View
19
Download
1
Category
Preview:
DESCRIPTION
jjo;k;lk
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bahasa Indonesia kita mengenal adanya ragam
bahasa. Ragam bahasa adalah variasi pemakaian suatu bahasa
yang setiap unsur variasi itu memiliki pola umum bahasa
induknya. Variasi tersebut terjadi pada bunyi bahas intonasi,
morfologi, diksi, istilah dan sintaksis. Adapun ragam bahasa
dapat ditinjau dari beberapa segi, di antaranya; ragam bahasa
ditinjau dari sudut pandang penutur, ragam bahasa menurut
jenis pemakaiannya.
Di dalam ragam bahasa dijelaskan pula mengenai bahasa
baku, fungsi bahasa baku, bahasa yang baik dan benar, dan
hubungan bahasa Indonesia dengan bahasa daerah. Ini
merupakan sebagian dari macam-macam ragam bahasa yang
telah kita ketahui dalam bahas Indonesia. Di samping berbagai
ragam bahasa seperti tadi, para pakar membagi ragam bahasa
atas bahasa baku dan non-baku.
Jadi, ragam bahasa ini sebagai penjelasan bagaimana
bahasa yang baku, apa fungsi dari bahasa yang baku tersebut,
dan seperti apa bahasa yang baik dan benar itu? sehingga kita
bisa membedakan bahasa yang bagaimana yang harus kita
gunakan saat kita dalam acara resmi atau santai dan
menempatkannya sesuai dengan waktu dan situasi yang sedang
dialami.
1
BAB II
RAGAM BAHASA
2.1 Macam-macam Ragam Bahasa
Bahasa Indonesia yang sangat luas wilayah
pemakaiannya dan bermacam-macam ragam penuturannya,
mau tidak mau, takluk pada hukum perubahan. Faktor
sejarah dan perkembangan masyarakat turut pula
berpengaruh pada timbulnya sejumlah ragam bahasa
Indonesia. Ragam bahasa yang beraneka macam itu tetap
disebut “bahasa Indonesia”, karena masing-masing berbagai
teras atau inti sari bersama yang umum. Ciri dan kaidah tata
bunyi, pembentukan kata, tata makna, umumnya sama.
Itulah sebabnya kita masih dapat memahami orang lain
yang berbahasa Indonesia walaupun di samping itu kita
dapat mengenali beberapa perbedaan dalam perwujudan
bahasa Indonesianya.
2.1.1Ragam Ditinjau dari Sudut Pandang Penutur
Dapat diperinci menurut patokan (1) daerah, (2)
pendidikan, (3) sikap penutur.
1) Ragam daerah sejak lama dikenal dengan nama logat
atau dialek. Bahasa yang menyebar luas selali
mengenal logat. Logat daerah paling kentara karena
tata bunyinya. Logat Indonesia yang dilafalkan oleh
Putera Tapanuli dapat dikenali, misalnya karena
tekanan kata yang amat jelas, logat Indonesia orang
Bali dan Jawa.
2) Ragam bahasa menurut pendidikan formal, yang
menyilangi ragam dialek, menunjukkan perbedaan yang
2
jelas antara kaum yang berpendidikan formal dengan
yang tidak.
3) Ragama bahasa menurut sikap penutur mencakup
sejumlah corak bahasa Indonesia yang masing-masing
pada asasnya tersedia bagi tiap-tiap pemakai bahasa.
Ragam ini dapat disebut langgam atau gaya,
pemilihannya bergantung pada sikap penutur terhadap
orang yang diajak berbicara atau terhadap
pembacanya.
Kemampuan menggunakan berbagai gaya pada
hakikatnya terjangkau oleh orang dewasa. Namun,
kemahiran itu tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus
diraih lewat pelatihan dan pengalaman.
2.1.2Ragam Bahasa Menurut Jenis Pemakaiannya
1) Ragam Bahasa dari Sudut Pandang Bidang Persoalan
Jumlah ragam yang dimiliki agak terbatas kerna
bergantung pada luasnya pergaulan, pendidikan, profesinya,
kegemarannya, dan pengalamannya. Bidang yang
dimaksudkan itu seperti agama, politik, ilmu, teknologi,
perdagangan dan lain-lain.
Kerap kali peralihan ragam itu berkisar pada pemilihan
sejumlah kata yang khusus digunakan dalam bidang
bersangkutan. Misalnya akidah, akad nikah (agama);
quorum, pemilu, partai (politik); ataom, inflasi, fonem, posil
(ilmu).
2) Ragam Bahasa Menurut Sarananya
Ragam ini dibagi atas ragam lisan dan tulisan. Bahasa
Melayu dianggap orang sejak dahulu berperan sebagai
Liguna Franca. Bahasa bersama, itu sebagian besar
3
penduduk kita berupa ragam bahasa lisan untuk keperluan
yang agak terbatas.
Ragam tulisan memiliki dua hal penting, yang pertam
berhubungan dengan suasana peristiwanya, sehingga kita
perlu lebiuh terang dan jelas karena ujaran kita tidak dapat
disertai oleh gerak isyarat, pandangan atau anggukan,
tanda penegasan di pihak kita atau pemahaman di pihak
pendengar kita. Itulah sebabnya, kalimat dalam ragam
tulisan harus lebih cermat.
Kedua berkaitan dengan beberapa upaya yang kita
gunakan dalam ujaran, misalnya, tinggi rendahnya dan
panjang pendeknya suara, serta irama kalimat yang
dilambangkan dengan ejaan dan tata tulis yang kita miliki.
Tiap penutur bahasa pada dasarnya dapat
memanfaatkan kedua ragam lisan dan tulisan itu, sesuai
dengan keperluannya, apapun latar belakangnya.
2.2 Ciri Situasi Diglosia
Situasi diglosia dapat disaksikan di dalam masyarakat
bahasa jika dua ragam pokok bahasa yang masing-masing
mungkin memiliki jenis sub ragam lagi dipakai secara
berdampingan untuk fungsi kemasyarakatan yang berbeda-
beda.
Di dalam situasi diglosia terdapat tradisi yang
mengutamakan studi gramatikal tentang ragam yang tinggi.
Hal itu dapat dipahami jika diingat bahwa ragam itulah yang
diajarkan di dalam sistem pembelajaran. Tradisi penulisan
tata bahasa Melayu, Malaysia, dan Indonesia membuktikan
kecenderungan itu. Tradisi itulah yang meletakkan dasar
bagi usaha pembakuan bahasa. Situasi diglosia itu pulalah
4
yang menjelaskan mengapa setakat ini ada perbedaan yang
cukup besar di antara pemakaian bahasa Indonesia ragam
tulisan di pihak yang satu dan ragama lisan di pihak yang
lain.
Pengacuan ke ragam bahasa yang pada hakikatnya
berbeda rupa-rupanya menjelaskan adanya paradoks di
dalam masyarakat bahwa bahasa Indonesia itu mudah dan
sekaligus sukar dipelajari dan dipakai.
2.3 Pembakuan Bahasa
Di dalam situasi diglosia ada tradisi keilmuan yang
memilih ragam bahasa pokok yang tinggi sebagai dasar
usaha pembakuan. Ada kecenderungan untuk mendasarkan
penyusunan tata bahasa itu pada ragam tinggi bahasa
tulisan. Jika dulu ada anggapan bahwa norma bahasa baku
didasarkan pada ragam tinggi Melayu – Riau, perkembangan
bahasa Indonesia dewasa ini menunjukkan bahwa pemilihan
norma itu tidak mononsentris lagi.
Patokan yang bersifat tunggal (salah satu dialek) dan
patokan yang majemuk (gabungan beberapa dialek) tidak
perlu bertentangan. Namun, pada saat norma itu
dikodifikasikan dan dimekarkan oleh penuturnya, dasarnya
itu boleh dikatakan tidak dapat dikenali lagi oleh asalnya.
Ada dua perangkat norma bahasa yang bertumpang tindih,
yang satu berupa norma yang dikodifikasi dalam bentuk
baku tata bahasa sekolah dan yang diajarkan kepada
siswanya, yang lain ialah norma berdasarkan adat
pemakaian (usage) yang belum, dikodifikasi seara resmi dan
yang antara lain dianut oleh kalangan media massa dan
sastrawan muda. Keduanya bertumpang tindih, karena di
5
samping berbagai inti bersama ada norma yang berlaku di
sekolah, tetapi yang tidak diikuti oleh media dan sebaliknya.
Tarikan yang terdapat di antara kedua pasang norma
itu dapat dicontohkan dengan bentuk pengrusak.
Keberterimaan bentuk itu antara murid dan gurunya yang
menuntut pemakaian bentuk perusak, murid itu
berpendirian bahwa pengrusaklah yang betul itu dapat
dibaca di dalam surat kabar.
2.4 Bahasa Baku
Ragam bahasa orang yang berpendidikan paling
lengkap kaidah-kaidahnya jika dibandingkan dengan ragam
bahasa yang lain.sejarah umum perkembangan bahasa
menunjukkan bahwa ragam bahasa itu juga yang dipakai
oleh kaum yang berpendidikan dan yang kemudian dapat
menjadi pemuka di berbagai bidang kehidupan yang
penting. Pejabat pemerintah, hakim, pengacara, perwira,
wartawan, guru, generasi demi generasi terlatih dalam
ragam bahas itu. ragam itulah yang dijadikan tolak
bandingan bagi pemakaian bahasa yang benar. Fugsinya
sebagai tolak untuk menghasilkan nama bahas baku atau
bahasa standar baginya.
Ragam bahasa yang diajarkan dan dikembangkan di
dalam lingkungan iutlah yang akan menjadi ragam bahasa
pemimpin kita yang mendatang sehingga pada suatu saat
bahas Indonesia yang baku dapat disamakan dengna ragam
bahasa golongan pemuka yang memancarkan wibawa
kemasyarakatan. Oleh sebab itu, di Indonesia semua proses
pembakuan hendaknya bermula pada ragam bahasa
perguruan dengan berbagai coraknya dari sudut pandangan
sikap, bidang, dan sarananya.
6
Ragam bahasa standar memiliki sifat kemantapan
dinamis yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Baku
atau standar tidak dapat berubah setiap saat. Kaidah
pembentukan kata yang menerbitkan bentuk perasa dan
perumus dengan taat asa harus dapat menghasilkan bentuk
perajin dan perusak dan bukan pengrajin dan pengrusak.
Kehomoniman yang timbul akibat penerapan kaidah itu
bukan alasan yang cukup berat yang dapat menghalakan
penyimpangan itu. Ciri kedua yang menandai bahasa baku
ialah sifat kecendekiaannya. Perwujudannya dalam kalimat,
paragraf, dan satuan bahasa lain yang lebih besar
mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang teratur,
logis, dan masuk akal. Proses pembakuan sampai taraf
tertentu berarti proses penyeragaman kaidah, bukan
penyamaan ragam bahasa, atau penyeragaman variasi
bahasa. Itulah ciri ketiga bahasa yang baku. Setelah
mengenali ketiga ciri umum yang melekat pada ragam
standar bahasa kita.
2.5 Fungsi Ragama Bahasa Baku
Bahasa baku mendukung empat fungsi, tiga di
antaranya bersifat palembang atau simbolis, sedangkan
yang satu bersifat objektif.
1) Fungsi pemersatu;
2) Fungsi pemberi kekhasan;
3) Fungsi pembawa kewibawaan;
4) Fungsi sebagai kerangka acuan;
Bahasa baku menggabungkan semua penutur berbagai
dialek bahasa itu. Dengan demikian, bahasa baku
7
mempersatukan mereka menjadi satu masyarakat
bahasa dan meningkatkan proses identifikasi penutur
seorang dengan seluruh masyarakat. Banyak orang
tidak sadar akan adanya dialek (geografis) bahas
Indonesia, melainkan ingin keadaan Utopia yang hanya
mengenal satu ragam bahasa Indonesia.
Fungsi pemberi kekhasan pada bahasa baku
membedakan bahasa itu dari bahasa yang lain. Karena
fungsi itu, bahasa baku memperkuat perasaan
kepribadian nasional masyarakat bahasa yang
bersangkutan. Yang merangukan orang ialah apakah
perasaan itu bertalian lebih erat dengan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional atau dengan bahasa
baku.
Pemilikan bahasa baku membawa wibawa atau
prestise. Fungsi pembawa wibawa bersangkutan
dengan usaha orang mencapai kesederajatan dengan
peradaban lain yang dikagumi lewat pemerolehan
bahasa baku sendiri. Ahli bahasa dan khalayak ramai di
Indonesia dapat dijadikan teladan bagi bangsa lain di
Asia Tenggara yang juga memerlukan bahasa modern.
Dapat pula dikatakanm bahwa fungsi pembawa wibawa
itu ebralih dari pemilikan bahasa baku yang nyata
kepemilikan bahasa yang berpotensi menjadi bahasa
baku.
Bahasa baku selanjutnya berfungsi sebagai kerangka
acuan. Bahasa ini berfungsi sebagai acuan bagi
pemakaian bahasa dengan adanya norma dan kaidah
yang jelas. Norma dan kaidah itu menjadi tolok ukur
8
bagi benar tidaknya pemakaian bahasa seseorang atau
golongan.
Fungsi ini di alam bahasa Indonesia baku belum
berjalan dengan baik. Namun, perlunya fungsi ini
diungkapkan dalam ketiga kongres bahasa Indonesia,
seminar dan simposium serta berbagai penataran guru.
Setelah kita mengungkapkan sifat objektif dalam
bahasa baku, kita juga perlu menjelaskan perubahan ejaan
dalam bahasa Indonesia. Ejaan atau tata cara menulis
bahasa Indonesia dengan huruf latin dibakukan secara resmi
pada tahun 1972, setelah berlakunya Ejaan Van Opnuij Sen
(1901) dan Ejaan Soewandi (1947). Pada tahun 1975
dikeluarkan Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan
yang menguraikan kaidah ejaan yang baru terperinci dan
lengkap. Maka dapat dikemukakan bahwa kaidah ejaan kita
sudah seragama, dasar penyusunannya memenuhi syarat
kecendekiaan, tetapi pelaksanaannya belum mantap.
Contoh
Bahasa Baku Tidak Baku
− Mengerti − Ngerti
− Katakan − Bilang
− Perempuan, dll. − Cewek, dll.
Rintisan pemba kuan kosa kata sebenarnya sudah
agak lama berjalan di bidang peristilahan yang merupakan
bagiannya yang sangat penting. Pekerjaan pembakuan
istilah itu sudah dimulai sejak 1942 dengan adanya komisi
umum pembentukan istilah yang ingin memberikan patokan
yang menyeluruhi permasalahan, sehingga kita dapat
memiliki tata istilah yang memenuhi syarat kemanfaatan,
kecendekiaan, dan keseragaman.
9
Kekurangan yang lain berkisar pada kekaburan
tentang apa yang disebut kaidah tata bahasa dan apa yang
bukan kaidah tata bahasa mengandung kemampuan
penerapan secara umum. Bentuk bahasa yang kaidahnya
tidak dapat dirumuskan secara umum masuk bidang idion
atau leksiologi. Misalnya, jika bentuk tertulang dan terbuku
memperoleh tafsiran “sampai ke tulang” dan “asmpai ke
buku”, kita tidak dapat menjabarkan kaidah yang
menyatakan bahwa awalan ter – dapat bermakna awalan
ter – dengan itu tidak dapat bermakna “sampai ke”.
Sebabnya telah penerapan awalan ter- dengan itu tidak
dapat digeneralisasikan.
2.6 Bahasa yang Baik dan Benar
Pemkaian bahasa yang mengikuti kaidah yang
dibakukan atau yang dianggap baku itulah yang merupakan
bahasa yang baik dan benar. Jika orang masih berbeda
pendapat tentang benar tidaknya suatu bentuk bahasa,
maka silsilah paham itu menandakan ketiadaan standar,
atau adanya baku yang belum mantap.
Orang yang mahir dalam menggunakan bahasanya
sehingga maksud hatinya mencapai sasarannya, apapun
jenisnya itu, dianggap berbahasa dengan efektif. Bahasanya
membuahkan efek karena serasi dengan peristiwa atau
keadaan yang dihadapinya. Pemanfaatan ragam yang tepat
dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian
bahasa itulah yang disebut bahasa yang baik atau tepat.
Bahasa yang harus mengenai sasarannya tidak selalu perlu
beragam baku. Dalam tawar menawar di pasar, misalnya,
pemakaian ragam baku akan menimbulkan kegelian,
10
keheranan, atau kecurigaan. Jadi, pada asasnya, kita
mungkin menggunakan bahasa yang benar. Sebaliknya, kita
mungkin berbahasa yang benar yang tidak baik
penerapannya karena suasananya mensyaratkan ragam
bahasa yang lain. Maka anjuran agar kita “berbahasa
Indonesia dengan baik dan benar” dapat diartikan
pemakaian ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya.
Dan di samping itu, mengikuti kaidah bahasa yang betul.
Ungkapan “bahasa Indonesia yang baik dan benar”,
sebaliknya, mengacu ke ragam bahasa yang sekaligus
memenuhi persyaratan kebaikan dan kebenaran.
2.7 Hubungan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Daerah
Nusantara
Di Indonesia terdapat sejumlah bahasa daerah yang
masing-masing dituturkan sebagai alat perhubungan dengan
bahasa Indonesia, terjadilah proses pemengaruhan. Hal itu
nampak sekali dalam bentuk kata dan perluasan kosa kata.
Dalam bahasa daerah masa kini dapat juga disaksikan
masuknya unsur bahasa Indonesia, atau unsur bahasa asing
yang diserap lewat bahasa Indonesia. Kejadian asimilasi
bahasa itu, di satu pihak dapat membantu asimilasi bangsa,
dan di pihak lain dapat menjamin kelangsungan hidup
bahasa daerah Nusantara yang bersangkutan yang harus
menyesuaikan dirinya dengan arus perkembangan
masyarakatnya. Karena itu, hubungan kedua macam bahasa
itu sebaliknya dikembangkan ke arah tugas yang
melengkapi.
11
BAB III
KESIMPULAN
Ragam bahasa artinya variasi pemakaian suatu bahasa
yang setiap unsur variasi itu memiliki pola umum bahasa
induknya. Di dalam ragam bahasa dibahas tentang macam-
macam ragam bahasa yang ditinjau dari berbagai sudut pandang
yang berbeda, yang menghasilkan beberapa penuturan dari para
pakar bahasa.
Bahasa baku yang dijadikan sebagai tolok ukur untuk
menghasilkan nama bahasa baku dan bahasa standar, karena
bahasa baku adalah bahasa yang digunakan oleh golongan
pemuka yang memancarkan wibawa kemasyarakatan. Oleh
sebab itu, pembakuannya dimulai pada ragam bahasa perguruan
dengan berbagai coraknya.
Selain dari bahasa baku, hubungan bahasa Indonesia
dengan bahasa daerah sangat berkaitan satu sama lain karena
bahasa Indonesia berawal dari bahasa daerah yang telah
mengalami berbagai proses.
12
DAFTAR PUSTAKA
Depdikbud. 1998. Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Sudarsono. 2000. Bahasa dan Sastra Indonesia. Bogor: PT.
Pustaka Gemilang.
Suryandaru, Anindito. 1999. Bahasa Indonesia I. Semarang:
Aneka Ilmu.
13
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun panjatkan kepada Allah Swt.,
shalawat dan salam semoga selalu tercurah atas Nabi akhir
zaman, Muhammad rahmat bagi seluruh alam, yang risalahnya
tak akan sirna sampai hari qiyamah.
Dalam pembutan Makalah ini selain mencoba mengajak
pembaca ke arah pemahaman bahasa Indonesia yang
komprehensif, aktual, segar dan integral, juga telaah
memberikan petunjuk tentang bagaimana penggunaan bahasa
Indonesia secara baik dan benar.
Akhirnya, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih
yang sehangat-hangatnya kepada semua pihak yang telah
membantu terselesaikannya Makalah ini, semoga Allah Swt.
memberkahi kita sekalian. Besar harapan penulis kepada
pembaca, sudikah kiranya untuk memeriksa Makalah ini supaya
tercapai kesempurnaan di dalam penyusunan Makalah-Makalah
di masa yang akan datang.
Cipasung, Januari 2009
Penyusun
14
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................ i
DAFTAR ISI................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................. 1
BAB II RAGAM BAHASA............................................................ 2
2.1 Macam-macam Ragam Bahasa............................. 2
2.2 Ciri-ciri Diglosia..................................................... 4
2.3 Pembakuan Bahasa............................................... 5
2.4 Bahasa Baku.......................................................... 6
2.5 Fungsi Bahasa Baku.............................................. 7
2.6 Bahasa yang Baik dan Benar.................................
..............................................................................10
2.7 Hubungan Bahasa Indonesia dengan Bahasa
Daerah Nusantara.................................................
..............................................................................11
BAB III KESIMPULAN.................................................................
12
DAFTAR PUSTAKA........................................................................
....................................................................................................13
15
ii
RAGAM BAHASA INDONESIA
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah Bahasa Indonesia
Oleh:
Nama : Lathif Anwar Saleh
NPM : 08.0741.1
TK. / SMT. : I / I
Fak. / Jur. : Tarbiyah/PAI
INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNGSINGAPARNA – TASIKMALAYA
2009
16
Recommended