29
TUGAS AKHIR MATA KULIAH SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI SENI Dosen Pengampu : Drs. Agus Cahyono, M.Hum, Lesa Paranti, S.Pd Menggali Kembali Wayang Kulit Pesisiran Laseman Oleh : Lathief Eka Rudetiana (2501413059) Surati (2501413081) Gilang Surya Saputra (2501413161) PENDIDIKAN SENI TARI FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2013

Wayang Kulit Pesisiran Laseman di Acara Slasa Legen Unnes

Embed Size (px)

Citation preview

TUGAS AKHIR

MATA KULIAH SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI SENI

Dosen Pengampu : Drs. Agus Cahyono, M.Hum, Lesa Paranti, S.Pd

Menggali Kembali Wayang Kulit Pesisiran Laseman

Oleh :

Lathief Eka Rudetiana (2501413059)

Surati (2501413081)

Gilang Surya Saputra (2501413161)

PENDIDIKAN SENI TARI

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2013

2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas

berkat dan rahmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan laporan ini dengan lancar.

Laporan ini kami susun sebagai tugas akhir dalam mata kuliah Sosiologi dan

Antropologi Seni, sekaligus sebagai upaya kami dalam menggali kembali wayang

kulit pesisiran Laseman dan mempublikasikannya kepada masyarakat. Adapun isi

dari laporan observasi yang telah kami buat ini mengenai Wayang Kulit Pesisiran

Laseman.

Kami berterimakasih kepada semua pihak yang telah membantu

kelancaran dalam kegiatan persiapan penelitian, observasi, sampai dengan

penyusunan tugas akhir mata kuliah sosiologi-antropologi seni ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Sehingga

kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhirnya, penulis

berharap laporan oberrvasi ini dapat berguna sebagai tambahan informasi

mengenai kebudayaan Indonesia.

Penulis

ABSTRAK

3

Seni Pakeliran Pesisiran Laseman atau lebih dikenal dengan sebutan

Pertunjukan Wayang Kulit Pesisiran Laseman sudah tidak lagi populer di

masyarakat. Masalah utamanya adalah kemajuan teknologi dan kurangnya minat

masyarakat terhadap kesenian tradisional yang tumbuh di daerah Lasem, sebuah

kota kecil di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Sebagian besar anak-anak muda

sekarang ini terutama mereka yang tinggal di daerah pesisir lebih menyukai

kesenian yang berbau kebarat-baratan seperti hip-hop, break dance, rock, heavy

metal, maupun reggae. Kalau pun ada yang suka kesenian daerah ialah yang

populer di masyarakat daerah, seperti dangdut koplo, kethoprak, dan dalam seni

pakeliran yang lebih populer adalah wayang kulit gaya Surakarta yang dianggap

lebih berkesan sebagai wayang kulit dengan “nilai seni tinggi” dibandingkan

dengan wayang kulit gaya pesisiran Laseman. Namun, Wayang Kulit gaya

Pesisiran Laseman ini kembali ditampilkan di Auditorium Unnes oleh Ki Dalang

Sigid Ariyanto, setelah beberapa dekade punah. Seni wayang ini digali kembali

oleh para pakar yang ahli di bidang seni pakeliran dengan sumber-sumber

informasi yang terbatas sehingga dapat mengangkat kembali kesenian tradisional

khas daerah pesisiran ini.

Kata kunci: Seni pakeliran, Wayang kulit, Gaya pesisiran, Lasem.

4

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... 1

KATA PENGANTAR ................................................................................... 2

ABSTRAK ................................................................................................ 3

DAFTAR ISI ................................................................................................ 4

BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 5

BAB 2 METODE PENELITIAN ............................................................... 6

A. Lokasi Penelitian .......................................................................... 6

B. Sasaran Penelitian ........................................................................ 6

C. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 6

D. Analisis Data ............................................................................... 7

BAB 3 HASIL PENELITIAN DA PEMBAHASAN ................................ 10

A. Kondisi Geografis Daerah ........................................................... 10

B. Kondisi Demografis Daerah ........................................................ 10

C. Pola Kebudayaan dan Kosmologis .............................................. 11

D. Sejarah Objek yang Dikaji ........................................................... 12

E. Bentuk Objek Studi ..................................................................... 14

1. Bentuk dan Struktur Penyajian .................................................... 14

2. Ruang dan Waktu ...................................................................... 16

3. Pelaku dan Penonton ................................................................. 16

F. Makna dan Nilai yang Terkandung .................................................. 17

BAB 4 PENUTUP ............................................................................................ 19

A. Simpulan ....................................................................................... 19

B. Saran ............................................................................................ 19

REFERENSI ................................................................................................. 21

LAMPIRAN ................................................................................................... 22

5

BAB 1 PENDAHULUAN

Budaya pesisiran terbentuk dari letak geografis pesisir, yakni di sepanjang

tepian pantai. Di Jawa Tengah, budaya pesisiran merupakan aspek penting dan tak

terpisahkan dari budaya Jawa. Sebab, budaya luar yang masuk dalam masyarakat

Jawa Pedalaman pasti melewati dahulu daerah Jawa Pesisiran. Hal ini

menyebabkan budaya masyarakat pesisiran terbentuk karena faktor perpaduan

budaya dan faktor geografis. Ini terlihat dari sikap dan perilaku masyarakatnya

dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, secara sikap, ciri khas budaya

pesisiran adalah lugu. Kita bisa melihat dari watak orang-orang pesisiran yang

cenderung apa adanya saat berbicara.

Salah satu bentuk kesenian/seni pertunjukan pesisiran adalah kesenian

Wayang Kulit Pesisiran Laseman. Wayang kulit ini lahir dan berkembang di

Lasem, sebuah kota pelabuhan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Namun

seiring dengan berkembangnya zaman dan derasnya arus globalisasi, maka

Wayang Kulit Pesisiran Laseman ini kian tergeser dari masyarakat dan bahkan

punah selama beberapa dekade. Di sini kami ingin menggali kembali kesenian

Wayang Kulit Pesisiran Laseman supaya masyarakat luas terutama masyarakat

pesisiran bisa mengetahui kembali kesenian yang punah ini. Padahal, Lasem

dalam sejarah nasional tercatat sebagai kota tua dan menjadi pusat pelabuhan di

zaman Majapahit. Pengetahuan tentang ini dapat diketahui dari isi Piagam

Singosari yang dikeluarkan oleh Raja Hayam Wuruk tahun 1351 M (dalam

maklumat Sabda Bathara Prabu). Hal serupa juga disebutkan dalam naskah kuno

Pararaton dan Kakawin Nagara Kretagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca di

akhir abad 14. Kala itu Lasem merupakan sebuah negeri otonom di Jawa dengan

pemerintahan dan wilayah sendiri yang begitu luas dan menjadi kekuatan bagi

kelangsungan serta keutuhan Nusantara dibawah kekaisaran Majapahit dengan

cirinya sebagai kota bandar yang sangat maju. Sungguh disayangkan apabila

kesenian yang berasal dari daerah yang memegang peranan penting dalam sejarah

nasional ini punah begitu saja dan hanya menjadi dongeng pengantar tidur.

6

BAB 2 METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Penelitian ini kami lakukan di 3 tempat, yaitu di Auditorium Universitas

Negeri Semarang, kampus Sekaran Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang;

Rumah Ki Sigid Ariyanto, S. Sn, yang beralamat di Gang Anggrek I Tawangsari,

Desa Leteh Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang; dan di Kecamatan

Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan sebagai tugas akhir mata kuliah Sosiologi dan

Antropologi Seni sekaligus sebagai upaya kami dalam menggali kembali

informasi dan data-data mengenai wayang kulit pesisiran Laseman dengan

melakukan observasi langsung ke pergelaran perdananya setelah beberapa dekade

punah serta melakukan wawancara kepada beberapa pihak terkait. Setelah itu,

informasi dari hasil observasi ini akan kami publikasikan kepada masyarakat

terutama masyarakat Lasem.

Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian kami adalah pelaku-pelaku yang terlibat dalam

pergelaran wayang kulit pesisiran gagrag Laseman di Auditorium Universitas

Negeri Semarang (meliputi dalang, niyaga, sinden, tukang angkut barang, pihak

konsumsi) dan para sejarawan yang ada di daerah Lasem. Sedangkan sasaran hasil

observasi adalah para akademisi dan masyarakat pesisiran terutama masyarakat

Lasem.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang kami pakai adalah teknik observasi

langsung dan tidak langsung. Teknik langsung yaitu kami memperhatikan,

melihat, serta mengamati secara langsung pergelaran wayang kulit pesisiran

gagrag Laseman yang ditampilkan. Teknik tidak langsung yaitu kami mencari

data-data yang berkaitan dengan objek observasi kami.

7

Kami juga melakukan wawancara kepada pihak-pihak yang terkait, yaitu

1. Ki Sigid Ariyanto sebagai dalang, wawancara berkaitan dengan bentuk dan

pertunjukan wayang kulit Laseman

2.Pak Karnoto sebagai budayawan Lasem. Wawancara berkaitan dengan sejarah

dan eksistensi wayang pesisiran Laseman.

3. Mas Sigit, sebagai fotografer sekaligus sebagai penonton dari kalangan

Pakarjawi, Mas Dedi sebagai niyaga, Mas Paksi sebagai tukang angkut sekaligus

penonton dari pihak mahasiswa, dan Mas Marsudi Wahyu sebagai tukang

sumping wayang. Mereka kami wawancarai satu per satu sesuai dengan

bidangnya.

Teknik Analisis Data

Reduksi Data

Data hasil wawancara kami kepada Ki Dalang Sigid Ariyanto adalah

mengenai bentuk, warna, teknik ukiran, teknik memainkan dan segala hal yang

berhubungan dengan penyajian wayang kulit pesisiran Laseman karena beliau

merupakan seorang dalang wayang kulit, selain itu juga mengenai sejarah wayang

kulit pesisiran Laseman serta perbandingannya dengan wayang kulit lainnya

sebab beliau juga ikut andil dalam kegiatan mendudah dan menggali kembali

kesenian yang punah selama beberapa dekade ini. Juga menyinggung masalah

profesi beliau sebagai dalang. Beliau hidup dari berkesenian dalam satu bulannya

memperoleh job mendalang rata-rata 25 kali pada bulan ramai (sekitar bulan

Ruwah ataupun saat Besar) dan 10-12 kali pada bulan sepi (sekita Suro maupun

Poso), penghasilan kotor yang di dapat sekitar Rp25.000.000,00-Rp30.000.000,00

dan penghasilan bersihnya sekitar Rp6.000.000,00 sebab selain sebagai dalang,

beliau juga bertindak sebagai manajer yang mengatur pendapatan pihak pesinden,

niyaga, pembantu dalang, dan semua timnya. Tidak ada sistem perekrutan tim

yang formal, perekrutan lebih kepada minat dan bakat seseorang yang kemudian

beliau ajak untuk ikut dalam pergelaran. Kebetulan selama ini beliau bertindak

8

sebagai dalang wayang purwa gaya Surakarta dan hanya sekali sebagai dalang

wayang kulit pesisiran Laseman.

Sedangkan data hasil wawancara kami kepada Pak Karnoto pada initinya

adalah mengenai budaya pesisiran dan seni wayang kulit pesisiran Laseman yang

telah punah serta musik-musik pengiringnya.

Informasi yang kami dapat dari Mas Sigit adalah mengenai respon

penonton tentang pergelaran ini sekaligus mengenai mengapa ia menonton

pergelaran ini, alasannya karena beliau ditugasi dari Pakarjawi untuk memotret

hal-hal penting sebagai dokumentasi Pakarjawi. Selain itu, wawancara kepada

Paksi adalah mengenai tugasnya sebagai salah satu tukang angkut dalam

pergelaran ini dan sampai pukul 02.00 dini hari baru selesai tugasnya, dengan

uang pengganti tenaga sebanyak Rp50.000,00. Sebagai penonton, ia juga

mengatakan bahwa wayang ini sebenarnya unik dan ia baru pertama kali ini

nonton.

Wawancara dengan Marsudi Wahyu sebagai penyumping wayang, kami

mendapatkan info bahwa yang disumping di kiri dan kanan layar atau geber

adalah wayang purwa gaya Surakarta karena jumlah wayang pesisiran Laseman

yang ada hanya sedikit dan belum cukup untuk dipakai sebagai wayang

sumpingan. Dari segi honor, yang ia terima adalah Rp50.000,00 sama seperti

Paksi.

Penyajian Data

Data disajikan dalam bentuk laporan hasil observasi dan data presentari

(powerpoint) yang didalamnya terlampir foto-foto observasi dan video

pertunjukan serta video saat wawancara dengan Ki Sigid Ariyanto.

Analisis Data dan Penarikan Simpulan

Data dianalisis menggunakan berbagai sudut pandang seperti sudut

pandang sejarah, sosial-budaya, deskripsi bentuk dan penyajian, sampai

didapatkan suatu kesimpulan yang diharapkan. Wayang yang punah dan digali

9

kembali ini sangat sulit didapat informasinya. Sebab, sangat sedikit informasi

yang berkaitan dengan wayang kulit pesisiran Laseman dan kurangnya data

sehingga penampilannya kembali di depan publik ini hanya mengacu pada

referensi yang terbatas. Simpulannya, kami mendapatkan data yang terbatas dan

sebagian besar bersumber dari sumber-sumber wawancara lisan kepada beberapa

pihak dan sebagian dari data tertulis berupa artikel terkait yang kemudian kami

analisis dan kami pilah-pilah sampai laporan observasi ini tersusun.

10

BAB 3 HASIL PENELITIAN

A. Kondisi Geografis Daerah

Lasem adalah sebuah kota kecil yang termasuk dalam wilayah Kabupaten

Rembang, Provinsi Jawa Tengah, terletak di jalur pesisir pantai utara Jawa, 12

kilometer sebelah timur dari kota Rembang. Sebagai kota kecamatan, Lasem

membawahi 20 desa dengan luas wilayahnya 2.760.557 hektar yang berbatasan

langsung dengan beberapa kecamatan di sekitarnya. Di sebelah barat berbatasan

dengan Kecamatan Rembang, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan

Pancur, sebelah tenggara dengan Kecamatan Sedan, di sebelah timur berbatasan

dengan Kecamatan Sluke dan di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa. Pada

wilayah pesisir, Lasem terletak di pantai utara Jawa, sekitar antara Teluk

Rembang, Teluk Regol, sampai daerah Tanjung Bendo. Sedangkan pada wilayah

pegunungan, Lasem terletak di sepanjang Pegunungan Lasem sampai utara

Pegunungan Kendeng (Pegunungan Kapur Utara). Selain itu, daratan Lasem

dibelah oleh Sungai Lasem (Sungai Babagan/Paturen) yang pada zaman Kerajaan

Lasem sampai masa Kadipaten Lasem merupakan jalur perdagangan dan jalur

penyelundupan candu. Dari kondisi geografis inilah menjadikan Lasem sebagai

daerah penghasil garam, bandeng, udang windu, brayo/buah mangrove dan terasi

(di daerah pesisir), serta sebagai penghasil mangga gadung dan mangga manalagi,

duren criwik, jambu kluthuk Kajar, nangka, sukun, asam jawa, bambu ori, kayu

jati, juwet dan sawo kecik (di daerah perkotaan dan pegunungan).

B. Kondisi Demografis Daerah

Penduduk Lasem berjumlah 48.886 jiwa (tahun 2013) dengan rincian

penduduk laki-laki sebanyak 24.586 jiwa sedangkan penduduk perempuan

sebanyak 24.280 jiwa. Sebagian besar penduduknya bermatapencarian sebagai

petani, pedagang, nelayan dan mayoritas pemudanya bekerja di bidang jasa,

sebagiannya bekerja sebagai pegawai baik PNS maupun swasta. Sementara itu,

etnis yang tersebar di Lasem adalah suku Jawa, suku Tionghoa-Indonesia,

11

keturunan Campa dan perpaduan etnis-etnis tersebut. Selain itu juga ada etnis lain

sebagai pendatang di kota Lasem seperti orang Sunda, Batak, dll. Mereka tersebar

di daerah pesisir utara Jawa, pusat kota Lasem, dan di lereng Gunung Lasem.

Latar belakang pendidikan masyarakat Lasem mayoritas adalah lulusan SMP dan

SMA sederajat. Banyak dari mereka yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi

dan memilih bekerja sebagai buruh di bidang jasa, sedangkan mereka yang lulus

dari perguruan tinggi banyak yang enggan untuk kembali ke Lasem dan memilih

untuk mengadu nasib di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang,

Solo, dan merantau ke luar Jawa. Ini menyebabkan kesenian daerah pesisiran

Laseman maupun kesenian daerah pegunungan Laseman sulit untuk berkembang

dan tereksplorasi bahkan di ambang kepunahan. Namun, adanya suatu Heritage

Movement di akhir-akhir dekade pertama abad-21 ini mendorong masyarakat

Lasem untuk menggali kembali kesenian daerahnya seperti Wayang Kulit gaya

Pesisiran Laseman, Seni Laesan, Wayang Klithik Ngeblek (Wayang Bengkong),

Karawitan gaya Laseman, Batik Tulis Laseman, dll. Pergerakan ini dilakukan oleh

para sejarawan, budayawan dan pemuda-pemuda Lasem.

C. Pola Kebudayaan dan Kosmologis

Kebudayaan masyarakat Lasem sebagian besar didominasi oleh budaya

masyarakat pesisiran yang cenderung lugu, apa adanya. Selain itu, juga terdapat

budaya perpaduan antara masyarakat Jawa Islam, Tionghoa dan Campa di daerah

pusat kota dan budaya masyarakat lereng Pegunungan Lasem. Namun, budaya

yang ada di setiap lapisan masyarakat cenderung mencirikan kebudayaan pesisiran

karena memang Lasem dahulunya adalah sebuah kota pelabuhan. Sikap saling

bahu-membahu, gotong-royong dan rasa saling toleransi masih melekat pada

masyarakat. Dahulu, sikap antara rakyat dengan penguasa lebih bersifat menganut

pada atasan yang bersikap pro terhadap pola piker rakyat dan menentang penguasa

yang tidak sesuai dengan cara pandang rakyat. Ini terjadi pada punahnya wayang

kulit pesisiran karena adanya campur tangan penguasa yang condong ke

kebudayaan keratin Surakarta. Penguasa sering menanggap wayang purwa gaya

Surakarta dan rakyat yang menonton tertarik dengan wayang purwa ini karena

12

dari segi boneka wayang dan ceritanya, wayang ini lebih mencirikan sebagai seni

pakeliran yang bernilai seni tinggi. Sementara itu, rakyat juga disarankan jika

menanggap wayang maka yang mereka tanggap adalah wayang purwa gaya

Surakarta. Dalang pun juga semakin beralih ke gaya Surakarta. Bisa diambil

simpulan bahwa sikap masyarakat pesisiran yang cenderung terbuka dengan

kebudayaan asing yang menurut mereka cocok dengan cara pandang mereka,

sangat tercerrmin di sini.

Secara kosmologis, mayoritas masyarakat Lasem menganut agama Islam,

Katholik, Protestan, Kong Hu Cu, Buddha, dan Kejawen. Di daerah pinggiran,

ritual-ritual adat pada setiap sendi kehidupan masih terlihat kental dan mendarah

daging pada masyarakat, seperti ruwatan, lomban (sedekah laut), sedekah bumi,

suronan, ruwahan, dll. Tetapi di daerah perkotaannya, ritual-ritual adat sudah

jarang ditemui dan yang mendominasi adalah budaya-budaya yang bernafaskan

Islami dan budaya-budaya Tionghoa, misalnya Haul Sayyid Ngabdurrahman Sam

Bua Smarakandi (menantu Adipati Tejakusuma I, mereka bersama-sama

membangun masjid jami’ Lasem), Haul Mbah Srimpet (Adipati Lasem, Pangeran

Tejakusuma I), sêlonan (penjamasan bêndé sunan Bonang), Cap Go Meh, kirab

Makco Thian Shang Sheng Bo, yang semua ritual adat ini melibatkan semua

elemen masyarakat tanpa memandang etnis, agama, dan status. Semua elemen

masyarakat saling bahu-membahu demi kelancaran suatu kegiatan adat.

D. Sejarah Kesenian yang Dikaji

Belum ada bukti otentik tentang kapan lahirnya Wayang kulit pesisiran

Laseman. Jika ditinjau dari lahirnya wayang kulit pesisiran pada umumnya,

wayang kulit pesisiran sudah ada pada zaman sebelum Kerajaan Mataram pecah

(sebelum Perjanjian Giyanti) dan ini kemungkinan juga berlaku pada wayang kulit

pesisiran Laseman. Pendapat kedua, wayang kulit pesisiran Laseman ini muncul

bersamaan dengan lahirnya musik gamelan Gagrag Laseman seperti Pathet

Lasem, Ayak-ayak Lasem, Srepeg Lasem, lan Sampak Lasem yang sampai

sekarang masih dipakai di dunia seni pakeliran dalam gagrag lain. Ditinjau dari

sisi sejarah, musik gamelan gagrag Laseman ini muncul di akhir abad ke-15 yang

13

merupakan musik gamelan kombinasi antara budaya Jawa dan Campa. Jika kita

menggunakan pendapat kedua sebagai acuan, maka dimungkinkan wayang

pesisiran Laseman ini juga muncul sekitar akhir abad ke-15.

Pada masa itu, kesenian wayang kulit pesisiran Laseman ini merupakan

seni pertunjukan yang diminati masyarakat yang berfungsi menyampaikan pesan

moral, spiritual, sosial dan budaya dari cerita-cerita Ramayana dan Mahabarata

ataupun menyampaikan pesan dari suara rakyat kepada penguasa maupun

sebaliknya. Namun, sekitar tahun 1965, kesenian wayang kulit pesisiran Laseman

ini punah. Menurut Ki Sigid Ariyanto, pada waktu itu para dalang yang hidup di

daerah pesisir dianggap tidak maju dan ‘terbelakang’ jika tidak memakai gaya

Surakarta dalam seni wayang kulit dan yang dibayar mahal adalah dalang yang

menggunakan gaya/gagrag Surakarta. Pernyataan yang seperti itu membuat

dalang-dalang tidak mau lagi memainkan wayang kulit dengan gaya lamanya,

gagrag pesisiran. Yang masih melestarikan dan mementaskannya kemudian tidak

laku dipentaskan, tidak bisa hidup dari kesenian.

Kronologinya, awalnya dalang memainkan wayang pesisiran penuh dalam

pementasannya. Dalang yang seperti ini (masih melestarikan gagrag pesisiran

Laseman) akan dibayar murah bahkan ‘ora payu’. Kemudian sang dalang

menadukannya, saat awal pementasan menggunakan wayang pesisiran pada

malam hari sampai tengah malam, setelah itu menggunakan wayang gaya

Surakarta sampai pementasan selesai, atau sebaliknya, mementaskan wayang gaya

Surakarta dulu baru wayang pesisiran Laseman. Lalu seiring berjalannya waktu,

semua pementasan menggunakan wayang gaya Surakarta dan wayang pesisiran

gaya Laseman ditinggalkan dan punah.

Wayang kulit pesisiran Laseman ini muncul kembali di hadapan masyarakat

dalam acara Slasa Legen di Auditorium Universitas Negeri Semarang pada hari

Senin, 28 Oktober 2013. Dalam pementasan perdananya ini (setelah punah

beberapa dekade), wayang ini tampil dalam lakon Prabu Badhog Basu dengan

dalang Ki Sigid Ariyanto dari Kabupaten Rembang. Selama 45 menit, Ki Sigid

14

membabar lakon yang ia dudah dari berbagai referensi. Dia mengaku selama ini

berusaha mencari referensi pakeliran pesisiran untuk menyajikan dan

menyuguhkannya kembali agar tidak musnah tergilas zaman. Tidak hanya

menyuguhkan kembali, tetapi beliau juga berusaha menyesuaikannya dengan

perkembangan garap pakeliran.

E. Bentuk Objek Studi

1. Bentuk dan Struktur Penyajiannya

Wayang kulit pesisiran gaya Laseman ini berbeda dengan wayang kulit

gaya Surakarta. Pada wayang kulit pesisiran Laseman, terdapat 2 jenis boneka

wayangnya. Yang pertaman, boneka wayangnya berbentuk boneka golekan dari

kayu seperti wayang golek dan dirias mirip dengan manusia, dengan

menggunakan busana yang warnanya cerah dan ‘ngejreng’. Yang kedua, boneka

wayangnya berbentuk boneka kulit seperti boneka/wayang pada wayang kulit

umumnya. Namun, sistem pewarnaan dan pengukiran serta dalam segi bentuk,

wayang kulit pesisiran Laseman ini menggunakan warna yang cerah dan terkesan

‘apa adanya’, sesuai dengan karakteristik masyarakat pesisiran yang apa adanya.

Misalnya kalau tokoh diwarnai merah, maka warna yang digunakan adalah warna

merah, tidak seperti wayang gaya Surakarta yang warna merahnya terkesan

‘disemukan’ menjadi agak jambon/merah muda. Dari sisi ukiran, teknik

pengukiran dalam wayang kuli pesisiran laseman cenderung kasar tatahannya, tak

sehalus gaya Surakarta. Dari sisi bentuk, wayang pesisiran Laseman cenderung

lebih kecil dan pendek daripada wayang kulit gaya Surakarta.

Musik yang dipakai untuk mengiringi pementasan wayang kulit pesisiran

Laseman adalah musik gamelan gagrag Laseman seperti Pathet Lasem, Ayak-

ayak Lasem, Srepeg Lasem, maupun Sampak Lasem. Menggunakan gedog atau

cempala, sementara kecrek yang dipakai menggunakan kecrek gaya Surakarta (4

lembaran). Pengaruhnya, Saat musik lirih, adegan wayang tidak sedang keras, dan

saat musik keras, maka menandakan bahwa adegan memanas atau perang.

Busana yang dipakai dalang dalam pentas perdana wayang pesisiran

Laseman ini adalah memakai blangkon gaya Mataraman, memakai surjan bebas

15

(pada zaman dahulu surjan yang dipakai bermotif hitam-putih) dan jarik yang

dipakai menggunakan Batik Lasem motif bebas. Sedangkan busana yang dipakai

pemain gamelannya menggunakan surjan bebas (bisa kembang-kembang maupun

lurik), memakai iket, dan celana hitam kain (celana sabrug) ataupun celana kain

bisaa, bebas. Busana yang dipakai pesinden sama seperti sinden wayang pada

umumnya, yaitu menggunakan kebaya namun jariknya menggunakan kain Batik

Lasem. Maknanya, masyarakat pesisiran cenderung bersifat sederhana dalam

berbusana.

Properti yang digunakan sama seperti properti yang dipakai dalam wayang

kulit pada umumnya (wayang purwa), yaitu menggunakan seperangkat gamelan,

pelepah pisang sebagai tempat menancapkan wayang, kelir putih, wayang yang

disumping kiri dan kanan, dan kotak wayang. Dari segi pencahayaan/lighting,

wayang pesisiran saat ini menggunakan lampu halogen seperti pementasan

wayang purwa saat ini. Berbeda dengan pencahayaan pada zaman dahulu yang

menggunakan blencong/lampu minyak.

Dari struktur penyajiannya, persiapan sebelum pergelaran adalah semua

properti disiapkan dan ditempatkan di tempat yang sudah ditentukan. Pada waktu

pelaksanaan, penabuh gamelan memainkan gending-gending pembuka dan pada

saat talu, dalang memposiskan dirinya di tempatnya. Kemudian dalang ‘nuthuk’

cempala/gedog lalu permainan kayon/gunungan wayang sebagai awal dimulainya

cerita. Setelah adegan tersebut, kemudian muncul wayang boneka golekan yang

menari diiringi musik gamelan sebagai tarian pembukaan. Lalu masuk ke adegan

cerita, yaitu lskon Prabu Badhog Basu dengan tokoh inti dalam cerita itu adalah

Prabu Badhog Basu itu sendiri sebagai tokoh antagonis dan Raden Sadana sebagai

tokoh protagonist yang endingnya adalah Prabu Badhog Basu tewas dengan panah

sakti milik Raden Sadana . Ketika cerita selesai, dalang memainkan kayon

sebentar dan muncul lagi wayang boneka golekan yang menarikan tarian

penutup, kemudian dalang tancap kayon/gunungan dan pergelaran selesai.

16

2. Ruang dan Waktu

Wayang pesisiran Laseman dipentaskan di tempat semacam pendopo atau

latar karena dari tempat semacam itu penonton dapat secara leluasa menonton

pertunjukan dari segala sisi serta pelaku seperti dalang, niyaga dan sinden aman

dari guyuran hujan karena adanya naungan dari atap pendopo, berbeda jika

pementasan dilakukan di area tanpa atap. Jika terjadi hujan maka pelaku seni

akan kehujanan. Syarat keruangan yang perlu dipenuhi adalah yang memberi rasa

aman bagi penyaji dan penonton seperti ruangan yang agak luas (mampu

menampung penyaji dan penonton) dan beratap (terhindar dari hujan ataupun

tiupan angin kencang). Tidak ada persyaratan siapa orang yang menentukan

tempat tersebut karena pertunjukan wayang kulit pesisiran tidak seperti

pertunjukan ritual yang harus ditampilkan di tempat-tempat tertentu seperti

punden, tempat yang dikeramat, dll.

Penataan ruang pagelaran di pementasan wayang kulit pesisiran Laseman

pada 28 Oktober 2013 ini meliputi bagian tengah pendopo untuk lokasi kelir dan

pementasan wayang, sebelah kiri dalang adalah tempat penabuh gamelan dan

dibarisan terdepan penabuh diisi para pesinden dan penggerong (penyanyi laki-

laki), sementara penonton berada di belakang dalang. Tidak ada pembatasan

anatara ruang pergelaran dengan ruang penonton karena pementasan wayang

pesisiran ini bersifat bebas dan intinya yang bagian tengah adalah tempat

pendalang/pertunjukan wayangnya.

Waktu pergelaran berlangsung pada malam hari pada hari Senin, 28

Oktober 2013 pukul 20.30 dan berlangsung sekitar 45 menit karena pementasan

kali ini termasuk pagelaran pakeliran padhat dan bukan pergelaran wayang

semalam suntuk.

3. Pelaku Pergelaran dan Penonton

Pelaku dalam pergelaran wayang kulit gaya pesisiran Laseman ini tak jauh

berbeda dengan yang ada di pergelaran wayang kulit purwa pada umumnya, yaitu

seorang dalang, pembantu dalang, niyaga, sinden, penggerong, dan yang

17

terpenting adalah audience/penonton. Sebagia penabuh gamelan adalah para

niyaga dari Kabupaten Rembang yang termasuk rombongan Ki Dalang Sigig dan

sebagian dari Pakarjawi yang digladi menggarap gending-gending gagrag

Laseman jauh-jauh hari sebelumnya. Pesinden dan penggerongnya dari anggota

UKM KJ dan Pakarjawi.

Penonton tidak dibatasi apakah harus keluarga bangsawan ataupun orang-

orang terpandang seperti yang terjadi pada budaya keraton. Pada pertunjukan

kesenian wayang kulit pesisiran gagrag Laseman ini siapa saja boleh menonton.

Namun pada saat pergelarannya di auditorium Unnes ini, penontonnya adalah

warga unnes (mahasiswa, dosen, guru besar, pegawai), anggota Pakarjawi

(Pakumpulan Paguyuban Karawitan Jawa Indonesia), mahasiswa-mahasiswa

pertukaran/mahasiswa dari mancanegara dan masyarakat umum. Respon penonton

adalah memberikan tepuk tangan, Tanya jawab kepada para ahli setelah

pergelaran selesai, dan mendokumentasikan pergelaran melalui foto maupun

video.

F. Makna dan Nilai yang Termuat

Dari segi pewarnaan, yaitu warna yang jelas seperti merah, hijau, biru, dan

coklat (jika merah maka merah sekali, jika hijau maka hijau, jika biru maka biru,

dsb) mengandung arti bahwa masyarakat/budaya pesisiran cenderung bersifat apa

adanya (teges lan cetha), jika A maka A dan jika B maka B. Berbeda dengan

budaya masyarakat Jawa Pedalaman seperti budaya keraton dan sekitanya yang

kebak ing semu, segala aspek yang ada seolah dibuat tersirat dan semu yang

didalamnya mengandung maksud yang dalam dan itu tertuang dalam pewarnaan

wayang kulit gaya Surakarta yang warnanya dibuat ‘slamur-slamur’, merahnya

agak jambon, coklatnya agak kekuning-kuningan/keemas-emasan.

Dari segi bentuk dan ukirannya, cenderung bentuknya kecil namun

ukirannya kasar/tatahannya besar-besar dan tidak serumit gaya Surakarta. Ini

menandakan bahwa wayang ini mengandung unsur sebagai wayang rakyat yang

mewakili budaya masyarakat kelas rendah/kelas menengah ke bawah dan

18

masyarakat pesisiran yang cenderung berwatak kasar/kurang halus dan dianggap

orang pesisir seakan-akan sudah tidak sesuai dengan saka adat-kebudayaan

harusnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, seolah-olah masyarakat

pesisiran tidak memiliki unggah-ungguh tata krama, maka dari segi sosial-politik,

wayang pesisiran Laseman mulai ditinggalkan dan penguasa saat itu lebih

menyukai menanggap wayang kulit gaya Surakarta yang terkesan halus dan penuh

unggah-ungguh, dalang wayang pesisiran mulai tersingkir dan punah.

Dari segi musik pengiringnya, wayang pesisiran Laseman menggunakan

iringan gamelan dengan gaya Laseman yang merupakan musik gamelan

kolaborasi antara budaya Jawa dan Campa, ini menunjukkan bahwa masyarakat

pesisiran khususnya Lasem memiliki sikap terbuka dan mudah membaur dengan

masyarakat asing/luar. Selain itu, ini juga merupakan suatu bukti bahwa adanya

interaksi antara masyarakat Jawa, Campa dan Tionghoa yang memang merupakan

masyarakat yang mendiami daerah pesisiran Lasem sampai sekarang.

19

BAB 4 PENUTUP

1. Simpulan

Wayang kulit pesisiran gagrag Laseman merupakan suatu kesenian daerah

yang mencirikan suatu kebudayaan pada masyarakat pesisir. Wayang kulit ini

tidak diketahui kapan muncul, namun punah begitu saja sekitar tahun 1965 dan

kembali dipentaskan kembali di Auditorium Unnes pada hari Senin, 28 Oktober

2013 pukul 20.30 WIB dengan lakon Prabu Badhog Basu yang didalangi oleh Ki

Dalang Sigid Ariyanto dari Kabupaten Rembang, kabupaten paling ujung timur

laut di Jawa Tengah. Wayang ini mempunyai bentuk yang lebih kecil, dengan

pewarnaan yang jelas dan ukiran/tatahan yang agak kasar, bertolak-belakang

dengan wayang purwa gaya Surakarta. Dari penggambaran ini sebenarnya

mencerminkan karakter luhur dari masyarakat pesisiran, yaitu cenderung lugu,

apa adanya dan jelas. Pergelaran ini diiringi dengan musik gamelan yang

menggunakan Gagrag Laseman, seperti Pathet Lasem, Ayak-ayak Lasem,

Sampak Lasem, maupun Srepeg Lasem. Yang unik dari pergelaran wayang ini

adalah di awal dan akhir pergelaran terdapat boneka golekan berwujud penari

putri yang menarikan tarian pembukaan dan tarian penutup. Berbeda dengan

wayang purwa pada umumnya.

2. Saran

Dalam masyarakat, mempunyai pandangan terhadap suatu kesenian itu

dan menerima suatu kesenian baru itu sah-sah saja. Namun jika suatu kesenian itu

tergantikan oleh kesenian baru lalu kemudian tersingkir dan punah, inilah yang

perlu diwaspadai. Sebab, suatu kesenian itu hadir karena karya-karya agung dan

pengalaman estetis dari para leluhur kita. Terutama wayang kulit yang merupakan

sebuah mahakarya agung Nusantara. Kami sebagai penulis sekaligus observator

dalam kegiatan observasi terhadap pertunjukan wayangg kulit pesisiran gagrag

Laseman ini member saran sebagai berikut.

20

Sebagai generasi muda, kita sebaiknya turut berperan dalam kesenian

daerah seperti wayang kulit pesisiran Laseman ini agak kesenian daerah

ini tetap lestari dan terjaga eksistensinya di masyarakat.

Pihak akademisi, sejarawan, dan budayawan agar lebih semangat lagi

menggali kembali wayang pesisiran Laseman yang sudah beberapa dekade

ini punah dan agar mendapatkan data-data baru yang lebih valid serta

lengkap mengenai wayang kulit pesisiran Laseman.

Masyarakat pesisiran terutama pesisir Lasem agar turut melestarikan dan

mempunyai rasa ‘memiliki’ dan ‘cinta’ terhadap kesenian asal daerahnya

agar tidak punah kembali.

Dibutuhkan suatu revitalisasi terutama dalam segi boneka, iringan, sampai

teknik pertunjukannya sampai benar-benar menarik perhatian masyarakat

luas agar mau mementaskan kembali wayang kulit pesisiran Laseman dan

tidak kalah saing dengan wayang kulit dari daerah lain.

21

REFERENSI

Kamzah, R.M. Panji. 1858, Carita (Sêjarah) Lasêm, tanpa kota: tanpa penerbit.

Koentjaraningrat. 2009, Pengantar Ilmu Antropologi, Edisi Revisi 2009, Jakarta:

Rineka Cipta.

Ritzer, George. 1992, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda,

Terjemahan Alimanda, Jakarta: Rajawali.

Unjiya, M. Akrom. 2008, Lasem Negeri Dampoawang Sejarah yang Terlupakan,

Yogyakarta: Eja Publisher.

Ariyanto, Sigid. 2000, Catatan Harian Kuliah Pedalangan STSI Surakarta,

tanpa kota: tanpa penerbit.

Pratiwo. 1990, The Historikal Reading of Lasem, Leuven: Katholika Universieit

Leuven.

Prof. Dr. M. Soedarsono. 2002, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi,

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pendit, Nyoman S. 2009, Ramayana, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Santosa, Iman Budhi. 2011, Saripati Ajaran Hidup Dahsyat dari Jagad Wayang,

Yogyakarta: Flash Books.

22

LAMPIRAN

23

24

25

26

27

28

29