Upload
rmphutabarat
View
134
Download
12
Embed Size (px)
Citation preview
“ALLAH KEHIDUPAN, PIMPIN KAMIMEWARTAKAN KEADILAN DAN
PERDAMAIAN”
Hasil-hasil Konsultasi Nasional V Gereja dan Komunikasi, 12-13
November 2013
PenyuntingRainy MP Hutabarat
“Allah Kehidupan, Pimpin Kami Mewartakan Keadilan dan Perdamaian
Hasil-hasil Konsultasi Nasional V Gereja dan Komunikasi
Penerbit: YAKOMA-PGI (Pelayanan Komunikasi Masyarakat-Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia)
Jakarta, April 2015
Alamat: Jalan Cempaka Putih Timur XI/26 Jakarta 10510Telepon: (62-21) 4205-623; Faks: (62-21) 4253-379Surel: [email protected] Web: yakomapgi.org
Penyunting: Rainy MP Hutabarat
Tata-Letak dan Sampul: George Soedarsono Esthu
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 2
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang(Dilarang mengutip tanpa mencantumkan sumber).
Kata Sambutan
Pertama-tama saya mengucapkan Selamat Datang kepada Bapak-Ibu dan Saudara
sekalian peserta Konsultasi Nasional Gereja dan Komunikasi yang bertajuk “Allah
Kehidupan, Pimpin Kami Mewartakan Keadilan dan Perdamaian”.
Selama beberapa hari ini kita akan sama-sama berkonsultasi, yang sebenarnya lebih
tepat dimaknakan sebagai saling belajar, saling bertukar dan saling memerkaya dalam
pengetahuan, pemikiran dan pengalaman di bidang komunikasi dan secara khusus
media. Sebagaimana kita sama-sama ketahui, dunia dan pola kehidupan manusia
dewasa ini telah banyak berubah. “Globalisasi”, itulah fenomena yang terjadi dan
sekaligus istilah yang sudah kerap kita dengar. Sebenarnya proses mengglobal itu sudah
cukup lama bergulir, tapi ia masih terus berjalan hingga kini dan akan terus berjalan ke
depan entah sampai kapan dan ke mana arahnya. Yang jelas, kita harus berupaya
mengikutinya kalau tak mau tertinggal atau ketinggalan zaman yang terus-menerus
berubah ini.
Faktanya kita sekarang hidup di era multi-media, dengan revolusi internet, yang
membuat arus deras informasi dan ide begitu mudahnya masuk dan keluar dari benak
kita. Berbagai media konvensional seperti media cetak, radio dan televisi kini sudah
terkonvergensi ke dalam laptop, tablet, smart-handphone dan smart-TV. Semua yang
kita perlukan demi memuaskan keingintahuan kita begitu mudahnya didapat, karena
semuanya tersedia di ruang maya (cyber spaces). Kita merasa senang karena kita
sungguh merasa terbantu dengan pelbagai kemudahan itu. Namun kita juga khawatir,
mengingat dampak-dampaknya yang negatif selalu mengintai dan siap menjadi
ancaman yang potensial merusak pola interaksi dan komunikasi antarpersonal kita
selama ini. Bukan kehidupan sosial kita saja yang kelak bisa berubah, bahkan
kehidupan bergereja pun bisa saja “dipaksa” berubah karenanya. Di titik itulah kita
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 3
mungkin merasa cemas menatap masa depan yang kian tak pasti. Namun alih-alih
menghindarinya, lebih bijaklah jika kita berupaya secara cerdik mengikutinya seraya
berharap kita bisa juga memanfaatkannya.
Kalau kita bicara secara khusus tentang pers, di negara ini kita sudah mengalami dua
era, yakni Orde Lama dan Orde Baru, yang iklim persnya kurang menggembirakan atau
bahkan suram. Sebab, dominasi penguasa dalam hampir seluruh aspek kehidupan dan
infrastruktur politik di kedua era itu begitu kuatnya. Di satu sisi suara-suara kritis rakyat
dibungkam, di sisi lain suara-suara penguasa memonopoli kebutuhan rakyat akan
informasi. Untuk kepentingan politik hegemoni dan a-politisasi masyarakat itulah maka
pers di kedua era itu dijadikan perpanjangan tangan penguasa. Tak heran kalau Bahasa
yang digunakan kerap bermakna ganda, baik untuk tujuan penghalusan maupun demi
kepentingan memperdayakan rakyat.
Namun, dinamika proses politik yang telah berjalan selama puluhan tahun itu kini telah
mengantar kita tiba di sebuah era baru yang oleh banyak orang disebut sebagai Era
Reformasi. Sejak rezim Orde Baru berlalu, pengelolaan negara berjalan bagaikan tanpa
arah yang jelas. Namun satu hal yang pasti, kebebasan kini terbuka lebar. Karena 2
Konsultasi Nasional Gereja & Komunikasi 2013 perubahan itulah maka sistem pers pun
turut berubah - sebagai dampaknya. Jika di kedua era sebelumnya telah terjadi banyak
pembredelan maupun pembungkaman pers oleh pemerintah demi “stabilitas nasional”,
kini situasinya jauh berbeda: pers kian bergairah. Alhasil, jumlah pers pun tak bisa lagi
secara pasti dihitung. Sebab selalu saja ada yang baru, apalagi pers yang kini sudah
mengambil rupa baru: maya alias on-line. Siapa pun bisa membuatnya dan siapa pun
bisa bersuara apa saja di sana.
Di satu sisi kita patut merayakan perubahan yang semakin menekankan nilai kebebasan
itu, namun di sisi lain kita juga pantas merasa khawatir karena di balik itu ada tabiat-
tabiat baru yang muncul dan sayangnya negatif: mudahnya mencaci-maki dan bahkan
berkatakata kotor, mudahnya beropini tanpa didukung bukti dan nalar yang kritis, dan
hal-hal lain yang sejenisnya. Di sinilah kita, sebagai gereja dan lembaga paragereja,
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 4
tertantang untuk mampu mengawal perubahan-perubahan itu. Kita tertantang untuk
mampu menggarami media-media di sekitar kita dengan prinsip “media perdamaian dan
keadilan”. Memang, media-media harus tetap informatif dan edukatif, dengan
sementara itu tetap menjujung tinggi kebebasan karena media dewasa ini telah menjadi
pilar keempat demokrasi (media sebagai “watchdog” bagi penguasa). Namun sejalan
dengan itu, bisakah media-media juga tetap menjadi wahana untuk menyebarkan ide-ide
dan nilai-nilai perdamaian dan keadilan kepada publik?
Kiranya hal penting ini dapat menjadi perhatian kita selama beberapa hari duduk
bersama dalam acara Konsultasi Nasional ini. Sepulangnya dari sini, kita terpanggil
untuk meneruskan pesan-pesan yang kita dapatkan selama beberapa hari ini kepada
gereja, lembaga paragereja, dan publik di mana kita menjadi bagian di dalamnya. Kita
berharap peran kita sebagai Kristen, pengikut Kritus, dapat lebih strategis lagi dalam
rangka mewartakan nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Mungkin itu kita lakukan
melalui media cetak, radio, atau bahkan televisi, namun mungkin juga melalui media
on-line atau bahkan media sosial yang relatif murah dan mudah tapi tetap berdampak
penting bagi masyarakat sekitar kita.
Akhirnya, atas nama YAKOMA-PGI, saya mengucapkan Selamat Berkonsultasi kepada
kita semua. Terima kasih atas bantuan yang diberikan oleh Gereja Bethel Indonesia
(GBI) dan pihak-pihak lain yang tak bisa disebutkan namanya satu-persatu di sini.
Tuhan memberkati.
Ketua Pengurus
Dr. Victor Silaen
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 5
Daftar Isi
halaman
Kata Sambutan 3
Bab I 10
Bab II 15
Bab III 61
Bab IV 68
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 6
Bab I
Kerangka Acuan
KONSULTASI NASIONAL V “GEREJA DAN KOMUNIKASI”
ALLAH KEHIDUPAN, PIMPIN KAMI MEWARTAKAN KEADILAN DAN PERDAMAIAN
Grha Bethel, 12-14 November 2013
Kata Pengantar
Abad XXI dicatat sebagai era multi-media, internet atau tsunami informasi. Berbagai
media konvensional seperti media cetak, media radio dan televisi sudah terkonvergensi
ke dalam aptop, tablet, smart-handphone dan smart-TV. Revolusi internet atau digital
telah menjadikan dunia sebagai sebuah desa global. Lalu lintas komunikasi dan
informasi pun telah berubah dari kecenderungan satu arah (atas - bawah) dan terpusat,
menjadi multi-arah. Setiap orang bisa dengan bebas berkomunikasi dengan siapa saja,
di mana saja dan kapan saja. Kita belum tahu revolusi apa lagi yang akan terjadi dengan
4 G dan WI MAX yang tak lama lagi akan segera dipasarkan.
Berbagai pihak, mulai dari kalangan partai politik, bisnis, kelompok/organisasi agama,
organisasi profesi dan keilmuan, kelompok kampanye dan seterusnya, memanfaatkan
multi-media dan ruang maya yang terbuka luas tanpa batas waktu dan ruang bagi para
penggunanya. Mudah ditebak, yang paling gesit memanfaatkan ruang maya adalah
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 7
kalangan bisnis dan politik. Di mana kalangan remaja dan anak muda yang paling
banyak menggunakan internet.
Semua ini menantang kesiapan gereja untuk memanfaatkan perkembangan era internet
ini di dalam persekutuan, kesaksian dan pelayanan ke dalam gereja maupun keluar
kepada masyarakat luas, karena penggunaan yang semakin mudah dan menjangkau
semua lapisan masyarakat. Yang menjadi persoalan sekarang ini adalah pesan-pesan
apa yang penting dan strategis yang akan dikomunikasikan atau dipublikasikan oleh
gereja-gereja atau lembaga pelayanan Kristen kepada masyarakat luas yang plural?
Terkait ini, YAKOMA-PGI bekerjasama dengan Sinode Gereja Bethel Indonesia (GBI)
bermaksud menyelenggarakan Konsultasi Nasional Gereja dan Komunikasi.
YAKOMA-PGI sendiri sejak berdiri melalui mandat gereja-gereja di Indonesia, sudah
menyelenggarakan 4 (empat) kali Konsultasi Nasional Gereja dan Komunikasi dan 4
(empat) kali Pekan Komunikasi Kristen sejalan dengan rekomendasi gereja-gereja di
Indonesia. Konsultasi Nasional Gereja dan Komunikasi pertama diselenggarakan di
Klender – Jakarta tahun 1976 dengan tema “Strategi Komunikasi Massa”, kedua tahun
1987 di Sukabumi dengan tema “Komunikasi untuk Keadilan, Perdamaian dan
Keutuhan Ciptaan”, ketiga tahun 1992 di Makasar bertema “Komunikasi Untuk
Martabat Manusia” dan keempat di Jakarta tahun 2010 bertema “Allah Itu Baik Kepada
Semua Orang”. Semua kegiatan tersebut mencoba memetakan persoalan-persoalan pada
ruang dan waktu serta sekaligus merumuskan respons dan refleksi gereja atasnya. Satu
hal yang perlu digarisbawahi dari kegiatan-kegiatan tersebut adalah, semua
diselenggarakan sebelum internet menjadi bagian hidup sehari-hari masyarakat modern
Indonesia.
Sejalan dengan arak-arakan oikoumenis gereja-gereja sedunia, Konsultasi Nasional V
Gereja dan Komunikasi mengangkat tema, “Allah Kehidupan, Pimpin Kami
Mewartakan Keadilan dan Perdamaian.” Tema ini hendak menggarisbawahi bahwa
gereja/umat Kristen selaku pewarta Kabar Baik harus menjadi berkat bagi kehidupan –
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 8
mewartakan keadilan dan perdamaian – bukan semata untuk lingkungan Kristen, tetapi
juga kepada orang-orang lain dan ciptaan Allah lainnya.
Dari konsultasi nasional ke konsultasi nasional, yang secara khusus membahas
persoalan-persoalan di seputar gereja dan media (cetak, radio, audio-visual, daring)
belum pernah diselenggarakan. Kendati posisi dan fungsi strategis media diakui, namun
para pekerja media (berbasis) gereja maupun media Kristen belum pernah duduk
bersama dalam sebuah forum untuk saling berbagi pengalaman, pengetahuan, serta visi-
misi dan strategi. Padahal jumlah media gereja dan media Kristen mencapai ratusan.
Masing-masing sibuk dengan pekerjaan dan permasalahannya dan tidak berjejaring
oikoumenis untuk menyinergikan peluang dan kekuatan. Ada media gereja dan media
Kristen yang sudah sedemikian profesional pengelolaannya, ada yang dikelola seadanya
saja dan kerap terlambat terbit, ada pula yang “hidup segan mati tak mau”.
Dari pengalaman YAKOMA-PGI menyelenggarakan lokakarya-lokakarya media
komunitas selama satu dasawarsa terakhir, diperoleh gambaran bahwa mayoritas
sinode/gereja belum mengembangkan medianya dengan sebaik-baiknya. Sejumlah
masalah terkait siklus hidup media gereja terkuak: mulai dari ketiadaan visi media yang
jelas, tema tak digarap serius, perekrutan pekerja media yang asal saja tanpa pelatihan
lebih dulu, pengelolaan media yang sambil lalu dan rangkap jabatan, pekerja yang
direkrut tanpa pembekalan yang memadai, isi media yang merupakan corong sinode
sehingga kering, membosankan dan akhirnya tak dibaca, rendahnya minat baca dan
menulis, dan seterusnya.
Dari percakapan dengan para peserta lokakarya diketahui bahwa peningkatan mutu
media gereja memerlukan pendekatan dua arah: pekerja media dan pemimpin di aras
pengambilan keputusan organisasi gereja. Pekerja media perlu diperlengkapi dengan
pengetahuan dan keterampilannya dengan dasar-dasar pengelolaan media seperti
jurnalisme, menyunting, menata letak, fotografi, pemasaran dan seterusnya. Sedangkan
para pemimpin gereja juga perlu mengetahui posisi dan fungsi strategis media gereja
dan strategi komunikasi dan media di tengah-tengah masyarakat yang plural.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 9
Dalam era otonomi daerah dan demokrasi, posisi dan peran strategis media gereja
semakin penting sebagai “juru bicara” dalam menyosialisasikan pandangan gereja
terhadap isu-isu penting dan terkini misalnya HAM, demokrasi, korupsi, gereja/pendeta
dan politik, dan seterusnya. Ada kesan bahwa tanggapan dan refleksi terhadap isu-isu
sedemikian dilimpahkan kepada PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) untuk
merumuskannya dan sekaligus menyebarkannya ke gereja-gereja antara lain melalui
majalah Berita Oikoumene.
Seorang pekerja media gereja pernah mengungkapkan bahwa gerejanya memang tidak
berani memuat isu-isu sensitif karena pandangan bahwa gereja tidak berpolitik. Yang
lain menggarisbawahi bahwa kini bukan saatnya lagi media gereja dan media Kristen
berjalan sendiri-sendiri, sebab peluang dan tantangan bersama di era digital dan di
tengah-tengah masyarakat Indonesia yang plural perlu disikapi bersama-sama.
Dalam konteks pertarungan penyebarluasan informasi, berbagai pihak, mulai dari partai
politik, bisnis, kelompok/organisasi agama, organisasi profesi dan keilmuan, kelompok
kampanye dan seterusnya, memanfaatkan multi media dan ruang maya yang terbuka
luas tanpa batas waktu dan ruang. Mudah ditebak, yang paling gesit memanfaatkan
ruang maya adalah kalangan bisnis dan politik. Kepedulian gereja-gereja terhadap
posisi dan fungsi strategis media dapat disaksikan dari media yang ada di
lingkungannya entah cetak, radio, media daring, bahkan juga dari keikutsertaan dalam
penyelenggaraan acara mimbar agama di televisi dan Facebook. Pertanyaan yang
muncul adalah, apakah gereja-gereja telah memanfaatkan media yang ada secara
maksimal?
Sejauh ini tak tampak strategi media gereja menghadapi era multimedia dan internet.
Media gereja dikelola secara sambil lalu, sebagai pekerjaan sampingan, dan karenanya
“asal ada ketimbang tidak ada”. Warga jemaat juga tidak diajak untuk hidup sadar dan
waspada terhadap gempuran media massa agar tidak menjadi korban-korban misalnya
iklan atau informasi yang bias. Di sisi lain, warga jemaat di daerah-daerah yang
infrastruktur telekomunikasinya jauh dari memadai memperoleh pengetahuan dan
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 10
informasi terkait iman Kristen dan ajaran gereja semata berdasarkan media tradisional
seperti kotbah-kotbah, katekisasi, dan Penelaahan Alkitab.
Sehubungan dengan permasalahan di atas, YAKOMA-PGI bekerjasama dengan
beberapa gereja/lembaga media di Jabodetabek bermaksud menyelenggarakan
Konsultasi Nasional Gereja dan Media. Tema yang dipilih adalah “Allah Kehidupan,
Pimpin Kami Mewartakan Keadilan dan Perdamaian.” Tema ini hendak
menggarisbawahi bahwa media gereja dan media Kristen selaku pewarta Kabar Baik
harus menjadi berkat bagi kehidupan – mewartakan keadilan dan perdamaian – bukan
semata untuk lingkungan Kristen, tetapi juga agama-agama lain dan ciptaan Allah
lainnya. Kehidupan yang dimaksud tak semata bersifat antropologis (berpusat pada
manusia) tetapi juga ekologis. Dengan tema ini kita diingatkan bahwa “Tuhan itu baik
kepada semua orang dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikanNya.” (Maz. 145:
9).
Tujuan:
Memetakan tantangan-tantangan dan peluang-peluang yang dihadapi oleh
media gereja dan media Kristen terutama dalam menghadapi multi media dan
internet
Merumuskan refleksi teologis maupun faktual tentang peran dan fungsi media
gereja dan media Kristen
Membangun dan memperkuat jejaring yang sinergis media gereja dan media
Kristen untuk proses saling belajar dan RTL bersama yang merupakan karya
bersama.
Penyelenggara: YAKOMA-PGI bekerjasama dengan Gereja Bethel Indonesia (GBI).
Peserta: Pengelola, pekerja, pemimpin media gereja dan Kristen (radio, cetak, daring,
audiopvisual pengambil keputusan), pengelola media rakyat (teater), pemimpin gereja
di aras sinode.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 11
Alur Lokakarya
Tahap 1
Penggalian dan pemahaman tema Konsultasi Nasional “Allah Kehidupan,
Pimpin Kami Mewartakan Keadilan dan Perdamaian” dan Pemetaan Perubahan
Media massa (Kekuatan, Kebijakan dan Orientasi, Konten, Perngelolaan,
Format) di Indonesia sebelum dan pascareformasi. Pada tahap ini peserta
mampu mengidentifikasikan permasalahan, perubahan, tantangan, serta
peluang.
Tahap 2
Kebijakan infokom pemerintah pascareformasi. Pada sesi ini peserta
diperlengkapi dengan informasi seputar kebijakan-kebijakan pemerintah terkait
infokom, prioritas, tujuan dan target agar masyarakat Indonesia menjadi
masyarakat berbasis informasi dan pengetahuan. Informasi kebijakan ini
diharapkan membuka horizon tentang kebijakan infokom dan dampaknya bagi
media massa, media sosial atau media baru dan media komunitas.
Tahap 3
Media massa dan media komunitas merespons perubahan: (1) Bagaimana
media massa komersial seperti stasiun televisi dan radio merespons era
globalisasi, internet dan pluralitas media yang mengubah secara total lalu lintas
komunikasi dan informasi dari yang terpusat dan satu arah menuju ke populis,
dua arah dan nonprofit sebagaimana media baru atau media sosial. (2)
Bagaimana media komunitas keagamaan yang berorientasi nonprofit merespon
era globalisasi, internet dan pluralitas media? Bagaimana mereka memosisikan
diri (visi, misi, strategi).
Tahap 4
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 12
Perspektif Bermedia: Pengalaman Media Difabel dan Masyarakat Adat-
Lingkungan Hidup
Media tak lepas dari bias-bias tertentu. Kerap media melakukan reviktimisasi
terhadap korban dan kelompok marjinal (ODHA, difabel, perempuan,
masyarakat adat) melalui pilihan-pilihan kata dan konstruksi narasi berita. Di
sisi lain, orientasi bisnis juga menjadi filter dalam pemilihan berita yang
diminati oleh masyarakat luas. Berita-berita tentang politik, bisnis,
perang/konflik menjadi pilihan utama.
Kini kita hidup dalam lingkungan media yang mengepung kita selama 24 jam
memerlukan sikap kritis. Kritis tak hanya berarti mampu mewaspadai berbagai
konten media, namun juga mampu mengelola penerbitan media khusus bagi
kelompok-kelompok marjinal yang persoalan-persoalannya dipinggirkan oleh
media massa yang berorientasi bisnis, seperti masyarakat adat dan difabel.
Berbagi visi dan misi keadilan bagi kelompok marjinal melalui penerbitan
media diharapkan dapat membuka wawasan bagaimana media memosisikan
diri di tengah-tengah gempuran media massa berorientasi bisnis dan eforia
gerakan media sosial.
Tahap 4
Penggalian dan Perumusan Masalah (Diskusi Terfokus Kelompok)
Peserta dibagi dalam empat kelompok yang menggali tiga fungsi majalah gereja
dan majalah Kristen yang tampak dalam penerbitan: humas (internal),
penginjilan, perubahan sosial. Satu kelompok akan merumuskan pesan
konsultasi nasional tentang gereja dan komunikasi.
Tahap 5
Pleno dan Tanggapan
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 13
Tiap-tiap kelompok menyajikan hasil-hasil diskusi untuk ditanggapi oleh
seluruh peserta. Hasil-hasil diskusi kelompok kemudian ditulis ulang untuk
direvisi berdasarkan masukan-masukan para peserta.
Seluruh materi Konsultasi Nasional akan dibukukan dalam bentuk format cetak
maupun digital. Format cetak akan dikirim ke pada para peserta dan sinode-
sinode gereja. Hasil Konsultasi Nasional akan menjadi bahan masukan pada
Sidang Raya PGI 2014 di Nias, Sumatra Utara.
Jadwal Acara
WaktuSelasa,
12 November 2013Rabu,
13 November 2013Kamis,
14 November 2013Jumat,
15 November 2013
06.00 - 07.30
REGISTRASIPESERTA
MAKAN PAGI MAKAN PAGI MAKAN PAGI
07.30 - 80.00 IBADAH PAGI IBADAH PAGI
CHECK OUT
08.00 - 09.30
Refleksi TeologiKomunikasi sebagai perwujudan KasihPdt. Dr. Einar Sitompul
Refleksi TeologiMenjadi Pewarta Keadilan dan Perdamaian, Pengalaman Perempuan Pdt. Sylvana Apituley, M.Th.
09.30 -10.00 Rehat
10.00 -12.00
Sesi I1. Sharing: Peta
perubahan media massa, media komunitas di Indonesia sebelum dan pasca-reformasi: orientasi, kebijakan konten, pengelolaan dan format(Ignatius Haryanto)
2. Kebijakan pemerintah di bidang Infokom(Freddy Tulung, Dirjen Infokom Publik)
Sesi III : Awal Pemetaan
Media dan Masyarakat Adat-Lingkungan Hidup
Media dan Difabel dan ODHA
12.00 -13.00 MAKAN SIANG
13.00 -15.00 Bagaimana Media menyikapi perubahan-perubahan di era globalisasi dan internet:1. MNC
Kelompok I Kelompok II Kelompok III
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 14
2. First Media
15.00 -15.30 REHAT KOPI
15.30 -17.30Kebaktian Pembukaan
Sharing dari peserta:1. HKBP2. GKPB (MDC)
PLENO
17.30 -18.30Sambutan-sambutan Pembukaan
ISTIRAHAT PENUTUPAN
18.30 -19.30 MAKAN MALAM MAKAN MALAM
19.00 -20.30MALAM BUDAYA
20.30 -21.00
Bab II
PROSES DAN PERCAKAPAN KONSULTASI NASIONAL
Hari Pertama, 12 November 2013
I. Pembukaan KONAS
Renungan/kotbah dalam ibadah pembuka disampaikan oleh Pdt. Dr. Japarlin
Marbun, Ketua BPH Sinode GBI. Refleksi ditekankan pada tema “Allah
kehidupan, pimpin kami mewartakan keadilan dan Kedamaian” mengacu pada
teks 1 Petrus 4: 11 “Jika ada orang yang berbicara, baiklah ia berbicara sebagai
orang yang menyampaikan firman Allah; jika ada orang yang melayani, baiklah ia
melakukannya dengan kekuatan yang dianugerahkan. Allah, supaya Allah
dimuliakan, dalam segala sesuatu karena Yesus Kristus. Ialah yang empunya
kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya! Amin.”
Melalui tema dan renungan teologis, peserta KONAS didorong untuk dapat
memanfaatkan media apa pun dari sederhana sampai yang canggih. Misalnya
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 15
Facebook, bagaimana setiap warga gereja mampu memposkan Firman Tuhan atau
kata-kata hikmat yang mengandung unsur perdamaian, keadilan, dan kebenaran.
Ada tiga persyaratan dalam menyampaikan warta: tepat waktu, tepat media,
mendayagunakan yang diwartakan itu. Media yang ada sekarang banyak
menimbulkan kebencian, ketidakadilan dan bukan kebenaran Firman Tuhan.
II. Kata Sambutan
a. Ketua Panitia (Pdt. Fecky Angkow, MA)
Bersyukur kepada Tuhan Yesus sebagai Kepala Gereja, karena diberikan
kesempatan untuk mengadakan KONAS yang dihadiri beberapa sinode,
walaupun persiapannya hanya dua bulan namun telah berusaha semaksimal
mungkin untuk menyukseskan acara KONAS. Gereja perlu selektif dan bijak
menggunakan berbagai media komunikasi dalam menyampaikan nilai-nilai
kristiani yang menyuarakan “kebenaran dan keadilan”. YAKOMA-PGI
berupaya memotivasi dan memfasilitasi berbagai media Kristen untuk duduk
bersama memikirkan, mendiskusikan dan menyusun langkah-langkah yang riil
melalui KONAS V Gereja dan Komunikasi. Diharapkan KONAS ini
menghasilkan rumusan-rumusan rekomendasi visi, misi, dan perjuangan
bersama media Kristen dalam menyampaikan pesan-pesan ilahi yang
kontekstual dan berdampak bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, dan
secara khusus bagi persekutuan gereja-gereja di Indonesia. Diharapkan,
melalui KONAS ini dirumuskan rencana tindak-lanjut untuk program-
program nyata sehingga kualitas dan kuantitas media Kristen dapat dirasakan
kontribusinya bagi negara, masyarakat dan persekutuan gereja-gereja di
Indonesia. Selamat mengikuti KONAS V Gereja dan Komunikasi, kiranya
berbagai acara yang diselenggarakan dapat diikuti dengan baik dan dapat
memberi masukan yang bermafaat bagi pelayanan di lingkungan gereja dan
sinode masing-masing.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 16
b. Ketua Pengurus YAKOMA-PGI (Dr. Victor Silaen)
(membacakan Kata Pengantar di buku ini)
c. Sekretaris Umum MPH-PGI (Pdt. Gomar Gultom, M.Th)
Secara resmi Pdt. Gomar Gultom memukul gong pembukaan. KONAS Gereja
dan Komunikasi kali ini adalah kegiatan ke-5 yang diselenggarakan
YAKOMA-PGI, dengan mengangkat tema, “Allah Kehidupan, Pimpin Kami
Mewartakan Keadilan dan Perdamaian.” Kontak, interaksi dan relasi antara
manusia yang terdiri dari beragam manusia dipupuk oleh komunikasi dan
berbagai TIK. Proses dan cara kita berhubungan dengan manusia secara efektif
menjadi sebuah kebutuhan. Apalagi ketika harus mewartakan Injil, peran
komunikasi semakin penting. Tiga catatan penting terkait penyelenggaraan
KONAS V Gereja dan Komunikasi:
Catatan pertama: Komunikasi sebagai Sikap Peduli
Dalam perspektif Kristen, cara berelasi dan pola komunikasi harus memiliki
nilai lebih. Tidak cukup sekadar mengucapkan “halo” atau “haleluya”. Relasi
harus terungkap dalam upaya mendarmakan diri kepada orang lain dalam
wujud cinta kasih. Dalam komunikasi Kristen harus ditandaskan bahwa
komunikasi seturut dengan maknanya mewujud dalam penyerahan diri kepada
orang lain. Pemberian diri menjadi perilaku yang hakiki kalau seseorang mau
disebut sebagai Kristen. Artinya, orang yang takut atau tidak pernah bersedia
menyerahkan dirinya demi orang lain atas dasar kasih seturut dengan
perspektif komunikasi Kristen, sulit disebut sebagai seorang Kristen sejati.
Yesus adalah contoh puncak komunikasi yang sejati, Yesus adalah figur
komunikasi yang mendarmakan dirinya demi orang lain. Lalu timbul
pertanyaan: kepada siapakah kita harus mendarmakan diri kita dalam
komunikasi ini? Tentu kita akan berkata kepada semua orang! Tetapi
komunikasi akan mendapat tingkatan yang lebih tinggi apabila pendarmaan
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 17
diri itu tertuju kepada dan demi orang yang terpinggirkan dan terabaikan oleh
sistem yang selama ini lebih mengedepankan kepentingan diri; kepada sistem
yang selama ini memuaskan diri atau sistem yang lebih mementingkan
kelompok.
Tema KONAS ini sangat tepat, “Tuhan, pimpinlah kami kepada keadilan dan
perdamaian”. Tema mengisyaratkan kepedulian kepada mereka yang
terpinggirkan. Olehnya komunikasi Kristiani ditandai semangat untuk hidup
keluar dan pergi dan berjumpa dengan rekan yang lain, keluar dari
keterkumpulan kita, keluar dari pemenuhan diri sehingga kita mampu
membebaskan diri dan pada gilirannya juga akan mampu melepaskan diri dan
akan mampu membebaskan orang lain.
Catatan Kedua: Komunikasi sebagai Upaya Pembebasan
Dewasa ini berbagai bentuk media komunikasi telah begitu hebatnya, dengan
kemajuan yang pesat dalam bentuk broadcasting radio, televisi dan
sebagainya maupun hubungan media sosial. Seperti dikatakan Pak Fecky,
komunikasi seperti tsunami.
Tapi ada sesuatu yang menguatirkan di sini, komunikasi telah membelenggu
kita sedemikian rupa, sehingga misalnya untuk berpakaian pun selera kita
telah ditentukan oleh media, seperti iklan dan sebagainya termasuk selera
musik juga telah digiring. Selera makanan anak-anak kita pun digiring oleh
media. Kita tidak lagi bebas. Anak-anak kita digiring oleh pemberitaan media:
tawuran itu sebagai bentuk perlawanan keberanian, begitu juga dengan
narkoba dan dugem sebagai tanda-tanda modernitas. Komunikasi begitu
ambigu; tsunami kata Pak Fecky tadi.
Celakanya, konon, komunikasi yang dikembangkan di lingkungan gereja kita
tidak membawa masyarakat semakin dewasa, keluar untuk mampu
menentukan atau memutuskan pilihannya sendiri. Komunikasi gereja kita telah
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 18
begitu menggurui dan memandulkan daya kritis warga jemaat kita, dan
menggiring kita kepada pola berpikir yang monolitik. Komunikasi gereja kita
konon telah memperlakukan warga gereja sebagai anak-anak yang masih harus
minum susu, dan tidak pernah sampai kepada makanan keras.
Catatan Ketiga: Dari Media ke Mediasi
Bagaimana komunikasi tidak hanya kita anggap dalam kerangka media tapi
juga mediasi. Para pendengar komunikasi gereja dewasa ini masih sangat
fungsional melihat komunikasi, sehingga menganggap media komunikasi
melulu sebagai saluran untuk menyampaikan pesan yang dianggap sebagai
obyek komunikasi. Dari perspektif ini, kita sebagai komunikator sering kali
menggangap diri sebagai yang lebih tahu, superman, tahu segalanya, dan
komunikan itu dianggap sebagai obyek semacam tabularasa yang siap
menampung segala informasi dan pesan yang akan disampaikan. Dalam
sistem ini media dilihat sebagai saluran atau channel. Dalam paradigma
komunikasi Kristen, kita mestinya tidak lagi berbicara tentang media sebagai
saluran, karena media bukan sekadar pengantar informasi tetapi juga sebagai
lingkungan hidup, bukan hanya media tetapi juga mediasi. Itu berarti media
tidak sekadar menjadi penyalur dan berdiri sendiri dan netral, pengantar
komunikasi bisa media yang berdiri sendiri; media adalah bagian dari
masyarakat, bagian dari realitas. Merupakan keharusan bagi kita untuk
mempertanyakan siapa pemilik media, ideologi manakah yang ada di balik
media; idiom atau bahasa apakah yang dipakai dalam operasional media, siapa
di belakangnya? Dari negara mana? Bagaimana media mengonstruksikan
gender, keadilan, kekerasan, diskriminasi, dan lain-lain. Semua itu turut
menentukan terbentuknya sebuah bangunan komunikasi.
Dengan tiga catatan inilah, kami menyambut penyelenggaraan KONAS, yang
diharapkan di satu sisi akan mengevaluasi bentuk dan subtansi komunikasi kita
selama ini dan lewat satu proses belajar sebagaimana yang dikatakan oleh
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 19
Ketua YAKOMA-PGI, lewat proses saling belajar, saling bertukar
pengalaman, bertukar pengetahuan, pemikiran, informasi dan komunikasi
mendorong kita dalam sisi lain mengembangkan komunikasi yang perduli
kepada mereka yang terpinggirkan dan mengembangkan komunikasi yang
membebaskan.
Terima kasih kepada YAKOMA-PGI yang menyelenggarakan KONAS dan
terima kasih kepada Sinode GBI, dan terutama kepada Bapak/Ibu yang
bersedia mengikuti KONAS ini. Kami menilai ini sebagai komitmen kita
bersama untuk bersedia mengkomunikasikan Injil yaitu Injil yang peduli dan
Injil yang membebaskan.
d. Pembacaan Alur
Gracia L. Simanjuntak menyampaikan pengalamannya di Sekolah Minggu
kepada peserta KONAS, “Adik-adik, Ibu mau membacakan cerita-cerita
kebenaran Firman Tuhan dari ini “Alkitab! Alkitab!” Apa namanya adik-adik?”
jawab anak-anak serentak, “Alkitab!” Namun, dengan teknologi yang semakin
berkembang, bayangkan Alkitab kini berformat lain seperti Tab, Iphone, Ipad,
ponsel dan BB. Bayangkan, bagaimana mengajukan pertanyaan kepada anak-
anak, “Ini apa, adik-adik?” sambil mengacungkan BB atau ponsel sebab
Alkitab terdapat dalam software gawai (gadget).
Dari ilustrasi di atas, media gereja dan media Kristen harus sadar, kini
teknologi dan media menjadi begitu penting.
Bagi seluruh peserta, selama KONAS akan dibagikan kartu lembaran komitmen
agar apa saja yang kita diskusikan dapat diwujudkan bentuk nyata dalam media
dan komunikasi kita bersama nantinya. Jadi setiap peserta akan mendapat kartu
komitmen dan ditempelkan di pohon supaya dapat kita lihat bersama-sama.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 20
Untuk pendalaman materi dalam kelompok-kelompok, akan dibentuk 5
kelompok. Setiap kelompok bisa memilih Ketua Koordinator, dengan tugas
sebagai berikut:
Memulai doa pagi atau malam sesuai jadwal kelompok secara mandiri
bersama kelompok yang sudah ditentukan.
Memimpin sharing pergumulan sesuai topik-topik yang ditentukan.
Memimpin doa kelompok.
Mengajak anggota menuliskan doa komitmen.
e. Doa Penutup
Disertai doa makan malam yang dipimpin oleh Pdt. Ny. Altje Runtu-Lumi
Hari Kedua, 13 November 2013
Refleksi Teologis:“Komunikasi sebagai Perwujudan Kasih” (materi terlampir)
Pdt. Dr. Einar Sitompul
Tanggapan peserta:
Dwi Yatmoko (WVI): menarik tentang tiga tahap, namun ada satu hal jenis
komunikasi yang menjadi booming, yaitu komunikasi tanda kutip “autis”, seperti
orang semakin jauh dengan keluarganya, orang semakin jauh dengan guru
agamanya dan penguasaan diri yang dibatasi oleh teknologinya seperti aplikasi
yang menarik dengan gawai (gadget) dan lain-lain. Dan, gereja ada pada tahap
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 21
mana. Yang menarik juga adalah, bagaimana gereja melihat apa yang disebut
jemaat teknologi, seperti: jemaat tidak perlu hadir di gereja untuk persekutuan dan
lain-lain. Karena sudah tersedia dengan life streaming, cukup melihat di televisi
dan lain-lain. Padahal dalam pertemuan itu dibutuhkan relasi sosial yang
membutuhkan kehadiran kita di gereja.
Narasumber
Publikasi autis atau komunikasi autis sebagai tantangan, bagaimana gereja untuk
meresponnya, jangan melulu menyalahkan karena banyak orang mendoktrinkan
untuk menyalahkan perkembangan teknologi, padahal IT atau teknologi informasi
dan komunikasi adalah sebuah penemuan baru dalam peradaban manusia. Pernah
ada opini di Kompas bertajuk Remot (remote) yang menyinggung pemberkatan
jarak jauh sebagai suatu kemungkinan: pengantin tidak perlu hadir dalam gereja,
cukup tumpang-tangan dengan cara jarak jauh. Pertanyaan etisnya adalah,
seberapa jauh hikmat yang diterima oleh orang tersebut. Tujuan saya adalah:
mengatakan kita saat ini sudah memasuki peradaban baru sejak IT berkembang
pesat pada abad ke 19. Penemuan baru radio dan telegram dan kini menjadi bagian
dari peradaban yang berkembang. Saat ini penduduk terbanyak di dunia adalah
Tiongkok tetapi penduduk kedua adalah Facebook dan Twitter. Populasi saat ini
bukan hitungan kepala lagi tetapi penggunaan hobi dan media. Jadi siapa yang
menguasai media, dialah yang menguasai komunikasi. Bagaimana menjembatani
komunikasi secara lebih cepat dan tepat di era digital atau jarak jauh: yang dekat
menjadi akrab atau akrab menjadi dekat. Juga mesti ada pengaturan atau
kesepakatan kapan kita menggunakan media digital. Jadi kita yang mengatur
penggunaan teknologi, membuat kesepakatan dengan keluarga untuk menyusun
pengaturan demi kebahagiaan kita; disepakati pukul berapa menggunakan waktu
untuk hubungan personal. Bagaimana etikanya jika berdoa pagi kepada Tuhan
kita hanya mengklik gawai (gadget) kita. Kita jangan menyalahkan dahulu,
mungkin Tuhan juga senang karena praktis dalam berdoa namun masih banyak
gereja yang alergi kepada kemajuan teknologi digital. Tunda dulu penilaian
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 22
hingga kita menuju kepada etika yang berorientasi pada peradaban manyarakat
teknologis. Inilah tujuan Konas, yakni membuka wawasan dan bukan kelemahan
dan kekurangan dari organisasi yang lain.
Pdt. Herminsius Udjung (BPH GBI Kalteng): Bagaimana bisa menjalin
komunikasi yang baik bila selama tiga tahun lebih GBI dikeluarkan dari PGI
Wilayah dan alasannya GBI punya tiga aras PGI, PGLII dan GBI. Kenapa gara-
gara itu dikeluarkan dari PGI Wilayah sehingga tidak bisa mengikuti kegiatan-
kegiatan PGI. Soal ini sudah disampaikan ke PGI, dan dianjurkan agar
berkoordinasi dengan PGI Wilayah. Apa yang bisa kami angkat lagi? Membangun
komunikasi yang bagaimana agar kami bisa diterima kembali menjadi anggota
PGI Wilayah.
Narasumber
Saat ini kita masih mencari bentuk-bentuk kebersamaan, karena harus kita akui
PGI masih mencari kesatuan yang berazaskan NKRI. Untuk permasalahan dengan
PGI Wilayah agar dikomunikasikan langsung.
Alex Mangonting (Gereja Toraja): Gereja tidak akan mundur dari teknologi.
Hanya, bagaimanakah respon gereja? Pengalaman di Toraja: membuat akun
Facebook untuk para perantau yang ada di luar negeri dan ini diakte-notariskan.
Gereja-gereja sangat terlambat untuk merespon hal tersebut, padahal komunitas
lain sudah merespon kemajuan teknologi tersebut. Perlu membuat komitmen
bersama di Konas untuk menjalin komunikasi, khususnya ihwal Indonesia Timur
yang kekurangan informasi. Usul, Konas berikutnya harus di Indonesia Timur.
Narasumber
Mari kita sama-sama mengisi dan mengembangkan jaringan teknologi informasi
untuk kebersamaan dengan komunitas. Usul kepada YAKOMA-PGI, bagaimana
Konas ini bisa diselenggarakan tiap tahun atau 2 tahun sekali.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 23
Pdt. Heski L. Manus (GMIM): Kita belum memiliki format yang jelas tentang
perkembangan TIK, dan ketika gereja juga belum bersikap jelas untuk kemajuan
teknologi tersebut, kita perlu banyak berkomunikasi, bukan mencari kesepakatan
melainkan memahami dahulu perkembangan teknologi. Selanjutnya, perlu ada
sikap bijak untuk berhenti dahulu karena teknologi ini terus berkembang. Gereja
masih sulit mengelola situs web, karena itu perlu membimbing warga gereja untuk
memanfaatkan TIK.
Narasumber
Sebaiknya kita sendiri yang memilih dan membatasi diri kita dengan sikap bijak
untuk menyaring TIK yang akan dimanfaatkan.
Epifania Raintung (Persetia): Secara tidak sadar, banyak gereja dalam arti
komunitas, terbentuk karena adanya sosok-sosok hebat bertalenta dalam
berkomunikasi. Mereka adalah para komunikator. Adakah pakar komunikasi
membawa warga gereja menjadi lebih kuat, tidak membuka komunitas baru atau
gereja yang baru. Mengapa tidak fokus saja untuk membina warga gereja.
Chrisostomus Sihotang (Bina Kasih): Membagi cerita tentang lokakarya
penulisan bahan ajar Sekolah Minggu di daerah Toraja. Yang ditanyakan, apakah
yang perlu gereja lakukan sekarang? Jawabannya: 70 persen menuliskan
pergaulan bebas karena internet dan media komunikasi karena gereja tidak pernah
menjelaskan kebaikan dan bahaya pengunaan internet. Seharusnya gereja
merespons dan menanggapi kemajuan teknologi terutama dalam hal penggunaan
internet di kalangan anak-anak muda.
Pdt. Altje Lumi (GMIM): Persoalan: bagaimana kita menemukan kasih
dalam sebuah komunitas di era globaliasi seperti sekarang?
Pdt. Ananta Purba (GBKP): Gereja akan mengalami lost generation jika
memandang sebelah mata pentingnya penguasaan teknologi komunikasi dalam
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 24
kehidupannya. Anak-anak muda akan minggat dari gereja, karena itu KONAS
sangat strategis untuk berpikir menempatkan TIK sebagai bagian dari pelayanan
strategis gereja. GBKP di kota-kota besar mewajibkan memasang WIFI sehingga
komunikasinya punya frekuensinya sama. Gereja harus menempatkan TIK sebagai
suatu komisi dalam program kerjanya.
Diskusi Panel
Sesi I:
♦ Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik KEMKOMINFODr. Freddy H. Tulung
♦ Pengamat Media: Ignatius Haryanto
♦ Moderator: Pdt. Dr. Lies Sumampouw-Pangkey
Panelis I: Dr. Freddy H. Tulung (materi terlampir)
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 25
Keterbukaan yang membabi-buta adalah ketelanjangan. Gereja dan organisasi
keagamaan harus mendapatkan public trust dari masyarakat. Peran gereja menjadi
benteng pembangunan karakter moral bangsa. Tadi sudah saya katakan gawai
tidak bisa dihindari, data menunjukkan orang mempelajari pembuatan bom dari
internet, ini hanya sebuah alat dan kita tidak bisa menyalahkan alat itu.
Pertanyaannya, bagaimana alat itu berpengaruh dalam membentuk karakter
seseorang. Salah satu peran gereja adalah menjadi agen dalam memberikan
kontribusi signifikan dalam membangun karakter bangsa dan memberi edukasi
informasi kepada masyarakat.
Panelis II: Ignatius Haryanto (materi terlampir)
Saya membayangkan alur materi dengan tetap setia pada ToR yang diberikan oleh
panitia. Kalau boleh dikatakan media di zaman Orde Baru dikontrol oleh
pemerintah, siapa yang mengatur dan siapa yang memiliki media itu. Sekarang
orang bisa dengan mudah mengurus izin pendirian media dengan memenuhi
beberapa persyaratan yang tidak terlalu sulit. Tetapi pada zaman Orde Lama,
pemerintah menentukan media mana yang bisa beraktivitas termasuk pemerintah,
juga mengatur isi media. Kita semua tahu, dua hari lalu ada helikopter yang jatuh
di Kalimantan Utara yang merupakan milik AD, disebutkan 13 orang tewas. Di
zaman Orde Baru berita seperti ini tidak akan muncul secepat itu, sekarang dengan
mudah disebarkan. Di zaman Orde Baru isi media kalau tidak sesuai dengan
keinginan pemerintah bisa dibredel atau dicabut izinnya. Sejak zaman Orde Baru
ada lebih dari 30 media yang ditutup usai peristiwa Malari tahun 1974; tahun 1978
juga ada dan terakhir tahun 1994 ketika 3 majalah mingguan (Tempo, Detik dan
Editor) ditutup. Sebelumnya media cenderung takut dan tidak bereaksi, namun
pada 1994 mulai muncul perlawanan. Di zaman Orde Baru tidak ada istilah media
komunitas, yang ada “penerbitan terbatas” yang berasal dari kampus dan kelompok
gereja. Penerbitan terbatas ini dan izinnya pun dibatasi. Waktu itu media gereja
tidak terlalu diperhatikan karena isinya juga tidak terlalu mengancam stabilitas
nasional. Saya tidak pernah meriset media gereja dan saya sekarang adalah peneliti
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 26
media bukan ahli Information Technology. Penerbitan berbasis gereja memiliki
peluang besar. Kita tahu beberapa media yang sudah bertahan lama dari media
gereja mungkin ada yang masih bertahan sampai sekarang seperti Immanuel.
Peluang media berbasis gereja bisa kita sebut sebagai media komunitas yang terikat
dengan satu teritori tertentu dan dari situ ini bisa menjadi wadah latihan bagi anak-
anak muda. Saya pernah mengelola media gereja di mana saya tinggal dan
difasilitasi. Sudah 10 tahun ini saya dan beberapa teman wartawan mendidik
beberapa anak muda untuk belajar jurnalistik, minimal bukan agar mereka menjadi
wartawan melainkan jadi penulis di media umum. Radikalisasi yang terjadi
sekarang tidak hanya terlihat dalam kelompok yang menjadi teroris atau yang lain,
tetapi percakapan yang mengatakan bahwa kita tidak lagi membutuhkan Pancasila.
Ini mengkuatirkan karena landasan negara sudah digugat oleh sebagian orang,
apakah kita siap dengan generasi kita untuk meng-counter wacana semacam itu?
Ada berapa banyak orang yang kita miliki untuk berhadapan dengan konteks
jurnalis ini. Minimal bagaimana opini publik menjadi ladang penting untuk gereja
mana pun.
.Problem yang dihadapi media gereja
Kalau bicara media internal selalu ada persoalan. Media terbatas seperti ini apakah
cukup otonom atau menjadi counterpart dari para pengurus gereja? Sebab salah
satu fungsi pers adalah melakukan kontrol sosial dan apakah media gereja sudah
melakukan itu? Gereja bukan kumpulan para malaikat yang tidak dapat salah
makanya kemudian muncul gunjingan di kalangan umat. Apakah kita siap untuk
kondisi ini? Apakah media berbasis gereja semata-mata bersifat eksklusif? Ataukah
kita mulai menyebarkan semangat inklusif? Kita perlu mengundang teman-teman
dari kelompok mana saja untuk mulai membicarakan hal-hal di luar gereja.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 27
Bagaimana gereja menjaga keberlangsungan medianya. Kalau kita berbicara dalam
konteks komunikasi maka tidak terbatas pada percakapan. Ada gereja-gereja yang
sudah memiliki situs web yang bagus dan mereka dapat menyapa warga gereja
melalui media itu. Sebenarnya kita punya potensi besar untuk bisa mengelola media
ini. Bagaimanapun juga umat Kristiani masih merupakan kelompok penting dalam
bidang media. Kita punya Kompas, Suara Pembaharuan, artinya bahwa kita masih
punya tempat yang cukup besar dan bagaimana kita melibatkan anak-anak muda
untuk mengisi ruang-ruang publik ini untuk komunikasi yang lebih luas dan
mampu menjalankan kepentingan publik.
Moderator
Kita masih punya waktu 20 menit, nanti akan dilihat apakah bisa dikorupsi waktu
makan siang kita. Kita mendapat gambaran yang lengkap, dari Pak Freddy maupun
Pak Ignatius Haryanto, yang memberikan analisa internal dan eksternal untuk
melihat di mana posisi media gereja kita. Pak Freddy menantang kita, ternyata
gereja sangat minim memberi sumbangan pada kondisi bangsa melalui media.
Karena itu sekarang kita akan memberi respon atas materi ini, kami beri
kesempatan untuk mendaftarkan diri dulu:
Tanggapan Peserta
Orpa Lemba (POUK Larangan Indah): Saya mantan mahasiswi Pak Ignatius
Hariyanto. Saya bukan menyinggung suku dan saya minta maaf jika yang saya
tanya ini menyakitkan hati. Saya masih terus bertanya tentang Dayak dan Madura.
Saya pernah mau meneliti dua suku ini tetapi tidak diizinkan oleh orang tua saya.
Mereka saling bunuh, apakah ini terjadi karena persoalan komunikasi yang kurang
baik ataukah ada persoalan lain, dan bagaimana peran gereja dalam permasalahan
ini.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 28
Pdt. Amos Puasa (GMIH): Untuk Pak Ignatius, ihwal peran media gereja.
Ketika dididik di YAKOMA-PGI beberapa waktu yang lalu tentang jurnalisme,
saya masih konsen dan sampai sekarang masih tetap menulis. Pengalaman saya,
ketika menulis di media gereja yang terbit bulanan seringkali proses penerbitan
tidak tetap, kadang terbit kadang tidak, sedangkan ide terus berkembang dan
menuntut untuk selalu di-follow-up. Kemudian hadir media lokal milik grup Jawa
Pos dan saya mulai menulis di media lokal ini. Ini saya lakukan untuk mengimbangi
banyaknya tulisan dari kawan-kawan Muslim. Saya kemudian bergeser dari media
gereja ke media lokal tetapi persoalan yang saya hadapi adalah, saya melihat seperti
tidak ada pengaruhnya dalam masyarakat padahal apa yang saya tulis selalu
berkaitan dengan permasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, misalnya
politik. Untuk Pak Freddy, apakah benar radikalisme lahir karena kebablasan dalam
dunia media? Apakah ini karena pemerintah yang sekarang, Orde Reformasi, dan
saya sempat mendengar pemerintah SBY lebih jahat dari pemerintah Soeharto.
Apakah benar penguasa dalam hal ini pemerintah dalam berkomunikasi cenderung
melakukan permainan sehingga masyarakat dininabobokan; menganggap
masyarakat kita mudah dibodohi.
Pdt. Heski L. Manus (GMIM): Pemaparan Pak Freddy luar biasa karena kita
diberi peta tentang bagaimana pengaruh informasi dan komunikasi terhadap maju
mundurnya negara ini. Tentu sebagai gereja kita mengukur diri, sejauh mana media
komunikasi dalam gereja menjadi penting, apakah ini bersifat substantif atau hanya
suplemen. Berkaca dari Kitab Kejadian, mengenai makan buah yang baik dan jahat,
manusia sebenarnya tahu mana yang baik dan jahat, tetapi ini merupakan tahapan
awal dari evaluasi tindakan. Mari kita jalani masa ini dan kita perlu tetap
berkeyakinan sebab sekarang ada kebingungan di kalangan warga jemaat, kami
perlu bekal dari pemerintah. Di antara sekian hal yang paling riil, apakah yang bisa
dilakukan gereja? Pengelolaan media gereja, sampai sekarang kita belum punya
model, media seperti apa yang bisa jadi acuan. Memang media gereja sebaiknya
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 29
dikelola dengan berorientasi profit tetapi gereja cenderung memilih nonprofit jadi
agak susah. Bagaimana mengatasi masalah ini?
Alex Mangoting (Gereja Toraja): Yang dipaparkan tadi canggih, karena saya
dari desa jadi saya sedikit cerita tentang desa. Beberapa waktu yang lalu ada “orang
janggut” yang masuk di Toraja dan ini meresahkan masyarakat. Kami meminta
beberapa orang yang menjadi tokoh Muslim di Toraja untuk berbicara dengan
mereka karena tidak mungkin dari Kristen. Orang berjanggut itu lalu meninggalkan
Toraja. Komunikasi sosial seperti ini sudah lama terbangun, sehingga tidak ada
kecurigaan di antara kami meskipun kami sering mengalami ancaman penyusupan.
Bahan yang disampaikan cukup bagus, apakah kami bisa dapatkan bahannya? Ini
sangat membantu saya dalam tugas di Sinode. Karena korban kekerasan banyak
terjadi di kampung, sehingga salah satu pekerjaan baru saya adalah mendampingi
korban kekerasan yang diakibatkan oleh media antara lain Facebook. Media di
kalangan Protestan tidak ada yang dapat dijadikan contoh sebagai media yang
hidup. Pengalaman saya di Gereja Toraja -- disepakati untuk menerbitkan media
dalam Sidang Sinodal -- hanya beberapa yang rutin berkonstribusi, malah ada
pemahaman jangan berbisnis dalam gereja, termasuk menjual media gereja.
Pdt. Kotler Siagian (HKBP): Pak Freddy Tulung, terima kasih atas info hari
ini. Ada dua pertanyaan: pertama, Bapak sudah menyajikan peran gereja sebagai
benteng pembangunan moral bangsa dalam menghadapi dampak negatif media
karena itu gereja perlu memaksimalkan fungsi-fungsinya. Program-program apa
sajakah yang bisa dikerjasamakan dengan Kemenkominfo sehingga peran media
gereja lebih optimal. Kedua, era kita sekarang adalah era kebebasan pers, dan
pemerintah berperan sebagai pihak penyaring dan pengontrol informasi sehingga
kehadiran media di Indonesia bermanfaat untuk kelangsungan bangsa. Untuk Pak
Ignatius, HKBP sejak 1890, sudah memiliki media gereja bernama Suara
Pembaruan Imanuel, sudah berusia 123 tahun dan sampai sekarang tetap hidup.
Kami mengakui peredaran Immanuel masih terbatas, di lingkungan HKBP secara
internal dan juga belum menjadi bagian dari masyarakat Kristen Indonesia. Apakah
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 30
suatu saat majalah Imanuel memberlakukan penetapan satu penerbitan tentang
gereja lain, dalam arti media gereja jangan hanya menyuguhkan ihwal pelayanan
gereja itu sendiri seperti warta pelayanan, dan lain-lain. Perlu ada suatu waktu
media itu juga mengetengahkan informasi dari hal yang lain.
Dwi Yatmoko (WVI): Ada dua pertanyaan yang sama dengan Pak Kostler, jadi
saya tidak perlu ungkapkan lagi. Media seperti apa yang dapat mewakili semua
unsur dalam pelayanan gereja, sebab bisa bermasalah jika tidak mewakili golongan
usia, jender dan kategori lainnya.
Pdt. Fecky Angkow (GBI): Begitu banyak kendala yang dihadapi oleh gereja,
misalnya membuat program berbiaya besar. Memang ada ahli IT, tetapi masih
belum sepenuhnya memberikan diri untuk mengelola media gereja sehingga
diperlukan dorongan hati untuk mendedikasikan diri. Selain itu media gereja juga
tidak menyatu, terkotak-kotak, bagaimana pandangan narasumber atas hal ini, dan
strategi apakah yang bisa digunakan untuk menyatukan hal ini.
Narasumber
Ignatius Haryanto: Yang namanya konflik sosial tidak pernah ada faktor tunggal,
bukan karena agama, suku, ras tetapi ada faktor lain yang saling berhubungan.
Semua konflik memiliki sejarah yang cukup panjang di tiap-tiap daerah. Dalam
pengamatan saya, beberapa konflik di Indonesia berkaitan dengan masyarakat asli
atau pendatang. Biasanya kelompok pendatang lebih ulet, rajin karena mereka ingin
memperbaiki hidup mereka. Situasi ini yang menimbulkan gesekan tertentu karena
kelompok pendatang lebih maju ketimbang kelompok lokal. Kebetulan masyarakat
Madura kemana-mana selalu membawa clurit dan ini sudah menjadi budaya
mereka. Bagi masyarakat Dayak, alat tajam itu hanya dipakai ketika berkebun dan
setelah itu disimpan. Konflik dimulai dengan senggolan di acara dangdutan lalu
berkembang menjadi masalah besar. Kita perlu melihat secara jeli tanpa ada asumsi,
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 31
kata Pak Amos tadi bukan Maluku Utara tanpa konflik tetapi apakah begitu? Kita
perlu memeriksa apakah sebenarnya demikian? Ataukah ada hal yang lain?
Untuk Pak Amos, sudah harus mulai berpikir untuk mendapatkan hak Bapak
dengan meminta honor tulisan. Ini kondisi yang tidak adil. Bagaimanapun juga ada
karya intelektual bapak yang sudah dipublikasikan dan itu hak bapak. Memelihara
niat untuk tetap menulis itu butuh strategi sebab teman menulis adalah membaca,
jadi dengan membaca kita menstimulasi diri dengan berbagai bacaan untuk menjadi
amunisi kita yang berikut untuk menulis. Pak Heski, kita juga perlu mencari
beberapa terobosan atau memanfaatkan peluang di sekitar kita. Apakah media
gereja kita terpusat pada majalah, lalu bagaimana halnya dengan radio? Sebab
radio lebih efektif, mekanisme pengurusan tidak terlalu sulit. Di beberapa tempat,
media ini powerful dan dampaknya lebih dahsyat bagi masyarakat setempat.
Bagaimanapun bekerja dalam dunia ini tidak semata-mata bisnis. Dalam beberapa
institusi tertentu mereka mengutus beberapa orang untuk studi komunikasi sehingga
mereka dipersiapkan untuk mengurus media gereja setelah menyelesaikan studi.
Sekarang, kita banyak menerima informasi yang belum tentu akurat, seperti saya
beberapa hari ini menerima SMS tentang tawaran kartu kredit, jual mobil dll. Ini
merupakan modus penipuan lewat dunia komunikasi. Ini tergantung kita, apakah
punya kemampuan untuk menyaring informasi yang berguna bagi kita. Saya sangat
senang kalau ide bapak itu dilakukan dan kita bisa mulai dengan media kita masing-
masing, dengan mencoba mengenal gereja-gereja lain di sekitar kita. Terkait dengan
mengakomodir semua golongan, menurut saya situs web bisa dipakai mewakili
berbagai segmen. Istilahnya, kita tinggal membuat rubrikasi saja, ada yang umum
dan ada yang khusus yang akan mengakomodir kategori-kategori itu, sehingga
mereka diberi ruang. Yang menarik dari dunia situs web adalah ruang yang tidak
terbatas. Unsur situs web ini juga sangat menolong penulis, karena akan selalu
mendapat respons dari orang yang membacanya.
Freddy Tulung: Dalam penutup, presentasi saya menyampaikan 4 prinsip
memperkokoh komitmen kita. Konflik Madura dan Dayak, diawali dengan
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 32
komunikasi yang gagal sehingga tidak ada komunikasi dan terjadilah konflik. Kita
dapat melihat bagaimana minimnya komunikasi antara penduduk pendatang dan
masyarakat lokal. Saya sepakat kalau ini bukan hanya satu segi, tetapi ada banyak
hal yang saling mempengaruhi. Bagaimana peran gereja? Saya pikir ini bukan
hanya soal teologis tetapi aspek sosiologis gereja juga menjadi penting. Pintu
masuk menurut saya adalah 4 M tadi. Motivasi menulis bisa buntu karena
kebutuhan yang tidak terpenuhi atau tidak memperoleh apresiasi dari masyarakat.
Kalau mau jujur, bisa dikatakan saat ini tidak ada komunikasi dengan pemerintah.
Kalau pemerintah kejepit, presiden marah-marah, inilah era demokrasi kita di mana
semua orang bebas bicara. Saya merasakan ada kealpaan agenda setting
pemerintah. Semua menteri bebas mengatakan apa saja tetapi agenda pentingnyya
tidak muncul. Gelas yang sama dilihat dari kacamata yang berbeda tentu hasilnya
pun berbeda. Padahal kita memiliki infrastruktur yang cukup, konten yang cukup
hanya mekanisme yang belum sejalan. Bagaimana dengan gereja apakah ikut-ikutan
juga tidak konsisten? Kemampuan mempersatukan agenda setting ini yang tidak
mudah. Kita punya jubir presiden yang selalu berbicara tentang presiden tetapi kita
tidak punya jubir pemerintah yang mau membicarakan tetang pemerintah kita.
Bapak bisa mewakili gereja di Halmahera, jangan ikut-ikutan ada dalam kondisi
seperti ini.
Pak Hesky, ada media yang selalu kami sampaikan kepada publik dalam
kepentingan agenda setting. Gereja merasa kosong dalam agenda kemasyarakatan.
Di lingkungan GPIB sangat terasa konsen bagi umat tapi begitu berbicara kepekaan
gereja dengan umat beragama lain, terasa sangat minim. Karena perbedaan yang
dikedepankan, misalnya liturgi, yang berbeda. Saya sering berdebat dengan teman-
teman Muslim, bagaimana sifat ketuhanan menjadi al rahmat al rahim, sebenarnya
kita berbicara konsep yang sama tetapi dalam paham yang berbeda-beda. Terkait
dengan kerjasama antar lembaga, saya sudah berkali-kali menghubungi PGI tetapi
tidak bersambut, malah lebih banyak dari KWI melalui Divisi Kerasulan Awam dan
saya sering berdiskusi dengan mereka. Saya merasa susah dengan birokrasi PGI,
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 33
tetapi saya juga merasa senang karena YAKOMA-PGI mengundang saya. Dalam
program KEMENKOMINFO, sekarang ini sudah tersambung dengan kabel optik,
hampir seluruh wilayah Indonesia sudah terjangkau dan 7.700 kecamatan sudah
tersedia yang namanya pusat internet kecamatan. Bahayanya adalah tidak ada
isinya, jadi karena tidak ada isinya maka orang membuka situs yang lain.
Kekuatiran kami sekarang adalah yang seperti itu. Karena itu saya katakan kepada
menteri: stop dengan program itu. Pelanggaraan konten di media cetak itu
berurusan dengan hukum dan tidak bisa seenaknya mencabut, harus dengan
persetujuan pengadilan. Program pemerintah yang disiapkan adalah membuat
pelatihan media literasi yang intinya memampukan masyarakat untuk mampu
menyeleksi informasi dalam bentuk seminar, pelatihan, diskusi dll. Karena
resources kami juga terbatas maka kami tidak mungkin melayani satu persatu,
namun memungkinkan jika bekerja sama dengan lembaga lain misalnya dengan
KWI, MUI dan lembaga lain. Secara terbatas kami memberikan bantuan dalam
bentuk perangkat tekhnologi penyiaran. Tahun ini, kami membagikan 300
perangkat radio komunikasi tetapi masih diprioritaskan untuk daerah perbatasan
dan daerah kantong kemiskinan. Lainnya dalam bentuk media center, perangkat
lengkap IT, konektivitas dan lembaga yang kami anggap sudah representatif,
syaratnya tidak bisa dipakai ekslusif untuk kepentingan sendiri tetapi harus
berimplikasi pada masyarakat karena itu didanai dari uang rakyat (APBN).
Pdt. Hermusius Udjung: Saya asli Dayak. Informasi tadi sebagian benar,
sebagian perlu diklarifikasi. Ada yang menganggap ini adalah masalah pendatang
dan penduduk lokal, padahal ada banyak pendatang dan bukan cuma Madura.
Padahal, masalahnya tidak demikian. Ibarat pepatah “di mana bumi dipijak di situ
langit dijunjung”. Ada masalah yang kami hadapi dengan orang Madura; kalau
mereka meminjam tanah maka tanah itu tidak akan dikembalikan. Kalau ada
perempuan Dayak yang tidak mau menikah dengan mereka, maka perempuan itu
akan dibunuh dan ini berlangsung sudah lama. Lalu suku Dayak bertanya kepada
leluhur apakah boleh berkelahi dan leluhur mengatakan tidak boleh berkelahi.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 34
Tetapi karena ini sudah bertahun-tahun, suku Dayak kembali bertanya kepada
leluhur melalui burung elang, lalu disebut, “Lawanlah bagaimana pun!” Maka
terjadilah perkelahian itu dan yang berkelahi bukan orang Dayak kota tetapi orang
Dayak pedalaman yang bahasanya pun kita tidak mengerti. Saya waktu itu
menghadap Presiden Megawati dan menyampaikan kondisi itu. Selain itu mereka
juga suka mengganti nama daerah misalnya Sampit jadi “Sampang”, Pangkalan
jadi “Bangkalan”, ini menunjukkan adanya keinginan untuk berkuasa di beberapa
tempat. Tetapi sekarang sudah aman dan kami sudah dapat menerima mereka
kembali.
Moderator
Semua kita sudah menerima hal yang berguna, bagaimana peran media, apakah bisa
menyuarakan kritik atau memilih diam? Lalu bagaimana media gereja bisa
membekali warga jemaat untuk menyampaikan suara profetis sehingga warga
jemaat mampu menyaring informasi yang berkembang secara kritis dan cerdas.
Banyak hal, fakta dan data, yang menolong kita untuk mengembangkan media
gereja. Kami menyampaikan terima kasih banyak kepada kedua narasumber.
Diskusi Panel
Sesi II
♦ Rudi TanusudibyoMenyikapi Perubahan di Era Globalisasi dan Internet
♦ Yadi Budhi SetiawanTantangan dan Peluang Media Gereja dalam MenghadapiPerkembangan Multi Media dan Internet
♦ Moderator: Dr. Victor Silaen
Panelis 1:
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 35
Menyikapi Perubahan di Era Globalisasi dan Internet
Saya melihat kurangnya peran gereja dalam pendewasaaan jemaat. Saya
mengamati, kualitas itu menjadi suatu tolok-ukur yang jauh lebih penting sehingga
meninggalkan kuantitas. Saya bertemu dengan Richard Boke, mengatakan bahwa
tidak banyak gereja yang melakukan Firman Tuhan di mana semua jemaat diberi
makanan keras. Yang sering dilakukan adalah memberi jemaat makan bubur.
Beliau mengatakan, “Saya pernah berkotbah di Afrika di hadapan 1 juta orang
tetapi saya tidak bisa mengetahui kondisi mereka sebab saya tidak hidup di Afrika”.
Dia mengatakan gereja gagal mendewasakan manusia rohani. Fokus terhadap
kuantitas menyebabkan beberapa gereja sering mengkotbahkan apa yang enak
didengar seperti salah satu gereja di Amerika yang tidak pernah mengatakan kata
“dosa” dan kita bisa membayangkan apa yang dikatakan tentu ungkapan-ungkapan
seperti “hanya Tuhan Maha Pengampun, Tuhan Maha baik, dst.” Kalau seperti ini
terus diperdengarkan kepada umat, di manakah pendewasaan karakter umat?
Permasalahan yang dihadapi antara lain: ketidaksatuan dalam gereja. Saya sadar di
sini banyak denominasi, saya pernah bermimpi kapankah umat Kristen bisa seperti
“sepupu”-nya, kapan pun datang dan tiba saat berdoa bisa masuk di mesjid mana
saja tanpa terikat dengan liturgi dll. Kenapa kita sibuk dengan tata-cara? Kenapa
kita lupa dengan pesan, “Jadikanlah semua bangsa muridku!” Saya beribadah di
salah satu gereja, tetapi saya juga suka beribadah di GKI atau HKBP. Kesatuan
sering dibicarakan tetapi tidak terjadi di lapangan, kita sibuk dengan siapa yang
paling benar. Faktor-faktor ini yang membuat pekerja gereja perlu lebih sungguh-
sungguh membina umatnya jangan sampai ada masalah sedikit, pindah agama,
diiming-iming dengan hal sedikit masuk mesjid. Saya kira, tugas kita semua adalah
memastikan bahwa kita ikut berperan dalam membangun karakter kerohanian.
Salah satu cara yang paling efektif adalah melalui media. Ada 3 (tiga) elemen
penting untuk melaksanakan pelayanan dalam media:
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 36
1. Sumber Keuangan (Financial Resources)
Media itu mahal, kecuali di Live Channel, kami tidak memungut biaya dari
semua pembicara yang kami tayangkan 1 x 24 jam. Kalau kita membuat
sebuah sinetron Kristen yang baik dalam satu episode biayanya sekitar Rp. 300
juta- Rp. 400 juta.
Dari segi dana umat Kristen tidak kekurangan. Sayangnya unity tidak pernah
terjadi di luar gereja. Berapa banyak gereja yang ditutup, yang sangat
memprihatinkan kondisinya. Ini berarti sumber keuangan harus membuka tirai
bagi semua gereja tanpa harus diembel-embeli dengan benderanya. Ini yang
harus diperjuangkan. Unity maksudnya apa? Apakah dengan bersatu di tempat
ini, makan bersama dan duduk bersama, bisa disebut unity? Bukan, ini
gathering. Unity yang sebenarnya belum pernah terjadi. Unity yang
sesungguhnya adalah gereja yang satu membantu gereja yang lain tanpa
menuntut ini dan itu. Alokasi sumber keuangan itu sebenarnya ada hanya
kurang tepat sasaran. Jadi kita harus berbesar hati untuk melupakan bendera
kita, berkorban dan mau melupakan siapa kita. Bukankah denominasi yang
besar dan terpecah ini adalah karena ketidakpuasan? Malah yang terjadi adalah
separation dan menjadi banyak. Kami membuka peluang bagi bapak ibu
pendeta untuk mengisi konten, dan dari pengalaman kami yang masuk
sebagian besar adalah kotbah, dan ini harus melalui proses editing dan
broadcast. Channel yang tersedia hanya satu yaitu Channel 70 dan kotbah itu
harus bersaing dengan 170 channel lain. Ini menunjukkan bahwa materi
kotbah yang disampaikan harus mengena dan menarik para penonton.
Memang ada pendeta yang rating-nya tinggi karena cara berkotbahnya juga
menarik dan kreatif. Esensinya adalah, bukan siapa yang menyampaikan pesan
itu tetapi apa isi pesan itu. Ada kompetisi eksternal terhadap seluruh channel
yang lain dan kompetisi internal terhadap semua konten dalam satu channel.
Setiap hari Minggu ada banyak siaran khotbah, TVRI juga sering menyajikan
kotbah. Yang penting dari semua itu adalah kotbah berdampak atau tidak.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 37
Kebiasaan orang Indonesia menonton 5 jam sehari berarti ada 20 jam
seminggu. Broadcast ministry itu sensitif. Ada karakteristik yang perlu kita
pahami. Itu jangkauannya luar biasa dan sensitif, bukannya kami menolak
untuk menayangkan. Ada beberapa stasiun televisi yang didatangi oleh
kelompok FPI. Mana yang kita pilih, apakah mengamankan jalur kita atau
menimbulkan permasalahan yang berakibat pada ruang publikasi kita. Kadang
materi lokal menjadi politis. Waktu tayang juga perlu disesuaikan. Misalnya
ada yang dapat Sabtu pagi, sedangkan Sabtu pagi itu waktunya anak-anak:
mana yang mau ditayangkan kotbah atau kartun rohani anak? Pasti lebih
penting kartun rohani anak.
2. Human Resources
Ini sangat penting dalam mendukung program. Saya melihat kompetensi itu
kurang, tidak dimiliki oleh banyak pengisi acara, ada yang bagus, ada yang
sangat bagus. Kompetensi di dunia media tidak hanya sampai dalam hal
berbicara, tetapi harus menyentuh hati para pengguna media itu.
3. Networking
Untuk hal jaringan kita perlu belajar dari negara Israel yang bersemboyan
hidup tidak boleh tergantung kepada orang lain. Sejarah mereka mencatat, dari
Tanah Perjanjian kemudian mereka tidak boleh tinggal di tanah sendiri, karena
itu orang Yahudi ada di mana-mana. Sampai tahun 1947, setelah peristiwa
Hitler mereka sadar bahwa mereka tidak punya tanah dan mereka bersatu
untuk membangun bangsa mereka dan sekarang di mana-mana ada gedung
besar yang merupakan milik orang Yahudi. Di sana ada pusat informasi dari
semua negara. Dan karena itu mereka kemudian terisolir dan tidak punya
teman. Jadi network dalam dunia media penting kalau tidak akses kita tidak
akan tersampaikan
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 38
4. Media Baru - Media Sosial
Dulu yang dominan berbentuk tulisan dan karena itu efeknya tidak terlalu
berpengaruh. Era digital begitu pesat perkembangannya dan Indonesia adalah
negara ke 4 pengguna Facebook terbanyak di dunia. Ini merupakan peluang
bagi dunia media gereja tetapi juga tantangan yang perlu disikapi. Yang
penting, sekali lagi, adalah konten dan pemahaman konten itu menentukan
kualitas media.
Moderator
Kita sudah mendengarkan materi yang menarik dari Pak Rudi, saya yakin ada
banyak hal yang ingin dipertanyakan, karena itu kami langsung saja memberi
kesempatan kepada Bapak/Ibu untuk merespon materi ini.
Tanggapan Peserta
Dwi Yatmoko (WVI): Bagaimana peran media sendiri untuk memampukan
multi media kepada gereja. Gereja sudah sangat banyak tersebar, sampai ke
desa-desa, dan orang dapat menonton video yang menayangkan ihwal
bagaimana peran media menghadirkan tontonan menarik bagi warga desa.
Konten memang diperlukan tetapi banyak orang yang potensial namun kurang
diberi kesempatan.
Narasumber (Rudi Tanusudibyo)
Kita harus pisahkan dulu dari kacamata media, misalnya MNC menayangkan
sinetron yang bernuansa rohani. Kalau kita berbicara kepada semua pelaku
media, kita perlu bertanya apakah ini komersial atau tidak? Apakah pure
ministry itu berarti kita perlu menyiapkan resources-nya. Pernah ditawarkan
untuk mengusahakan sebuah satelit, sebab dengan satelit semua bisa diakses.
Tetapi itu juga tidak semudah yang dibayangkan. Sebab tidak mungkin kita
tidak memberi tempat kepada yang mayoritas, karena negara kita terdiri dari
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 39
banyak elemen. Ada aturan dari KEMENKOMINFO yang mengatur soal-soal
tersebut.
Adi Setyawan (GBI): Saya dipercaya sebagai pengurus pemuda dalam
bidang art media. Betul yang dikatakan Pak Rudi bahwa konten media gereja
dianggap kurang seksi. Saya memperhatikan salah satu konten, yaitu Sekolah
Minggu. Dari segi human resources, ini berkaitan dengan pengalaman saya
dengan teman-teman pemuda, soal keahlian broadcast. Apakah ada sekolah
broadcast di perusahaan Bapak sehingga bisa mendidik pemuda untuk belajar
dan kemudian menjadi tenaga tetap di bidang multi media di gereja.
Ini tidak mudah, sebab saya katakan tadi kalau saya melakukan yang Bapak
sarankan, maka saya akan ditanya oleh orang pesantren, kenapa kami tak
dapat? Ini selalu berkaitan dengan soal-soal yang demikian.
Apa yang sudah disampaikan sebagai kontribusi Live Channel terhadap
kehidupan bergereja. Saya menanggapi dari sisi keadilan, dalam arti program
channel itu kalau bisa tidak didominasi oleh salah satu gereja tertentu. Sesuai
amanat PGI: memberi kesempatan kepada semua denominasi gereja. Hanya,
persoalan sekarang adalah apakah diberi kesempatan untuk tampil atau tidak?
Ada satu televisi komunitas yang signifikan seperti Buddhis TV. Apakah bisa
komunitas Kristen juga punya televisi tersendiri sehingga dapat menyuarakan
berbagai hal berkaitan gereja.
Saya bahasakan secara lembut tentang “semua orang diberi kesempatan yang
sama”. Dalam mekanisme manajemen kami, saya tidak mencampuri tim redaksi
untuk memberi porsi lebih kepada pendeta mana pun, termasuk pendeta dari
gereja saya. Ini berarti kita perlu melihat kualitas. Saya pribadi memantau
channel lain dan mengamati supaya jangan sampai menayangkan sesuatu yang
tidak sejalan dengan penonton. Sering ada komplain, entah soal pendeta yang
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 40
berkotbah marah-marah atau pendeta yang bermasalah, kami diprotes.
Feedback yang masuk banyak, karena itu kami selalu memantau karena ini soal
ministry. Ministry itu sebagai tontonan tidak berguna. Kami menerima jauh
lebih banyak kontribusi dari dalam dan luar negeri dari pada yang harus
ditayangkan. Sekalipun begitu terima kasih atas masukkannya. Idealnya sebuah
kotbah diambil dengan 3 kamera atau minimal 2, dan ini berkaitan kesiapan
pendeta berhadapan dengan kamera. Kadang terjadi kamera di tempat lain dan
pendeta menghadap ke arah yang lain.
Panelis 2: Tantangan dan Peluang Media Gereja dalam Menghadapi
Perkembangan Multi Media dan Internet
Ada 5 jenis komunikasi:
1. Komunikasi sosial lingkungan
2. Komunikasi pemasaran dan pasar
3. Komunikasi pemerintah dan politik
4. Komunikasi ekonomi dan bisnis
5. Komunikasi seni dan budaya
Perlu dilihat terlebih dahulu tentang integrasi komunikasi sosial. Saya berbicara
sebagai warga negara indonesia, lebih konkrit lagi sebagai warga kristiani di
negara ini. Ada 4 komponen yang penting: media, pesan, desain dan pemirsa.
Indonesia termasuk paling cepat berbicara tentang public issues, dan dengan
sendirinya opini terbentuk di sana, dan gereja tidak terlepas dari kondisi ini.
Sebuah riset yang dilakukan di Indonesia menunjukkan aktivitas
penduduk/jemaat/warga aktifitas yaitu 9 persen menulis, 16 persen membaca,
30 persen berbicara, 45 persen mendengar. Ironisnya tabel itu memberikan
gambaran, sebagian besar orang Indonesia lebih dominan mendengar dan fakta
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 41
ini tidak memberi dampak apa-apa karena hanya mendengar. Tren komunikasi
sosial 2011-2020 berkembang dengan mengacu pada:
1. Peningkatan teknologi: Contoh kasus Bina Nusantara dulunya adalah
sebuah universitas kecil, tetapi sekarang mahasiswanya mencapai 44.000
orang sedangkan Universitas Indonesia baru 33.000 padahal Universitas
Indonesia sudah tua. Ini disebabkan BINUS sangat mengutamakan skill
bukan cuma pengetahuan. Ini menunjukan sebuah perkembangan yang
sangat luas, misalnya kita bisa membandingkan model situs web dulu
dengan sekarang. Situs web yang sekarang kontennya lebih beragam, ada
video, dan kata-katanya semakin sedikit.
2. Borderless, virtual, instant, direct, transparant: Apa yang terjadi di Jerman
akan diketahui oleh kita di Indonesia.
3. Budaya individualis, netizen global
4. Paperless
5. Dari akar rumput ke samping/peer communication
6. Monolog kurang disukai
7. Masyarakat 15-34 tahun menerima dan membaca 43 pesan per hari.
Sasaran bidik target pemirsa (audience) (lihat slide)
Sasaran penyampaian komunikasi ke target pemirsa (8 lokasi terbanyak.
Di mal atau pusat keramaian, di hotel/saat travelling, di kafe atau resto,
saat rapat di mana pun.
Sebagai pendeta atau pekerja gereja, sasaran tidak saja diarahkan dari
atas mimbar tetapi dari lokasi virtual ini. Ini yang disebut virtual space.
Paradigma baru Gereja dan Komunikasi.
Kita perlu lebih meningkatkan komunikasi, bukan hanya internal gereja
tetapi antargereja juga penting. Bisa juga antar kelembagaan. Kita harus
menggunakan dan memanfaatkan komunikasi audiovisual bukan hanya
mengandalkan teks.
Tanggapan Peserta
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 42
Pdt. Heski L. Manus (GMIM): Ini memberi kita pandangan dan arah yang
makin tajam dalam kaitan untuk lebih serius memikirkan media gereja kita supaya
makin disempurnakan. Kalau kita melihat apa yang dipaparkan tadi, saya pikir kita
perlu survei lagi seperti apa keinginan gereja untuk konten atau bahan apa yang
tepat. Bapak tidak membahas soal pembiayaan, saya justru ingin tanyakan
bagaimana dari segi pembiayaan terutama media sosial sebab sebagaimana yang
dikatakan Pak Rudi tadi, bahwa media sosial lebih murah.
Pnt. Johan Kristantoro (GKJ Bekasi): Teringat ungkapan tokoh gereja
“semestinya para rohaniwan berpikir keluar dari gereja”. Dan revolusi teknologi
informasi membawa pekerja gereja harus berpijak pada segi itu. Kalaupun revolusi
teknologi ini memungkinkan kita memasuki dunia yang tak berdinding, masalahnya
adalah kita sendiri yang membangun tembok itu sendiri. Misalnya, kita jarang
menggunakan bahasa yang lebih universal tetapi masih lebih suka menggunakan
bahasa Alkitab. Menurut Bapak seberapa jauh seorang rohaniwan atau pekerja gereja
dimampukan mengkomunikasikan bahasa yang lebih universal.
Narasumber
Tadi sudah dikatakan Pak Rudi bahwa media sosial lebih murah. Untuk mengerjakan
media sosial yang sederhana misalnya situs web dan banyak orang bisa
mengerjakannya. Tetapi pada umumnya berusia di bawah 40 tahun. Kita juga bisa
menyampaikan firman melalui video games dengan menggunakan akses Kakaotalk.
Misalnya, sekarang kenapa tidak ada games yang mengarahkan kepada
pengembangan karakter. Kalau bicara komunikasi agama, itu berkaitan dengan hal
teologis tetapi saya batasi itu dalam konteks gereja pada saat kotbah atau rapat
kepengurusan. Tetapi kalau pendeta melayani untuk pelayanan ibadah kematian,
kedukaan, rumah sakit, oikoumene, rumah-rumah itu sudah masuk area: bisa murni
spiritual teologis, bisa juga dicampurkan bahasa universal. Saya tidak mengatakan
itu kasual sebab kasual memberi kesan informal sekali. Ketika kita masuk ke
departemen pemuda dan anak, semestinya bahasa visualnya lebih banyak
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 43
dimasukkan. Pendeta bisa memanfaatkan sumber dalam jemaat yang bisa membantu
menemukan situs yang menolong dalam menggunakan bahasa universal. Saran saya,
hal itu dipakai dalam persekutuan, atau di sekolah Kristen sebab dalam pendidikan
Kristen yang sangat dibutuhkan adalah character building.
Diskusi Panel
Sesi III
♦ Jose Yusuf Marwoto (Radio Heartline) Pengelolaan Radio di Tengah Masyarakat Plural
♦ Sinode GKPBGerakan Keagamaan Merespons Era Globalisasi, Internet dan Pluralisme
Panelis 1: Pengelolaan Radio di Tengah Masyarakat Plural
Sesi ini berbicara seputar keadilan dan perdamaian. Keadilan dalam konteks
informasi, kalau kita membaca UU no. 48 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi
publik, di situ jelas disebutkan berbagai hal berkaitan informasi sehingga orang
dapat mengetahui apa yang menjadi hak-haknya: hak kesehatan, hak pendidikan dan
hak kesejahteraan. Menurut saya keadilan adalah pendistribusian informasi yang
merata. Hal kedua adalah perdamaian, sebab dalam kenyataannya agenda konflik
selalu dibuat sedemikian rupa sehingga media sangat berperan dalam mengupayakan
perdamaian. Sejarah keselamatan adalah sejarah komunikasi antara Allah dan
manusia di mana Allah berkomunikasi untuk perdamaian dengan manusia. Visi kami
adalah bagaimana mengkomunikasikan Kristus melalui radio. Tantangan yang kami
hadapi sekarang:
Perizinan. Ada sekitar 100 radio Kristen di seluruh Indonesia dan hampir 80
persen kesulitan mendapat izin dari pemerintah. Kesulitan utama adalah, dalam
pengajuan proposal perizinan, harus ada evaluasi atau semacam dengar
pendapat dari masyarakat setempat, lalu diadakan ujian untuk mencari tahu
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 44
lebih mendalam tentang radio ini berkaitan dengan isi, konten, misi, kegiatan
dll. Di situlah kesulitannya karena banyak radio Kristen masih berpusat pada
kepentingan internal gereja. Ini yang kami evaluasi bahwa sebaiknya kita
menggunakan ranah publik. Kita tidak bisa siaran hanya untuk kepentingan kita
saja sebab kita menggunakan frekuensi umum.
Sustainability. Mempertahankan keberlangsungan radio tidak cukup hanya
berharap dari gereja tetapi kita juga membutuhkan dukungan dari lembaga lain
misalnya di Tangerang, Yogyakarta, sangat mendapatkan dukungan dari
lembaga-lembaga lain. Selain itu pendekatan dengan agen untuk iklan dsb itu
tetap diupayakan untuk mendukung finansial radio tersebut.
Industri Radio versus Bisnis Radio. Dewasa ini ada banyak cara yang
dilakukan orang untuk mendapatkan informasi misalnya dari internet, dan lain-
lain. Ini suatu tantangan yang kita hadapi.
Budaya Visual. Televisi adalah tantangan terbesar dari radio sebab kultur
masyarakat dekat dengan sesuatu yang audiovisual. Kekuatan radio ada pada
imajinasi, misalnya anda makan burger, bukan burgernya yang enak tetapi
imajinasi anda tentang burger itu yang enak. Kita memainkan imanjinasi kita
sesuka kita. Apalagi sekarang ini banyak pekerja radio adalah anak-anak muda,
sehingga ketika mereka siaran mereka begitu ekspresif seakan ada satu kamera
yang menyorot mereka.
Kreativitas. Kalau tidak kreatif pasti tidak akan menarik. Kalau hanya kotbah
terus maka tidak akan cukup, ada begitu banyak kreativitas yang bisa
dikerjakan termasuk juga kualitas suara, teknik penyiaran, dll. Sebagai media
yang mengandalkan pendengaran maka radio selalu mempertahankan
keintiman/ kedekatan yang dipraktikkan dalam siaran sehingga meskipun
pendengar ada di berbagai tempat maka pendengar tetap akan menemukan
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 45
suasana keakraban misalnya melalui sapaan, dll. Tahun ini kami membuat
training bagi penyiar kami dan juga memberikan award untuk penyiar kreatif.
Ini dimaksudkan untuk memacu kreativitas tim kerja di radio kami.
Perhatian: Limited Resources. Masyarakat kita sekarang hampir tidak punya
waktu yang cukup untuk melihat sesuatu secara serius. Ada salah satu
pengamat sosial dari Jerman yang mengatakan bahwa perhatian sekarang ini
sudah seperti sumber yang terbatas, tidak fokus lagi. Ini menunjukkan kalau
anda mengelola media maka harus semenarik mungkin. Waktu belajar
broadcast dan mempraktikkannya, dan dalam 3 menit anda diminta membuat
program dan tidak ada yang menelepon, itu berati anda gagal.
Peluang Radio
1. Budaya tutur. Jurnalisme telinga: dalam banyak budaya di Indonesia
budaya tutur menjadi sesuatu yang sangat dekat. Kalau kita bisa
memanfaatkan kekuatan itu, akan sangat efektif untuk penginjilan.
2. Kekuatan imajinasi. Anak yang ditanya: “Lebih suka nonton televisi atau
dengar radio?” Anak ini menjawab, “Lebih suka dengar radio.” Kenapa?
Karena radio penggambarannya lebih bagus. Kekuatan imajinasi ini yang
menurut saya dapat dipakai untuk mewartakan Injil sehingga iman
pendengaran bertumbuh.
3. Bisa mendengar radio sambil masak, mencuci, menyetir, dan lain-lain.
Piramida penduduk Indonesia akan lebih banyak perempuan daripada laki-
laki. Dalam survei saya, ternyata yang menjadi pendengar lebih banyak
perempuan. Karena populasi masyarakat Indonesia lebih banyak
perempuan daripada laki-laki.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 46
Strategi
Melakukan dialog kemajemukan dengan semua umat beragama.
Gray matrix: metode yang sukses kami lakukan untuk
mendapatkan izin (lihat slide)
Community center radio. Kami melakukan training untuk
melibatkan pendengar dalam program kami.
Thing. Mendengarkan. Filosofi China: Telinga raja - Mata hati
Kami melakukan program dengan mendengar suara pendengar,
bukan saja pendengar yang mendengar siaran kami. Kami rela
masuk ke pelosok untuk mendapatkan informasi dan kemudian
membuat program untuk disiarkan.
Tanggapan Peserta
Pdt. Ananta Purba: Kami punya pengalaman yang sulit untuk mendirikan
radio, banyak biaya, juga pekerjaan yang harus dilakukan, karena itu disarankan
membuat radio komunitas. Sekarang banyak warga gereja yang mengungsi
karena gunung Sinabung. Saya pernah mendengar tentang radio komunitas
Merapi yang sangat membantu saat peristiwa Merapi bergejolak. Yang kami
tanyakan, apakah radio komunitas ini juga perlu mengurus izin?
Narasumber
Radio komunitas ini diatur oleh perizinan dan ada kategori yang sudah
ditentukan dalam aturan. Jadi memang harus diurus izinnya, kecuali beberapa
radio bergesekan dengan penerbangan itu akan mendapat teguran. Saya juga
pernah berkunjung ke radio Merapi, dan perannya sangat penting dalam rangka
mitigasi bencana. Strategi programnya adalah menggunakan komunitas radio
center, jadi yang perlu dipikirkan adalah bagaimana radio tidak hanya
melibatkan satu dua orang tetapi melibatkan banyak orang. Kami sekarang ini
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 47
melibatkan 30 orang perempuan di Parung Panjang yang terkena kanker
serviks, dan bagaimana orang mendengar perempuan-perempuan itu bercerita.
Pdt. Kotler Siagian: HKBP punya 2 radio, satu di antaranya Radio
Bonafide di Tarutung dan sudah beroperasi selama puluhan tahun. Apa peluang
mendirikan radio dengan menggunakan jaringan streaming? Kami pernah
punya radio di Jakarta tetapi karena persoalan biaya terpaksa gulung tikar.
Tetapi saya juga menjajaki untuk mendirikan radio FM di Jakarta meski sangat
sulit. Apakah karena biaya gelombang frekuensi yang sangat mahal atau ada hal
lain, misalnya berkaitan dengan izin, dsb. Mungkin ada di antara peserta
KONAS yang berasal dari daerah-daerah yang ingin mendirikan radio, menurut
Bapak apakah langkah konkret melakukan hal ini dan bagaimana langkah yang
harus kami usahakan untuk mendirikan radio ini.
Narasumber
Terus-terang, Jakarta sudah full dan semua tempat sudah diborong, selain itu
biaya sangat mahal kecuali kita melakukan take-over terhadap salah satu
stasiun radio yang hampir kolaps. Streaming saya sangat setuju. Ini konvergensi
yang bisa digunakan agar didengar oleh semua komunitas. Untuk radio lokal,
kita bisa berhubungan dengan Komisi Penyiaran Daerah, lalu mengajukan
proposal ke KPID. Kemudian ada evaluasi seperti ujian skripsi lalu membuat
kalkulasi bisnisnya seperti apa. Intinya, kita dapat frekuensi dulu, ini yang
penting. Ini mungkin salah satu strategi.
Pdt. Heski L. Manus (GMIM): Ada radio Sion sejak tahun 1971 dan sudah
berbentuk Perseroan Terbatas dengan saham milik gereja, juga sudah
streaming. Tantangan radio ini sekarang bermacam-macam, antara lain tuntutan
jemaat misalnya sekian persen harus rohani, padahal aturan sekarang kita harus
lebih umum tidak mungkin selama 1 hari putar lagu rohani terus. Sekarang kita
sedang bergiat dengan news. Pendengar kita dari berbagai kalangan dan kita
butuh sekitar 20 relawan yang ditempatkan di beberapa tempat untuk
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 48
mendapatkan berita. Ini masalah kami sekarang. Kami radio lokal, tentu harus
banyak belajar dengan radio di Jakarta dalam pengelolaannya.
Narasumber
Tahun ini saya memulai di Samarinda dengan Gospel Radio. ini bukan radio
rohani tetapi radio yang memperdengarkan lagu yang biasa ,tetapi bermakna
rohani misalnya. Misalnya lagu-lagu Ruth Sahanaya, Jason Miraz, Josh
Groban,dll. Kontennya tetap mempertahankan nilai dan karakter Kristiani,
hanya saja dikemas dalam isu-isu yang kreatif. Nilai adalah sesuatu yang jelas
dan penting, kita tidak meninggalkan otentitas kekristenan tetapi mencari nilai-
nilai universal dan mengemasnya secara kreatif. Misalnya, tentang puasa. Puasa
bukan hanya milik umat Islam tetapi juga umat lain termasuk umat Kristen dan
itu menarik untuk didiskusikan bersama. Saya peduli dengan training.
Sayangnya, banyak yang setelah training kemudian pindah ke radio lain atau
stasiun TV dan bahkan tidak mendengar radio. Mereka beralih ke audiovisual.
Panelis 2: Gerakan Keagamaan Merespons Era Globalisasi, Internet dan
Pluralisme
(Materi ini sedianya dibawakan oleh Bapak Bambang Wijaya, tetapi beliau
berhalangan hadir karena masih berada di luar negeri. Kami dipercaya untuk
menyampaikan materi ini, tentu berdasarkan pengalaman kami menangani
media gereja).
Contoh pemanfaatan media secara internal:
Di antara pengerja: smartphone (BBM, Whatsapp, FB, dll), Skype,
internet (surat elektronik, referensi, pencarian materi, pengiriman
materi), kamera CCTV online dan jaringan LAN. Di Bandung kami
memiliki 4 titik tempat kami dapat mengakses informasi dengan baik
termasuk kamera CCTV online. Pak Bambang bisa memantau keadaan
gereja kami di Indonesia, misalnya ibadah, kondisi kantor, dll.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 49
Kepada jemaat: Internet (pendaftaran, surel, dll), warta jemaat,
televisi, proyektor (kotbah, klip video, pengajaran, pengumuman), CD,
DVD dan USB (penyebaran informasi, materi seminar, pengajaran,
foto-foto kegiatan, dll), situs web.
Beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam media jemaat:
Ketepatan informasi
Kejelasan informasi
Desain yang menarik/kemasan sangat penting. Banyak gereja
yang lebih mengutamakan konten ketimbang kemasan padahal
kemasan juga sangat menentukan.
Sederhana dan mudah dimengerti
Kekinian/update selalu
Sesuai dengan kebutuhan jemaat
Tambahan dari Pak Bambang:
Apa yang disampaikan Pak Pieter tadi adalah bagian dari upaya gereja kami di
mana multi media sudah mengambil sekian persen apa yang menjadi visi dan
misi gereja kami dan disampaikan kepada audiens dengan harapan komunikasi
yang dibangun itu efektif dan efesien. Tidak dapat dimungkiri, media informasi
menjadi kebutuhan tak terhindarkan. Dengan kemajuan ini kita bergaul dengan
banyak orang dari berbagai latar-belakang sehingga dibutuhkan pengetahuan
yang cukup, dan ini yang disampaikan gereja kepada publik pendengar agar
kita berkomunikasi dengan siapapun dan mengkomunikasikan Injil kepada
semua orang juga. Karena jika kita tidak dapat mengunakan media dengan tepat
maka jangan salahkan orang lain apabila orang lain dapat menggunakan media
ini. Semua yang kami gunakan ini memang sudah standart tetapi kami tetap
mengutamakan firman Tuhan, Roh Kudus dan Kristus itu point center-nya.
Selain menggunakan media ini, kami juga memanfaatkannya untuk memberkati
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 50
gereja-gereja lain atau orang-orang non Kristen untuk dapat mengenal Kristus
dan gerejaNya, dan ini dikemas secara kreatif melalui live, streaming (ibadah
setiap minggu). Kebetulan divisi saya adalah divisi multi media, jadi semua
bentuk konten media itu ada dalam koordinasi dengan divisi kami. Dengan
menggunakan media, isi pengumuman menjadi kompak, jelas dan tepat
sasaran. Itu yang menjadi dasar kami dalam menggunakan media sampai
sekarang.
Tanggapan Peserta
Pdt Amos Puasa: Berapa biaya yang dibutuhkan untuk mengupayakan
semua kebutuhan itu? Kapan kami di Halmahera bisa begitu? Contoh praktis,
misalnya ada beberapa pendeta yang menggunakan Ipad, lalu jemaat komplain
dengan mengatakan,‘ “Bagaimana kalau misalnya buka Alkitab, lalu muncul
yang lain? Ini fakta juga, di satu pihak sudah sangat maju tapi di pihak lain ini
masih jauh tertinggal.”
Narasumber
Kalau saya pikir setiap daerah tidak bisa disamakan, tentu punya konteks
berbeda-beda. Yang penting kita bisa menyampaikan pesan dengan baik sesuai
dengan budaya jemaat kita masing-masing. Dan jemaat itu bisa berkembang
atau mencari jiwa sebanyak mungkin. Memang ada biaya yang harus
dikeluarkan. Tetapi kalau kita berpikir itu efektif, tentu akan lain ceritanya
sebab semua direncanakan untuk pelayanan. Semua peralatan dalam studio itu
tidak didapat secara langsung, tetapi bertahap. Juga dukungan dari jemaat,
sebab jika jemaat melihat itu penting maka akan bisa diusahakan berbagai
peralatannya. Misalnya, kamera di studio kami untuk kepentingan broadcast,
maka kami menggunakan kamera yang seharga Rp. 40 juta. Mengenai
penggunaan gawai untuk kotbah itu tergantung penggunanya. Jika kita tidak
membarui kemampuan kita, akan ketinggalan. Sebagai pendeta, jangan
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 51
ketinggalan di era ini. Kemampuan itu tidak terjadi dengan sendirinya, semua
mulai dari yang tidak tahu. Pengalamanlah yang menempa kita untuk
berkembang terus. Kalau kita belum yakin dengan penggunaannya maka jangan
paksakan agar tidak mempermalukan kita sendiri.
Pdt. Y.N. Wonmaly (GBI Tanah Papua): Kita bukan berbicara cost yang
mesti dikeluarkan melainkan keharusan injil diberitakan. Yang menjadi
kesulitan kami adalah, kami memerlukan mitra seperti gereja di Jakarta yang
bisa menjadi tempat magang untuk belajar media gereja yang efektif seperti ini.
Narasumber (Pak Pieter): Setiap kali ke daerah untuk melakukan training
broadcast, saya selalu berhadapan dengan gereja yang menghadapi berbagai
situasi sulit. Yang bisa saya katakan, jangan skeptis, jangan pesimis. Ingin
maju ada ongkos yang harus dibayar, ada doa dan dana. Saya katakan ini agar
gereja berpandangan jauh ke depan, bukan gereja yang statis. Apa yang kami
lakukan adalah harga yang harus dibayar untuk jiwa-jiwa yang mau memberi
diri bagi gereja. Kebetulan saya adalah alumni CBN angkatan 8. Dan ini sangat
menolong saya untuk mempercayakan apa yang Tuhan percayakan kepada
saya. Sampai sekarang saya sudah membuat beberapa aplikasi multimedia,
melibatkan banyak tenaga untuk relawan yang masih bersedia dilibatkan
sampai sekarang. Ini yang menurut saya perlu dimiliki setiap pengelola media.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 52
Hari Ketiga, 14 November 2013
Refleksi Teologis
Pdt. Sylvana Apituley, M.Th.
“Menjadi Pewarta Keadilan dan Perdamaian, Pengalaman Perempuan”
Hasil-hasil Diskusi Kelompok:
Kelompok I
Kelompok yang termajinalkan adalah kelompok: tidak pernah mandi.
Kelompok Ahmadyah, kelompok banci, kelompok yang tidak terakomodir
dalam aturan gereja, melahirkan di luar pernikahan atau kumpul kebo.
Kedua: Pesan Injil yang membebaskan adalah semua orang berhak
menerima keselamatan dari Yesus siapa pun orangnya. Ketiga: Cara
berdialog adalah bertemu dengan mereka dan berbicara dari hati ke hati,
bahwa gereja tidak tertutup menerima mereka.
Kelompok II
Masalah yang muncul adalah, pertama, wanita yang tertindas karena
mahar yang mahal, misal di Nias, Sumba dan berapa tempat lain.
Termajirnalkan di gereja karena status sosial dan pelayanan di gereja
berbeda antara yang kaya dan miskin. Masalah marjinalisasi masyarakat di
Mentawai akibat kemiskinan yang disebabkan bencana dan akhirnya
banyak yang pindah kepercayaan ke Padang. Di Toraja muncul masalah
tenaga kerja di Serawak dan Sabah. Di Toraja banyak lansia kesepian --
kurang perhatian karena anak-anak sudah menikah dan pisah rumah, tidak
ada teman berdiskusi -- karena gereja tidak perduli. Di Kalimantan
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 53
Tengah, anak-anak muda yang menjauh dari gereja karena persolan dunia
seperti judi dan lain-lain karena mereka berkerja di pabrik buruh
(tambang) dan uang yang didapat habis untuk berjudi dan mabuk-
mabukan.
Ada tiga poin yang harus disikapi oleh gereja:
1. Gereja harus hadir memberikan sentuhan.
2. Gereja harus mendengarkan dan menyelesaikan masalah yang mereka
hadapi.
3. Gereja harus memberi sentuhan bukan saja mendengar.
Kelompok III
1. Orang yang termarjinalkan adalah yang menjadi korban khususnya
masyarakat yang tanahnya dirampas, dan masyarakat di perairan
pertambangan. Di mana peran gereja selama ini? Kebanyakan gereja
menganut “gereja palang merah” bukan “palang pintu”, karena gereja
tidak perduli -- setelah ada korban gereja baru bertindak. Sering
berdebat dengan aparat dan orang yang didampingi, tetapi tetap tidak
ada jalan keluarnya dengan pemerintah. Kasus yang didampingi di
daerah Dairi Sumatera Utara.
2. Ketika berbicara dengan pihak gereja, kebanyakan mereka menolak.
Hanya ketika duduk bersama saja masalah itu dibahas dan tidak ada
solusinya. Untuk pendampingan orang sakit seperti HIV/AIDS yang
dikeluarkan dari keluarganya dan korban dari lumpur Lapindo, apakah
ada peran gereja?
3. Memandang kelompok lain sama seperti memandang aliran-aliran yang
dianggap sesat. Karena ini bukan saja persoalan teologis melainkan sisi
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 54
kemanusiaan seperti Saksi Yehova yang dari dahulu di sebut aliran
sesat. Kita harus bisa memisahkan keluarga Kristen dan bagaimana
menyelamatkan mereka.
Kelompok IV
1. Kelompok yang termajinalkan seperti para pekerja anak berumur di
bawah 17 tahun dan yang tidak tamat sekolah dan menerima gaji yang
tidak layak juga.
2. Mereka yang tinggal di sekitar TPA khususnya anak-anak, dan pernah
ada gereja yang coba mengadakan PAUD tetapi malah ditolak oleh
pemerintah karena curiga kristenisasi.
3. Kelompok anak jalanan dan yang disebut kelompok PUNK
4. Kelompok pekerja sosial khusus yang diperhatikan adalah yang sudah
berumur, apa yang dapat diperbantukan untuk mereka?
5. Kesimpulan dan saran: Karena Kasih Allah adalah kasih untuk semua.
Yang diperlukan adalah pendampingan, pemberdayaan dan
mengupayakan hidup layak dan pelayanan.
Narasumber
Dari hasil diskusi kelompok dapat disimpulkan, antara lain analisis yang
jelas terhadap persoalan, mengindentifikasikan siapa kelompok-kelompok
marjinal, dan bagimana gereja harus bersikap:
1. Pesan Injil apa yang harus disampaikan.
2. Mengkomunikasikan Injil dalam konteks masyarakat yang marjinal.
4. Gereja harus juga menangani AIDS/HIV.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 55
5. Bagaimana sikap gereja menangani kasus kelompok yang dianggap
sesat?
6. Belum ada sikap gereja yang jelas untuk para pekerja anak, buruh
migran, lansia, dan pekerja sosial.
7. Gereja yang ditolak oleh pemerintahan untuk melakukan pelayanan dan
memberikan pemahaman kepada masyarakat (pelayanan social justice).
Sesi II
Diskusi Panel
♦ Rukka Sombolinggi (AMAN): Perspektif Bermedia: Media, Masyarakat
Adat, Lingkungan Hidup
♦ Nestor R. Tambunan: Media dan Disabilitas
♦ Syaiful W. Harahap: Media Masa dan ODHA
♦ Moderator: Jeirry Sumampouw
Panelis 1: Media Massa, Masyarakat Adat, Lingkungan Hidup (materi terlampir)
Panelis 2: Media dan Disabilitas (materi terlampir)
Pengertian “Media dan Disabilitas” adalah setiap orang berkelainan fisik,
mental, intelektual, sensorik dan motorik yang dalam interaksinya dengan
berbagai hambatan, dapat merintangi partisipasi mereka secara penuh dalam
masyarakat dan efektif berdasarkan pada azas kesetaraan.
Jurnalisme empati merupakan sikap dan kemampuan untuk melihat dunia dari
sisi orang lain serta memahami dan mampu menempatkan diri pada posisi
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 56
orang lain secara emosional dan intelektual dan mampu mengkomunikasikan
pemahaman empati dan sikap itu kepada orang lain.
Penyandang distabilitas sering diabaikan, baik oleh gereja maupun lingkungan
sekolahnya; mereka masih menganggap penyandang disabilitas sebagai
ketidakmampuan melakukan pekerjaan di sekolah maupun di lingkungan
keluarganya. Pemerintah pun tidak peduli akan pendidikan dan kesempatan
mereka untuk bersekolah dan mendapatkan fasilitas umum. Kesimpulan dan
persoalan yang dihadapi para disabilitas adalah memahami keadaan mereka.
Jangan mengaku sudah beradab kalau belum memahami disabilitas.
Panelis 3: Media Massa dan ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) (materi
terlampir)
Bagaimana media menyikapi masalah HIV/AIDS? Kelemahan media di
Indonesia, banyak yang tidak bisa menyampaikan secara deskriptif bahkan
menghujat. Yang diharapkan adalah, menyampaikan sesuatu ke khalayak tanpa
ada dugaan atau anggapan hal-hal lain, misalnya bagaimana menyampaikan
kemiskinan masyarakat. Media khususnya televisi gemar menyodorkan isu-isu
keagamaan. KONAS V ini perlu meminta media massa baik cetak maupun
elektronik agar mengangkat pemberitaan HIV/AIDS tidak secara bombastis,
hanya menonjolkan kengerian penyakit tersebut. Pasalnya, banyak orang
dengan ODHA terdiskriminasi akibat pemberitaan semacam itu.
Pemberitaan bombastis memang selalu menjual dan meningkatkan oplah atau
rating. Tetapi pemberitaan semacam itu mengganggu psikologi ODHA. Kita
berharap, media massa lebih bijak dan halus dalam memilih kata menyangkut
penyakit yang ini. Karena memang, kengerian yang diungkapkan tidak sama
dengan kenyataan sebenarnya. Orang yang terjangkit HIV/AIDS, tidak terlihat
secara fisik dirinya teridap virus tersebut. Orang yang terpapar HIV akan tetap
terlihat bertubuh sehat dan beraktivitas selayaknya orang sehat. ODHA juga
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 57
bukan orang yang mempunyai perilaku menyimpang, sebagian di antara mereka
ibu rumah-tangga dan anak-anak. Bahkan, ODHA juga mempunyai profesi
dengan pekerjaan yang berkonotasi positif, ada pegawai negeri, ada karyawan,
dan ada pengusaha.
ODHA layak untuk hidup nyaman dan aman. Kehangatan dan dekapan
keluarga merupakan faktor penentu keberlangsungan perawatan pasien.
Menurut Syaiful, ODHA harus menanggung beban ganda. Selain menderita
kesakitan karena penyakitnya, mereka juga masih terus mengalami stigma dan
diskriminasi dari lingkungan, bahkan dari orang-orang terdekatnya. Ini
mengingat HIV/AIDS sering diasosiasikan dengan seks bebas, pengguna
narkoba dan kematian. Diskriminasi mulai terjadi tatkala pandangan negatif
mendorong orang atau lembaga untuk memperlakukan ODHA secara tidak adil
berdasarkan prasangka terhadap status HIV/AIDS seseorang. Stigma ini masih
terjadi di hampir seluruh lapisan masyarakat. Tidak hanya orang awam, bahkan
tenaga medis yang semestinya membantu pasien malah ada yang
memperlakukan hal yang sama.
Padahal, jika ODHA menderita stres hingga depresi berkepanjangan, derajat
penyakitnya akan bertambah parah. Kadar CD4 yang mengindikasikan
ketahanan tubuh penderita akan merosot drastis jika ODHA mengalami stres
berat.
Moderator
1. Keterbatasan dan ketidakpahaman masyarakat terhadap penyangdang
HIV/AIDS menimbulkan ketakutan tersendiri padahal sehingga
pemberitaan tentang HIV/ AIDS masih cenderung kurang penjelasan.
2. Media berpihak kepada kebenaran terutama kepada yang terabaikan.
Tanggapan Peserta
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 58
Chrisostomus Sihotang (Bina Kasih): Membagi pengalaman tentang anak
yang menderita Lupus, gereja harus lebih peka lagi terhadap para difabel
tersebut.
Alex Mangonting: Gereja di Toraja tak punya pelayanan untuk orang-orang
yang disebut berkekurangan khusus, mungkin cara advokasi dari AMAN dapat
membantu, dan melalui KONAS ini bagaimana caranya membangun
kebersamaan antargereja dan orang-orang yang berkekurangan. Di di Toraja
bagaimana membangun kebersamaan antara masyarakat adat dan gereja.
Pdt. Amos Musa: Bagaimana AMAN membantu melestarikan bahasa-
bahasa di Tobelo yang hampir hilang. Untuk orang-orang yang berkekurangan,
memang gereja secara fisik belum mempersiapkan tempat-tempat atau
kemudaan mereka untuk dapat beribadah. Untuk ODHA, di Halmahera terjadi
peningkatan yang signifikan dan kebanyakan mereka tidak berani untuk
mencek darahnya di Rumah Sakit. Belum ada kesadaran dari mereka,
bagaimana cara untuk mengurangi jumlah orang-orang terkena HIV/AIDS
tersebut.
Pdt. Ananta Purba (GBKP): GBKP sudah punya kegiatan untuk mereka
yang disebut anak-anak disabilitas. Sudah lebih dari 35 tahun dan setiap bulan
November Sinode GBKP melakukan kegiatan untuk mereka. GBKP
menyediakan dana pertahun sebesar Rp. 150 juta. Pelayanan HIV/AIDS sudah
dilakukan selama 5 tahun terakhir ini, mereka ditempatkan di rumah singgah di
sebelah RS Adam Malik akibat stigma dari masyarakat sehingga mereka tidak
ingin kembali kepada keluarganya. Di sinilah fungsi komunikasi, jika ditutup-
tutupi tidak ada keterbukaan antara jemaat dan gereja. Kelemahan gereja adalah
membahasakannya dalam komunikasi jurnalistik; bagaimana mendidik mereka
agar komunikasi dan kadang bahasa yang disampaikannya tidak mengalami
distorsi. Keberadaan mereka harus terus-menerus dipublikasikan agar
masyarakat paham akan keberadaan mereka.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 59
Dwi Yatmono (WVI): Bagaimana kemampuan kita dalam memilah
informasi yang ada di masyarakat? Apakah lebih banyak berita tertanam dalam
masyarakat kita, sehingga apa yang dibicarakan tentang adat, tentang disabilitas
dan HIV/AIDS menjadi bagian dari pelayanan untuk mereka. Yang kedua,
bagaimana pelaku medianya? Apakah media berita membombardir ihwal
hedonisme dibanding mereka yang harus dibantu seperti penyandang stabilitas,
penderita HIV/AIDS dan penyandang disabilitas, tidak sampai kepada
masyarkat? Pertanyaan untuk Mbak Rukka, adakah pertemuan tokoh-tokoh
adat, kalau ada dapat menjadi kekuatan. Dan ihwal penyandang disabilitas,
gereja perlu difasilitasi agar mereka mengerti untuk melayani penyandang
disabilitas sebab guru-guru Sekolah Minggu pun belum dibekali untuk
memberikan pengajaran kepada mereka.
Debby Manalu: Hanya berbagi, bahwa HKBP juga sudah punya pelayan
tahbisan diakones dan seorang penyandang disabilitas menjadi salah seorang
mahasiswa dan saat ini sudah berkarya di Panti Karya Effatha.
Narasumber (Syaiful A. Harahap)
1. Tempatkan diri anda sebagai orang yang akan dijadikan berita.
2. Dapat memilah-milah informasi yang diterima atau yang disuguhkan
oleh media elektronik dll.
Narasumber (Nestor Rico Tambunan)
1. Masyarakat dan gereja harus memahami keberadaan para penyandang
disabilitas untuk mendapatkan pengakuan dan kemudahan fasilitas baik
dalam kehidupan sehari-hari maupun di sekolah.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 60
2. Media sering tidak mendidik dan mencerdaskan karena tidak
memberikan pemahaman yang benar (melakukan manipulasi dan tidak
adil) terhadap penyandang disabilitas.
3. Gereja dan media gereja harus bisa menyajikan berita bukan hanya
kegiatan rutin saja. Gereja harus bisa menyajikan berita bagi
penyandang disabilitas.
4. Tidak ada data yang valid tentang penyandang disabilitas di
pemerintahan dan gereja.
5. Kebanyakan gereja juga tidak menyediakan program pelayanan kepada
para penyandang disabilitas.
Narasumber (Rukka Sombolinggi)
1. Pertemuan tokoh-tokoh adat se-Indonesia menyatakan, tak semua adat
di Indonesia, termasuk kesultanan, termasuk bagian dari kelompok adat
yang di koordinir oleh AMAN.
2. Dari Tobelo, pertanyaannya bagaimana menyelamatkan bahasa daerah.
Kita harus ikut andil dalam menyelamatkan bahasa daerah kita dengan
cara mengajarkan anak-anak untuk mencintai daerah kita sendiri dan
memberikan pemahaman-pemahaman kepada keturunan kita.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 61
Bab III
Diskusi Kelompok
Pokok-pokok Diskusi:
Memetakan persoalan-persoalan komunikasi dan media di lingkungan
organisasi gereja/berbasis gereja, CSO (civil society organization) dan
wilayah setempat (komunitas, kota atau wilayah)
Memetakan SWOT komunikasi dan media bertolak dari konteks
pemetaan persoalan
Menyusun strategi komunikasi bertolak dari SWOT
Menyusun rekomendasi yang dapat dilakukan segera dan dalam rentang
waktu tak terlalu lama (maksimal 2 tahun) untuk (1) YAKOMA-PGI (2)
gereja/organisasi setempat.
Kelompok I
• Habel Nusa (GERMITA)
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 62
• Sabarita (LPBH FAS)
• Pdt. Altje Lumi (GMIM)
• Pdt. Nabot Manufandu (GKI Papua)
• Anselmus Puasa (GMIH)
• Pdt. Johan Kristantoro (GKI)
• Peter Ang GKPB
• Pdt. Kotler Siagian (HKBP)
• Dwi Yatmoko (WVI)
• Sony W. Utomo (Yamuger)
Kelompok II
Denny Kaliombo
Hanadi Kepartono (GKI)
Richard C. Hohakay (GMIH)
Binsar Nainggolan (HKBP)
Dominggus Saekoko (YK Bina Kasih)
Debbie Chinta Goodwin Manalu (PDPK Paronggil)
Pnt. Ananta Purba (GBKP)
Orpa BI Lemba (POUK Larangan Indah)
Pdt. Rajiun Nababan (HKBP)
Epifania Raintung (PERSETIA)
Simson Wiwi (GKJ Jateng)
Kelompok III
Florence EC Pohan (Yamuger)
Eka Pusaka Dharma (GIA)
Crisostomus Sihotang (Bina Kasih)
Parningotan Lubis
Yunus Tan (GBI)
Pdt. Lefi Kembuan (GPIB)
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 63
Pdt. Yunus Klasjok (GKI)
Pdt. Yohanes Simanjuntak
Pdt. Eliezer N. Bee (GERMITA)
David Rajagukguk (KSPPM-Parapat)
Monalisa Maria Yolmy (GKI Papua)
Pdt. Heski Manus (GMIM)
Hasil-hasil Diskusi Kelompok
Kelompok I
a. Beberapa Permasalahan yang ditemukan dalam diskusi kelompok I:
1. Apakah gereja peduli dan berkomitmen untuk mengelolakomunikasi?
2. Ada lompatan dari budaya baca ke budaya visual.
3. Ketergantungan pada media konvensional seraya menggunakan
media modern.
4. Kebijakan SDM, sarana dan konten belum memadai.
5. Media yang digunakan belum optimal difungsikan.Pemetaan SWOT
6. Kebijakan gereja terhadap madia komunikasi masih cenderung
lemah.
7. Setiap daerah punya konteks lokalitas masing-masing dalam hal
penggunaan teknologi dan media komunikasi.
8. Sumber Daya Manusia.
a. Strategi Komunikasi
1. Gereja perlu lebih peduli dan berkomitmen pada pemanfaatan media
komunikasi
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 64
2. Kearifan lokal perlu dipertimbangkan dalam menentukan media yang
tepat.
3. Keluarga perlu membarui (updating) penggunaan media komunikasi
karena tangtangannya terus berkembang.
4. Pengambilan kebijakan perlu mempertimbangkan gaya komunikasi
setiap gerenerasi khususnya.
d. Rekomendasi
1. Peserta KONAS mendorong pemanfaatan media komunikasi menjadi
bagian dari kebijakan dan komitmen komunitas atau organisasi.
2. YAKOMA-PGI menyediakan konten-koten media modern maupun
tradisional yang bisa digunakan dan dikembangkan sesuai konteks.
3. Perlu pemberdayaan melek media pada level keluarga maupun
komunitas.
4. Melibatkan kaum muda dalam produksi konten media komunikasi.
5. Membangun jejaring antargereja melalu portal bersama.
6. YAKOMA-PGI diharapkan memberikan pelatihan sampai pada level
gereja/komunitas lokal.
Kelompok II
Menampilkan film Save Mariam
a. Peta Persoalan
b. Memerlukan definisi atau deskripsi ulang terhadap pengertian
komunikasi sesuai tema.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 65
c. Dalam pertemuan ini kita mendengar pertanyaan, “Di mana kalian
sebagai gereja?”
d. Ketika kita bias, dalam beberapa hari ini kita mencoba mencari fokus
yang membatasi pengertian komunikasi itu sendiri.
e. Tetapi tidak ada yang sia-sia, fokus pembicaraan adalah media.
b. Rekomendasi
1. Adanya titik simpul infokom: berupa Media Center.
2. Perlunya PGI/YAKOMA-PGI mendorong terbukanya ruang-ruang
publikasi gereja sehingga baik rencana program dan kegiatan gereja
menjadi terbuka.
3. Untuk mendorong upaya pekabaran Injil atau pewartaan Kabar Baik;
tentang keadilan dan perdamaian, dengan mendirikan stasiun televisi
sendiri.
4. Pemberdayaan sumber daya untuk menggerakkan komunikasi yang lebih
efektif; pelatihan-pelatihan multimedia; baik cetak, video, audio dll.
5. Mengupayakan dana mandiri melalui jejaring dan gerakan.
Kelompok III
S W
Dana (untuk yang sudah mampu)Lebih banyak berkomunikasi secara internal
Jemaat sebagai komunikan Keterampilan bermedia rendah
Pemuda yang punya seni (kreatif dan inovatif)
Gereja kurang berkomitment dalam mengembangkan media
Sudah memiliki media cetak, online, audio dan audio-visual
Akses komunikasi yang masih rendah (khusus daerah perbatasan dan terpencil).
Pelatih tersedia Anggaran rendah
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 66
Pekerja yang dilatih kurang diberdayakan (pindah biro)
Inovasi dan kreativitas rendah
Konten kurang sesuai dengan kebutuhan jemaat
Format dan desain kurang menarik
Kurangnya kesadaran jemaat dalam menyikapi konten media (kewaspadaan media)
O T
Perizinan sulit
Pasar tersedia (jemaat minimal) Pandangan masyarakat sekitar gereja tentang “orang Kristen”
Tersedianya slot yang free (media sosial maupun televisi kabel)
Frekuensi terbatas (khusus radio)
Peluang program dari pemerintah dan pengusaha
Hadirnya konten yang kurang baik di media (medsos maupun televisi)
Hadirnya media sosial Akses informasi gampang tetapi tidak ada kontrol
Rekomendasi
1. Merumuskan strategi YAKOMA-PGI ke depan (bukan pelaksana teknis).
2. YAKOMA-PGI membuat majalah yang dikelola dengan baik dan aktual.
3. Berita Oikoumene tidak sekadar “corong” PGI tetapi membangun empati dan advokasi.
4. Pengembangan kerja-sama dengan pemerintah untuk pengembangan program dan pemanfaatan dana publik.
5. Membangun sinergi antargereja untuk membangun komunikasi bersama.
6. Membangun sinergi komunikasi gereja ke luar (lingkungan sekitar).
7. Mailinglist peserta KONAS untuk pengembangan komunikasi ke depan.
8. Pengembangan situs web dan blogger.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 67
9. Pengembangan kapasitas pekerja media melalui pelatihan maupun lokakarya, tidak hanya pengembangan wawasan.
10. Membangun kesadaran bermedia (literasi media).
11. Tindak-lanjut dari setiap pelatihan jelas (kontrak komitmen dengan yang dilatih).
12. Pengembangan radio komunitas untuk daerah-daerah perbatasan.
13. Meningkatkan tanggung-jawab gereja dalam mengembangkan YAKOMA-PGI sebagai lembaga pengembangan komunikasi gereja melalui kontribusi (PGI).
Penutupan Konsultasi Nasional Ibadah Penutup dipimpin oleh Pdt. Lefi Kembuan.
Bab IV
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 68
Materi-materi
Penelaahan Alkitab 1
KOMUNIKASI SEBAGAI PERWUJUDAN KASIH
Pdt. Dr. Einar M. Sitompul
Tahap-tahap Komunikasi
Saya merasa setelah bertugas sebagai pendeta jemaat sejak 2010 di HKBP Jl. Jambu
Jakarta, di saat menerima undangan menyampaikan refleksi dalam Konas Gereja dan
Komunikasi, justru saya yang tercenung. Ini masalah yang utama tiba-tiba mencuat ke
ranah pekerjaan saya yakni bagaimana membangun komunikasi (gereja) dengan
anggota jemaat yang nota bene satu bahasa (daerah) dengan saya, bersama-sama
menghayati adat dan tradisi (Batak) dan setiap hari bertemu di dalam berbagai kegiatan
baik yang rutin dan khusus (insidentil). Tetapi pertanyaan apakah saya sudah
berkomunikasi dengan tepat? Apakah sebenarnya komunikasi, sekadar kontak
komunikator dengan komunikan? Sebagai pendeta – tentu banyak bicara (khotbah,
mengajar, konseling dan menasihati) – tak urung terlintas di pikiran, apakah saya sudah
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 69
berhasil? Berhasil, maksudnya saya dimengerti dan lebih dari itu agar jemaat dimotivasi
melakukan apa yang terbaik. Di dalam kacamata kegerejaan apakah jemaat mengerti
benar yang dimaksud dengan melayani atau bersaksi (tugas utama gereja). Keberhasilan
komunikasi tidak terlepas dari kesan orang. Jemaat perdana dengan cepat bertambah
karena disukai semua orang (Kis. 2:47). Percakapan yang lancar, pengenalan mendalam
tentang budaya bahkan sebagai bagian masyarakat tradisional, belum tentu dengan
sendirinya berhasil. Berada di dalam komunitas hanya awal komunikasi. Komunikasi
adalah proses ketika seseorang sadar bahwa ia tidak bisa sendirian jika ia ingin
mengembangkan dirinya. Mungkinkah kita boleh mengatakan bahwa ketika Allah
mengatakan tidak baik manusia itu seorang diri saja sehingga ia membangun seorang
mitra sepadan dengan dia karena Allah melihat perlunya komunikasi? Manusia Pertama
telah melihat alam sekitarnya, tentu mengolah tanah dan mengendalikan hewan-hewan,
tetapi untuk dirinya tidak ada yang sepadan, maka belum ada komunikasi; yang ada
ialah menolog bukan dialog, maka ia membutuhkan seseorang untuk berkomunikasi
agar ia dan orang lain mampu mengembangkan potensi diri mereka. Agaknya potensi
itu “tidak sempat” dibangun sebab manusia pertama gagal mengalahkan godaan ular
sehingga melampiaskan hasrat berkuasa (sama dengan Allah) dengan memakan buah
pohon pengetahuan yang baik dan buruk, mengambil alih hak Allah, maka komunikasi
pun kacau yakni melemparkan tanggung jawab kepada orang lain (lihat, Kej. 3).
Saya ingin mengutarakan bahwa komunikasi bukan sekedar bertutur kata. Karl Jaspers
membagi tiga tahap komunikasi:
Pertama, komunikasi naif; komunikasi di dalam masyarakat tradisional berlangsung
hanya dalam soal sekedar menerima apa saja yang diwariskan tradisi. Semua orang
diharapkan sadar dan menaatinya. Adat istiadat menguasai identitas. Gambaran ini terus
berlangsung kendatipun di Indonesia kita telah hidup di zaman modern, organisasi
sosial dan keagamaan kita masih sulit melepaskan diri tradisi (organisasi).
Kedua, tahap komunikasi “kesadaran Aku”. Pada tahap ini individu memiliki kesadaran
diri dan orang lain. Komunikasi yang menyangkut perasaan dan pemikiran dituangkan
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 70
di dalam aturan sosial masyarakat. Ada kesadaran akan keberadaan orang lain
(existence to existence). Tetapi relasi antar individu masih bersifat mengobyekkan atau
memanipulasi orang lain. Orientasinya kekuasaan; saya ingin menguasai orang lain,
orang lain dianggap obyek. Semua belum mencapai interpersonal communication.
Ketiga, tahap komunikasi ide-ide: dalam tahap ini aku atau individu memiliki kesadaran
(the intellect of conscionsness at large). Disini manusia menyadari dirinya tidak
berkembang tanpa orang lain dan relasi dengan komunitas.
Pada masa kini istilah komunitas dilihat dari sudut pemakaian kata mengacu hal-hal
berikut :
Kumpulan orang, kecil atau besar, yang terbentuk dari jaringan yang bersifat
organik – bukan terorganisasi (misalnya, kumpulan orang yang secara teratur
libur bersama).
Sekelompok orang yang mempunyai hubungan keluarga, besar maupun kecil
(keluarga besar, marga, suku).
Sekelompok orang yang tinggal di tempat yang sama dan dalam perjalanan
waktu, mengembangkan ikatan, minat dan kepedulian yang sama (komunitas
pedesaan atau perkotaan).
Pengalaman bersama yang amat emosional yang begitu kuat dialami sekelompok
orang.
Sekelompok orang yang telah lama berkumpul dan bertatap muka, yang berupaya
mengembangkan ikatan dan tanggung jawab bersama (Persekutuan Doa atau
Gereja rumah).
Sekelompok orang yang tinggal bersama dan memiliki misi yang sama
(kelompok keagamaan, gereja/jemaat desa).
Suatu perkumpulan besar yang bertemu secara teratur dan terlibat di dalam
berbagai kegiatan (gereja kota, kelompok-kelompok sosial/keagamaan).
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 71
Misi Gereja
Diskripsi terakhir lebih mengena kepada gereja (jemaat lokal, klasis atau sinodal). Suatu
komunikasi keagamaan (gereja) pastilah memiliki misi (beban atau tugas) yang
diangkat dari pesan-pesan Kitab Suci. Secara klasik tradisional komunitas Kristen
mengangkat yang disebut Amanat Agung (bukan istilah teks), Pesan Penginjilan,
walaupun cara memaknai tidak sederhana, seperti kemana-mana berkhotbah,
kebangunan rohani, penyebaran traktat atau siaran keagamaan (Radio, TV, internet dan
media-media teknologi canggih lainnya). Sebuah penafsiran tentang misi dilontarkan
gereja-gereja Lutheran baru-baru ini dalam sebuah konsultasi misi, yang melahirkan
pandangan yang bergeser dari posisi Amanat Agung dengan mengangkat Lukas
24/Perjalanan Emmaus). Dalam perjalanan ke Emmaus (ayat 13 – dst), para murid –
melalui percakapan – menyadari bahwa Yesus telah berjalan bersama mereka. Secara
singkat ingin ditegaskan misi adalah dialog. Saya ingin menekankan misi adalah dialog
untuk menyadari kehadiran “Yang Lain” (The Other) diantara kita. Ini menyodorkan
sebuah nuansa berbeda bagi kita di dalam berkomunikasi; ia tidak hanya menyampaikan
pesan tetapi pesan secara interaktif. Ada beban memperhitungkan komunikan sebagai
pribadi mandiri, penuh dan potensial untuk bersama-sama menemukan sebuah
pengertian baru (new insight).
Disini implisit pengakuan bahwa kepercayaan orang lain memiliki legitimasi sendiri
dan bukan domain kita menilai benar tidaknya sebuah agama, demikian juga bukan
domain kita menilai isi/pesan-pesan Kitab Suci agama-agama lain. Maka perlu
membangun filosofi komunikasi dari komunikator. Komunikator bukanlah “pemilik
tunggal kebenaran” melainkan pengajak orang-orang lain memperhatikan pesan agar
dari komunikan mengolah di dalam konteks sosial-budaya mereka. Konteks sama
absahnya dengan kepercayaan. Semua agama berkembang didalam konteks masyarakat
penghayatnya. Ketika ia dikomunikasikan maka ikut pula bungkus (konteks)-nya.
Agama berkembang bergerak keluar (sentrifugal), dalam gerak melingkar yang semakin
lebar. Murid-murid Yesus dipanggil sebagai saksi (komunikator) mulai Yerusalem,
Yudea, Samaria, dan sampai ke ujung bumi (Luk. 1:8). Sudah tentu bukan concern kita
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 72
untuk mencari isi asli pesan apalagi bentuk-bentuk pesan dan menetapkan mana yang
paling mendasar isi pesan. Misalnya, yang telah saya singgung tadi Matius di akhir
Injilnya menulis pesan penginjilan dan Lukas mengangkat “perjumpaan” di perjalanan
(Luk. 24:13) dan Yohanes mengemukakan penggembalaan sebagai pesan utama.
Berangkat dari “peristiwa Kristus” lahirlah sebuah kontekstualisasi oleh para penulis
Injil dan penulis-penulis Perjanjian Baru lainnya. Saya memahami seluruh isi Alkitab
adalah hasil usaha kontekstualisasi para penulis-penulisnya. Sudah tentu kita harus
menegaskan pesan utama Tuhan yang menuntun prosesnya. Bentuk yang kita terima
ialah kata (firman), yang terhimpun didalam Alkitab sebagai cara komunikasi Allah
kepada umat manusia. Kita yakin firman-Nya mempunyai kuasa (daya), kuasa
menciptakan, daya mewujudkan, sehingga yang tidak nyata menjadi nyata secara fisik.
Bahkan, Yesus, firman yang menjadi daging, ialah wujud firman-Nya dengan siapa kita
mempunyai Pribadi yang mengantarai komunikasi Allah kepada manusia dan manusia
kepada Allah. Sambil lalu saya ingin mengingatkan kita tentang pandangan Martin
Luther tentang hubungan firman dan gereja, “Gereja adalah creatura verbi divini:
ciptaan firman Allah. Gereja dibentuk oleh tindakan Allah dan bukan usaha manusia”.
Saya hanya ingin mengajak kita memperhatikan berkomunikasi itu melebihi tukar
pikiran dan bukan pula bermuara pada keterampilan teknis kendati itu sangat perlu.
Berkomunikasi berarti kita sedang mengejawantahkan sesuatu yang ilahi. Gereja dan
lembaga kekristenan adalah lembaga komunikasi; dibentuk Allah dan yang bergerak di
dunia ciptaan-Nya. Alkitab hanya wadah fisik dari komunikasi-Nya pada masa lalu.
Daya komunikasi pesan Alkitabiah secara teologis adalah pekerjaan Roh Kudus tetapi
secara teknis adalah usaha hermeneutis. Kepercayaan atau iman sejati, mempercayai
Kristus, semata-mata adalah anugerah.
Lingkungan Komunikasi
Kita tidak mungkin mengabaikan pluralitas masyarakat terutama dalam soal
komunikasi. Namun pluralitas bukan hanya soal sekarang. Setiap umat beragama adalah
“produk” pluralitas masyarakat disebabkan oleh pekerjaan dan konteks sosial-ekonomi.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 73
Tetapi sekarang oleh kemajuan teknologi komunikasi dunia terbuka, semua orang dapat
mengetahui dan merespons. Saingan berat lembaga keagamaan adalah lembaga
ekonomi dan politik karena dukungan dana. Pluralitas dan globalisasi menantang
komunikasi kita; di satu pihak kita mesti menangani serius dampak globalisasi dan
digitalisasi dan pada pihak lain bagaimana berinteraksi di dan terhadap masyarakat
pluralistik. Kebersamaan persepsi mutlak diperlukan untuk merasakan bahwa tantangan
komunikasi adalah masalah bersama gereja dan lembaga kristiani. Bahwa kehadiran
kita untuk berbagi visi-misi untuk mengembangkan kehidupan bersama tanpa yang satu
mengabaikan yang lain, tanpa menganggap diri sendiri paling mulia dan mampu.
Kita membangun komunikasi bukan ingin memperbanyak “pelanggan” atau karena
ingin mendominasi (kekuasaan). Kebersamaan semua gereja dan lembaga kristiani
adalah dimotivasi oleh kasih. Karena Allah sendiri digerakkan olah kasih agar kita juga
mengasihi ( 1 Yoh. 4:9-10, 16; band. Rm. 5:8; Yoh. 15:9, 13). Allah memediasi kasih-
Nya melalui Roh Kudus sehingga kasih mencapai karakter yang khusus yakni antara
lain, kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, dan lain-lainnya (Gal.
5:22). Kasih tidak dipisahkan dari komunikasi; seolah kasih adalah wilayah etika dan
komunikasi wilayah kesaksian, kasih diwujudkan melalui komunikasi. Kasih itu adalah
kasih yang mengorbankan diri. Wujudnya sekarang ialah kesediaan menilai ulang
semua bentuk komunikasi yang kita bangun demi menyampaikan pesan-pesan
keagamaan agar berdampak bagi masyarakat luas.
Karl Jaspers merespons kritik terhadap berbagai keterbatasan dan kelemahan didalam
komunikasi (politik, ia berbicara tentang komunikasi politik) sebagai loving struggle
sebagai jalan menuju perbaikan, kebenaran, ketepatan, keadilan dan ketulusan bisa
tercapai. Jaspers seorang filosofi mampu berbicara tentang loving struggle. Uraiannya
didorong oleh keyakinannya bahwa komunikasi bersifat saling membutuhkan dan saling
melengkapi; komunikasi demikian akan mengantarkan orang kepada kepenuhan diri.
Pandangan non-keagamaan saja mengakui utamanya unsur kasih dalam porses
komunikasi berikut kelemahannya untuk dicari cara peningkatannya. Gereja dan
lembaga kekristenan mestinya lebih tergerak lagi berjuang mengembangkan
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 74
komunikasi di dunia digital dewasa ini. Jika kita tidak dipahami maka yang lebih
dahulu harus disoroti adalah diri kita sendiri.
Sumber Bacaan:
Colin E. Gunton and Daniel W. Hardy (eds), On Being the Church: Essays on the Christian Community, Edinburgh: T.T. Clark, 1989.
Vincent Y. Jolasa, “Tarian Komunikasi Transformatif: Seni mengawal Ruang Publik dan Penyingkap Ruang Privat”, didalam The Dancing Leader, ed. Jusuf Sutanto, Jakarta: Kompas, 2011.
Misi dalam Konteks: Transformasi, Rekonsiliasi dan Pemberdayaan, Hasil Konsultasi Gereja-gereja LWF 2004.
Robert Banks and R. Paul Stevens (eds), The Complete Book of Everyday Christianity,
Bandung: Kalam Hidup, 2012.
Penelaahan Alkitab 2
“Pesan Pembebasan dan Komunikasi Setara Sang Liyan:
Pendekatan feminis membaca Injil Markus 7: 24-30”
Oleh Pdt. Sylvana Apituley
Berteologi Kontekstual
Sejatinya semua teologi bersifat kontekstual, dibangun dan dibentuk dalam konteks sosial, ekonomi, budaya dan politik tertentu, sekaligus multidimensional.1 Teologi Kontekstual Asia lahir dari rahim pergumulan sosio-teologis gereja-gereja Asia pada akhir abad ke-20. Berteologi, bagi gereja-gereja Asia, adalah berefleksi kritis tentang konteks dan pengalaman nyata masyarakat/komunitas, sekaligus merupakan upaya
1David M.Thompson, Introduction: mapping Asian Christianity in the context of world Christianity, in Kim (ed.), op.cit,19. Kȕster juga secara ringkas menggarisbawahi pentingnya sifat multidimensional teologi kontekstual Asia danAfrika.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 75
untuk merekonstruksi identitas kekristenan lokal yang otentik.2Pada umumnya, wajahteologiKontekstual Asia, AfrikadanAmerika Latin dikategorikan kedalam dua tipe utama yang saling berkaitan satu sama lain, pertama tipe cultural-religious, focus pada masalah hubungan Injil dan budaya. Kedua tipe socio-economic and political, focus pada masalah-masalah keadilan sosial, ekonomi dan politik.
Jender dan ekologi adalah dua isu yang mewarnai keduanya.3 Tentang metodologi (ber) teologi kontekstual, Kȕstermenyatakan,
“Methodologically the basic structure of contextual theologies is the hermeneutic circle between text and context that has to be followed time and again facing the relevance-identity dilemma.”
Konteks yang terus menerus berubah, yang membentuk “mata” para pembaca teks, adalah variabel utama proses hermeneutic yang dapat membuat pembaca selalu menemukan perspektif baru atas teks. Dengan demikian, proses hermeneutic bergerak lebih sebagai suatu circulus progrediens (evolving circle), ketimbang suatu circulus vitiosus (vicious circle).4
Cerita mereka yang terbelenggu dan dibungkam5
”Kami bangsa Papua punya martabat. Tapi kami dihina bangsa monyet! Tanah kami
dirampas, kekayaan alam kami dikuras. Kami mau merdeka saja!” -- Seorang laki-
laki Papua penyintas kekerasan oleh aparat keamanan, 2011.
”di hutan sa tra boleh menangis, sa tra boleh tertawa, nanti tentara dengar ktong
dapa tangkap…Sekarang sa pu bapa mantu hina saya, bilang saya anak OPM, gara-
gara saya sa pu paitua tra naik pangkat.” -- Anak penyintas operasi militer di Papua
tahun 1970, kesaksian di tahun 2009.
Cerita Injil: Menyintas Batas Budaya dan Agama untuk Pembebasan dan Pemulihan
2 Volker Kȕster, A Protestant Theology of Passion: Korean Minjung Theology Revisited, Leiden: Brill, 2010, p.1-4.3 Op.cit,p.4-7.4 Op.cit, p.85Disarikan dari Laporan-laporan HAM Komnas Perempuan, 2008-2011 dan kesaksian penyintas, 2004.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 76
Kisah penyembuhan anak seorang perempuan Siro-Fenisia ini adalah satu-satunya
penyembuhan seorang bukan Yahudi dalam Injil Markus. Bagi masyarakat Yahudi dan
komunitas Yesus, perempuan Siro-Fenisia ini adalah seorang outsider karena identitas
kebangsaan dan keagamaannya. Identitas perempuan ”tak bernama” ini dicatat sesuai
tempat lahirnya, di Syria. Ia disebut sebagai perempuan Siro-Fenisia, karena terlahir
sebagai seorang Siro-Fenisia (seorang Fenisia dari Syria atau seorang bangsa Siro-
Fenisia/7: 26a). Perempuan ini dengan jelas diidentifikasi sebagai seorang Gentile yang
tidak mengenal Allah. Penamaan ini lebih berfungsi sebagai pelabelan kepadanya,
kemungkinan lebih merupakan pelabelan berdasarkan agama. Selain identitas
kebangsaan dan keagamaannya, penulis Markus hanya menambahkan informasi singkat
tentang dirinya, yaitu ibu dari seorang anak perempuan yang sedang kerasukan roh jahat
(7:25).
Dalam perjalanan menghindari keramaian, Yesus melewati Tyra (7: 24), suatu daerah
dominan Yahudi di Fenisia, sebelah utara Galilea Atas. Perempuan Siro-Fenisia
(perempuan Kanaan) yang percaya diri dan beriman mendatangi Yesus, tersungkur di
kaki Nya dan memohon agar Yesus membebaskan anaknya dari roh jahat. Ann Tolbert
menyatakan, perempuan Siro-Fenisia ini kemungkinan besar kuat secara ekonomi atau
berlatar belakang sosial tinggi. Sebab pada masa itu tindakan menemui seseorang di
rumah orang lain hanya dapat dilakukan oleh perempuan berkelas sosial tinggi.
Bagaimanapun, perempuan ini bukan laki-laki kelas atas yang boleh mewakili
kepentingan dan kehormatan keluarga serta berbicara atas namanya sendiri di ruang
publik. Namun, perempuan yang percaya ini berani bergerak keluar dari zona nyaman,
dari wilayah asalnya, dan pergi menjumpai Yesus di ruang publik di komunitas Nya
sendiri. Perempuan yang percaya ini mendekatkan diri dan mengasosiasikan dirinya
dengan komunitas Yesus.
Sikap Yesus terhadap perempuan Siro-Fenisia berbeda dengan sikapnya kepada orang-
orang lain yang pernah memohon pemulihan dari-Nya. Yesus tidak langsung memenuhi
permintaan perempuan asing yang bertentangan dengan begitu banyak rambu-rambu
sosial, budaya dan politik saat itu. Yesus bahkan menolaknya, memakai perumpaan Ia
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 77
membandingkan perempuan Siro-Fenisia dan anaknya dengan “anjing yang tidak
berhak atas roti makanan bagi anak-anak”.Walau anjing yang dimaksudkan di sini
adalah anjing peliharaan, namun perumpamaan ini terdengar merendahkan. Sebab,
umumnya sebutan “anjing kotor/najis” dikenakan oleh orang Yahudi bagi bangsa
lain/kafir. Menurut orang Yunani, sebutan anjing kepada orang lain adalah simbol
“perendahan martabat”. Di Timur Tengah, anjing diidentikkan sebagai binatang
pemakan bangkai, kotor, sumber penyakit dan bermanfaat hanya untuk makan makanan
sisa yang terbuang.
Sikap Yesus ini sangat berbeda dengan apa yang dilakukannya kepada orang yang
dirasuk setan (5:1-20) dan kepada Yairus. Perempuan Siro-Fenisia dengan tegar dan
berani menantang penolakan Yesus dan berargumentasi dengan Nya. Meski seorang
”asing”, Ia menyapa (baca: mengakui) Yesus, dengan sebutan ”Lord”, serta menggugat
perumpaan Yesus dengan berkata bahwa ”…anjing yang di bawah meja juga makan
dari remah-remah yang dijatuhkan anak-anak”. (7:28). Perempuan Siro Fenisia ini
mengklaim posisinya bukan dengan cara memprotes “penghinaan komunal” oleh
Yesus, melainkan dengan berargumentasi bahwa baik anak (orang Yahudi) maupun
anjing (non Yahudi) berada di bawah otoritas/tuan yang sama, posisi keduanya
setara.Yesus pada akhirnya mengakui kebenaran perempuan Siro-Fenisia itu dan
berubah sikap. Ia menyatakan pembebasan-pemulihan bagi anak perempuan yang
sedang sakit (7:29). Sikap Yesus ini menegaskan bahwa identitas ”orang asing/liyan”
tak boleh menghambat karya keselamatan Allah bagi manusia/dunia.
Sikap perempuan Siro-Fenisia ini mengandung tiga tindakan radikal, yaitu: menerobos
kebiasaan dan batas-batas sosial budaya, agama dan politik patriarkis jamannya karena
mewakili kepentingan keluarga/anaknya dan berbicara dengan laki-laki asing di rumah
orang lain demi pemulihan sang anak; bersuara ”nyaring” menggugat tradisi agama,
budaya dan politik dominan; keluar dari batas-batas primordial/teritorial yang eksklusif,
mengakui jatidiri/identitas Yesus yang berbeda dengan dirinya dan berkomunikasi
secara setara dengan Yesus. Sang liyan yang marjinalberkomunikasi setara dengan sang
dominan.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 78
Mendengardan Mewartakan Injil Bersama yang Terpinggir
Sebagai bentuk kongkrit dari Kesaksian (martyria) gereja, Pekabaran Injil adalah
mengkomunikasikan seluruh pesan Injil kepada semua orang di seluruh dunia, untuk
pembebasan dan penyelamatan dunia bagi kemuliaan Allah.
Gereja-gereja sedunia dalam Together Towards Life menyatakan bahwa seringkali
karya pekabaran Injil kita jauh dari praksis mewujudnyatakan Injil, bahkan
mengkhianati pesan Injil.Karena gereja kesulitan mendengar suara kaum tak bersuara,
tidak peka terhadap pengalaman mereka yang terbungkam dan tertindas. Di sisi lain, tak
jarang Gereja juga dipaksa menelan pil pahit penolakan oleh masyarakat atau
lingkungannya yang memusuhi, menolak dan memperlakukan gereja bagai anjing kotor,
sumber penyakit yang tidak berguna. Bagaimanapun,Gereja dipanggil untuk
merefleksikan kembali keberadaan/jatidirinya sebagai pembawa Injil Kerajaan Allah.
Bahkan, gereja dipanggil untuk ”bertobat”, lebih mendengar, berdialog dan
berkomunikasi setara dengan berbagai kelompok masyarakat dan bermacam-macam
persoalaan kemanusiaan. Kemanusiaan dan penghormatan yang diwujudkan dalam
dialog dengan semua/yang lain, khususnya mereka yang termarjinalkan, adalah dasar
pekabaran Injil. Hanya dengan ini pesan Injil yang membebaskan, memulihkandan
mendamaikan dapat dikomunikasikan bersama semua dan kepada semua.
Pertanyaan panduan diskusi kelompok
1. Identifikasikan 3 contoh individu atau kelompok masyarakat di wilayah
pelayanan Anda yang terpinggir, tertindas dan dibungkam karena status sosial-
ekonomi, identitas kebangsaan/etnis, agama dan jender nya? Apa pesan/suara
mereka kepada Anda?
2. Belajar dari pengalaman Yesus dengan perempuan Siro-Fenisia dalam Injil
Markus 7: 24-30, apakah pesan Injil yang perlu diwartakan untuk pembebasan
dan pemulihan kelompok-kelompok tersebut?
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 79
3. Bagaimana/apa cara terbaik/tepat bagi gereja dalam mewartakan/mendialogkan
pesan Injil dengan (suara) komunitas yang termarjinal, terbelenggu dan
dibungkam?
Sumber-sumber:
1. Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab.
2. Mary Ann Tolbert, “Mark”, dalam Carol A. Newson & Sharon H. Ringe (eds.),
Women’s Bible Commentary, Westminster John Knox Press, Louisville,
Kentucky, 1998.
3. World Council of Churches, Together Towards Life, Mission and Evangelism
in Changing landscape, 2013.
4. Komnas Perempuan, Stop Sudah! Kesaksian Perempuan Korban Kekerasan
dan Pelanggaran HAM periode 1963-2009, Jakarta: 2010.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 80
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 81
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 82
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 83
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 84
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 85
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 86
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 87
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 88
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 89
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 90
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 91
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 92
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 93
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 94
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 95
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 96
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 97
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 98
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 99
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 100
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 101
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 102
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 103
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 104
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 105
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 106
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 107
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 108
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 109
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 110
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 111
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 112
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 113
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 114
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 115
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 116
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 117
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 118
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 119
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 120
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 121
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 122
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 123
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 124
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 125
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 126
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 127
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 128
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 129
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 130
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 131
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 132
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 133
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 134
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 135
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 136
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 137
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 138
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 139
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 140
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 141
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 142
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 143
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 144
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 145
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 146
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 147
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 148
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 149
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 150
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 151
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 152
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 153
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 154
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 155
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 156
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 157
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 158
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 159
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 160
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 161
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 162
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 163
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 164
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 165
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 166
Ceramah-ceramah
1. Materi Ignatius Haryanto
2. Dr. Freddy Tulung
3. Rukka Sombolinggi: Media, Masyarakat Adat, dan Lingkungan Hidup
4. Nestor Rico Tambunan: Media massa dan Disabilitas
5. Syaiful W. Harahap: Media dan ODHA
Media dan DisabilitasOleh Nestor Rico Tambunan
Secara umum, persentase pemberitaan mengenai dunia disabilitas di media massa Indonesia masih sangat kecil. Pemberitaan yang minim itu membuat ruang informasi, wawasan dan intelektualitas masyarakat mengenai dunia disabilitas sangat tidak memadai. Keterbatasan ruang pemberitaan itu sendiri karena kemiskinan pemahaman
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 167
(persepsi) kalangan media terhadap persoalan dunia disabilitas. Karena itu, media perlu mengembangkan pola jurnalisme yang lebih pas untuk masalah disabilitas, yaitu jurnalisme empati dan advokasi.
Peta Disabilitas di Indonesia
Indonesia salah satu negara dengan banyak penduduk penyandang disabilitas. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2004, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 6.047.008 jiwa. Jumlah itu terdiri dari tunanetra 1.749.981 (29 %), tunadaksa 1.652.741 (27 %), tunagrahita 777.761 (12,8 %), tunarungu/wicara 602.784 (9,9 %), eks penderita penyakit kronis dan lain-lain 1.282.881 (21 %). Tidak jauh berbeda dengan data Departemen Kesehatan RI tahun 2011, yang mencatat 6,7 juta jiwa atau 3,11% dari jumlah penduduk Indonesia.
Namun, data jumlah penyandang disabilitas ini diperkirakan belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Menurut WHO, jumlah penyandang disabilitas tiap negara rata-rata mencapai 10 persen dari jumlah penduduk. Menurut Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 mencapai 237,56 juta orang. Jika menggunakan perkiraan WHO, Indonesia memiliki 20 juta lebih penduduk penyandang disabilitas.
Jumlah ini kemungkinan jauh lebih besar - sesuai asumsi WHO juga - mengingat rakyat Indonesia di sana sini masih terbelit kemiskinan, sementara pelayanan kesehatan dan kesejahteraan lain dari pemerintah masih memprihatinkan dan belum merata. Salah satu bukti, menurut data Susenas di atas jumlah penyandang tunanetra hanya 1,7 juta lebih. Sementara menurut data Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia), jumlah penyandang tunanetra total saja di Indonesia mencapai 3 juta. Jika digabung dengan penyandang gangguan penglihatan lain, seperti low-vision, mencapai 9 juta.
Secara formal, Indonesia sudah memiliki sangat banyak peraturan perundang-undangan terkait penyandang disabilitas, seperti: (1) UU No. 6/1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial; (2) UU No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak; (3) UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat; (4) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia; (5) UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak; (6) UU No. 28/ 2002 tentang Bangunan Gedung; (7) UU No. 13/ 2003 tentang Ketenagakerjaan; (8) UU No. 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN); (9) UU No. 3/ 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional; (10) UU No. 23/ 2007 tentang Perkeretaapian; (11) UU No. 17/2008 tentang Pelayaran; (12) UU No. 1/ 2009 tentang Penerbangan; (13) UU No. 11/ 2009 tentang Kesejahteraan Sosial; (14) UU No. 22/ 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; (15) UU No. 25/ 2009 tentang Pelayanan Publik; (16) UU No. 36/ 2009 tentang Kesehatan; (17). UU No. 13/
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 168
2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, terakhir (18). UU No. 19/2011 tentang Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas.
Belum lagi peraturan perundangan pendukung, seperti Peraturan Pemerintah (PP) dan Keputusan Presiden (Keppres) sebagai pelaksanaan UU tersebut, misalnya PP No. 43/1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, Keppres No. 83/1999 tentang Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat, dan banyak lagi.
Namun aplikasi dan implementasi penanganan dan pelayanan terhadap dunia disabilitas di Indonesia masih sangat jauh tertinggal dibanding negara-negara lain. Bahkan Indonesia termasuk negara terburuk di ASEAN dalam pemberian pelayanan kepada rakyat penyandang disabilitas. Pemerintah Indonesia masih sangat tertinggal dalam memberi dalam assesment dan intervensi dini dalam keluarga, aksesbilitas pelayanan umum, dalam pendidikan, maupun lapangan pekerjaan. Sebagai bukti, baru 4 daerah yang memiliki Perda mengenai disabilitas (Solo, Yogya, Bandung, DKI).
Secara umum masyarakat dan pemerintah masih memberi pelayanan dalam konsep amal (charity), bukan hak (right based) sebagaimana trend dunia dan yang disepakati dalam Resolusi PBB Nomor A/61/106 mengenai Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CPRD) - Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas – yang ditanda tangani 13 Desember 2006. Pelayanan terbaik bagi penyandang disabilitas di Indonesia masih diberikan organisasi-organisasi penyandang disabilitas/lembaga non-pemerintah. Dan sayangnya, pemerintah tidak mengadopsi pelayanan itu menjadi kebijakan secara nasional.Pers Indonesia dan Disabilitas
Pasca era reformasi, setelah kebijakan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dicabut, jumlah penerbitan pers di Indonesia berkembang luar biasa. Dari hanya 289 di masa Orde Baru, kini diperkirakan ada 2.000 penerbitan di seluruh Indonesia.
Jurnalisme televisi pun sama. Indonesia salah satu negara dengan stasiun TV terbuka terbanyak di Indonesia, sejak TV swasta diijinkan tahun 1990. Sejak tahun 2002, merebak pula stasiun-stasiun TV lokal.
Tahun 1998, detik.com merintis jurnalisme online di Indonesia. Berkembangnya jurnalisme online memaksa media di Indonesia merumuskan kembali dan mencari model baru dalam menyampaikan berita. Selain lahirnya sangat banyak situs-situs berita internet, kini suratkabar, majalah, radio, bahkan televisi juga terpaksa melakukan konvergensi dengan membuat media versi online.
Namun, semua kebebasan dan lahirnya banyak media massa itu tidak serta-merta diikuti kualitas dan profesionalisme media dan para pekerja pers dalam menjalankan fungsinya. Banyak media tanpa misi-visi yang jelas. Banyak jurnalis yang asal-asalan.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 169
Televisi pun tidak menampilkan jurnalisme mencerdaskan, karena mayoritas tayangan berisi hiburan. Pers kita baru dalam tahap mencapai kebebasan dan demokratisasi informasi.
Salah satu persoalan yang terabaikan dalam pemberitaan media-media massa itu adalah dunia disabilitas. Persentase pemberitaan mengenai dunia disabilitas di media massa Indonesia masih sangat kecil. Sebagai gambaran, dari riset kecil yang dilakukan majalah Diffa, dari Mei – Desember 2012, hanya ditemukan 18 berita di 9 media cetak dan media online mainstream (Kompas, Tempo, Antara, Jurnal Nasional, Suara Pembaruan, detik.com, okezone.com).
Dunia disabilitas Indonesia boleh disebut terlupakan (termarjinalkan) dalam pemberitaan media massa. Persentase pemberitaan yang sangat minim ini membuat ruang informasi, wawasan, pemahaman dan intelektual masyarakat, juga pemerintah, mengenai dunia disabilitas secara substansial sangat tidak memadai. Jangan kaget, Kementerian Sosial sekalipun, dinilai masyarakat dan organisasi disabilitas tidak memahami sepenuhnya persoalan mereka.
Keironisan inilah antara lain yang melatarbelakangi lahirnya Majalah diffa/majalahdiffa.com tiga tahun lalu. Lembaga sosial Mitra Netra dan VHR-Media, serta beberapa perorangan yang memiliki pemahaman dan keberpihakan merasa sangat perlu ada media sebagai media informasi dan komunikasi, untuk mendorong pemahaman yang benar dan pemberdayaan masyarakat disabilitas.
Pemberitaan dan penulisan yang dilakukan diffa, serta berbagai kegiatan di masyarakat, di kampus-kampus, termasuk advokasi terhadap media-media mainstream membuat pemberitaan mengenai masalah disabilitas, baik di media cetak maupun elektronik (televisi, radio, dan online) meningkat tajam pada tahun terakhir. Namun, tetap belum berarti banyak dalam menghasilkan kebijakan pemerintah dan pelayanan hak terhadap penyandang disabilitas.
Peranan Media Kristiani
Di Indonesia, tugas, fungsi, dan tanggung jawab pers diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Fungsi media massa menurut UU No. 40 /1999 adalah: (1) memberikan informasi (to inform), (2) mendidik (to educate), (3) menghibur (to entertain), dan (4) pengawasan social (social control).
Media-media yang dikelola lembaga Kristiani tentu tak lepas dari fungsi ini, dengan catatan memberikan informasi, mendidik, menghibur, dan melakukan kontrol sosial sesuai ajaran dasar Kristiani, yaitu KASIH.
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 170
Untuk dapat menjalankan fungsi sekaligus saluran kasih itu, para pengelola media Kristiani perlu memiliki kesadaran (Awareness) dan pengetahuan (Knowledge) mengenai dunia disabilitas agar dapat mendukung, memberikan informasi yang lebih proporsional, dalam rangka menciptakan kemanusiaan inklusif dan setara.
Kesadaran dan pengetahuan itu menyangkut pemahaman tentang jenis-jenis disabilitas (tunanetra, tunadaksa, tunagrahita, dan tunarungu/wicara) serta berbagai persoalan yang berkaitan dengan keterbatasan dan pelayanan (hak) yang mereka butuhkan. Termasuk pengetahuan tentang peraturan perundangan dan kondisi-kondisi perbandingan, baik di dalam maupun luar negeri.
Dari workshop “Guidelines Journalism for Disabilities Issue” yang diselenggarakan Majalah diffa, di Cikopo, pertengahan Februari 2013, yang mempertemukan wartawan/redaktur dari 20-an media dengan tokoh-tokoh dari dunia disabilitas dan ahli-ahli pemerhati sosial/disabilitas, ada 5 golongan masalah yang perlu mendapat perhatian kalangan media dalam pemberitaan/penulisan konten disabilitas:
Pertama, soal alokasi kapling/ruang. Selain tidak banyak, media-media mainstream tidak memberikan kapling atau rubrik khusus yang bersifat tetap untuk liputan/tulisan mengenai disabilitas. Melainkan tersebar, misalnya di rubrik Sosok, Pendidikan, dan sebagainya. Jadi, belum memberikan perhatian khusus atau menjadi kebijakan redaksional.
Kedua, soal posisi isu disabilitas. Karena tidak diberi rubrik khusus, tulisan mengenai disabilitas menduduki posisi bawah dalam urutan rubrik. Terkesan, konten disabilitas tidak penting, tidak menarik, atau mungkin tidak komersial.
Ketiga, soal angle tulisan. Penulisan sering tidak proporsional dan membangun karena tidak memiliki pemahaman/pendalaman yang benar. Presiden atau Menteri menghadiri acara yang berkaitan dengan disabilitas, yang diberitakan hanya kegiatan seremonial, bukan konten latar belakang dan tujuan kegiatan disabilitas itu sendiri. Seorang tunanetra yang berhasil meraih gelar master, hanya menulis keberhasilan tersebut, bukan kesulitan dan perjuangan dalam meraih keberhasilan itu.
Keempat, soal perspektif tulisan. Sering tulisan masih dalam perspektif charity (amal), memberi bantuan, memberi fasilitas, dan sebagainya yang menempatkan penyandang disabilitas sebagai yang “diberi”. Bukan dalam persfektif pemberdayaan dan penyediaan hak dalam konteks dasar sikap inklusif dan anti-diskriminasi.
Kelima, soal tema tulisan. Media sering menempatkan konten disabilitas dalam jenis tulisan yang kurang tepat dan proporsinal. Misalnya, ditulis dalam bentuk berita (hard news) yang ringkas padahal, akan sangat menarik kalau ditulis dalam bentuk liputan
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 171
berkedalaman, misalnya feature. Hanya ditulis dalam bentuk artikel, padahal mungkin sangat berguna kalau ditulis dalam bentuk reportase.
Secara umum, kelima persoalan inilah yang berusaha dijawab Majalah diffa sejak dalam rancangan. Antara lain dengan menampilkan rubrik liputan mengenai pribadi-pribadi penyandang disabilitas yang berprestasi atau berjuang untuk dunia disabilitas. Liputan mengenai lembaga atau badan yang bergerak di bidang dunia disabilitas, dalam berbagai filosofi, konsep, arena dan jenis kegiatan. Berbagai kegiatan dan event penting mengenai dunia disabilitas, baik di dalam maupun luar negeri. Juga pemikiran-pemikiran penting mengenai dunia disabilitas yang ditulis para ahli. Menyediakan rubrik konsultasi mengenai pendidikan, psikologi, dan kesehatan. Memberi ruang pada penyandang disabilitas untuk berkreasi lewat tulisan puisi atau cerita pendek. Dan banyak lagi.
Solusi, Sekadar Saran
Media massa mempunyai kekuatan yang dashyat dalam mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Media massa bisa memperkuat dan menajamkan sense of humanity (humanisasi), membuat masyarakat menjadi berbudaya, beradab, dan beretika.
Media kristiani, dengan mengusung tugas pers dan misi Kasih, harus mampu menjalankan misi humanisasi itu. Menjadi media sosialisasi sekaligus kontrol atas persoalan yang menyangkut dunia disabilitas. Membangun persepsi yang benar dan proper, menyuarakan persoalan saudara-saudara dari masyarakat disabilitas, sekaligus memberikan pemahaman yang benar kepada jemaat, sehingga lahir inklusifisme dan kesetaraan dalam kasih.
Jalan ke arah itu, para pengelola media Kristiani perlu mengembangkan pola “Jurnalisme Empati” dan “Jurnalisme Advokasi”. Jurnalisme yang bisa menempatkan diri dan merasakan sebagai masyarakat disabilitas dan memberikan pembelaan.
Jangan mengaku sudah beradab kalau belum memahami disabilitas. Malu jadi pengikut Kristus kalau tidak memahami disabilitas. *
| Konsultasi Nasional V – Gereja dan Komunikasi 172