setiap tingkatan.

Contoh:

A (suami) dan B (istri) memiliki anak C, D (laki•

laki) dan E (perempuan). A meninggal dunia tahun

1955. B meninggal dunia tahun 1960. D meninggal

dunia tahun 1975 dengan meninggalkan 3 orang

178

anak. F, G dan H. Pembagian warisnya : Ahli waris

A adalah B, C, D dan E. Ahli waris B adalah C, D clan

E. Ahli waris D adalah F, G (laki-laki) dan H

(perempuan). Maka amar putusannya harus berbunyi

sebagai berikut :

1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya/

sebagian.

2. Menetapkan ahli waris A adalah B, C, D dan E.

3. Menetapkan harta warisan A adalah X

4. Menetapkan bagian masing-masing ahli waris A

adalah sebagai berikut :

4.1. B memperoleh 1/8 x X.

4.2. C memperoleh 7/8 x X.

4.3. D memperoleh 7/8 x X.

4.4. E memperoleh 7/8 x X.

5. Menetapkan ahli waris B adalah C, D dan E.

6. Menetapkan harta warisan B adalah Y.

7. Menetapkan bagian ahli waris B adalah sebagai

berikut:

7.1. C memperoleh 2/5 x Y.

7.2. D memperoleh 2/5 x Y.

7.3. E memperoleh 1/5 x Y.

8. Menetapkan ahli waris D adalah F, G dan H.

9. Menetapkan harta warisan D adalah N

I 0. Menetapkan bagian ahli waris D adalah sebagai

berikut:

IO.I. F memperoleh 2/5 x N.

10.2. G memperoleh 2/5 x N.

10.3. H memperoleh 1/5 x N.

11. Memerintahkan Tergugat dst.

179

c. Wasiat dan Hibah.

1) Wasiat dan hibah merupakah perbuatan hukum

seseorang untuk mengalihkan harta benda miliknya

kepada orang lain atas dasar tabarru (berbuat baik).

Wasiat dan hibah termasuk bentuk perikatan, dalam

pelaksanaannya bisa terjadi tidak memenuhi syarat-

syarat perikatan, atau perikatan tersebut melangga -

undang-undang.

2) Lembaga-lembaga adat yang bentuknya memin-

dahkan hak dari pemilik harta kepada pihak anaknya

atau pihak lain tetap berlaku dan tidak tunduk

kepada ketentuan hukum wasiat dan hibah (Pasal

229 Kompilasi Hukum Islam).

3) Dalam hal terjadi sengketa wasiat dan hibah, baik

disebabkan oleh karena wasiat dan hibah tersebut

tidak memenuhi syarat suatu perikatan atau melang•

gar undang-undang, maka Pengadilan Agama daprt

mempedomani beberapa petunjuk. sebagaimana

diuraikan di bawah ini :

a) Gugatan pembatalan maupun pengesahan hibah

dan wasiat diajukan kepada Pengadilan Agama

dalam daerah dimana pihak Tergugat atau salah

satu Tergugat bertempat tinggal (untuk wilayah

Jawa dan Madura}, dan kepada Pengadilan

Agama dalam daerah dimana objek sengketa

benda tetap berada atau di tempat Tergugat, bila

objek sengketa berupa benda bergerak (untuk

wilayah luar Jawa dan Madura).

b) Gugatan pembatalan hibah dan wasiat maupun

pengesahan hibah dan wasiat harus berbentuk

kontensius.

180

c) Ahli waris atau pihak yang berkepentingan dapat

mengajukan gugatan pembatalan bibah dan

wasiat, bila bibah melebibi 1/3 harta benda

pemberi wasiat atau pemberi bibah.

d. Wakaf.

1) Wakaf dalam masyarakat Islam merupakan pranata

keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat

ekonomi, kepentingan ibadah dan kesejahteraan

umum. Lembaga wakaf telah lama hidup dan

dilaksanakan di tengah kehidupan masyarakat.

2) Wakaf terdiri dari wakaf benda tidak bergerak (yang

diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 41

Tahun 2004 tentang Wakaf jo Peraturan Pemerintah

No. 28 Tahun 1977) dan wakaf benda bergerak

(wakaf tunai) berupa uang, logam mulia, surat

berharga, kendaraan bermotor dan hak-hak keben-

daan lainnya sesuai dengan ketentuan syari' ah dalam

perundang-undangan yang berlaku (Pasal 16 dan 28

Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang

Wakaf).

3) Benda-benda wakaf sering dijumpai tidak terurus,

pemanfaatannya tidak sesuai dengan tujuan dan

peruntukan bahkan tidak jarang benda wakaf

dialihkan kepada pihak lain oleh pengurus wakaf

(nadzir) tanpa prosedur hukum, dan bahkan dikuasai

oleh pihak lain secara melawan hukum untuk

kepentingan pribadi atau golongan. Peristiwa-

peristiwa penyelewengan hukum atas benda wakaf

itu tidak terlepas dari lemahnya perangkat hukum

yang ada sebelum diundangkannya Undang-Undang

181

Nomor 41 Tahun 2004, bahkan tidak kalah pen-

tingnya adalah akibat subjek hukumnya yang tidak

bertanggung jawab.

4) Sengketa mengenai wakaf bisa terjadi dalam

berbagai bentuk antara para pihak sebagai berikut :

a) Antara ahli waris wakif atau orang yang

berkepentingan dengan nadzir yang mengelola

harta wakaf, dalam sengketa mengenai sah

tidaknya wakaf.

b) Antara si wakif dengan nadzir dalam sengketa

pengelolaan harta wakaf, dimana nadzir

melakukan penyimpangan hukum, baik dari segi

peruntukannya atau karena pengalihan harta

wakaf kepada pihak lain.

c) Antara nadzir dan wakif atau keluarga wakif

dalam hal wakif/keluarga wakif yang menguasai

kembali harta wakaf.

d) Antara masyarakat dengan nadzir, karena nadzir

dalam pengelolaan harta wakaf melakukan

penyimpangan hukum, baik dari segi peruntukan

atau pengalihan harta wakaf kepada pihak lain.

e) Antara para nadzir karena sengketa kewenangan

nadzir, mengenai siapa yang berhak mengelola

harta wakaf.

f) Antara nadzir dengan Badan Wakaf Indonesia,

dalam hal sengketa sah tidaknya surat keputusan

Badan Wakaf Indonesia tentang penggantian

nadzir.

g) Antara nadzir dengan pengawas wakaf.

182

h) Gugatan sengketa wakaf tersebut dalam huruf d)

dapat cliajukan oleh perorangan atau oleh

kelompok (class action).

5) Pengadilan Agama dalam memeriksa sengketa wakaf

harus berupaya seteliti mungkin memetakan fakta-fakta

peristiwa maupun fakta-fakta hukum secara kronologis

clan dalam pembuktian tidak hanya sekedar menilai

bukti fonnil, akan tetapi berupaya untuk menemukan

bukti kebenaran materil, agar kepentingan umum tidak

clirugikan oleh kepentingan perseorangan atau kelompok

tertentu.

e. Ekonomi Syariah.

1) Yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah

perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan

menurut prinsip syariah.

2) Prinsip dasar syariah yang membedakan ekonomi

syariah dari ekonomi konvensional adalah ridha

(kebebasan berkontrak), ta'awun, bebas riba, bebas

gharar, bebas Tadlis, bebas maisir, objek yang halal dan

amanah.

3) Ekonomi syariah antara lain meliputi Bank syariah,

lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah,

reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah

dan surat berharga berjangka menengah syariah,

sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian

syariah, dana pensiun lembaga syariah dan bisnis

syariah.

4) Sengketa ekonomi syari'ah bisa terjadi antara:

a) Para pihak yang bertransaksi mengenai gugatan

wanprestasi, gugatan pembatalan transaksi.

183

b) Pihak ketiga dengan para pihak yang bertran-

saksi mengenai pembatalan transaksi, pembatalan

akta hak tanggungan, perlawanan sita jaminan

dan/atau sita eksekusi serta pembatalan lelang.

5) Pengadilan Agama dalam memeriksa sengketa ekonomi

syari'ah harus meneliti alcta akad (transaksi) yang dibuat

oleh para pihak, jika dalam alcta akad (transaksi)

tersebut memuat klausul yang berisi bahwa bila terjadi

sengketa akan memilih diselesaikan oleh Badan

Arbitrase Syari'ah Nasional (Basyamas), maka

Pengadilan Agama secara ex officio harus menyatakan

tidak berwenang.

f. Zakat, Infaq dan Shadaqah.

1) Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang

muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim

sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada

yang berhak menerimanya.

2) Infaq dan shadaqah adalah pemberian harta dari

seseorang yang beragama Islam, badan hukum atau

lembaga sosial Islam kepada mustahik guna kepentingan

tertentu dengan mengharapkan ridha Allah.

3) Sengketa zakat, infaq dan shadaqah dimungkinkan

antara lain :

a) Orang-orang yang berzakat, berinfaq dan bersha•

daqah dengan Badan Amil Zakat.

b) Pejabat yang berwenang mengawasi Zakat Infak dan

Shadaqah dengan Badan Amil Zakat.

c) Mustahik dengan Badan Amil Zakat.

d) Pihak-pihak yang berkepentingan dengan Badan

184

185

Amil Zakat dalam hal diketahui adanya

penyalahgunaan harta Zakat Infak dan Sbadaqah

oleh Badan Amil Zakat. Dalam kasus terakhir ini

dimungkinkan adanya class action.

g. Sengketa Kewenangan Mengadili.

1) Sengketa kewenangan mengadili antara Peradilan

Agama dengan Peradilan lainnya dimungkinkan terjadi,

bila salah satu pihak mengajukan gugatan kepada

Pengadilan Agama dan pihak lainnya mengajukan ke

pengadilan di luar lingkungan Peradilan Agama,

2) Pengadilan Agama, dalam hal terjadi sengketa

kewenangan mengadili dengan lingkungan pengadilan

lainnya, harus menghentikan pemeriksaan perkara yang

bersangkutan, untuk melakukan upaya penyelesaian

sengketa kewenangan mengadili kepada Mahkamah

Agung.

3) Pengadilan Agama selanjutnya melakukan pemberita•

huan kepada lingkungan peradilan lain yang terkait

persentuhan kewenangan mengadili, bahwa dalam kasus

yang ditanganinya terjadi sengketa kewenangan.

4) Proses pengajuan permohonan sengketa kewenangan

mengadili dapat dilakukan oleh pihak berperkara atau

oleh Pengadilan Agama

5) Proses pengajuan pennohonan sengketa kewenangan

mengadili yang diajukan oleh pihak berperkara harus

memenuhi syarat sebagai berikut:

a) Pemohon membayar biaya perkara sengketa

kewenangan mengadili sejumlah biaya perkara

kasasi yang berlaku dan dikirim melalui rekening

biaya perkara Mahkamah Agung.

b) Pengadilan Agama membuat akta permohonan

sengketa kewenangan mengadili dan mendaftar•

kannya dalam register pennohonan sengketa

kewenangan mengadili.

c) Pemohon harus membuat alasan pennohonan

sengketa kewenangan mengadili dalam jangka

waktu 14 hari sejak tanggal pembuatan akta

permohonan sengketa kewenangan.

d) Pengadilan Agama menghentikan pemeriksaan per•

kara tersebut dengan putusan sela setelah menerima

pennohonan sengketa kewenangan mengadili dari

pihak berperkara,

e) Pengadilan Agama menyampaikan pemberitahuan

kepada badan peradilan lain yang terkait tentang

adanya sengketa kewenangan mengadili dalam

perkara tersebut.

f) Pengadilan Agama mengirimkan berkas perkara

sengketa kewenangan mengadili ke Mahkamah

Agung yang terdiri dari :

Akta pennohonan sengketa kewenangan menga•

dili dan alasan-alasannya.

Surat pemberitahuan akta pennohonan sengketa

kewenangan mengadili clan alasannya kepada

badan peradilan lainnya yang terkait.

Berkas perkara (Bundel A) Pengadilan Agama.

Bukti pengiriman biaya perkara sengketa

kewenangan mengadili.

g) Pihak lawan berhak mengajukan jawaban disertai

pendapat dan alasan-alasannya dalam tenggang

waktu 30 (tiga puluh) hari setelah menerima salinan

186

permohonan sengketa kewenangan mengadili

melalui Pengadilan Agama.

h) Pengadilan Agama mengirimkan jawaban serta

alasan-alasan pennohonan sengketa kewenangan

mengadili ke Mahkamah Agung

6) Jika pennohonan sengketa kewenangan mengadili

diajukan oleh Pengadilan Agama, maka Pengadilan

Agama harus melakukan hal-hal sebagai berikut :

a) Membuat akta pennohonan sengketa kewenangan

mengadili disertai alasan-alasannya, selanjutnya

mengirimkan salinan akta permohonan tersebut

kepada lingkungan pengadilan lain yang terkait

sebagai pemberitahuan.

b) Mengirimkan berkas perkara permohonan sengketa

kewenangan mengadili kepada Mahkamah Agung,

berisikan:

- Akta clan alasan pennohonan sengketa kewe-

nangan mengadili.

Surat pemberitahuan adanya sengketa kewe-

nangan mengadili dan alasannya kepada badan

peradilan lainnya yang terkait.

- Berkas perkara (bundel A) Pengadilan Agama.

- Tanpa biaya perkara.

h. ltsbat Rukyat Hilal.

1) Pemohon (Kantor Departemen Agama) mengajukan

permohonan itsbat kesaksian rukyat hilal kepada

Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat pelaksa-

naan rukyat hilal.

2) Panitera atau petugas yang ditunjuk mencatat permo-

honan tersebut dalam register khusus untuk itu.

187

3) Sidang itsbat rukyat hilal dilaksanakan ditempat rukyat

hilal (sidang ditempat), dilakukan dengan cepat dan

sederhana, sesuai dengan kondisi setempat.

4) Ketua Pengadilan menunjuk hakim majelis atau hakim

tunggal untuk menyidangkan permohonan tersebut.

(Sesuai Penetapan MARI Nomor : K.MA/095/X/2006).

5) Hakim yang bertugas hams menyaksikan kegiatan

pelaksanaan rukyat hilal.

6) Pelaksanaan rukyat hilal harus sesuai dengan data yang

diterbitkan oleh Badan Hisab rukyat (BHR) Departemen

AgamaRI.

7) Setelah hakim memeriksa orang yang melihat hilal dan

berpendapat bahwa kesaksiannya memenuhi syarat,

maka hakim tersebut memerintahkan orang tersebut

untuk mengucapkan sumpah dengan lafaz sebagai

berikut:

"Asyhadu an laa ilaaha illa Allah wa asyhadu anna

Muhammadar Rasulullah, demi Allah saya bersumpah

bahwa saya telah melihat hilal awal bulan tahun ini".

Selanjutnya hakim menetapkan/mengitsbatkan kesaksi•

an rukyat hilal tersebut.

8) Semua biaya yang timbul akibat permohonan tersebut

dibebankan kepada anggaran negara/DIP A.

9) Penetapan/itsbat kesaksian rukyat hilal tersebut diserah•

kan kepada penanggung jawab rukyat hilal (Kantor

Departemen Agama setempat).

10) Demi kelancaran kegiatan tersebut Pengadilan Agama

agar berkoordinasi dengan Kantor Departemen Agama

setempat dan panitera atau petugas yang ditunjuk agar

mempersiapkan semua yang diperlukan dalam penye-

188

lenggaraan persidangan seperti formulir permohonan,

berita acara, penetapan, al-Qur' an clan keperluan lainnya

yang terkait dengan kegiatan tersebut.

189

Lampiran :1

BERIT A ACARA TENT ANG PERNYATAAN KESEDIAAN UNTUK

MEMBAY AR ( Pasal 1405 KUHPerdata )

BERITA ACARA

No. . . . . /Pdt.P/2007IPA.....

Pada hari ini, tanggal atas permintaan dari

.................... , bertempat tinggal di , saya ,

Jurusita Pengadilan Agama dengan disertai 2 ( dua ) orang

saksi yaitu : I). . . . . . . . . . . . . . . . .. dan 2). . , keduanya

bertempat tinggal di , berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan

Agama . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. No. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . tanggal . . . . . . . . . . . . , telah

melakukan exploit ( penawaran pembayaran ) kepada B, bertempat tinggal di

...... ./ di tempat kediamannya, di sana saya bertemu dengan ia sendiri,

hendak menawarkan I menyerahkan uang sejumlah Rp .

yang terdiri dari uang kertas Rp. . , uang

kertas Rp (dst.).

Atas hal tersebut B menjawab sebagai berikut :

.............................................................................................

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Oleh karena B menolak untuk menerima uang sebanyak Rp .

yang hendak diserahkan tersebut, maka saya, Jurusita tersebut, di hadapan

saksi-saksi telah membuat berita acara ini, yang saya dan saksi-saksi

tandatangani, baik asli maupun salinannya.

Saya telah memperingatkan pula segala segala akibat dari penolakan

pembayaran tersebut kepada 8, begitu pula mengenai biaya eksploit ini.

Salinan berita acara ini telah saya serahkan kepada B.

190

191

Demikianlah dibuat berita acara ini yang ditandatangani oleh saya,

Jurusita dan saksi-saksi tersebut serta berpiutang B.

Berpiutang, Jurusita tersebut,

•··············•·······••

Saksi-saksi,

1………………

2………………

.

Lampiran :2

DERITA ACARA PEMBERITAHUAN AKAN DILAKUKAN

PENYIMPANAN I KONSIGNASI DI KAS KEPANITERAAN

BERITA ACARA

No .... /Pdt.P/2007IPA.....

Pada hari ini, tanggal atas permintaan A, bertempat

tinggal di , saya X, Jurusita Pengadilan Agama .

telah melakukan eksploit ( penawaran pembayaran ) kepada B, bertempat

tinggal di .I di tempat kediamannya dan berbicara dengan B

sendiri serta memberitahukan bahwa oleh karena B menurut berita acara

tanggal ( Formulir I ) telah menolak untuk menerima dari

saya X, Jurusita, di hadapan saksi-saksi tersebut, uang sejumlah Rp.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . yang hendak diserahkan atas nama A tersebut untuk melunasi

piutang yang disebutkan dalam berita acara tersebut .

A tersebut hendak menitipkan uang sejumlah Rp pada hari

. . . . . . . . . . . . .. tanggal.. jam . . . . . . . . . . . . . ke kas Kepan iteraan Pengadilan

Agama . . . . . . . . . . . . .. untuk disimpan dalam kas penyimpanan sebagai uang

konsignasi.

Selanjutnya saya memerintahkan kepada B tersebut untuk datang menghadap

pada hari, tanggal, jam dan tempat tersebut diatas untuk menerima uang itu

ataupun untuk menghadiri penyimpanan I konsignasi uang tersebut.

Salinan berita acara ini telah saya serahkan kepada B tersebut.

192

193

Demikianlah dibuat berita acara ini yang ditandatangani oleh saya,

Jurusita dan saksi-saksi tersebut serta berpiutang B.

Berpiutang, Jurusita,

.........................

Saksi-saksi :

I .

2 .

Lampiran :3

DERITA ACARA PENYIMPANAN I KONSIGNASI

BERITA - ACARA

No /Pdt.P/ 2007 I PA .

Pada hari ini.. tanggal.. jam Atas pennintaan dar

A, bertempat tinggal di , saya X, Jurusita Pengadilan

Agama............ bersama-sama dengan 2 (dua) orang saksi yaitu : 1 ).

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Dan 2). . , keduanya bertempat tinggal

di Telah menghadap Panitera Pengadilan Agama

Telah hadir pula B (kalau hadir) , bertempat tinggal di

. . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . Kepada Panitera Pengadilan Agama , atas

pennintaan A tersebut untuk melunasi utangnya kepada B, telah saya

serahkan uang sejumlah Rp , yang terdiri dari :

uang kertas pecahan Rp sebanyak ( ) lembar,

uang kertas pecahan Rp sebanyak ( ) lembar,

yang telah ditolak lagi oleh B.

Uang sejumlah Rp. . ( ), saya X Jurusita

serahkan kepada Panitera Pengadilan Agama untuk

disimpan sebagai uang titipan I konsignasi .

Demikian dibuat berita acara konsignasi ini dengan disaksikan oleh

saksi-saksi tersebut serta ditanda-tangani baik asli maupun salinannya, oleh

194

195

Jurusita, Panitera Pengadilan Agama dan salinan berita acara ini

telah diserahkan kepada B.

Panitera, Jurusita,

································

Saksi-saksi :

I .

2 .