29
REFERAT OBAT ANESTESI GOLONGAN OPIOID Akbar Fadheli 030.10.015 PEMBIMBING dr. Agatha Citrawati, Sp.An DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK SMF ANESTESI RSUP FATMAWATI

239942228 Analgetik Opioid

Embed Size (px)

DESCRIPTION

medical

Citation preview

Page 1: 239942228 Analgetik Opioid

REFERAT

OBAT ANESTESI GOLONGAN OPIOID

Akbar Fadheli

030.10.015

PEMBIMBING

dr. Agatha Citrawati, Sp.An

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN

KLINIK SMF ANESTESI

RSUP FATMAWATI

NOVEMBR 2015

Page 2: 239942228 Analgetik Opioid

BAB I

PENDAHULUAN

Analgetik adalah suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit

atau nyeri. Nyeri timbul akibat oleh berbagai rangsangan pada tubuh misalnya rangsangan

mekanis, kimiawi dan fisis sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan yang memicu

pelepasan mediator nyeri seperti bradikinin dan prostaglandin yang akhirnya mengaktivasi

reseptor nyeri di saraf perifer dan diteruskan ke otak. Secara umum analgetik dibagi dalam dua

golongan, yaitu analgetik non narkotik dan analgetik narkotik (opioid).

Opioid adalah kelompok obat yang sering dipergunakan pada penanganan pasien dengan

nyeri yang berat. Berawal dari tumbuhan Papaver somniferum atau opium yang diekstrak dan

digunakan secara luas pada peradaban kuno Persia, Mesir dan Mesopotamia. Kata opium sendiri

berasal dari bahasa yunani yang berarti jus. Telah dicatat bahwa penggunaan opium yang

pertama kali adalah pada salah satu teks kuno bangsa Sumeria pada tahun 4000 SM. 1, 2, 3, 4

Opium digunakan dengan dihirup atau dengan cara ditusukkan pada kulit yang akan

memberikan efek analgesia, selain itu juga akan menyebabkan depresi pernafasan dan kematian

sesuai dengan derajat absorbsi yang diberikan. Opium merupakan campuran bahan kimia yang

mengandung gula, protein, lemak, air, lilin nabati alami, lateks, dan beberapa alkaloid. Adapun

alkaloid yang terkandung antara lain morfin (10%-15%), kodein (1%-3%), noskapin (4%-8%),

papaverin (1%-3%), dan thebain (1%-2%). Beberapa dari alkaloid-alkaloid tersebut banyak

digunakan untuk pengobatan diantaranya: untuk nyeri (morfin dan kodein), untuk batuk (kodein

dan noskapin) dan untuk mengobati spasme visceral (papaverin). Morfin berhasil diisolasi oleh

2

Page 3: 239942228 Analgetik Opioid

Seturner pada tahun 1803, kemudian dilanjutkan dengan kodein tahun 1832 lalu papaverin tahun

1848. 1,4,5,6

Istilah opioid digunakan untuk semua obat baik alami maupun sintetik yang dapat

menduduki reseptor opioid di tubuh manusia. istilah opiat digunakan untuk semua obat yang

diekstrak dari tumbuhan opium yang menempati dan bekerja pada reseptor opioid.

Opiat atau yang dikenal sebagai narkotik adalah bahan yang digunakan untuk menidurkan

atau melegakan rasa sakit, tetapi mempunyai potensi yang tinggi untuk menyebabkan ketagihan.

Sebagian dari opiat ,seperti candu, morfin, heroin dan kodein diperoleh dari getah buah popi

yang terdapat atau berasal dari negara-negara Timur Tengah dan Asia.

Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin, dan

tidak semua obat golongan opioid dipasarkan di Indonesia. Akan tetapi dengan sediaan yang

sudah ada kiranya penangganan nyeri yang membutuhkan obat opioid dapat dilakukan.

Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan

obat.

Obat-obat opioid yang biasanya digunakan dalam anastesi antara lain adalah morfin,

petidin dan fentanil. Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti

opium maupun morfin. Meskipun mempelihatkan berbagai efek farmakologik yang lain,

golongan obat ini digunakan terutama untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri.1, 2, 3

Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin, dan

tidak semua obat golongan opioid yang dipasarkan di Indonesia. Akan tetapi dengan sediaan

yang sudah ada kiranya penangganan nyeri yang membutuhkan obat opioid dapat dilakukan.

Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan

obat.4, 5

3

Page 4: 239942228 Analgetik Opioid

Dahulu digunakan istilah analgesik narkotik untuk analgesik kuat yang mirip morfin.

Istilah ini berasal dari kata yunani yang berarti stupor. Istilah narkotik ini telah lama ditinggalkan

jauh sebelum ditemukannya ligand yang mirip opioid endogen dan reseptor untuk zat ini.

Dengan ditemukannya obat yang bersifat campuran agonis dan antagonis opioid yang tidak

meniadakan ketergantungan fisik akibat morfin maka penggunaan istilah analgesik narkotik

untuk pengertian farmakologik tidak sesuai lagi.3

4

Page 5: 239942228 Analgetik Opioid

BAB II

PEMBAHASAN

1. DEFINISI

Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor

morfin. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia

untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan.2, 3

2. KLASIFIKASI OPIOID

Yang termasuk golongan opioid ialah : (1) obat yang berasal dari opium-morfin ; (2)

senyawa semisintetik morfin ; (3) senyawa sintetik yang berefek seperti morfin.3

Di dalam klinik opioid dapat digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin).

Akan tetapi pembagian ini sebetulnya lebih banyak didasarkan pada efikasi relatifnya, dan

bukannya pada potensinya. Opioid kuat mempunyai rentang efikasi yang lebih luas, dan dapat

menyembuhkan nyeri yang berat lebih banyak dibandingkan dengan opioid lemah. Penggolongan

opioid lain adalah opioid natural (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain), semisintetik (heroin,

dihidro morfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan

remifentanil).2, 4

Klasifikasi Opioid :

a). Natural opiates alkaloid

- Morfin

- Kodein

- Theibaine

5

Page 6: 239942228 Analgetik Opioid

- Papaverine

- Noscapine

b). Semisintetik opioid

- Hidromorphone

- Hidrocodone

- Oxycodone

- Oxymorphone

- Desomorphone

- Diacetylmorphine (heroin)

- Nocimorphine

- Dextromethorphan

c). Sintetik opioid

- Fentanyl

- Petidhine

- Methadone

- Tramadol

- Meperidine

Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat Opioid dapat

digolongkan menjadi ;2, 3, 4

1. Agonis opioid

Merupakan obat opioid yang menyerupai morfin yang dapat mengaktifkan reseptor, terutama

pada reseptor m, dan mungkin pada reseptor k contoh ; morfin, papaveretum, petidin (meperidin,

demerol), fentanil, alfentanil, sufentanil, remifentanil, kodein, alfaprodin.

6

Page 7: 239942228 Analgetik Opioid

2. Antagonis opioid

Merupakan obat opioid yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor dan pada saat

bersamaan mencegah agonis merangsang reseptor, contoh : nalokson.

3. Agonis-antagonis (campuran) opioid

Merupakan obat opioid dengan kerja campuran, yaitu yang bekerja sebagai agonis pada beberapa

reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain, contoh pentazosin, nabulfin,

butarfanol, bufrenorfin.

3. MEKANISME KERJA

Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan system saraf pusat, tetapi

lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbic, thalamus, hipothalamus corpus

striatum, sistem aktivasi retikuler dan di korda spinalis yaitu substantia gelatinosa dan dijumpai

pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin,

dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek.2

Reseptor tempat terikatnya opioid disel otak disebut reseptor opioid dan dapat

diidentifikasikan menjadi 5 golongan, yaitu antara lain:2, 3, 4

Reseptor µ (mu) :

o µ -1, analgesia supraspinal, sedasi.

o µ -2, analgesia spinal, depresi nafas, euphoria, ketergantungan fisik, kekakuan otot.

Reseptor d (delta) : analgesia spinal, epileptogen.

Reseptor k (kappa) :

o k-1, analgesia spinal.

o k-2 tak diketahui.

7

Page 8: 239942228 Analgetik Opioid

o k-3 analgesia supraspinal.

Reseptor s (sigma) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung.

Reseptor e (epsilon) : respon hormonal.

Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi dengan semua jenis reseptor akan tetapi dengan

afinitas yang berbeda, dan dapat bekerja sebagai agonis, antagonis, dan campuran.3, 4

Opioid mempunyai persamaan dalam hal pengaruhnya pada reseptor ; karena itu efeknya

pada berbagai organ tubuh juga mirip. Perbedaan yang ada menyangkut kuantitas, afinitas pada

reseptor dan tentu juga kinetik obat yang bersangkutan.

Secara umum, efek obat-obat narkotik/opioid antara lain :4

A. Efek sentral :

a. Menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi (pacuan) pada reseptor opioid (efek analgesi).

b. Pada dosis terapik normal, tidak mempengaharui sensasi lain.

c. Mengurangi aktivitas mental (efek sedative).

d. Menghilangkan konplik dan kecemasan (efek transqualizer).

e. Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah pasien merasakan sebaliknya

(efek disforia).

f. Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek depresi respirasi dan antitusif).

g. Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek emetik), tapi pada akhirnya menghambat

pusat emetik (efek antiemetik).

h. Menyebabkan miosis (efek miotik).

i. Memicu pelepasan hormon antidiuretika (efek antidiuretika).

8

Page 9: 239942228 Analgetik Opioid

j. Menunjukkan perkembangan toleransi dan dependensi dengan pemberian dosis yang

berkepanjangan.

B.Efek perifer :

a. Menunda pengosongan lambung dengan kontriksi pilorus.

b. Mengurangi motilitas gastrointestinal dan menaikkan tonus (konstipasi spastik).

c. Kontraksi sfingter saluran empedu.

d. Menaikkan tonus otot kandung kencing.

e. Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi ortostastik.

f. Menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan histamin, dan

memicu bronkospasmus pada pasien asma.

4. OBAT GOLONGAN OPIAT YANG UMUM DIGUNAKAN

Golongan Agonis Kuat :

1. Morfin

Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah dan

menguntungkan, yang dibuat dari bahan getah papaver somniferum.

Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya

cukup panjang (long acting).2, 3

Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatif selektif, yakni tidak begitu

mempengaruhi unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan

pendengaran ; bahkan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis

terapi3, 4

9

Page 10: 239942228 Analgetik Opioid

Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme ; (1) morfin meninggikan ambang

rangsang nyeri ; (2) morfin dapat mempengaruhi emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi

yang timbul di korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari

thalamus ; (3) morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri

meningkat.3

Farmakodinamik

Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos.

Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi.

Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi

termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal, konvulsi dan

sekresi hormone anti diuretika (ADH).2, 3, 4, 6

Farmakokinetik

Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin

juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah

pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian

parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaruhi janin.

Eksresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan

keringat.2, 3, 4, 6

Indikasi

Morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk meredakan atau menghilangkan

nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin

besar dosis yang diperlukan. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai ; (1) Infark

10

Page 11: 239942228 Analgetik Opioid

miokard ; (2) Neoplasma ; (3) Kolik renal atau kolik empedu ; (4) Oklusi akut pembuluh darah

perifer, pulmonal atau koroner ; (5) Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan ; (6)

Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.3

Efek samping

Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi pernafasan,

nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus, konstipasi kenaikkan tekanan pada

traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi.2, 3, 4, 5, 6

Dosis dan sediaan

Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan

diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengurangi nyeri

sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat

diulang sesuai yamg diperlukan.2, 3

2. Petidin

Petidin ( meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda dengan morfin,

tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama. Secara kimia petidin

adalah etil-1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat.3

Farmakodinamik

Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor m (mu). Seperti

halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi, euforia, depresi nafas

dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam. Efektivitasnya lebih rendah

dibanding morfin, tetapi leih tinggi dari kodein. Durasi analgesinya pada penggunaan klinis 3-5

jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin lebih efektif terhadap nyeri neuropatik. 3, 6

11

Page 12: 239942228 Analgetik Opioid

Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai berikut :2

1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam air.

2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat dan

asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit yang masih aktif memiliki sifat

konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari

10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin.

3. Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan dan

takikardia.

4. Seperti morpin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih ringan.

5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak ada

hubungannya dengan hipiotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa. Morfin tidak.

6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.

Farmakokinetik

Absorbsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung baik. Akan tetapi

kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM. Kadar puncak dalam plasma

biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang dicapai antar individu sangat bervariasi. Setelah

pemberian meperidin IV, kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama,

kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang lebih 60% meperidin dalam plasma

terikat protein. Metabolisme meperidin terutama dalam hati. Pada manusia meperidin mengalami

hidrolisis menjadi asam meperidinat yang kemudian sebagian mengalami konyugasi. Meperidin

dalam bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin

ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demitilasi.

12

Page 13: 239942228 Analgetik Opioid

Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik otak, dan tekanan

intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda persalinan, akan tetapi dapat masuk

kefetus dan menimbulkan depresi respirasi pada kelahiran.

Indikasi

Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada beberapa keadaan

klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek daripada morfin.

Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik,

untuk menimbulkan analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang karena

menyebabkan depresi nafas pada janin.

Dosis dan sediaan

Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50

mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong dengan

dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.4, 6

Efek samping

Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa pusing,

berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan,

palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.3, 4, 6

3. Fentanil

Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 x morfin. Fentanil

merupakan opioid sintetik dari kelompok fenilpiperedin. Lebih larut dalam lemak dan lebih

mudah menembus sawar jaringan.2, 3, 4

13

Page 14: 239942228 Analgetik Opioid

Farmakodinamik

Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu analgesik,

fentanil 75-125 kali lebih potendibandingkan dengan morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi

yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan

morfin. Fentanil (dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi.

Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang tinggi

menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada terminal saraf tepi. Fentanil

dikombinasikan dengan droperidol untuk menimbulkan neureptanalgesia.3, 6

Farmakokinetik

Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama

dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya.

Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa

metabolismenya dikeluarkan lewat urin.6

Indikasi

Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 /kg BB

analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anastesia

pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg BB digunakan untuk

induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi

dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml.4, 6

Efek samping

Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah

dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin

plasma, ADH, rennin, aldosteron dan kortisol. 2

14

Page 15: 239942228 Analgetik Opioid

Obat terbaru dari golongan fentanil adalah remifentanil, yang dimetabolisir oleh esterase

plasma nonspesifik, yang menghasilkan obat dengan waktu paruh yang singkat, tidak seperti

narkotik lain durasi efeknya relatif tidak tergantung dengan durasi infusinya.4

Golongan Agonis-Antagonis

1. Kodein

Kodein mempunyai analgesic yang kurang poten disbanding morphin, tetapi mempunyai

kemanjuran peroral yang lebih tinggi. Obat ini mempunyai potensi penyalahgunaan yang lebih

rendah daripada morfin. Kodein sering digunakan dalam kombinasi aspirin atau asetaminofen.

2. Propoksifen

Efek analgesic : untuk menghilangkan rasa nyeri ringan sampai sedang.

Efek samping : Pada dosis toksik, akan menimbulkan depresi pernafasan, konvulsi, halusinasi,

dan bingung. Propoksifen dapat menimbulkan mual, anoreksia, dan konstipasi.

Golongan campuran Agonis-Antagonis

1. Alkaloid semisintetik :

Nalbufin

Nalbufin adalah agonis-antagonis opioid yang secara kimia mirip dengan oksimorfon dan

nalokson. Nalbufin dimetabolisme terutama di hepar. Efek samping yang paling sering adalah

sedasi pada pemberian nalbufin. Tidak seperti pentazosin dan butorfanol, nalbufin tidak

menyebabkan pelepasan katekolamin sehingga hemodinamik pasien relatif stabil. Oleh karena

itu nalbufin merupakan pilihan yang tepat untuk digunakan pada pasien dengan gangguan

jantung, seperti pada tindakan kateterisasi jantung. 7,8,9

15

Page 16: 239942228 Analgetik Opioid

2. Opioid sintetik :

a. Derivat benzomorfan :

Pentazosin

Pentazosin merupakan agonis dan antagonis reseptor opioid yang lemah pada reseptor k dan d

dengan potensi sekitar 1/5 dari obat nalorfin. Pentazosin diserap baik melalui rute oral maupun

perenteral yang kemudian dimetabolisme di hepar melui proses oksidasi menjadi glukoronid

inaktif yang akan diekskresikan terutama melalui urin dan kemudian empedu. Dengan dosis 10-

30mg iv atau 50mg oral, setara dengan kodein 60 mg, mampu mengatasi nyeri sedang. Efek

samping yang sering dari pentazosin adalah sedasi yang kemudian diikuti dengan diaphoresis

dan pusing. Pentazosin menyebabkan pelepasan katekolamin pada tubuh kita sehingga

Pentazosin sebesar 20-30 mg im mempunyai efek analgesia, sedasi dan depresi pernafasan yang

setara dengan 10 mg morfin. Tidak seperti morfin, pentazosin tidak memiliki efek miosis pada

pupil mata. 8,9

b. Derivat morfinian :

Butorfanol

Butorfanol adalah agonis dan antagonis opioid yang menyerupai pentazosin. Efek agonisnya 20

kali lebih besar dan efek antagonisnya 10 hingga 30 kali lebih besar jika dibandingkan dengan

pentazosin. Butorfanol memiliki afinitas yang lemah sebagai antagonis pada reseptor u dan

afinitas yang sedang pada reseptor k untuk menghasilkan analgesia dan efek anti menggigil. Pada

prakteknya butorfanol 2-3 mg im menghasilkan efek analgesia dan depresi pernafasan setara

dengan morfin 10 mg. Butorfanol terutama dimetabolisme menjadi metabolit inaktif

hidroksibutorfanol yang diekskresi terutama di empedu dan sebagian kecil pada urin. Efek

16

Page 17: 239942228 Analgetik Opioid

samping yang paling sering adalah sedasi, mual dan diaphoresis. Efek pelepasan katekolamin

yang dimiliki pentazosin juga dimilikioleh butorfanol ini sehingga akan didapat peningkatan laju

nadi dan tekanan darah pada pasien. 7,8,9

Menghambat sistem serotonin

Tramadol

Mekanisme kerja: tramadol adalah analgesik yang bekerja sentral, agonis terhadap reseptor µ

serta mempunyai afinitas yang lemah pada reseptor k dan d. Melalui reseptor µ tramadol

meningkatkan efek inhibisi descending spinal melalui penurunan reuptake norepinefrin dan

serotonin. Efek tramadol hanya bisa diantagonis oleh nalokson sebesar 30%. Tramadol dibuat

sebagai rasemik yaitu campuran antara enansiomer dimana enansiomer yang satu berfungsi

menghambat reuptake norepinefrin sedangkan yang satu lagi bekerja menghambat reuptake

serotonin. 7,8,9

Metabolisme: tramadol dimetabolisme di hepar melalui enzim P-450 menjadi O-

dismetiltramadol dan di sekresikan oleh ginjal dalam bentuk metabolic aktif sehingga pada

seseorang yang mengalami gangguan hati dan ginjal harus dikurangi dosisnya. 7,8

Dosis tramadol 3mg/kgBB oral, im, maupun iv efektif untuk penanganan nyeri sedang hingga

berat. Selain itu tramadol juga dapat digunakan sebagai agent anti menggigil postoperative. Salah

satu efeksampingnya yang sering terjadi adalah mual dan muntah. 7,8,9

17

Page 18: 239942228 Analgetik Opioid

18

Page 19: 239942228 Analgetik Opioid

BAB III

KESIMPULAN

1. Pengaruh dari berbagai obat golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin, dan tidak

semua obat golongan opioid yang dipasarkan di Indonesia. Terbatasnya peredaran obat

tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran terjadinya penyalahgunaan obat.

2. Obat golongan obat yang agonis yang sering digunakan didalam anastesia antara lain adalah

morfin, petidin, fentanil.

3. Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor

morfin, opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam

anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan.

4. Sedangkan berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat opioid dapat

digolongkan menjadi : agonis opioid, antagonis opioid, agonis-antagonis (campuran) opioid.

19

Page 20: 239942228 Analgetik Opioid

DAFTAR PUSTAKA

1. Muhardi dan Susilo. Penanggulangan Nyeri Pasca Bedah. Bagian Anestiologi dan Terapi

Intensif FK-UI. Jakarta. 1989. hal : 199.

2. Latief, S. A, Suryadi, K. A, dan Dachlan, M. R. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi II.

Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI. Jakarta. Juni. 2001. hal : 77-83, 161.

3. H. Sardjono, Santoso dan Hadi Rosmiati D. Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi

FK-UI. Jakarta. 1995. hal : 189-206.

4. Samekto Wibowo dan Abdul Gopur. Farmakoterapi Dalam Neuorologi, Penerbit Salemba

Medika. hal : 138-143.

5. Sunatrio S. Ketamin vs Petidin as Analgetic for Tiva with Propofol, Majalah Kedokteran

Indonesia. Vol : 44. Nomor : 5, Mei 1994. hal : 278-279.

6. Omorgui, S. Buku Saku Obat-obatan Anastesi. Edisi II. EGC. Jakarta. 1997. hal : 203-207.

7. Brunton L, Parker K, Blumenthal D. Opioid analgesics in Goodman and Gilman’s Manual of

farmacology and Therapeutics..New York:Lange Medical Books/Mc Graw Hill; 2008.p 351-

71

8. Stoelting RK, Hillier SC. Pharmacology and physiology in anesthetic practice. 4th ed.

Philadelphia; Lippincott William and Wilkins;2006.p.87-122

9. Katzung BG. Basic and clinical pharmacology 10th ed. New York: Lange Medical Books/

Mc-Graw-Hill;2007.

20