29
BAB 1 PENDAHULUAN Neurologi adalah cabang dari ilmu kedokteran yang menangani kelainan pada sistem saraf. Dokter yang mengkhususkan dirinya pada bidang neurologi disebut neurolog dan memiliki kemampuan untuk mendiagnosis, merawat, dan memanejemen pasien dan kelainan saraf. Kebanyakan para neurolog dilatih untuk menangani pasien dewasa. Untuk anak-anak dilakukan oleh neurolog pediatrik, yang merupakan cabang dari pediatri atau ilmu kesehatan anak. Di Indonesia, dokter dengan spesialisasi neurologi diberi gelar Sp.S. atau Spesialis Saraf. Susunan saraf dibagi atas dua bagian penting yaitu susunan saraf pusat atau sistem serebrospinal dan saraf otonom, yang mencakup susunan saraf simpatik dan susunan saraf parasimpatis. Dalam makalah ini kami mencoba untuk membahas tentang asuhan keperawatan pada pasien pre dan post operasi sistem persarafan. 1

Teori persyarafan

  • Upload
    zalmes

  • View
    310

  • Download
    4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

mmmmmmmmmmm

Citation preview

Page 1: Teori persyarafan

BAB 1

PENDAHULUAN

Neurologi adalah cabang dari ilmu kedokteran yang menangani kelainan pada sistem

saraf. Dokter yang mengkhususkan dirinya pada bidang neurologi disebut neurolog dan memiliki

kemampuan untuk mendiagnosis, merawat, dan memanejemen pasien dan kelainan saraf.

Kebanyakan para neurolog dilatih untuk menangani pasien dewasa. Untuk anak-anak dilakukan

oleh neurolog pediatrik, yang merupakan cabang dari pediatri atau ilmu kesehatan anak. Di

Indonesia, dokter dengan spesialisasi neurologi diberi gelar Sp.S. atau Spesialis Saraf.

Susunan saraf dibagi atas dua bagian penting yaitu susunan saraf pusat atau sistem

serebrospinal dan saraf otonom, yang mencakup susunan saraf simpatik dan susunan saraf

parasimpatis. Dalam makalah ini kami mencoba untuk membahas tentang asuhan keperawatan

pada pasien pre dan post operasi sistem persarafan.

1

Page 2: Teori persyarafan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Persarafan

Susunan saraf dibagi atas dua bagian penting yaitu susunan saraf pusat atau sistem

serebrospinal dan saraf otonom, yang mencakup susunan saraf simpatik dan susunan saraf

parasimpatis. Susunan saraf pusat terdiri atas otak, sumsum tulang belakang dan urat-urat saraf

atau saraf cabang yang tumbuh dari otak dan sumsum tulang belakang yang disebut urat saraf

periferi. Jaringan saraf membentuk salah satu dari empat kelompok jaringan utama pada tubuh.

Sistem saraf otonom bergantung pada sistem saraf pusat dan antara keduanya

dihubungkan urat-urat saraf aferen dan eferen. Juga memiliki sifat seolah-olah sebagai bagian

sistem saraf pusat, yang telah bermigrasi dari saraf pusat guna mencapai kelenjar, pembuluh

darah, jantung, paru-paru dan usus. Karena sistem saraf otonom itu terutama berkenaan dengan

pengendalian organ-organ dalam secara tidak sadar, kadang-kadang disebut juga susunan saraf

tak sadar.

2.2 Pendidikan Kesehatan pada Pasien Pre dan Post Operasi Sistem Persarafan

Pendidikan kesehatan pada klien diberikan melalui penyuluhan tentang pre dan post

operasi sistem persarafan. Diantaranya diinformasikan tentang persiapan-persiapan yang harus

dilakukan dalam masa pre operatif sebagai tahap awal untuk menjalani peri operatif. Perlu juga

diberikan pendidikan kesehatan pada saat post operatif yaitu dengan memberikan pengetahuan

bahwa harus menghindari trauma pada sitem persarafan.

2.3 Tindakan Kolaborasi pada Pasien Pre dan Post Operasi Sistem Persarafan

a. Obat – obatan

Steroid

b. Pemeriksaan diagnostik

1) Pemeriksaan elektrofisiologis (EMG)

2) Tap spinal

c. Terapi

2

Page 3: Teori persyarafan

1) Terapi kortikosteroid

2) Plasmaferesi

3) Ventilasi mekanis

2.4 Tindakan Monitoring pada Pasien Pre dan Post Operasi Sistem Persarafan

2.4.1 Pre Operasi

Pre operatif adalah tahapan awal dari keperawatan perioperatif. Maksudnya adalah fase

ini merupakan awalan yang menjadi landasan untuk kesuksesan tahap-tahap selanjutnya.

Pengkajian secara integral dari fungsi pasien meliputi fungsi fisik biologis dan psikologis sangat

diperlukan untuk keberhasilan dan kesuksesan suatu operasi.

Berikut ini adalah langkah-langkah yang harus dilakukan saat pre operatif:

1. Persiapan fisik pre operatif yang dialami pasien dibagi menjadi 2 tahapan, yaitu:

a. Persiapan di unit perawatan

b. Persiapan di ruang operasi

2. Lakukan pemeriksaan status kesehatan secara umum meliputi identitas klien ,

riwayat penyakit, dll.

3. Lakukan pemeriksaan kasus nutrisi, kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur

tinggi badan dan berat badan.

4. Balance cairan dan elektrolit perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input dan

output cairan. Demikian juga kadar elektrolit serum harus berada dalam rentang

normal.

2.4.2 Post Operasi

Post operasi adalah masa yang dimulai ketika masuknya pasien ke ruang pemulihan dan

berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau di rumah.

Pembedahan pada dasarnya merupakan trauma yang akan menimbulkan perubahan faal, sebagai

respon terhadap trauma. Berikut ini hal-hal yang harus dipantau secara faktuil, singkat, jelas, dan

lengkap, dan dituliskan setiap harinya dalam periode yang berlangsung tepat sesudah

pembedahan:

1. Uraian secara umum: kesiapan mental, kesadaran, toleransi terhadap rasa sakit dll

2. Tanda-tanda vital

3

Page 4: Teori persyarafan

3. Respirasi kepatenan jalan nafas, kedalaman, frekuensi, sifat dan bunyi nafas

4. Neurologi: tingkat respon klien

5. Drainase: kondisi balutan ( adanya drainase atau tidak )

6. Kenyamanan: tipe dan lokasi nyeri, mual dan muntah, perubahan posisi yang

diperlukan

7. Psikologi: kebutuhan akan istirahat dan tidur, sifat dan pertanyaan pasien

8. Keselamatan: kebutuhan akan pagar tempat tidur, drainase selang tidak tersumbat.

9. Diit ( misalnya toleransi terhadap cairan dan makanan )

10. Tes diagnostik

2.5 Pemeriksaan Sistem Persarafan

2.5.1 Pengkajian Fisik dan Tes Diagnostik

1. Tingkat kesadaran :

a. Alert : Composmentis / kesadaran penuh

Pasien berespon secara tepat terhadap stimulus minimal, tanpa stimuli individu

terjaga dan sadar terhadap diri dan lingkungan.

b. Lethargic : Kesadaran

1) Klien seperti tertidur jika tidak di stimuli, tampak seperti enggan bicara.

2) Dengan sentuhan ringan, verbal, stimulus minimal, mungkin klien dapat

berespon dengan cepat.

3) Dengan pertanyaan kompleks akan tampak bingung.

c. Obtuned

Klien memerlukan rangsangan yang lebih besar agar dapat memberikan respon

misalnya rangsangan sakit, respon verbal dan kalimat membingungkan.

d. Stuporus

1) Klien dengan rangsang kuat tidak akan memberikan rangsang verbal.

2) Pergerakan tidak berarti berhubungan dengan stimulus

2. Glasgow Coma Scale (GCS)

Score : 3 – 4 : vegetatif, hanya organ otonom yang bekerja

11 : moderate disability

4

Page 5: Teori persyarafan

15 : composmentis

Adapun scoring tersebut adalah :

a. Respon Scoring

1) Respon membuka mata ( E = Eye )

2) Spontan ( 4 )

3) Dengan perintah ( 3 )

4) Dengan nyeri ( 2 )

5) Tidak berespon ( 1 )

b. Respon Verbal ( V )

1) Berorientasi (5)

2) Bicara membingungkan (4)

3) Kata-kata tidak tepat (3)

4) Suara tidak dapat dimengerti (2)

5) Tidak ada respons (1)

c. Respon Motorik (M )

1) Dengan perintah (6)

2) Melokalisasi nyeri (5)

3) Menarik area yang nyeri (4)

4) Menjauhi rangsangan nyeri (fleksi abnormal)/postur dekortikasi (3)

5) Ekstensi abnormal/postur deserebrasi (2)

6) Tidak berespon (1)

3. Saraf kranial :

a. Test nervus I (Olfactory)

Fungsi penciuman

1) Test pemeriksaan, klien tutup mata dan minta klien mencium benda yang

baunya mudah dikenal seperti sabun, tembakau, kopi dan sebagainya.

2) Bandingkan dengan hidung bagian kiri dan kanan.

b. Test nervus II ( Optikus)

Fungsi aktifitas visual dan lapang pandang

5

Page 6: Teori persyarafan

1) Test aktifitas visual, tutup satu mata klien kemudian suruh baca dua baris di

koran, ulangi untuk satunya.

2) Test lapang pandang, klien tutup mata kiri, pemeriksa di kanan, klien

memandang hidung pemeriksa yang memegang pena warna cerah, gerakkan

perlahan obyek tersebut, informasikan agar klien langsung memberitahu

klien melihat benda tersebut, ulangi mata kedua.

c. Test nervus III, IV, VI (Oculomotorius, Trochlear dan Abducens)

Fungsi koordinasi gerakan mata dan kontriksi pupil mata (N III).

1) Test N III Oculomotorius (respon pupil terhadap cahaya), menyorotkan

senter kedalam tiap pupil mulai menyinari dari arah belakang dari sisi klien

dan sinari satu mata (jangan keduanya), perhatikan kontriksi pupil kena

sinar.

2) Test N IV Trochlear, kepala tegak lurus, letakkan obyek kurang lebih 60 cm

sejajar mid line mata, gerakkan obyek kearah kanan. Observasi adanya

deviasi bola mata, diplopia, nistagmus.

3) Test N VI Abducens, minta klien untuk melihat kearah kiri dan kanan tanpa

menengok.

d. Test nervus V (Trigeminus)

Fungsi sensasi, caranya dengan mengusap pilihan kapas pada kelopak mata atas

dan bawah.

1) Refleks kornea langsung maka gerakan mengedip ipsilateral.

2) Refleks kornea consensual maka gerakan mengedip kontralateral.

3) Usap pula dengan pilihan kapas pada maxilla dan mandibula dengan mata

klien tertutup. Perhatikan apakah klien merasakan adanya sentuhan.

4) Fungsi motorik, caranya : klien disuruh mengunyah, pemeriksa melakukan

palpasi pada otot temporal dan masseter.

e. Test nervus VII (Facialis)

1) Fungsi sensasi, kaji sensasi rasa bagian anterior lidah, terhadap asam, manis,

asin pahit. Klien tutup mata, usapkan larutan berasa dengan kapas/teteskan,

6

Page 7: Teori persyarafan

klien tidak boleh menarik masuk lidahnya karena akan merangsang pula sisi

yang sehat.

2) Otonom, lakrimasi dan salivasi

3) Fungsi motorik, kontrol ekspresi muka dengancara meminta klien untuk :

tersenyum, mengerutkan dahi, menutup mata sementara pemeriksa berusaha

membukanya

f. Test nervus VIII (Acustikus)

Fungsi sensoris

1) Cochlear (mengkaji pendengaran), tutup satu telinga klien, pemeriksa

berbisik di satu telinga lain, atau menggesekkan jari bergantian kanan-kiri.

2) Vestibulator (mengkaji keseimbangan), klien diminta berjalan lurus, apakah

dapat melakukan atau tidak.

g. Test nervus IX (Glossopharingeal) dan nervus X (Vagus)

1) N IX, mempersarafi perasaan mengecap pada 1/3 posterior lidah, tapi bagian

ini sulit di test demikian pula dengan M.Stylopharingeus. Bagian

parasimpatik N IX mempersarafi M. Salivarius inferior.

2) N X, mempersarafi organ viseral dan thoracal, pergerakan ovula, palatum

lunak, sensasi pharynx, tonsil dan palatum lunak.

Test : inspeksi gerakan ovula (saat klien menguapkan “ah”) apakah

simetris dan tertarik keatas.

Refleks menelan : dengan cara menekan posterior dinding pharynx

dengan tong spatel, akan terlihat klien seperti menelan.

h. Test nervus XI (Accessorius)

1) Klien disuruh menoleh kesamping melawan tahanan. Apakah

Sternocledomastodeus dapat terlihat ? apakah atropi ? kemudian palpasi

kekuatannya.

2) Minta klien mengangkat bahu dan pemeriksa berusaha menahan, test otot

trapezius.

i. Nervus XII (Hypoglosus)

7

Page 8: Teori persyarafan

1) Mengkaji gerakan lidah saat bicara dan menelan

2) Inspeksi posisi lidah (mormal, asimetris / deviasi)

3) Keluarkan lidah klien (oleh sendiri) dan memasukkan dengan cepat dan

minta untuk menggerakkan ke kiri dan ke kanan.

2.5.2 Fungsi Sensorik

Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit diantara pemeriksaan sistem

persarafan yang lain, karena sangat subyektif sekali. Oleh sebab itu sebaiknya dilakukan paling

akhir dan perlu diulang pada kesempatan yang lain (tetapi ada yang menganjurkan dilakukan

pada permulaan pemeriksaan karena pasien belum lelah dan masih bisa konsentrasi dengan

baik).

Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien digambarkan sebagai perasaan geli

(tingling), mati rasa (numbless), rasa terbakar/panas (burning), rasa dingin (coldness) atau

perasaan-perasaan abnormal yang lain. Bahkan tidak jarang keluhan motorik (kelemahan otot,

twitching / kedutan, miotonia, cramp dan sebagainya) disajikan oleh klien sebagai keluhan

sensorik. Bahan yang dipakai untuk pemeriksaan sensorik meliputi:

1. Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum pada perlengkapan

refleks hammer), untuk rasa nyeri superfisial.

2. Kapas untuk rasa raba.

3. Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu.

4. Garpu tala, untuk rasa getar.

5. Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti : Jangka, untuk 2

(two) point tactile dyscrimination.

6. Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan sebagainya), untuk

pemeriksaan stereognosis

7. Pen / pensil, untuk graphesthesia.

2.5.3 Sistem Motorik

Sistem motorik sangat kompleks, berasal dari daerah motorik di corteks cerebri, impuls

berjalan ke kapsula interna, bersilangan di batang traktus pyramidal medulla spinalis dan

bersinaps dengan lower motor neuron.8

Page 9: Teori persyarafan

Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara observasi dan pemeriksaan kekuatan.

1. Massa otot :

hypertropi, normal dan atropi

2. Tonus otot :

Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota gerak pada berbagai persendian

secara pasif. Bila tangan / tungkai klien ditekuk secara berganti-ganti dan berulang

dapat dirasakan oleh pemeriksa suatu tenaga yang agak menahan pergerakan pasif

sehingga tenaga itu mencerminkan tonus otot. Bila tenaga itu terasa jelas maka tonus

otot adalah tinggi. Keadaan otot disebut kaku. Bila kekuatan otot klien tidak dapat

berubah, melainkan tetap sama. Pada tiap gerakan pasif dinamakan kekuatan spastis.

Suatu kondisi dimana kekuatan otot tidak tetap tapi bergelombang dalam melakukan

fleksi dan ekstensi extremitas klien. Sementara penderita dalam keadaan rileks,

lakukan test untuk menguji tahanan terhadap fleksi pasif sendi siku, sendi lutut dan

sendi pergelangan tangan. Normal, terhadap tahanan pasif yang ringan / minimal dan

halus.

3. Kekuatan otot :

Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji. Klien secara aktif

menahan tenaga yang ditemukan oleh sipemeriksa. Otot yang diuji biasanya dapat

dilihat dan diraba. Gunakan penentuan singkat kekuatan otot dengan skala Lovett’s

(memiliki nilai 0 – 5)

0 = Tidak ada kontraksi sama sekali.

1 = Gerakan kontraksi.

2 = Kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat kalau melawan tahanan atau

gravitasi.

3 = Cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.

4 = Cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.

5 = Kekuatan kontraksi yang penuh.

2.5.4 Aktifitas Refleks

Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan refleks hammer.

Skala untuk peringkat refleks yaitu :

0 = Tidak ada respon9

Page 10: Teori persyarafan

1 = Hypoactive / penurunan respon, kelemahan ( + )

2 = Normal ( ++ )

3 = Lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal ( +++ )

4 = Hyperaktif, dengan klonus ( ++++ )

Refleks – refleks yang diperiksa adalah :

1. Refleks patella

Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi kurang lebih 300.

Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae) dipukul dengan

refleks hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris yaitu ekstensi dari

lutut.

2. Refleks biceps

Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 90o , supinasi dan lengan bawah

ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa ditempatkan pada tendon

m. Biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul dengan refleks hammer.

Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi fleksi

sebagian dan gerakan pronasi. Bila hiperaktif maka akan terjadi penyebaran gerakan

fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.

3. Refleks triceps

Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900, tendon triceps diketok dengan

refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas olekranon).

Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila ekstensi

ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebar keatas sampai otot-otot

bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.

4. Refleks achilles

Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini kaki yang

diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas tungkai bawah kontralateral.

Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal berupa gerakan

plantar fleksi kaki.

5. Refleks abdominal10

Page 11: Teori persyarafan

Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus. Kalau digores

seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah daerah yang digores.

6. Refleks Babinski

Merupakan refleks yang paling penting . Ia hanya dijumpai pada penyakit traktus

kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah kuat-kuat bagian lateral telapak

kaki dari tumit kearah jari kelingking dan kemudian melintasi bagian jantung kaki.

Respon Babinski timbul jika ibu jari kaki melakukan dorsifleksi dan jari-jari lainnya

tersebar. Respon yang normal adalah fleksi plantar semua jari kaki.

2.6 Pemeriksaan Khusus Sistem Persarafan

Untuk mengetahui rangsangan selaput otak (misalnya pada meningitis) dilakukan

pemeriksaan :

1. Kaku kuduk

Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat menempel

pada dada, kaku kuduk positif (+).

2. Tanda Brudzinski I

Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien dan tangan lain didada klien

untuk mencegah badan tidak terangkat. Kemudian kepala klien difleksikan kedada

secara pasif. Brudzinski I positif (+) bila kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi

panggul dan sendi lutut.

3. Tanda Brudzinski II

Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien pada sendi panggul secara

pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan lutut

4. Tanda Kernig

Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi

lutut. Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut 1350 terhadap tungkai atas.

Kernig + bila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit terhadap hambatan.

5. Test Laseque

11

Page 12: Teori persyarafan

Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan nyeri sepanjang

m. ischiadicus.

BAB 3

PEMBAHASAN

3.1 Tumor otak

3.1.1 definisi

12

Page 13: Teori persyarafan

Tumor otak adalah terdapatnya lesi yang ditimbulkan karena ada desakan ruang baik

jinak maupun ganas yang tumbuh di otak, meningen, dan tengkorak. (price, A. Sylvia, 1995:

1030). Tumor otak adalah suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak (benigna) ataupun ganas

(maligna) membentuk massa dalam ruang tengkorak kepala (intra cranial) atau di sumsum tulang

belakang (medulla spinalis). Neoplasma pada jaringan otak dan selaputnya dapat berupa tumor

primer maupun metastase. Apabila sel-sel tumor berasal dari jaringan otak itu sendiri disebut

tumor otak primer dan bila berasal dari organ-organ lain (metastase) seperti kanker paru,

payudara, prostate, ginjal, dan lain-lain disebut tumor otak sekunder. (Mayer. SA,2002).

3.1.2 klasifikasi

Tumor otak dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Berdasarkan Jenis Tumor

a. Jinak

1. Acoustic neuroma

2. Meningioma

Sebagian besar tumor bersifat jinak, berkapsul, dan tidak menginfiltrasi jaringan sekitarnya

tetapi menekan struktur yang berada di bawahnya. Pasien usia tua sering terkena dan perempuan

lebih sering terkena dari pada laki-laki. Tumor ini sering kali memiliki banyak pembuluh darah

sehingga mampu menyerap isotop radioaktif saat dilakukan pemeriksaan CT scan otak.

1. Pituitary adenoma

2. Astrocytoma (grade I)

b. Malignant

1. Astrocytoma (grade 2,3,4)

2. Oligodendroglioma

1. . Klasifikasi

13

Page 14: Teori persyarafan

Berdasarkan lokasi

1. Tumor intradura

a) Ekstramedular

- Cleurofibroma

- Meningioma

b) Intramedula

- Apendymom

- Astrocytoma

- Oligodendroglioma

- Hemangioblastoma

2). Tumor ekstradural

Tumor ini dapat timbul sebagai gangguan kejang parsial yang dapat muncul hingga 10

tahun. Secara klinis bersifat agresif dan menyebabkan simptomatologi bermakna akibat

peningkatan tekanan intrakranial dan merupakan keganasan pada manusia yang paling bersifat

kemosensitif.

3.1.3 Etiologi Tumor Otak

Penyebab tumor hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti walaupun telah banyak

penyelidikan yang dilakukan. Adapun faktor-faktor yang perlu ditinjau, yaitu:

1. Herediter

14

Page 15: Teori persyarafan

Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan kecuali pada

meningioma, astrocytoma dan neurofibroma dapat dijumpai pada anggota-anggota

sekeluarga. Sklerosis tuberose atau penyakit Sturge-Weber yang dapat dianggap sebagai

manifestasi pertumbuhan baru memperlihatkan faktor familial yang jelas. Selain jenis-

jenis neoplasma tersebut tidak ada bukti-bukti yang kuat untuk memikirkan adanya

faktor-faktor hereditas yang kuat pada neoplasma.

2. Sisa-sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest)

Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-bangunan yang

mempunyai morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam tubuh. Ada kalanya sebagian

dari bangunan embrional tertinggal dalam tubuh menjadi ganas dan merusak bangunan di

sekitarnya. Perkembangan abnormal itu dapat terjadi pada kraniofaringioma, teratoma

intrakranial dan kordoma.

3. Radiasi

Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat mengalami perubahan

degenerasi namun belum ada bukti radiasi dapat memicu terjadinya suatu glioma.

Meningioma pernah dilaporkan terjadi setelah timbulnya suatu radiasi.

4. Virus

Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil dan besar yang dilakukan

dengan maksud untuk mengetahui peran infeksi virus dalam proses terjadinya neoplasma

tetapi hingga saat ini belum ditemukan hubungan antara infeksi virus dengan

perkembangan tumor pada sistem saraf pusat.

5. Substansi-substansi karsinogenik

Kini telah diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik seperti methylcholanthrone,

nitroso-ethyl-urea. Ini berdasarkan percobaan yang dilakukan pada hewan.

3.1.4 Menisfestasi Klinis

15

Page 16: Teori persyarafan

a) Nyeri Kepala

Merupakan gejala awal pada 20% penderita dengan tumor otak yang kemudian

berkembang menjadi 60%. Nyerinya tumpul dan intermitten. Nyeri kepala berat juga

sering diperhebat oleh perubahan posisi, batuk, maneuver valsava dan aktivitas fisik.

Muntah ditemukan bersama nyeri kepala pada 50% penderita. Nyeri kepala ipsilateral

pada tumor supratentorial sebanyak 80 % dan terutama pada bagian frontal. Tumor pada

fossa posterior memberikan nyeri alih ke oksiput dan leher.

b) Perubahan Status Mental

Gangguan konsentrasi, cepat lupa, perubahan kepribadian, perubahan mood dan

berkurangnya inisiatif adalah gejala-gejala umum pada penderita dengan tumor lobus

frontal atau temporal. Gejala ini bertambah buruk dan jika tidak ditangani dapat

menyebabkan terjadinya somnolen hingga koma.

c) Seizure

Adalah gejala utama dari tumor yang perkembangannya lambat seperti astrositoma,

oligodendroglioma dan meningioma. Paling sering terjadi pada tumor di lobus frontal

baru kemudian tumor pada lobus parietal dan temporal.

d) Edema Papil

Gejala umum yang tidak berlangsung lama pada tumor otak, sebab dengan teknik

neuroimaging tumor dapat segera dideteksi. Edema papil pada awalnya tidak

menimbulkan gejala hilangnya kemampuan untuk melihat, tetapi edema papil yang

berkelanjutan dapat menyebabkan perluasan bintik buta, penyempitan lapangan pandang

perifer dan menyebabkan penglihatan kabur yang tidak menetap.

e) Muntah

Muntah sering mengindikasikan tumor yang luas dengan efek dari massa tumor tersebut

juga mengindikasikan adanya pergeseran otak. Muntah berulang pada pagi dan malam

16

Page 17: Teori persyarafan

hari, dimana muntah yang proyektil tanpa didahului mual menambah kecurigaan adanya

massa intracranial.

f) Vertigo

Pasien merasakan pusing yang berputar dan mau jatuh.

3.1.5 Patofisiologi

Tumor otak menyebabkan gangguan neurologis. Gejala-gejala terjadi berurutan. Hal ini

menekankan pentingnya anamnesis dalam pemeriksaan klien. Gejala-gejalanya sebaiknya

dibicarakan dalam suatu perspektif waktu. Gejala neurologik pada tumor otak biasanya dianggap

disebabkan oleh 2 faktor gangguan fokal, disebabkan oleh tumor dan tekanan intrakranial.

Gangguan fokal terjadi apabila penekanan pada jaringan otak dan infiltrasi/invasi langsung pada

parenkim otak dengan kerusakan jaringan neuron. Tentu saja disfungsi yang paling besar terjadi

pada tumor yang tumbuh paling cepat. Perubahan suplai darah akibat tekanan yang ditimbulkan

tumor yang tumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada

umumnya bermanifestasi sebagai kehilangan fungsi secara akut dan mungkin dapat dikacaukan

dengan gangguan cerebrovaskuler primer.

3.1.6 Pemeriksaan Diagnostik Tumor Otak

1. CT scan dan MRI

2. Foto polos dada

3. Pemeriksaan cairan serebrospinal

4. Biopsi stereotaktik

5. Angiografi Serebral

6. Elektroensefalogram (EEG)

17

Page 18: Teori persyarafan

18

Page 19: Teori persyarafan

3.2 Pengkajian pre op pada pasien tumor otak

3.2.1 Pengkajian

Point penting dalam riwayat keperawatan preoperative :

a) Umur

b) Alergi terhadap obat, makanan

c) Pengalaman pembedahan

d) Pengalaman anestesi

e) Tembakau, alcohol, obat-obatan

f) Lingkungan

g) Kemampuan self care

h) Support system

3.2.2 Pemeriksaan fisik

a) Pengkajian dasar preop dilakukan untuk :

b) Menentukan data dasar

c) Masalah pengobatan yang tersembunyi

d) Potensial komplikasi s.d. anestesi

e) Potensial komplikasi post op.

Fokus : Riwayat dan sitem tubuh yang mempengaruhi prosedur pembedahan.

a) System kardiovaskuler

Untuk menentukan kekuatan jantung dan kemampuan untuk menttoleransi pembedahan

dan anestesi. Perubahan jantung à 39 % kematian perioperatif.

b) Sisten pernapasan

Lansia, smoker, PPOM à resiko atelektasis, kolap jaringan paru.

à Mencegah pertukaran oksigen/CO2

à Intoleransi karena perubahan dalam dada dan paru.

à Regiditas cavum thoraks dan menurunnya ekspansi paru à efisiensi ekskresi paru

terhadap anestesi menurun.

19

Page 20: Teori persyarafan

c) Renal system

Abnormal renal fungsi menurunkan rata ekskresi obat dan anestesi Skopolamin, morphin

à konfusi disorientasi

d) Neuorologi system

1. Muskulussceletal

Defomitas à mempengaruhi posisi intra dan post-operasi

Artritis à menerima posisi à nyeri post-operasi oleh karena immobilisas

2. Status nutrisi

Malnutrisi,obesitas à resiko tinggi pembedahanVit. C , vit.b diperlukan untuk

penyembuhan luka dan pembentukan fibrin.Obesitas à wondhiling menurun oleh

karena jaringan lemak tinggi.

e) Psikososial asesment

Tujuan : menentukan kemampuan coping

Informasi

Support

f) Laboratorium

Analisis:

1. Pengetahuan kurang sehubungan dengan pengalaman pre-op

2. Kecemasan sehubungan dengan pengalaman pre-op

Planning :

Pengetahuan kurang ( knowledge defisite )

Tujuan : klien mengatakan dan mematuhi prosedur pre-op mendemostrasikan teknik

untuk mencegah komplikasi post-op

Intervensi

Fokus : edukasi pre-operasi

Informasi : informed consent, pembatasan diit, pre-operatip preparation, post-op

exersice.

20

Page 21: Teori persyarafan

Informed consent :

- alasan pembedahan

- pilhan dan resikonya

- resiko pembedahan

- resiko anestesi

Pembatasan diit à npo (nothing per oral )à 6 – 8 jam sebelum pembedahanGi (gastro

intestinal ) preparasi :

- mencegah perlukaan colon

- melihat jelas area

- mengurangi bacteri intestinal

Skin preparasi Tube, drain, i v line Post – op exercise :

- diaphragmatic breating

- incestive spirometri

- cougling and spinting the surgical wound

- turning and leg exercise

Kecemasan :

Tujuan : kecemasan clien menurun , menunjukkan relaksasi saat istirahati ntervensi :

- preoperatip teaching

- comunikatip

- rest.

INTERVENSI KLIEN INTRA OPERATIF

Anggota Tim Pembedahan

Tim pembedahan terdiri dari :

Ahli bedah

Tim pembedahan dipimpin oleh ahli bedah senior atau ahli bedah yang sudah melakukan

operasi. Asisten pembedahan (1orang atau lebih) asisten bias dokter, riside, atau perawat, di

bawah petunjuk ahli bedah. Asisten memegang retractor dan suction untuk melihat letak operasi.

Anaesthesologist atau perawat anaesthesi.

21

Page 22: Teori persyarafan

Perawat anesthei memberikan obat-obat anesthesia dan obat-obat lain untuk

mempertahankan status fisik klien selama pembedahan.

Circulating Nurse

Peran vital sebelum, selama dan sesudah pembedahan.

Tugas :

− Set up ruangan operasi

− Menjaga kebutuhan alat

− Check up keamanan dan fungsi semua peralatan sebelum pembedahan

− Posisi klien dan kebersihan daerah operasi sebelum drapping.

− Memenuhi kebutuhan klien, memberi dukungan mental, orientasi klien.

Selama pembedahan :

- Mengkoordinasikan aktivitas

- Mengimplementasikan NCP

- Membenatu anesthetic

- Mendokumentasikan secara lengkap drain, kateter, dll.

Surgical technologist atau Nurse scrub; bertanggung jawab menyiapkan dan

mengendalikan peralatan steril dan instrumen, kepada ahli bedah/asisten. Pengetahuan anatomi

fisiologi dan prosedur pembedahan memudahkan antisipasi instrumen apa yang dibutuhkan.

Penyiapan kamar dan team pembedahan.

Keamanan klien diatur dengan adanya ikat klien dan pengunci meja operasi. Dua factor

penting yang berhubungan dengan keamanan kamar pembedahan : lay out kamar operasi dan

pencegahan infeksi.

1). Lay Out pembedahan.

Ruang harus terletak diluar gedung RS dan bersebelahan dengan RR dan pelayanan

pendukung ( bank darah, bagian pathologi dan radiology, dan bagian logistik).Alur lalu lintas

yang menyebabkan kontaminasi dan ada pemisahan antara hal yang bersih dan terkontaminasi à

design (protektif, bersih, steril,dan kotor).Besar ruangan tergantung pada ukuran dan kemampuan

rumah sakit.

22

Page 23: Teori persyarafan

Umumnya :

Kamar terima

• Ruang untuk poeralatan bersih dan kotor.

• Ruang linen bersih.

• Ruang ganti

• Ruang umummuntuk pembersihan dan sterilisasi alat.

• Scrub area.

• Ruang operasi terdiri dari :

• Stretcher atau meja operasi.

• Lampu operasi.

• Anesthesia station.

• Meja dan standar instrumen.

• Peralatan suction.

• System komunikasi.

3.3 Pengkajian post op tumor otak

Pembedahan adalah pengobatan yang paling umum untuk tumor otak. Tujuannya adalah

untuk mengangkat sebanyak tumornya dan meminimalisir sebisa mungkin peluang kehilangan

fungsi otak.

Operasi

Untuk membuka tulang tengkorak disebut kraniotomi. Hal ini dilakukan dengan anestesi

umum. Sebelum operasi dimulai, rambut kepala dicukur. Ahli bedah kemudian membuat sayatan

di kulit kepala menggunakan sejenis gergaji khusus untuk mengangkat sepotong tulang dari

tengkorak. Setelah menghapus sebagian atau seluruh tumor, ahli bedah menutup kembali bukaan

tersebut dengan potongan tulang tadi, sepotong metal atau bahan. Ahli bedah kemudian

menutup sayatan di kulit kepala. Beberapa ahli bedah dapat menggunakan saluran yang

ditempatkan di bawah kulit kepala selama satu atau dua hari setelah operasi untuk

meminimalkan akumulasi darah atau cairan.

23

Page 24: Teori persyarafan

Efek samping yang mungkin timbul pasca operasi pembedahan tumor otak adalah sakit

kepala atau rasa tidak nyaman selama beberapa hari pertama setelah operasi. Dalam hal ini dapat

diberikan obat sakit kepala.

ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Identifikasi faktor resiko paparan dengan radiasi atau bahan – bahan kimia yang bersifat

carcinogenik.

Identifikasi tanda dan gejala yang dialami: sakit kepala, muntah dan penurunan

penglihatan atau penglihatan double.

Identifikasi adanya perubahan perilaku klien.

Observasi adanya hemiparase atau hemiplegi.

Perubahan pada sensasi: hyperesthesia, paresthesia.

Observasi adanya perubahan sensori: asteregnosis (tidak mampu merasakan benda

tajam), agnosia (tidak mampu mengenal objek pada umumnya), apraxia (tidak mampu

menggunakan alat dengan baik), agraphia (tidak mampu menulis).

Observasi tingkat kesadran dan tanda vital.

Observasi keadaan keseimbangan cairan dan elektrolit.

Psikososial: perubahan kepribadian dan perilaku, kesulitan mengambil keputusan,

kecemasan dan ketakutan hospitalisasi, diagnostic test dan prosedur pembedahan, adanya

perubahan peran.

Laboratorium:

a. Jika tidak ada kontraindikasi: lumbal puncti.

b. Fungsi endokrin

Radiografi:

a. CT scan.

b. Electroencephalogram

c. Χ - ray paru dan organ lain umtuk mencari adanya metastase.

2. Diagnosa Keperawatan

24

Page 25: Teori persyarafan

Perubahan perfusi jaringan otak b/d kerusakan sirkulasi akibat penekanan oleh tumor.

Nyeri b/d peningkatan tekanan intrakranial.

Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b/d ketidakmampuan

mengenal informasi.

3. Rencana Intervensi

a. Perubahan perfusi jaringan otak b/d kerusakan sirkulasi akibat penekanan oleh tumor.

Data penunjang: peruabhan tingkat kesadaran, kehilangan memori, perubahan respon

sensorik/motorik, gelisah, perubahan tanda vital.

Kriteria hasil: Tingkat kesadaran stabil atau ada perbaikan, tidak adan tanda – tanda

peningaktan TIK.

Intervensi Rasional• Pantau status neurologis secara

teratur dan bandingkan dengan

nilai standar.

• Pantau tanda vital tiap 4 jam.

• Pertahankan posisi netral atau

posisi tengah, tinggikan kepala

200-300.

• Pantau ketat pemasukan dan

pengeluaran cairan, turgor kulit

• Mengkaji adanya perubahan pada

tingkat kesadran dan potensial

peningaktan TIK dan bermanfaat dalam

menentukan okasi, perluasan dan

perkembangan kerusakan SSP.

• Normalnya autoregulasi

mempertahankan aliran darah ke otak

yang stabil. Kehilanagn autoregulasi

dapat mengikuti kerusakan

vaskularisasi serebral lokal dan

menyeluruh.

• Kepala yang miring pada salah satu

sisi menekan vena jugularis dan

menghambat aliran darah vena yang

selanjutnya akan meningkatkan TIK.

• Bermanfaat sebagai indikator dari

25

Page 26: Teori persyarafan

dan keadaan membran mukosa.

• Bantu pasien untuk

menghindari/membatasi batuk,

muntah, pengeluaran feses yang

dipaksakan/mengejan.

• Perhatikan adanya gelisah

yang meningkat, peningkatan

keluhan dan tingkah laku yang

tidak sesuai lainnya.

cairan total tubuh yang terintegrasi

dengan perfusi jaringan.

• Aktivitas ini akan meningkatkan

tekanan intra toraks dan intra abdomen

yang dapat meningkatkan TIK.

• Petunjuk non verbal ini

mengindikasikan adanya penekanan

TIK atau mennadakan adanya nyeri

ketika pasien tidak dapat

mengungkapkan keluhannya secara

verbal.

b. Nyeri b/d peningkatan tekanan intrakranial.

Data penunjang: klien mengatakan nyeri, pucat pada wajah, gelisah, perilaku tidak

terarah/hati – hati, insomnia, perubahan pola tidur.

Kriteria hasil: Klien melaporkan nyeri berkurang/terkontrol, klien menunjukkan perilaku

untuk mengurangi kekambuhan.

Intervensi Rasional• Teliti keluhan nyeri: intensitas,

karakteristik, lokasi, lamanya, faktor

yang memperburuk dan meredakan.

• Observasi adanya tanda-tanda nyeri non

• Nyeri merupakan pengalaman

subjektif dan harus dijelaskan oleh

pasien. Identifikasi karakteristik nyeri

dan faktor yang berhubungan

merupakan suatu hal yang amat

penting untuk memilih intervensi yang

cocok dan untuk mengevaluasi

keefektifan dari terapi yang diberikan.

• Merupakan indikator/derajat nyeri

26

Page 27: Teori persyarafan

verbal seperti ekspresi wajah, gelisah,

menangis/meringis, perubahan tanda

vital.

• Instruksikan pasien/keluarga untuk

melaporkan nyeri dengan segera jika

nyeri timbul.

• Berikan kompres dingin pada kepala.

yang tidak langsung yang dialami.

• Pengenalan segera meningkatkan

intervensi dini dan dapat mengurangi

beratnya serangan.

• Meningkatkan rasa nyaman dengan

menurunkan vasodilatasi.

c. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b/d ketidakmampuan

mengenal informasi.

Data penunjang: Klien dan keluarga meminta informasi, ketidakakuratan mengikuti

instruksi, perilaku yang tidak tepat.

Kriteria hasil: Klien/keluarga mengungkapkan pemahaman tentang kondisi dan

pengobatan, memulai perubahan perilaku yang tepat.

Intervensi Rasional• Diskusikan etiologi individual dari sakit

kepala bila diketahui.

• Bantu pasien dalam mengidentifikasikan

kemungkinan faktor predisposisi.

• Diskusikan mengenai pentingnya

posisi/letak tubuh yang normal.

• Mempengaruhi pemilihan terhadap

penanganan dan berkembnag ke arah

proses penyembuhan.

• Menghindari/membatasi faktor-

faktor yang sering kali dapat

mencegah berulangnya serangan.

• Menurunkan regangan pada otot

daerah leher dan lengan dan dapat

menghilangkan ketegangan dari

27

Page 28: Teori persyarafan

• Diskusikan tentang obat dan efek

sampingnya.

tubuh dengan sangat berarti.

• Pasien mungkin menjadi sangat

ketergantungan terhadap obat dan

tidak mengenali bentuk terapi yang

lain.

Daftar pustaka

Carpenito. 1998. Diagnosa Keperawatan. Edisi vi. Jakarta: Buku kedokteran EGC.

Hudak dan Gallo. 1996. Perawatan Kritis. Edisi V. Volume II. Jakarta: Buku kedokteran

EGC.

28

Page 29: Teori persyarafan

Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan. 1995. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan

Ganggungan Persyarafan. Jakarta.

Sutanto. 1998. Mata Ajaran Gangguan Sistem Persyarafan. Yogyakarta.

Juan, Lynda. 1995. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: EGC

www. Google. Sistem persyarafan.

29