View
7
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
4
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Definisi Lean
Menurut Lucherini & Rapaccini (2017) konsep lean pertama kali dibuat
oleh sebuah perusahaan otomotif yang berada di negara Jepang. Perusahaan
tersebut mengenalkan konsep ini sebagai reaksi terhadap keadaan ekonomi di
negaranya setelah terjadinya perang dunia II. Gazperz (2007) menyatakan tujuan
dari konsep lean adalah untuk meningkatkan customer value secara terus menerus
dengan melakukan peningkatan nilai tambah dan menurunkan rasio terjadinya
waste. Fokus dari konsep ini adalah untuk mengurangi biaya produksi,
mengevaluasi kegiatan yang tidak memberikan nilai tambah terhadap produk, dan
meningkatkan nilai tambah terhadap produk.
Penerapan konsep lean sangatlah populer baik di industri manufaktur maupun
jasa, hal ini dikarenakan konsep ini sangat membantu untuk meningkatkan value
added terhadap produk dan jasa yang dihasilkan, dan dapat menghilangkan atau
mengurangi berbagai macam bentuk pemborosan, serta meminimasi biaya-biaya
yang penting bagi perusahaan dalam waktu yang bersamaan. Menurut Widiasih
(2017) dalam penerapan pertama konsep lean, perusahaan belum tentu bisa
mencapai keberhasilan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
kurangnya komitmen dari pihak manajemen, kurangnya hak otonomi departemen
seperti keterbatasan akses sumber daya (resources), pengambilan keputusan yang
panjang, dan komunikasi yang buruk dalam perusahaan. Jika hal semacam ini
dibiarkan dan tidak segera ditangani maka konsep lean yang sudah dibangun
menjadi sia-sia.
Menurut Rathje et al,. (2009) supaya konsep lean dapat berhasil diterapkan
diperlukan beberapa kali implementasi dengan catatan harus terdapat progress di
setiap tahap implementasinya. Dengan kata lain kekurangan implementasi tahap
awal dapat menjadi sumber evaluasi dan peningkatan di tahap selanjutnya. Jika hal
ini secara terus menerus dilakukan dengan benar dan tepat maka dapat
memperbesar kemungkinan keberhasilannya. Keberhasilan dalam penerapan
konsep lean dapat mendekatkan perusahaan dengan tujuan utamanya yaitu
5
mendapatkan profit yang sebesar-besarnya (Harisupriyanto, 2013). Hal ini dapat
terjadi karena perusahaan tidak lagi memiliki waste baik dari lantai produksi
maupun manajemennya sehinnga produktifitas perusahaan meningkat dan kerugian
dapat dihindarkan.
2.1.1 Definisi lean menurut beberapa ahli
Berikut merupakan definisi lean menurut pendapat para ahli :
1. Menurut Chen et al., (2016) lean manufacturing yang merupakan nama lain
dari sistem produksi toyota merupakan sebuah metode yang dapat mencapai
pengurangan waktu pengiriman, tenaga kerja, modal, dan ruang melalu
teknik peningkatan berkelanjutan.
2. Menurut Herwindo et al., (2008) lean merupakan sebuah pendekatan
sistematik yang dapat mengurangi pemborosan atau kegiatan yang tidak
memberikan nilai tambah baik dalam proses hingga menjadi output dengan
penaksiran di setiap pekerjaan selalu memiliki waste.
3. Menurut Paneru (2011) dalam jurnalnya yang berjudul “Implementation of
Lean Manufacturing Tools in Garment Manufacturing Process Focusing
Sewing Section of Men’s Shirt” menyebutkan bahwa lean merupakan satu
set alat yang apabila terkumpul dan dilaksanakan dengan benar maka dapat
mengurangi pemborosan dalam setiap aktivitas dan meningkatkan nilai
tambah pada hasil akhirnya.
2.1.2 5 dasar prinsip lean
Konsep lean ini memiliki dasar- prinsip dalam pelaksanaannya. Berikut
merupakan lima dasar prinsip pelaksanaan lean menurut Gasperz (2007) yaitu
:
1. Mengidentifikasi nilai produk (barang atau jasa) menurut perspektif
konsumen, dengan anggapan bahwa setiap konsumen selalu menginginkan
produk dengan kualitas tinggi, dengan harga yang kompetitif dan
tersampainya produk yang tepat waktu.
2. Melakukan identifikasi dengan value stream mapping (Peta aliran nilai)
untuk setiap produknya baik barang maupu jasa.
3. Mengeliminasi waste yang tidak memberika nilai tambah sepanjang value
stream mapping tersebut.
6
4. Mengatur supaya aliran material, informasi, dan produk mengalir dengan
lancar dan efisien sepanjang proses value stream dengan menggunakan
sistem tarik (pull system)
5. Terus menerus dalam melakukan pencarian teknik dan alat peningkatan
(improvement tools and techniques) supaya dapat mencapai tingkat efisien
yang unggul dan memiliki peningkatan yang berkelanjutan.
2.1.3 Lean Manufacturing
Lean Manufacturing secara filosofi didefinisikan sebagai teknik
merancang sebuah sistem manufaktur yang secara sempurna memadukan
aspek fundamental, minimasi biaya produksi dan memaksimalkan laba
(Becker, 1994). Aspek fundamental yang dimaksud dikenal dengan 3M yaitu
pekerja (Man), mesin (Machine), dan bahan baku (Material). 3M yang
seimbang ini nantinya dapat menghasilkan pekerjaan yang maksimal dan
produktif, minimasi biaya produksi, arus transportasi yang lancar, penggunaan
peralatan yang lebih produktif, memperpendek lead time dan lain sebagainya.
Menurut Batubara & Halimuddin (2016) lean manufacturing
didefinisikan sebagai suatu sistem yang digunakan untuk mengidentifikasi
waste dengan cara melakukan peningkatan secara radical (radical contiuous
improvement). Konsep ini dapat diterapkan dengan cara mengalirkan produk
(material, work in process, output) dan informasi menggunakan sistem tarik
(pull system) dari pelanggan internal dan eksternal. Proses yang kompleks ini
ditujukan untuk mengejar keunggulan dalam industri manufaktur.
Menurut Worley & Doolen (2006) Dalam penerapannya konsep ini
memiliki 5 alat yang dapat digunakan yaitu kaizen events, kanbans, pull
production, quick changovers, dan value stream mapping. Setiap tool memiliki
fungsi yang berbeda-beda tergantung dengan permasalahan yang dihadapi.
Keberhasilan dalam penerapan sistem ini lah yang menjadikan industri
manufaktur di Jepang berkembang pesat bahkan setelah mengalami kondisi
perekonomian yang buruk.
Menurut Wu (2013) konsep yang dipelopori oleh Toyota ini memiliki
praktik yang berbeda dari bisnis tradisional Amerika dimana konsep tersebut
7
mulai melibatkan aspek yang lebih kompleks, dimulai dengan inventaris,
kontrol kualitas, hubungan industri, manajemen tenaga kerja, dan pemasok
atau produsen. Terlepas dari perbedaanya konsep transfer substansial dari
sistem produksi Jepang ini memiliki tingkat keberhasilan yang cukup
signifikan. Hal tersebut dapat dilihat dari meningkatnya produktifitas tenaga
kerja, peralatan, dan sumber daya di perusahaan ketika diterapkan pada salah
satu perusahaan manufaktur di Amerika.
2.2 Definisi Waste (Pemborosan)
Waste (Pemborosan) merupakan segala bentuk pekerjaan yang tidak
memberikan nilai tambah ( Value added ) selama proses tranformasi produk
mulai proses input hingga output (Annisa, 2014). Menurut Ristyowati et al.,
(2017) waste merupakan pemborosan sumber daya tanpa menambahkan nilai
apapun pada suatu kegiatan. Selain tidak memberikan nilai tambah
pemborosan juga dapat mengakibatkan kerugian bagi perusahaan. Maka dari
itu penting bagi setiap perusahaan untuk mengeliminasi segala macam bentuk
waste yang dapat menghambat proses produksi dan menimbulkan kerugian.
Menurut Rawabdeh (2005) mengidentifikasi dan mengeliminasi segala
bentuk waste dalam proses produksi dapat memberikan peningkatan efisiensi,
meningkatkan produktifitas dan meningkatkan daya saing perusahaan.
Perusahaan yang menjalankan konsep ini secara umum dapat merasakan
manfaat seperti meningkatnya kualitas produk, menurunnya jumlah inventory
(bahan baku/material), menurunnya biaya produksi, dan pemenuhan pesanan
pelanggan yang lebih baik dan optimal. Meskipun demikian, upaya identifikasi
waste tidak selalu mudah. Menurut (Mughni, 2005) terdapat beberapa jenis
waste yang samar dan sulit untuk di identifikasi sehingga proses identifikasi
ini memerlukan proses yang matang. Proses identifikasi waste ini menjadi
sangat penting karena jika salah analisa bisa menimbulkan jenis waste yang
baru.
Sebelum lebih jauh membahas tentang waste, akan lebih baik jika
mendefinisikan waste tersebut dalam beberapa jenis aktivitas yang berbeda
yaitu :
8
1. Value Adding Activity (Aktivitas yang memberikan nilai tambah)
merupakan aktivitas yang dilakukan ketika memproduksi sebuah produk
dan dapat memberikan nilai tambah di mata konsumen. Contoh dari
aktivitas ini adalah mengubah kedelai menjadi tempe atau tahu sehingga
kedelai tersebut memiliki nilai tambah ketika sampai ke tangan konsumen.
2. Non Value Adding Activity (Aktivitas yang tidak memberikan nilai
tambah) merupakan segala jenis aktivitas yang dilakukan selama proses
produksi dari awal hingga akhir yang tidak mengubah atau menambah
nilai dari suatu produk ketika sampai di tangan konsumen. Aktivitas inilah
yang nantinya akan menjadi sumber dari berbagai macam jenis waste.
Contoh dari kegiatan ini seperti penumpukan material di gudang yang
terlalu lama sehingga membuat kualitas material atau bahan baku menurun
atau bahkan rusak sehingga bisa mempengaruhi kualitas produk ketika
sampai di tangan konsumen dan tentunya dapat menimbulkan kerugian
bagi perusahaan.
3. Necessary Non Value Adding Activity (Aktivitas yang tidak memberikan
nilai tambah tetapi dibutuhkan) menurut Hines & Rich (1997) Necessary
Non Value Adding Activity merupakan serangkaian aktivitas yang perlu
dilakukan akan tetapi tidak memberikan nilai tambah terhadap produk.
Aktivitas ini mungkin akan terkesan sia-sia namun harus dilakukan.
Contohnya mentransfer alat dari satu tangan ke tangan yang lain, berjalan
jauh untuk mengambil alat dan seterusnya. Hal ini secara tidak langsung
tidak memberikan nilai tambah terhadap produk yang di produksi, tetapi
bila tidak dilaksanakan maka proses produksi tidak akan selesai sehingga
harus dilakukan.
Menurut El-namrouty & Abushaaban (2013) terdapat tujuh jenis
pemborosan yang mungkin terjadi dalam proses produksi yaitu :
1. Overproduction (Produksi berlebih)
Merupakan sebuah waste yang terjadi ketika perusahaan melakukan
produksi yang berlebih dari jumlah permintaan konsumen atau melakukan
produksi lebih awal tanpa menunggu permintaan dari konsumen. Hal ini
9
dapat mengakibatkan menurunnya kualitas produk karena terlalu usang
atau mendekati masa kadaluarsa dan meningkatkan biaya produksi.
2. Defects (Cacat)
Merupakan waste yang terjadi karena produk cacat secara fisik yang akan
berdampak langsung terhadap melonjaknya biaya produksi dan biaya
penjualan produk. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti
ketidaksesuaian spesifikasi produk pada saat di produksi, keterlambatan
pengiriman, kesalahan dokumen pengiriman dan masih banyak faktor
yang lain.
3. Unnecesarry Inventory (Persediaan yang tidak perlu)
Merupakan waste yang disebabkan oleh penumpukan bahan baku yang
tidak diperlukan. Hal ini dapat menyebabkan meningkatnya biaya
penyimpanan dan juga menurunnya kualitas bahan baku. Hal ini tentunya
dapat mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan.
4. Transportation (Transportasi)
Hal ini merupakan waste yang disebabkan karena terjadinya proses
perpindahan atau transportasi baik alat maupun material yang tidak efisien.
Aktivitas seperti ini dapat memperpanjang siklus produksi sehingga
mengakibatkan waktu produksi menjadi lebih lama.
5. Waiting (Menunggu)
Merupakan waste yang terjadi ketika waktu yang digunakan tidak efektif.
Hal ini biasanya disebabkan oleh delay (penundaan) proses yang terlalu
lama. Waste ini akan berpengaruh pada barang yang di produksi dan juga
pekerjanya karena sama-sama mengahabiskan waktu tunggu. Dimana
waktu tunggu yang dihabiskan dapat digunakan untuk kegiatan yang
memberikan value added lainnya.
6. Unnecesarry Motion (Pergerakan yang tidak perlu)
Merupakan waste yang terjadi karena terjadinya pergerakan-pergerakan
yang tidak perlu selama proses produksi. Contohnya berjalan di area
produksi untuk mencari sebuah alat, melakukan gerakan fisik yang tidak
perlu atau sulit. Waste ini membuat perusahaan harus memikirkan
bagaimana alat dan pekerjaan dapat dilakukan se ergonomis mungkin agar
10
dapat meminimalisir pergerakan-pergerakan yang mungkin dapat terjadi
selama proses produksi.
7. Over-processing
Merupakan waste yang terjadi karena ketidakseimbangan proses pada saat
produksi. Contohnya seperti lebih banyaknya proses produksi daripada
finishing atau inspeksi sehingga dapat berdampak pada kualitas produk
yang dihasilkan.
2.3 Value Stream Mapping
Menurut Mohd & Mojib (2015) value stream mapping merupakan semua
jenis aktivitas yang penting dalam menghasilkan sebuah produk, dimana semua
aktivitasnya akan di tampilkan dalam diagram arus dari awal hingga akhir.
Tujuan dari diagram ini adalah untuk membantu menemukan waste yang
terjadi dalam proses produksi dan berusaha untuk mengeliminasinya. Menurut
Allen (2001) value stream mapping merupakan sebuah peta aliran nilai yang
berisikan semua data dan proses pengerjaan sebuah produk dimana, di
dalamnya kita bisa melihat semua kegiatan yang dapat memberikan nilai
tambah ataupun tidak memberikan nilai tambah. Pembuatan peta aliran nilai
ini dapat meningkatkan efisiensi karena, kita bisa mengetahui kegiatan mana
yang tidak memberikan nilai tambah dan dapat melakukan perbaikan atau
menghilangkannya sehingga bisa meminimasi kerugian.
Menurut Helleno et al., (2017) value stream mapping dapat menjelaskan
aliran informasi dan proses yang dapat membantu untuk mengindentifikasi
sumber waste. Dengan hal tersebut maka, perusahaan dapat menentukan
skenario masa depan yang bisa digunakan untuk mengeliminasi waste tersebut.
Berikut merupakan contoh value stream mapping
11
Sumber : Lucherini & Rapaccini (2017)
Gambar 2.1 Value Stream Mapping
2.3.1 Langkah-langkah pembuatan Value Stream Mapping
Menurut Rother & Shook (2003) Dalam membuat Value Stream
Mapping terdapat beberapa langkah yaitu :
1. Membuat diagram current state yaitu diagram yang
menggambarkan kondisi awal dari sebuah aliran produksi. Pada
tahap ini yang perlu dilakukan yaitu mengumpulkan informasi
sedetail mungkin berdasarkan kondisi yang sebenar-benarnya
supaya dapat membuat diagram future state dengan tepat.
2. Tahap akhirnya yaitu membuat future state. Pada tahap ini yang
harus dilakukan adalah mempersiapkan rencana implementasi
yang menjelaskan bagaimana cara untuk mencapai kondisi yang
di inginkan di masa depan. Ketika, rencana masa depannya
tercapai maka keadaan atau kondisi masa depan yang baru harus
digambarkan.
2.3.2 Simbol-simbol dalam Value Stream Mapping
Dalam pembuatan value stream mapping terdapat beberapa simbol
yang perlu diperhatikan, seperti pada tabel 2.1
12
Tabel 2.1 Simbol-simbol dalam Value Stream Mapping
Simbol Proses dalam Value Stream Mapping
Apabila simbol diletakkan di bagian kiri
atas akan merepresentasikan Supplier.
Sementara jika simbol diletakkan di
bagian kanan atas maka
merepresentasikan Customer, biasanya
sebagai titik akhir aliran material.
Sementara jika
Simbol ini menyatakan proses, operasi,
mesin atau departemen yang dilalui oleh
material.
Simbol ini menyatakan proses, operasi,
mesin atau departemen yang saling
berbagi dalam value-stream. Dalam
simbol ini perkiraan jumlah operator
yang dibutuhkan dalam proses produksi
akan dipetakan.
Merupakan simbol yang
merepresentasikan pergerakan bahan
baku atau material dari supplier hingga
menuju gudang penyimpanan. Atau bisa
juga merepresentasikan pergerakan
produk akhir dari gudang menuju ke
konsumen.
Simbol ini memiliki beberapa lambang
di dalamnya dimana C/T merupakan
waktu siklus yang dibutuhkan untuk
produksi. C/O merupakan changeover
time atau waktu pergantian produksi
satu produk
Menunjukkan keberadaan inventory
diantara dua proses. Ketika memetakan
current state, jumlah inventory dapat
diperhatikan dimana jumlahnya akan
ditulis di bawah gambar segitiga. Selain
itu, simbol ini juga dapat digunakan
pada bahan baku ataupun produk jadi.
Menunjukkan pergerakan material dari
satu proses menuju proses selanjutnya.
Berfungsi untuk penahan agar tidak
terjadi kekurangan stok.
Simbol ini menunjukkan pengiriman
yang dilakukan dari supplier ke
konsumen atau dari pabrik ke konsumen
dengan menggunakan transportasi luar.
Simbol Informasi dalam Value Stream Mapping
Merepresentasikan jumlah operator
yang dibutuhkan dalam melakukan
sebuah proses.
13
Menunjukkan informasi yang mungkin
berguna.
Menunjukkan waktu siklus dan waktu
tunggu.
(Sumber : Hafiz, 2016))
2.3.3 Kelebihan dan kekurangan Value Stream Mapping
Terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan dalam penggunaan
Value Stream Mapping. Berikut merupakan kelebihan Value Stream
Mapping Menurut Shodiq & Khannan (2015) :
1. Pembuatannya relatif mudah.
2. Mudah dipahami dan dapat menampilkan aliran produksi yang
sedang berlangsung.
3. Pembuatannya tidak harus menggunakan software khusus.
Selain kelebihan, setiap metode tentunya memiliki kekurangan.
Berikut merupakan kelebihan Value Stream Mapping Menurut Shodiq &
Khannan (2015) :
1. Pada aliran materialnya hanya bisa digunakan untuk satu tipe
produk yang sama.
2. Diagram ini berbentuk statis sehingga permasalahan yang ada
didalamnya masih terpaut sederhana.
2.4 Fishbone
Menurut Lee (1996) fishbone atau diagram tulang ikan merupakan
sebuah diagram yang digunakan untuk menggambarkan urutan perakitan
sebagai cara yang efektif untuk menentukan perencanaan lanjutan pada proses
perakitan. Diagram ini membantu mengidentifikasi faktor-faktor yang
menyebabkan kesulitan dalam proses perakitan dan juga membantu untuk
memunculkan solusinya. Menurut Bose (2012) diagram tulang ikan merupakan
sebuah alat yang bisa digunakan untuk menganalisis proses bisnis dan juga
efektivitasnya. Diagram ini juga biasa dikenal dengan nama “Diagram
Ishikawa” karena pertama kali ditemukan oleh Kaoru Ishikawa, yang
merupakan seorang ahli statistik dan kualitas dari jepang. Alat ini di definisikan
sebagai tulang ikan karena sifat dan penampilan strukturalnya yang terlihat
14
seperti krangka ikan. Fishbone biasanya mengevaluasi penyebab dan sub-
penyebab dari suatu masalah.
Diagram tulang ikan memiliki enam kategori klasik dari yang dapat
dikategorikan sebagai penyebab utama dari setiap permasalahan dalam sebuah
proses bisnis yaitu Man (Manusia), Materials (Bahan baku), Environment
(Lingkungan), Equipement (Peralatan), Management (Manajemen), Process
(Proses). Menurut Perry (2006) terdapat lima langkah yang perlu diperhatikan
dalam proses pembuatan diagram ini yaitu :
1. Definisikan masalah dengan jelas.
2. Lakukan identifikasi terhadap kategori-kategori yang berpotensial
menyebabkan permasalahan.
3. Buatlah diagram awal yang menyatakan permasalahan. Buatlah garis
horizontal dari kepala hingga ke kiri, kembangkan kategori utama dari
tulang ikan dan lampirkan beberapa faktor potensial penyebab
permasalahan.
4. Lakukan analisa dan identifikasi lanjutan penyebab potensial dari setiap
kategori.
5. Dikusikan dan hilangkan penyebab yang paling tidak potensial sehingga
dapat menemukan akar permasalahannya. Pada langkah ini akan muncul
beberapa alternatif untuk menyelesaikan masalah.
Contoh dari diagram dapat dilihat pada gambar 2.2 sebagai berikut :
Sumber : (Bose, 2012)
Gambar 2.3 Fishbone
15
2.5 FMEA
FMEA didefinisikan sebagai suatu pendekatan yang berbasis tim,
sistematis dan proaktif untuk mengidentifikasi penyebab terjadinya sebuah
kegagalan dalam suatu proses (Latino, 2004). Tujuan dari metode ini adalah
untuk mengidentifikasi kapan dan dimana kemungkinan sistem akan
mengalami kegagalan, sehingga dapat dilakukan pencegahan sebelum
permasalahan tersebut terjadi. Menurut Mohammadi & Alavi (2013) FMEA
merupakan suatu alat analisis yang menawarkan metode sistematis dan dinamis
untuk menemukan faktor kegagalan berdasarkan faktor kuantitatif. Dengan
cara tersebut, semua potensi kegagalan yang mungkin terjadi pada saat proses
produksi berlangsung dapat diketahui. Metode ini mnggunakan sistem
peringkat untuk menentukan tingkat kegagalan atau risiko kritis yang harus di
eliminasi. FMEA akan melakukan pendekatan dan menganalisa komponen dari
tingkat terendah sehingga dapat menentukan komponen mana yang mungkin
mengalami kegagalan.
Metode ini akan mengetahui bagaimana dan mengapa komponen
tersebut mengalami kegagalan. Apabila dilakukan analisa lebih lanjut metode
ini dapat mengukur tingkat keparahan dan probabilitas kegagalan. Langkah-
langkah dalam membuat FMEA antara lain :
1. Mengidentifikasi proses produksi/jasa.
2. Mencatat kemungkinan-kemungkinan permasalahan yang akan timbul
beserta efek dan juga permasalahannya.
3. Memberikan penilaian terhadap tiap-tiap masalah untuk kategori severity,
occurance, dan detection.
a) Severity
Severity merupakan dampak yang akan ditimbulkan apabila suatu
kesalahan terjadi. Untuk menentukan rating severity terdapat beberapa
ketetapan yang ditunjukkan pada tabel 2.2 sebagai berikut :
Tabel 2.2 Penentuan rating severity
Efek Kriteria Rating
Minor Sangat kecil kemungkinan
kegagalan akan berpengaruh
1-2
16
terhadap produk/ pelayanan.
Pelanggan bahkan mungkin
tidak akan memperhatikan
kegagalan
Low Kemungkinan tingkat
keparahan rendah dan hanya
menyebabkan sedikit gangguan
terhadap pelanggan.
Kemungkinan kecil akan
dilakukan pengerjaan ulang.
Pelanggan mungkin akan
memperhatikan sedikit
kerusakan pada produk/layanan
3-4
Moderate Peringkat sedang karena
kegagalan dapat menyebabkan
ketidakpuasan. Dapat
menyebabkan kejadian yang
tidak diperkirakan seperti
perbaikan dan kerusakan
peralatan
5-6
High Tingkat ketidakpuasan
pelanggan tinggi dikarenakan
kerusakan produk. Dapat
menyebabkan gangguan pada
proses selanjutnya
7-8
Verry high Tingkat keparahan sangat tinggi
ketika kerusakan produk
mempengaruhi keselamatan
termasuk tidak mematuhi
standar dan peraturan
pemerintah
9-10
Sumber : (Mayangsari, Adianto, & Yuniati, 2015)
b) Occurance
Occurance merupakan kemungkinan penyebab kegagalan akan terjadi
dan menghasilkan kegagalan pada saat produksi atau pelayanan
berlangsung. Ketentuan nilai occurance dapat dilihat pada tabel 2.3
sebagai berikut.
17
Tabel 2.3 Nilai Occurance
Degree Berdasarkan Frekuensi kejadian Rating
Remote 0,01 per 1000 item 1
Low 0,1 per 1000 item
0,5 per 1000 item
2
3
Moderate 1 per 1000 item
2 per 1000 item
3 per 1000 item
4
5
6
High 10 per 1000 item
20 per 1000 item
7
8
Very high 50 per 1000 item
100 per 1000 item
9
10
Sumber : (Mayangsari et al., 2015)
c) Detection
Detection berfungsi sebagai upaya dalam melakukan pencegahan
kegagalan selama proses produksi dan mengurangi tingkat
kegagalannya. Ketentuan nilai dari detection dapat dilihat pada tabel
2.4 sebagai berikut.
Tabel 2.4 Nilai Detection
Rating Criteria Berdasarkan Frekuensi
Kejadian
1 Metode pencegahan sangat
efektif. Tidak ada kesempatan
penyebab terjadinya
kegagalan muncul
0,01 per 1000 item
2
3
Kemungkinan penyebab
terjadinya kegagalan sangat
rendah
0,01 per 1000 item
4
5
6
Kemungkinan penyebab
terjadinya kegagalan bersifat
moderate. Metode
pencegahan memungkinkan
penyebab itu terjadi.
0,1 per 1000 item
0,5 per 1000 item
18
7
8
Kemungkinan penyebab
terjadinya kegagalan masih
tinggi.
1 per 1000 item
2 per 1000 item
3 per 1000 item
9
10
Kemungkinan penyebab
terjadinya kegagalan masih
sangat tinggi, penyebab masih
berulang kembali.
10 per 1000 item
20 per 1000 item
Sumber :(Mayangsari et al., 2015)
Setelah memperoleh nilai severity, occurance, dan detection akan
diperoleh nilai RPN, dengan cara mengalikan nilai severity, occurance, dan
detection. Langkah selanjutnya setelah diperoleh nilai RPN maka hasilnya
akan diurutkan dari nilai tertinggi hingga nilai teredah dan dapat diketahui nilai
tertinggi yang diharuskan untuk melakukan perbaikan guna mengurangi
tingkat kecacatan produk.
2.6 Cost Integrated Value Stream Mapping
Cost Integrated Value Stream Mapping merupakan sebuah metode
penggabungan antara value stream mapping dan aspek biaya. Metode ini
memperkenalkan konsep cost line (garis biaya) sehingga dapat diketahui
dengan jelas biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses produksi. Aspek
biaya dihitung dari setiap kegiatan yang dilakukan selama proses produksi
secara satu persatu (Abuthakeer, Mohanram, & Kumar, 2010). Dengan design
baru dari value stream mapping diharapkan dapat membantu untuk
memfokuskan pada area-area yang memerlukan perbaikan. Biaya yang
dihitung yaitu biaya value added dan biaya non value added. Biaya value added
merupakan biaya yang dihitung dari biaya langung di setiap proses produksi
sedangkan biaya non value added merupakan biaya yang dihitung dari biaya
holding cost per inventory. Berikut merupakan langkah-langkah dalam
penerapan cost integrated value stream mapping menurut Julianto (2014)
antara lain :
1. Menentukan keluarga produk
19
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memilih satu jenis produk
dari beberapa keluarga produk
2. Persiapan current state map
Mengumpulkan informasi yang akan digunakan untuk membuat current
state map yang berupa :
a) Dokumentasi informasi pelanggan
b) Identifikasi proses utama
c) Mengumpulkan data-data yang diperlukan
d) Informasi mengenai pemasok
e) Petakan data
3. Merancang current state map
Yang perlu dilakukan dalam tahap ini dalah membuat diagram current state
map berdasarkan informasi yang sudah di dapat pada tahap sebelumnya.
Gambaran situasi pada saat aktivitas produksi akan ditunjukkan dengan
hasil yang di dapat pada diagram current state map. Dari sini yang kemudian
akan diketahui aktivitas-aktivitas manakah yang memerlukan perbaikan
sehingga dapat membantu dalam peembuatan usulan perbaikan.
4. Mengubah current state map menjadi future state map
Pada tahap ini akan dilakukan pengubahan pada diagram current state map
menjadi future state map berdasarkan :
a) Perhitungan takt time
b) Target biaya yang sudah ditentukan
c) Dan pengimplementasian konsep lean.
5. Merancang future state map
Konsep lean yang di implementasikan memiliki tujuan utama yaitu
megeliminasi segala jenis pemborosan dan membuat proses produksi
menjadi seefisien mungkin sehingga dapat meningkatkan produktifitas
perusahaan (Putra, 2011) . Tujuan utama dalam pembuatan value stream
mapping ini adalah untuk mengetahui letak pemborosan dalam segala
aktivitas pembuatan produk, sehingga dapat dilakukan minimasi pada future
state mapnya. Dalam pembuatan usulan perbaikannya juga harus dilakukan
setepat mungkin berdasarkan kondisi yang diperoleh dari current state map.
20
Apabila usulan perbaikan yang diterapkan tidak sesuai maka akan
berpotensi untuk memunculkan waste baru dan memperbesar waste yang
sudah terjadi.
Sumber : (Abuthakeer et al., 2010)
Gambar 2.4 Cost Integrated Value Stream Mapping
2.7.1 Analisis Proses
Aktivitas utama dalam tahap ini adalah membuat timelines.
Pada timelines terdapat value added time dan non value added time.
Berikut merupakan rumus yang akan digunakan dalam proses ini
menurut (Abuthakeer et al., 2010) :
VT CTi= (0.1)
NVT CTi= (0.2)
Processing Time = 1
n
iCTi
= (0.3)
Processing lead time = 1
1
n
i
WIPi
Di
+
= (0.4)
Keterangan :
VT = Value added time (detik)
21
NVT = Non value added time (detik)
WIP = Jumlah work in process atau inventori bahan baku
(kg)
D = Permintaan per hari (kg)
Untuk menghitung biaya pada cost line dalam metode ini
memerlukan rumus perhitungan guna menentukan langkah-langkah
yang harus diambil berdasarkan acuan biaya. Value added cost dan non
value added cost dihitung melalui machine rate dan labor rate, non
value added cost dihitung melalui perhitungan inventory holding cost
per inventory. Rumus perhitungan value added cost dan non value
added cost dapat dilihat pada persamaan berikut ini :
Value added cost = *( )3600
Mi Limi CTi
++ (0.5)
Mi = 0 (ketika tidak ada material yang ditambhakan ke dalam
aktivitas)
Non value added cost = *hi WIPi (0.6)
Total value added = 1
* *( )3600
n
i
Mi Limi WIPi
=
+ (0.7)
Total non value added = 1
1*
n
ihi WIPi
+
= (0.8)
Keterangan :
CT = Cycle time (Detik)
M = Biaya mesin per jam (rp)
L = Biaya tenaga kerja per jam (rp)
m = Biaya material (rp)
h = Holding cost (rp)
Recommended