74
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI S1 TEKNIK LINGKUNGAN Jalan Jenderal A. Yani Km.36 Banjarbaru 70714 Telp.(0511) 4773858 Fax. (0511) 4781730 Laman : http://ft.unlam.ac.id

MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK LINGKUNGAN Jalan Jenderal A. Yani Km.36 Banjarbaru – 70714

Telp.(0511) 4773858 – Fax. (0511) 4781730

Laman : http://ft.unlam.ac.id

Page 2: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Terima Kasih Kepada :

Dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini sehingga

dapat selesai dengan baik dan tepat waktu.

Page 3: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

MAKALAH

EPIDEMIOLOGI

INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA)

PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN

SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

OLEH :

RIMA SARI ARISNAWATI H1E112034

AFWAN ALKARIMY H1E112052

ANTUNG NUR RAHMILIYANTI H1E112204

MARIAN NOVIEANU H1E112210

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM S-1 TEKNIK LINGKUNGAN

BANJARBARU

2014

Page 4: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Batubara merupakan salah satu sumber daya alam yang

keberadaanya melimpah di Indonesia. Berdasarkan data yang dikeluarkan

Badan Geologi, Kementerian ESDM tahun 2009, total sumber daya

batubara yang dimiliki Indonesia mencapai 104.940 Milyar Ton dengan

total cadangan sebesar 21.13 Milyar Ton. Batubara merupakan sedimen

organik, lebih tepatnya merupakan batuan organik, terdiri dari kandungan

bermacam-macam pseudomineral. Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan

yang membusuk dan terkumpul dalam suatu daerah dengan kondisi

banyak air, biasa disebut rawa-rawa. Kondisi tersebut yang menghambat

penguraian menyeluruh dari sisa-sisa tumbuhan yang kemudian

mengalami proses perubahan menjadi batubara (Susilawati 1992).

Dari penambangan Batubara ini dapat membuat masalah kesehatan

khuusnya pada anak-anak yang dipengaruhi oleh dua persoalan utama

yaitu tingginya angka kesakitan dan angka kematian. Angka kesakitan dan

angka kematian merupakan salah satu indikator derajat kesehatan yang

disebabkan oleh kurangnya penanganan keluarga dalam menanggulangi

penyakit infeksi khususnya penyakit ISPA . ISPA adalah penyakit yang

sangat umum dijumpai pada anak-anak dengan gejala batuk, pilek, panas

(demam) atau gejala tersebut muncul secara bersamaan, ISPA juga dapat

menyerah orang dewasa di kawasan pertambangan karena partikulat-

partikulat yang bertebaran di udara karena aktivitas pertambangan itu

sendiri (Meadow, Sir Roy, 2002).

Dalam menurunkan angka kejadianan ISPA diperlukan peran aktif

petugas kesehatan dalam menyampaikan informasi terutama tentang

faktor-faktor yang berhubungan dengan ISPA, dimana salah satu faktor

yang perlu diketahui adalah cara pencegahan dan perawatan ISPA. Peran

aktif petugas salah satunya adalah dapat menyampaikannya melalui

promosi kesehatan seperti perbaikan dan peningkatan gizi, perbaikan dan

sanitasi lingkungan, pemeliharaan kesehatan perorangan dan tindakan

Page 5: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

preventif seperti isolasi penderita penyakit ISPA dan pemberian imunisasi.

Makalah ini bertujuan mengetahui faktor resiko pertambangan batu bara

terhadap kejadian ISPA di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar,

( Notoatmojo, 2003 ).

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan industri pertambangan batubara di

Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan ?

2. Bagaimana pengaruh aktivitas pertambangan batubara terhadap

kesehatan pekerja dan masyarakat disekitarnya ?

3. Apa saja faktor resiko yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan

batu bara terhadap kejadian ISPA ?

4. Bagaimana upaya pencegahan dan penanggulangan ISPA ?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui perkembangan industri pertambangan batubara di

Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.

2. Mengetahui pengaruh aktivitas pertambangan batubara terhadap

kesehatan pekerja dan masyarakat disekitarnya.

3. Mengidentifikasi faktor resiko yang ditimbulkan oleh aktivitas

pertambangan batu bara terhadap kejadian ISPA.

4. Memberikan informasi kepada instansi terkait dan masyarakat

mengenai penyakit ISPA, pencegahan, perawatan dan upaya

penanggulangannya.

Page 6: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian ISPA

Penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) merupakan salah satu

penyakit pernafasan terberat dan terbanyak menimbulkan akibat dan kematian.

ISPA merupakan salah satu penyakit pernafasan terberat dimana penderita

yang terkena serangan infeksi ini sangat menderita, apa lagi bila udara lembab,

dingin atau cuaca terlalu panas. (Saydam, 2011)

Dari kedua pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penyakit

infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) adalah, infeksi yang menyerang saluran

pernafasan atas yang disebabkan oleh bakteri dan virus serta akibat adanya

penurunan kekebalan tubuh penderita akibat populasi udara yang di hirup.

ISPA merupakan infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari.

Saluran pernapasan meliputi organ mulai dari hidung sampai gelembung paru,

beserta organ-organ disekitarnya seperti : sinus, ruang telinga tengah dan

selaput paru. ISPA meliputi saluran pernapasan bagian atas dan saluran

pernapasan bagian bawah. Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan

bersifat ringan, misalnya batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan

antibiotik. Namun demikian jangan dianggap enteng, bila infeksi paru ini tidak

diobati dengan antibiotik dapat menyebabkan anak menderita pneumoni yang

dapat berujung pada kematian (Mairusnita, 1984).

Menurut Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA, penyakit ISPA

dibagi menjadi dua golongan yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia.

Pneumonia dibedakan atas derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia berat

dan pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti rinitis, faringitis,

tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai

bukan pneumonia (Mairusnita, 1984).

Menurut Depkes RI tahun 2008, klasifikasi dari ISPA adalah :

1. Ringan (bukan pneumonia)

Batuk tanpa pernafasan cepat / kurang dari 40 kali / menit, hidung tersumbat /

berair, tenggorokan merah, telinga berair.

Page 7: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

2. Sedang (pneumonia sedang)

Batuk dan nafas cepat tanpa stridor, gendang telinga merah, dari telinga keluar

cairan kurang dari 2 minggu. Faringitis purulen dengan pembesaran kelenjar

limfe yang nyeri tekan (adentis servikal).

3. Berat (pneumonia berat)

Batuk dengan nafas berat, cepat dan stridor, membran keabuan di taring,

kejang, apnea, dehidrasi berat / tidur terus, sianosis dan adanya penarikan yang

kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam (Depkes RI, 2008)

2.2 Gejala ISPA

Penyakit ISPA adalah penyakit yang timbul karena menurunnya sistem

kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau stres. Bakteri

dan virus penyebab ISPA di udara bebas akan masuk dan menempel pada

saluran pernafasan bagian atas, yaitu tenggorokan dan hidung. Pada stadium

awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung, yang

kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer

serta demam dan nyeri kepala (Halim, 2000).

Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Akhirnya

terjadi peradangan yang disertai demam, pembengkakan pada jaringan tertentu

hingga berwarna kemerahan, rasa nyeri dan gangguan fungsi karena bakteri

dan virus di daerah tersebut maka kemungkinan peradangan menjadi parah

semakin besar dan cepat. Infeksi dapat menjalar ke paru-paru, dan

menyebabkan sesak atau pernafasan terhambat, oksigen yang dihirup

berkurang. Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di

hidung bertambah. Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang

sesudah 3-5 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis,

infeksi telinga tengah, infeksi saluran tuba eustachii, hingga bronkhitis dan

pneumonia (Halim, 2000).

Penyakit pada saluran pernafasan mempunyai gejala yang berbeda yang

pada dasarnya ditimbulkan oleh iritasi, kegagalan mucociliary transport,

sekresi lendir yang berlebihan dan penyempitan saluran pernafasan. Tidak

semua penelitian dan kegiatan program memakai gejala gangguan pernafasan

Page 8: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

yang sama. Misalnya untuk menentukan infeksi saluran pernafasan, WHO

menganjurkan pengamatan terhadap gejala-gejala, kesulitan bernafas, radang

tenggorok, pilek dan penyakit pada telinga dengan atau tanpa disertai demam.

Efek pencemaran terhadap saluran pernafasan memakai gejala-gejala penyakit

pernafasan yang meliputi radang tenggorokan, rinitis, bunyi mengi dan sesak

nafas (Purwana, 1992).

Dalam hal efek debu terhadap saluran pernafasan telah terbukti bahwa

kadar debu berasosiasi dengan insidens gejala penyakit pernafasan terutama

gejala batuk. Di dalam saluran pernafasan, debu yang mengendap

menyebabkan oedema mukos dinding saluran pernafasan sehingga terjadi

penyempitan saluran. Menurut Putranto (2007), faktor yang mendasari

timbulnya gejala penyakit pernafasan :

1. Batuk

Timbulnya gejala batuk karena iritasi partikulat adalah jika terjadi

rangsangan pada bagian-bagian peka saluran pernafasan, misalnya

trakeobronkial, sehingga timbul sekresi berlebih dalam saluran pernafasan.

Batuk timbul sebagai reaksi refleks saluran pernafasan terhadap iritasi pada

mukosa saluran pernafasan dalam bentuk pengeluaran udara (dan lendir) secara

mendadak disertai bunyi khas.

2. Dahak

Dahak terbentuk secara berlebihan dari kelenjar lendir (mucus glands)

dan sel goblet oleh adanya stimuli, misalnya yang berasal dari gas, partikulat,

alergen dan mikroorganisme infeksius. Karena proses inflamasi, di samping

dahak dalam saluran pernafasan juga terbentuk cairan eksudat berasal dari

bagian jaringan yang berdegenerasi.

3. Sesak nafas

Sesak nafas atau kesulitan bernafas disebabkan oleh aliran udara dalam

saluran pernafasan karena penyempitan. Penyempitan dapat terjadi karena

saluran pernafasan menguncup, oedema atau karena sekret yang menghalangi

arus udara. Sesak nafas dapat ditentukan dengan menghitung pernafasan dalam

satu menit.

4. Bunyi mengi

Page 9: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Bunyi mengi merupakan salah satu tanda penyakit pernafasan yang

turut diobservasikan dalam penanganan infeksi akut saluran pernafasan.

2.3 Faktor-faktor terjadinya ISPA

Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu

faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku.

a. Faktor lingkungan

1) Pencemaran udara dalam rumah

Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak

dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga

akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang

keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak didalm rumah, bersatu dengan

kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini lebih

dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah

bersama-sama ibunya sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi.

Hasil penelitian diperoleh adanya hubungan antara ISPA dan polusi udara,

diantaranya ada peningkatan resiko bronchitis, pneumonia pada anak-anak

yang tinggal di daerah lebih terpolusi, dimana efek ini terjadi pada kelompok

umur 9 bulan dan 6-10 tahun. (Maryunani, 2010).

2) Ventilasi rumah

Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke atau

dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. Fungsi dari ventilasi

dapat dijabarkan sebagai berikut mensuplai udara bersih yaitu udara yang

mengandung kadar oksigen yang optimum bagi pernafasan, membebaskan

udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan zat-zat pencemar lain

dengan cara pengenceran udara, mensuplai panas agar hilangnya panas badan

seimbang, mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan,

mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi tubuh,

kondisi, evaporasi ataupun keadaan eksternal, mendisfungsikan suhu udara

secara merata. (Maryunani, 2010).

3) Kepadatan hunian rumah

Page 10: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi

dalam rumah yang telah ada. Penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna

antara kepadatan dan kematian dari bronkopneumonia pada bayi, tetapi

disebutkan bahwa polusi udara, tingkat sosial, dan pendidikan memberi

korelasi yang tinggi pada faktor ini. (Maryunani,2010).

b. Faktor individu anak

1) Umur anak

Sejumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit

pernafasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan tetap

menurun terhadap usia. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6-12 tahun.

(Maryunani, 2010).

2) Berat badan lahir

Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik

dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR)

mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan

lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena

pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah

terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernafasan

lainnya. Penelitian menunjukan bahwa berat bayi kurang dari 2500 gram

dihubungkan dengan meningkatnya kematian akibat infeksi saluran pernafasam

dan hubungan ini menetap setelah dilakukan adjusted terhadap status

pekerjaan, pendapatan, pendidikan. Data ini mengingatkan bahwa anak-anak

dengan riwayat berat badan lahir rendah tidak mengalami rate lebih tinggi

terhadap penyakit saluran pernafasan, tetapi mengalami lebih berat infeksinya.

(Maryunani, 2010).

3) Status gizi

Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting

untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya

hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi

buruk sering mendapat pneumonia. Disamping itu adanya hubungan antara gizi

buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus berat lainnya serta menurunnya

daya tahan tubuh anak terhadap infeksi. Balita dengan gizi normal karena

Page 11: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan

menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan

kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang “ISPA

berat” bahkan serangannya lebih lama. (Maryunani, 2010).

4) Vitamin A

Sejak tahun 1985 setiap enam bulan Posyandu memberikan kapsul

200.000 IU vitamin A pada balita dari umur satu sampai dengan empat tahun.

Balita yang mendapat vitamin A lebih dari 6 bulan sebelum sakit maupun yang

tidak pernah mendapatkannya adalah sebagai resiko terjadinya suatu penyakit

sebesar 96,6% pada kelompok kasus dan 93,5% pada kelompok kontrol.

Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan

menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya tetap

berada dalam nilai yang cukup tinggi. Bila antibodi yang ditujukan terhadap

bibit penyakit dan bukan sekedar antigen asing yang tidak berbahaya, niscaya

dapatlah diharapkan adanya perlindungan terhadap bibit penyakit yang

bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat. (Maryunani, 2010).

5) Status Imunisasi

Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan selamat akan

mendapat kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak.

Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari

penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak,

maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya

pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas

ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status

imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan

penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. (Warung Masyrakat Informasi

Indonesia,2009).

c. Faktor perilaku

Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA

pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktik penanganan ISPA di keluarga

baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya. Keluarga

merupakan unit terkecil dari masyarakat yang berkumpul dan tinggal dalam

Page 12: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

suatu rumah tangga, satu dengan lainnya saling tergantung dan berinteraksi.

Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga mempunyai masalah kesehatan,

maka akan berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya (Rasmaliah, 2008).

Paru merupakan organ manusia yang mempunyai fungsi sebagai

ventilasi udara, difusi O2 dan CO2 antara alveoli dan darah, transportasi O2 dan

CO2 serta pengaturan ventilasi serta hal – hal lain dari pernapasan.8 Fungsi

paru dapat menjadi tidak maksimal oleh karena faktor dari luar tubuh atau

faktor ekstrinsik yang meliputi kandungan komponen fisik udara, komponen

kimiawi dan faktor dari dalam tubuh penderita itu sendiri atau instrinsik

(Amin,2000).

Faktor ekstrinsik yang pertama adalah keadaan bahan yang diinhalasi

(gas, debu, uap). Ukuran dan bentuk berpengaruh dalam proses penimbunan

debu, demikian pula dengan kelarutan dan nilai higroskopisnya. Komponen

yang berpengaruh antara lain kecenderungan untuk bereaksi dengan jaringan di

sekitarnya, keasaman atau tingkat alkalinitas (dapat berupa silia dan sistem

enzim). Bahan tersebut dapat menimbulkan fibrosis yang luas di paru dan dapat

bersifat antigen yang masuk paru (Epler,2000).

Faktor ekstrinsik lainnya adalah lamanya paparan, perilaku merokok,

perilaku penggunaan alat pelindung diri (APD) terutama yang dapat

melindungi sistem pernapasan dan kebiasaan berolah raga. Faktor instrinsik

dari dalam diri manusia juga perlu diperhatikan, terutama yang berkaitan

dengan sistem pertahanan paru, baik secara anatomis maupun fisiologis, jenis

kelamin, riwayat penyakit yang pernah diderita, indeks massa tubuh (IMT)

penderita dan kerentanan individu (Epler,2000).

Penumpukan dan pergerakan debu pada saluran napas dapat

menyebabkan peradangan jalan napas. Peradangan ini dapat mengakibatkan

penyumbatan jalan napas, sehingga dapat menurunkan kapasitas paru.

Dampak paparan debu yang terus menerus dapat menurunkan faal paru berupa

obstruktif. Akibat penumpukan debu yang tinggi di paru dapat menyebabkan

kelainan dan kerusakan paru. Penyakit akibat penumpukan debu pada paru

disebut pneumoconiosis. Salah satu bentuk kelainan paru yang bersifat menetap

Page 13: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

adalah berkurangnya elastisitas paru, yang ditandai dengan penurunan pada

kapasitas vital paru (Mukono,2000).

2.4 Vektor penularan

ISPA adalah suatu keadaan dimana kuman penyakit berhasil menyerang

alat-alat tubuh yang dipergunakan untuk bernafas yaitu mulai dari hidung, hulu

kerongkongan, tenggorokan, batang tenggorokan sampai ke paru-paru, dan

berlangsung tidak lebih dari 14 hari. Penyebab ISPA terdiri dari lebih dari 300

jenis penyakit bakteri, virus, dan riketsia. Virus penyebab ISPA antara lain

adalah golongan Miksovirus, Adenvirus, Koronavirus, Pikornavirus,

Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain (Dep Kes.RI, 1998 : 5)

Infeksi Saluran Pernafasan Atas disebabkan oleh beberapa golongan

kuman yaitu bakteri, virus, dan ricketsia yang jumlahnya lebih dari 300

macam. Pada ISPA atas 90-95% penyebabnya adalah virus. Di negara

berkembang, ISPA bawah terutama pneumonia disebabkan oleh bakteri dari

genus streptokokus, haemofilus, pnemokokus, bordetella dan korinebakterium,

sedang di negara maju ISPA bawah disebabkan oleh virus, miksovirus,

adenivirus, koronavirus, pikornavirus dan herpesvirus (Putranto, 2007).

2.5 Mekanisme penularan

ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara

pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat kesaluran

pernapasannya. Kelainan pada sistem pernapasan terutama infeksi saluran

pernapasan bagian atas dan bawah, asma dan ibro kistik, menempati bagian

yang cukup besar pada area pediatri. Infeksi saluran pernapasan bagian atas

terutama yang disebabkan oleh virus, sering terjadi pada semua golongan

masyarakat pada bulan-bulan musim dingin (Mairusnita, 1984).

Organisme yang menyebabkan ISPA biasanya ditularkan melalui

droplet. Saat seorang pasien ISPA batuk atau bersin, droplet sekresi kecil dan

besar tersembur ke udara dan permukaan sekitar. Droplet besar perlahan-lahan

turun ke permukaan di sekitar penderita (biasanya dalam jarak 1 meter dari

penderita). Permukaan tersebut bisa juga terkontaminasi melalui kontak dengan

tangan, sapu tangan/tisu yang sudah dipakai, atau benda lain yang sudah

bersentuhan dengan sekret tersebut (WHO, 2008).

Page 14: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Cairan tubuh lain dan feses bisa juga mengandung bahan infeksius.

Karena itu, ISPA dapat ditularkan oleh aerosol dari saluran pernapasan atau

melalui kontak dengan permukaan yang telah terkontaminasi. Karena itu,

selain penggunaan alat pelindung tertentu terhadap droplet (yaitu, masker),

beberapa unsur kewaspadaan standar, seperti kebersihan pernapasan,

kebersihan tangan, kebersihan lingkungan, dan pengelolaan limbah, juga

sangat penting untuk membantu mencegah penularan ISPA (WHO, 2008).

Menurut WHO, patogen yang dapat ditularkan melalui udara dari jarak

jauh atau saat melakukan prosedur tertentu, seperti prosedur yang dapat

menimbulkan aerosol seperti dalam tabel berikut.

Page 15: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Tabel 2.1 prosedur yang menimbulkan aerosol menyebabkan peningkatan

risiko penularan ISPA dan cara pencegahan.

Sumber : WHO, 2008

Keterangan :

a. Misalnya, influenza like illness (ILI) tanpa faktor risiko ISPA yang dapat

menimbulkan kekhawatiran.

b. Bakteri penyebab ISPA umumnya adalah Streptococcus pneumoniae,

Haemophilus influenzae, Chlamydia spp., dan Mycoplasma pneumoniae.

c. Misalnya, flu musiman, flu pandemi.

d. Misalnya, flu burung.

Page 16: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

e. Penyebab ISPA yang baru teridentifikasi, cara penularannya biasanya

tidak diketahui.

f. Membersihkan tangan sesuai dengan kewaspadaan standar.

g. Sarung tangan dan gaun pelindung harus dipakai sesuai dengan

kewaspadaan standar.

h. Bila ada kemungkinan percikan darah atau cairan tubuh lainnya dan gaun

pelindung tidak tahan cairan, celemek tahan air harus dipakai menutupi

gaun pelindung.

i. Pelindung wajah (masker bedah dan pelindung mata).

j. Pada saat penyusunan pedoman ini, belum terjadi penularan flu burung

dari manusia ke manusia yang berkelanjutan dan efisien. Bukti yang ada

tidak menunjukkan penularan melalui udara dari manusia ke manusia.

k. Bukti yang ada sekarang menunjukkan bahwa penularan SARS di fasilitas

pelayanan kesehatan umumnya terjadi melalui droplet dan kontak.

l. Prosedur yang menimbulkan aerosol yang berkaitan dengan peningkatan

risiko penularan patogen pernapasan: intubasi, resusitasi jantung dan paru-

paru, dan prosedur yang terkait (misalnya, ventilasi manual, suction);

bronkoskopi; dan autopsi, atau pembedahan yang melibatkan penggunaan

peralatan kecepatan tinggi.

m. Sebagian prosedur yang menimbulkan aerosol menyebabkan peningkatan

risiko penularan SARS dan tuberkulosis. Sampai sekarang, risiko infeksi

yang disebabkan oleh prosedur yang menimbulkan aerosol pada pasien

yang menderita ISPA bakteri, ISPA yang disebabkan rhinovirus,

parainfluenza, RSV, dan adenovirus belum diketahui.

n. Bila tidak tersedia masker bedah, gunakan metode lain untuk pengendalian

sumber pathogen (misalnya, sapu tangan, tisu, atau tangan) saat batuk dan

bersin.

o. Patogen-patogen ini umum ditemukan pada anak anak yang mungkin tidak

sesuai jika menerapkan rekomendasi ini.

p. Kelompokkan pasien dengan diagnosis yang sama (cohorting).

Page 17: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

q. Ruang untuk kewaspadaan transmisi airborne dapat diberi ventilasi alami

atau mekanis, dengan tingkat pergantian udara yang memadai setidaknya

12 ACH dan arah aliran udara yang terkontrol.

r. Bila tersedia, ruangan untuk kewaspadaan transmisi airborne harus

diutamakan untuk pasien yang mengalami infeksi patogen yang terbawa

udara (misalnya, tuberkulosis paru-paru, cacar air, campak) dan untuk

pasien ISPA yang disebabkan oleh organisme baru (WHO,2008).

2.6 Pengertian pertambangan batubara

Pemerintah gencar menggali potensi perolehan devisa dari sektor

pertambangan sebagai akibat semakin terbatasnya kemampuan negara

untuk memperoleh pendapatan dari sektor lainnya. Deposit bahan galian

(bahan mineral, batubara, bahan fosil, dan lain-lain) banyak tersebar

diberbagai daerah dengan berbagai jenis dan kapasitas, potensial untuk

dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk menopang kebutuhan negara.

Hal ini penting karena Indonesia berada di kawasan vulkanik tropika basah

dengan zone penunjaman (subduction zone) yang membujur di pantai

barat, pantai selatan dan pantai utara bagian timur, sehingga memiliki

erupsi indeks >99%. Laju pasokan mineral berlangsung intensif, sehingga

Indonesia banyak memiliki deposit mineral bahan tambang. Di lain pihak

laju pelapukan mineral juga berlangsung intensif, sehingga apabila tidak

segera ditambang/ dimanfaatkan sebagai bahan baku industri, deposit

bahan mineral ini akan cepat mengalami pelapukan/kerusakan dan apabila

dibiarkan akan hilang terbawa aliran air yang dapat mencemar lingkungan.

Pertambangan dan energi merupakan sektor pembangunan penting bagi

Indonesia. Industri pertambangan sebagai bentuk kongkret sektor

pertambangan menyumbang sekitar 11,2% dari nilai ekspor Indonesia dan

memberikan kontribusi sekitar 2,8% terhadap pendapatan domestik bruto

(PDB). Industri pertambangan mempekerjakan sekitar 37.787 tenaga kerja

orang Indonesia, suatu jumlah yang tidak sedikit (Munir, 1996).

Aktivitas pertambangan batubara terbanyak di Kalimantan Timur

adalah Kutai kartanegara. Tenggarong Seberang adalah salah satu

Page 18: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

kecamatan di Kukar yang juga melakukan produksi tambang batubara. Di

wilayah ini 60% perusahaan tambang telah beroperasi. Berkenaan dengan

hal ini, Desa Mulawarman merupakan salah satu wilayah di Kecamatan

Tenggarong Seberang yang dihuni oleh masyarakat trans sebagai hasil

penempatan dari Transmigrasi tahun 1980 -1981 dan saat ini lokasinya

telah dikelilingi oleh aktivitas pertambangan batubara. Adapun sejumlah

perusahaan tambang batubara yang beroperasi dikawasan tersebut

antaralain : PT. Jembayan (JMB) , PT. Kayan Putra Utama Coal (KPUC),

PT. Pama Persada Nusantara, PT. Santan Batu-Bara dan PT. Kimco

Armindo yang mulai beroperasi sejak tahun 2003 (Kantor Desa

Mulawarma, 2012 ).

Permasalahan yang paling berat akibat penambangan terbuka

adalah terjadinya fenomena acid mine drainage (AMD) atau acid rock

drainage (ARD) akibat teroksidasinya mineral bersulfur (Untung, 1993)

dengan ditandai berubahnya warna air menjadi merah jingga. AMD akan

memberikan serangkaian dampak yang saling berkaitan, yaitu menurunnya

pH, ketersediaan dan keseimbangan unsur hara dalam tanah terganggu,

serta kelarutan unsur-unsur mikro yang umumnya merupakan unsur logam

meningkat (Marschner, 1995; Havlin et al., 1999). Hasil penelitian

Widyati (2006) menunjukkan bahwa kandungan sulfat pada tanah bekas

tambang batubara PT. Bukit Asam di Sumatera Selatan mencapai 60.000

ppm, pH 2,8 dan kandungan logam-logam jauh di atas ambang batas untuk

air bersih. Kualitas lingkungan perairan yang demikian dapat mengganggu

kesehatan manusia dan kehidupan lainnya. Disamping itu, kondisi tanah

yang demikian degraded, mengakibatkan kegiatan revegetasi memerlukan

biaya yang mahal.

Perubahan lingkungan pasca penambangan yang terjadi, selain perubahan

bentang lahan juga kualitas tanah hasil penimbunan setelah penambangan.

Struktur tanah penutup rusak sebagai mana sebelumnya, juga tanah lapisan

atas bercampur ataupun terbenam di lapisan dalam. Tanah bagian atas

digantikan tanah dari lapisan bawah yang kurang subur, sebaliknya tanah

lapisan atas yang subur berada di lapisan bawah. Demikian juga populasi

Page 19: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

hayati tanah yang ada di tanah lapisan atas menjadi terbenam, sehingga

hilang/mati dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Daya dukung tanah

lapisan atas pasca penambangan untuk pertumbuhan tanaman menjadi

rendah (Hidayati, 2000).

Proses penambangan sistem terbuka pada prinsipnya dimulai

dengan membersihkan permukaan tanah, kemudian mengupas tanah

penutup, menggali bahan tambang, dan mengangkut bahan tambang ke

tempat penampungan (stockyard) untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai

bahan baku industri. Alur kegiatan penambangan selengkapnya adalah

sebagai berikut :

1. Pembersihan lahan dari vegetasi yang menutupi lapisan tanah

permukaan (clearing and grubing) dilakukan dengan Buldozer dan

Excavator.

2. Pengupasan tanah penutup. Tanah penutup dikupas dan diangkut ke

tempat penimbunan sementara, atau ditata dan disebar di area pembuangan

(disposal) akhir.

3. Penggalian dan pengambilan bahan tambang (ore) dengan alat gali muat

(ore getting). Ore diangkut keluar melewati jalan tambang ke Export

Transite Ore (ETO) dan Export Final Ore (EFO) di dekat pelabuhan.

4. Penimbunan kembali kolong bekas galian dengan tanah penutup. Setiap

selesai penambangan, tanah penutup dan tanah sisa penambangan

ditimbun kembali di area bekas galian sesuai dengan design yang telah

ditentukan.

5. Penanaman kembali tanaman penutup tanah. Kegiatan penambangan

terbuka pada prinsipnya diwajibkan untuk menutup kembali areal bekas

tambang yang ditinggalkan agar tidak terjadi kerusakan lingkungan yang

lebih besar dan dipulihkan kembali kondisi ekosistemnya sekurang-

kurangnya seperti kondisi sebelumnya (Finnel, 1948).

Greb (1985) mendapatkan bahwa kehilangan tanah lapisan atas beberapa

sentimeter dapat menurunkan produktivitas sebesar 40% pada tanah subur,

dan 60% pada tanah tidak subur. Munawar (1999) mendapatkan bahwa

tanah lapisan atas lahan bekas penambangan batubara terbuka sangat

Page 20: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

heterogen dan memiliki berat isi tinggi, total pori rendah, kandungan N

dan P rendah, cadangan Ca dan Mg tinggi, dan populasi mikroba tanah

rendah dibandingkan dengan tanah hutan di sekitarnya (Tabel 1). Ukuran

pori tanah berperanan penting bagi kehidupan hayati tanah, bakteria tanah

tidak mampu masuk pada ukuran pori 1-3 ìm, akar tanaman tidak mampu

masuk pada pori ukuran <10 ìm, akar pohon hanya mampu menembus

pada ukuran pori >150 ìm (Pitty, 1979). Selain itu, pori tanah juga

berperan penting dalam menentukan infiltrasi-perkolasi, kelembaban dan

aerasi tanah.

2.6.1.Peraturan Pertambangan

Industri pertambangan mengandung potensi dan faktor bahaya

dengan risiko tinggi. Hal ini dapat mengancam dan menimbulkan

kerusakan harta benda maupun korban cedera bahkan kematian.

Perkembangan industri yang semakin pesat dengan menggunakan

Tabel 2.2

Page 21: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

peralatan-peralatan yang modern dan canggih memberikan dampak risiko

kecelakaan dan kerugian yang lebih besar. Setiap proses produksi,

peralatan/mesin dan tempat kerja yang digunakan untuk menghasilkan

suatu produk, selalu mengandung potensi bahaya tertentu yang bila tidak

mendapat perhatian secara khusus akan dapat menimbulkan kecelakaan

kerja. Potensi bahaya yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja dapat

berasal dari berbagai kegiatan atau aktivitas dalam pelaksanaan operasi

atau juga berasal dari luar proses kerja (Tarwaka, 2008).

Sistem penambangan terbuka yang berada di permukaan tanah

banyak mengubah bentang lahan dan keseimbangan ekosistem permukaan

tanah, maka berdasarkan UU No.41/1999, Pasal 38, Ayat 4, sistem

penambangan terbuka ini dilarang dilakukan di kawasan hutan lindung.

Hermawan et al. (2009) menyatakan bahwa kegiatan penambangan timah

di Provinsi Bangka-Belitung yang dilakukan dengan cara terbuka telah

menimbulkan perubahan lingkungan dengan menurunkan produktivitas

tanah dan mutu lingkungan. Di lain pihak kolong-kolong air akibat

kegiatan penambangan timah terbuka di Perlang, Bangka-Belitung dapat

dimanfaatkan sebagai kantong sumber air irigasi untuk pencetakan sawah

baru disekitarnya (Subardja et al., 2010).

Sumber-sumber bahaya perlu dikendalikan untuk mengurangi

kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Untuk mengendalikan sumber-

sumber bahaya, maka sumber-sumber bahaya tersebut harus ditemukan

dengan melakukan identifikasi sumber bahaya potensial yang ada di

tempat kerja (Suma’mur, 1993).

Peraturan tentang Keselamatan dan Kesehatan kerja Pertambangan

umum sudah ada sejak tahun 1930 dengan nama Mijn Politie Reglement

(MPR) yang merupakan peraturan yang dibuat pada masa pemerintahan

Hindia – Belanda. Disusul dengan PPRI No. 19 tahun 1973 tentang

pengaturan dan pengawasan keselamatan kerja di bidang pertambangan

yang dilakukan oleh Menteri Pertambangan. Setelah mempelajari

pertimbangan ilmu teknologi modern mengenai pemakaian peralatan

pertambangan dan dalam rangka memperlancar usaha–usaha aktifitas

Page 22: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

pembangunan, maka pada tahun 1995 telah disempurnakan dengan

terbitnya Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No.

555/K/26/M.PE/1995 tanggal 22 mei 1995 tentang Keselamatan dan

Kesehatan Kerja Pertambangan Umum (Direktorat Pertambangan dan

Energi, 1995).

Selain itu pemerintah juga mengeluarkan undang-undang guna

meningkatkan kesadaran bagi pihak perusahaan dan karyawan, undang-

undang tersebut diantaranya adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1970

tentang Keselamatan Kerja yang menyebutkan bahwa keselamatan kerja

bertujuan untuk (Suma’mur, 1996):

1. Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam melakukan

pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta

produktivitas nasional.

2. Menjamin keselamatan setiap orang lain yang berada di tempat kerja.

3. Sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman dan efisien.

Namun pada praktiknya, permasalahan ini belum dianggap menjadi isu

penting dan belum mendapat perhatian yang serius oleh perusahaan dan

karyawan dalam menjalankan proses produksinya. Hal ini terjadi karena

safety awareness yaitu kesadaran atas keselamatan yang masih rendah

sehingga kebijakan pemerintah dan kebijakan dari pihak manajemen

sangat mempengaruhi untuk menciptakan behavior basic safety (BBS)

dalam lingkungan perusahaan. Kondisi lain adalah masih kurangnya

kesadaran dari sebagian besar masyarakat perusahaan, baik pengusaha

maupun tenaga kerja akan arti penting K3 merupakan hambatan yang

sering dihadapi. Berdasarkan data ILO (2003), ditemukan bahwa di

Indonesia tingkat pencapaian penerapan kinerja K3 di perusahaan masih

sangat rendah. Dari data tersebut ternyata hanya sekitar 2% (sekitar 317

buah) perusahaan yang telah menerapkan K3. Sedangkan sisanya sekitar

98% (sekitar 14.700 buah) perusahaan belum menerapkan K3 secara baik.

Berdasarkan data Jamsostek, bahwa pengawasan K3 secara nasional masih

belum berjalan secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kecelakaan

yang terjadi, dimana pada tahun 2003 terjadi kecelakaan sebanyak 105.846

Page 23: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

kasus, tahun 2004 sebanyak 95.418 kasus, tahun 2005 sebanyak 96.081

kasus dan pada tahun 2006 terjadi kecelakaan sebanyak 70.069 kasus

kecelakaan kerja serta sepanjang tahun 2007 telah terjadi kecelakaan kerja

sebanyak 65.474 kejadian. Angka tersebut tentunya masih sangat fantastis

dan dapat dijadikan tolak ukur pencapaian kinerja K3 (Tarwaka, 2008).

2.6.2. Batubara

Batubara adalah mineral organik yang terbentuk dari endapan, dan

merupakan batuan organik yang terutama terdiri dari karbon, hidrogen,

dan oksigen. Batubara terbentuk dari tumbuhan yang telah bersatu antara

strata batuan lainnya dan diubah oleh kombinasi pengaruh tekanan dan

panas selama jutaan tahun sehingga membentuk lapisan batubara. Proses

yang mengubah tumbuhan menjadi batubara tadi disebut dengan

pembatubaraan atau coalification (Speight, 1994).

Bahan mineral di dalam batubara berasal dari unsur organik yang

terdapat dalam tumbuhan pembentuk batubara dan dari bahan mineral

yang berasal dari luar yang tergabung dalam proses pembentukan

batubara. Jumlah dan tipe mineral yang ditemukan dalam batubara sangat

bervariasi, bergantung pada sejarah pembentukan batubara tersebut.

Mineral yang ditemukan dalam jumlah yang melimpah adalah clay mineral

dengan illite, kaolinite dan montmorillonite sebagai jenis yang sering

ditemukan (speight, 1994). Mineral utama yang ditemukan dalam batubara

dapat diklasifikasikan sebagai shale, kaolin, sulfida, karbonat, klorida atau

accessory mineral. Beberapa kelompok mineral yang terkandung dalam

batubara dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Bahan Mineral yang Biasa Terdapat dalam Batubara

Kelomp

ok

Senyawa Formula

Shale Muscovite KAI3Si3O10(OHF)2

Hydromusco

bite (Al, Si)8 O20 (OH.F)4 (general

formula) Illite (HO)4K2 (Si6.Al2) Al4 O20

Montmorillon

ite Na2 (Al Mg) Si4 O10 (OH)2

Kaolin Kaolinite Al2 (Si2 O5) (OH)4

Livesite Al2 (Si2 O5) (OH)4

Metahalloysit

e Al2 (Si2 O5) (OH)4

Sulfide Pyrite FeS2

Marcasite FeS2

Page 24: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Ankerite CaCO3.(Mg, Fe, Mn) CO3

Carbonat Calcite CaCO3

Dolomite CaCO3. MgCO3

Siderite FeCO3

Chloride Sylvire KCl

Halite NaCl

Accessor

y Mineral

Quartz SiO2

Feldspar (K, Na)2 O. Al2O3. 6 SiO2

Garnet 3CaO. Al2O3. SiO2

Hornblende CaO. 3 FeO. 4 SiO2

Gypsum CaSO4. 2 H2O

Apatite 9 CaO. 3 P2O5. CaF2

Zircon Zr SiO4

Epidote 4 CaO. 3 Al2O3. 6 SiO2. H2O

Biotite K2O. MgO. Al2O3. 3 SiO2. H2O

Augite CaO. MgO. 2SiO2

Pro chloride 2FeO. 2 MgO. Al2O2. 2SiO2. 2 H2O

Diaspore Al2O3. H2O

Lepidocrocite Fe2O3. H2O

Magnetite Fe3O4

Kyanite Al2O3. SiO2

Staurolite 2 FeO. 5 Al2O3. 4 SiO2. H2O

Topaz 2 AlPO. SiO2

Tourmaline 3 Al2O3. 4 Bo (OH). 8 SiO2. 9 H2O

Hematite Fe2O3

Penninite 5 MgO. Al2O3. 3 SiO2. H2O

Sphalerite Zn S

Chlorite 10 (Mg, Fe) O. 2 Al2O3. 6 SiO2. 8

H2O Barite Ba SO4

Pyrophillite Al2O3 (Speight, 1994).

2.6.3. Pembentukan Batubara

Penimbunan pasir dan sedimen lainnya, bersama dengan

pergeseran kerak bumi (dikenal sebagai pergeseran tektonik) mengubur

rawa dan gambut yang seringkali sampai kedalaman yang sangat dalam.

Penimbunan tersebut menyebabkan material tumbuhan terkena suhu dan

tekanan yang tinggi. Suhu dan tekanan yang tinggi menyebabkan

tumbuhan tersebut mengalami proses perubahan fisika dan kimiawi yang

mengubah tumbuhan tersebut menjadi gambut dan kemudian batubara

(Sukandarrumidi, 1995). Proses pembentukan batubara dapat digambarkan

Page 25: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

sebagai berikut:

Gambar 1. Proses Pembentukan Batubara (Sukandarrumidi, 1995).

Proses pembentukan batubara terdiri dari dua tahap, yaitu tahap

penggambutan dan tahap pembatubaraan. Tahap penggambutan dimana

sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi di

daerah rawa dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang

air pada kedalaman 0,5 – 10 meter. Material tumbuhan yang busuk ini

melepaskan H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3

untuk menjadi humus. Bakteri anaerobik dan fungi akan merubah material

tersebut menjadi gambut (Sukandarrumidi, 1995).

Pada proses pembatubaraan gambut akan terkubur dengan sedimen

lain, di bawah pemanasan dan tekanan mengubah gambut menjadi

batubara tingkat rendah yaitu lignit. Batubara di bawah pemanasan dan

tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, mengalami perubahan

yang secara bertahap sehingga menambah maturitas organiknya dan

mengubah batubara muda menjadi batubara subituminus. Pada pemanasan

dan tekanan yang lebih tinggi batubara lignit berubah menjadi batubara

bituminus. Bahkan pada pemanasan dan tekanan yang lebih tinggi lagi

dapat mengubah batubara bituminus menjadi batubara antrasit yang lebih

keras dan mengkilap (Sukandarrumidi, 1995). Berikut ini contoh analisis

dari masing – masing unsur yang terdapat dalam setiap tahapan

pembatubaraan pada Tabel 2.

Tabel 2.Unsur-Unsur Yang Terdapat pada Setiap Tahapan Pembentukan

Batubara

Page 26: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Jenis

Batubara

C

(

%

)

H

(

%

)

O

(

%

)

N

(

%

)

C

/

O

Kayu 50

,0

6,

0

43

,0

1,

0

1,

2 Gambut 59

,0

6,

0

33

,0

2,

0

1,

8 Lignit 69

,0

5,

5

25

,0

0,

5

2,

8 Bituminus 82

,0

5,

0

12

,2

0,

8

6,

7 Antrasit 95

,0

2,

5

2,

5

0,

0

3

8,

0

(Sukandarrumidi, 1995)

Semakin tinggi tingkat pembatubaraan, kadar karbon akan

meningkat sedangkan hydrogen dan oksigen berkurang. Batubara dengan

tingkat pembatubaraan rendah disebut pula batubara bermutu rendah,

contohnya lignit dan sub-bituminus yang biasanya lebih lembut dengan

materi yang rapuh dan berwarna suram seperti tanah, memiliki tingkat

kelembaban (moisture) yang tinggi dan kadar karbon yang rendah,

sehingga kandungan energinya juga rendah. Semakin tinggi mutu

batubara, umumnya akan semakin keras dan kompak, serta warnanya akan

semakin hitam mengkilat (Sukandarrumidi, 1995).

Selain unsur karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen, di dalam

batubara terdapat sulfur. Sulfur berada dalam bentuk senyawa organik dan

anorganik. Sulfur anorganik sebagian besar terdiri dari bentuk sulfit dan

sulfat. Kandungan sulfur dalam batubara bervariasi tergantung wilayah

batubara tersebut berasal (Speight, 1994). Berikut persentase senyawa

sulfur dalam batubara:

Tabel 3. Persentase Senyawa Sulfur dalam Batubara

Unsur Rentang

Sulfur organik 0,31-3,09 %

Sulfur pirit 0,06-3,78 %

Sulfur sulfat 0,01-1,06 %

Total sulfur 0,42-6,47 %

(Speight, 1994).

2.6.4. Klasifikasi Batubara

Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan zaman

Page 27: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

geologi dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan

lokasi pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan

panas bumi serta perubahan geologi yang berlangsung kemudian, akan

menyebabkan terbentuknya batubara yang jenisnya bermacam-macam

(Speight, 1994).

Tipe batubara berdasarkan tingkat pembatubaraan ini dapat

dikelompokkan sebagai berikut :

1. Lignit

Lignit merupakan jenis batubara yang secara geologis tergolong jenis

batubara yang paling muda yang mengandung karbon sebanyak 25-35%.

Pada umumnya warna lignit mulai dari coklat hingga hitam kecoklatan

(Gambar 3). Lignit sebagian besar terdiri dari material kayu kering yang

terkena tekanan tinggi. Lignit bersifat rapuh serta memiliki kandungan air

yang sangat tinggi sehingga perlu dikeringkan terlebih dahulu sebelum

dibakar. Sebagian besar lignit digunakan untuk pembangkit listrik.

Struktur kimia dan bentuk batubara lignit dapat dilihat pada gambar 2

(Speight, 1994).

(a) (b) Gambar 2 . (a) Struktur Kimia Batubara Lignit (Schumacher,1997),

(b) Bentuk Batubara Lignit (Bryant, 2005)

2. Subituminus

Batubara jenis subbituminus memiliki warna hitam. Kandungan karbon di

dalam batubara ini berkisar 35-45%. Batubara subbituminus memiliki nilai

kalor yang lebih rendah dari pada batubara bituminus. Batubara ini

Page 28: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

merupakan batubara yang sering digunakan dalam industri karena di

Indonesia jumlahnya sangat melimpah. Struktur dan bentuk batubara

Subbituminus dapat dilihat pada gambar 3 (Speight, 1994)

Gambar 3. (a) Struktur Kimia Batubara Subbituminus (Schumacher,1997),

(b) Bentuk Batubara Subbituminus (Bryant, 2005)

3. Bituminus

Batubara jenis bituminus dapat diperoleh dengan menambahkan panas

serta tekanan pada lignit. Batubara Bituminus mengandung karbon

sebanyak 45-86%. Penggunaan terbesar batubara bituminus terdapat di

pembangkit listrik serta industri baja. Bentuk batubara bituminus dapat

dilihat pada gambar 4 (Speight, 1994)

(a) (b)

Gambar 4 . (a) Struktur Kimia Batubara Bituminus (Schumacher,1997),

(b)Bentuk Batubara Bituminus ((Bryant, 2005)

4. Antrasit

Antrasit merupakan golongan batubara yang paling tinggi, memiliki

tampilan yang hitam mengkilat seperti permukaan logam. Antrasit

mengandung karbon sebanyak 86-97%. Bentuk batubara Antrasit dapat

dilihat pada gambar 5 (Speight, 1994)

Page 29: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

(a) (b)

Gambar 5. (a) Struktur Kimia Batubara Antrasit (Schumacher,1997),

(b) Bentuk Batubara Antrasit (Bryant, 2005)

Dari keempat jenis batubara tersebut, masing-masing memiliki

kualitas yang berbeda. Lignit merupakan golongan yang paling rendah,

karena kandungan airnya yang sangat tinggi harga lignit pun sangat murah.

Oleh karena itu, untuk pengolahan batubara menjadi energi alternatif, jenis

yang banyak dipakai adalah lignit karena cost effective (Speight, 1994).

2.6.5. Substansi Humik dalam Batubara

Substansi humik (HSs) merupakan produk organik yang berwarna

coklat sampai hitam dengan banyak pengaruhnya terhadap agrikultural dan

lingkungan. HSs merupakan karbon terkaya di bumi. HSs juga merupakan

makromolekul aromatik yang kompleks dengan variasi ikatan diantara

gugus aromatik. Ikatan yang berbeda termasuk diantaranya asam amino,

peptida, asam alifatik, dan senyawa alifatik lainnya. Gugus fungsional

dalam sustansi humat termasuk gugus asam karboksil (COOH), fenolik,

alifatik, dan enolik-OH dan struktur karbonil (C=O) dalam berbagai tipe

yang bervariasi (Arianto et al., 2005).

Menurut Arianto et al., (2005), subtansi humik terdiri atas fraksi

asam humat, asam fulvat dengan klasifikasi sebagai berikut :

1. Humic Acid (Asam humat)

Warna gelap, amorf, dapat diekstraksi pada pH 4 keatas, tidak larut dalam

asam, mengandung gugus fungsional asam seperti fenolik dan karboksilik,

berat molekul (BM) 20000 hingga 1360000.

Page 30: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Gambar 6. Struktur Asam Humat (Stevenson, 1982)

2. Fulvic Acid (Asam fulvat)

Dapat diekstraksi dengan basa kuat, larut juga dalam asam, berat

molekul(BM) 275-2110

Gambar 7 . Struktur Asam Fulvat (Stevenson, 1982)

2.6.6. Biosolubilisasi Batubara

Biosolubilisasi adalah proses pelarutan batubara dalam suatu

medium dengan bantuan mikroorganisme. Biosolubilisasi dapat berupa

upaya untuk mencairkan batubara atau bioliquifaksi yang nantinya dapat

digunakan sebagai bahan bakar pengganti minyak bumi. Disamping untuk

mencairkan batubara, biosolubilisasi dapat pula digunakan untuk

mengurangi kandungan sulfur atau logam toksik pada batubara (Faison et

al.,1989).

Pencairan batubara dengan metode biologi dapat menekan biaya

operasional karena tidak dilakukan dalam tekanan dan temperatur yang

tinggi serta lebih ramah lingkungan karena tidak menghasilkan produk

samping berbahaya. Meskipun teknologi ini memiliki potensi besar, tetapi

masih ada sejumlah masalah yang harus dipecahkan. Tanpa adanya pelarut

yang cocok, produk yang dihasilkan tetap padat. Meskipun produk terlarut

memiliki kandungan energi tinggi dan memungkinkan digunakan sebagai

Page 31: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

bahan bakar, tapi belum dapat digunakan sebagai bahan bakar sarana

transportasi. Selain itu, kebanyakan mikroorganisme membutuhkan gula

dan media pertumbuhan untuk pertumbuhan lebih dari 2 minggu. Media

murah yang mampu mempercepat pertumbuhan mikroorganisme

dibutuhkan untuk aplikasi komersial. Masalah ekonomis lainnya yang

berhubungan adalah dibutuhkannya pra-perlakuan untuk menghasilkan

produk berkualitas (Liu et al., 1989).

Produksi batubara cair dapat juga dilakukan dengan memanfaatkan

enzim hasil isolasi dari mikroorganisme. Biosolubilisasi batubara dengan

bantuan mikroorganisme dapat menghasilkan produk yang setara dengan

komponen minyak bumi. Produk biosolubilisasi yang setara dengan

senyawa yang terdapat dalam bensin mempunyai rantai atom karbon yang

pendek yaitu C4 sampai C12, sedangkan untuk komponen minyak solar

mempunyai atom karbon C10 sampai C13 (American Petroleum Institute,

2001).

2.6.7. Mikroorganisme Pensolubilisasi Batubara

Terdapat beberapa jenis mikroorganisme dari jenis bakteri maupun

jamur yang dapat mengubah batubara padat menjadi produk cair. Batubara

cair yang dihasilkan dari proses biosolubilisasi adalah berupa campuran

senyawa yang larut dalam air, senyawa-senyawa polar dengan berat

molekul relatif tinggi. Contoh bakteri yang dapat dimanfaatkan untuk

proses ini adalah Thiobacillus Ferroxidans, Leptospirillum Ferroxidansdan

Rhodococcus erythropolis. Sementara itu contoh fungi yang dapat

dimanfaatkan untuk proses ini diantaranya adalah Polyporus versicolor,

Penicillium, Streptomyces (Reiss,1992).

Kapang adalah kelompok mikroorganisme yang tergolong dalam

fungi. Selain kapang, organisme lainnya yang termasuk ke dalam fungi

adalah khamir dan cendawan (mushroom). Kapang merupakan organisme

multiseluler, eukariotik, tidak berklorofil, dinding selnya tersusun dari

kitin, bersifat heterotrof, menyerap nutrient melalui dinding selnya,

mengeksresikan enzim ekstraseluler ke lingkungan, menghasilkan spora

atau konidia, bereproduksi seksual dan atau aseksual. Tubuh kapang terdiri

Page 32: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

dari hifa, hifa berfungsi menyerap nutrien dari lingkungan serta

membentuk struktur reproduksi (Hidayat et al, 2006).

Hifa adalah suatu struktur berbentuk tabung menyerupai seuntai

benang panjang yang terbentuk dari pertumbuhan spora atau konidia.

Kumpulan hifa yang bercabang-cabang membentuk suatu jala dan

umumnya berwarna putih disebut miselium. Ada beberapa kapang dengan

miselia longgar atau seperti bulu kapas sedangkan yang lainnya kompak.

Penampakan miselia ada yang seperti beludru (velvet) pada permukaan

atasnya, beberapa kering seperti bubuk, basah atau memiliki massa seperti

gelatin (Hidayat et al, 2006).

Kapang saprofit adalah kapang yang memanfaatkan atau menyerap

nutrient dari benda mati. Pada umumnya, kapang mengekskresikan enzim

ekstraseluler ke lingkungan. Enzim ekstraseluler tersebut menguraikan

komponen-komponen kompleks pada substrat menjadi komponen-

komponen sederhana yang dapat dengan mudah diserap kapang untuk

mensintesis berbagai bagian sel, dan digunakan sebagai sumber energinya.

Keberadaan kapang pada suatu substrat dapat diketahui dengan adanya

perubahan warna atau kekeruhan pada substrat cair, timbul bau, dan

substrat berubah menjadi lunak. Hal tersebut mengindikasikan adanya

pertumbuhan kapang berupa pertambahan massa sel atau volume sel

(Gandjar et al, 2006).

Sifat-sifat fisiologi kapang sangat penting dipenuhi agar

pertumbuhan kapang menjadi optimal. Gandjar et al., (2006) menerangkan

sifat-sifat fisiologi kapang sebagai berikut :

1. Kebutuhan air

Pada umumnya, fungi tingkat rendah seperti Rhizopus sp. dan Mucor sp.

memerlukan lingkungan dengan kelembaban nisbi 90 %, kapang

Aspergillus sp, Penicillium sp, Fusarium sp. dan banyak hypomycetes

lainnya dapat hidup pada kelembaban yang lebih rendah yaitu 80 %

sedangkan kapang xerofilik mampu hidup pada kelembaban 70 %.

2. Suhu

Page 33: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Kebanyakan kapang bersifat mesofilik yaitu tumbuh baik pada suhu

kamar. Suhu optimum pertumbuhan untuk kebanyakan kapang adalah

sekitar 25-30° C, tetapi beberapa kapang dapat tumbuh pada suhu 35-37°

C atau lebih tinggi seperti Aspergillus sp. Beberapa kapang mampu

tumbuh pada suhu dingin (bersifat psikrotrofik) dan juga pada suhu tinggi

(termofilik).

3. Derajat keasaman (pH)

Kebanyakan kapang mampu tumbuh pada kisaran pH yang luas yaitu 2 -

8,5 akan tetapi pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam atau

pH rendah.

4. Substrat

Substrat merupakan sumber nutrien utama bagi kapang. Nutrien dalam

substrat baru dapat dimanfaatkan apabila kapang telah mengekskresikan

enzim-enzim ekstraseluler untuk menguraikan senyawa kompleks menjadi

sederhana.

5. Komponen penghambat

Beberapa kapang mengeluarkan komponen yang dapat menghambat

organisme lainnya seperti bakteri, komponen tersebut disebut antibiotik.

2.6.8 Solubilisasi Batubara oleh Kapang

Batubara diperkaya dengan berbagai macam polimer organik yang

berasal dari karbohidrat dan lignoselulosa yang terdiri dari selulosa,

hemiselulosa dan lignin. Selulosa merupakan komponen utama penyusun

dinding sel tanaman, dan salah satu komponen pembangun tumbuhan.

Selulosa adalah polimer yang tersusun atas unit-unit glukosa melalui

ikatan α-1,4-glikosida. Enzim yang dapat mengurai selulosa adalah

selulase dan merupakan enzim kompleks yang terdiri dari tiga komponen.

Endoglukanase, mengurai polimer selulosa secara random pada ikatan

internal α-1,4-glikosida untuk menghasilkan oligodekstrin dengan panjang

rantai bervariasi. Eksoglukanase, mengurai selulosa dari ujung pereduksi

dan nonpereduksi untuk menghasilkan selobiosa/glukosa. Enzim α-

glukosidase, mengurai selobiosa untuk menghasilkan glukosa (Lynd et al.,

2002).

Page 34: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan

berat molekul rendah, relatif lebih mudah dihidrolisis dengan asam

menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa, xilosa

dan arabinosa. Lignin merupakan polimer dengan struktur aromatik yang

terbentuk melalui unit-unit penilpropan. Lebih dari 30 % tanaman tersusun

atas lignin yang memberikan bentuk yang kokoh (Lynd et al., 2002).

Gambar 8. (a) Struktur lignin, (b) hemiselulosa dan (c) selulosa

(Gutiérrez dan Martínez, 1996)

Lignin sulit disolubilisasi karena strukturnya kompleks dan

heterogen yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan

tanaman (Orth et al, 1993). Lignin merupakan suatu unsur yang memegang

peranan penting dalam merubah susunan sisa tumbuhan menjadi batubara.

Sebagian besar mikroorganisme yang mampu mensolubilisasi lignin dapat

diaplikasikan juga untuk mensolubilisasi batubara (Cohen et al., 1990).

Enzim pensolubilisasi lignin secara umum terdiri dari dua

kelompok utama yaitu laccase (Lac) dan peroksidase yang terdiri dari

lignin peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP) (Chahal dan

Chahal, 1998). Ketiga enzim tersebut bertanggung jawab terhadap

pemecahan awal polimer lignin (Akhtar et al., 1997). Mangan peroksidase

(MnP), lignin peroksidase (LiP) atau laccase mampu mensolubilisasi

Page 35: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

komponen aromatic pada batubara dan mendepolimerisasinya menjadi

komponen yang kaya oksigen dan dapat melarut ke dalam air (Holker et

al., 2002).

Enzim pendegradasi lignin secara umum terdiri dari dua kelompok

utama yaitu laccase (Lac) dan peroksidase yang terdiri dari lignin

peroksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP) (Chahal and Chahal,

1998). Ketiga enzim tersebut bertanggung jawab terhadap pemecahan awal

polimer lignin dan menghasilkan produk dengan berat molekul rendah,

larut dalam air dan CO2 (Akhtar et al.1997).

Lignin peroksidase (LiP) merupakan enzim utama dalam proses

degaradasi lignin karena mampu mengoksidasi unit non fenolik lignin.

Unit non fenolik merupakan penyusun sekitar 90 persen struktur lignin.

Oksidasi substruktur lignin yang dikatalis oleh LiP dimulai dengan

pemisahan satu electron cincin aromatik substrat donor dan menghasilkan

radikal aril. LiP memotong ikatan Cα-Cβ molekul lignin, pemotongan

tersebut merupakan jalur utama perombakan lignin oleh berbagai kapang

pelapuk putih (Hammel, 1996).

Mangan peroksidase (MnP) berperan dalam oksidasi unit fenolik,

sehingga LiP dan MnP dapat bekerja secara sinergis. Siklus katalitik MnP

dimulai dengan pengikatan H2O2 atau peroksida organik dengan enzim

ferric alami dan pembentukan kompleks peroksida besi. Pemecahan ikatan

oksigen peroksida membutuhkan Fe oxo-porphyrin-radikal kompleks

dalam pembentukan MnP-komponen I, kemudian ikatan dioksigen dipecah

dan dikeluarkan satu molekul air. Reaksi berlangsung sampai terbentuk

MnP-komponen II, ion Mn2+ bekerja sebagai donor 1-elektron untuk

senyawa antara porfirin dan dioksidasi menjadi Mn3+. Mn3+ merupakan

oksidasi kuat yang dapat mengoksidasi senyawa fenolik tetapi tidak dapat

menyerang unit non fenolik lignin (Perez et al., 2002).

Laccase ditemukan pada kapang, khamir, dan bakteri. Enzim ini

tidak membutuhkan H2O2 tetapi menggunakan molekul oksigen. Laccase

mereduksi oksigen menjadi H2O dalam substrat fenolik melalui reaksi satu

Page 36: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

electron membentuk radikal bebas yang dapat disamakan dengan radikal

kation yang terbentuk pada reaksi MnP (Kersten et al., 1990).

Tabel 4. Enzim ekstraseluler pendegradasi lignin dari kapang pelapuk

putih (Akhtar et al.,1997).

En

zi

m

Tipe

Enzim

Peran dalam

Degradasi

Kerja

Bersam

a

dengan

pH

Opti

mum

Li

gni

n

per

ok

si

das

e

Peroksi

dase

Degradasi

unit non

fenolik

H2O2 2,5-

3,0

Ma

ng

an

per

ok

si

das

e

Peroksi

dase

Degradasi

unit

fenolik dan

non

fenolik

dengan

lipid

H2O2,

lipid

4,0-

4,5

La

kas

e

Fenol

oksidas

e

Oksidasi unit

fenolik dan

non

fenolik

dengan

mediator

O2,

mediato

r :3-

hidroxy

benz

otriazol

e

3,5-

7,0

Kapang yang memiliki kemampuan palingbaik dalam proses

biosolubilisasi batubara adalah Trametes versicolor, Pleurotus florida, P.

ostreatus and P. sajorcaju. Kapang lain yang juga mampu mensolubilisasi

batubara seperti Trichoderma atroviride, Fusarium oxysporum, Penicillium

sp., Candida sp., Aspergillus sp., Mucor sp. dan Sporothrix sp. namun

dengan kemampuan yang lebih kecil. Kapang tersebut mensolubilisasi

batubara menggunakan enzim ekstraseluler (Reiss, 1992).

Enzim ekstraseluler adalah enzim yang diekskresikan oleh kapang

ke luar tubuhnya untuk mensolubilisasi substrat. Enzim ekstraseluler

tersebut akan menghasilkan medium yang lebih gelap akibat dari

solubilisasi batubara selama proses kultur cair atau cairan gelap pada

permukaan kultur ketika ditumbuhkan pada permukaan kultur agar (Faison

et al, 1989).

2.6.9. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Biosolubilisasi

Batubara

Di dalam proses biodegradasi terdapat beberapa faktor yang

berpengaruh terhadap kerja mikroorganisme yang digunakan. Faktor-

faktor tersebut dapat berupa kondisi lingkungan, ataupun perlakuan awal

Page 37: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

terhadap batubara. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap proses

biosolubilisasi diantaranya:

a. Temperatur

Secara umum kenaikan temperatur akan meningkatkan laju reaksi kimia,

termasuk reaksi yang dilakukan oleh mikroorganisme. Temperatur proses

biodegradasi harus dikendalikan agar tetap berada pada temperatur

optimum mikroorganisme yang digunakan serta tidak melewati

temperature minimum atau maksimum mikroorganisme tersebut. Setiap

mikroorganisme memiliki temperatur optimum dan temperatur maksimum

yang berbeda-beda. Oleh karena itu, temperatur optimum biodegradasi

akan sangat bergantung pada mikroorganisme yang digunakan.

Temperatur optimum pada kapang adalah 22-30 oC (Pelzar dan Chan,

2005).

b. pH

Seperti halnya temperatur, pH juga sangat berpengaruh terhadap proses

biosolubilisasi. Setiap mikroorganisme memiliki pH optimum yang

berlainan oleh karena itu biodegradasi harus dilakukan pada pH optimum

sesuai dengan mikroorganisme yang digunakan. Jika pH yang digunakan

terlalu asam atau basa maka proses biodegradasi akan mengalami inhibisi.

Inhibisi ini terjadi akibat pengaruh buruk lingkungan yang terlalu asam

terhadap metabolism mikroorganisme yang menyebabkan aktivitas

metaboliknya menurun. pH optimum kapang adalah 3,8-5,6 (Pelzar dan

Chan, 2005).

c. Ukuran Partikel

Ukuran partikel batubara memberikan pengaruh terhadap persentase

pengurangan sulfur dalam proses biodegradasi batubara. Semakin kecil

ukuran partikel batubara maka persentase pengurangan sulfur akan

semakin besar. Ukuran partikel yang kecil menyebabkan luas pemukaan

kontak antara sel bakteri dengan batubara semakin besar. Akibatnya reaksi

oksidasi senyawa sulfur yang terjadi akan semakin banyak pula. Ukuran

batubara optimum adalah sekitar 72-100 mesh (Selvi dan Banerje, 1982).

d. Konsentrasi Mikroorganisme

Page 38: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Semakin sedikit konsentrasi sel mikroorganisme, maka efisiensi

biodegradasi akan semakin berkurang. Pada umumnya konsentrasi

mikroorganisme yang digunakan adalah 5 % (Scott dan lewis, 1990).

2.6.10 Analisis Kimia Terhadap Produk Solubilisasi Batubara

Produk biosolubilisasi batubara dikarakterisasi menggunakan

Spektrofotometer UV-Vis, Spektrofotometer infra merah (FTIR), dan

Kromatografi Gas - Spektroskopi Massa (GC-MS) sebagaimana yang telah

dilakukan oleh Shi, et al., (2009).

Spektrofotometer UV-Vis

Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri

dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari

spectrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat

pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi

spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika

energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai

fungsi dari panjang gelombang (Underwood dan Day, 2002).

Semua molekul dapat mengabsorpsi radiasi dalam daerah UV-Vis

karena mengandung elektron, baik sekutu maupun menyendiri, yang dapat

dieksitasikan ke tingkat yang lebih tinggi. Panjang gelombang di mana

absorpsi itu terjadi, bergantung pada berapa kuat elektron itu terikat dalam

molekul itu (Underwood dan Day, 2002). Gambar Spektrofotometer UV-

Vis diperlihatkan pada gambar 9.

Gambar 9. Spektrofotometer UV-vis (Dokumen Pribadi,2010)

Kebanyakan penerapan spektrofotometri ultraviolet dan cahaya

tampak pada senyawa organik didasarkan pada transisi n-π* ataupun π-π*

dan karenanya memerlukan hadirnya gugus kromofor dalam molekul itu.

Transisi itu terjadi dalam daerah spektrum (sekitar 200 nm hingga 700 nm)

Page 39: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

yang praktis untuk digunakan dalam eksperimen. Identifikasi kualitatif

senyawa organik dalam daerah ini jauh lebih terbatas daripada dalam

daerah inframerah. Ini karena pita absorpsi terlalu lebar dan kurang terinci.

Tetapi gugus-gugus fungsional tertentu seperti karbonil, nitro, dan sistem

terkonjugasi, benar-benar menunjukkan puncak karakteristik, dan sering

dapat diperoleh informasi yang berguna mengenai ada atau tidaknya gugus

semacam itu dalam molekul tersebut (Underwood dan Day, 2002).

Pada penelitian ini analisis produk biosolubilisasi batubara

dilakukan dengan menggunakan spektroskopi sinar ultraviolet-visible

(UV-Vis). Spektroskopi UV-Vis dapat menentukan adanya ikatan tak

jenuh dalam produk biosolubilisasi. Panjang gelombang yang digunakan

yaitu 250 dan 450 nm (Shi et al., 2009).

Spektrofotometer Fourier Transform Infra Red (FTIR)

Spektrofotometri infra merah merupakan teknik yang di dasarkan

pada vibrasi (pergerakan) atom-atom dalam molekul. Spektrum infra

merah pada umumnya dihasilkan melalui sampel dan penentuan fraksi

akibat dari sinar yang diabsorbsi pada energi tertentu. Energi tempat

munculnya peak absorpsi berhubungan dengan frekuensi vibrasi suatu

gugus fungsi atau kromofor yang terdapat dalam suatu molekul.

Spektrofotometri IR ditujukan untuk penentuan gugus-gugus fungsi

molekul pada analisis kualitatif (Giwangkara, 2006).

Energi dari kebanyakan vibrasi molekul berhubungan dengan

daerah infra merah. Vibrasi molekul dapat dideteksi dan diukur pada

spektrum infra merah, penggunaan spektrum infra merah untuk penentuan

struktur senyawa organic biasanya antara 650-4000 cm-1 (15,4-2,5 µm).

Daerah di bawah frekuensi 650 cm-1 dinamakan infra merah jauh dan

daerah di atas frekuensi 4000 cm-1 dinamakan infra merah dekat. Letak

puncak serapan dapat dinyatakan dalam satuan frekuensi (µm) atau

bilangan gelombang (cm-1 ) (Sudjadi, 1985).

Atom-atom di dalam molekul tidak dalam keadaan diam, tetapi

biasanya terjadi peristiwa vibrasi. Hal ini bergantung pada atom-atom dan

kekuatan ikatan yang menghubungkannya. Vibrasi dapat digolongkan atas

Page 40: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

dua golongan besar, yaitu : vibrasi renggangan (stretching) dan vibrasi

bengkokan (bending) (Giwangkara, 2006).

A. Vibrasi Regangan (Streching)

Dalam vibrasi ini atom bergerak terus sepanjang ikatan yang

menghubungkannya sehingga akan terjadi perubahan jarak antara

keduanya, walaupun sudut ikatan tidak berubah. Vibrasi regangan ada dua

macam (Giwangkara, 2006).

1. Regangan Simetri, unit struktur bergerak bersamaan dan searah dalam

satu bidang datar.

2. Regangan Asimetri, unit struktur bergerak bersamaan dan tidak searah

tetapi masih dalam satu bidang datar. Sebagaimana gambar berikut:

Gambar 10. Vibrasi Renggangan (Giwangkara, 2006)

B. Vibrasi Bengkokan (Bending)

Jika sistem tiga atom merupakan bagian dari sebuah molekul yang

lebih besar, maka dapat menimbulkan vibrasi bengkokan atau vibrasi

deformasi yang mempengaruhi osilasi atom atau molekul secara

keseluruhan. Vibrasi bengkokan ini terbagi menjadi empat jenis

(Giwangkara, 2006).

1. Vibrasi Goyangan (Rocking), unit struktur bergerak mengayun asimetri

tetapi masih dalam bidang datar.

2. Vibrasi Guntingan (Scissoring), unit struktur bergerak mengayun simetri

dan masih dalam bidang datar.

Page 41: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

3. Vibrasi Kibasan (Wagging), unit struktur bergerak mengibas keluar dari

bidang datar.

4. Vibrasi Pelintiran (Twisting), unit struktur berputar mengelilingi ikatan

yang menghubungkan dengan molekul induk dan berada di dalam bidang

datar.

Gambar 11. Vibrasi Bengkokan (Giwangkara, 2006)

Jika suatu senyawa organik disinari dengan sinar infra-merah yang

mempunyai panjang gelombang tertentu, akan didapatkan bahwa beberapa

frekuensi tersebut diserap oleh senyawa tersebut. Sebuah alat pendetektor

yang diletakan di sisi lain senyawa tersebut akan menunjukkan bahwa

beberapa frekuensi melewati senyawa tersebut tanpa diserap sama sekali,

tapi frekuensi lainya banyak diserap. Beberapa banyak frekuensi tertentu

yang melewati senyawa tersebut diukur sebagai persen transmitan

(Sudjadi, 1985).

Page 42: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Gambar 12. Instrumentasi FTIR (Dokumen Pribadi, 2010)

Pada sistem optik FTIR digunakan radiasi LASER (Light

Amplification By Stimulated Emmission of Radiation) yang berfungsi

sebagai radiasi yansg diinterferensikan dengan radiasi infra merah agar

sinyal radiasi infra merah yang diterima oleh detektor secara utuh dan

lebih baik. Detektor yang digunakan dalam spektrofotometer FTIR adalah

TGS ( Tetra Glycerine Sulphate) atau MCT (Mercury Cadmium

Telluride). Detektor MCT lebih banyak digunakan karena memiliki

beberapa kelebihan dibandingkan detektor TGS yaitu memberikan respon

yang lebih baik pada frekuensi modulasi tinggi, lebih sensitif, cepat tidak

dipengaruhi oleh temperatur, sangat selektif terhadap energi vibrasi yang

diterima dari radiasi infra merah (Giwangkara, 2006).

Tabel 5. Beberapa Contoh Nilai Frekuensi Gugus Fungsi

Gugus Fungsi Panjang

Gelombang

-1 Frekuensi (cm )

O-H Alkohol/fenol

bebas

Asam karboksilat

H yang terikat

2,74-2,79

3,70-4,0

2,82-3,12

3580-3650

2500-2700

3210-3550

NH Amina

primer,

sekunder dan amida

6,10-6,45 3140-3320

CH Alkana

Alkena

Alkuna

Aromatik

3,37-3,50

3,23-3,32

3,03

~ 3,30

2850-2960

3010-3095

3300

~ 3030

CH2 Bending 6,83 1465

CH3 Bending 6,90-7,27 1450-1375

CC Alkuna

Alkena

Aromatik

4,42-4,76

5,95-6,16

~ 6,25

2190-2260

1620-1680

1475-1600

Page 43: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

C=O Aldehid

Keton

Asam

Ester

Anhidrida

5,75-5,81

5,79-5,97

5,79-5,87

5,71-5,86

5,52-5,68

1720-1740

1675-1725

1700-1725

1720-1750

1760-1181

CN Nitrit 4,35-5,00 2000-3000

NO2 Nitro 6,06-6,67 1500-1650

(Hermanto,2008)

Gas Chromatography Mass Spectrometry (GC-MS)

Kromatografi Gas-Spektroskopi Massa atau sering disebut GC-MS

(Gass Chromatography Mass Spectrometry) adalah teknik analisis yang

menggabungkan dua metode analisis, yaitu Kromatografi Gas dan

Spektroskopi Massa. Kromatografi gas adalah metode analisis, dimana

sampel terpisahkan secara fisik menjadi bentuk molekul-molekul yang

lebih kecil (hasil pemisahan dapat dilihat berupa kromatogram).

Sedangkan spektroskopi massa adalah metode analisis, dimana sampel

yang dianalisis akan diubah menjadi ion-ion gasnya, dan massa dari ion-

ion tersebut dapat diukur berdasarkan hasil deteksi berupa spektrum massa

(Underwood dan Day, 2002).

Gambar 13. Instrumentasi GC-MS (Dokumen Pribadi, 2010)

Pada GC hanya terjadi pemisahan untuk mendapatkan komponen

yang diinginkan, sedangkan bila dilengkapi dengan MS (berfungsi sebagai

Page 44: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

detector) komponen tersebut dapat teridentifikasi, karena Spektrum Bobot

Molekul pada suatu komponen dapat dilihat, serta dapat juga dibandingkan

dengan LIBRARY (reference) pada software (Hermanto, 2008).

Pemisahan komponen senyawa dalam GC-MS terjadi di dalam

kolom (kapiler) GC dengan melibatkan dua fase, yaitu fase diam dan fase

gerak. Fase diam adalah zat yang ada di dalam kolom, sedangkan fase

gerak adalah gas pembawa (Helium maupun Hidrogen dengan kemurnian

tinggi, yaitu ± 99,995%). Proses pemisahan dapat terjadi karena terdapat

perbedaan kecepatan alir dari tiap molekul di dalam kolom. Perbedaan

tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan afinitas antar molekul dengan

fase diam yang ada di dalam kolom. Komponen- komponen yang telah

dipisahkan tersebut masuk ke dalam ruang MS yang berfungsi sebagai

detektor secara instrumentasi (Hermanto, 2008).

Injeksi sampel berupa cairan adalah teknik memasukkan sampel

yang paling umum. Sampel langsung dimasukkan atau diinjeksi setelah

mendapat preparasi. Direct Inlet Probe digunakan untuk sampel yang

memilki titik uap yang lebih tinggi dari kemampuan injector GC atau

untuk analisis sampel yang tidak stabil secara termal. Sampel langsung

dimasukkan ke dalam MS tanpa melalui GC. Teknik Headspace digunakan

untuk sampel hasil ekstraksi dari senyawa- senyawa organik yang mudah

menguap. Senyawa-senyawa tersebut terdapat di dalam produk berbentuk

cair atau padat. Misalnya, senyawa yang mudah menguap di dalam air,

aroma di dalam produk makanan dan sebagainya. Sampel dimasukkan ke

dalam wadah khusus, lalu diinkubasi. Setelah terjadi ekuilibrium gas yang

berada di atas diambil oleh syringe. Lalu sampel dimasukkan ke dalam

GC. Teknik sampling ini menggunakan alat khusus yang terpisah dari

instrument GC-MS, sedangkan pirolis digunakan untuk sampel yang tidak

dapat diuapkan oleh injector GC, misalnya polimer-polimer.

Sampel pertama kali diuraikan terlebih dahulu oleh pemanasan

dalam alat khusus, hasil dekomposisi dapat dianalisis oleh GC. Purge dan

Trap, digunakan untuk sampel hasil ekstraksi dari senyawa-senyawa

organik yang mudah menguap. Zat yang mudah menguap (zat volatil)

Page 45: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

pertama kali dikeluarkan dari sampel dengan menggunakan gas inert.

Kemudian zat volatil tersebut diabsorb oleh zat khusus untuk meng-absorb

seperti karbon aktif. Kemudian absorbe dipanaskan untuk melepaskan

senyawa yang diinginkan ke dalam GC untuk dianalisis (Hermanto, 2008).

2.6.11 Batubara Di Indonesia

Indonesia memegang peranan yang sangat penting dalam industri

batubara dan mineral dunia. Tahun 2005 Indonesia menduduki peringkat

ke-2 sebagai negara pengekspor batubara uap. Untuk pertambangan

mineral, Indonesia merupakan negara penghasil timah peringkat ke-2,

tembaga peringkat ke-3, nikel peringkat ke-4 dan emas peringkat ke-8

dunia . Namun demikian, pertambangan selalu mempunyai dua sisi yang

saling berlawanan, sebagai sumber kemakmuran sekaligus perusak

lingkungan yang sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran sudah

tidak diragukan lagi bahwa sektor ini merupakan salah satu tulang

punggung pendapatan negara selama bertahun-tahun. Sebagai perusak

lingkungan, praktek pertambangan terbuka (open pit mining) yang paling

banyak diterapkan pada penambangan batubara dapat mengubah iklim

mikro dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit batubara

disingkirkan (Gautama, 2007).

Menurut Fariz Tirasonjaya yang dikutip di batu bara Indonesia.com

(www.batubara-indonesia.com) batubara adalah batuan yang mudah

terbakar yang lebih dari 50% -70% berat volumenya merupakan bahan

organik yang merupakan material karbonan termasuk inherent moisture.

Bahan organik utamanya yaitu tumbuhan yang dapat berupa jejak kulit

pohon, daun, akar, struktur kayu, spora, polen, damar, dan lain - lain.

Selanjutnya bahan organik tersebut mengalami berbagai tingkat

pembusukan (dekomposisi) sehingga menyebabkan perubahan sifat-sifat

fisik maupun kimia baik sebelum ataupun sesudah tertutup oleh endapan

lainnya. Proses pembentukan batubara terdiri dari dua tahap, yaitu tahap

biokimia (penggambutan) dan tahap geokimia (pembatubaraan). Salah satu

komoditi tambang yang banyak diusahakan saat ini, untuk memenuhi

kebutuhan energi di Indonesia, adalah batubara. Pada saat ini Indonesia

Page 46: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

memiliki potensi sumberdaya batubara sekitar 60 miliar ton dengan

cadangan miliar ton (Witoro, 2007).

Di lain pihak, tambang batubara di Indonesia umumnya dilakukan

dengan cara tambang terbuka, walaupun ada beberapa yang menggunakan

tambang bawah tanah (underground mining), sehingga akan berdampak

terhadap perubahan bentang alam, sifat fisik, kimia, dan biologis tanah,

serta secara umum menimbulkan kerusakan pada permukaan bumi.

Dampak ini secara otomatis akan mengganggu ekosistem diatasnya,

termasuk tata air (Subardja, 2007).

Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap dimana sisa-sisa

tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi di daerah

rawa dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada

kedalaman 0,5-10 meter. Material tumbuhan yang busuk ini melepaskan

H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi

humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi

gambut. Tahap pembatubaraan (coalification) merupakan gabungan proses

biologi, kimia, dan fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari

sedimen yang menutupinya, temperatur, tekanan, dan waktu terhadap

komponen organik dari gambut. Pada tahap ini prosentase karbon akan

meningkat, sedangkan prosentase hidrogen dan oksigen akan berkurang.

Proses ini akan menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat. Cadangan

Page 47: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

batu bara di Indoensia tersebar di darah Sumatra, Kalimantan, Jawa,

Sulawesi, Maluku, dan Papua. Menurut management batubara-

indonesia.com (www.batubara-indonesia.com), World Energy Council

memperkirakan cadangan batubara dunia terbukti mencapai 847.488 juta

ton pada akhir 2007 yang tersebar di lebih dari 50 negara. Di Indonesia

sendiri, menurut Dirjen Minerba Kementrian ESDM Bambang Setiawan

yang dikutip di majalah Investor bulan April 2011, sumber daya dan

cadangan batu bara nasional sebesar 105,2 miliar ton. Sedangkan nilai

cadangan sebesar 21,13 miliar ton. Besarnya cadangan batu bara nasional

menyebabkan peningkatan produksi batu bara setiap tahunnya. Menurut

data ESDM, produksi batu bara Indonesia meningkat dari 132,352,025 ton

per 2004, hingga 275,164,196 ton pada tahun 2010. Sementara total ekspor

meningkat dari 93,758,806 ton per 2004 hingga 208,000,000 ton per 2010.

Pertambangan batu bara dan emas mendominasi beberapa daerah di

Kalimantan. Ketahanan tanaman terhadap logam berat berbeda. Oleh

karena itu perlu diperoleh tanaman yang sesuai untuk reklamasi lahan

tertentu. Lahan tambang umumnya telah terkontaminasi toksit, lahan jadi

beracun dan susah ditumbuhi, disamping mengaplikasikan bakteri

pereduksi sulfur dan bakteri penetralisir toksik. lahan bekas penambangan

batu bara seringkali minim bahkan tidak ada lapisan topsoil yang

sebenarnya banyak mengandung unsur hara. Usaha untuk memperoleh

tanaman yang sesuai untuk reklamasi lahan pertambangan tertentu, dapat

melalui modifikasi genetik melalui rekayasa genetika atau induksi mutan

melalui radiasi atau somaklonal variasi. Induksi mutan melalui radiasi

pada tanaman hutan belum banyak dilakukan dan umumnya tanaman

daerah beriklim dingin dan sebagian besar tanaman keras atau berkayu

seperti tanaman buah pir. Induksi mutan pada sengon merupakan usaha

untuk meningkatkan ketahanan pada tanaman kehutanan di Indonesia yang

berpotensi untuk reklamasi lahan pertambangan (Enny, 2009).

Dalam dasawarsa terakhir ini penggunaan batubara sebagai bahan

energi meningkat dengan pesatnya pemanfaatan batubara sebagai sumber

energy dapat menjadi salah satu skenario dalam mengatasi krisis energy.

Page 48: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Pertambangan dan energi merupakan sektor pembangunan penting bagi

Indonesia. Industri pertambangan sebagai bentuk kongkret sektor

pertambangan menyumbang sekitar 11,2% dari nilai ekspor Indonesia dan

memberikan kontribusi sekitar 2,8% terhadap pendapatan domestik bruto

(PDB). Industri pertambangan mempekerjakan sekitar 37.787 tenaga kerja

orang Indonesia, suatu jumlah yang tidak sedikit (Anggayana & Widayat,

2007).

Kehadiran dan beroperasinya pertambangan batubara dengan

sejumlah aktivitasnya itu, seperti ganti rugi lahan, proses penambangan,

perekrutan pegawai, penempatan mess karyawan, dan lain-lain berdampak

pada lingkungan di sekitarnya, baik itu lingkungan fisik maupun non-fisik.

Kondisi lingkungan yang demikian potensial merubah perilaku sosial

masyarakat yaitu pada perilaku bergotong royong. Gotong royong

merupakan salah satu aktivitas masyarakat yang terpengaruhi oleh

kehadiran pertambangan batubara. Masyarakat desa dengan latar belakang

sebagai petani serta kehidupan yang penuh dengan kesederhaan aktivitas

gotong royong menjadi alternatif untuk saling meringankan beban

pekerjaan yang berlaku secara turun temurun sehingga membentuk

perilaku sosial yang nyata dalam tata kehidupan sosial. Gotong royong

merupakan ciri budaya bangsa Indonesia yang selalu dipegang teguh dan

dijunjung tinggi terutama di pedesaan yang mayoritas dihuni oleh

masyarakat tradisional. Namun seiring dengan masuknya sistem budaya

baru, perilaku tersebut mengalami perubahan. Jika dulu masyarakat sering

melaksanakan kegiatan gotong royong dalam kehidupan sehari-hari secara

suka rela (tanpa upah atau bayaran) dan mudah untuk dikerahkan, namun

kondisi sekarang sulit untuk mengerahkan warga atau tenaga orang untuk

bergotong royong tanpa ada bayaran

(Jatman, 1983:15-16).

2.7 Industri Pertambangan di Kalimantan Selatan

Menurut Greenpeace Indonesia (2014), dalam artikel “Bagaimana

pertambangan batubara melukai perekonomian Indonesia” diuraikan

Page 49: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

selama sepuluh tahun terakhir, Indonesia telah mengalami pertumbuhan

luar biasa di sector pertambangan batubara yang belum pernah terjadi

sebelumnya, dengan meningkatnya produksi dan ekspor batu bara sebesar

lima kali lipat antara tahun 2000 dan 2012. Meskipun pertumbuhannya

meningkat sangat pesat, sektor batubara menyumbang hanya 4% dari

Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dengan prospek pertumbuhan di

masa depan yang lebih terbatas (Greenpeace Indonesia, 2014).

Eksplotasi batubara yang masif ini harus dibayar dengan biaya

besar terhadap ekonomi nasional, sektor-sektor ekonomi lainnya serta

mata pencaharian penduduk Indonesia di daerah-daerah terkena dampak.

Industri ekstraktif seperti pertambangan batubara mengguncang

perekonomian Indonesia, menyebabkan fluktuasi besar dalam neraca

pembayaran dan nilai tukar. Dampak dari fluktuasi ini juga menghambat

pembangunan jangka panjang dari industri dengan nilai tambah yang lebih

tinggi karena mengalihkan dan menghalau investasi modal awal. Saat ini,

Indonesia menderita karena pasar batubara internasional lemah

(Greenpeace Indonesia, 2014).

Meskipun pertumbuhan dramatis selama dekade terakhir, ekspor

batubara hanya merupakan 3% dari perekonomian nasional dan

penggunaan batu bara dalam negeri hanya 1%, seperti yang diperkirakan

pada Tabel 2 di bawah ini. Kontribusi pertambangan terhadap PDB lebih

kecil dari semua jasa (35%), manufaktur (27%) dan pertanian (16%).

Industri batubara juga sangat sedikit mempekerjakan orang. Sebuah studi

besar di Kalimantan Selatan – salah satu pusat pertambangan batubara

utama di Indonesia – menunjukkan bahwa keseluruhan sektor

pertambangan mempekerjakan hanya dua persen dari angkatan kerja di

wilayah tersebut. Studi ini juga menemukan bahwa keuntungan ekonomi

dari pertambangan batubara menggelontor terutama untuk rumah tangga

berpendapatan tinggi daripada rumah tangga berpendapatan rendah

(Greenpeace Indonesia, 2014).

Kalimantan Selatan merupakan salah satu wilayah yang kaya akan

lahan tambang, salah satunya batubara. Kawasan ini di kenal memiliki

Page 50: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

cadangan bahan tambang melimpah, khusunya batu bara. Sampai saat ini

produksinya dapat mencapai 10% dari produksi total batubara nasional.

Merebaknya tambang batu bara di Kalsel tersebut memberikan dampak

pada bidang ekonomi, dimana devisa terus saja mengalir dari hasil ekspor

tambang itu dengan tujuan berbagai negara di dunia (Greenpeace

Indonesia, 2014).

2.6.1 Pengertian Pertambangan Batubara

Pertambangan merupakan suatu bidang usaha yang karena sifat

kegiatannya pada dasarnya selalu menimbulkan perubahan pada alam

lingkungannya. Batubara merupakan salah satu bahan galian strategis yang

sekaligus menjadi sumber daya energy yang sangat besar. Indonesia pada

tahun 2006 mampu memproduksi batu bara sebesar 162 juta ton dan 120

juta ton diantaranya diekspor. Sementara itu sekitar 29 juta ton diekspor ke

Jepang. indonesia memiliki cadangan batubara yang tersebar di Pulau

Kalimantan dan Pulau Sumatera, sedangkan dalam jumlah kecil, batu bara

berada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua dan Sulawesi (BPLHD Jabar,

2005).

2.6.2 Jenis Batubara

Jenis dan kualitas batubara tergantung pada tekanan, panas dan

waktu terbentuknya batubara. Berdasarkan hal tersebut, maka batubara

dapat dikelompokkan menjadi 5 jenis batubara, diantaranya adalah

antrasit, bituminus, sub bituminus, lignit dan gambut (Anonim1,2013) :

1. Antrasit merupakan jenis batubara dengan kualitas terbaik, batubara

jenis ini mempunyai ciri-ciri warna hitam metalik, mengandung unsur

karbon antara 86%-98% dan mempunyai kandungan air kurang dari 8%.

2. Bituminus merupakan batubara dengan kualitas kedua, batubara jenis

ini mempunyai kandungan karbon 68%-86% serta kadar air antara 8%-

10%. Batubara jenis ini banyak dijumpai di Australia.

3. Sub Bituminus merupakan jenis batubara dengan kualitas ketiga,

batubara ini mempunyai ciri kandungan karbonnya sedikit dan

mengandung banyak air.

Page 51: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

4. Lignit merupupakan batubara dengan kwalitas keempat, batubara jenis

ini mempunyai cirri memiliki warna muda coklat, sangat lunak dan

memiliki kadar air 35%-75%.

5. Gambut merupakan jenis batubara dengan kwalitas terendah, batubara

ini memiliki ciri berpori dan kadar air diatas 75%.

Aktivitas pertambangan Batubara selalu membawa dua sisi. Sisi pertama

adalah memacu kemakmuran ekonomi negara. Sisi yang lainnya adalah

timbulnya dampak lingkungan yang memerlukan tenaga, pikiran, dan

biaya yang cukup signifikan untuk proses pemulihannya. Salah satu

komoditi tambang yang banyak diusahakan saat ini, untuk memenuhi

kebutuhan energi di Indonesia, adalah batubara. Pada saat ini Indonesia

memiliki potensi sumberdaya batubara skater 60 miliar ton dengan

cadangan 7 miliar ton (Witoro, 2007). Di lain pihak, tambang batubara di

Indonesia umumnya dilakukan dengan cara tambang terbuka, walaupun

ada beberapa yang menggunakan tambang bawah tanah (underground

mining), sehingga akan berdampak terhadap perubahan bentang alam, sifat

fisik, kimia, dan biologis tanah, serta secara umum menimbulkan

kerusakan pada permukaan bumi.

Dari pengertian diatas bahwa mengatakan pertambangan Batubara

mengakibatkan dua sisi efek negatif maupun positif yang diakibatkan oleh

pertambangan Batubara itu sendiri :

2.6.3 Dampak Negatif Terhadap Lingkungan

a. Dampak Terhadap Lingkungan

Seperti halnya aktifitas pertambangan lain di Indonesia,

Pertambangan batubara juga telah menimbulkan dampak kerusakan

lingkungan hidup yang cukup besar, baik itu air, tanah, Udara, dan hutan,

Air (Anonim2,2013). Penambangan Batubara secara langsung

menyebabkan pencemaran antara lain ;

Page 52: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Gambar 2.1 Aktivitas penambangan batu bara.

1. Pencemaran air

Permukaan batubara yang mengandung pirit (besi sulfide) berinteraksi

dengan air menghasilkan Asam sulfat yang tinggi sehingga

terbunuhnya ikan-ikan di sungai, tumbuhan, dan biota air yang

sensitive terhadap perubahan pH yang drastis. Itu terjadi apabila

system pembuangan dari pertambangan batubara itu tidak sesuai

dengan peraturan yang berlaku atau tidak mengikuti peraturannya itu.

2. Pencemaran udara

Polusi/pencemaran udara yang kronis sangat berbahaya bagi

kesehatan. Menurut logika udara kotor pasti mempengaruhi kerja

paru-paru. Peranan polutan ikut andil dalam merangsang penyakit

pernafasan seperti influenza, bronchitis dan pneumonia serta penyakit

kronis seperti asma dan bronchitis kronis.

Gambar 2.2 Aktivitas pengangkutan batu bara.

3. Pencemaran Tanah

Page 53: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Penambangan batubara dapat merusak vegetasi yang ada,

menghancurkan profil tanah genetic, menggantikan profil tanah

genetic, menghancurkan satwa liar dan habitatnya, degradasi kualitas

udara, mengubah pemanfaatan lahan dan hingga pada batas tertentu

dapat megubah topografi umum daerah penambangan secara

permanen.

Gambar 2.3 Lahan pasca tambang

Disamping itu, penambangan batubara juga menghasilkan gas

metana, gas ini mempunyai potensi sebagi gas rumah kaca. Kontribusi gas

metana yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, memberikan kontribusi

sebesar 10,5% pada emisi gas rumah kaca. Permasalahan lingkungan

dalam aktivitas pertambangan batubara umumnya terkait dengan Air Asam

Tambang (AAT) atau Acid Mine Drainage (AMD). Air tersebut terbentuk

sebagai hasil oksidasi mineral sulfida tertentu yang terkandung dalam

batuan oleh oksigen di udara pada lingkungan berair (Sayoga, 2007).

Penggalian batubaranya sendiri, serta waste material menyebabkan

tersingkapnya tanah/batuan yang mengandung mineral sulfida, antara lain

berupa Pirit (Pyrite) dan Markasit (Marcasite). Mineral sulfida tersebut

selanjutnya bereaksi dengan oksidan dan air membentuk air asam

tambang. Air asam tambang ini akan mengikis tanah dan batuan yang

berakibat pada larutnya berbagai logam seperti besi (Fe), jadi sisa dari

pertambangan Batubara itu menghasilkan cekungan atau wadah sepeti

mangkok yang akan teroksidasi terhadap air dan udara,kalau tiga unsur itu

mengalami keterikatan maka akan mengasilkan air asam tambang itu

(Sayoga, 2007).

b. Dampak Terhadap manusia

Page 54: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Dampak pencemaran Pencemaran akibat penambangan batubara

terhadap manusia, munculnya berbagai penyakit antara lain

(Anonim2,2013):

Limbah pencucian batubara zat-zat yang sangat berbahaya bagi kesehatan

manusia jika airnya dikonsumsi dapat menyebabkan penyakit kulit pada

manusia seperti kanker kulit. Kaarena Limbah tersebut mengandung

belerang ( b), Merkuri (Hg), Asam Slarida (Hcn), Mangan (Mn), Asam

sulfat (H2sO4), di samping itu debu batubara menyebabkan polusi udara

di sepanjang jalan yang dijadikan aktivitas pengangkutan batubara. Hal ini

menimbulkan merebaknya penyakit infeksi saluran pernafasan, yang dapat

memberi efek jangka panjang berupa kanker paru-paru, darah atau

lambung. Bahkan disinyalir dapat menyebabkan kelahiran bayi cacat.

c. Dampak Sosial dan kemasyarakatan

1. Terganggunya Arus Jalan Umum

Kegiatan pertambangan merupakan kegiatan usaha yang kompleks

dan sangat rumit, sarat resiko, merupakan kegiatan usaha jangka panjang,

melibatkan teknologi tinggi, adat modal, dan membutuhkan aturan

regulasiyang dikeluarkan oleh beberapa sector. Banyaknya lalu lalang

kendaraan yang digunakan untuk angkutan batubara berdampak pada

aktivitas pengguna jalan lain. Semakin banyaknya kecelakaan,

meningkatnya biaya pemeliharaan jembatan dan jalan, adalah sebagian

dari dampak yang ditimbulkan (Raden dkk, 2010).

2. Konflik Lahan Hingga Pergeseran Sosial-Budaya Masyarakat

Konflik lahan kerap terjadi antara perusahaan dengan masyarakat

lokal yang lahannya menjadi obyek penggusuran. Kerap perusahaan

menunjukkan kearogansiannya dengan menggusur lahan tanpa melewati

persetujuan pemilik atau pengguna lahan. Atau tak jarang mereka

memberikan ganti rugi yang tidak seimbang denga hasil yang akan mereka

dapatkan nantinya. Tidak hanya konflik lahan, permasalahan yang juga

sering terjadi adalah diskriminasi. Akibat dari pergeseran ini membuat

pola kehidupan mereka berubah menjadi lebih konsumtif. Bahkan

Page 55: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

kerusakan moralpun dapat terjadi akibat adanya pola hidup yang berubah

(Business Review Online, 2012).

2.6.4 Dampak Positif dari Penambangan Batubara

1. Sisi Ekonomi dan Sumber Daya Manusia

Tidak dapat dipungkiri baik secara langsung maupun tidak langsung

sebagian besar dengan adanya kegiatan penambangan dan adanya

perusahaan pertambangan disuatu daerah akan berdampak secara

sistematik pada segi ekonomi masyarakat daerah tersebut.

2. Memasok Kebutuhan Energi

Kegiatan penambangan oleh perusahaan pertambangan khususnya

penambangan bahan-bahan tambang yang pengunaan akhirnya

sebagai sumber energi secara langsung akan berdampak pada

peningkatan dan mpemenuhan permintaan pasokan energi khususnya

didaerah tersebut dan pada daerah lain secara luas. Sebagai contoh

penambangan bahan galian batubara yang umumnya digunakan

sebagai bahan bakar pembangkit listrik tentunya akan mampu

meningkatkan pasokan energi listrik pada daerah tersebut dikarenakan

ketersediaan bahan bakar yang besar bagi pembangkit listrik PLTU

khususnya. Bahkan banyak dengan adanya kegiatan penambangan

batubara yang cukup besar akan merangsang investasi pendirian

pembangkit listrik PLTU pada daerah di sekitar penambangan

batubara sehingga kebutuhan energi daerah tersebut jauh dapat

dipenuhi. Selain itu penambangan gas bumi juga dapat dimanfaatkan

sebagai alternatif energi lain yaitu pembangkit listrik tenaga gas atau

PLTG, dimana dengan hal tersebut kebutuhan energi daerah tersebut

bisa teratasi dengan baik.

3. Memacu Pembangunan

Pembangunan didaerah kegiatan penambangan dan perusahaan

pertambangan tentunya akan terus berkembang pesat sejalan dengan

kegiatan penambangan itu sendiri. Pembangunan insfrastruktur

pendukung kegiatan penambangan itu sendiri tentunya akan memicu

peningkatan pembangunan didaerah tersebut guna mendukung

Page 56: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

kebutuhan perusahaan dan kegiatan penambangan itu sendiri mulai

dari segi sosial, kesehatan, perekonomian dan lain-lain. Seperti

diterangkan sebelumnya kegitan penambangan itu sendiri akan

merangsang pembangunan perusahaan pengguna dari bahan tambang

itu sendiri yang akan berimbas secara berkelanjutan akan kebutuhan

insfrastruktur sosial seperti tempat ibadah, ekonomi berupa perbankan

dan pasar, serta sarana pendidikan (Abdullah,2013).

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsep pada penelitian ini adalah :

3.2 Tempat dan Waktu

Page 57: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Penelitian tentang Pengaruh Penambangan Batu Bara terhadap

Kejadian Penyakit Malaria dilaksanakan pada Penelitian ini dilakukan di desa

Paring Tali, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Banjar Kalimantan

Selatan. selama 1 bulan.

3.3 Desain Penelitian

Penelitian deskriptif mencoba mencari deskripsi yang tepat dan cukup

dari semua aktivitas, objek, proses, dan manusia. Kajian ini menggunakan

pendekaan Cross Sectional.

3.4 Populasi dan Sampel

Pada penelitian ini populasi adalah masyarakat yang bertempat tinggal

di daerah Kabupaten Banjar. Dan adapun sampel adalah masyarakat yang

dipilih secara acak bertempat tinggal di Kecamatan Simpang Empat.

3.5 Variabel

Variabel yang dikumpulkan adalah :

a. Variabel dependen (Terikat), yaitu kejadian ISPA.

b. Variabel independen (Bebas), yaitu karakteristik rumah tangga,

sanitasi lingkungan, jamban, dan PHBS.

3.7 Pengumpulan Data

a. Data primer yang akan dikumpulkan : Data lingkungan biologi dan

lingkungan fisik serta melakukan wawancara terhadap anggota rumah

tangga yang terpilih.

b. Data sekunder yang akan dikumpulkan : Data kasus penyakit, data

geografi, demografi dan iklim (dinas terkait).

3.8 Cara Kerja

Mengumpulkan data sekunder, survey habitat vector di bekas

penambangan batubara, keberadaan reservoir penyakit, pengamatan

Page 58: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

lingkungan fisik kimia, dan melakukan wawancara mendalam dan wawancara

pada masyarakat menggunakan kuesioner.

Page 59: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Perkembangan industri pertambangan batubara di Kecamatan Simpang

Empat Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.

Perkembangan produksi batubara selama 13 tahun terakhir telah

menunjukkan peningkatan yang cukup pesat, dengan kenaikan produksi rata-

rata 15,68% pertahun. Tampak pada tahun 1992, produksi batubara sudah

mencapai 22,951 juta ton dan selanjutnya pada tahun 2005 produksi batubara

nasional telah mencapai 151,594 juta ton. Perusahaan pemegang PKP2B

merupakan produsen batubara terbesar, yaitu sekitar 87,79 % dari jumlah

produksi batubara Indonesia, diikuti oleh pemegang KP sebesar 6,52 % dan

BUMN sebesar 5,68 %. Perkembangan produksi batubara nasional tersebut

tentunya tidak terlepas dari permintaan dalam negeri (domestik) dan luar

negeri (ekspor) yang terus meningkat setiap tahunnya. Sebagian besar

produksi tersebut untuk memenuhi permintaan luar negeri, yaitu rata-rata

72,11%, dan sisanya 27,89% untuk memenuhi permintaan dalam negeri

(Pusat Litbang Teknologi Mineral dan Batubara, 2006).

Kalimantan Selatan merupakan salah satu wilayah yang kaya akan

lahan tambang, salah satunya batubara. Kawasan ini di kenal memiliki

cadangan bahan tambang melimpah, khusunya batu bara. Sampai saat ini

produksinya dapat mencapai 10% dari produksi total batubara nasional.

Merebaknya tambang batu bara di Kalsel tersebut memberikan dampak pada

bidang ekonomi, dimana devisa terus saja mengalir dari hasil ekspor tambang

itu dengan tujuan berbagai negara di dunia (Greenpeace Indonesia, 2014).

Page 60: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Berdasarkan table diatas, sector batubara memberikan pendapatan

tertinggi pada beberapa tahun terkhir.

Di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar, telah dibuka area

pertambangan batubara oleh beberapa perusahaan tambang. Jalur untuk akses

pertambangan yang melewati beberapa desa di kecamatan tersebut

memberikan kemudahan akses bagi penduduk untuk mencapai pusat

kecamatan dan ke luar kecamatan. Dengan dibukanya jalur memberikan

dampak positif dalam menunjang kegiatan ekonomi masyarakat setempat.

Namun, disisi lain, jalur tersebut juga memudahkan akses menuju titik

titik tambang batubara yang dapat digali oleh beberapa perusahaan kecil yang

tidak memenuhi perizinan terkait kegiatan tambang batubara. Adapun lokasi

galian ini sangat dekat dengan pemukiman warga desa. Limbah pencucian

batubara zat-zat yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia jika airnya

dikonsumsi dapat menyebabkan penyakit kulit pada manusia seperti kanker

kulit. Karena Limbah tersebut mengandung belerang ( b), Merkuri (Hg),

Asam Slarida (Hcn), Mangan (Mn), Asam sulfat (H2sO4), di samping itu

debu batubara menyebabkan polusi udara di sepanjang jalan yang dijadikan

aktivitas pengangkutan batubara. Hal ini menimbulkan merebaknya penyakit

infeksi saluran pernafasan.

Page 61: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Berdasarkan hasil wawancara dari penduduk di Desa Paring Tali,

mereka mengeluhkan banyaknya lalu lalang kendaraan yang digunakan

untuk angkutan batubara, hal tersebut menimbulkan berbagai gangguan

seperti kebisingan dan debu yang mengganggu kesehatan warga desa. Selain

itu, warga juga mengeluhkan lumpur dari sisa penggalian yang sering

menutupi sawah warga pada musim hujan.

Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar memiliki 2 unit

fasilitas kesehatan berupa 1 unit puskesmas dan 1 unit puskesmas pembantu

yang terletak di pusat kecamatan dan berada di jalur lintas kota. Fasilitas ini

sangat sulit dijangkau oleh warga yang tinggal di jalur pertambangan

batubara. Hal ini menunjukan bahwa pelayanan fasilitas kesehatan yang

kurang serta kondisi lingkungan yang buruk karena aktivitas pertambangan

dapat meningkatkan resiko sakit. Pencemaran udara yang kronis sangat

berbahaya bagi kesehatan. Menurut logika udara kotor pasti mempengaruhi

kerja paru-paru. Peranan polutan ikut andil dalam merangsang penyakit

pernafasan seperti influenza, bronchitis dan pneumonia serta penyakit kronis

seperti asma dan bronchitis kronis.

Aktifitas pertambangan di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten

Banjar tidak dapat dipungkiri baik secara langsung maupun tidak langsung

sebagian besar dengan adanya kegiatan penambangan dan adanya perusahaan

pertambangan akan berdampak secara sistematik pada segi ekonomi

masyarakat daerah tersebut. Namun, aktivitas tersebut juga mengganggu

kesehatan dan merusak vegetasi yang ada, menghancurkan profil tanah

genetic, menggantikan profil tanah genetic, menghancurkan satwa liar dan

habitatnya, degradasi kualitas udara, mengubah pemanfaatan lahan dan

hingga pada batas tertentu dapat megubah topografi umum daerah

penambangan secara permanen.

4.2 Pengaruh aktivitas pertambangan batubara terhadap kesehatan pekerja

dan masyarakat disekitarnya.

a. Dampak terhadap lingkungan.

Page 62: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Dampak lingkungannya yaitu terganggunya ekosistem terutama

perairan disekitar tambang yang sacara langsung terhubung oleh aliran air

bawah tanah, air asam tambang adalah salah satu hal yang dapat

menyebabkan tercemarnya perairan, rusaknya baku mutu air jika tidak

dilakukan pencegahan dan penangan. Berkurangnya kualitas udara bersih di

sekitar wilayah pertambangan, karena debu yang dihasilkan dari aktivitas

pertambangan sangan bersifat (toxic) beracun terutama untuk kesehatan.

b. Dampak dari aktivitas pertambangan batu bara terhadap para pekerja dan

masyarakat di sekitar wilayah aktivitas pertambangan.

Secara sederhana dapat diketahui bahwa dampak yang langsung

dapat dirasakan oleh para pekerja tambang adalah susahnya bernafas

disekitar wilayah tambang karena debu dari batubara sangan banyak dan

mempunai partikel yang sangat kecil yang berukuran 0,1 sampai 10 mikron.

Sebagain besar partikel yang berukuran 5-10 mikron bila terhirup akan

terendap pada saluran pernapasan atas, dan paling bebahaya atau disebut

respirabel, denganadalah ukuran 1-3 karena saat terhirup akan tertahan dan

terendap pada bronkiolus teminalis samapi alveoli yang tentunya dapat

berpengaruh terhadap kesehatan untuk jangka panjang terutama untuk paru-

paru.

Penyakit yang sering terjadi adalah penyakit paru-paru hitam atau

yang terhirup oleh para pekerja secara waktu yang berkepanjangan dan

menyebabkan paru-paru berwarna akibat partikel kecil debu batu bara. Debu

batu bara juga menyebabkan penyakit lain seperti, TBC, asma dan ISPA (

Inveksi saluran Pernapasan Atas ). Tanpa menggunakan alat keselamatan

kerja penyakit yang sacara luas tersebar di udara tersebut dapat dengan cepat

mempengaruhi kesehatan para pekerja tambang dan juga masyarakat di

sekitar wilayah pertambangan.

4.3 Faktor resiko yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan batubara

terhadap kejadian ISPA.

Penyakit ISPA (infeksi saluran pernafasan akut) merupakan suatu

penyakit yang disebabkan infeksi pada organ saluran pernafasan, laring,

Page 63: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

faring, sinus dan hidung. Penyebab utama dari penyakit ISPA yaitu faktor

lingkungan yang kurang bersih. Penyakit ISPA yang diakibatkan oleh

aktivitas pertambangan batubara di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten

Banjar, Kalimantan Selatan ini kurang terlihat atau kurang dirasakan efek

penyakitnya untuk saat ini. Namun akibat dampak perubahan iklim kemarin

dari musin hujan ke musim kemarau itu yang dapat menyebabkan jalan di

kawasan pertambangan menuju ke kawasan penduduk itu sangat berdebu

yang diakibatkan oleh truck pengangkut batu bara itu. Oleh Karena itu

penyakit khususnya ISPA sangat rentang terkena ke anak-anak maupun

dewasa yang berada diwilayah sekitaran pertambangan batu bara itu.

Penyebab penyakit ISPA, yaitu efek pencemaran udara terhadap

saluran pernafasan dapat menyebabkan berhentinya saluran pernafasan,

sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat iritasi oleh

bahan pencemar. Banyaknya lendir akan meningkatkan penyempitan saluran

pernafasan dan rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran pernafasan. Akibat

dari hal tersebut akan menyebabkan kesulitan bernafas sehingga benda asing

tertarik dan bakteri lain tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan, hal

ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan, selain

pencemaran udara ISPA penyebab di yaitu bakteri dan virus. Penyakit ISPA

dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernapasan yang

mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat ke saluran

pernapasannya. Jadi, penyakit ISPA terjadi bukan hanya karena infeksi virus

atau bakteri, namun perilaku buruk yang dilakukan sehari-hari dapat

menyebabkan timbulnya penyakit ini. ISPA terdiri dari saluran pernafasan

pada bagian atas hingga saluran pernafasan pada bagian bawah. Bahkan jika

sudah mengalami infeksi akut, maka dapat menyerang bagian saluran

pernafasan mulai dari hidung bagian atas sampai jaringan pada paru-paru

bagian bawah.

4.4 Upaya pencegahan dan penanggulangan ISPA.

Penemuan dini penderita pneumonia dengan penatalaksanaan kasus

yang benar merupakan strategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan program

Page 64: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

(turunnya kematian karena pneumonia dan turunnya penggunaan antibiotik

dan obat batuk yang kurang tepat pada pengobatan penyakit ISPA). Pedoman

penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan petunjuk standar pengobatan

penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi penggunaan antibiotik

untuk kasus-kasus batuk pilek biasa, serta mengurangi penggunaan obat batuk

yang kurang bermanfaat. Strategi penatalaksanaan kasus mencakup pula

petunjuk tentang pemberian makanan dan minuman sebagai bagian dari

tindakan penunjang yang penting bagi pederita ISPA . Penatalaksanaan ISPA

meliputi langkah atau tindakan sebagai berikut (John, 2002) :

a. Pemeriksaan

Pemeriksaan artinya memperoleh informasi tentang penyakit anak

dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada ibunya, melihat dan

mendengarkan anak. Hal ini penting agar selama pemeriksaan anak tidak

menangis (bila menangis akan meningkatkan frekuensi napas), untuk ini

diusahakan agar anak tetap dipangku oleh ibunya. Menghitung napas dapat

dilakukan tanpa membuka baju anak. Bila baju anak tebal, mungkin perlu

membuka sedikit untuk melihat gerakan dada. Untuk melihat tarikan dada

bagian bawah, baju anak harus dibuka sedikit. Tanpa pemeriksaan auskultasi

dengan steteskop penyakit pneumonia dapat didiagnosa dan diklasifikasi.

b. Klasifikasi ISPA

Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai

berikut :

1) Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada

kedalam (chest indrawing).

2) Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.

3) Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai

demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat.

Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia.

c. Pengobatan

1) Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral,

oksigendan sebagainya.

Page 65: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

2) Pneumonia : diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita

tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian

kontrmoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik

pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin prokain.

3) Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan

di rumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat

batuk lain yang tidak mengandung zat yang merugikan seperti kodein,

dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila demam diberikan obat penurun

panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila pada

pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai

pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai radang

tenggorokan oleh kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik

(penisilin) selama 10 hari. Tanda bahaya setiap bayi atau anak dengan

tanda bahaya harus diberikan perawatan khusus untuk pemeriksaan

selanjutnya.

d. Perawatan di rumah

Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi

anaknya yang menderita ISPA.

1) Mengatasi panas (demam)

Untuk anak usia 2 bulan sampai 5 tahun demam diatasi dengan

memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan dengan

demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk

waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya,

kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres, dengan

menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).

2) Mengatasi batuk

Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional

yaitu jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½ sendok

teh , diberikan tiga kali sehari.

3) Pemberian makanan

Page 66: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulangulang

yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI pada

bayi yang menyusu tetap diteruskan.

4) Pemberian minuman

Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih

banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak, kekurangan

cairan akan menambah parah sakit yang diderita.

5) Lain-lain

a) Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan

rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam.

b) Jika pilek, bersihkan hidung yang berguna untuk mempercepat

kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah.

c) Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi

cukup dan tidak berasap.

d) Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak memburuk maka

dianjurkan untuk membawa kedokter atau petugas kesehatan.

e) Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas

usahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar selama

5 hari penuh. Dan untuk penderita yang mendapatkan antibiotik, usahakan

agar setelah 2 hari anak dibawa kembali ke petugas kesehatan untuk

pemeriksaan ulang.

Pencegahan ISPA

Pencegahan ISPA yang dilakukan adalah upaya yang dimaksudkan

agar seseorang terutama anak-anak dapat terhindar baik itu infeksinya, maupun

melawan dengan sistem kekebalan tubuh, karena vektor penyakit ISPA telah

sangat meluas di dunia, sehingga perlu kewaspadaan diri untuk menghadapi

serangan infeksi, bukan hanya dalam hal pengobatan ISPA. Menurut Depkes

RI, (2004) pencegahan ISPA antara lain:

a. Menjaga kesehatan gizi agar tetap baik

Dengan menjaga kesehatan gizi yang baik maka itu akan mencegah

kita atau terhindar dari penyakit yang terutama antara lain penyakit ISPA.

Page 67: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Misalnya dengan mengkonsumsi makanan empat sehat lima sempurna, banyak

minum air putih, olah raga dengan teratur, serta istirahat yang cukup,

kesemuanya itu akan menjaga badan kita tetap sehat. Karena dengan tubuh

yang sehat maka kekebalan tubuh kita akan semakin meningkat, sehingga

dapat mencegah virus / bakteri penyakit yang akan masuk ke tubuh kita.

b. Imunisasi

Pemberian immunisasi sangat diperlukan baik pada anak-anak

maupun orang dewasa. Immunisasi dilakukan untuk menjaga kekebalan tubuh

kita supaya tidak mudah terserang berbagai macam penyakit yang disebabkan

oleh virus / bakteri.

c. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan

Membuat ventilasi udara serta pencahayaan udara yang baik akan

mengurangi polusi asap dapur / asap rokok yang ada di dalam rumah, sehingga

dapat mencegah seseorang menghirup asap tersebut yang bisa menyebabkan

terkena penyakit ISPA. Ventilasi yang baik dapat memelihara kondisi sirkulasi

udara (atmosfer) agar tetap segar dan sehat bagi manusia.

d. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) ini disebabkan oleh virus/ bakteri yang

ditularkan oleh seseorang yang telah terjangkit penyakit ini melalui udara yang

tercemar dan masuk ke dalam tubuh. Bibit penyakit ini biasanya berupa virus /

bakteri di udara yang umumnya berbentuk aerosol (anatu suspensi yang

melayang di udara). Adapun bentuk aerosol yakni Droplet, Nuclei (sisa dari

sekresi saluran pernafasan yang dikeluarkan dari tubuh secara droplet dan

melayang di udara), yang kedua duet (campuran antara bibit penyakit).

Sebagaimana yang telah di sebutkan tadi, hal-hal yang dapat kita lakukan untuk

melindungi diri dalam rangka pencegahan ISPA adalah (Depkes RI, 1994) :

Dengan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Hal ini menjadi sangat

sulit bagi anak-anak karena perlu pengawasan yang baik serta memberikan

kesadaran kepada mereka.

Keadaan gizi yang harus terjaga agar tidak mudah terinfeksi penyakit. Hal

ini disebabkan karena apabila kondisi tubuh tidak terjaga, maka kadar

imunitas tubuh juga akan menurun.

Page 68: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Melakukan kontrol terhadap keadaan lingkungan merupakan hal yang

penting bagi pencegahan penyakit. Penggunaan masker sederhana bisa

menjadi alternatif yang cukup praktis untuk melindungi diri dari

lingkungan yang tidak sehat serta menhindari kontak langsung dengan

penderita ISPA.

Dengan melakukan imunisasi untuk menjaga kekebalan tubuh.

Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan modal utama bagi pencegahan

ISPA, sebaliknya perilaku yang tidak mencerminkan hidup sehat akan

menimbulkan berbagai penyakit.

Usaha untuk memberikan gizi yang baik mungkin akan mudah bagi

orang dewasa yang telah mengerti, namun bagi bayi yang masih dalam kontrol

orang tua harus disusui sampai usia dua tahun karena ASI adalah makanan

yang paling baik untuk bayi. Berikan anak makanan padat sesuai

kebutuhannya. Bayi dan balita hendaknya secara teratur ditimbang untuk

mengetahui apakah beratnya sesuai dengan umurnya dan perlu diperiksa

apakah ada penyakit yang menghambat pertumbuhan. Agar anak memperoleh

kekebalan dalam tubuhnya anak perlu mendapatkan yang dimaksudkan untuk

mencegah penyakit Pertusis yang salah satu gejalanya adalah infeksi saluran

nafas.

Page 69: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penulisan makalah ini adalah

sebagai berikut :

1. Di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan,

telah dibuka area pertambangan batubara oleh beberapa perusahaan

tambang. Dengan dibukanya jalur jalan memberikan dampak positif dalam

menunjang kegiatan ekonomi masyarakat setempat dan memberikan

dampak negatif yaitu kanker kulit, kebisingan dan debu yang

mengganggu kesehatan warga desa. Selain itu, warga juga mengeluhkan

lumpur dari sisa penggalian yang sering menutupi sawah warga pada

musim hujan.

2. Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar memiliki 2 unit fasilitas

kesehatan berupa 1 unit puskesmas dan 1 unit puskesmas pembantu yang

terletak di pusat kecamatan dan berada di jalur lintas kota.

3. Dampak yang langsung dapat dirasakan oleh para pekerja tambang adalah

susahnya bernafas disekitar wilayah tambang karena debu dari batubara

sangan banyak dan mempunyai partikel yang sangat kecil yang berukuran

0,1 sampai 10 mikron

4. Penyakit ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara,

debu, pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat

ke saluran pernapasannya.

5. Pencegahan penyakit ISPA meliputi :

a. Menjaga kesehatan gizi agar tetap baik

b. Imunisasi

c. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan

d. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA

Page 70: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

5.2 Saran

Adapun saran yang dapat diambil dari penulisan makalah ini adalah

sebagai berikut :

1. Perlunya menentukan jarak antara wilayah pertambangan dengan lokasi

tempat tinggal penduduk agar mengurangi jangkauan efek debu dan

limbah buangan batu bara, agar tidak menggangu aktivitas dan kesehatam

masyarakat.

2. Perlunya APD ( Alat Pelindung Diri ) terutama untuk para pekerja

tambang untuk mengurangi paparan debu dari batubara.

3. Perlunya tempat kesehatan yang memadai di wilayah penduduk yang

berdekatan dengan wilayah tambang.

Page 71: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

DAFTAR PUSTAKA

Abdulllah. 2013. Dampak Positif dari Penambangan. ITB : Bandung.

Amin. M. 2000. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Laboratorium SMF Penyakit

Paru, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RSUD DR. Sutomo,

Surabaya.

Anonim1,2013. Jenis-Jenis Batubara. http://www.indoenergi.com/2012/03/jenis-

jenis-batubara.html. Diakses pada tanggal 24 November 2014.

Anonim2,2013. Dampak Negatif dari Pertambangan Batubara. http://saveour-

nature.blogspot.com/2013/01/dampak-negatif-penambangan-

batubara.html. Diakses pada tanggal 24 November 2014.

Arif, F 2011. Kajian Penerapan Menejemen Resiko Keselamatan dan Kesehatan

Kerja Lingkungan (K3) Pada Proses Blasting Di Area Pertambangan

Batubara di PT. Cipta Karidatama Jobsite Mahakam Sumber Jaya

Kalimantan Timur. Journal K3.

Biddulph, Jhon. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi

Revisi V. Rineka Cipta : Jakarta.

Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi Jawa Barat.

2005. Status Status Lingkungan Hidup Provisi Jawa Barat. Bandung.

Departemen Kesehatan RI. 1998. Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita.

Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan.

Departemen Kesehatan RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia Tahun

2008.Jakarta.

Depkes RI, 2004. Kendala Penanganan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA),

FK-USU: Medan.

Depkes RI, 1994. Pedoman Program P2 ISPA dan Penanggulangan Pneumonia

Pada Balita. Depkes RI: Jakarta.

Page 72: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Dyah, M. 2010. Pencemaran Air Dan Tanah Di Kawasan Pertambangan Batubara

Di PT. Berau Coal, Kalimantan Timur. Journal Riset Geologi dan

Pertambangan 20(1):11 - 20

Epler. G.R. 2000. Environmental and Occupational Lung Disease. In : Clinical

Overview Of Occupational Diseases, Return To Epler. Com.

Enny, W. 2007. Pemanfaatan Bakteri Pereduksi Sulfat untuk Bioremediasi Tanah

Bekas Tambang Batubara. Journal Biodiversitas 8(4): 283 – 286.

Enny, S. 2009. Sengon Mutan Putatif Tahan Tanah Ex-Tambang Emas. Journal

of Applied And Industrial Biotechnology In Tropical Region (2)2.

Halim, D. 2000. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Hipokrates.

Ira, S. 2014. Perubahan Perilaku Bergotong Royong Masyarakat Sekitar

Perusahaan Tambang Batubara Di Desa Mulawarman Kecamatan

Tenggarong Seberang. Journal Sosiatri 1(3): 63-77.

Mairusnita. 1984. Karakteristik Penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut.

Langsa.

Maryunani, Anik. 2010. Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan. CV Trans

Media : Jakarta.

Meadow,Sir Roy dan Simen. 2002. Lectus Notes:Pediatrika. PT.Gelora Aksara

Pratama : Jakarta.

Mukono, H.J. 2000. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Airlangga University

Press : Surabaya.

Muhamad, J. 2007. Potensi Industri Pengolahan Batubara Cair. Journal

Economic Review 208.

Miftahul, J. 2010. Karakterisasi Produk Biosolubilisasi Batubara Lignit Oleh

Kapang Indigenous Dari Tanah Pertambangan Sumatera Selatan.

Journal Batubara.

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak sakit. EGC :Jakarta.

Page 73: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Notoadmodjo. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. EGC : Jakarta.

Purwana, R., 1992. Partikulat Rumah Sebagai Faktor Resiko Gangguan

Pernafasan Pada Anak Balita. Disertasi IKM UI : Jakarta.

Putranto, A. 2007. Pajanan Debu Kayu (PM10) dan Gejala Penyakit Saluran

Pernafasan pada Pekerja Mebel Sektor Informal di Kota Pontianak

Kalimantan Barat, Thesis, PS-UI : Jakarta.

Rasmaliah. 2008. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Dan

Penganggulangannya, http://library.usu.ac.id

Saydam, Gouzali. 2011. Memahami Berbagai Penyakit (Penyakit Pernapasan dan

Gangguan Pencernaan). Bandung: Alfabeta. Halim. 2000

Sayoga, R. G. 2007. Pengelolaan Air Tambang: Aspek Penting dalam

Pertambangan yang Berwawasan Lingkungan. Pidato Ilmiah, majelis

Guru Besar ITB. Jurusan Teknik Pertambngan ITB.

Subowo, G. 2011. Penambangan Sistem Terbuka Ramah Lingkungan Dan Upaya

Reklamasi Pasca Tambang Untuk Memperbaiki Kualitas Sumberdaya

Lahan Dan Hayati Tanah. Journal Sumberdaya Lahan 5(2).

Selvy, Y. 2009. Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (K3) Pada Pertambangan

Batubara Di Pt. Marunda Grahamineral, Job Site Laung Tuhup

Kalimantan Tengah. Journal K3 .

Sigit, M. 2011. Stratigrafi Dan Keterdapatan Batubara Pada Formasi Lati Di

Daerah Berau, Kalimantan Timur. Journal Buletin Sumber Daya

Geologi 6(2).

Warung Masyrakat Informasi Indonesia. 2009. Infeksi Saluran Nafas Akut

(ISPA), http://www.warmasif.co.id diakses pada 24 November 2014

WHO. 2008. Pencegahan dan Pengendalian ISPA di Fasilitas Pelayanan

Kesehatan. http://www.who.int/csr/resources/publications/ diakses pada

24 November 2014

Witoro, S. S. 1997. Pengelolaan Lingkungan Pertambangan. Disampaikan pada

seminar LINGKUNGAN: Peran Pendidikan Teknik Lingkungan dalam

Page 74: MAKALAH EPIDEMIOLOGI INDUSTRI BATU BARA DAN PENYAKIT INFEKSI PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA MASYARAKAT SEKITAR TAMBANG BATU BARA DI KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN BANJAR

Pembanguan Bangsa, Lustrum IX Pendidiakan Teknik Lingkungan ITB,

15 Desember 2007, Dirjen Mineral, Batubara dan Panas Bumi,

Departemen ESDM.