Upload
independent
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS AKHIR
MATA KULIAH SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI SENI
Dosen Pengampu : Drs. Agus Cahyono, M.Hum, Lesa Paranti, S.Pd
Menggali Kembali Wayang Kulit Pesisiran Laseman
Oleh :
Lathief Eka Rudetiana (2501413059)
Surati (2501413081)
Gilang Surya Saputra (2501413161)
PENDIDIKAN SENI TARI
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan laporan ini dengan lancar.
Laporan ini kami susun sebagai tugas akhir dalam mata kuliah Sosiologi dan
Antropologi Seni, sekaligus sebagai upaya kami dalam menggali kembali wayang
kulit pesisiran Laseman dan mempublikasikannya kepada masyarakat. Adapun isi
dari laporan observasi yang telah kami buat ini mengenai Wayang Kulit Pesisiran
Laseman.
Kami berterimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
kelancaran dalam kegiatan persiapan penelitian, observasi, sampai dengan
penyusunan tugas akhir mata kuliah sosiologi-antropologi seni ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Sehingga
kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Akhirnya, penulis
berharap laporan oberrvasi ini dapat berguna sebagai tambahan informasi
mengenai kebudayaan Indonesia.
Penulis
ABSTRAK
3
Seni Pakeliran Pesisiran Laseman atau lebih dikenal dengan sebutan
Pertunjukan Wayang Kulit Pesisiran Laseman sudah tidak lagi populer di
masyarakat. Masalah utamanya adalah kemajuan teknologi dan kurangnya minat
masyarakat terhadap kesenian tradisional yang tumbuh di daerah Lasem, sebuah
kota kecil di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Sebagian besar anak-anak muda
sekarang ini terutama mereka yang tinggal di daerah pesisir lebih menyukai
kesenian yang berbau kebarat-baratan seperti hip-hop, break dance, rock, heavy
metal, maupun reggae. Kalau pun ada yang suka kesenian daerah ialah yang
populer di masyarakat daerah, seperti dangdut koplo, kethoprak, dan dalam seni
pakeliran yang lebih populer adalah wayang kulit gaya Surakarta yang dianggap
lebih berkesan sebagai wayang kulit dengan “nilai seni tinggi” dibandingkan
dengan wayang kulit gaya pesisiran Laseman. Namun, Wayang Kulit gaya
Pesisiran Laseman ini kembali ditampilkan di Auditorium Unnes oleh Ki Dalang
Sigid Ariyanto, setelah beberapa dekade punah. Seni wayang ini digali kembali
oleh para pakar yang ahli di bidang seni pakeliran dengan sumber-sumber
informasi yang terbatas sehingga dapat mengangkat kembali kesenian tradisional
khas daerah pesisiran ini.
Kata kunci: Seni pakeliran, Wayang kulit, Gaya pesisiran, Lasem.
4
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... 1
KATA PENGANTAR ................................................................................... 2
ABSTRAK ................................................................................................ 3
DAFTAR ISI ................................................................................................ 4
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 5
BAB 2 METODE PENELITIAN ............................................................... 6
A. Lokasi Penelitian .......................................................................... 6
B. Sasaran Penelitian ........................................................................ 6
C. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 6
D. Analisis Data ............................................................................... 7
BAB 3 HASIL PENELITIAN DA PEMBAHASAN ................................ 10
A. Kondisi Geografis Daerah ........................................................... 10
B. Kondisi Demografis Daerah ........................................................ 10
C. Pola Kebudayaan dan Kosmologis .............................................. 11
D. Sejarah Objek yang Dikaji ........................................................... 12
E. Bentuk Objek Studi ..................................................................... 14
1. Bentuk dan Struktur Penyajian .................................................... 14
2. Ruang dan Waktu ...................................................................... 16
3. Pelaku dan Penonton ................................................................. 16
F. Makna dan Nilai yang Terkandung .................................................. 17
BAB 4 PENUTUP ............................................................................................ 19
A. Simpulan ....................................................................................... 19
B. Saran ............................................................................................ 19
REFERENSI ................................................................................................. 21
LAMPIRAN ................................................................................................... 22
5
BAB 1 PENDAHULUAN
Budaya pesisiran terbentuk dari letak geografis pesisir, yakni di sepanjang
tepian pantai. Di Jawa Tengah, budaya pesisiran merupakan aspek penting dan tak
terpisahkan dari budaya Jawa. Sebab, budaya luar yang masuk dalam masyarakat
Jawa Pedalaman pasti melewati dahulu daerah Jawa Pesisiran. Hal ini
menyebabkan budaya masyarakat pesisiran terbentuk karena faktor perpaduan
budaya dan faktor geografis. Ini terlihat dari sikap dan perilaku masyarakatnya
dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, secara sikap, ciri khas budaya
pesisiran adalah lugu. Kita bisa melihat dari watak orang-orang pesisiran yang
cenderung apa adanya saat berbicara.
Salah satu bentuk kesenian/seni pertunjukan pesisiran adalah kesenian
Wayang Kulit Pesisiran Laseman. Wayang kulit ini lahir dan berkembang di
Lasem, sebuah kota pelabuhan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Namun
seiring dengan berkembangnya zaman dan derasnya arus globalisasi, maka
Wayang Kulit Pesisiran Laseman ini kian tergeser dari masyarakat dan bahkan
punah selama beberapa dekade. Di sini kami ingin menggali kembali kesenian
Wayang Kulit Pesisiran Laseman supaya masyarakat luas terutama masyarakat
pesisiran bisa mengetahui kembali kesenian yang punah ini. Padahal, Lasem
dalam sejarah nasional tercatat sebagai kota tua dan menjadi pusat pelabuhan di
zaman Majapahit. Pengetahuan tentang ini dapat diketahui dari isi Piagam
Singosari yang dikeluarkan oleh Raja Hayam Wuruk tahun 1351 M (dalam
maklumat Sabda Bathara Prabu). Hal serupa juga disebutkan dalam naskah kuno
Pararaton dan Kakawin Nagara Kretagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca di
akhir abad 14. Kala itu Lasem merupakan sebuah negeri otonom di Jawa dengan
pemerintahan dan wilayah sendiri yang begitu luas dan menjadi kekuatan bagi
kelangsungan serta keutuhan Nusantara dibawah kekaisaran Majapahit dengan
cirinya sebagai kota bandar yang sangat maju. Sungguh disayangkan apabila
kesenian yang berasal dari daerah yang memegang peranan penting dalam sejarah
nasional ini punah begitu saja dan hanya menjadi dongeng pengantar tidur.
6
BAB 2 METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian ini kami lakukan di 3 tempat, yaitu di Auditorium Universitas
Negeri Semarang, kampus Sekaran Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang;
Rumah Ki Sigid Ariyanto, S. Sn, yang beralamat di Gang Anggrek I Tawangsari,
Desa Leteh Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang; dan di Kecamatan
Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan sebagai tugas akhir mata kuliah Sosiologi dan
Antropologi Seni sekaligus sebagai upaya kami dalam menggali kembali
informasi dan data-data mengenai wayang kulit pesisiran Laseman dengan
melakukan observasi langsung ke pergelaran perdananya setelah beberapa dekade
punah serta melakukan wawancara kepada beberapa pihak terkait. Setelah itu,
informasi dari hasil observasi ini akan kami publikasikan kepada masyarakat
terutama masyarakat Lasem.
Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian kami adalah pelaku-pelaku yang terlibat dalam
pergelaran wayang kulit pesisiran gagrag Laseman di Auditorium Universitas
Negeri Semarang (meliputi dalang, niyaga, sinden, tukang angkut barang, pihak
konsumsi) dan para sejarawan yang ada di daerah Lasem. Sedangkan sasaran hasil
observasi adalah para akademisi dan masyarakat pesisiran terutama masyarakat
Lasem.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang kami pakai adalah teknik observasi
langsung dan tidak langsung. Teknik langsung yaitu kami memperhatikan,
melihat, serta mengamati secara langsung pergelaran wayang kulit pesisiran
gagrag Laseman yang ditampilkan. Teknik tidak langsung yaitu kami mencari
data-data yang berkaitan dengan objek observasi kami.
7
Kami juga melakukan wawancara kepada pihak-pihak yang terkait, yaitu
1. Ki Sigid Ariyanto sebagai dalang, wawancara berkaitan dengan bentuk dan
pertunjukan wayang kulit Laseman
2.Pak Karnoto sebagai budayawan Lasem. Wawancara berkaitan dengan sejarah
dan eksistensi wayang pesisiran Laseman.
3. Mas Sigit, sebagai fotografer sekaligus sebagai penonton dari kalangan
Pakarjawi, Mas Dedi sebagai niyaga, Mas Paksi sebagai tukang angkut sekaligus
penonton dari pihak mahasiswa, dan Mas Marsudi Wahyu sebagai tukang
sumping wayang. Mereka kami wawancarai satu per satu sesuai dengan
bidangnya.
Teknik Analisis Data
Reduksi Data
Data hasil wawancara kami kepada Ki Dalang Sigid Ariyanto adalah
mengenai bentuk, warna, teknik ukiran, teknik memainkan dan segala hal yang
berhubungan dengan penyajian wayang kulit pesisiran Laseman karena beliau
merupakan seorang dalang wayang kulit, selain itu juga mengenai sejarah wayang
kulit pesisiran Laseman serta perbandingannya dengan wayang kulit lainnya
sebab beliau juga ikut andil dalam kegiatan mendudah dan menggali kembali
kesenian yang punah selama beberapa dekade ini. Juga menyinggung masalah
profesi beliau sebagai dalang. Beliau hidup dari berkesenian dalam satu bulannya
memperoleh job mendalang rata-rata 25 kali pada bulan ramai (sekitar bulan
Ruwah ataupun saat Besar) dan 10-12 kali pada bulan sepi (sekita Suro maupun
Poso), penghasilan kotor yang di dapat sekitar Rp25.000.000,00-Rp30.000.000,00
dan penghasilan bersihnya sekitar Rp6.000.000,00 sebab selain sebagai dalang,
beliau juga bertindak sebagai manajer yang mengatur pendapatan pihak pesinden,
niyaga, pembantu dalang, dan semua timnya. Tidak ada sistem perekrutan tim
yang formal, perekrutan lebih kepada minat dan bakat seseorang yang kemudian
beliau ajak untuk ikut dalam pergelaran. Kebetulan selama ini beliau bertindak
8
sebagai dalang wayang purwa gaya Surakarta dan hanya sekali sebagai dalang
wayang kulit pesisiran Laseman.
Sedangkan data hasil wawancara kami kepada Pak Karnoto pada initinya
adalah mengenai budaya pesisiran dan seni wayang kulit pesisiran Laseman yang
telah punah serta musik-musik pengiringnya.
Informasi yang kami dapat dari Mas Sigit adalah mengenai respon
penonton tentang pergelaran ini sekaligus mengenai mengapa ia menonton
pergelaran ini, alasannya karena beliau ditugasi dari Pakarjawi untuk memotret
hal-hal penting sebagai dokumentasi Pakarjawi. Selain itu, wawancara kepada
Paksi adalah mengenai tugasnya sebagai salah satu tukang angkut dalam
pergelaran ini dan sampai pukul 02.00 dini hari baru selesai tugasnya, dengan
uang pengganti tenaga sebanyak Rp50.000,00. Sebagai penonton, ia juga
mengatakan bahwa wayang ini sebenarnya unik dan ia baru pertama kali ini
nonton.
Wawancara dengan Marsudi Wahyu sebagai penyumping wayang, kami
mendapatkan info bahwa yang disumping di kiri dan kanan layar atau geber
adalah wayang purwa gaya Surakarta karena jumlah wayang pesisiran Laseman
yang ada hanya sedikit dan belum cukup untuk dipakai sebagai wayang
sumpingan. Dari segi honor, yang ia terima adalah Rp50.000,00 sama seperti
Paksi.
Penyajian Data
Data disajikan dalam bentuk laporan hasil observasi dan data presentari
(powerpoint) yang didalamnya terlampir foto-foto observasi dan video
pertunjukan serta video saat wawancara dengan Ki Sigid Ariyanto.
Analisis Data dan Penarikan Simpulan
Data dianalisis menggunakan berbagai sudut pandang seperti sudut
pandang sejarah, sosial-budaya, deskripsi bentuk dan penyajian, sampai
didapatkan suatu kesimpulan yang diharapkan. Wayang yang punah dan digali
9
kembali ini sangat sulit didapat informasinya. Sebab, sangat sedikit informasi
yang berkaitan dengan wayang kulit pesisiran Laseman dan kurangnya data
sehingga penampilannya kembali di depan publik ini hanya mengacu pada
referensi yang terbatas. Simpulannya, kami mendapatkan data yang terbatas dan
sebagian besar bersumber dari sumber-sumber wawancara lisan kepada beberapa
pihak dan sebagian dari data tertulis berupa artikel terkait yang kemudian kami
analisis dan kami pilah-pilah sampai laporan observasi ini tersusun.
10
BAB 3 HASIL PENELITIAN
A. Kondisi Geografis Daerah
Lasem adalah sebuah kota kecil yang termasuk dalam wilayah Kabupaten
Rembang, Provinsi Jawa Tengah, terletak di jalur pesisir pantai utara Jawa, 12
kilometer sebelah timur dari kota Rembang. Sebagai kota kecamatan, Lasem
membawahi 20 desa dengan luas wilayahnya 2.760.557 hektar yang berbatasan
langsung dengan beberapa kecamatan di sekitarnya. Di sebelah barat berbatasan
dengan Kecamatan Rembang, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan
Pancur, sebelah tenggara dengan Kecamatan Sedan, di sebelah timur berbatasan
dengan Kecamatan Sluke dan di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa. Pada
wilayah pesisir, Lasem terletak di pantai utara Jawa, sekitar antara Teluk
Rembang, Teluk Regol, sampai daerah Tanjung Bendo. Sedangkan pada wilayah
pegunungan, Lasem terletak di sepanjang Pegunungan Lasem sampai utara
Pegunungan Kendeng (Pegunungan Kapur Utara). Selain itu, daratan Lasem
dibelah oleh Sungai Lasem (Sungai Babagan/Paturen) yang pada zaman Kerajaan
Lasem sampai masa Kadipaten Lasem merupakan jalur perdagangan dan jalur
penyelundupan candu. Dari kondisi geografis inilah menjadikan Lasem sebagai
daerah penghasil garam, bandeng, udang windu, brayo/buah mangrove dan terasi
(di daerah pesisir), serta sebagai penghasil mangga gadung dan mangga manalagi,
duren criwik, jambu kluthuk Kajar, nangka, sukun, asam jawa, bambu ori, kayu
jati, juwet dan sawo kecik (di daerah perkotaan dan pegunungan).
B. Kondisi Demografis Daerah
Penduduk Lasem berjumlah 48.886 jiwa (tahun 2013) dengan rincian
penduduk laki-laki sebanyak 24.586 jiwa sedangkan penduduk perempuan
sebanyak 24.280 jiwa. Sebagian besar penduduknya bermatapencarian sebagai
petani, pedagang, nelayan dan mayoritas pemudanya bekerja di bidang jasa,
sebagiannya bekerja sebagai pegawai baik PNS maupun swasta. Sementara itu,
etnis yang tersebar di Lasem adalah suku Jawa, suku Tionghoa-Indonesia,
11
keturunan Campa dan perpaduan etnis-etnis tersebut. Selain itu juga ada etnis lain
sebagai pendatang di kota Lasem seperti orang Sunda, Batak, dll. Mereka tersebar
di daerah pesisir utara Jawa, pusat kota Lasem, dan di lereng Gunung Lasem.
Latar belakang pendidikan masyarakat Lasem mayoritas adalah lulusan SMP dan
SMA sederajat. Banyak dari mereka yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi
dan memilih bekerja sebagai buruh di bidang jasa, sedangkan mereka yang lulus
dari perguruan tinggi banyak yang enggan untuk kembali ke Lasem dan memilih
untuk mengadu nasib di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang,
Solo, dan merantau ke luar Jawa. Ini menyebabkan kesenian daerah pesisiran
Laseman maupun kesenian daerah pegunungan Laseman sulit untuk berkembang
dan tereksplorasi bahkan di ambang kepunahan. Namun, adanya suatu Heritage
Movement di akhir-akhir dekade pertama abad-21 ini mendorong masyarakat
Lasem untuk menggali kembali kesenian daerahnya seperti Wayang Kulit gaya
Pesisiran Laseman, Seni Laesan, Wayang Klithik Ngeblek (Wayang Bengkong),
Karawitan gaya Laseman, Batik Tulis Laseman, dll. Pergerakan ini dilakukan oleh
para sejarawan, budayawan dan pemuda-pemuda Lasem.
C. Pola Kebudayaan dan Kosmologis
Kebudayaan masyarakat Lasem sebagian besar didominasi oleh budaya
masyarakat pesisiran yang cenderung lugu, apa adanya. Selain itu, juga terdapat
budaya perpaduan antara masyarakat Jawa Islam, Tionghoa dan Campa di daerah
pusat kota dan budaya masyarakat lereng Pegunungan Lasem. Namun, budaya
yang ada di setiap lapisan masyarakat cenderung mencirikan kebudayaan pesisiran
karena memang Lasem dahulunya adalah sebuah kota pelabuhan. Sikap saling
bahu-membahu, gotong-royong dan rasa saling toleransi masih melekat pada
masyarakat. Dahulu, sikap antara rakyat dengan penguasa lebih bersifat menganut
pada atasan yang bersikap pro terhadap pola piker rakyat dan menentang penguasa
yang tidak sesuai dengan cara pandang rakyat. Ini terjadi pada punahnya wayang
kulit pesisiran karena adanya campur tangan penguasa yang condong ke
kebudayaan keratin Surakarta. Penguasa sering menanggap wayang purwa gaya
Surakarta dan rakyat yang menonton tertarik dengan wayang purwa ini karena
12
dari segi boneka wayang dan ceritanya, wayang ini lebih mencirikan sebagai seni
pakeliran yang bernilai seni tinggi. Sementara itu, rakyat juga disarankan jika
menanggap wayang maka yang mereka tanggap adalah wayang purwa gaya
Surakarta. Dalang pun juga semakin beralih ke gaya Surakarta. Bisa diambil
simpulan bahwa sikap masyarakat pesisiran yang cenderung terbuka dengan
kebudayaan asing yang menurut mereka cocok dengan cara pandang mereka,
sangat tercerrmin di sini.
Secara kosmologis, mayoritas masyarakat Lasem menganut agama Islam,
Katholik, Protestan, Kong Hu Cu, Buddha, dan Kejawen. Di daerah pinggiran,
ritual-ritual adat pada setiap sendi kehidupan masih terlihat kental dan mendarah
daging pada masyarakat, seperti ruwatan, lomban (sedekah laut), sedekah bumi,
suronan, ruwahan, dll. Tetapi di daerah perkotaannya, ritual-ritual adat sudah
jarang ditemui dan yang mendominasi adalah budaya-budaya yang bernafaskan
Islami dan budaya-budaya Tionghoa, misalnya Haul Sayyid Ngabdurrahman Sam
Bua Smarakandi (menantu Adipati Tejakusuma I, mereka bersama-sama
membangun masjid jami’ Lasem), Haul Mbah Srimpet (Adipati Lasem, Pangeran
Tejakusuma I), sêlonan (penjamasan bêndé sunan Bonang), Cap Go Meh, kirab
Makco Thian Shang Sheng Bo, yang semua ritual adat ini melibatkan semua
elemen masyarakat tanpa memandang etnis, agama, dan status. Semua elemen
masyarakat saling bahu-membahu demi kelancaran suatu kegiatan adat.
D. Sejarah Kesenian yang Dikaji
Belum ada bukti otentik tentang kapan lahirnya Wayang kulit pesisiran
Laseman. Jika ditinjau dari lahirnya wayang kulit pesisiran pada umumnya,
wayang kulit pesisiran sudah ada pada zaman sebelum Kerajaan Mataram pecah
(sebelum Perjanjian Giyanti) dan ini kemungkinan juga berlaku pada wayang kulit
pesisiran Laseman. Pendapat kedua, wayang kulit pesisiran Laseman ini muncul
bersamaan dengan lahirnya musik gamelan Gagrag Laseman seperti Pathet
Lasem, Ayak-ayak Lasem, Srepeg Lasem, lan Sampak Lasem yang sampai
sekarang masih dipakai di dunia seni pakeliran dalam gagrag lain. Ditinjau dari
sisi sejarah, musik gamelan gagrag Laseman ini muncul di akhir abad ke-15 yang
13
merupakan musik gamelan kombinasi antara budaya Jawa dan Campa. Jika kita
menggunakan pendapat kedua sebagai acuan, maka dimungkinkan wayang
pesisiran Laseman ini juga muncul sekitar akhir abad ke-15.
Pada masa itu, kesenian wayang kulit pesisiran Laseman ini merupakan
seni pertunjukan yang diminati masyarakat yang berfungsi menyampaikan pesan
moral, spiritual, sosial dan budaya dari cerita-cerita Ramayana dan Mahabarata
ataupun menyampaikan pesan dari suara rakyat kepada penguasa maupun
sebaliknya. Namun, sekitar tahun 1965, kesenian wayang kulit pesisiran Laseman
ini punah. Menurut Ki Sigid Ariyanto, pada waktu itu para dalang yang hidup di
daerah pesisir dianggap tidak maju dan ‘terbelakang’ jika tidak memakai gaya
Surakarta dalam seni wayang kulit dan yang dibayar mahal adalah dalang yang
menggunakan gaya/gagrag Surakarta. Pernyataan yang seperti itu membuat
dalang-dalang tidak mau lagi memainkan wayang kulit dengan gaya lamanya,
gagrag pesisiran. Yang masih melestarikan dan mementaskannya kemudian tidak
laku dipentaskan, tidak bisa hidup dari kesenian.
Kronologinya, awalnya dalang memainkan wayang pesisiran penuh dalam
pementasannya. Dalang yang seperti ini (masih melestarikan gagrag pesisiran
Laseman) akan dibayar murah bahkan ‘ora payu’. Kemudian sang dalang
menadukannya, saat awal pementasan menggunakan wayang pesisiran pada
malam hari sampai tengah malam, setelah itu menggunakan wayang gaya
Surakarta sampai pementasan selesai, atau sebaliknya, mementaskan wayang gaya
Surakarta dulu baru wayang pesisiran Laseman. Lalu seiring berjalannya waktu,
semua pementasan menggunakan wayang gaya Surakarta dan wayang pesisiran
gaya Laseman ditinggalkan dan punah.
Wayang kulit pesisiran Laseman ini muncul kembali di hadapan masyarakat
dalam acara Slasa Legen di Auditorium Universitas Negeri Semarang pada hari
Senin, 28 Oktober 2013. Dalam pementasan perdananya ini (setelah punah
beberapa dekade), wayang ini tampil dalam lakon Prabu Badhog Basu dengan
dalang Ki Sigid Ariyanto dari Kabupaten Rembang. Selama 45 menit, Ki Sigid
14
membabar lakon yang ia dudah dari berbagai referensi. Dia mengaku selama ini
berusaha mencari referensi pakeliran pesisiran untuk menyajikan dan
menyuguhkannya kembali agar tidak musnah tergilas zaman. Tidak hanya
menyuguhkan kembali, tetapi beliau juga berusaha menyesuaikannya dengan
perkembangan garap pakeliran.
E. Bentuk Objek Studi
1. Bentuk dan Struktur Penyajiannya
Wayang kulit pesisiran gaya Laseman ini berbeda dengan wayang kulit
gaya Surakarta. Pada wayang kulit pesisiran Laseman, terdapat 2 jenis boneka
wayangnya. Yang pertaman, boneka wayangnya berbentuk boneka golekan dari
kayu seperti wayang golek dan dirias mirip dengan manusia, dengan
menggunakan busana yang warnanya cerah dan ‘ngejreng’. Yang kedua, boneka
wayangnya berbentuk boneka kulit seperti boneka/wayang pada wayang kulit
umumnya. Namun, sistem pewarnaan dan pengukiran serta dalam segi bentuk,
wayang kulit pesisiran Laseman ini menggunakan warna yang cerah dan terkesan
‘apa adanya’, sesuai dengan karakteristik masyarakat pesisiran yang apa adanya.
Misalnya kalau tokoh diwarnai merah, maka warna yang digunakan adalah warna
merah, tidak seperti wayang gaya Surakarta yang warna merahnya terkesan
‘disemukan’ menjadi agak jambon/merah muda. Dari sisi ukiran, teknik
pengukiran dalam wayang kuli pesisiran laseman cenderung kasar tatahannya, tak
sehalus gaya Surakarta. Dari sisi bentuk, wayang pesisiran Laseman cenderung
lebih kecil dan pendek daripada wayang kulit gaya Surakarta.
Musik yang dipakai untuk mengiringi pementasan wayang kulit pesisiran
Laseman adalah musik gamelan gagrag Laseman seperti Pathet Lasem, Ayak-
ayak Lasem, Srepeg Lasem, maupun Sampak Lasem. Menggunakan gedog atau
cempala, sementara kecrek yang dipakai menggunakan kecrek gaya Surakarta (4
lembaran). Pengaruhnya, Saat musik lirih, adegan wayang tidak sedang keras, dan
saat musik keras, maka menandakan bahwa adegan memanas atau perang.
Busana yang dipakai dalang dalam pentas perdana wayang pesisiran
Laseman ini adalah memakai blangkon gaya Mataraman, memakai surjan bebas
15
(pada zaman dahulu surjan yang dipakai bermotif hitam-putih) dan jarik yang
dipakai menggunakan Batik Lasem motif bebas. Sedangkan busana yang dipakai
pemain gamelannya menggunakan surjan bebas (bisa kembang-kembang maupun
lurik), memakai iket, dan celana hitam kain (celana sabrug) ataupun celana kain
bisaa, bebas. Busana yang dipakai pesinden sama seperti sinden wayang pada
umumnya, yaitu menggunakan kebaya namun jariknya menggunakan kain Batik
Lasem. Maknanya, masyarakat pesisiran cenderung bersifat sederhana dalam
berbusana.
Properti yang digunakan sama seperti properti yang dipakai dalam wayang
kulit pada umumnya (wayang purwa), yaitu menggunakan seperangkat gamelan,
pelepah pisang sebagai tempat menancapkan wayang, kelir putih, wayang yang
disumping kiri dan kanan, dan kotak wayang. Dari segi pencahayaan/lighting,
wayang pesisiran saat ini menggunakan lampu halogen seperti pementasan
wayang purwa saat ini. Berbeda dengan pencahayaan pada zaman dahulu yang
menggunakan blencong/lampu minyak.
Dari struktur penyajiannya, persiapan sebelum pergelaran adalah semua
properti disiapkan dan ditempatkan di tempat yang sudah ditentukan. Pada waktu
pelaksanaan, penabuh gamelan memainkan gending-gending pembuka dan pada
saat talu, dalang memposiskan dirinya di tempatnya. Kemudian dalang ‘nuthuk’
cempala/gedog lalu permainan kayon/gunungan wayang sebagai awal dimulainya
cerita. Setelah adegan tersebut, kemudian muncul wayang boneka golekan yang
menari diiringi musik gamelan sebagai tarian pembukaan. Lalu masuk ke adegan
cerita, yaitu lskon Prabu Badhog Basu dengan tokoh inti dalam cerita itu adalah
Prabu Badhog Basu itu sendiri sebagai tokoh antagonis dan Raden Sadana sebagai
tokoh protagonist yang endingnya adalah Prabu Badhog Basu tewas dengan panah
sakti milik Raden Sadana . Ketika cerita selesai, dalang memainkan kayon
sebentar dan muncul lagi wayang boneka golekan yang menarikan tarian
penutup, kemudian dalang tancap kayon/gunungan dan pergelaran selesai.
16
2. Ruang dan Waktu
Wayang pesisiran Laseman dipentaskan di tempat semacam pendopo atau
latar karena dari tempat semacam itu penonton dapat secara leluasa menonton
pertunjukan dari segala sisi serta pelaku seperti dalang, niyaga dan sinden aman
dari guyuran hujan karena adanya naungan dari atap pendopo, berbeda jika
pementasan dilakukan di area tanpa atap. Jika terjadi hujan maka pelaku seni
akan kehujanan. Syarat keruangan yang perlu dipenuhi adalah yang memberi rasa
aman bagi penyaji dan penonton seperti ruangan yang agak luas (mampu
menampung penyaji dan penonton) dan beratap (terhindar dari hujan ataupun
tiupan angin kencang). Tidak ada persyaratan siapa orang yang menentukan
tempat tersebut karena pertunjukan wayang kulit pesisiran tidak seperti
pertunjukan ritual yang harus ditampilkan di tempat-tempat tertentu seperti
punden, tempat yang dikeramat, dll.
Penataan ruang pagelaran di pementasan wayang kulit pesisiran Laseman
pada 28 Oktober 2013 ini meliputi bagian tengah pendopo untuk lokasi kelir dan
pementasan wayang, sebelah kiri dalang adalah tempat penabuh gamelan dan
dibarisan terdepan penabuh diisi para pesinden dan penggerong (penyanyi laki-
laki), sementara penonton berada di belakang dalang. Tidak ada pembatasan
anatara ruang pergelaran dengan ruang penonton karena pementasan wayang
pesisiran ini bersifat bebas dan intinya yang bagian tengah adalah tempat
pendalang/pertunjukan wayangnya.
Waktu pergelaran berlangsung pada malam hari pada hari Senin, 28
Oktober 2013 pukul 20.30 dan berlangsung sekitar 45 menit karena pementasan
kali ini termasuk pagelaran pakeliran padhat dan bukan pergelaran wayang
semalam suntuk.
3. Pelaku Pergelaran dan Penonton
Pelaku dalam pergelaran wayang kulit gaya pesisiran Laseman ini tak jauh
berbeda dengan yang ada di pergelaran wayang kulit purwa pada umumnya, yaitu
seorang dalang, pembantu dalang, niyaga, sinden, penggerong, dan yang
17
terpenting adalah audience/penonton. Sebagia penabuh gamelan adalah para
niyaga dari Kabupaten Rembang yang termasuk rombongan Ki Dalang Sigig dan
sebagian dari Pakarjawi yang digladi menggarap gending-gending gagrag
Laseman jauh-jauh hari sebelumnya. Pesinden dan penggerongnya dari anggota
UKM KJ dan Pakarjawi.
Penonton tidak dibatasi apakah harus keluarga bangsawan ataupun orang-
orang terpandang seperti yang terjadi pada budaya keraton. Pada pertunjukan
kesenian wayang kulit pesisiran gagrag Laseman ini siapa saja boleh menonton.
Namun pada saat pergelarannya di auditorium Unnes ini, penontonnya adalah
warga unnes (mahasiswa, dosen, guru besar, pegawai), anggota Pakarjawi
(Pakumpulan Paguyuban Karawitan Jawa Indonesia), mahasiswa-mahasiswa
pertukaran/mahasiswa dari mancanegara dan masyarakat umum. Respon penonton
adalah memberikan tepuk tangan, Tanya jawab kepada para ahli setelah
pergelaran selesai, dan mendokumentasikan pergelaran melalui foto maupun
video.
F. Makna dan Nilai yang Termuat
Dari segi pewarnaan, yaitu warna yang jelas seperti merah, hijau, biru, dan
coklat (jika merah maka merah sekali, jika hijau maka hijau, jika biru maka biru,
dsb) mengandung arti bahwa masyarakat/budaya pesisiran cenderung bersifat apa
adanya (teges lan cetha), jika A maka A dan jika B maka B. Berbeda dengan
budaya masyarakat Jawa Pedalaman seperti budaya keraton dan sekitanya yang
kebak ing semu, segala aspek yang ada seolah dibuat tersirat dan semu yang
didalamnya mengandung maksud yang dalam dan itu tertuang dalam pewarnaan
wayang kulit gaya Surakarta yang warnanya dibuat ‘slamur-slamur’, merahnya
agak jambon, coklatnya agak kekuning-kuningan/keemas-emasan.
Dari segi bentuk dan ukirannya, cenderung bentuknya kecil namun
ukirannya kasar/tatahannya besar-besar dan tidak serumit gaya Surakarta. Ini
menandakan bahwa wayang ini mengandung unsur sebagai wayang rakyat yang
mewakili budaya masyarakat kelas rendah/kelas menengah ke bawah dan
18
masyarakat pesisiran yang cenderung berwatak kasar/kurang halus dan dianggap
orang pesisir seakan-akan sudah tidak sesuai dengan saka adat-kebudayaan
harusnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, seolah-olah masyarakat
pesisiran tidak memiliki unggah-ungguh tata krama, maka dari segi sosial-politik,
wayang pesisiran Laseman mulai ditinggalkan dan penguasa saat itu lebih
menyukai menanggap wayang kulit gaya Surakarta yang terkesan halus dan penuh
unggah-ungguh, dalang wayang pesisiran mulai tersingkir dan punah.
Dari segi musik pengiringnya, wayang pesisiran Laseman menggunakan
iringan gamelan dengan gaya Laseman yang merupakan musik gamelan
kolaborasi antara budaya Jawa dan Campa, ini menunjukkan bahwa masyarakat
pesisiran khususnya Lasem memiliki sikap terbuka dan mudah membaur dengan
masyarakat asing/luar. Selain itu, ini juga merupakan suatu bukti bahwa adanya
interaksi antara masyarakat Jawa, Campa dan Tionghoa yang memang merupakan
masyarakat yang mendiami daerah pesisiran Lasem sampai sekarang.
19
BAB 4 PENUTUP
1. Simpulan
Wayang kulit pesisiran gagrag Laseman merupakan suatu kesenian daerah
yang mencirikan suatu kebudayaan pada masyarakat pesisir. Wayang kulit ini
tidak diketahui kapan muncul, namun punah begitu saja sekitar tahun 1965 dan
kembali dipentaskan kembali di Auditorium Unnes pada hari Senin, 28 Oktober
2013 pukul 20.30 WIB dengan lakon Prabu Badhog Basu yang didalangi oleh Ki
Dalang Sigid Ariyanto dari Kabupaten Rembang, kabupaten paling ujung timur
laut di Jawa Tengah. Wayang ini mempunyai bentuk yang lebih kecil, dengan
pewarnaan yang jelas dan ukiran/tatahan yang agak kasar, bertolak-belakang
dengan wayang purwa gaya Surakarta. Dari penggambaran ini sebenarnya
mencerminkan karakter luhur dari masyarakat pesisiran, yaitu cenderung lugu,
apa adanya dan jelas. Pergelaran ini diiringi dengan musik gamelan yang
menggunakan Gagrag Laseman, seperti Pathet Lasem, Ayak-ayak Lasem,
Sampak Lasem, maupun Srepeg Lasem. Yang unik dari pergelaran wayang ini
adalah di awal dan akhir pergelaran terdapat boneka golekan berwujud penari
putri yang menarikan tarian pembukaan dan tarian penutup. Berbeda dengan
wayang purwa pada umumnya.
2. Saran
Dalam masyarakat, mempunyai pandangan terhadap suatu kesenian itu
dan menerima suatu kesenian baru itu sah-sah saja. Namun jika suatu kesenian itu
tergantikan oleh kesenian baru lalu kemudian tersingkir dan punah, inilah yang
perlu diwaspadai. Sebab, suatu kesenian itu hadir karena karya-karya agung dan
pengalaman estetis dari para leluhur kita. Terutama wayang kulit yang merupakan
sebuah mahakarya agung Nusantara. Kami sebagai penulis sekaligus observator
dalam kegiatan observasi terhadap pertunjukan wayangg kulit pesisiran gagrag
Laseman ini member saran sebagai berikut.
20
Sebagai generasi muda, kita sebaiknya turut berperan dalam kesenian
daerah seperti wayang kulit pesisiran Laseman ini agak kesenian daerah
ini tetap lestari dan terjaga eksistensinya di masyarakat.
Pihak akademisi, sejarawan, dan budayawan agar lebih semangat lagi
menggali kembali wayang pesisiran Laseman yang sudah beberapa dekade
ini punah dan agar mendapatkan data-data baru yang lebih valid serta
lengkap mengenai wayang kulit pesisiran Laseman.
Masyarakat pesisiran terutama pesisir Lasem agar turut melestarikan dan
mempunyai rasa ‘memiliki’ dan ‘cinta’ terhadap kesenian asal daerahnya
agar tidak punah kembali.
Dibutuhkan suatu revitalisasi terutama dalam segi boneka, iringan, sampai
teknik pertunjukannya sampai benar-benar menarik perhatian masyarakat
luas agar mau mementaskan kembali wayang kulit pesisiran Laseman dan
tidak kalah saing dengan wayang kulit dari daerah lain.
21
REFERENSI
Kamzah, R.M. Panji. 1858, Carita (Sêjarah) Lasêm, tanpa kota: tanpa penerbit.
Koentjaraningrat. 2009, Pengantar Ilmu Antropologi, Edisi Revisi 2009, Jakarta:
Rineka Cipta.
Ritzer, George. 1992, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda,
Terjemahan Alimanda, Jakarta: Rajawali.
Unjiya, M. Akrom. 2008, Lasem Negeri Dampoawang Sejarah yang Terlupakan,
Yogyakarta: Eja Publisher.
Ariyanto, Sigid. 2000, Catatan Harian Kuliah Pedalangan STSI Surakarta,
tanpa kota: tanpa penerbit.
Pratiwo. 1990, The Historikal Reading of Lasem, Leuven: Katholika Universieit
Leuven.
Prof. Dr. M. Soedarsono. 2002, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pendit, Nyoman S. 2009, Ramayana, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Santosa, Iman Budhi. 2011, Saripati Ajaran Hidup Dahsyat dari Jagad Wayang,
Yogyakarta: Flash Books.