41
6 BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevan Penelitian tentang Gaya Bahasa dan Pesan Moral pada Lirik Lagu Pengamen Bus Jurusan Purwokerto-Yogyakarta berbeda dari penelitian sejenis yang telah ada. Untuk membuktikannya ada beberapa skripsi dari mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Pertama, skripsi berjudul Analisis Penggunaan Gaya Bahasa Guru dalam Kegiatan Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas VII SMP Negeri 3 Cilacap Tahun Ajaran 2009-2010 oleh Mustakim tahun 2010. Hasil penelitian tersebut meliputi gaya bahasa guru berdasarkan struktur kalimat dan langsung tidaknya makna dalam kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia di Kelas VII SMP Negeri 3 Cilacap Tahun Ajaran 2009-2010 serta tujuan dari penggunaan gaya bahasa tersebut. Perbedaannya dengan penelitian ini terletak pada sumber data. Sumber data dalam penelitian Mustakim berupa tuturan guru Bahasa Indonesia dalam kegiatan pembelajaran sedangkan dalam penelitian ini, sumber datanya berupa lagu pengamen bus jurusan Purwokerto-Yogyakarta. Kedua, skripsi berjudul Analisis Gaya Bahasa pada Album Musik Lethologica Karya Band Letto dan Alternatif Penerapannya dalam Pembelajaran Gaya Bahasa Puisi di SMA Kelas X Semester 1 oleh Aristia Nawangsari tahun 2010. Hasil penelitian tersebut meliputi gaya bahasa perbandingan, perulangan, pertautan, dan pertentangan yang terdapat dalam album musik Lethologica. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada sumber data. Sumber data dalam penelitian Aristia Nawangsari berupa Lirik Lagu dalam Album Musik Lethologica Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian yang Relevanrepository.ump.ac.id/6843/3/Khuswatun Khasanah_BAB II.pdf · 6 6 BAB II. LANDASAN TEORI . A. Penelitian yang Relevan . Penelitian tentang

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 6

    6

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. Penelitian yang Relevan

    Penelitian tentang Gaya Bahasa dan Pesan Moral pada Lirik Lagu

    Pengamen Bus Jurusan Purwokerto-Yogyakarta berbeda dari penelitian sejenis

    yang telah ada. Untuk membuktikannya ada beberapa skripsi dari mahasiswa

    Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Pertama, skripsi berjudul Analisis

    Penggunaan Gaya Bahasa Guru dalam Kegiatan Pembelajaran Bahasa Indonesia

    di Kelas VII SMP Negeri 3 Cilacap Tahun Ajaran 2009-2010 oleh Mustakim tahun

    2010. Hasil penelitian tersebut meliputi gaya bahasa guru berdasarkan struktur

    kalimat dan langsung tidaknya makna dalam kegiatan pembelajaran bahasa

    Indonesia di Kelas VII SMP Negeri 3 Cilacap Tahun Ajaran 2009-2010 serta tujuan

    dari penggunaan gaya bahasa tersebut. Perbedaannya dengan penelitian ini terletak

    pada sumber data. Sumber data dalam penelitian Mustakim berupa tuturan guru

    Bahasa Indonesia dalam kegiatan pembelajaran sedangkan dalam penelitian ini,

    sumber datanya berupa lagu pengamen bus jurusan Purwokerto-Yogyakarta.

    Kedua, skripsi berjudul Analisis Gaya Bahasa pada Album Musik

    Lethologica Karya Band Letto dan Alternatif Penerapannya dalam Pembelajaran

    Gaya Bahasa Puisi di SMA Kelas X Semester 1 oleh Aristia Nawangsari tahun

    2010. Hasil penelitian tersebut meliputi gaya bahasa perbandingan, perulangan,

    pertautan, dan pertentangan yang terdapat dalam album musik Lethologica.

    Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada sumber data. Sumber data dalam

    penelitian Aristia Nawangsari berupa Lirik Lagu dalam Album Musik Lethologica

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 7

    Karya Band Letto sedangkan dalam penelitian ini, sumber datanya berupa lagu

    pengamen bus jurusan Purwokerto-Yogyakarta. Selain itu, hasil penelitian Aristia

    Nawangsari diterapkan dalam pembelajaran di SMA sedangkan penelitian ini tidak.

    Perbedaan selanjutnya terletak pada penggunaan landasan teori. Penelitian Aristia

    Nawangsari menggunakan teori Henry Guntur Tarigan yang berpendapat bahwa

    gaya bahasa dikelompokkan atas empat kategori, yaitu gaya bahasa perbandingan,

    perulangan, pertautan, dan pertentangan sedangkan dalam penelitian ini

    menggunakan teori Gorys Keraf yang membagi gaya bahasa menjadi empat, yaitu

    pilihan kata, nada yang terkandung dalam wacana, struktur kalimat, dan langsung

    tidaknya makna.

    Ketiga, skripsi berjudul Gaya Bahasa Metafora pada Buku Kumpulan

    Cerita Pendek Madre Karya Dewi Lestari (Kajian Stilistika) oleh Jumirah tahun

    2014. Hasil penelitian tersebut meliputi jenis-jenis metafora, fungsi bahasa, dan

    makna gaya bahasa metafora dalam buku kumpulan cerita pendek Madre karya

    Dewi Lestari. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada lingkup analisis dan

    sumber datanya. Ruang lingkup analisis dalam penelitian Jumirah hanya meliputi

    gaya bahasa metafora saja sedangkan pada penelitian ini ruang lingkupnya meliputi

    seluruh gaya bahasa yang terdapat dalam lirik lagu pengamen bus jurusan

    Purwokerto-Yogyakarta. Perbedaan selanjutnya terletak pada sumber data. Sumber

    data dalam penelitian Jumirah berupa buku kumpulan cerita pendek Madre karya

    Dewi Lestari sedangkan dalam penelitian ini, sumber datanya berupa lagu

    pengamen bus jurusan Purwokerto-Yogyakarta.

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 8

    B. Stilistika

    Menurut Turner dalam Pradopo (2009: 264), Stilistika adalah ilmu yang

    mempelajari gaya bahasa. Stilistika adalah ilmu bagian linguistik yang memusatkan

    diri dari variasi-variasi penggunaan bahasa, tetapi tidak secara eksklusif

    memberikan perhatian khusus kepada pengguna bahasa yang paling sadar dan

    paling kompleks dalam kasusastraan. Stilistika berarti studi tentang gaya bahasa,

    menyugestikan sebuah ilmu, paling sedikit merupakan sebuah studi yang metodis.

    Stilistika berasal dari kata style yang artinya gaya. Style atau gaya yaitu cara khas

    yang dipakai seseorang untuk mengungkapkan diri. Cara pengungkapan tersebut

    dapat meliputi setiap aspek bahasa (kata-kata, kiasan-kiasan, susunan kalimat, nada,

    dan sebagainya) (Noor, 2007: 118).

    Sedangkan menurut Kridalaksana (2011:227), stilistika adalah ilmu yang

    menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner

    antara linguistik dan kesusastraan. Atau penerapan linguistik pada penelitian gaya

    bahasa. Stilistika (stylistic) adalah ilmu atau teori yang berkaitan dengan

    pembicaraan mengenai gaya bahasa. Stilistika terdapat dalam seluruh aktivitas

    kehidupan manusia. Stilistika tidak terbatas untuk menganalisis sastra, melainkan

    juga bentuk-bentuk karangan bebas yang lain, wacana politik, iklan, dan

    sebagainya. Karya sastra hanyalah salah satu kasus (Ratna, 2011: 232).

    Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa stilistika adalah

    ilmu tentang pemakaian bahasa dalam karya sastra atau ilmu gaya bahasa yang

    digunakan dalam karya sastra. Stilistika bertujuan untuk menentukan seberapa jauh

    dan dalam hal apa bahasa yang dipergunakan itu memperlihatkan penyimpangan.

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 9

    Stilistika juga menggambarkan bagaimana pengarang mempergunakan tanda-tanda

    linguistik untuk memperoleh efek khusus. Stilistika terdapat dalam seluruh aktivitas

    kehidupan manusia. Stilistika tidak terbatas untuk menganalisis sastra, melainkan

    juga bentuk-bentuk karangan bebas yang lain, wacana politik, iklan, dan

    sebagainya.

    C. Diksi

    Menurut Keraf (2006: 21), dalam kegiatan komunikasi, kata-kata yang

    dijalin-satukan dalam suatu konstruksi yang lebih besar berdasarkan kaidah-kaidah

    sintaksis yang ada di dalam suatu bahasa. Yang paling penting dari rangkaian kata-

    kata tadi adalah pengertian yang tersirat di balik kata yang digunakan itu. Setiap

    anggota masyarakat yang terlibat dalam kegiatan komunikasi, selalu berusaha agar

    orang-orang lain dapat memahaminya dan disamping itu dia harus bisa memahami

    orang lain. Dengan cara ini terjalinlah komunikasi dua arah yang baik dan

    harmonis. Hal ini berarti semakin banyak kata yang dikuasai seseorang, semakin

    banyak pula ide atau gagasan yang dikuasainya dan yang sanggup diungkapkannya.

    Pradopo (2009: 54) berpendapat bahwa penyair hendak mencurahkan

    perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialami batinnya.

    Selain itu juga ia mengekspresikannya dengan ekspresi yang dapat menjelmakan

    pengalaman jiwanya tersebut, untuk itu harusnya dipilih kata yang tepat. Pemilihan

    kata dalam sajak disebut diksi. Barfield (dalam Pradopo, 2009: 54) mengemukakan

    bahwa bila kata-kata yang dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa

    hingga artinya menimbulkan imaginasi estetik, maka hasilnya itu disebut diksi

    puitis. Jadi, diksi itu untuk mendapatkan kepuitisan dan nilai estetik.

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 10

    Keraf (2006: 24) menurunkan tiga pengertian mengenai diksi. Pertama,

    pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk

    menyampaikan suatu gagasan, bagaimana bentuk pengelompokkan kata-kata yang

    tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang

    paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, pilihan kata atau diksi adalah

    kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang

    ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok)

    dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Ketiga,

    pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah

    besar kosa kata atau perbendaharaan kata bahasa itu. Sedangkan yang dimaksud

    perbendaharaan kata atau kosa kata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang

    dimiliki oleh sebuah bahasa.

    Masalah pemilihan kata menurut Champan (dalam Nurgiyantoro 2010: 290)

    dapat melalui pertimbangan-pertimbangan formal tertentu. Pertama, pertimbangan

    fonologis, misalnya kepentingan aliterasi, irama, dan efek bunyi tertentu. Kedua,

    pertimbangan dari segi metode, bentuk, dan makna yang dipergunakan sebagai

    sarana mengkonsentrasikan gagasan. Dalam hal ini faktor personal pengarang untuk

    memilih kata-kata yang paling menarik perhatiannya berperan penting. Pengarang

    dapat saja memilih kata atau ungkapan tertentu sebagai siasat untuk mencapai efek

    yang diinginkan.

    Dari beberapa penjelasan tentang pengertian diksi di atas, maka dapat

    disimpulkan bahwa diksi adalah kata, kelompok kata, ungkapan, dan gaya bahasa

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 11

    yang diseleksi setapat-tepatnya sebagai sarana komunikasi penyalur gagasan, ide,

    opini ataupun perasaan serta pengalaman. Dengan demikian, menimbulkan

    imajinasi estetik sesuai dengan situasi dan nilai rasa pendengar. Akan tetapi,

    memilih kata-kata yang mampu mengemban fungsi tersebut tidaklah mudah. Dalam

    memilih kata, pengarang harus benar-benar teliti dan cermat. Dengan demikian,

    kata-kata yang dipilih tidak menimbulkan salah tafsir antara pembaca dan

    pendengar.

    D. Gaya Bahasa

    1. Pengertian Gaya Bahasa

    Menurut Sukada dalam Ratna (2013: 12) gaya bahasa adalah bahasa itu

    sendiri yang dipilih berdasarkan struktur tertentu. Gaya bahasa digunakan dengan

    cara yang wajar, tetapi tetap memiliki ciri profesional. Gaya bahasa disusun secara

    sengaja agar menimbulkan efek tertentu dalam diri pembaca. Isinya adalah

    persatuan antara keindahan dan kebenaran. Gaya bahasa adalah cara

    mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan

    kepribadian penulis (pemakai bahasa) (Keraf, 2006: 113).

    Kridalaksana (2011:70) mengungkapkan bahwa gaya bahasa adalah

    pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis.

    Pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek tertentu. Gaya bahasa meliputi

    keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra. Sedangkan menurut Tarigan

    (2013: 4), gaya bahasa merupakan bentuk retorika, yaitu penggunaan kata-kata

    dalam berbicara dan menulis untuk meyakinkan dan mempengaruhi penyimak atau

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 12

    pembaca. Dalam menulis lagu, pada umumnya para pengarang menggunakan

    bahasa yang khas atau indah, sehingga lagu yang diciptakan mempunyai nilai lebih

    yang bisa dilihat dari bahasanya. Dalam hal ini pengarang menggunakan bahasa

    yang mudah dipahami dan diterima, sehingga karangan isinya dalam sebuah lagu

    mudah untuk diketahui maksudnya.

    Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa

    adalah cara atau teknik mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam bentuk lisan

    maupun tulisan dengan menggunakan bahasa yang khas sehingga dapat

    memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. Gaya bahasa dapat menghasilkan

    suatu pengertian yang jelas dan menarik bagi para pembaca. Isinya adalah persatuan

    antara keindahan dan kebenaran. Dalam menulis lagu, pada umumnya para

    pengarang menggunakan bahasa yang khas atau indah, sehingga lagu yang

    diciptakan mempunyai nilai lebih yang bisa dilihat dari bahasanya. Dalam hal ini

    pengarang menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan diterima, sehingga

    karangan isinya dalam sebuah lagu mudah untuk diketahui maksudnya.

    2. Jenis Gaya Bahasa

    Menurut Keraf (2006:116-145), dilihat dari sudut bahasa atau unsur-unsur

    bahasa yang digunakan, gaya bahasa dapat dibedakan menjadi empat, yaitu (1)

    pilihan kata, (2) nada yang terkandung dalam wacana, (3) struktur kalimat, dan (4)

    langsung tidaknya makna. Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa dibedakan

    menjadi tiga yaitu (a) gaya bahasa resmi, (b) gaya bahasa tak tesmi, dan (c) gaya

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 13

    bahasa percakapan. Berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana, gaya bahasa

    dibedakan menjadi tiga yaitu (a) gaya sederhana, (b) gaya mulia dan bertenaga, dan

    (c) gaya menengah. Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dibedakan menjadi

    lima yaitu (a) klimaks, (b) antiklimaks, (c) paralesisme, (d) antithesis, dan (e)

    repetisi.

    Repetisi itu sendiri ada bermacam-macam yakni epizeuksis, tautotes, anafora,

    epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis. Gaya bahasa

    berdasarkan langsung tidaknya makna dibedakan menjadi dua yaitu (a) gaya bahasa

    retoris dan (b) gaya bahasa kiasan. Teori penelitian dibatasi pada gaya bahasa

    berdasarkan struktur kalimat dan langsung tidaknya makna karena data penelitian

    ini berupa lirik lagu. Dengan demikian akan lebih cocok jika dianalisis

    menggunakan jenis gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dan langsung

    tidaknya makna.

    a. Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat

    Menurut Keraf (2006: 124-129), Struktur sebuah kalimat dapat dijadikan

    landasan untuk menciptakan gaya bahasa. Yang dimaksud dengan struktur kalimat

    disini adalah tempat sebuah unsur kalimat yang dipentingkan dalam kalimat

    tersebut. Ada kalimat yang bersifat periodik, bila bagian yang terpenting atau

    gagasan yang mendapat penekanan ditempatkan pada akhir kalimat. Ada kalimat

    yang bersifat kendur, yaitu bila bagian kalimat yang mendapat penekanan

    ditempatkan pada awal kalimat. Jenis yang ketiga adalah kalimat berimbang, yaitu

    kalimat yang mengandung dua bagian kalimat atau lebih yang kedudukannya sama

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 14

    tinggi atau sederajat. Berdasarkan ketiga macam struktur kalimat tersebut, maka

    dapat diperoleh gaya-gaya bahasa antara lain: (1) klimaks, (2) antiklimaks, (3)

    paralesisme, (4) antithesis, dan (5) repetisi.

    1) Klimaks

    Menurut Keraf (2006: 124), klimaks adalah semacam gaya bahasa yang

    mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat

    kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. Gaya bahasa klimaks diturunkan

    dari kalimat yang bersifat periodik. Klimaks disebut juga dengan gradasi. Istilah ini

    dipakai sebagai istilah umum yang sebenarnya merujuk kepada tingkat atau gagasan

    tertinggi, contoh: Di samping itu, sastrawan mempunyai waktu yang cukup panjang

    untuk memilih, merenungkan bahkan menciptakan cara-cara baru dan bentuk-

    bentuk tertentu dalam penyampaian maksudnya, mereka juga mempunyai

    kebebasan yang luas untuk menyimpang dari tulisan biasa. Kalimat tersebut

    termasuk klimaks karena mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali

    semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya.

    2) Antiklimaks

    Keraf (2006: 125) mengungkapkan bahwa antiklimaks merupakan suatu

    acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke

    gagasan yang kurang penting. Antiklimaks dihasilkan oleh kalimat yang berstruktur

    mengendur. Antiklimaks sering kurang efektif. Hal ini disebabkan karena gagasan

    yang penting ditempatkan pada awal kalimat, sehingga pembaca atau pendengar

    tidak lagi memberi perhatian pada bagian-bagian berikutnya dalam kalimat itu,

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 15

    contoh: Pembangunan lima tahun telah dilancarkan serentak di ibu kota negara,

    ibu kota-ibu kota propinsi, kabupaten, kecamatan, dan semua desa di seluruh

    Indonesia. Kalimat tersebut termasuk antiklimaks karena gagasan-gagasannya

    diurutkan dari yang terpenting ke gagasan yang kurang penting, yaitu dari negara,

    propinsi, kabupaten, kecamatan, sampai ke desa.

    3) Paralelisme

    Paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai

    kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi

    yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Kesejajaran tersebut dapat pula

    berbentuk anak kalimat yang bergantung pada sebuah induk kalimat yang sama.

    Gaya ini lahir dari struktur kalimat yang berimbang. Bentuk paralelisme adalah

    sebuah bentuk yang baik untuk menonjolkan kata atau kelompok kata yang sama

    fungsinya. Namun, bila terlalu banyak digunakan, maka kalimat-kalimat akan

    menjadi kaku dan mati (Keraf, 2006: 126). Contoh: Sangatlah ironis jika mereka

    menderita kelaparan dalam sebuah daerah yang subur dan kaya, serta mati

    terbunuh dalam sebuah negeri yang sudah ratusan tahun hidup dalam ketentraman

    dan kedamaian.

    4) Antithesis

    Antithesis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan

    yang bertentangan. Antithesis mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang

    berlawanan. Gaya ini timbul dari kalimat berimbang (Keraf, 2006: 126). Antithesis

    berisi pengungkapan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan arti satu

    dengan yang lainnya. Contoh: Kaya-miskin, tua-muda, besar-kecil, semuanya

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 16

    mempunyai kewajiban terhadap keamanan bangsa dan negara. Kalimat tersebut

    termasuk antithesis karena mengandung gagasan yang bertentangan atau

    berlawanan yaitu kata kaya dan miskin, tua dan muda, serta besar dan kecil.

    5) Repetisi

    Repetisi adalah pengulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang

    dianggap penting. Tujuannya adalah untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks

    yang sesuai. Dalam hal ini akan dibicarakan repetisi yang berbentuk kata, frasa,

    atau klausa. Repetisi seperti halnya dengan paralesisme dan antithesis lahir dari

    kalimat yang berimbang. Macam-macam repetisi meliputi epizeuksis, tautotes,

    anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis. Keraf

    (2006: 127) menjelaskan macam-macam repetisi itu sebagai berikut:

    a) Epizeuksis adalah repetisi yang bersifat langsung, artinya kata yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut. Contoh:

    Kita harus bekerja, bekerja, sekali lagi bekerja untuk mengejar semua

    ketinggalan kita.

    b) Tautotes adalah repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah kontruksi. Contoh:

    Kau menuding aku, aku menuding kau, kau dan aku menjadi seteru.

    c) Anafora adalah repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Contoh:

    Bahasa yang baku pertama-tama berperan sebagai pemersatu dalam

    pembentukan suatu masyarakat bahasa-bahasa yang bermacam-macam

    dialeknya. Bahasa yang baku akan mengurangi perbedaan variasi dialek

    Indonesia secara geografis, yang tumbuh karena kekuatan bawah sadar

    pemakai bahasa Indonesia, yang bahasa pertamanya suatu bahasa Nusantara.

    Bahasa yang baku itu akan mengakibatkan selingan bentuk yang sekecil-

    kecilnya.

    d) Epistrofa adalah repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa pada akhir baris atau kalimat berurutan. Contoh:

    Bumi yang kaudiami, laut yang kau layari adalah puisi

    Udara yang kauhirupi, air yang kautengguki adalah puisi

    Kebun yang kautanami, bukit yang kaugunduli adalah puisi

    Gubuk yang kauratapi, gedung yang kautinggali adalah puisi

    e) Simploke adalah repetisi pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut. Contoh:

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 17

    Kamu bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin

    Kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Aku bilang biarin

    Kamu bilang aku nggak punya kepribadian. Aku bilang biarin

    Kamu bilang aku nggak punya pengertian. Aku bilang biarin

    f) Mesodiplosis adalah repetisi di tengah baris-baris atau beberapa kalimat berurutan. Contoh:

    Pegawai kecil jangan mencuri kertas karbon

    Babu-babu jangan mencuri tulang-tulang ayam goreng

    Para pembesar jangan mencuri bensin

    Para gadis jangan mencuri perawannya sendiri

    g) Epanalepsis adalah perulangan yang berwujud kata terakhir dari baris, klausa atau kalimat, mengulang kata pertama. Contoh:

    Kita gunakan pikiran dan perasaan kita

    Kuberikan setulusnya, apa yang harus kuberikan

    h) Anadiplosis adalah kata atau frasa terakhir dari suatu klausa atau kalimat menjadi kata atau frasa pertama dari klausa atau kalimat berikutnya. Contoh:

    Dalam laut ada tiram, dalam tiram ada mutiara, dalam mutiara: ah tak ada

    apa

    Dalam baju ada aku, dalam aku ada hati, dalam hati: ah takapa jua yang ada

    Dalam syair ada kata, dalam kata ada makna, dalam makna: Mudah-

    mudahan ada Kau!

    b. Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna

    Gaya bahasa berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya makna, yaitu

    apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah

    ada penyimpangan. Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna ini

    biasanya disebut sebagai trope atau figure of speech. Terlepas dari konotasi kedua

    istilah itu, kita dapat mempergunakan kedua istilah itu dengan pengertian yang

    sama, yaitu suatu penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif baik

    dalam ejaan, pembentukkan kata, kontruksi (kalimat, klausa, frasa), atau aplikasi

    sebuah istilah, untuk memperoleh kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau

    sesuatu efek yang lain.

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 18

    Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna dibagi atas dua kelompok, yaitu

    gaya bahasa retoris, yang semata-mata merupakan penyimpangan dari kontruksi

    biasa untuk mencapai efek tertentu, dan gaya bahasa kiasan yang merupakan

    penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidang makna (Keraf, 2006: 129).

    1) Gaya Bahasa Retoris

    a) Aliterasi

    Keraf (2006: 130) mengungkapkan bahwa aliterasi adalah semacam gaya

    bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Biasanya dipergunakan

    dalam puisi, kadang-kadang dalam prosa, untuk perhiasan atau untuk penekanan.

    Fungsi aliterasi yaitu memberi efek suara yang enak didengar. Aliterasi juga

    berfungsi untuk memberi tekanan makna kepada kata di mana bunyi konsonan

    tersebut diulang, contoh: Keras-keras kerak kena air lembut juga. Kalimat tersebut

    merupakan aliterasi k terlihat dengan pengulangan konsonan k berturut-turut pada

    satu kalimat.

    b) Asonansi

    Keraf (2006: 130) berpendapat bahwa asonansi adalah semacam gaya

    bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Biasanya dipergunakan

    dalam puisi, kadang-kadang juga dalam prosa. Tujuannya adalah untuk memperoleh

    penekanan atau sekadar keindahan. Asonansi merujuk kepada pengulangan bunyi

    vokal dengan tujuan memberi tekanan makna pada kata tertentu dan menciptakan

    rangkaian suara yang musical, contoh: Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak

    tahu. Kalimat tersebut merupakan contoh asonansi, terlihat dengan pengulangan

    vokal u dan a pada satu kalimat.

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 19

    c) Anastrof

    Keraf (2006:130) berpendapat bahwa anastrof atau inversi adalah semacam

    gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam

    kalimat. Anastrof ini mengubah urutan unsur-unsur kontruksi sintaksis dengan

    menyebutkan terlebih dahulu predikat sebelum subjeknya, contoh: Berjanjilah

    mereka rajin belajar untuk mencapai harapan orang tua mereka. Kalimat tersebut

    mengandung anastrof atau inversi. Hal ini disebabkan karena pada kalimat tersebut

    disebutkan predikat terlebih dahulu sebelum subjeknya. Berjanjilah merupakan

    predikat dan mereka merupakan subjek.

    d) Apofasis atau Preterisio

    Keraf (2006: 130) berpendapat bahwa Apofasis atau disebut juga Preterisio

    merupakan sebuah gaya dimana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi

    tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi

    sebenarnya ia menekankan hal itu. Berpura-pura melindungi atau menyembunyikan

    sesuatu, tetapi sebenarnya memamerkannya, contoh: Saya tidak mau

    mengungkapkan dalam forum ini bahwa Saudara telah menggelapkan ratusan juta

    rupiah uang negara. Kalimat tersebut mengandung apofasis karena penulis atau

    pengarang berpura-pura menyembunyikan sesuatu tetapi sebenarnya

    memamerkannya. Penulis atau pengarang berpura-pura menyembunyikan seorang

    koruptor, tetapi sebenarnya dia telah menunjukkan kepada orang lain.

    e) Apostrof

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 20

    Keraf (2006: 131) berpendapat bahwa apostrof adalah semacam gaya yang

    berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir.

    Cara ini biasa digunakan oleh orator klasik. Dalam pidato yang disampaikan pada

    suatu massa, sang orator secara tiba-tiba mengarahkan pembicaraannya langsung

    kepada sesuatu yang tidak hadir, kepada mereka yang sudah meninggal, atau

    kepada barang atau objek khayalan atau sesuatu yang abstrak. Dengan demikian dia

    tampak tidak berbicara pada hadirin, contoh: Hai kamu semua yang telah

    menumpahkan darahmu untuk tanah air tercinta ini berilah agar kami dapat

    mengenyam keadilan dan kemerdekaan seperti yang pernah kamu perjuangkan.

    Klausa kamu semua yang telah menumpahkan darahmu merupakan apostrof karena

    mengarahkan pembicaraan kepada mereka yang sudah meninggal sehingga

    tampaknya tidak berbicara kepada hadirin.

    f) Asindeton

    Asindeton adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat di mana

    beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata

    sambung. Bentuk-bentuk ini biasanya dipisahkan saja dengan koma, seperti ucapan

    terkenal dari Julius Caesar: Vini, vidi, vici, “saya datang, saya lihat, saya menang”.

    Contoh: Dan kesesakkan, kepedihan, kesakitan, seribu derita detik-detik

    penghabisan orang melepaskan nyawa. Kalimat tersebut mengandung asindeton.

    Kata yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung melainkan dipisahkan

    dengan tanda koma. Kata yang sederajat dalam contoh di atas yaitu kesesakkan,

    kepedihan, dan kesakitan (Keraf, 2006: 131).

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 21

    g) Polisindeton

    Menurut Keraf (2006: 131), polisindeton adalah suatu gaya yang merupakan

    kebalikan dari asindeton. Beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan

    dihubungkan satu sama lain dengan kata sambung. Polisindeton ialah gaya bahasa

    yang berupa sebuah kalimat atau sebuah kontruksi yang mengandung kata-kata

    yang sejajar dan dihubungkan dengan kata-kata penghubung, contoh: Dan ke

    manakah burung-burung yang gelisah dan tak berumah dan tak menyerah pada

    gelap dan dingin yang bakal merontokkan bulu-bulunya? Kalimat tersebut

    mengandung polisindeton karena mengandung kata-kata yang sejajar dihubungkan

    dengan kata-kata penghubung. Kata yang sejajar pada contoh di atas adalah gelisah,

    tak berumah, serta tak menyerah pada gelap dan dingin.

    h) Kiasmus

    Keraf (2006: 132) berpendapat bahwa kiasmus adalah semacam acuan atau

    gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian. Frasa atau klausa yang sifatnya berimbang

    dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila

    dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya. Kiasmus berisikan perulangan dan

    sekaligus merupakan inversi atau pembalikan susunan antara dua kata dalam satu

    kalimat. Kiasmus ialah sarana retorika yang menyatakan sesuatu diulang, dan salah

    satu bagian kalimatnya dibalik posisinya, Contoh: Semua kesabaran kami sudah

    hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk melanjutkan usaha itu. Kalimat tersebut

    merupakan kiasmus. Hal ini ditandai dengan pembalikan unsur yang diulang yakni

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 22

    sudah hilang dan sudah lenyap menjadi sudah hilang, lenyap sudah (Pradopo, 2009:

    100).

    i) Ellipsis

    Ellipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur

    kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau

    pendengar. Dengan demikian struktur gramatikal atau kalimatnya akan memenuhi

    pola yang berlaku. Bila bagian yang dihilangkan itu berada di tengah-tengah

    kalimat itu disebut anakoluton. Bila pemutusan di tengah-tengah kalimat tersebut

    dimaksudkan untuk menyatakan secara tak langsung suatu peringatan atau karena

    suatu emosi yang kuat, maka disebut aposiopesis, contoh: Masihkah kau tidak

    percaya bahwa dari segi fisik engkau tak apa-apa, badanmu sehat; tapi psikis ….

    Kalimat tersebut merupakan contoh elipsis ditandai dengan penghilangan unsur di

    bagian belakang (Keraf, 2006: 132).

    j) Eufemisme

    Kata eufemisme diturunkan dari kata Yunani euphemizein yang berarti

    “mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik”.

    Sebagai gaya bahasa, eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan

    yang tidak menyinggung perasaan orang. Eufemisme mengandunng ungkapan-

    ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan

    menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak

    menyenangkan (Keraf. 2006: 132). Contoh: Anak saudara memang tidak terlalu

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 23

    cepat mengikuti pelajaran seperti anak-anak lainnya (= bodoh). Kalimat tersebut

    mengandung eufemisme karena terdapat ungkapan yang halus untuk menggantikan

    acuan-acuan yang dirasakan menghina, menyinggung perasaan, atau mensugestikan

    sesuatu yang tidak menyenangkan. Ungkapan tidak terlalu cepat mengikuti

    pelajaran seperti anak-anak lainnya dirasakan lebih halus jika dibandingkan

    dengan bodoh.

    k) Litotes

    Litotes adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan

    sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Litotes berisi pernyataan yang bersifat

    mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Sesuatu hal dinyatakan kurang dari

    keadaan sebenarnya. Atau suatu pikiran dinyatakan dengan menyangkal lawan

    katanya, contoh: Rumah yang buruk inilah yang merupakan hasil usaha kami

    bertahun-tahun lamanya. Ungkapan rumah yang buruk dipakai dengan tujuan

    merendahkan diri (Keraf, 2006: 132).

    l) Histeron Proteron

    Histeron Proteron adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan

    dari sesuatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar. Histeron Proteron

    menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa, contoh: Kereta

    melaju dengan cepat di depan kuda yang menariknya. Kalimat tersebut termasuk

    histeron proteron. Ungkapan di depan kuda yang menariknya dianggap sesuatu

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 24

    yang tidak wajar. Ketidakwajaran tersebut karena sesuatu yang ditarik pasti berada

    di belakang yang menariknya (Keraf, 2006: 133).

    m) Pleonasme

    Menurut Pradopo (2009: 95), pleonasme (keterangan berulang) ialah sarana

    retorika dimana kata kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata pertama. Dengan

    cara demikian, sifat atau hal yang dimaksudkan itu lebih terang bagi pembaca atau

    pendengar. Pleonasme merupakan penggunaan kata yang mubazir yang sebenarnya

    tidak perlu. Dengan cara demikian, sifat atau hal yang dimaksudkan itu lebih terang

    bagi pembaca atau pendengar. Keraf (2006: 133) berpendapat bahwa suatu acuan

    disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh.

    Contoh: Saya telah melihat kejadian itu dengan mata kepala saya sendiri.

    Ungkapan tersebut adalah pleonasme, karena semua acuan itu tetap utuh dengan

    makna yang sama, walaupun dihilangkan kata-kata dengan mata kepala saya.

    n) Tautologi

    Menurut Pradopo (2009: 95), tautologi ialah sarana retorika yang

    menyatakan hal atau keadaan dua kali. Maksudnya supaya arti kata atau keadaan itu

    lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar. Sering kata yang dipergunakan

    untuk mengulang itu tidak sama, tetapi artinya sama atau hampir sama. Suatu acuan

    itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenarnya mengandung

    perulangan dari sebuah kata yang lain, contoh: Ia tiba jam 20.00 malam waktu

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 25

    setempat. Acuan itu disebut tautologi karena kata berlebihan itu sebenarnya

    mengulang kembali gagasan yang sudah disebut sebelumnya, yaitu malam sudah

    tercakup dalam jam 20.00.

    o) Perifrasis

    Menurut Keraf (2006: 134), sebenarnya perifrasis adalah gaya yang mirip

    dengan pleonasme. Perifrasis mempergunakan kata lebih banyak dari yang

    diperlukan. Perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata-kata yang berlebihan itu

    sebenarnya dapat diganti dengan satu kata saja. Perifrasis atau perifrase ini berbeda

    dengan parafrase. Parafrase adalah suatu pengungkapan kembali sebuah teks,

    suatu tulisan atau suatu karya, dalam bentuk lain dengan mempertahankan urutan

    idenya, biasanya dalam bentuk yang lebih singkat, contoh: Ia telah beristirahat

    dengan damai (=mati, atau meninggal).

    p) Prolepsis atau Antisipasi

    Prolepsis atau antisipasi adalah semacam gaya bahasa di mana orang

    mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau

    gagasan yang sebenarnya terjadi. Misalnya dalam mendeskripsikan peristiwa

    kecelakaan dengan pesawat terbang, sebelum sampai pada peristiwa kecelakaan itu

    sendiri, penulis sudah mempergunakan kata pesawat yang sial itu. Padahal kesialan

    baru terjadi kemudian, contoh: Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai sebuah

    sedan biru. Ungkapan tersebut termasuk prolepsis atau antisipasi. Hal ini

    dikarenakan pembicara atau penulis terlebih dahulu menggunakan ungkapan pada

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 26

    pagi yang naas itu sebelum sampai pada peristiwa kecelakaan itu sendiri (Keraf,

    2006: 134).

    q) Erotesis atau Pertanyaan Retoris

    Keraf (2006: 134) berpendapat bahwa erotesis atau pertanyaan retoris

    adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan

    tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar.

    Kalimat retoris ini tidak menghendaki adanya sebuah jawaban. Gaya ini biasanya

    dipergunakan sebagai salah satu alat yang efektif oleh para orator. Dalam

    pernyataan retoris terdapat asumsi bahwa hanya ada satu jawaban yang mungkin,

    contoh: Rakyatlah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan manipulasi di

    negara ini? Kalimat pada contoh tersebut merupakan erotesis karena tidak

    membutuhkan jawaban.

    r) Silepsis

    Keraf (2006: 135) berpendapat bahwa silepsis adalah gaya di mana orang

    mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata

    dengan kata lain. Konstruksi yang digunakan itu secara gramatikal benar, tetapi

    secara semantik tidak benar, contoh: Fungsi dan sikap bahasa. Konstruksi yang

    lengkap ialah fungsi bahasa dan sikap bahasa. Fungsi bahasa berarti “fungsi dari

    bahasa”. Sikap bahasa berarti “sikap terhadap bahasa”.

    s) Zeugma

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 27

    Zeugma adalah gaya bahasa yang menggunakan dua konstruksi rapatan

    dengan cara menghubungkan sebuah kata dengan dua atau lebih kata lain. Kata

    yang dipakai untuk membawahkan dua kata berikutnya sebenarnya hanya cocok

    untuk salah satu dari padanya sehingga kalimat tersebut menjadi rancu, contoh:

    Ayah sudah mendengar berita itu dari radio dan majalah. Kalimat tersebut

    mengandung gaya bahasa zeugma yaitu ungkapan mendengar berita itu dari radio

    dan majalah. Kata mendengar dalam kalimat tersebut hanya cocok jika dipasangkan

    dengan kata radio sebagai media audio. Kata majalah sebagai media visual lebih

    cocok jika dipasangkan dengan kata membaca (Susanti, 2013: 109).

    t) Koreksio atau Epanortosis

    Koreksio atau epanortosis adalah suatu gaya yang berwujud mula-mula

    menegaskan sesuatu. Namun, kemudian memeriksa dan memperbaiki yang mana

    yang salah, contoh: Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan,

    sudah lima kali. Ungkapan tersebut mengandung koreksio. Mulanya, penulis atau

    pembicara mengungkapkan bahwa dirinya sudah empat kali mengunjungi daerah

    itu. Kemudian dia memperbaiki bahwa ternyata dia sudah lima kali mengunjungi

    daerah itu (Keraf, 2006: 135).

    u) Hiperbola

    Menurut Keraf (2006: 135), hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang

    mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan suatu

    hal. Pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan atau sifat yang sesungguhnya.

    Dengan demikian, hal tesebut menjadi tidak masuk akal, contoh: Kemarahanku

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 28

    sudah menjadi-jadi hingga hampir-hampir meledak aku. Ungkapan tersebut

    mengandung hiperbola karena dianggap melebih-lebihkan sesuatu. Kemarahan

    seseorang tidak mungkin akan mengakibatkan dirinya sampai meledak.

    v) Paradoks

    Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan

    yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal

    yang menarik perhatian karena kebenarannya (Keraf, 2006: 136). Paradoks

    menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebenarnya tidak bila sungguh-

    sungguh dipikir dan dirasakan, contoh: Hidup yang terbaring mati. Kalimat tersebut

    merupakan paradoks karena mengandung pertentangan tetapi menarik perhatian

    karena kebenarannya memang ada. Pernyataan tersebut merupakan sebuah kiasan

    yang artinya hidup yang tanpa pergerakan, tanpa ada perubahan ke arah yang lebih

    baik.

    w) Oksimoron

    Menurut Keraf (2006: 136), oksimoron adalah suatu acuan yang berusaha

    untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan. Atau

    dapat juga dikatakan oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan

    dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama.

    Oksimoron sifatnya lebih padat dan tajam dari paradoks, contoh: Itu sudah menjadi

    rahasia umum. Ungkapan tersebut mengandung oksimoron. Hal ini dikarenakan

    rahasia seharusnya tidak diketahui oleh orang banyak, tetapi pada kalimat tersebut

    kata rahasia dipasangkan dengan kata umum.

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 29

    2) Gaya Bahasa Kiasan

    Pradopo (2009: 61) berpendapat bahwa gaya bahasa kiasan ini

    menyebabkan sajak menjadi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup,

    dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan. Bahasa kiasan ini

    mengiaskan atau mempersamakan suatu hal dengan hal lain. Tujuannya adalah

    supaya gambaran tersebut menjadi jelas, lebih menarik, dan hidup. Bahasa kiasan

    ada bermacam-macam, namun meskipun bermacam-macam, mempunyai suatu hal

    atau sifat yang umum, yaitu bahasa kiasan tersebut mempertalikan sesuatu dengan

    cara menghubungkannya dengan sesuatu yang lain. Jenis-jenis bahasa kiasan

    meliputi: (a) persamaan/ simile, (b) metafora, (c) alegori, parabel, dan fabel, (d)

    personifikasi/ prosopopoeia, (e) alusi, (f) eponim, (g) epitet, (h) sinekdoke, (i)

    metonimia, (j) hipalase, (l) ironi, (m) sinisme, (n) sarkasme, (o) satire, (p) inuendo,

    (q) antifrasis, dan (r) pun/ paronomasia.

    a) Persamaan atau Simile

    Menurut Keraf (2006: 138), persamaan atau simile adalah perbandingan

    yang bersifat eksplisit. Maksudnya ialah langsung menyatakan sesuatu sama dengan

    hal yang lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan

    kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan

    sebagainya. Perumpamaan atau perbandingan ini dapat dikatakan bahasa kiasan

    yang paling sederhana dan paling banyak dipergunakan dalam karya sastra, contoh:

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 30

    Bibirnya seperti delima merekah. Kalimat tersebut mengandung simile yakni

    ditandai dengan kata seperti.

    b) Metafora

    Menurut Keraf (2006: 139), metafora adalah semacam analogi yang

    membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat.

    Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan kata: seperti, bak,

    bagai, dan sebagainya. Dengan demikian, pokok pertama langsung dihubungkan

    dengan pokok kedua. Proses terjadinya sebenarnya sama dengan simile tetapi secara

    berangsur-angsur keterangan mengenai persamaan dan pokok pertama dihilangkan.

    Metafora ini menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal

    lain yang sesungguhnya tidak sama. Contoh: Orang itu buaya darat.

    c) Alegori, Parabel, dan Fabel

    Bila sebuah metafora mengalami perluasan, maka ia dapat berwujud alegori,

    parable, atau fabel. Ketiga bentuk perluasan ini biasanya mengandung ajaran-ajaran

    moral dan sering sukar dibedakan satu dari yang lain. Alegori adalah suatu cerita

    singkat yang mengandung kiasan. Makna kiasan ini harus ditarik dari bawah

    permukaan ceritanya. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang

    abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat. Parabel adalah suatu kisah singkat

    dengan tokoh-tokoh biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral. Istilah

    parabel dipakai untuk menyebut cerita-cerita fiktif di dalam kitab suci yang bersifat

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 31

    alegoris, untuk menyampaikan kebenaran moral atau kebenaran spiritual. Fabel

    adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di mana binatang-

    binatang bahkan makhluk-makhluk yang tidak bernyawa bertindak seolah-olah

    seperti manusia. Tujuan fabel seperti parabel ialah menyampaikan ajaran moral atau

    budi pekerti. Fabel menyampaikan suatu prinsip tingkah laku melalui analogi yang

    transparan dari tindak-tanduk binatang, tumbuhan, atau makhluk tak bernyawa

    (Keraf, 2006: 140).

    d) Personifikasi atau Prosopopoeia

    Sayuti (2002: 229) mengungkapkan bahwa secara sederhana, personifikasi

    dapat diartikan sebagai pemanusiaan. Artinya jika metafora dan simile merupakan

    bentuk pembandingan tidak dengan manusia, personifikasi merupakan pemberian

    sifat-sifat manusia pada suatu hal. Ungkapan personifikasi berperan dalam

    membangun keseluruhan ekspresi puitik. Personifikasi ialah semacam gaya bahasa

    kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak

    bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan)

    merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda mati

    bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia (Keraf, 2006: 140). Contoh: Angin

    yang meraung di tengah malam yang gelap itu menambah lagi ketakutan kami.

    e) Alusi

    Alusi adalah semacam acuan yang berusaha mensugestikan persamaan

    antara orang, tempat, atau peristiwa. Biasanya, alusi ini adalah suatu referensi yang

    eksplisit atau implisit kepada peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh, atau tempat dalam

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 32

    kehidupan nyata, mitologi, atau dalam karya-karya sastra yang terkenal. Dulu orang

    sering mengatakan bahwa Bandung adalah Paris Jawa. Demikian juga dapat

    dikatakan: Kartini kecil itu turut memperjuangkan persamaan haknya. Kedua

    contoh ini merupakan alusi (Keraf, 2006: 141).

    f) Eponim

    Eponim adalah suatu gaya di mana seseorang yang namanya begitu sering

    dihubungkan dengan sifat tertentu. Eponim dipergunakan oleh seseorang untuk

    menyebutkan suatu hal atau nama dengan menghubungkannya dengan sesuatu

    berdasarkan sifatnya. Dengan demikian, nama itu dipakai untuk menyatakan sifat

    tertentu, contoh: Kerakusannya persis Karun. Kalimat tersebut mengandung

    eponim. Hal ini dikarenakan Karun merupakan tokoh yang terkenal memiliki sifat

    rakus dan tidak mau berbagi dengan sesama manusia (Keraf, 2006: 141).

    g) Epitet

    Epitet adalah semacam acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang

    khusus dari seseorang atau suatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif

    yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang, contoh:

    Putri malam sudah bangun dari peranduannya. Kalimat tersebut mengandung

    epitet. Hal ini dikarenakan terdapat frasa deskriptif yang menjelaskan atau

    menggantikan nama suatu barang. Ungkapan putri malam bermakna bulan (Keraf,

    2006: 141).

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 33

    h) Sinekdoke

    Menurut Pradopo (2009: 78), sinekdoke adalah bahasa kiasan yang

    menyebutkan suatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu

    sendiri. Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian

    dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan

    keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte), contoh: Setiap kepala

    dikenakan sumbangan sebesar Rp 1.000,00. Kalimat tersebut mengandung

    sinekdoke pars pro toto karena kepala merupakan bagian dari anggota tubuh

    manusia. Dalam pertandingan sepakbola antara Indonesia melawan Malaysia di

    Stadion Utama Senayan, tuan rumah menderita kekalahan 3-4. Kalimat tersebut

    mengandung sinekdoke totum pro parte karena mempergunakan keseluruhan

    (Indonesia dan Malaysia) untuk menyatakan sebagian (kelompok pemain sepak

    bola).

    i) Metonimia

    Keraf (2006: 142) berpendapat bahwa metonimia adalah suatu gaya bahasa

    yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena

    mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan itu dapat berupa penemu untuk

    hasil penemuan, pemilik untuk barang yang dimiliki, akibat untuk sebab, sebab

    untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya. Metonomia dalam

    bahasa Indonesia sering disebut kiasan pengganti nama, contoh: Ia membeli sebuah

    Avanza. Kalimat tersebut mengandung metonomia. Hal ini digambarkan dengan

    kata avanza merupakan merk sebuah mobil.

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 34

    j) Hipalase

    Keraf (2006: 142) mengungkapkan bahwa hipalase adalah semacam gaya

    bahasa di mana sebuah kata tertentu dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata,

    yang seharusnya dikenakan pada sebuah kata yang lain. Atau secara singkat dapat

    dikatakan bahwa hipalase adalah suatu kebaikan dari suatu relasi alamiah antara

    dua komponen gagasan. Hipalase merupakan gaya bahasa yang berupa sebuah

    pernyataan atau sindiran yang berlainan dengan yang dimaksudkan. Contoh: Ia

    berbaring di atas sebuah bantal yang gelisah. Ungkapan tersebut mengandung

    hipalase. Hal ini dikarenakan yang gelisah manusianya, bukan bantalnya.

    k) Ironi

    Menurut Keraf (2006: 143), sebagai bahasa kiasan, ironi atau sindiran

    adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud

    berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Ironi merupakan

    suatu upaya literer yang efektif. Ironi menyampaikan impresi yang mengandung

    pengekangan yang besar. Entah dengan sengaja atau tidak, rangkaian kata-kata yang

    dipergunakan itu mengingkari maksud yang sebenarnya. Sebab itu, ironi akan

    berhasil kalau pendengar juga sadar akan maksud yang disembunyikan dibalik

    rangkaian kata-katanya, contoh: Tidak diragukan lagi bahwa Andalah orangnya,

    sehingga semua kebijaksanaan terdahulu harus dibatalkan seluruhnya!

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 35

    l) Sinisme

    Sinisme yang diartikan sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian

    yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan ketulusan hati. Sinisme

    diturunkan dari nama suatu aliran filsafat Yunani yang mula-mula kebajikan adalah

    satu-satunya kebajikan, serta hakekatnya terletak pengendalian diri dan kebebasan.

    Tetapi kemudian mereka menjadi kritikus yang keras atas kebiasaan-kebiasaan

    sosial dan filsafat-filsafat lainnya. Walaupun sinisme dianggap lebih keras dari

    ironi, namun kadang-kadang masih sukar diadakan perbedaan antara keduanya. Bila

    contoh mngenai ironi di atas diubah, maka akan dijumpai gaya yang lebih bersifat

    sinis, contoh: Memang Anda adalah seorang gadis yang tercantik di seantero jagad

    ini yang mampu menghancurkan seluruh isi jagad ini (Keraf, 2006: 143).

    m) Sarkasme

    Menurut Keraf (2006: 143), sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih

    kasar dari ironi dan sinisme. Sarkasme mengandung kepahitan dan celaan yang

    getir. Sarkasme dapat saja bersifat ironis, dapat juga tidak. Gaya ini selalu akan

    menyakiti hati dan kurang enak didengar. Contoh: Lihat sang Raksasa itu

    (maksudnya si Cebol). Kalimat tersebut merupakan contoh sarkasme karena

    menyebutkan orang yang bertubuh kecil dengan sebutan raksasa.

    n) Satire

    Keraf (2006: 144) berpendapat bahwa satire adalah ungkapan yang

    menertawakan atau menolak sesuatu. Bentuk ini tidak perlu harus bersifat ironis.

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 36

    Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia. Tujuan utamanya adalah

    agar diadakan perbaikan secara etis maupun estetis. Satire berisi kritik sosial baik

    secara terang-terangan maupun terselubung. Contoh:

    Maling-maling kecil kau adili

    Maling-maling besar kau lindungi

    Di mana letak keadilan

    Bila masih memandang golongan

    o) Inuendo

    Inuendo adalah semacam sindiran dengan mengecilkan kenyataan yang

    sebenarnya. Ia menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung. Inuendo

    sering tampaknya tidak menyakitkan hati kalau dilihat sambil lalu, contoh: Dia

    memang pemimpin yang baik, cuma sering korupsi. Kalimat tersebut mengandung

    inuendo. Penulis atau pembicara sebenarnya menyindir pemimpin yang korupsi,

    tetapi secara tidak langsung (Keraf, 2006: 144).

    p) Antifrasis

    Menurut Keraf (2006: 144), antifrasis adalah semacam ironi yang berwujud

    penggunaan sebuah kata dengan makna kebalikannya. Antifrasis yang bisa saja

    dianggap sebagai ironi sendiri, contoh: Engkau memang orang yang mulia dan

    terhormat! Antifrasis akan diketahui dengan jelas, bila pembaca atau pendengar

    mengetahui atau dihadapkan pada kenyataan bahwa yang dikatakan itu adalah

    sebaliknya. Bila diketahui yang datang itu adalah seorang koruptor atau penjahat,

    maka contoh itu jelas disebut antifrasis. Kalau tidak diketahui secara pasti, maka ia

    disebut saja sebagai ironi.

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 37

    q) Pun atau Paronomasia

    Pun atau paronomasia adalah kiasan dengan mempergunakan kemiripan

    bunyi. Ia merupakan permainan kata yang didasarkan pada kemiripan bunyi, tetapi

    terdapat perbedaan besar dalam maknanya (Keraf, 2006: 145). Pun atau

    paronomasia ini disebut juga dengan homonim, contoh: Bisa ular itu bisa

    membunuh manusia. Bisa yang pertama berarti racun. Bisa yang kedua berarti

    dapat.

    E. Moral dalam Karya Sastra

    1. Pengertian Moral dalam Karya Sastra

    Mangunhardjana (2004: 158) berpendapat bahwa moral berasal dari bahasa

    latin mores, yang berarti „akhlak‟, „tabiat‟, „kelakuan‟, „cara hidup‟, „adat istiadat‟

    (yang baik). Kata moral digunakan untuk menyebut baik-buruknya manusia dalam

    hal sikap, tindak-tanduk, dan perbuatannya. Moral merupakan bagian penting dalam

    hidup manusia. Manusia dikatakan bermoral jika mereka memiliki kesadaran moral

    yaitu dapat menilai hal-hal yang baik dan buruk, hal-hal yang boleh dilakukan dan

    tidak boleh dilakukan. Manusia yang bermoral dengan sendirinya akan tampak

    dalam penilaian atau penalaran moralnya serta pada perilakunya yang baik, benar,

    dan sesuai dengan etika.

    Moral dalam pengertian filsafat merupakan suatu konsep yang telah

    dirumuskan masyarakat dalam menentukan kebaikan atau keburukan. Salah satu

    tujuan kehadiran sastra di tengah-tengah masyarakat adalah berupaya untuk

    meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang berbudaya,

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 38

    berpikir, dan berketuhanan. Sebuah karya sastra yang bernilai tinggi adalah karya

    sastra yang mengandung moral yang tinggi, yang dapat mengangkat harkat umat

    manusia. Dalam hal ini karya sastra diciptakan oleh seorang penulis tidak semata-

    mata mengadalkan bakat dan kemahiran berekspresi, tetapi lebih dari itu. Seorang

    penulis melahirkan karya sastra karena ia juga memiliki visi, aspirasi, itikad baik,

    dan perjuangan sehingga karya sastra yang dihasilkannya memiliki nilai tinggi

    (Semi, 2012: 89).

    Menurut Nurgiyantoro (2010: 321), moral dalam karya sastra biasanya

    mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan. Pandangan tentang

    nilai-nilai kebenaran dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Moral

    dalam karya sastra biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan

    dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan

    ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Pembaca diharapkan

    dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan. Moral dalam

    karya sastra dapat dipandang sebagai amanat atau pesan.

    Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa selain sebagai

    sarana hiburan, pengarang dalam menciptakan karyanya memiliki pesan yang ingin

    disampaikan kepada pembaca atau penikmat karya sastra tersebut. Pesan moral

    dalam karya sastra biasanya lebih dikenal dengan amanat. Amanat merupakan unsur

    terpenting dalam terbentuknya sebuah karya sastra, karena karya sastra yang baik

    selalu memberikan pesan kepada pembaca untuk berbuat baik. Karya sastra

    dianggap sebagai sarana pendidikan moral karena bisa mendidik pembaca atau

    penikmat karya sastra agar dapat mengerti akan sesuatu yang baik dan yang tidak

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 39

    baik untuk dirinya. Pengarang juga mengharapkan pembaca agar dapat mengambil

    hikmah dari pesan moral yang disampaikan sebagai bahan perenungan.

    2. Jenis Pesan Moral

    Nurgiyantoro (2010: 323) berpendapat bahwa jenis ajaran moral itu sendiri

    dapat mencakup masalah, bersifat tidak terbatas. Ajaran moral mencakup seluruh

    persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan

    martabat manusia. Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia

    dibedakan ke dalam persoalan hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan

    manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan

    lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Jenis hubungan-

    hubungan tersebut masing-masing dapat dirinci ke dalam detil-detil wujud yang

    lebih khusus antara lain sebagai berikut:

    a. Aspek Moral Hubungan Manusia dengan Diri Sendiri

    Nurgiyantoro (2010: 324) berpendapat bahwa persoalan manusia dengan

    dirinya sendiri dapat bermacam-macam jenis dan tingkat intensitasnya. Ia dapat

    berhubungan dengan masalah-masalah seperti eksistensi diri, harga diri, rasa

    percaya diri, tanggung jawab, jujur, sabar, takut, berani, rindu, dendam, pemaaf,

    kesepian, terombang-ambing antara beberapa pilihan, pantang menyerah, rendah

    hati, tekun, dan lain-lain yang lebih bersifat melibat ke dalam diri dan kejiwaan

    seorang individu.

    Rasa percaya diri atau optimisme merupakan sikap atau pandangan hidup

    yang dalam segala hal memandang hal yang baik dan mengharapkan hasil yang baik

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 40

    saja. Orang yang memiliki rasa percaya diri atau optimis adalah orang yang selalu

    berpengharapan atau berpandangan baik dalam menghadapi segala hal (Depdiknas,

    2008: 1091). Sedangkan pantang menyerah merupakan sikap selalu ingin berusaha

    agar apa yang diinginkan atau dicita-citakan dapat tercapai. Orang yang memiliki

    sikap pantang menyerah ini tidak mengenal kata lelah dan putus asa. Dia selalu

    semangat dan berusaha untuk mendapatkan apa yang diinginkan walaupun banyak

    cobaan dan rintangan yang menghalanginya.

    Rendah hati atau tidak sombong merupakan sikap yang tidak memandang

    orang lain remeh dan hina. Meskipun orang lain derajatnya lebih rendah dari kita

    namun kita tidak boleh sombong karena sewaktu-waktu takdir dapat berbalik.

    Orang lain yang mungkin selama ini kita anggap hina bisa jadi suatu saat orang

    tersebut mendapatkan rezeki dari Allah SWT. Manfaat jika manusia memiliki sifat

    rendah hati yaitu pertama, mempunyai banyak teman. Kedua, hatinya selalu tentram

    dan tenang. Ketiga, disenangi orang lain. Keempat, terhindar dari sikap sombong

    atau takabur. Sebaliknya jika seseorang memiliki sifat sombong akan berakibat jauh

    dari kebenaran, terkunci mata hatinya, mengalami kegagalan dalam bekerja, tidak

    disukai Allah, tidak akan masuk surga, dan akan menjadi penghuni neraka.

    Jujur artinya berlaku benar baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan.

    Jujur dalam perkataan adalah mengatakan hal yang sebenarnya, tidak mengada-

    ngada, dan tidak pula menyembunyikannya. Benar dalam perbuatan adalah

    mengerjakan sesuatu sesuai dengan petunjuk agama. Antara hati dan perkataan

    harus sama, tidak boleh berbeda, apalagi antara perkataan dan perbuatan. Kita

    sebagai manusia hendaknya bersikap jujur, karena sikap jujur membawa kepada

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 41

    kebaikan. Sebaliknya kita dilarang untuk berbohong, karena kebohongan akan

    membawa kepada kejahatan (Anwar, 2010: 102).

    b. Aspek Moral Hubungan Manusia dengan Manusia Lain

    Masalah-masalah yang berupa hubungan antar manusia itu antara lain dapat

    berwujud: persahabatan, kesetiaan, penghianatan, kekeluargaan: hubungan antara

    suami dengan istri, orang tua dengan anak, cinta kasih terhadap suami atau istri,

    anak, orang tua, sesama, maupun tanah air, hubungan buruh dengan majikan, atasan

    dengan bawahan, dan lain-lain yang melibatkan interaksi antar manusia. Contohnya

    toleransi, setia, bersatu, dan adil (Nurgiyantoro, 2010: 325).

    Toleransi merupakan sifat atau sikap menghargai, membiarkan,

    membolehkan pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan,

    dsb yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Toleransi ini akan

    membuat kita hidup rukun dalam bermasyarakat. Oleh karena itu, sifat toleransi ini

    perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan masyarakat.

    Sikap toleransi ini perlu diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Apabila kita

    memiliki sikap toleransi, maka akan terjalin kerukunan antar umat beragama.

    Sebaliknya jika kita tidak memiliki sikap toleransi maka yang terjadi adalah

    permusuhan atau bahkan pertumpahan darah.

    Setia merupakan sifat yang berpegang teguh pada janji dan tidak berkhianat.

    Setia juga dapat berarti teguh hati dalam hal persahabatan, percintaan, dan

    sebagainya. Sifat setia ini perlu untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

    Apabila kita memiliki sifat yang setia maka kita akan disegani dan dipercaya oleh

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 42

    orang lain. Sebaliknya jika kita memiliki sifat khianat maka kita tidak akan disegani

    dan dipercaya oleh orang lain.

    Bersatu merupakan berkumpul atau begabung menjadi satu. Lawan dari

    bersatu adalah bercerai. Sikap bersatu ini perlu diterapkan dalam kehidupan

    bermasyarakat agar hubungan dalam masyarakat menjadi kokoh dan tidak mudah

    dipecah-belah atau diadu domba. Bersatu perlu diterapkan dalam kehidupan

    bermasyarakat. Tujuannya adalah agar hubungan sesama manusia menjadi kokoh

    dan tidak mudah diadu domba. Apabila sikap kesadaran untuk bersatu ini tidak

    dimiliki oleh warga masyarakat atau warga negara, maka akan berakibat hubungan

    antar warga menjadi renggang dan mudah dipecah-belah atau diadu domba oleh

    pihak yang ingin merusak persatuan dan kesatuan antar warga masyarakat ataupun

    warga negara.

    Adil dapat diartikan dengan memberikan hak seimbang dengan kewajiban,

    atau memberi seseorang sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya orang tua yang adil

    akan membiayai pendidikan anak-anaknya sesuai dengan tingkat kebutuhan

    masing-masing sekalipun secara nominal masing-masing anak tidak mendapatkan

    jumlah yang sama. Dalam hukum waris misalnya, anak laki-laki ditetapkan oleh Al-

    Qur‟an mendapatkan warisan dua kali bagian anak perempuan. Hal itu karena anak

    laki-laki setelah berkeluarga menanggung kewajiban membiayai hidup istri dan

    anak-anaknya. Sedangkan anak perempuan setelah berkeluarga dibiayai oleh

    suaminya (Ilyas, 2009: 235).

    c. Aspek Moral Hubungan Manusia dengan Tuhannya

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 43

    Aspek moral hubungan manusia dengan Tuhan berwujud moral religius.

    Moral religius menjunjung tinggi sifat-sifat manusiawi, hati nurani yang dalam,

    harkat dan martabat serta kebebasan pribadi yang dimiliki manusia (Nurgiyantoro,

    2010: 327). Moral religius ini lebih mengarah kepada kebaktian seorang manusia

    kepada Tuhannya. Menurut ajaran Islam, hubungan manusia dengan Tuhannya

    (Allah SWT) dapat dipelihara dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi

    larangan-Nya. Sikap moral hubungan manusia dengan Tuhan dapat berupa beriman,

    zikrullah, taat, ikhlas, tawakal, bersyukur, bertobat, khauf dan raja‟, dan lain-lain.

    Mengingat Allah (zikrullah) adalah asas dari setiap ibadah kepada Allah

    SWT karena merupakan pertanda hubungan antara hamba dan Pencipta pada setiap

    saat dan tempat. Rasulullah SAW senantiasa mengingat Allah SWT pada sepanjang

    hidupnya. Zikrullah merupakan aktifitas paling baik dan paling mulia bagi Allah

    SWT (Anwar, 2010: 92). Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengingat Allah

    SWT, misalnya berdzikir, sholat, mempelajari dan membaca Al Quran serta

    mengamalkannya, senantiasa bersyukur kepada Allah SWT, meyakini pertolongan

    Allah SWT, dan perbanyak merenungi tanda-tanda kebesaran Allah SWT yang

    terdapat di alam semesta maupun fakta sejarah. Satu hal yang harus diingat adalah,

    untuk dapat selalu mengingat Allah SWT, dzikir tidak hanya dilakukan sebatas

    ucapan lisan dan atau hati saja. Dzikir kepada Allah swt merupakan rangkaian

    aktivitas yang melibatkan segenap hati, lisan, dan juga perbuatan. Tanpa bersatunya

    ketiga aspek tersebut, maka sulit pula atau bahkan tidak mungkin bagi hati kita

    untuk bersatu dengan Allah swt.

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 44

    Khauf dan raja’ atau takut dan harap adalah sepasang sikap batin yang harus

    dimiliki secara seimbang oleh setiap Muslim. Khauf adalah kegalauan hati

    membayangkan sesuatu yang tidak disukai yang akan menimpanya, dan

    membayangkan hilangnya sesuatu yang disukainya. Dalam Islam, semua rasa takut

    harus bersumber dari rasa takut kepada Allah. Raja’ atau harap adalah memautkan

    hati pada sesuatu yang disukai pada masa yang akan datang. Khauf dan raja’ harus

    seimbang, bila salah satu dominan dari yang lainnya akan melahirkan pribadi yang

    tidak seimbang. Dominasi khauf menyebabkan sikap pesimisme dan putus asa,

    sementara dominasi raja’ menyebabkan seseorang lalai atau lupa diri serta merasa

    aman dari azab Allah (Ilyas, 2009: 37-41).

    F. Lirik Lagu Pengamen Bus Jurusan Purwokerto-Yogyakarta

    Lirik adalah sajak pendek dalam bentuk nyanyian yang isinya melukiskan

    perasaan (Depdiknas, 2008: 937). Lagu merupakan ragam suara yang berirama

    (Depdiknas, 2008: 855). Lirik lagu memiliki ciri-ciri yang membedakan dengan

    sajak pada umunya, karena pada lirik lagu pengarang dalam menuangkan ide-

    idenya harus dipadukan dengan melodi atau irama sehingga muncul keserasian

    dalam lagu tersebut. Lirik lagu secara sepintas berbeda dengan puisi, namun jika

    dilihat dengan seksama lirik lagu banyak memiliki kesamaan dengan puisi. Hal

    tersebut dikarenakan lirik lagu mengandung unsur pembangun seperti halnya puisi.

    Lirik lagu diciptakan dengan bahasa yang indah dan mempunyai makna yang dalam

    serta tidak memperhatikan tanda baca, melainkan memperhatikan penjiwaan agar

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 45

    penikmat lagu seperti berada dalam lagu tersebut setelah membaca atau

    mendengarkannya.

    Depdiknas (2008: 51) berpendapat bahwa pengamen adalah penyanyi, atau

    pemain musik yang tidak bertempat tinggal tetap. Mereka berpindah-pindah dan

    mengadakan pertunjukkan di tempat umum. Orang yang bekerja sebagai pengamen

    sehari-harinya menyanyi atau memainkan musik dari suatu tempat ke tempat yang

    lain. Mereka mengharapkan imbalan sukarela atas pertunjukan yang mereka

    suguhkan. Pengamen banyak dijumpai di tempat umum yang banyak orang seperti

    di bus, pasar, atau objek wisata.

    Bus merupakan kendaraan bermotor angkutan umum yang besar yang

    dapat memuat penumpang banyak (Depdiknas, 2008: 241). Bus biasanya memiliki

    jalur yang lebih panjang dibandingkan angkutan dalam kota. Jalur tersebut yakni

    antar kota ataupun antar propinsi. Bus jurusan Purwokerto-Yogyakarta adalah bus

    yang berangkat dari Purwokerto menuju Yogyakarta, begitu pula sebaliknya dari

    Yogyakarta sampai dengan Purwokerto. Bus jurusan Purwokerto-Yogyakarta ada

    bermacam-macam antara lain Mulyo, Raharja, dan masih banyak yang lainnya.

    Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa lirik lagu

    pengamen bus jurusan Purwokerto-Yogyakarta adalah sajak pendek yang isinya

    melukiskan perasaan dari bahasa yang dipadukan oleh pengarang dengan melodi

    atau irama. Lirik lagu juga merupakan ekspresi seseorang tentang suatu hal yang

    sudah dilihat, didengar, maupun dialaminya. Dalam mengekspresikan

    pengalamannya, pencipta lagu melakukan permainan kata-kata dan bahasa untuk

    menciptakan daya tarik dan kekhasan terhadap lirik tersebut. Lirik lagu terbentuk

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014

  • 46

    dari bahasa yang dihasilkan dari komunikasi antara pencipta lagu dengan

    masyarakat penikmat lagu. Lagu tersebut dinyanyikan oleh pengamen di dalam bus

    jurusan Purwokerto-Yogyakarta. Pengamen itu menyanyi secara berpindah-pindah

    dari satu bus ke bus yang lainnya. Mereka berharap mendapatkan imbalan sukarela

    atas pertunjukan yang mereka suguhkan dari para penumpang bus tersebut.

    Gaya Bahasa dan Pesan Moral..., Khuswatun Khasanah, FKIP UMP, 2014