47
15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil Penelitian Terdahulu 2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Menurut Jensen dan Meckling (1976), hubungan keagenan (agency relationship) didefinisikan sebagai: a contract under which one or more persons (the principal(s)) engage another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating some decision making authority to the agent . Berdasarkan pengertian tersebut, hubungan kontrak antara principal dan agent memungkinkan pemilik perusahaan untuk mendelegasikan wewenangnya kepada manajer untuk kepentingannya. Konsekuensi yang harus ditanggung manajer sebagai penerima delegasi wewenang tersebut adalah mempertanggung jawabkan kinerjanya kepada pemilik modal. Namun Jensen dan Meckling (1976) menyatakan, jika terdapat dorongan kepentingan ekonomis yang sama-sama kuat dari kedua pihak dalam hubungan tersebut, maka dapat dimungkinkan manajer tidak dapat selalu mengambil keputusan yang sesuai dengan keinginan pemilik modal. Benturan kepentingan inilah yang kemudian disebut dengan istilah konflik keagenan. Adapun teori agensi dalam hal ini menyoroti masalah-masalah yang timbul dalam hubungan keagenan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Eisenhardt (1989):

15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

  • Upload
    lediep

  • View
    213

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

15

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Teori yang Relevan dan Hasil Penelitian Terdahulu

2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)

Menurut Jensen dan Meckling (1976), hubungan keagenan (agency

relationship) didefinisikan sebagai:

“a contract under which one or more persons (the principal(s)) engage

another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves

delegating some decision making authority to the agent”.

Berdasarkan pengertian tersebut, hubungan kontrak antara principal dan

agent memungkinkan pemilik perusahaan untuk mendelegasikan wewenangnya

kepada manajer untuk kepentingannya. Konsekuensi yang harus ditanggung

manajer sebagai penerima delegasi wewenang tersebut adalah mempertanggung

jawabkan kinerjanya kepada pemilik modal.

Namun Jensen dan Meckling (1976) menyatakan, jika terdapat dorongan

kepentingan ekonomis yang sama-sama kuat dari kedua pihak dalam hubungan

tersebut, maka dapat dimungkinkan manajer tidak dapat selalu mengambil

keputusan yang sesuai dengan keinginan pemilik modal. Benturan kepentingan

inilah yang kemudian disebut dengan istilah konflik keagenan. Adapun teori

agensi dalam hal ini menyoroti masalah-masalah yang timbul dalam hubungan

keagenan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Eisenhardt (1989):

Page 2: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

16

“Agency theory is concerned with resolving two problems that can occur

in agency relationships. The first is the agency problem that arises when

(a) the desires or goals of the principal and agent conflict and (b) it is

difficult or expensive for the principal to verify what the agent is actually

doing”.

Poin (b) dalam pernyataan Eisenhardt tersebut menyatakan bahwa salah

satu pemicu konflik keagenan disebabkan karena pemilik modal sulit untuk

mengetahui seluruh aktivitas manajer secara jelas. Kondisi demikian dinamakan

asimetri informasi, yakni ketidak seimbangan informasi antara pemilik modal dan

manajer yang dikarenakan pengungkapan informasi yang tidak lengkap oleh

manajer. Dampak negatif dari adanya asimetri informasi adalah memungkinkan

manajer untuk bertindak oportunis, yaitu meraih keuntungan pribadi (Pratiwi dan

Desniwati, 2012).

Menurut Jensen dan Meckling (dalam Istanti, 2009), adanya konflik

keagenan dapat menimbulkan biaya keagenan (agency cost) yang terdiri atas:

a. The monitoring expenditures by the principal, biaya monitoring yang

dikeluarkan untuk memonitoring perilaku agen.

b. The bonding expenditures by the agent, biaya untuk menjamin bahwa agen

tidak melakukan tindakan yang akan merugikan prinsipal.

c. The residual loss, yang merupakan penurunan tingkat kesejahteraan

(wealth) prinsipal maupun agen setelah adanya agency relationship.

Suhardjanto dan Wardhani (2010) mengemukakan bahwa salah satu

cara mengurangi biaya keagenan tersebut adalah dengan meningkatkan

pengungkapan (disclosure) pada laporan tahunan.

Page 3: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

17

Laporan tahunan pada dasarnya merupakan sarana transparansi dan

akuntabilitas manajer kepada pemilik modal (Bernardi dkk, 2009). Dengan

pengungkapan yang luas (extent disclosure), asimetri informasi antara manajer

dan pemilik modal dapat berkurang (Diamond dan Verrecchia, dalam Benardi

dkk, 2009). Konsekuensinya, manajer didorong untuk melakukan pengungkapan

lebih banyak dalam laporan tahunannya, termasuk pengungkapan informasi

mengenai modal intelektual.

2.1.2 Teori Sinyal (Signalling Theory)

Menurut Spence (dalam Stephanie dan Yuyetta, 2012) teori sinyal

mengasumsikan bahwa perusahaan akan mengirimkan sinyal ke pasar melalui

pengungkapan informasi keuangan. Hal yang melatar belakanginya yaitu adanya

asimetri informasi (Nuswandari, 2009). Ketika terjadi asimetri informasi, pasar

akan menilai setiap perusahaan memiliki kinerja yang sama. Hal ini akan

merugikan perusahaan dengan kinerja yang lebih baik, karena kinerjanya

dipersamakan dengan perusahaan yang kinerjanya lebih rendah. Sebaliknya bagi

perusahaan dengan kinerja kurang baik, keadaan tersebut justru menguntungkan

karena kinerjanya dinilai lebih baik dari yang sebenarnya.

Menurut Ahmed dan Courtis (dalam Purnomosidhi, 2006), perusahaan

besar dan kinerja keuangannya yang baik (superior and profitable firm),

cenderung mengirimkan sinyal positif (good news) lebih banyak untuk mengubah

penilaian investor. Nuswandari (2009) mengartikan sinyal sebagai informasi

mengenai hal-hal yang telah dilakukan manajer untuk mewujudkan keinginan

Page 4: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

18

pemilik. Bentuk sinyal positif yang dikirim perusahaan dapat berupa promosi atau

informasi lain yang menurut pertimbangannya dapat meningkatkan kredibilitas

dan kesuksesan perusahaan meskipun informasi tersebut tidak diwajibkan.

2.1.3 Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory)

Teori pemangku kepentingan menyatakan bahwa perusahaan berfungsi

untuk melayani tujuan publik yang lebih luas, yaitu menciptakan nilai bagi para

pemangku kepentingan. Adapun istilah stakeholder menurut Freeman dan Reed

(dalam Ulum, 2009) didefinisikan sebagai:

“any identifiable group or individual who can affect the achievement an

organisation’s objective, or is affected by the achievement of an organisation’s

objective”.

Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa para pemangku

kepentingan (Stakeholder) mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh aktivitas-

aktivitas perusahaan. Oleh sebab itu, mereka perlu mengetahui aktivitas apa saja

yang dilakukan perusahaan, meskipun di lain pihak mereka dapat memilih untuk

tidak menggunakan informasi tersebut (Purnomosidhi, 2006).

Disamping itu, teori ini juga mengatakan bahwa para pemangku

kepentingan (Stakeholder) memiliki fungsi pengendalian atas manajer dalam

pelaporan seluruh potensi yang dimiliki oleh perusahaan (Stephanie dan Yuyetta,

2012). Lebih jauh lagi, Purnomosidhi (2006) mengemukakan bahwa akuntabilitas

organisasi dalam bentuk pelaporan tahunan tidak hanya terbatas pada kinerja

ekonomi atau keuangan saja, akan tetapi perlu juga melakukan pengungkapan

sukarela tentang modal intelektual.

Page 5: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

19

2.1.4 Teori Legitimasi (Legitimacy Theory)

Teori ini berpijak pada kenyataan bahwa perusahaan terikat dalam kontrak

sosial dengan masyarakat di sekitar perusahaan beroperasi (Guthrie et al, 2006).

Kontrak sosial yang dimaksud adalah sejumlah besar harapan masyarakat tentang

bagaimana seharusnya perusahaan melaksanakan operasinya (Ulum, 2009).

Teori legitimasi juga menyatakan bahwa organisasi harus secara

berkelanjutan mencari cara untuk menunjukkan keberlangsungan usahanya berada

dalam norma yang berlaku di masyarakat (Guthrie dan Parker, dalam Ulum,

2009). Norma tersebut tidak bersifat tetap akan tetapi dapat berubah kapan saja,

oleh karena itu perusahaan dituntut untuk selalu responsif terhadap perubahan

yang terjadi di lingkungan sekitar (Deegan, dalam Boedi, 2008).

Lindblom (dalam Guthrie et al, 2006) menyarankan jika legitimasi sebuah

organisasi tengah dipertanyakan, organisasi tersebut dapat menjalankan sejumlah

strategi yang agresif. Pertama, organisasi dapat mencari jalan untuk

menginformasikan kepada stakeholder nya perubahan-perubahan yang terjadi

pada kinerja dan aktifitas organisasi. Kedua, organisasi dapat mencari cara untuk

mengubah persepsi stakeholder, tanpa mengubah perilaku organisasi tersebut

yang sebenarnya. Ketiga, organisasi dapat mencari cara untuk memanipulasi

persepsi stakeholder dengan cara mengarahkan kembali (memutar balik)

perhatian atas isu tertentu kepada isu yang berkaitan lainnya.

Masih menurut Lindblom (Guthrie et al, 2006), perusahaan dapat

menggunakan sarana pengungkapan untuk mengimplementasikan strategi–strategi

tersebut. Melalui pengungkapan, perusahaan dapat memperlihatkan perhatian

Page 6: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

20

manajemen terhadap nilai-nilai masyarakat atau untuk mengalihkan perhatian

masyarakat dari aktifitas perusahaan yang berdampak negatif.

Teori legitimasi sangat terkait erat dengan pengungkapan modal

intelektual. Berbeda dengan teori stakeholder yang menempatkan para pemangku

kepentingan sebagai penentu dalam kebijakan pengungkapan informasi, dalam

teori ini faktor utama yang mempengaruhi kebijakan pengungkapan perusahaan

adalah persepsi publik. Hal ini mungkin terjadi pada saat sebuah perusahaan

ingin melegitimasi statusnya di masyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh

Guthrie et al (2006) :

“Companies are more likely to report on their intellectual capital if they

have a specific need to do this. This may happen when companies find themselves

unable to legitimise their status on the basis of the hard assets that are

traditionally recognised as the symbols of corporate success”.

Berdasarkan pernyataan tersebut, perusahaan akan memanfaatkan

pengungkapan modal intelektual untuk melegitimasi statusnya di masyarakat,

manakala aset fisik yang merupakan simbol kesusksesan tradisional tidak lagi

cukup untuk melegitimasi statusnya.

2.1.5 Teori Biaya dan Manfaat (Cost and Benefit Theory)

Menurut Oliveira et al. (2008), mekanisme pengungkapan yang bersifat

wajib maupun sukarela termasuk modal intelektual dalam laporan tahunan

memiliki beberapa manfaat. Di antaranya dapat mengurangi asimetri informasi,

memperbaiki penilaian yang salah (miss-evaluation) terhadap perusahaan,

Page 7: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

21

mengurangi biaya modal (cost of capital), meningkatkan permintaan investor, dan

mengurangi selisih harga beli dan harga jual saham (bid-ask spread).

Meskipun banyak manfaat yang diperoleh dari pengungkapan, kebijakan

pengungkapan perusahaan juga dipengaruhi oleh faktor biaya. Kieso (2004)

menyatakan :

“providing useful financial information is limited by a pervasive

constraint on financial reporting-cost should not exceed the benefits of a

reporting practice”.

Pernyataan Kieso tersebut menjadi pijakan teori biaya dan manfaat dalam

memandang kebijakan pengungkapan. Terlebih, menurut Foster (dalam Sutanto

dan Supatmi, 2012), biaya untuk mengungkapkan informasi cenderung mahal.

Oleh karena itu manajer hanya akan termotivasi untuk melakukan

pengungkapan sukarela ketika manfaat yang dihasilkan melebihi biaya langsung

maupun tidak langsung yang dikeluarkan untuk pengungkapan itu sendiri

(Oliveira, 2008).

2.2 Karakteristik Perusahaan

2.2.1 Definisi Karakteristik Perusahaan

Istilah karakteristik perusahaan didefinisikan sebagai ciri-ciri khusus

yang melekat pada perusahaan, menandai sebuah perusahaan dan

membedakannya dengan perusahaan lain (Suhardjanto dan Wardhani, 2010).

Menurut Sidharta dan Christanti (dalam Laraswita dan Indrayani, 2010),

karakteristik perusahaan dapat dilihat dari beberapa aspek seperti jenis usaha atau

Page 8: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

22

industri, struktur kepemilikan, tingkat likuiditas, tingkat profitabilitas, dan ukuran

perusahaan (size). Sementara itu Marwata (dalam Suhardjanto dan Wardhani,

2010) menambahkan status pendaftaran perusahaan di pasar modal, dan leverage

sebagai karakteristik perusahaan.

Dari semua pendapat ahli, uraian mengenai karakteristik perusahaan yang

paling sistematis dikemukakan oleh Wallace et al (dalam Tristanti dan Zulaikha,

2012) yang mengelompokkan variabel karakteristik perusahaan kedalam tiga

kategori, antara lain:

a. Variabel yang berkaitan dengan struktur (structure-related variable),

yakni variabel yang sifatnya cenderung stabil, contohnya ukuran

perusahaan dan tipe kepemilikan.

b. Variabel yang berkaitan dengan kinerja (performance-related variable),

yakni variabel yang sifatnya berubah dari waktu ke waktu. Contohnya

profitabilitas, leverage, dan likuiditas.

c. Variabel yang berkaitan dengan pasar (market-related variable), yakni

variabel yang dapat berubah ataupun stabil dari waktu ke waktu. Sifatnya

dapat kualitatif maupun kuantitatif. Variabel pasar yang kualitatif sifatnya

dikotomis, yaitu dibagi menjadi dua kelompok (ya atau tidak), contohnya

jenis industri dan status perusahaan. Sedangkan variabel pasar kuantitatif,

yaitu variabel yang dapat diukur dengan angka, contohnya struktur

kepemilikan modal dan umur perusahaan.

Page 9: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

23

Ahmad dan Sulaiman (dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010)

menyebutkan bahwa karakteristik perusahaan yang bervariasi menyebabkan

relevansi dan urgensi pengungkapan yang bervariasi pula pada setiap perusahaan.

2.2.2 Profitabilitas

Tujuan dari setiap perusahaan adalah memperoleh laba atau keuntungan

guna meningkatkan kesejahteraan semua golongan dalam perusahaan tersebut.

Dewasa ini kinerja suatu perusahaan dinilai berdasarkan kinerja keuangan

(financial performance), salah satunya yakni profitabilitas. Walker (dalam

Stephanie dan Yuyetta, 2012) bahkan mengatakan bahwa financial performance

hanya berfokus pada satu dimensi yaitu profitabilitas. Untuk memberikan

pengertian yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan profitabilitas, berikut ini

diuraikan definisi dari beberapa peneliti.

Menurut penelitian Sangkala, (2012), rasio profitabilitas merupakan rasio

yang digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam mendapatkan

keuntungan. Definisi yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Harahap (1998)

yang mengartikan profitabilitas sebagai kemampuan perusahaan dalam

menghasilkan laba dengan semua kemampuan dan sumber yang ada, seperti

penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah cabang, dan sebagainya.

Motivasi investor berinvestasi pada perusahaan adalah untuk mendapatkan

return atau pengembalian. Semakin tinggi profitabilitas maka semakin besar

return yang diharapkan oleh investor. Petronila dan Mukhlasin (dalam Sutanto

dan Supatmi, 2012) menyatakan bahwa profitabilitas merupakan indikator dari

Page 10: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

24

kinerja manajemen dalam mengelola perusahaan.

Penelitian yang dilakukan Singhvi dan Desai (dalam Tristanti, 2012)

membenarkan anggapan tersebut. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa

profitabilitas yang tinggi menandakan kinerja manajemen yang baik. Artinya,

ketika profitabilitas perusahaan tinggi atau meningkat, maka dapat dikatakan

manajemen telah berhasil atau memiliki kinerja yang baik. Sebaliknya, apabila

profitabilitas perusahaan kecil atau menurun maka perusahaan dikatakan kurang

berhasil.

Profitabilitas dapat diukur dengan sejumlah cara, salah satunya dengan

menggunakan rasio Return on Asset (ROA). Rasio ini menunjukkan laba bersih

yang diperoleh perusahaan ketika diukur dari nilai asetnya (Tristanti dan

Zulaikha, 2012). Dalam analisis laporan keuangan, rasio ini paling sering disoroti

karena mampu menggambarkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan

keuntungan.

Nilai ROA yang semakin besar menunjukkan kinerja perusahaan yang

semakin baik, dikarenakan tingkat pengembalian investasi (return) semakin besar.

Menurut Horne dan Wachowicz (2008), ROA dihitung dengan membandingkan

nilai laba bersih setelah pajak (net profit after taxes) terhadap total aset

perusahaan.

Page 11: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

25

Rumus:

ROA = Laba Bersih setelah pajak x 100%

Total Aset

Horne dan Wachowicz (2008)

ROA juga dapat digunakan sebagai alat ukur tingkat kesehatan kinerja

keuangan sebuah perusahaan. Berikut pada tabel 2.2 ditampilkan kriteria tingkat

kesehatan perusahaan berdasarkan nilai ROA-nya.

Tabel 2.2

Predikat Kesehatan Return On Assets (ROA)

Rasio Predikat

>1,22% Sehat

0,99% - 1,21% Cukup Sehat

0,77% - 0,98% Kurang Sehat

< 0,76% Tidak Sehat

Sumber: Taswan (dalam Milan et al, 2013) dengan penyesuaian.

2.2.3 Ukuran Perusahaan

Secara umum ukuran perusahaan (organization size) dapat diartikan

sebagai suatu perbandingan besar atau kecilnya suatu perusahaan (Sembiring,

2012). Sementara itu, besar kecilnya perusahaan dapat dilihat dari besarnya nilai

equity, nilai penjualan, atau nilai total aset (Riyanto, dalam Maryati dan Dwinurti,

2012).

Page 12: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

26

Di antara ketiga alat ukur tersebut, total aset adalah alat yang paling sering

digunakan. Sesuai dengan pernyataan Sembiring (2012) bahwa “aset merupakan

tolak ukur besaran atau skala suatu perusahaan”. Fitriani (dalam Tristanti dan

Zulaikha, 2012) juga membuktikan bahwa total aset lebih menggambarkan ukuran

perusahaan daripada kapitalisasi pasar. Hal ini dikarenakan besarnya total aset

masing-masing perusahaan pasti berbeda dan bahkan mempunyai selisih yang

besar, hingga dapat menyebabkan nilai yang ekstrim.

Skala perusahaan yang didasarkan pada total aset juga diatur oleh Undang-

Undang No 20 Tahun 2008 dengan pengklasifikasian pada tabel 2.1 sebagai

berikut.

Tabel 2.1

Klasifikasi Skala Usaha

Skala Usaha Kekayaan Hasil Penjualan

Mikro < Rp 50 juta < Rp 300 juta

Kecil Rp 50 juta – Rp 500 juta Rp 300 juta – 2,5 miliar

Menengah Rp 500 juta – Rp 10 miliar Rp 2,5 miliar – Rp 50 miliar

Besar > Rp 10 miliar > Rp 50 miliar

Sumber: Diolah dari UU No. 20 Tahun 2008

Secara matematis ukuran perusahaan diukur dengan logaritma natural total

aset (Goyal, dalam Sembiring, 2012). Penggunaan bentuk logaritma natural ini

ditujukan untuk penyederhanaan bentuk dari nilai total aset perusahaan yang

nilainya berjumlah miliaran hingga triliunan rupiah.

Page 13: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

27

Rumus:

Size = Ln Total Aset

Benardi dkk. (2009)

2.2.4 Leverage

Leverage adalah perbandingan antara dana yang diperoleh dari pihak

ekstern perusahaan (kreditor) berupa hutang, terhadap dana yang disediakan oleh

pemilik perusahan (Makmun, dalam Sutanto dan Supatmi, 2012). Rasio ini

menggambarkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka

panjangnya (Tristanti dan Zulaikha, 2012).

Mujiyono dan Nany (2010) mengemukakan bahwa perusahaan yang

memiliki tingkat leverage yang semakin tinggi merupakan pertanda semakin

besar pula potensi transfer kemakmuran dari kreditor (debtholders) kepada

pemegang saham dan manajer yang kemudian menimbulkan konflik keagenan.

Leverage diukur dengan rasio total utang terhadap ekuitas (Debt to Equity

Ratio) yang juga disebut rasio leverage. Rasio ini membandingkan jumlah modal

pemilik yang dapat dijaminkan untuk pembayaran utang-utang kepada pihak luar

(Harahap, 1998). Semakin kecil tingkat debt to equity ratio semakin baik,

Yang artinya semakin kecil proporsi utang yang harus dijaminkan dengan

modal sendiri. Menurut Arista dan Astohar (2012), DER yang aman biasanya

kurang dari 50%. Adapun debt to equity ratio tersebut dihitung dengan rumus

sebagai berikut,

Page 14: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

28

Rumus:

Harahap (1998)

2.3 Modal Intelektual

2.3.1 Definisi Modal Intelektual

Istilah modal intelektual (intellectual capital) pertama kali dikemukakan

oleh seorang ekonom bernama John Kenneth Galbraith pada tahun 1969, yang

menulis surat kepada temannya, Michael Kalecki. Galbraith menulis:

“I wonder if you realize how much those of us the world around have owed

to the intellectual capital you have provided over the last decades” (Hudson, 1993

dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010).

Menurut Chang dan Hsieh (dalam Khalique et al, 2011), tidak ada definisi

yang berlaku secara umum mengenai modal intelektual. Namun banyak peneliti

yang mencoba mendefinisikan konsep yang sama tentang modal intelektual

dengan cara yang beragam, yaitu:

1. Klein dan Prusak yang kemudian dipopulerkan oleh Stewart (1994)

menyatakan: “…we can define intellectual capital operationally as

intellectual material that has been formalized, captured, and leveraged

to produce a higher valued asset” (Sawarjuwono dan Kadir, 2003).

2. Brooking (1996) menyatakan bahwa: “IC is the term given to the

combined intangible assets of market, intellectual property, human

centred and infrastructure – which enable the company to function‟

DER = Total Utang x 100%

Modal

Page 15: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

29

(dalam Ulum, 2009).

3. Edvinsson (1997) menyatakan bahwa: “Intellectual capital is the sum of

human capital and structural capital” (Khalique, 2011).

4. Bontis (1998) mengakui bahwa “IC is elusive, but once it is discovered

and exploited, it may provide an organization with a new resources-base

from which to compete and win‟ (Ulum, 2009).

5. Sullivan (1998) menyatakan: “Intellectual capital includes intellectual

assets that can be converted into revenues” (Keenan dan Aggestam,

2001).

6. Bukh et al (2005) menyatakan bahwa istilah modal intelektual seringkali

didefinisikan sebagai: “...knowledge resources, in the form of employees,

customers, processes or technology, which the company can mobilize in

its value creation processes”.

7. Low and Kalafut (2002) mendefinisikan modal intelektual

sebagai “Intangible assets which include technology, customer

information, brand name, reputation and corporate culture that are

invaluable to a firm’s competitive power” (Taliyang dan Jusop, 2011).

Selain definisi-definisi tersebut, ada satu definisi yang paling banyak

digunakan yaitu dinyatakan oleh Organisation for Economic Cooperation and

Development (OECD) bahwa modal intelektual sebagai nilai ekonomi dari dua

kategori intangibles assets perusahaan: (1) organisational (structural) capital; dan

(2) human capital (dalam Purnomosidhi, 2006).

Page 16: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

30

Berdasarkan, pengertian-pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa modal

intelektual merupakan sekumpulan aset tidak berwujud (intangible assets) yang

terdiri atas beberapa komponen yang jika digunakan secara optimal akan dapat

meningkatkan nilai perusahaan dan keunggulan bersaing.

2.3.2 Value Added Intellectual Coefficient (VAIC™)

Value Added Intellectual Coefficient (VAIC™) Metode VAIC™,

dikembangkan oleh Pulic (1998), didesain untuk menyajikan informasi tentang

value creation efficiency dari aset berwujud (tangible asset) dan aset tidak

berwujud (intangible assets) yang dimiliki perusahaan. Model ini dimulai dengan

kemampuan perusahaan untuk menciptakan value added (VA). VA adalah

indikator paling objektif untuk menilai keberhasilan bisnis dan menunjukkan

kemampuan perusahaan dalam penciptaan nilai (value creation) (Pulic, 1998). VA

dihitung sebagai selisih antara output dan input (Pulic, 1999 dalam Ulum).

Tan et al. (2007) menyatakan bahwa output (OUT) merepresentasikan

revenue dan mencakup seluruh produk dan jasa yang dijual di pasar, sedangkan

input (IN) mencakup seluruh beban yang digunakan dalam memperoleh revenue.

Menurut Tan et al. (2007), hal penting dalam model ini adalah bahwa beban

karyawan (labour expenses) tidak termasuk dalam IN. Karena peran aktifnya

dalam proses value creation, intellectual potential (yang direpresentasikan dengan

labour expenses) tidak dihitung sebagai biaya (cost) dan tidak masuk dalam

komponen IN (Pulic, 1999).

Page 17: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

31

Karena itu, aspek kunci dalam model Pulic adalah memperlakukan tenaga

kerja sebagai entitas penciptaan nilai (value creating entity) (Tan et al., 2007

dalam Ulum, 2007).

VA dipengaruhi oleh efisiensi dari Human Capital (HC) dan Structural

Capital (SC). Hubungan lainnya dari VA adalah capital employed (CE), yang

dalam hal ini dilabeli dengan VACA. VACA adalah indikator untuk VA yang

diciptakan oleh satu unit dari physical capital. Pulic (1998) mengasumsikan

bahwa jika 1 unit dari CE menghasilkan return yang lebih besar daripada

perusahaan yang lain, maka berarti perusahaan tersebut lebih baik dalam

memanfaatkan CE-nya. Dengan demikian, pemanfaatan CE yang lebih baik

merupakan bagian dari IC perusahaan (Tan et al., 2007).

Hubungan selanjutnya adalah VA dan HC. ‘Value Added Human Capital’

(VAHU) menunjukkan berapa banyak VA dapat dihasilkan dengan dana yang

dikeluarkan untuk tenaga kerja. Hubungan antara VA dan HC mengindikasikan

kemampuan dari HC untuk menciptakan nilai di dalam perusahaan (Tan et al.,

2007). Konsisten dengan pandangan para penulis IC lainnya, Pulic (1998)

berargumen bahwa total salary and wage costs adalah indikator dari HC

perusahaan. Hubungan ketiga adalah “structural capital coefficient” (STVA),

yang menunjukkan kontribusi structural capital (SC) dalam penciptaan nilai.

STVA mengukur jumlah SC yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 rupiah dari

VA dan merupakan indikasi bagaimana keberhasilan SC dalam penciptaan nilai

(Tan et al., 2007). SC bukanlah ukuran yang independent sebagaimana HC, ia

Page 18: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

32

dependent terhadap value creation (Pulic, 1999). Artinya, menurut Pulic (1999),

semakin besar kontribusi HC dalam value creation, maka akan semakin kecil

kontribusi SC dalam hal tersebut. Lebih lanjut Pulic (1999) menyatakan bahwa

SC adalah VA dikurangi HC, yang hal ini telah diverifikasi melalui penelitian

empiris pada sektor industri tradisional (Pulic, 2000). Rasio terakhir adalah

menghitung kemampuan intelektual perusahaan dengan menjumlahkan koefisien-

koefisien yang telah dihitung sebelumnya. Hasil penjumlahan tersebut

diformulasikan dalam indikator baru yang unik, yaitu VAIC™ (Tan et al., 2007

dalam Ulum, 2007)).

2.3.3 Komponen-Komponen Modal Intelektual

Berbagai definisi tentang modal intelektual telah mendorong beberapa

peneliti untuk mengembangkan komponen spesifik atas modal intelektual (Ulum,

2009). Jumlah komponen yang dirumuskan oleh para peneliti beragam. Para

peneliti di awal perkembangan modal intelektual seperti Stewart (1997), Sveiby

(1997), Brooking (1996), Edvinsson (1997), Roos et al. (1997) and Bontis (1998)

sepakat bahwa modal intelektual terdiri atas tiga komponen utama, yaitu human

capital, customer capital, dan structural capital (Khalique et al, 2011).

Namun dalam perkembangannya, kini komponen modal intelektual lebih

dikembangkan lagi oleh beberapa peneliti. Dalam Ismail (2005) misalnya,

mengembangkan konsep modal intelektual dan mengidentifikasi bahwa modal

spiritual (spiritual capital) adalah komponen penting dalam modal intelektual.

Selain itu Ramezan (2011) juga menambahkan technological capital

sebagai bagian dari komponen modal intelektual. (Khalique et al, 2011). Menurut

Page 19: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

33

Purnomosidhi (2006), walaupun terdapat versi yang beragam tentang komponen

modal intelektual, pada dasarnya hanya terdapat tiga skema yang sering dikutip

dalam berbagai penelitian, yaitu skema yang diusulkan Sveiby (1997), Stewart

(1997), dan Edvinsson dan Sullivan (1996).

Ketiga skema tersebut memiliki tiga elemen yang sama, yaitu modal

intelektual yang terletak dalam diri manusia (human capital), modal intelektual

yang melekat dalam perusahaan (structural capital), dan modal intelektual yang

terkait dengan hubungan dengan pihak eksternal (relational capital). Untuk lebih

jelasnya, ketiga skema tersebut dirinci pada tabel 2.3 berikut.

Tabel 2.3

Skema Komponen Modal Intelektual

Sumber: Purnomosidhi (2006)

Dalam Bontis et al. (2000) menyatakan bahwa secara umum, para peneliti

mengidentifikasi tiga konstruk utama dari IC, yaitu: human capital (HC),

structural capital (SC), dan customer capital (CC). Menurut Bontis et al. (2000),

secara sederhana HC merepresentasikan individual knowledge stock suatu

organisasi yang direpresentasikan oleh karyawannya. HC merupakan kombinasi

dari genetic inheritance; education; experience, and attitude tentang kehidupan

Author Elemen Modal inteletual Modal Inteletual Modal inteletual

yang melekat pada yang melekat pada yang melekat pada

manusia organisasi hubungan

Edvinson Human capital Organizational

capital Customer capital

Stewart Human capital Structure capital Customer capital

Sveiby Employee competence Internal structure Exsternal structure

Li et al Human capital Organizational

capital Relational capital

Page 20: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

34

dan bisnis. Lebih lanjut Bontis et al. (2000) menyebutkan bahwa SC meliputi

seluruh non-human storehouses of knowledge dalam organisasi. Termasuk dalam

hal ini adalah database, organisational charts, process manuals, strategies,

routines dan segala hal yang membuat nilai perusahaan lebih besar daripada nilai

materialnya. Sedangkan tema utama dari CC adalah pengetahuan yang melekat

dalam marketing channels dan customer relationship dimana suatu organisasi

mengembangkannya melalui jalannya bisnis (Bontis et al., 2000 dalam Ulum,

2007)).

2.3.4 Formulasi dan tahapan perhitungan Modal Intelektual (VAIC™)

VAIC™ itu sendiri adalah kombinasi dari ketiga VA yang dikembangkan oleh

Pulic (1998, 1999, 2000). Menghitung Value Added (VA). VA dihitung sebagai

selisih antara output dan input (Pulic, 1999).

Dimana:

a. OUT = Output: total penjualan dan pendapatan lain.

b. IN = Input: beban penjualan dan biaya-biaya lain (selain beban karyawan).

Tahap Kedua: Menghitung Value Added Capital Employed (VACA).

VACA adalah indikator untuk VA yang diciptakan oleh satu unit dari physical

capital. Rasio ini menunjukkan kontribusi yang dibuat oleh setiap unit dari CE

terhadap value added organisasi.

VA = OUT - IN

Page 21: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

35

Dimana:

a. VACA = Value Added Capital Employed: rasio dari VA terhadap CE.

b. VA = value added

c. CE = Capital Employed: dana yang tersedia (ekuitas, laba bersih)

Selanjutnya penjelasan mengenai masing-masing komponen modal

intelektual dan tahapan perhitungan menurut Pulic:

1. Modal Manusia (Human Capital)

Menurut Edvinsson dan Malone (dalam Khalique et al, 2011), “Human

capital is the heart of intellectual capital”. Sedangkan Sawarjuwono dan Kadir

(2003) menyebutnya sebagai lifeblood dalam modal intelektual. Dari komponen

inilah inovasi dan pengembangan berasal, meskipun pengukuran terhadapnya

cukup sulit dilakukan (Sawarjuwono dan Kadir, 2003). Hal tersebut dikarenakan

Human capital melekat pada diri masing-masing individu sehingga tidak bisa

dimiliki oleh perusahaan sepenuhnya (Kavida dan Sivakoumar, dalam Sutanto dan

Supatmi, 2012).

Human capital merupakan sumber pengetahuan, keterampilan, dan

kompetensi dalam suatu perusahaan yang dapat meningkat seiring dengan

kemampuan perusahaan dalam mengelola pengetahuan yang dimiliki oleh

karyawannya. Menurut Sutanto dan Supatmi (2012), human capital adalah

gabungan kemampuan dari individu dalam sebuah perusahaan untuk mencari

solusi atas masalah bisnis yang dihadapi.

VACA = VA/CE

Page 22: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

36

Saleh et al (2007) memberikan gambaran singkat mengenai karakteristik

human capital sebagai berikut : “human capital is the knowledge that employees

take with them when they leave the organization”. Lebih jelasnya, Brinker (2000)

memberikan beberapa indikator dasar yang dapat diukur dari modal ini, yaitu

training programs, credential, experience, competence, recruitment, mentoring,

learning programs, individual potential and personality (Sawarjuwono dan

Kadir, 2003).

Tahap Ketiga: Menghitung Value Added Human Capital (VAHU).

VAHU menunjukkan berapa banyak VA dapat dihasilkan dengan dana yang

dikeluarkan untuk tenaga kerja. Rasio ini menunjukkan kontribusi yang dibuat

oleh setiap rupiah yang diinvestasikan dalam HC terhadap value added

organisasi.

Dimana:

a. VAHU = Value Added Human Capital: rasio dari VA terhadap HC.

b. VA = value added

c. HC = Human Capital: beban karyawan.

2. Modal Struktural (Structural Capital)

Pengertian structural capital dikemukakan oleh Bontis (dalam Khalique et

al, 2011) sebagai: “...all the nonhuman storehouses of knowledge including

databases, organizational charts, process manuals, strategies, routines and

VAHU = VA/HC

Page 23: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

37

policies”. Sedangkan Saleh et al (2007) menyebut modal struktural sebagai

pengetahuan yang bersifat independen, artinya akan tetap ada dalam organisasi

meskipun karyawan meninggalkan organisasi.

Elemen kedua ini menunjukkan kemampuan organisasi atau perusahaan

dalam menjalankan rutinitas perusahaan dan strukturnya sehingga mendukung

usaha karyawan untuk menghasilkan kinerja intelektual yang optimal. Karl Erik

Sveiby (dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010) membagi elemen ini menjadi

dua komponen penting yaitu Intellectual property dan infrastructure assets.

Intellectual property merupakan modal yang keberadaannya dilindungi

oleh hukum, seperti paten (patent), hak cipta (copyright), dan merk dagang

(trademark). Sedangkan Infrastructure asset, yakni modal struktural yang dapat

diciptakan sendiri di dalam maupun diperoleh dari luar perusahaan. Suhardjanto

dan Wardhani (2010) menyebut budaya perusahaan (corporate culture),

management process, sistem informasi, networking system, dan research project

termasuk ke dalam elemen ini.

Stewart (dalam Khalique et al, 2011) menjelaskan bahwa structural capital

menyediakan lingkungan yang mendukung individu-individu untuk meningkatkan

pengetahuannya. Seorang individu dapat memiliki tingkat intelektualitas yang

tinggi, tetapi jika organisasi memiliki sistem dan prosedur yang buruk maka

intellectual capital tidak dapat mencapai kinerja secara optimal antaranya

(Sawarjuwono dan Kadir, 2003).

Tahap Keempat: Menghitung Structural capital Value Added (STVA).

Rasio ini mengukur jumlah SC yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 rupiah dari

Page 24: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

38

VA dan merupakan indikasi bagaimana keberhasilan SC dalam penciptaan nilai.

Dimana:

a. STVA = Structural Capital Value Added: rasio dari SC terhadap VA.

b. SC = Structural Capital : VA – HC

c. VA = value added

3. Modal Konsumen (Customer Capital)

Elemen ketiga ini merupakan komponen modal intelektual yang

memberikan nilai secara nyata (Sawarjuwono dan Kadir, 2003). Bozzolan et al

mendefinisikannya sebagai “Valuable knowledge that interacts with the external

sources of the organization like customers, suppliers and creditors through

networks, strategic alliances and distribution channels” (Saleh et al, 2007).

Sedangkan menurut Sawarjuwono dan Kadir (2003), definisi relational

capital yaitu: Hubungan yang harmonis / association network yang dimiliki oleh

perusahaan dengan para mitranya, baik yang berasal dari para pemasok yang

andal dan berkualitas, berasal dari pelanggan yang loyal dan merasa puas akan

pelayanan perusahaan yang bersangkutan, berasal dari hubungan perusahaan

dengan pemerintah maupun dengan masyarakat sekitar.

Modal konsumen dapat muncul dari berbagai pihak di luar lingkungan

perusahaan yang dapat menambah nilai bagi perusahaan tersebut. Edvinsson

STVA = SC/VA

Page 25: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

39

(dalam Sawarjuwono dan Kadir, 2003) menyarankan pengukuran elemen atas ini

melalui beberapa hal berikut:

1. Customer Profile. Siapa pelanggan-pelanggan kita, dan bagaimana mereka

berbeda dari pelanggan yang dimiliki oleh pesaing. Hal potensial apa yang

kita miliki untuk meningkatkan loyalitas, mendapatkan pelanggan baru,

dan mengambil pelanggan dari pesaing.

2. Custumer Duration. Seberapa sering pelanggan kita berbalik pada kita?

Apa yang kita ketahui tentang bagaimana dan kapan pelanggan akan

menjadi pelanggan yang loyal? Serta seberapa sering frekuensi

komunikasi kita dengan pelanggan.

3. Customer Role. Bagaimana kita mengikutsertakan pelanggan ke dalam

disain produk, produksi dan pelayanan.

4. Customer Support. Program apa yang digunakan untuk mengetahui

kepuasan pelanggan.

5. Customer Success. Berapa besar rata-rata setahun pembelian yang

dilakukan oleh pelanggan.

Suhardjanto dan Wardhani (2010) mengatakan, relational capital terdiri

atas beberapa elemen seperti pelanggan (customer), jaringan distribusi

(distribution channel), kolaborasi bisnis (business collaboration), perjanjian

franchise, dan sebagainya.

Roos et al (dalam Khalique et al, 2011) menyatakan bahwa hubungan

perusahaan dengan pelanggan sangatlah penting karena pelanggan yang membeli

produk atau jasa dari perusahaan. Dengan kata lain, pelanggan merupakan sumber

Page 26: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

40

utama pendapatan perusahaan.

Tahap Kelima : Menghitung Value Added Intellectual Coefficient

(VAIC™). VAIC™ mengindikasikan kemampuan intelektual organisasi yang

dapat juga dianggap sebagai BPI (Business Performance Indicator). VAIC™

merupakan penjumlahan dari 3 komponen sebelumnya, yaitu: VACA, VAHU,

dan STVA. Atau dengan kata lain yang member nilai nyata bagi perusahaan (arti

dari Customer Capital).

Menurut Purnomosidhi (2006), komponen-komponen modal intelektual

yang telah dijabarkan di atas merupakan indikasi nilai perusahaan di masa depan

(future value) dan kinerja keuangan perusahaan. Oleh karena itu menurutnya,

diperlukan metode pelaporan dan pengelolaan terhadap dimensi-dimensi modal

intelektual yang lebih sistematis.

Per Nikolaj Bukh dan beberapa peneliti lain (2005) telah mencoba

menyusun daftar indikator pengungkapan modal intelektual ke dalam dimensi-

dimensi yang lebih sistematis. Dalam penelitiannya yang berjudul “Disclosure of

information on intellectual capital in Danish IPO prospectuses”, terdapat enam

dimensi pengungkapan, antara lain dimensi karyawan (employee), pelanggan

(customer), teknologi dan informasi (technology information), proses (processes),

penelitian dan pengembangan (research and development), dan pernyataan

tentang strategi (strategic statement). Enam dimensi tersebut kemudian dirinci

lagi hingga menjadi 78 indikator pengungkapan dalam tabel 2.4 berikut.

VAIC™ = VACA + VAHU + STVA

Page 27: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

41

Tabel 2.4

HUMAN CAPITAL

NO Item Pengungkapan Kode

1 Employee Employee breakdown by age E1

2 (27 Items) Employee breakdown by seniority E2

3 Employee breakdown by gender E3

4 Employee breakdown by Nationality E4

5 Employee breakdown by department E5

6 Employee breakdown by job function E6

7 Employee breakdown by level of education E7

8 Rate of employee turnover E8

9 Comments on changes in the number of employees

E9

10 Comment on employee health and safety E10

11 Employee absenteeism rate E11

12 Discussion of employee interviews E12

13 Statements of policy on competency development E13

14

Description of competency development programs

and activities E14

15 Education and training expense E15

16

Education and training expenses by number of

employees E16

17 Employee expenses by number of employees E17

18 Recruitment policies of the firm E18

19

Separate indication firm has a HRM department,

division or function E19

20 Job rotation opportunities E20

21 Career opportunities E21

22 Remuneration and incentive systems E22

23 Pensions E23

24 Insurance policies E24

25 Statements of dependence on key personnel E25

26 Revenues per employee E26

27 Value added per employee E27

Page 28: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

42

STRUCTURAL CAPITAL / ORGANIZATIONAL CAPITAL

42 Techonology Description of investments in IT IT1

43 Information Description of existing IT systems IT2

44

(IT) 5(

Items) Software assets held or developed by the firm

IT3

45 Description of IT facilities IT4

46 IT expenses IT5

47 Process

Information and communication within the

company P1

48 (8 items) Efforts related to the working environment P2

49 Working from home P3

50 Internal sharing of knowledge and information P4

51 External sharing of knowledge and information P5

52 Measure of internal or external processing failures

P6

53

Discussion of fringe benefits and company social

programs P7

54 Environmental approvals and statements/policies

P8

55 Research

Statements of policy, strategy and/or objectives of

R&D activities RD1

56 and R&D expenses RD2

57 Development Ratio of R&D expenses to sales RD3

58 (9 Items) R&D invested into basic research RD4

59 R&D invested into product design and development

RD5

60 Details of future prospects regarding R&D RD6

61 Details of existing company patents RD7

62 Number of patents and licenses, etc. RD8

63 Information on pending patents RD9

64

Strategic

Statement

(15 Items)

Description of new production technology SS1

65 Statements of corporate quality performance SS2

66 Information about strategic alliances of the firm SS3

67 Objectives and reason for strategic alliances SS4

68 Comments on the effects of the strategic alliances SS5

69 Description of the network of suppliers and

distributors SS6

Page 29: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

43

70

Statements of image and brand SS7

71 Corporate culture statements SS8

72 Statements about best practices SS9

73 Organisational structure of the firm SS10

74 Utilization of energy, raw materials and other input

goods SS11

75 Investment in the environment SS12

76 Description of community involvement SS13

77 Information on corporate social responsibility and

objective SS14

78 Description of employee contracts/contractual

issues SS15

CUSTOMER CAPITAL / RELATIONAL CAPITAL

28 Customers Number of customers C1

29 (14 Items) Sales breakdown by customer C2

30 Annual sales per segment or product C3

31 Average purchase size by customer C4

32 Dependence on key customers C5

33

Description of customer involvement in firm’s

operations C6

34 Description of customer relations C7

35 Education/training of customers C8

36 Ratio of customers to employees C9

37 Value added per customer or segment C10

38

Absolute market share (per cent) of the firm within

its industry C11

39

Relative market share (not expressed as percentage)

of the firm C12

40

Market share (per cent) breakdown by country,

segment, product C13

41 Repurchases C14

Sumber: Bukh et al (2005)

Page 30: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

44

2.4 Pengungkapan (Disclosure)

2.4.1 Definisi Pengungkapan (Disclosure)

Hendriksen dan Breda (dalam Benardi dkk, 2009) mendefinisikan istilah

pengungkapan (disclosure) sebagai “penyajian informasi yang diperlukan dalam

laporan keuangan untuk mencapai operasi pasar modal yang efisien”.

Evan (dalam Nuswandari, 2009) membatasi pengertian pengungkapan

hanya terkait hal yang menyangkut keuangan. Namun Nuswandari (2009)

menyatakan bahwa istilah pengungkapan pada laporan keuangan tidak hanya

merujuk pada penyampaian informasi keuangan saja, tetapi juga mencakup

informasi tambahan (supplementary communications) yang terdiri atas catatan

kaki, informasi tentang kejadian setelah tanggal pelaporan, analisis manajemen

tentang operasi perusahaan di masa yang mendatang, prakiraan keuangan dan

operasi serta informasi lainnya.

Guthrie dan Parker (dalam Suardjanto dan Wardhani, 2010) turut

membenarkan pernyataan tersebut. Menurutnya, pengungkapan meliputi

ketersediaan informasi keuangan dan non-keuangan berkaitan dengan interaksi

organisasi dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya, yang dapat dibuat

dalam laporan tahunan perusahaan.

Wolk dan Tearney (dalam Nuswandari, 2009) menjelaskan bahwa

pengungkapan menyangkut untuk siapa informasi diungkapkan, apa tujuan

pengungkapan tersebut dilakukan, tingkat keluasan dan kerincian pengungkapan,

dan bagaimana cara dan waktu mengungkapkan informasi.

Page 31: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

45

Singhvi dan Desai (dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010) menunjukkan

bahwa bentuk pengungkapan yang sangat penting adalah melalui laporan tahunan,

karena digunakan oleh para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam hal

pengambilan keputusan investasi. Selain itu, laporan tahunan juga dipilih karena

mempunyai kredibilitas yang tinggi dan memiliki beberapa manfaat lainnya

seperti digunakan untuk mempengaruhi penyebaran distribusi, mendeskripsikan

manajemen dan untuk tujuan penelitian (Haniffa dan Cooke, dalam Suhardjanto

dan Wardhani, 2010).

2.4.2 Jenis-jenis Pengungkapan

Terdapat tiga konsep mengenai luas pengungkapan laporan keuangan

(Kartika, 2009), yaitu:

1. Pengungkapan Memadai (Adequate Disclosure)

Yaitu pengungkapan minimal yang disyaratkan oleh peraturan sehingga

laporan tersebut dapat digunakan oleh investor dan tidak menyesatkan.

2. Pengungkapan Wajar atau (Fair Disclosure)

Pengungkapan wajar yaitu pengungkapan yang menyangkut tujuan-tujuan

etis untuk memberikan perlakuan yang sama bagi semua pembaca

potensial.

3. Pengungkapan Penuh (Full Disclosure)

Yaitu pengungkapan atas semua informasi yang relevan. Artinya, semua

informasi yang berhubungan secara langsung maupun tidak langsung

terhadap perusahaan diungkapkan.

Page 32: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

46

Kartika (2009) juga menyebutkan bahwa pengungkapan berdasarkan

sifatnya dikelompokkan menjadi dua, yaitu:

1. Pengungkapan Wajib (Mandatory Disclosure)

Mandatory disclosure merupakan pengungkapan minimum yang

disyaratkan standar akuntansi yang berlaku. Adapun standar yang mengatur

tentang pengungkapan wajib telah sesuai dengan peraturan mengenai

pengungkapan laporan tahunan yang dikeluarkan oleh BAPEPAM yaitu Peraturan

Nomor X.K.6.

2. Pengungkapan Sukarela (Voluntary Disclosure)

Pengungkapan sukarela adalah pengungkapan informasi yang

dilakukan secara sukarela oleh perusahaan tanpa diwajibkan oleh peraturan yang

berlaku.

2.4.3 Pengungkapan Modal Intelektual

Pengungkapan modal intelektual merupakan suatu laporan yang

disampaikan untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhan informasi pengguna

laporan (Abeysekera dalam Boedi, 2008). Selanjutnya Guthrie dan Petty

(dalamUlum,2009).

Mengungkapkan definisi pengungkapan modal intelektual (Intellectual

capital disclosure) secara implisit dengan menyebutkan bahwa pengungkapan

modal intelektual kini memberikan manfaat yang lebih besar dibanding masa lalu.

Terutama bagi sektor yang mempunyai karakteristik industri dominan yang

kemudian mengalami perubahan, contohnya sektor manufaktur yang berubah

menjadi high technology, finansial, jasa asuransi dan sebagainya.

Page 33: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

47

Adapun manfaat pengungkapan modal intelektual secara lebih rinci

dikemukakan oleh Bukh et al (2005):

“Disclosure of information on intellectual capital is expected to reduce

information asymmetry and to enhance stock market liquidity and increase

demand for companies’securities”.

Penelitian Guthrie dan Petty (dalam Istanti, 2009) mengenai pelaporan

modal intelektual menunjukkan hasil sebagai berikut:

1. Pengungkapan modal intelektual lebih banyak (95%) disajikan secara

terpisah dan tidak ada yang disajikan dalam angka atau kuantitatif.

2. Pengungkapan mengenai modal eksternal lebih banyak dilakukan oleh

perusahaan. Tidak terdapat pola tertentu dalam laporan-laporan tersebut.

3. Pelaporan dan pengungkapan modal intelektual dilakukan masih secara

sebagian dan belum menyeluruh.

4. Secara keseluruhan perusahaan menekankan bahwa modal intelektual

merupakan hal penting untuk menuju sukses dalam menghadapi

persaingan masa depan.

Mouritsen et al (dalam Ulum, 2009) turut membenarkan hasil penelitian

tersebut. Menurutnya, pengungkapan atas modal intelektual dapat diungkapkan

dengan mengkombinasikan dengan angka, visualisasi dan naratif sehingga

berguna dalam menciptaan nilai bagi perusahaan. Penciptaan nilai perusahaan

dapat terjadi manakala informasi yang disampaikan dalam laporan tahunan

menggambarkan aktivitas perusahaan yang kredibel, terpadu dan “true and fair”.

Bertentangan dengan hasil penelitian Guthrie dan Petty (2000), Boedi

Page 34: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

48

(2008) menemukan fakta bahwa saat ini sangat sedikit jumlah perusahaan yang

mengungkapkan modal intelektual secara terpisah. Hal ini dikarenakan jika modal

intelektual dilaporkan secara terpisah akan menyebabkan laporan-laporan yang

kohesif, sehingga tidak perlu untuk menyediakan pengungkapan yang kredibel

mengenai kegiatan perusahaan.

Hubungan antara IC (VAICTM

) dan Kinerja Perusahaan Hubungan

intellectual capital dengan kinerja keuangan perusahaan telah dibuktikan secara

empiris oleh beberapa peneliti dalam berbagai pendekatan di beberapa negara.

Tabel berikut ini merangkum beberapa penelitian yang dilakukan untuk menguji

hubungan antara IC dengan kinerja perusahaan.

2.5 Pengaruh Profitabilitas terhadap Tingkat Pengungkapan Modal

Intelektual

Meek et al (dalam Purnomosidhi, 2006) mengungkapkan, salah satu

mekanisme untuk membedakan perusahaan tingkat profitabilitasnya tinggi dengan

perusahaan yang tingkat profitabilitasnya rendah adalah dengan melihat tingkat

pengungkapan sukarelanya. Anggapan ini dilandaskan pada teori sinyal yang

menyatakan bahwa superior and profitable firm cenderung mengungkapkan lebih

banyak informasi kepada investor (Ahmed dan Courtis, dalam Purnomosidhi,

2006).

Singvi dan Desai (dalam Benardi dkk, 2009) mengutarakan bahwa

rentabilitas ekonomi dan profit margin yang tinggi akan mendorong para manajer

untuk memberikan informasi yang lebih rinci, sebab manajer ingin menyakinkan

Page 35: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

49

investor terhadap profitabilitas perusahaan.

Haniffa dan Cooke (dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010) juga

menunjukkan hal yang sama. Argumentasi yang dikemukakan adalah karena

semakin tinggi profitabilitas yang berarti semakin besar dukungan finansial

perusahaan, maka akan semakin banyak pengungkapan informasi termasuk

informasi mengenai modal intelektual. Dengan demikian, dapat disimpulkan

bahwa profitabilitas memiliki pengaruh positif tehadap tingkat pengungkapan

modal intelektual.

2.6 Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Tingkat Pengungkapan

Modal Intelektual

Pengaruh ukuran perusahaan terhadap tingkat pengungkapan modal

intelektual telah banyak diuji pada penelitian-penelitian sebelumnya. Menurut

Cooke (dalam Suhardjanto dan Wardhani, 2010), ukuran perusahaan merupakan

variabel penting yang menjelaskan luas pengungkapan dalam laporan tahunan.

Adapun pengaruh dari ukuran perusahaan terhadap pengungkapan modal

intelektual dapat dilihat dari beberapa sudut pandang teori. Teori yang pertama

yaitu teori agensi. Bernardi dkk (2009) menyebutkan bahwa semakin besar ukuran

suatu perusahaan maka semakin banyak aktivitas yang dilakukannya Kondisi ini

akan sangat memungkinkan terjadinya konflik kepentingan antara manajer dan

pemegang saham.

Manajer dalam hal ini adalah pihak yang mengelola perusahaan secara

langsung setiap harinya, sehingga manajer tentu akan mengetahui kondisi

Page 36: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

50

perusahaan secara detail. Berbeda dengan pemilik saham yang tidak secara

langsung terjun ke dalam aktivitas perusahaan. Untuk mengetahui kondisi

perusahaan mereka sangat mengandalkan laporan yang disampaikan oleh manajer.

Dikarenakan memiliki kepentingan lain, terkadang manajer tidak mengungkapkan

informasi secara lengkap yang mengakibatkan terjadinya asimetri informasi antara

manajer dengan pemilik saham.

Menurut Bukh et al (2005), salah satu manfaat pengungkapan modal

intelektual adalah dengan cara mengurangi asimetri informasi. Alasannya, dengan

mengungkapkan modal intelektual, pemegang saham dan pemangku kepentingan

lainnya mengetahui lebih banyak mengenai potensi, aktivitas dan kinerja

perusahaan yang sebenarnya. Dengan demikian semakin besar ukuran suatu

perusahaan maka semakin besar pula dorongan untuk mengungkapkan modal

intelektual.

Dari sudut pandang teori sinyal, Ahmed dan Courtis (dalam Purnomosidhi,

2006) mengemukakan bahwa perusahaan yang ukurannya besar (superior firm)

lebih banyak mengirimkan sinyal positif ke pasar dengan tujuan untuk

menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki kinerja yang lebih baik dari

perusahaan lainnya. Kaitannya dengan modal intelektual, yakni karena informasi

modal intelektual merupakan sinyal positif yang dapat meningkatkan kredibilitas

perusahaan. Di samping itu, Istanti (2009) menyatakan, dengan mengungkapkan

informasi yang lebih banyak, perusahaan mencoba mengisyaratkan bahwa

perusahaan seutuhnya dan telah menerapkan prinsip-prinsip manajemen

perusahaan yang baik atau GCG (Good Corporate Governance).

Page 37: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

51

Pengaruh ukuran perusahaan terhadap tingkat pengungkapan modal

intelektual juga dapat ditinjau dari teori stakeholder. Suhardjanto dan Wardhani

(2010) menyatakan bahwa semakin besar perusahaan semakin besar pula

perhatian atau sorotan stakeholder, oleh karena itu perusahaan akan semakin

banyak melaporkan informasi, salah satunya mengenai modal intelektual.

Raffournier (dalam Purnomosidhi, 2006) mengemukakan alasan

mengapa perusahaan-perusahaan besar melakukan pengungkapan informasi lebih

banyak daripada perusahaan-perusahaan yang lebih kecil. Pertama, pengungkapan

informasi secara rinci bagi perusahaan besar secara relatif lebih murah (less

costly) karena dianggap sudah menyediakan informasi tersebut untuk kepentingan

intern. Kedua, karena laporan tahunan merupakan sumber informasi utama bagi

pesaing, perusahaan-perusahaan yang lebih kecil enggan membuat pengungkapan

yang lebih rinci tentang aktivitas mereka karena khawatir hanya akan

menimbulkan competitive disadvantage. Ketiga, perusahaan-perusahan besar

lebih sensitif terhadap biaya politik (political costs) sehingga akan

mengungkapkan lebih banyak informasi untuk menghilangkan kecaman publik

atau intervensi pemerintah.

2.7 Pengaruh Leverage terhadap Tingkat Pengungkapan Modal

Intelektual

Teori agensi juga digunakan untuk menjelaskan hubungan antara leverage

perusahaan dengan pengungkapan laporan tahunan perusahaan. Menurut Jensen

dan Meckling (dalam Purnomosidhi, 2006) bahwa terdapat suatu potensi untuk

menstransfer kekayaan dari debtholder kepada pemegang saham dan manajer

Page 38: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

52

pada perusahaan yang mempunyai tingkat ketergantungan utang sangat tinggi,

sehingga menimbulkan biaya keagenan yang tinggi.

Perusahaan yang memiliki proporsi utang yang tinggi dalam struktur

modalnya akan menanggung biaya keagenan yang lebih tinggi dibandingkan

dengan perusahaan yang proporsi hutangnya kecil. Untuk mengurangi cost agency

dalam bentuk biaya monitoring tersebut, manajemen akan memberikan

pengungkapan yang lebih luas (komprehensif) guna meyakinkan kreditur (Aljifri

dan Hussainey, dalam Benardi, 2009).

Sejalan dengan pendapat tersebut, Sutanto dan Supatmi (2012)

mengemukakan bahwa pengungkapan informasi yang luas akan mempermudah

kreditur untuk memperoleh informasi mengenai perusahaan secara detail.

Manfaatnya dirasakan ketika perusahaan mengajukan pinjaman dana tambahan,

Kreditur yang sudah mendapatkan informasi yang lengkap mengenai perusahaan

yang akan meminjamkan dana dengan biaya murah.

Namun demikian, beberapa penelitian menemukan hasil yang

bertentangan. Di antaranya penelitian yang dilakukan oleh Belkoui dan Karpik

(1989) dan Suhardjanto dan Wardhani (2010) dan Retno dan Priantinah (2012)

yang justru menunjukkan bahwa leverage berpengaruh negatif terhadap luas

pengungkapan. Argumentasinya adalah karena keputusan untuk mengungkapkan

informasi sosial akan mengikuti suatu pengeluaran untuk pengungkapan yang

menurunkan pendapatan (Belkaoui dan Karpik, dalam Sembiring 2005).

Oleh karena itu, perusahaan yang memiliki leverage yang tinggi akan

mengurangi pengungkapan perusahaan termasuk pengungkapan modal intelektual

Page 39: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

53

dengan maksud untuk mengurangi sorotan dari bondholder.

2.8 Penelitian Terdahulu

Tabel 2.5

Ringkasan Penelitian Terdahulu

Tahun Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian

1989 Belkaoi dan

karpik

Deteminant of the Corporate

Decision to Disclosure Sosial

Information

Leverage Berpengaruh

terhadap PMI

1992 Cooke

The Impact of size, Stock

Market Listing and industry

Type on Disclosure in the

annual reports of Japanese

Listed Corporations

Ukuran Perusahaan

Berpengaruh Terhadap

PMI

1995 Meek et al

Factors Influencing Voluntary

Annual Report Disclosures by

US,

UK, and Continental European

Multinational

Ukuran, Status Listing

dan Country

Berpengaruh Sementara

2001 Marwata

Corporations Hubungan antara

Karakteristik Perusahaan dan

Kualitas Ungkapan Sukarela

dalam Laporan Tahunan

Perusahaan Publik di Indonesia

Profitabilitas tidak

Berpengaruh terhadap

PMI hanya Ukuran dan

Penerbitan Sekuritas

yang Berpengaruh

Signifikan Terhadap

PMI

2004 Simanjuntak dan

Widiastuti

Faktor-faktor yang

Memepengaruhi Kelengakapan

Pengungkapan Laporan

Keuangan pada Perusahaan

Manufaktur yang Terdaftar di

BEJ

Semua Variabel

Berpengaruh terhadap

PMI

2005 Bukh et al

Disclosure of Information on

Intelectuall Capital in Danish

IPO Prospectuses

Kepemilikan Manajerial

Berpengaruh terhadap

PMI

2006 Guhtrie et al

The Voluntary Reporting of

Intelectual Capital :

Comparing Evidence from

Hongkong and Australia

Tingkat PMI

Berhubungan Positif

dengan Ukuran

Perusahaan

Page 40: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

54

2006 Purnomosidhi Praktik PMI pada Perusahaan

Publik di BEJ

Ukuran Perusahaan,

Leverage dan Kinerja

Modal Intelektual

Berpengaruh Signifikan

terhadap PMI

2007 White et al

Drivers of Voluntary

Intellectual Capital Disclosure

in Listed Biotechnology

Companies

Komisaris Independen,

Firm, Age, Leverage,

dan Size Berpengaruh

terhadap PMI

2008 Boedi Pengungkapan Intellectual

Capital dan Kapitalisasi Pasar

Jenis Industri

Berpengaruh terhadap

PMI

2009 Ariestyowati et

al

Pengaruh Karakteristik

Perusahaan Terhadap Praktik

Pengungkapan Intellectual

Capital dalam Laporan

Tahunan Perusahaan Publik di

Indonesia

Size, Leverage, Age,

dan tipe Industri

Berpengaruh terhadap

PMI

2010 Suhardjanto dan

Wardhani

Praktik Intellectual Capital

Disclosure Perusahaan yang di

BEI

Ukuran Perusahaan dan

Profitabilitas

Berpengaruh Signifikan

Terhadap PMI

2012 Sutanto dan

Supatmi

pengaruh Karakteristik

Perusahaan Terhadap Tingkat

Pengungkapan Intellectual

Capital di dalam Laporan

Tahunan (studi pada Indsutri

Manufaktur yang terdaftar di

BEI tahun 2009)

Ukuran Perusahaan

Berpengaruh Signifikan

Sumber : data diolah

Penelitian ini pada dasarnya merupakan replika dari penelitian oleh

Suhardjanto dan Wardhani (2010) yang meneliti pengaruh karakteristik

perusahaan terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual pada laporan

tahunan perusahaan dalam satu tahun. Namun dalam penelitian ini dilakukan

penyesuaian-penyesuaian sehingga membedakannya dengan penelitian oleh

Suhardjanto dan Wardhani (2010). Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain:

Page 41: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

55

a. Penelitian Suhardjanto dan Wardhani (2010) dilakukan pada populasi seluruh

perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2007.

Sedangkan populasi yang digunakan dalam penelitian ini lebih spesifik, yaitu

perusahaan go public yang tergabung dalam indeks LQ45 pada tahun 2012

dengan tujuan untuk merestriksi pengamatan pada kelompok perusahaan

dengan skala besar dan kredibilitas yang tinggi saja.

b. Pada penelitian Suhardjanto dan Wardhani (2010), variabel struktur

kepemilikan dan komisaris independen dijadikan variabel kontrol dan

digabungkan kedalam istilah corporate governance. Oleh karena itu, pada

penelitian tersebut tidak diketahui bagaimana pengaruh dari masing-masing

variabel tersebut terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual. Sedangkan

pada penelitian ini struktur kepemilikan dan komisaris independen dijadikan

variabel independen, dengan maksud untuk mengetahui pengaruh masing-

masing variabel tersebut terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual.

Sedangkan pada penelitian ini digunakan kerangka pengungkapan yang lebih

baru dan eksplisit yang dirumuskan oleh Bukh et al (2005). Kerangka

pengungkapan ini terdiri atas 78 indikator pengungkapan.

c. Pengukuran terhadap variabel struktur kepemilikan pada penelitian

Suhardjanto dan Wardhani (2010) dilakukan dengan menghitung persentase

saham yang dimiliki oleh tiga pemegang saham terbesar. Sedangkan pada

Page 42: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

56

penelitian ini struktur kepemilikan diukur dengan melihat perbandingan porsi

kepemilikan saham publik terhadap total kepemilikan saham.

2.9 Kerangka Pemikiran

Pengungkapan modal intelektual di setiap perusahaan dipengaruhi oleh

beberapa faktor. Faktor pertama adalah biaya. Perusahaan-perusahaan akan sangat

mempertimbangkan faktor biaya yang harus dikeluarkan untuk pengungkapan ini.

Sesuai teori Cost and Benefit, apabila manfaat yang diperoleh lebih besar daripada

biaya yang dikeluarkan maka perusahaan mau mengungkapkan informasi ini,

namun jika manfaat lebih kecil maka tidak dilakukan. Faktor biaya, seperti yang

dikemukakan dalam penelitian oleh Sutanto dan Supatmi (2012) masih menjadi

pertimbangan umum, namun di samping itu ada faktor lain yang turut

mempengaruhi tingkat pengungkapan modal intelektual sebuah perusahaan, yaitu

karakteristik dari perusahaan itu sendiri.

Karakteristik perusahaan adalah ciri khas dari perusahaan yang memberi

perbedaan dengan perusahaan-perusahaan lain, seperti ukuran perusahaan (size),

profitabilitas, tingkat leverage, umur listing perusahaan di bursa efek, struktur

kepemilikan, dan komisaris independen. Keenam karakteristik ini berdasarkan

teori-teori serta didukung oleh banyak penelitian sebelumnya memiliki pengaruh

terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual perusahaan. Pengaruh keenam

karakteristik ini terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual tidak sama, ada

di antaranya yang memiliki pengaruh positif atau negatif.

Page 43: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

57

Karakteristik yang pertama yaitu profitabilitas perusahaan. Profitabilitas

adalah kemampuan perusahaan dalam memperoleh profit. Karakteristik ini

merupakan pertimbangan utama investor dalam pengambilan keputusan investasi,

karena semakin bagus profitabilitas sebuah perusahaan maka semakin besar

tingkat pengembalian investasi yang dapat diperolehnya. Dalam kaitannya dengan

tingkat pengungkapan modal intelektual, teori sinyal menyatakan bahwa

pengungkapan informasi merupakan media pengiriman sinyal keberhasilan (good

news) dan sinyal buruk (bad news) dari perusahaan ke pasar. Perusahaan dengan

kinerja keuangan (profitabilitas) yang baik akan mengungkapkan informasi yang

lebih banyak, termasuk informasi modal intelektual guna menarik perhatian lebih

banyak investor. Sedangkan perusahaan dengan kinerja keuangan yang kurang

baik akan cenderung mengurangi pengungkapan informasinya, termasuk

informasi modal intelektualnya.

Karakteristik yang kedua adalah ukuran perusahaan. Faktor ini paling

banyak digunakan oleh para peneliti sebelumnya, seperti Guthrie et al (2006),

Suhardjanto dan Wardhani (2010), Sutanto dan Supatmi (2012), dan Stephani dan

Yuyetta (2012). Dari semua penelitian tersebut, hasilnya menunjukkan adanya

pengaruh positif dari ukuran perusahaan terhadap tingkat pengungkapan modal

intelektual. Hasil tersebut mendukung teori agensi yang menyatakan bahwa

pengungkapan modal intelektual dapat mengurangi biaya agensi yang diakibatkan

karena adanya asimetri informasi antara pemilik (principal) dan manajer (agent).

Teori lain yang turut menjadi pijakan hasil penelitian tersebut adalah teori

stakeholder yang menyatakan bahwa semakin besar ukuran suatu perusahaan

Page 44: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

58

maka semakin besar pula sorotan stakeholder, sehingga perusahaan dituntut untuk

lebih banyak mengungkapkan informasi termasuk informasi mengenai modal

intelektualnya.

Di samping itu menurut Foster (dalam Sutanto dan Supatmi, 2012), biaya

pengungkapan informasi cenderung mahal, terlebih biaya atas sinyal bad news

(Spence, dalam Marisanti dan Kiswara, 2012). Berdasarkan teori cost and benefit,

perusahaan perlu mempertimbangkan asas biaya dan manfaat dalam

mengungkapkan informasi. Biaya yang dikeluarkan atas pengungkapan harus

sepadan dengan manfaat yang diperoleh dari pengungkapan tersebut (Kieso,

2004). Bagi perusahaan dengan kinerja keuangan tinggi yang berarti memiliki

dukungan finansial yang besar, biaya pengungkapan yang mahal bukanlah

masalah. Lain halnya dengan perusahaan yang dukungan finansialnya sedikit,

biaya pengungkapan akan menjadi faktor yang sangat dipertimbangkan.

Karakteristik ketiga yakni tingkat ketergantungan terhadap utang

(leverage). Berdasarkan teori agensi dan teori stakeholder, indikator ini juga

memiliki pengaruh terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual. Leverage

artinya perbandingan antara dana yang diperoleh dari kreditor (utang) dengan

dana dari pemilik perusahaan. Dari perspektif teori agensi, Purnomosidhi (2006)

mengatakan, perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi akan memiliki biaya

keagenan yang tinggi pula. Ini diakibatkan karena pada perusahaan seperti itu

terdapat potensi untuk mentransfer kekayaan dari debtholders kepada pemegang

saham atau manajer. Untuk mengurangi biaya keagenan tersebut, perusahaan

dituntut untuk mengungkapkan informasi lebih banyak termasuk modal

Page 45: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

59

intelektualnya. Pengaruh dari ketiga karakteristik perusahaan tersebut dapat

diikhtisarkan ke dalam gambar 2.1.

Gambar 2.1

Model Hubungan Antar Variabel

Keterangan:

X1 = Profitabilitas (ROA)

X2 = Ukuran Perusahaan (size)

X3 = Leverage (DER)

Y = Tingkat Pengungkapan Modal Intelektual (VAICTM

)

X1

X3

X2 Y

VACA

VACU

STVA

Company

Performance

Page 46: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil
Page 47: 15 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori yang Relevan dan Hasil

60

2.10 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan paparan mengenai pengaruh karakteristik perusahaan

terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual pada kerangka pemikiran di atas

maka hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut:

Hipotesis 1 : Profitabilitas berpengaruh positif terhadap tingkat

pengungkapan modal intelektual.

Hipotesis 2 : Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap tingkat

pengungkapan modal intelektual.

Hipotesis 3 : Leverage berpengaruh positif terhadap tingkat

pengungkapan modal intelektual

Hipotesis 4 : Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, dan Leverage

berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan modal intelektual