39
BAB I LAPORAN KASUS Identitas pasien Nama : Ny. Nurul Qomariah Umur : 41 tahun Alamat : manuruwi – Bangil – Pasuruan Status : Menikah Agama : Islam Suku : Jawa Pekerjaan : Pedagang Tgl MRS : 15 juni 2013 Men.Reg : 15-25-71 Subyektif Keluhan utama: Kejang Riwayat penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluhan kejang sejak sekitar 10 jam SMRS. Kejang terjadi sebanyak 3x kali, durasi tiap kali kejang kurang dari 5 menit, berhenti lalu kambuh 1

3 Lapsus Epilepsi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 3 Lapsus Epilepsi

BAB I

LAPORAN KASUS

Identitas pasien

Nama : Ny. Nurul Qomariah

Umur : 41 tahun

Alamat : manuruwi – Bangil – Pasuruan

Status : Menikah

Agama : Islam

Suku : Jawa

Pekerjaan : Pedagang

Tgl MRS : 15 juni 2013

Men.Reg : 15-25-71

Subyektif

Keluhan utama: Kejang

Riwayat penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan kejang sejak sekitar 10 jam SMRS. Kejang terjadi

sebanyak 3x kali, durasi tiap kali kejang kurang dari 5 menit, berhenti lalu

kambuh lagi. Pada saat kejang pasien tidak sadarkan diri. Saat kejang berhenti

pasien masih dalam keadaan tidak sadar karena masih dalam kondisi tertidur, pada

pagi harinya pasien mengeluh kelelahan pada otot-otot dan kepala terasa pusing.

Pasien kemudian dibawah ke klinik swasta, dan kemudian di rujuk ke IGD RSUD

bangil.

1

Page 2: 3 Lapsus Epilepsi

Pasien mengaku sudah sering mengalami kejang sejak sekitar 2 tahun terakhir.

Biasanya kejang lebih sering kambuh saat pasien tertidur, tetapi kadang juga saat

paisen sadar.

Biasanya kejang kambuh saat pasien dalam kondisi kelelahan atau stres

memikirkan masalah tertentu. Kalau kambuh, kejang bisa sampai dua kali dalam

sehari.

Pasien tidak mengalami panas/demam. Pasien juga tidang sedang sakit gigi atau

mengalami infeksi telinga. Pasien tidak mengalai mual atau muntah. Pasien

sedang tidak menderita batuk.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien memiliki riwayat kejang mulai sekitar 2 tahun terakhir, sempat menjalani

pengobatan sejak 1,5 tahun terakhi, tapi berhenti berobat sekitar 1 tahun terakhir

dengan alasan susah mencari obatnya (Clobazam).

Riwayat Hipertensi (+), DM (-)

Riwayat penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita sakit seperti pasien.

Riwayat pekerjaan

Pasien bekerja sebagai penjual makanan ringan di rumah

Riwayat sosial

Pasien mengaku jarang keluar rumah dan berbicara dengan para tetangga, lebih

banyak mengurung diri di dalam rumah, kecuali kalu ada pelanggan yang mau

membeli barang dagangan pasien.

2

Page 3: 3 Lapsus Epilepsi

Obyektif

Keadaan Umum : tampak lemas

GCS : 456

Kesadaran : Compos Mentis

Tensi : 160/80 mmHg

Nadi : 80x/mnt

Suhu : 37 C

RR : 22x/mnt

Kepala/Leher

Anemis (-), Icterus (-), cyanosis (-), Dyspnue (-)

Peningkatan JVP (-)

Pembesaran KGB (-)

Thorax

Pulmo :

I: dinding dada simetris, deviasi trachea (-), vosa jungularis (-), retraksi (-),

kontraksi otot bantu pernapasan (-).

P: fremitus vocal simetris, fremitus raba simetris

P: dada kanan sonor, dada kiri sonor

A: suara napas vesikuler di seluruh lapangan paru, Ronkhi -/-, Whezing -/-

3

Page 4: 3 Lapsus Epilepsi

Cor :

I: ictus cordis tidak tampak

P: ictus Cordis teraba di spase intercostalis 5 midclavicula line sinistra

P: RHM terletak ICS 5 parasternal Sinistra, LHM di ICS 5 MCL Sinistra

A: S1S2 tunggal, M(-), G(-)

Abdomen

I: flat, soufel, jejas (-)

P: nyeri tekan (-), H/L tidak teraba, pembesaran hepar (-)

P: thympani, nyeri ketuk (-)

A: BU (+) normal,

Extremitas

Odema:

-- --

-- --

Status Neurologis

Kaku kuduk (-)

Pupil : 2mm/2mm

Reflex Cahaya : +/ +

Reflex kornea : +/ +

Pemeriksaan motorik :

4

5 5

5 5

Page 5: 3 Lapsus Epilepsi

Reflek fisiologis :

◦ Reflek bisep : 2/2

◦ Reflek bisep : 2/2

◦ Reflek patella : 2/2

◦ Reflek achiles : 2/2

Reflek patologis :

◦ Babinski : (-/-)

◦ Chaddock (-/-)

◦ Hofman : (-/-)

◦ Tromer : (-/-)

Assasment

Diagnosis klinis:

Akut serial konvulsi

Akut general weaknes

Akut dizziness

Diagnosis topis: subcorteks

Diagnosis etiologis: Observasi Konvulsi

Diagnosis sekunder: Hipertensi st.II

Planning

Planing diagnosa:

Lab : DL, SE, GDA, BUN/SK, SGOT/SGPT

Foto thorax

EKG

Planning Terapi:

Inf. RL 2 fls/hari

Inj. Na Phenitoin 2 amp, diencerkan dalam 20ccNS bolus IV elan

Dilanjutkan Na Phenitoin 3x1 amp diencerkan dalam 10cc NS Iv pelan

Inj. Diazepam 1 amp bila kejang, encerkan 10 cc NS bolus IV pelan

Inj. Antrain 2x1 amp

Inj. Cicholin 2x500mg

5

Page 6: 3 Lapsus Epilepsi

Inj. Ranitidin 2x1 amp

Pasang DC kateter

Clobbazam 2x1 tablet

Sore harinya pasien masih kejang diterapi dengan Inj. Midazolam ½ amp

diencerkan dalam 10cc NS IV pelan, ditambah Triheksifenidil 2mg 3x1 tablet PO.

Hasil Laboratorium

Darah Lengkap Kimia klinik

WBC : 8,1 GDA : 107, 4

RBC : 4,41 BUN : 7,35

HGB : 12,4 SK : 0,6

HCT : 38,4 Na : 151,1 (136-144)

MCV : 87,0 K : 4,1 (3,8-5,6)

MCH : 28,1 Cl : 108,4 (97-103)

PLT : 354

Tanggal 17 Juni 2013

S: pasien kadang masih kejang

O: GCS: 456

T: 140/80

Motorik:

5 5

5 5

P: R L 20 tpm

Inj. Na phenitoin 3x 100mg

Carbamazepin 200mg 2x1 tablet

Neurodex 2x1

6

Page 7: 3 Lapsus Epilepsi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai dengan

prevalens 500 per 100.000 populasi, namun masih sedikit dokter yang mempunyai

spesialisasi pada penyakit ini. Sedangkan sekarang terdapat banyak kemajuan di

bidang ini yang dapat membantu penderita epilepsi. Dengan diagnosi dan terapi

yang tepat, sebagian penderita epilepsi dapat terkontrol.(1)

Epilepsi merupakan penyakit yang memerlukan pengobatan yang lama dan

teratur, oleh karna itu penyndang penyakit dan keluarganya harus menjadi mitra

dokter dalam pengobatan epilepsi. Kerja sama yang baik antara dokter dan

penderita serta keluarganya merupakan faktor yang sangat penting dalam

penanganan epilepsi.(1)

2.2 DEFENISI

Bangkitan epilepsi (seizure) adalah manifestasi klinik dari bangkitan

seizure (stereotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau

tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel

saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).

Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh kebangkitan berulang sebagai

akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang disebabkan oleh lepas muatan

listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara paroksimal didasari oleh

berbagai faktor etiologi. (1)

Defenisi epilepsi menurut WHO adalah suatu kelainan otak kronik dengan

berbagia macam penyebab yang ditandai serangan epilepsi berulang yang

disebbkan oleh bangkitan neuron otak yang berlebihan, dimana gambaran

7

Page 8: 3 Lapsus Epilepsi

klinisnya dapat berupa kejang, perubahan tingkah laku, perubahan kesadaran

tergantung lokasi klainan di otak.(1)

Epilepsy adalah gangguan kronik otak dengan ciri tinbulnya gejala-gejala

yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepasnya

muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat refersibel dengan berbagai

etiologi. Serangan adalah suatu gejala yang timbul secara tiba-tiba ddan

menghilang secara tiba-tiba pula.(2)

2.3 EPIDEMIOLOGI EPILEPSI

2.3.1 Insidens Dan Prevalensi Epilepsi

Secara umum peneliti mendapatkan insidens 20-70 per 100.000 pertahun

dan prevalens 400-1000 per 100.000. pada populasi umum, insidens epilepsi

berubah-ubah menurut umur tertinggi. Pada usia anak-anak dini, mencapai nadir

pada usia dewasa dini dan naik kembali pada usia tua.(1)

2.3.2 Resiko Berulangnya Kejang

Agak sulit membayangkan prognosis pasien dengan riwayat kejang

pertama kali. Penderita tersebut dianggap epilepsi bila mengalami kejang tanpa

demam berikutnya.(1)

2.3.3 Kejang Tanpa Demam Setelah Kejang Demam

Resiko yang mungkin dihadapi anak paska kejang demam adalah 30-40%

akan mengalami kejang demam berikutnya, sedangkan sebagian kecil akan

mengalami epilepsi kelak dikemudian hari. Pada penelitian NCPP, hanya 30%

anak dengan kejang demam mengalami sekali kejang tanpa demam. Resiko

terjdinya epilepsi kelak di kemudian hari tergantung dari riwayat epilepsi dalam

keluarga, kelainan dalam perkembangan, atau kelainan saraf sebelum anak

8

Page 9: 3 Lapsus Epilepsi

menderita kejang demam, kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal.

Apabila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut maka resiko mengalami

epilepsi adalah 13%, bila terdapat 1 atau tidak sama sekali maka resikonya hanya

2-3% saja.(1)

2.3.4 Berulangnya Kejang Tanpa Demam Sesudah Kejang Tanpa Demam

Pertama

Resiko tersebut pernah dilaporkan pada anak-anak dan dewasa sangat

bervariasi antara 27-71% dan tergantung pada jenis kelainan kejang serta ada

tidaknya kelainan neurologis dan elektro ensefalografi (EEG) di antara bayi yang

mengalami kejang neonatal akan terjadi bangkitan tanpa demam dlam 7 tahun

pertama sebanyak 25% kasus, 75% diantaranya akan menjadi epilepsi.(1)

Annegers dan kawan-kawan meneliti resiko berulangnya kejang pada 424

pasien kejang tanpa demam pertama yang terdiri mulai neonatus sampai dewasa,

220 pasien mengalami kejang berulang. Secara keseluruhan resiko berulangnya

kejang adalah, 9%, 21%, 30%, 36%, 48%, 56% berturut-turut pada pemantauan 1,

3, 6 bulan, 1 tahun, 3 tahun, dan 5 tahun.(1)

Resiko berulangnya kejang berbeda menurut klasifikasi etiologi kejang

pertama. Penderita kejang pertama idiopatik mempunyai resiko rekuren kumulatif

26% pada tahun pertama dan 45% pada pemantauan 5 tahun. Sedangkan pada

penderita dengan kejang pertama simtomatik yaitu dengan gangguan susunan

saraf pusat paskaneonatal mempunyai resiko rekuren 56% dalam 1 tahun pertama,

dan 77% pada pemantauan 5 tahun. Penderita dengan serebral palsi atau retardasi

mental berat mempunyai resiko rekuren 92% selama 1 tahun pemantauan.(1)

9

Page 10: 3 Lapsus Epilepsi

2.4 ETIOLOGI

1. Idiopatik: sebagian epilepsy pada anak-anak adalah epilepsy idiopatik

2. Factor herediter: ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang

disertai bangkitan kejang seperti sclerosis tuberosa, neurofibromatosis,

angiomatosis ensefalotrigeminal, fenilketouria, hipoparatiroidisme,

hipoglikemi.

3. Faktor genetik; pada kejang demam dn breath holding spells

4. Kelainan kongenital otak: atrofi, porensefali, agenesis korpus kalosum.

5. Gangguan metabolic; hipoglikemi, hipokalsemia, hiponatremi,

hipernatremi

6. Infeksi; radang yang disebabkan oleh bakteri atau virus pada otak dan

selaputnya, toksoplasmosis

7. Trauma; kontusio serebri, hematoma subaraknoid, hematoma subdural

8. Neoplasma otak dan selaputnya

9. Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen

10. Keracunan; Timbal (Pb), kamper (kapur barus), fenotiazin, air

11. Lain-lain; penyakit darah, gangguan keseimbangan hormone, depresi

serebral, dan lain-lain.(2)

12. Penghentian obat anti konvulsan secara mendadak. (3)

Sumber lain mengelompokkan penyebab epilepsi dalam 3 kelompok:

1. Idopatik : penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai predisposisi

genetik

2. Kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,

termasuk disini sindrom west, sindrom lennox-gastaut dan epilepsi

mioklonik. Gaambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difus.

3. Simtomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat misalnya

trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat (SSP), kelainan kongenital, lesi

desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat),

metabolik, kelainan neurodegenerative.(1)

10

Page 11: 3 Lapsus Epilepsi

2.5 PATOFISIOLOGI TERJADINYA EPILEPSI

Selama dasawarsa terakhir ini tidak banyak kemajuan yang diperoleh

dalam mengungkapakan patofisiologi epilepsi. Sampai saat ini belum terungkap

dengan baik dan terinci mekanisme yang memulai atau yang mencetuskan sel

neuron untuk berlepasan muatan secara sinkron dan berlebihan. Dengan perkataan

lain sampai saat ini belum diketahui dengan baik mekanisme terjadinya bangkitan

epilepsi. Namun beberapa faktor yang ikut berperan telah terungkap.(1)

2.5.1 Gangguan Pada Membran Sel Neuron

Secara umum, epilepsi terjadi karena menurunya potensial

membrane sel saraf akibat proses patologik dalam otak, gaya mekanik atau toksik,

yang selanjutnya menyebabkan terlepasnya muatan listrik dari sel saraf tersebut.

(2)

Potensial membran sel neuron bergantung pada permeabelitas sel tersebut

terhadap ion natrium dan kalium. Membran neuron permeabel sekali terhadap ion

kalium dan kurang permeabel terhadap ion natrium, sehingga didapatkan

konsentrasi ion kalium yang tinggi dan konsentrasi ion natriun yang rendah di

dalam sel dalam keadaan normal.(1)

Potensial ini dapat diganggu dan berubah oleh berbagai hal misalnya

perubahan konsentrasi ion ekstraseluler, stimulasi kimiawi atau mekanis,

perubahan pada membran oleh penyakit atau jejas, atau pengaruh kelainan

genetik.(1)

Bila keseimbangan terganggu, sifat semi-permeabel berubah, membiarkan

ion natrium dan kalium berdifusi melalui membran dan mengakibatkan perubahan

kadar ion dan perubahan potensial yang menyertainya. Potensial aksi terbentuk

dipermukaan sel, dan menjadi stimulus yang efektif pada bagian membran sel

lainnya dan menyebar sepanjang akson. Konsep bahwa permeabelitas ion

meningkat pada epilepsi saat ini banyak dianut. Tampaknya semua konvulsi,

11

Page 12: 3 Lapsus Epilepsi

apapun pencetus atau penyebabnya, disertai berkurangnya ion kalium dan

meningkatnya ion natrium di dalam sel.(1)

2.5.2 Gangguan Pada Mekanisme Inhibisi Prasinaps Dan Pasca-Sinaps

Sel neuron saling berhubungan sesamanya melalui sinaps-sinaps.

Potensial aksi yang terjadi di satu neuron dihantar melalui neuroakson yang

kemudian membebaskan zat transmiter pada sinaps, yang mengeksitasi atau

menginghibisi membran pascasinaps. Transmiter eksitasi (asetilkolin, glutamid

acid) mengakibatkan depolarisasi, zat transmiter inhibisi (GABA atau Gamma

Amino Butyric Acid, glisin) menyebabkan hiperpolarisasi neuron penerimanya.

Jadi satu impuls dapat mengakibatkan stimulasi atau inhibisi pada transmisi

sinaps.(1)

Beberapa penyelidikan menunjukkan peran asetilkolin sebagai zat yang

merendahkan potensial membrane postsinaptik dalam hal terepasnya muatan

listrik yang terjadi sewaktu-waktu saja sehingga manifestasi klinisnya pun muncul

sewaktu-waktu. Bila asetilkolin sudah cukup tertimbun di permukaan otak, maka

pelepasan muatan listrik sel-sel saraf dipermudah. Asetilkolin diproduksi oleh sel-

sel saraf kolinergik dan merembes keluar dari permukaan otak. Pada kesadaran

awas-waspada lebih banyak asetilkolin yang merembes keluar dari permukaan

otak daripada selama tidur. Pada jejas otak lebih banyak asetil kolin daripada pada

otak sehat. Pada tumor serebri atau adanya sikatriks setempata pada permukaan

otak sebagai gejala sisa-sisa dari meningitis, ensefalitis, kontusio serebri atau

trauma lahir, dapat terjadi penimbunan setempat dari asetilkolin. Oleh karena itu

pada tempat itu akan terjadi lepasan muatan listrik sel-sel saraf. Penimbunan

asetilkolin setempat harus mencapai konsentrasi tertentu untuk dapat

merenddahkan potensian membrane sehingga lepas muatan listrik dapat terjadi.

Hal ini merupakan mekanis epilepsy fokal yang biasanya simtomatis.(2)

Setiap neuron berhubungan dengan sejumlah besar neuron-neuron lainnya

melalui sinaps eksitasi atau inhibisi, sehingga otak merupakan struktur yang

terdidri dari sel neuron yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi

12

Page 13: 3 Lapsus Epilepsi

aktivitasnya. Pada keadaan normal didaptkan keseimbangan antara eksitasi dan

inhibisi. Gangguan terhadap keseimbangan ini dapat mengakibatkan terjadinya

bangkitan kejang. Efek inhibissi ialah meninggikan tingkat polarisasi membran

sel. Kegagalan mekanisme inhibisi mengakibatkan terjadinya lepas muatan listrik

yang berlebihan. Zat GABA mencegah terjadinya hipersinkronisasi. Gangguan

sintesis GABA mengakibatkan gangguan keseimbangan eksitasi-inhibisi, dan jika

eksitasi lebih unggul makan akn mengakibatkan bangkitan epilepsi. Fosfat

piridoksal penting untuk sintesi GABA, defisiensi piridoksin metabolik atau

nutrisi dapat mengakkibatkan konvulsi pada bayi. Antikonvulsan valproat bekerja

dengan melalui pencegahan pemecahan GABA.(1)

Dapat dikemukakan bahwa pada bayi dan anak, bukan saja maturasi dari

sistem saraf yang berperanan, tetapi juga variasi antara keseimbangan sistem

inhibisi dan eksitasi di otak memainkan peranan penting dalam menentukan

ambang kejang. Dengan demikian mempengaruhi tinggi rendahnya ambang

kejang. Demikin pula jaringan saraf dapat menjadi hipereksitabel oleh perubahan

hemoestasis tubuh. Perubahan tersebut dapat diakibatkan oleh demam, hipoksia,

hipokalsemia, hidrasi lebih , dan perubahan keseimbangan asam basa. Faktor

eksternal dapat juga menyebabkan hipereksitabilitas, misalnya obat konvulsan,

penghentian mendadak obat antikonvulsan terutama barbiturat, dosis lebih

berbagai macam obat dan berbagai toksin.(1)

Dengan menggunakan elektrode-mikro dapat diselidiki perangai

kelistrikan suatu neuron. Telah diidentifikasikan lepas muatan yang berasal dari

badan sel, dendrit, dan akson. Dapat ditunjukkan bahwa aktifitas letupan listrik

abnormal yang berfrekuensi tinggi didapatkan pada sel neuron di fokus epileptik.

Diduga bahwa aktifitas autonom ini disebabkan oleh depolarisasi dendrit, karena

adanya perbedaaan potensial antara badan sel dan dendrit. Perubahan patologis di

dendrit ini dapat diakibatkan oleh tekanan mekanis, misalnya oleh jaringan parut.

Neuron epileptik secara histologis mempunyai sedikit ujung sinaps, dengan

demikian rangsang eferen yang diterimanya berkurang. Berkurangnya rangsangan

eferen ini dapat mengakibatkan sel neuron menjadi hipersensitif misalnya

13

Page 14: 3 Lapsus Epilepsi

terhadap zat kimiawi di sekitarnya dengan demikian terjadi lepas muatan listrik

yang berlebihan secara spontan.(1)

2.5.3 Sel Glia

Sel glia diduga berfungsi untuk mengatur ion kalium ekstra seluler di

sekitar neuron dan terminal presinaps. Pada gliosis atau keadaan cedera, fungsi

glia yang mengatur konsentrasi ion kalium ekstraseluler dapat terganggu dan

mengakibatkan meningkkatnya eksitabilitas sel neuron di sekitarnya. Rasio yang

tinggi antar ion kalium ekstraseluler dibanding intraseluler dapat

mmendepolarisasi mebran neuron.(1)

Telah didapat banyak bukti bahwa astroglia berfungsi membuang ion

kalium yang berlebihan sewaktu aktifnya sel neuron. Didapatkan bahwa sewaktu

kejang kadar ion kalium meningkat 5 kali atau lebih di cairan intersisial yang

mengitari sel neuron. Waktu ion kalium diserap oleh astroglia cairanpun ikut

diserap dan sel astroglia menjadi membengkak (edema), hal ini menjadi jawaban

yang khas bagi astroglia terhadap meningkatnya kadar kalium ekstraseluler, baik

yang disebabkan oleh hiperaktivitas neuronal maupun akibat iskemia serebral.(1)

Pada penelitian eksperimental didapatkan bahwa bila kation dimasukkan

dalam sel astroglia melalui pipet mikro timbulah letupan kejang (seizure

discharge) pada sel neuron di sekitarnya, suatu ilustrasi mengenai peranan sel

astroglia dalam mengatur aktivitas neuronal.(1)

Para penyelidik umumnya sependapat bahwa sebagian besar bangkitan

epilepsi berasal dari sekelompok sel neuron yang abnormal di otak, yang melepas

muatan listrik secara berlebihan dan hipersinkron. Kelompok sel neuron yang

abnormal ini, yang disebut juga sebagi fokus epilepsi, mendasari semua jenis

epilepsi yang umum maupun yang fokal (parsial). Lepas muatan listrik ini

kemudian dapat menyebar melalui jalur-jalur fisiologis-natomis dan melibatkan

daerah di sekitarnya atau daerah yang lebh jauh letaknya di otak.(1)

14

Page 15: 3 Lapsus Epilepsi

Bila sekelompok sel neuron tercetus dalam aktivitas listrik berlebihan

maka didapatkan 3 kemungkinan:

1. Aktivitas ini tidak menjalar ke sekitarnya, melainkan terlokalisasi pada

kelompok neuron tersebut kemudian berhenti.

2. Aktivitas menjalar sampai jarak tertentu, namun tidak melibatkan seluruh

otak, kemudian menjumpai tahanan dan berhenti

3. Aktivitas menjalar ke seluruh otak dan berhenti

Pada keadaan 1 dan 2 didapatkan bangkitan epilepsi fokal (parsial),

sedangkan pada keadaan 3 didapatkan kejang umum. Jenis bangkitan epilepsi

tergantung kepada letak dan fungsi sel neuron yang berlepas muatan listrik

berlebihan serta penjalarannya. Kontraksi otot somatik akan terjadi bila lepas

muatan melibatkan daerah motorik di lobus frontalis. Berbagai macam gangguan

sensoris akan terjadi bila struktur di lobus parietalis dan oksipitalis terlibat.

Kesadaran menghilang bila lepas muatan melibatkan batang otak dan thalamus.

Tidak semua sel neuron di susunan saraf pusat dapat mencetuskan bangkitan

epilepsi klinis, walaupun sel tersebut berlepasan muatan listrik berlebihan. Sel

neuron di serebelum di bagian bawah batang otak dan di medula spinalis tidak

mampu mencetuskan bangkitan epilepsi. Fenomen Todd lebih sering dijumpai

pada pasien dengan fokus oleh lesi struktural.(1)

Sesekali didapatkan kecacatan akibat bangkitan kejang menetap.

Bangkitan kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit dapat mengakibatkan

kerusakan pada sel neuron, dengan akibat cacat menetap.(1)

Sebagian besar energi sel saraf digunakan untuk transportasi ion natrium

dan kalium yang berhubungan erat dengan kelistrikan dan penjalarannya. Diduga

bahwa sel neuron sanggup mengeluarkan ion natrium dari dalam sel. Akibat dari

keadaan ini didapatkan konsentrasi ion kalium yang tinggi di ruang intraseluler

dan ion natrium yang tinggi di ekstraseluler. Untuk memompa ion natrium ke luar

dibutuhkan banyak energi yang diperoleh melalui senyawa fosfat (ATP). Bila

terjadi bangkitan kejang, maka aktivitas pemompaan natrium bertambah. Dengan

perkataan lain kebutuhan akan oksigen dan glukosa meningkat. Bila kejang

15

Page 16: 3 Lapsus Epilepsi

berlangsung singkat maka peningkatan kebutuhan ini masih dapat dipenuhi.

Namun bila kejang berlangsung lama, ada kemungkinan bahwa kebutuhan akan

oksigen dan glukosa tidak terpenuhi, sehingga sel neuron dapat luka atau mati.(1)

Pada epilepsy idopatik, tipe grand mal, secara primer muatan listrik

dilepaskan oleh nuclei intralamilares talami, yang dikenal juga sebagai inti

centrecephalic. Inti ini merupakan terminal dri lintasan asendens aspesifik atau

lintasn asendens intraemsnikal. Input dari korteks serebri melalui lintasan aferen

aspesifik itu menetukan derajat kesadaran. Bilamana sama sekali tidak ada input

maka terjadilah koma. Pada grandmal, oleh karena sebab yang belum dapat

dipastikan, terjadilah lepas muatan listrik dari inti-inti intralaminar talamik secara

berlebih. Perangsangan talamokortikal yang berlebihan ini menghasilkan kejang

seluruh tubuh sekaligus menghalangi sel-sel saraf yang memelihara kesadaran

menerima impuls aferen dari luar sehingga kesadaran menghilang.(2)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian dari substansia retikularis di

bagian rostral dari mesensefalon yang dapat melakukan blockade sejenak terhadap

inti-inti intralaminar talamik sehingga kesadaran hilang sejenak tanpa disertai

kejang-kejang pada otot skeletal, yang dikenal sebagai petit mal.(2)

2.6 FAKTOR PRESIPITASI

Faktor presipitasi adalah factor yang mempermudah terjadinya serangan, yaitu:

1. Factor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang

mengejutkan, air panas.

2. Factor sistemis: demam, penyakit infeksi, obat-obat tertentu misalnya

golongan fenotiazin, klorpropamid, hipoglikemi, kelelahan fisik

3. Factor mental : stress, gangguan emosi.(2)

16

Page 17: 3 Lapsus Epilepsi

2.7 MANIFESTASI KLINIK

Menurut Commision of Classification and terminology of the International

League against Epilepsy (ILAE) tahun 1981, klasifikasi epilepsi sebagai berikut:

2.7.1 Kejang Parsial (fokal, lokal)

2.7.1.1 Sawan parsial sederhana; sawan parsial dengan kesadaran tetap

normal

1. Dengan gejala motorik

a. Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja

b. Fokal motorik menjalar: sawan dimuli dari satu bagian tubuh dan

menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi jackson.

c. Versif: sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh

d. Postural: sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap

tertentu

e. Disertai gangguan fonasi: sawan disertai arus bicara yang berhenti atau

pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu

2. Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai halusinasi

sederhana yang mengenai kelima pancaindera dan bangkitan yang disertai

vertigo.

3. Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom ( sensasi epigastrium, pucat,

berkeringat, memberat, piloereksi, dilatasi pupil)

a. Somatosensoris: timbul rasa kesemutan atau seperti ditusuk-tusuk jarum

b. Visual; terlihat cahaya

c. Auditoris: terdengar sesuatu

d. Olfaktori: terhidu sesuatu

e. Gustatorius: terkecap sesuatu

f. Disertai vertigo

4. Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)

a. Disfagia : gangguan bicara misalnya mengulang suatu suku kata, kata

atau bagian kalimat

17

Page 18: 3 Lapsus Epilepsi

b. Dimensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa sperti sudah

mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya tidak pernah mengalami,

mendengar, melihat, mengetahui sesuatu. Mungkin mendadak teringat

suatu peristiwa dimasa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.

c. Kognitif; gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah

d. Afektif: merasa sangat senang, susah, marah, takut

e. Ilusi: perubhan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih

besar

f. Halusinasi komleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara, musik,

melihat sesuatu fenomena tertentu dan lain-lain.(2)

2.7.1.2 Sawan parsial kompleks (disertai gangguan kesadaran)

1) Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran: kesadaran mula-mula

baik kemudian menurun.

a) Dengan gejala parsial sederhana diikuti dengan penurunan kesadaran

b) Dengan automatisme. Automatisme yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang

timbul dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah-ngunyah,

menelan-nelan, wajah muka berubah seringali seperti ketakutan, menata-

nata sesuatu’ memegang—megang kancing baju, berjalan, mengembara

tidak menentu, berbicara dan lain-lain.

2) Dengan penurunan kesadaran sejak serangan; kesadaran menurun sejak

permulaan serangan.

a) Hanya dengan penurunan kesadaran

b) Dengan automatisme.(2)

2.7.2 Sawan umum (konvulsif atau nonkonvulsif)

2.7.2.1.1 Sawan lena (Absance)

Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muk tampak

membengong, bola mata dapat berputar ke atas, tidak ada reaksi bila diajak bicara.

18

Page 19: 3 Lapsus Epilepsi

Biasanya sawan ini berlangsung selama ¼ - ½ menit dan biasanya dijumpai pada

anak-anak.

a) Hanya penurunan kesadaran

b) Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonik ringan biasanya dijumpai

pada kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral

c) Dengan komponen atonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot leher, lengan,

tangan, tubuh mendadak melemas sehingga tampak melunglai

d) Dengan komponen tonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstremitas,

leher atau punggung mmendadak meengejang, kepala, badan menjadi

melengkung ke belakang, lengan dapat mengetul atau mengedang.

e) Dengan automatisme

f) Dengan komponen autonom. (2)

2.7.2.1.2 Lena tidak khas ( atypical absence), dapat disertai

a) Gangguan tonus yang lebih jelas

b) Permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.(2)

2.7.2.2 Sawan Mioklonik

Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat

atau lemah, sebagian otot atau seluruh otot-otot, sekali atau berulang-ulang.

Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.(2)

2.7.2.3 Sawan klonik

Pada sawan ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelojot.

Dijumpai terutama sekali pada anak-anak.(2)

19

Page 20: 3 Lapsus Epilepsi

2.7.2.4 Sawan Tonik

Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku,

juga terdapat pada anak.(2)

2.7.2.5 Sawan Tonik-klonik

Sawan ini sering ditemukan pada umur di atas balita yang dikenal dengan

sebutan grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura yaitu tanda-tanda yang

mengawali suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan

kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira ¼ - ½ menit diikuti kejang kelojot

diseluruh badan. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi

dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat,

mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing

ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya,

dapat pula bangun dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi

sadar dengan keluhan badan pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.(2)

2.7.2.6 Sawan Atonik

Pada keadaan ini otot-otot seluruh tubuh mendadak melemas sehingga

pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini

terutama sekali dijumpai pada anak-anak.(2)

2.7.3 Sawan Tidak Tergolongkan

Termasuk golongan ini adalah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola

mata yang ritmik, mengunyah-ngunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau

pernapasan mendadak berhenti sementara.(2)

20

Page 21: 3 Lapsus Epilepsi

2.8 DIAGNOSIS

Ada tiga langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:

a. Langkah pertama: memastika apakah kejadian yang bersifat paroksimal

menunjukkan bangkitan epilepsi atau bukan epilepsi

b. Langkah kedua: apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tetntukanlah

bangkitan yang ada termasuk bangkitan apa.

c. Langkah ketiga: pastikan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh

bangkitan tadi, atau epilepsi apa yang diderita pasien dan temukan

etiologisnya.(1)

Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam

bentuk bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh

gambaran epileptiform pada EEG.(1)

2.8.1 Anamnesa (auto dan alo-anamnesis)

Hal-hal yang perlu diketahui dari anamnesa adalah;

a. Pola/bentuk bangkitan

b. Lama bangkitan

c. Gejala sebelum, selama, atau pasca bangkitan

d. Frekuensi bangkitan

e. Faktor pencetus

f. Ada/tidak adanya penyakit lain yang diderita pasien sekarang

g. Usia pada saat terjadi bangkitan pertama kali

h. Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan/kelahiran, dan perkembangan

bayi/anak

i. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya

j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga(1)

21

Page 22: 3 Lapsus Epilepsi

2.8.2 Pemeriksaan fisik umum dan Neurologik

Hal-hal yang perlu diperikssa antara lain adanya gangguan yang

berhubungan dengan epilepsi misalnya trauma kepala, infeksi telinga atau sinus,

gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, kecandual alkohol

atau obat terlarang dan kanker.(1)

2.8.3 Pemeriksaan Penunjang

2.8.3.1 pemeriksaan Elktroensefalopati (EEG)

Rekaman EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun, tidur, dengan

stimulasi fotik, hiprventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan (pada

epilepsi refleks). Kelainan epileptiform EEG interiktal (di luar bangkitan) pada

orang dewasa dapat ditemukan sebesar 29-38%. Pada pemeriksaan ulang

gambaran epileptiform dapat meningkat menjadi 59-77%. Bila EEG pertama

menunjukkan hasil normal sedangkan persangaan epilepsi sangat tinggi, maka

dapat dilakukan EEG ulangan dalam 24-48 jam setelah bangkitan atau dilakukan

dengan persyaratan khusus misalnya dengan mengurangi tidur (sleep deprivation)

atau dengan menghentikan obat antiepilepsi (OAE).(1)

Indikasi pemeriksaan EEG adalah:

Membantu menegakkan diagnosis epilepsi

Menentukan prognosis pada kasu tertentu

Pertimbangan dalam menghentikan OAE

Membantu dalam menentukan letak fokus

Bila ada perubahan bentuk bangkitan (berbeda dengan bangkitan

sebelumnya).(1)

22

Page 23: 3 Lapsus Epilepsi

2.8.3.2 Pemeriksaan pencitraan Otak ( Brain Imaging)

Indikasi pemeriksaan pencitraan otak adalah:

Semua kasus bangkitan pertam yang diduga ada kelainan struktural

Adanya perubahan bentuk bangkitan terdapat defisit neurologik fokal

Epilepsi dengan bangkitan parsial

Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun

Untuk persiapan tindakan pembedahan.(1)

2.8.3.3 Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan prosedur pencitraan

pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding CT-

Scan. MRI dapat mendeteksi sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan

hemangioma kavernosa. Pemeriksaan MRI diindikasikan untuk epilepsi yang

sangat mungkin memerlukan terapi pembedahan.(1)

2.8.3.4 Pemeriksaan laboratorium

Terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk

menunjang diagnosis epilepsi

Pemeriksaan darah meliputi hemoglobin (Hb), leukosit, hematokrit,

trombosit, hapusan darah tepi, elektrolit, kadar gula, fungsi hati, fungsi

ginjal, dan lain-lain

Pemeriksaan cairan serebrospinal, bila dicurigai adanya infeksi SSP.

Pemeriksaan-pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi misalnya ada

kelainan metabolik bawaan.(1)

23

Page 24: 3 Lapsus Epilepsi

2.9 DIAGNOSIS BANDING

a. Pada neonatus dan bayi

Jittering

Apneic spell

b. Pada anak

Breath holding spells

Sinkope

Migren

Bangkitan psikogenik/konversi

Prolonge QT syndrome

Night terror

Tics

Hypercyanotic attack (pada tetralogi fallot)

c. Pada dewasa

Sinkope dapat sebagai vasovagal attack, sinkope kardiogenik, sinkope

hipovolemik, sinkope hipotensi, dan sinkope saat miksi (micturition

syncope)

Serangan iskemik sepintas (transient Ischemik Attack)

Vertigo

Transien Global Amnesia

Narkolepsi

Bangkitan panik, psikogenik

Sindrom menier

Tics. (1)

2.10 PENATALAKSANAAN

Tujuan pengobatan adalah mencegah timbulnya sawan tanpa mengganggu

kapsitas fisikdan intelek pasien. Pengbatan epilepsi meliputi pengobatan

medikamentosa dan pengobatan psikososial.(2)

24

Page 25: 3 Lapsus Epilepsi

2.10.1 Pengobatan medikamentosa

Pada epilepsi yang simtomatis dimana sawan yang timbul adalah manifestasi

penyebabnya seperti tumor otak, radang otak, gangguan metabolik, maka

disamping pemberian obat anti-epilepsi diperlukan pula terapi kausal. Beberapa

prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan:

1. Pada sawan yang sangat jarang dan dapat dihilangkan pencetusnya,

pemberian obat harus dipertimbangkan

2. Pengobatan diberikan setelah diagnosis ditegakkan; ini berarti pasien

mengalami lebih dari dua kali sawan yang sama

3. Obat yang diberikan disesuaikan dengan jenis sawan.

4. Sebaiknya menggunakan monoterapi karena dengan cara ini toksisitas akan

berkurang, mempermuddah pemantauan, dan menghindari interaksi obat.

5. Dosis obat disesuaikan secara individual

6. Evaluasi hasilnya

Bila gagal dalam pengobatan, cari penyebabnya:

Salah etiologi: kelainan metabolisme, neoplasma yang tidak terdeteksi,

adanya penyakit degeneratif susunan saraf pusat

Pemberian pbat anti epilepsi yang kurang tepat

Kurang penerangan: menelan obat tidak teratur

Faktor emosional sebagai pencetus

Termasuk intractable epilepsy

7. Pengobatan dihentikan setelah sawan hilang selama minimal 2-3 tahun.

Pengobatan dihentikan secara berangsur dengan menurunkan dosisnya.(2)

25

Page 26: 3 Lapsus Epilepsi

Tabel: obat pilihan berdasarkan jenis kejang(2)

Bangkitan Jenis obat

Fokal/parsial

Sederhana CBZ, PB, PHT

Kompleks CBZ, PB, PHT, VAL

Tonik-klonik umum sekarang CBZ, PB, PHT, VAL

Umum

Tonik-klonik CBZ, PB, PHT, VAL

Mioklonik CLON, VAL

Absens/petit mal CLON, VAL

CBZ : Karbamazepin PHT : Fenitoin

CLON : klonazepam PB : Fenobarbitol

VAL : asam Valproat

2.10.2 Pengobatan Psikososial

Pasien diberikan penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimal

sebagian besar akan terbebas dari sawan. Pasien harus patuh dalam menjalani

pengobatannya sehingga dapat bebas dari sawan dan dapat belajar, bekerja, dan

bermasyarakat secara normal.(2)

2.11 PROGNOSIS

Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling

sedikit 2 tahun, dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat

dihentikan, pasien tidak mengalami sawan lagi, dikatan telah mengalami remisi.

Diperkirakan 30% pasien tidak akan mengalami remisi meskipun minum obat

secara teratur.(2)

26

Page 27: 3 Lapsus Epilepsi

Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering

didapatkan padda sawan tonik-klonik dan sawan parsial kompleks. Demikian pula

usia muda lebih mudah mengalami relaps sesudah remisi.(2)

Prognosis tergantung beberapa faktor antara lain medis, sosial, dan

psikologis. Secara umum prognosis tergantung dengan beberapa faktor seperti

kekerapan kejang, ada tidaknya defisit neurologis/mental, jenis dan lamanya

kejang. Kehidupan pasien akan jauh lebih normal bila bebas serangan kejang

sedikitnya 1 tahun atau lebih.(1)

Silanpaa dalam penelitiannya mengenai prognosis intelegensi

mendapatkan 47,3% dengan intelegensi normal, 13,1% dengan retardasi mental

ringan dan sisanya dengan retardasi mental sedang atau berat. Juga terdapat

gangguan perkembangan motor halus pada 42,7% pasien, gangguan berbicara

pada 40% dan kesulitan hubungan interpersonal 37,8%. Terdapat 60% pasien

mengikuti sekolah normal, tetapi hanya 4,7% yang msuk perguruan tinggi.

Prevalensi kematian mendadak yang berhubungan dengan kejang adalah 1 per 525

sampai 1 per 2100 pasien epilepsi. Pada umumnya akibat status epilepsi dan

kecelakaan akibat trauma atau tenggelam.(1)

Secara umum dapat disimpulkan bahwa prognosis epilepsi tergantung

pada jenis epilepsinya. Faktor yang berhubungan dengan baiknya prognosis antara

lain tidak adanya kelainan neurologis dan mental, kejangnya tidak sering, jenis

tonik klonik umum dan kejang cepat dikendalikan, umur onset setelah 2 atau 3

tahun.(1)

27