11
Danu Dean Asmoro FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta | 1 Pendekatan Kritis Post Colonial dalam Praktek WWF Indonesia Oleh : Danu Dean Asmoro *This paper for discussion in Communication and Environmental Class, lecturer : Yohanes Widodo, M.Sc. INTRODUCTION Tulisan ini menekankan pada pendekatan kritis dalam melihat organisasi lingkungan yang bergerak dalam suatu negara, dan organisasi tersebut merupakan cabang dari organisasi lingkungan yang berpusat pada suatu negara. Konsep multi national dalam tulisan ini akan dideskripsikan menjadi sama dengan penerapan kolonialisme dalam organisasi lingkungan. Kolonialisme selalu berekspansi dan meluas kekuasaannya di berbagai negara yang lain. Dalam hal ini, solusi lingkungan menjadi sangat ditentukan oleh bagaimana suatu negara menerapkan solusi ideal terhadap konflik/ permasalahan lingkungan yang berada di negara yang lain. Kolonialisme dalam tulisan ini, bukan kita lihat pada bentuk kekerasan kekerasan, penindasan atau penundukan atas suatu wilayah dan warga, akan tetapi pada bagaimana proses dominasi atas solusi lingkungan yang saat ini sedang aktual dilakukan oleh organisasi organisasi lingkungan. Tulisan ini mengambil pendekatan post colonial dengan beberapa konsep yang diambil dari karya Bill Aschroft, Gareth Griffith, dan Hellen Tiffin ( 1998 ) Key Concepts In Post Colonial Studies , terbitan dari Routledge ( New York dan London ). Diharapkan tulisan ini mampu memberikan pandangan baru bagi studi mengenai gerakan environmentalists di Indonesia, harapannya kita menjadi masyarakat kritis. PEMBAHASAN Sekilas WWF & WWF Indonesia In further exploring the neocolonial character of Western environmentalism in the African setting, I draw here on an impressive body of recent scholarly research. Many of these studies are by people who would be placed on the traditional left of the political spectrum. As seen from their perspective, it is no longer businessmen who are today most likely to be exploiting Africans for their own gain ( most current capitalists are actually almost entirely indifferent to Africa, preferring to put their money elsewhere, where the returns are higher and more predictable ), but rather the activities of the environmental movement. ( Nelson, 2003 : p. 66 )

Danu dean asmoro post colonial and environmentalist

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Danu dean asmoro   post colonial and environmentalist

Danu Dean Asmoro – FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta | 1

Pendekatan Kritis Post – Colonial dalam Praktek WWF Indonesia

Oleh : Danu Dean Asmoro *This paper for discussion in Communication and Environmental Class, lecturer : Yohanes

Widodo, M.Sc.

INTRODUCTION

Tulisan ini menekankan pada pendekatan kritis dalam melihat organisasi

lingkungan yang bergerak dalam suatu negara, dan organisasi tersebut merupakan cabang

dari organisasi lingkungan yang berpusat pada suatu negara. Konsep multi – national dalam

tulisan ini akan dideskripsikan menjadi sama dengan penerapan kolonialisme dalam

organisasi lingkungan. Kolonialisme selalu berekspansi dan meluas kekuasaannya di

berbagai negara yang lain. Dalam hal ini, solusi lingkungan menjadi sangat ditentukan oleh

bagaimana suatu negara menerapkan solusi ideal terhadap konflik/ permasalahan

lingkungan yang berada di negara yang lain. Kolonialisme dalam tulisan ini, bukan kita

lihat pada bentuk kekerasan – kekerasan, penindasan atau penundukan atas suatu wilayah

dan warga, akan tetapi pada bagaimana proses dominasi atas solusi lingkungan yang saat

ini sedang aktual dilakukan oleh organisasi – organisasi lingkungan.

Tulisan ini mengambil pendekatan post – colonial dengan beberapa konsep yang

diambil dari karya Bill Aschroft, Gareth Griffith, dan Hellen Tiffin ( 1998 ) “ Key Concepts

In Post – Colonial Studies “, terbitan dari Routledge ( New York dan London ).

Diharapkan tulisan ini mampu memberikan pandangan baru bagi studi mengenai gerakan

environmentalists di Indonesia, harapannya kita menjadi masyarakat kritis.

PEMBAHASAN

Sekilas WWF & WWF Indonesia

In further exploring the neocolonial character of Western environmentalism in the

African setting, I draw here on an impressive body of recent scholarly research. Many

of these studies are by people who would be placed on the traditional left of the

political spectrum. As seen from their perspective, it is no longer businessmen who are

today most likely to be exploiting Africans for their own gain ( most current capitalists

are actually almost entirely indifferent to Africa, preferring to put their money

elsewhere, where the returns are higher and more predictable ), but rather the activities

of the environmental movement. ( Nelson, 2003 : p. 66 )

Page 2: Danu dean asmoro   post colonial and environmentalist

Danu Dean Asmoro – FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta | 2

Organisasi lingkungan yang bergerak dalam kehidupan kita, tidak hanya dapat

dilihat dalam perpektif bisnis/ lingkungan saja. Berbagai macam organisasi lingkungan

yang berada di Indonesia, merupakan organisasi lingkungan yang berpusat di negara lain (

bukan di Indonesia ). Banyak industri multinasional yang kemudian dikritik, ketika

berekspansi ke suatu negara. Hal ini berbeda, ketika kita membahas organisasi lingkungan.

Organisasi lingkungan sangat jarang dikritik di Indonesia, padahal praktek – praktek

mereka-pun juga banyak yang mencurigakan.

Pertama dari http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/whoweare/, disebutkan bahwa

Tujuan utama WWF-Indonesia adalah untuk menghentikan dan memperbaiki kerusakan

lingkungan yang terjadi serta membangun masa depan, dimana manusia hidup selaras

dengan alam.

Perlu diketahui bahwa jaringan WWF Internasional ada di berbagai negara di dunia,

Indonesia adalah salah satunya. WWF telah mengembangkan sayapnya di negara yaitu :

Argentina, Armenia, Austria, Australia, Belgia, Bhutan, Bolivia, Borneo, Brasil, Bulgaria,

Cambodia, Kanada, Kauskasia, Amerika Tengah, Chile, China, Colombia, Kroasia,

Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman, Greater Mekong, Yunani, Guianas, Hong Kong,

Hongaria, India, Indonesia, Italia, Jepang, Laos, Madagaskar, Malaysia, Mediterania,

Mexico, Mongolia, Mozambique, Nepal, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Pakistan,

Papua Nugini, Praguay, Peru, Filipina, Polandia, Portugal, Romania, Rusia, Senegal,

Serbia, Singapura, Afrika Selatan, Pasifik Selatan, Spanyol, Suriname, Swedia, Swiss,

Tanzania, Thailand, Turki, Ukraina, Amerika Serikat, UEA, Ingris, dan Vietnam.

Sekretariat WWF berada di Eropa yaitu negara Swiss.

Dari http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/whoweare/ ditemukan bahwa Visi WWF-

Indonesia adalah "Pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia untuk kesejahteraan

generasi sekarang dan di masa mendatang". Misi kami adalah melestarikan

keanekaragaman hayati dan mengurangi dampak yang disebabkan manusia melalui upaya:

Mempromosikan etika pelestarian yang kuat, kesadaran serta aksi di kalangan

masyarakat Indonesia

Page 3: Danu dean asmoro   post colonial and environmentalist

Danu Dean Asmoro – FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta | 3

Memfasilitasi upaya multi pihak untuk melindungi keanekaragaman hayati dan

proses ekologis dalam skala ekoregional

Melakukan advokasi kebijakan, hukum dan penegakan hukum yang mendukung

upaya pelestarian

Mempromosikan pelestarian bagi kesejahteraan masyarakat, melalui pemanfaatan

sumber daya alam secara berkelanjutan.

POST – COLONIAL VIEW

In this perspective, texts which are anti-colonial, which reject the premises of

colonialists intervention ( the civilizing mission, the rejuvenation of stagnant cultures )

might be regarded as post – colonial insofar as they have ‘got beyond’ colonialism

and its ideologies, broken free of its lures to a point from which to mount a critique or

counter – attack. ( Childs & Williams 1997 : p. 4 )

Melalui pendekatan post – colonial teks yang kita hadapi adalah anti – colonial, dan

mencoba untuk meniadakan intervensi – intervensi yang ada pada sistem kolonialis. Post –

colonialist memandang bahwa ketika kita menyatakan sesuatu “bukan kolonialisme”,

pernyataan tersebut sangatlah ideologis. Kita harus mengadakan counter – attack mengenai

bagaimana praktek – praktek kolonialisme masih dapat dirasakan oleh kita sampai saat ini.

Berikut akan dibahas mengenai berbagai konsep yang mendukung bukti bahwa organisasi

lingkungan “yang jauh dari kesan kolonialisme”, menyimpan berbagai macam bentuk –

bentuk kolonialisme gaya baru. Kita dapat mengambil contoh WWF Indonesia.

Colonial Discourse

Discourse, as Foucault theorizes it, is a system of statements within which the world

can be known. It is the system by which dominant group in society constitute the field

of truth by imposing specific knowledges, disciplines and values upon dominated

groups….. Colonial discourse is greatly implicated in ideas of the centrality of Europe,

and thus in assumptions that have become charachteristic of modernity: assumptions

about history, language, literature and ‘technology’. ( Ashscroft, Griffith & Tiffin.

1998 : p. 42 )

Discourse mengenai kolonal muncul ketika WWF merupakan organisasi

lingkungan internasional yang bekerja di berbagai cabang yang berada di negara – negara

lain. Group dominan, dikendalikan oleh para aktor yang berada di pusat. Colonial discourse

menengahkan bahwa terdapat ide sentral mengenai lingkungan dari Eropa/ dunia Barat.

Page 4: Danu dean asmoro   post colonial and environmentalist

Danu Dean Asmoro – FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta | 4

WWF Indonesia kemudian menjadi representasi dunia Barat dalam menyelesaikan problem

– problem lingkungan di Indonesia. Cara yang tepat adalah dengan mengalahkan berbagai

pemikiran orang Indonesia yang dianggap kolot dan tidak mampu menjaga lingkungannya

dengan baik. Kita dapat melihat dalam tataran ini, bahwa Eropa dianggap lebih baik dalam

menyelesaikan permasalahan lingkungan. Indonesia dianggap tidak dapat berbuat apa –

apa, dan muncullah heroes yaitu WWF Indonesia yang membantu permasalahan

lingkungan yang ada di Indonesia ini.

Comprador

A Portuguese word meaning ‘purchaser’, comprador was originally used to refer to a

local merchant acting as a middleman between foreign producers and a local market.

Marxists have used it to refer specifically to those local bourgeoisie who owe their

privileged position to foreign monopolies and hence maintain a vested interest in

colonial occupation. ( Ashscroft, Griffith & Tiffin. 1998 : p. 55 )

Comprador muncul ketika masyarakat Indonesia ini seperti “pembeli” yang

menguntungkan. WWF Indonesia dan organisasi asing yang bergerak dalam bidang

lingkungan mempunyai hak istimewa. Hak ini adalah hak untuk menyelamatkan

lingkungan. Permasalahan mendasar adalah WWF Indonesia ini menjadi sangat kapitalis

melalui pendekatan Marxis. Donasi yang selalu digunakan untuk solusi atas lingkungan

adalah problem mendasar. Monopoli organisasi lingkungan ini juga pada akhirnya dapat

mempengaruhi bagaimana suatu organisasi yang akhirnya “tunduk” dan pemerintah yang

mendukung aksi organisasi lingkungan tanpa adanya kritik.

Centre/ margin ( periphery )

In fact, post-colonial theorists have usually used the model to suggest that dismantling

such binaries does more than merely assert the independence of the marginal, it also

radically undermines the very idea of such a centre, deconstructing the claims of the

European colonizers to a unity and a fixity of a different order from that of others. In

this sense the dismantling of centre/margin (periphery) models of culture calls into

question the claims of any culture to possess a fixed, pure and homogenous body of

values, and exposes them all as historically constructed, and thus corrigible formations.

( Ashscroft, Griffith & Tiffin. 1998 : p. 37 )

Ketergantungan atas solusi lingkungan dengan WWF Indonesia, dapat kita

pahami bahwa WWF Indonesia ingin memperbaiki cara pandang masyarakat Indonesia

mengenai lingkungan. Masyarakat Indonesia dianggap mempunyai nilai buruk yang

Page 5: Danu dean asmoro   post colonial and environmentalist

Danu Dean Asmoro – FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta | 5

dimiliki, sehingga mereka “tidak becus” dalam menanggulangi permasalahan

lingkungan. Maka dari itu, masyarakat Indonesia membutuhkan pendampingan dari

pihak asing. Pendampingan ini dengan meluaskan industri lingkungan hingga ke negara

Indonesia dengan dalih lingkungan. Cara pandang yang dibawa adalah masih berpusat

pada bagaimana dunia Barat mempunyai kemampuan atas permasalahan lingkungan

yang terjadi, sedangkan negara tujuan dianggap tidak lebih baik. Inilah yang membuat

permasalahan menjadi semakin sulit ketika organisasi lingkungan dihadapkan pada

praktek budaya suatu masyarakat yang mereka memang merusak lingkungan ( tetapi

mereka menganggap bahwa hal itu adalah proses budaya/ religi yang sudah diwariskan

turun – temurun ). Kita dapat melihat bahwa organisasi lingkungan yang berasal dari

asing sangat one – view dalam melihat permasalahan dalam lingkungan.

Colonial Patronage

Patronage is a term that refers to the economic or social power that allows cultural

institutions and cultural forms to come into existence and be valued and promoted.

Patronage can take the form of a simple and direct transaction, such as the purchase or

commissioning of works of art by wealthy people, or it can take the form of the support

and recognition of social institutions that influence the production of culture. (

Ashscroft, Griffith & Tiffin. 1998 : p. 43 )

WWF Indonesia juga menyebarkan nilai – nilai lingkungan kepada masyarakat

Indonesia. WWF Indonesia merupakan institusi yang bertujuan untuk menanamkan nilai –

nilai cinta lingkungan kepada masyarakat. WWF Indonesia membantu dalam meroduksi

praktek – praktek cinta lingkungan bagi masyarakat Indonesia.

Creolization

According to Edward Brathwaite, creolization ‘is a cultural process’ – ‘material,

psychological and spiritual –based upon the stimulus/ response of individuals within

the society to their [new] environment and to each other’. Although ‘the scope and

quality of this response and interaction’ are ‘dictated by the circumstances of society’s

foundation and composition’, they produce a totally ‘new construct’. ( Ashscroft,

Griffith & Tiffin. 1998 : p. 58 )

Konsep mengenai creolization muncul yaitu dalam proses budaya dimana aspek

material, psikologis, dan spiritual yang berbasis pada stimulus/ respons dari para individu

dengan masyarakat untuk adanya lingkungan yang baru dan lain sebagainya. Meskipun

lingkup dan kualitas dari respons dan interkasi merupakan suara hati nurani yang terkikis

Page 6: Danu dean asmoro   post colonial and environmentalist

Danu Dean Asmoro – FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta | 6

oleh akar pondasi dan komposisi masyarakat. Para colonial ini memproduksi secara total

mengenai konstruksi baru. Konstruksi baru ini dalam proses bagaimana lingkungan ini

seharusnya dimanfaatkan, diberdayakan, dan dijaga. Menjadi kontradiksi dalam masyarakat

ketika organisasi lingkungan mencoba untuk memusnahkan nilai – nilai yang diyakini oleh

masyarakat sekitar.

Dependency

Dependency theory offers an explanation for the continued impoverishment of

colonized ‘Third World’ countries on the grounds that underdevelopment is not

internally generated but a structural condition of global capitalism itself. It thus

presents a similar argument to world systems theory in that it explains

underdevelopment as consequent on the global structure of domination, rather than an

early stage in a process of development. ( Ashscroft, Griffith & Tiffin. 1998 : p. 67 )

Dependency atau ketergantungan adalah hal yang pasti ada di Indonesia. Sebagai

negara “dunia ke- tiga”, terdapat dikotomi mengenai negara maju dan berkembang.

Indonesia saat ini berada pada level berkembang. Perkembangan ini dimaknai bahwa

kondisi wilayah dan sumber daya manusia dalam taraf belum begitu maju, daripada negara

– negara yang mempunyai label negara maju. Indonesia dalam hal ini disebut

underdevelopment. Hal ini menyebabkan adanya dominasi, termasuk juga pada

permasalahan lingkungan.

Globalization

Globalization is the process whereby individual lives and local communities are

affected by economic and cultural forces that operate world-wide. In effect it is the

process of the world becoming a single place. Globalism is the perception of the world

as a function or result of the processes of globalization upon local communities. (

Ashscroft, Griffith & Tiffin. 1998 : p. 110 )

Globalisasi adalah proses yang mana kehidupan individual dan komunitas lokal

tersusun dari kekuatan ekonomi dan budaya yang beroperasi dalam dunia luas. Akibatnya

proses tersebut menyebabkan adanya tujuan a single place. WWF Indonesia adalah agen

globalisasi, dimana bertujuan untuk menciptakan dunia yang mencintai lingkungan.

Hegemony

This broader meaning was coined and popularized in the 1930s by Italian Marxist

Antonio Gramsci, who investigated why the ruling class was so successful in

promoting its own interests in society. Fundamentally, hegemony is the power of the

Page 7: Danu dean asmoro   post colonial and environmentalist

Danu Dean Asmoro – FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta | 7

ruling class to convince other classes that their interests are the interests of all. (

Ashscroft, Griffith & Tiffin. 1998 : p. 116 )

Antonio Gramsci memberikan konsep mernarik mengenai hegemoni. Hegemoni

adalah bagaimana suksesnya suatu kelas yang berkuasa dengan adanya kekuatan –

kekuatan tertentu. Hegemoni adalah kondisi dimana terdapat kelas yang berkuasa.

Organisasi lingkungan yang awalnya menjadi counter – hegemony bagi kelas berkuasa,

pada akhirnya menjadi hegemoni itu sendiri. Organisasi lingkungan bukan lagi menjadi

penyelamat lingkungan, tetapi penyelamat lingkungan yang mempunyai kepentingan (

salah satunya adalah uang ).

Post – colonial body

The body, and its importance in post-colonial representation, emphasizes the very

special nature of post-colonial discourses. For although the body is a text, that is, a

space in which conflicting discourses can be written and read, it is a specially material

text, one that demonstrates how subjectivity, however constructed it may in fact be, is

‘felt’ as inescapably material and permanent. This is important for post-colonial

studies in that it reminds us that the discursive forces of imperial power operated on

and through people, and it offers a ready corrective to the tendency to abstract ideas

from their living context. ( Ashscroft, Griffith & Tiffin. 1998 : p. 184 )

Post colonial body dapat kita lihat dalam teks yang beredar dalam organisasi

lingkungan, tetapi juga terdapat dalam tempat. Tempat ini menjurus pada letak geografis.

WWF yang pada akhirnya ke Indonesia, dia bukan hanya menciptakan discourse bagi

masyarakat tetapi juga “menguasai” tempat tersebut. Tujuan “menguasai” adalah tujuan

organisasi lingkungan agar tetap mempunyai kharisma dan menggerakkan para

pengikutnya untuk melakukan upaya perubahan. Power dioperasikan oleh WWF Indonesia,

karena tanpa hal tersebut ( mereka tidak dapat bertahan ). Pada akhirnya WWF yang

berpusat di Eropa, meinggalkan konteks lokal dalam mengupayakan suatu solusi.

Post – colonial state

The term ‘post-colonial state’ has often been used by historians, economists and

political theorists as a synonym for ‘post-independence state’. Its formation after

independence is the clearest signal of the separation of the colonized from the imperial

power. The independence of that newly formed state is the sine qua non of the claim to

have left the power of the colonizer behind. However, in practice, such ‘independence’

may come to be seen as superficial, firstly because the dominance of the idea of the

European concept of the nation in the minds of those who led the struggle for

Page 8: Danu dean asmoro   post colonial and environmentalist

Danu Dean Asmoro – FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta | 8

independence often meant that new post-colonial states were closely modeled on that

of the former European powers. (Ashscroft, Griffith & Tiffin. 1998 : p. 193 )

Independence adalah sinyal dari adanya separasi dari adanya colonial dari kekuatan

imperialis. WWF Indonesia diciptakan untuk mengatur bagaimana aksi WWF di Indonesia.

Secara kasat mata, kita mengetahui bahwa WWF Indonesia mempunyai kewenangan untuk

mengatur masyarakat. Pada prakteknya, WWF yang berada di Indonesia juga harus tunduk

dengan nilai – nilai yang ditanamkan oleh dunia Barat. WWF Indonesia memberikan

dominasi pada ide bagaimana Eropa menyelesaikan permasalahan yang terjadi.

Dikarenakan WWF sendiri bukanlah berasal dari Indonesia.

Primitivism

Even more dubiously, such criteria may lead to further categories. Thus uneducated,

that is untrained and unschooled, artists whose work does not reflect the dominant

artistic conventions, such as the Frenchman Henri Rousseau, or the American woman

painter Granma Moses, or even trained artists who deliberately repudiate the

conventions, such as the British painter Stanley Spencer, may be categorized as

‘primitive’. (Ashscroft, Griffith & Tiffin. 1998 : p. 196 )

Primitivism muncul sebagai dampak dari adanya modernisasi yang dilakukan oleh

dunia Barat. Mengambil contoh keseharian, bahwa kita akan disebut primitive ketika kita

tidak sesuai dengan asas – asas modernitas. Primitive kemudian mempunyai image negatif,

dan di – dikotomi – kan dengan tidak primitive atau modern. Mengambil contoh bagaimana

masyarakat Indonesia di pedesaan yang menyukai membakar sampah untuk melenyapkan

sampah. Kebiasaan tersebut pastinya akan banyak ditentang, karena asap dari pembakaran

sampah yang dilakukan.

Subaltern

Subaltern, meaning ‘of inferior rank’, is a term adopted by Antonio Gramsci to refer to

those groups in society who are subject to the hegemony of the ruling classes.

Subaltern classes may include peasants, workers and other groups denied access to

‘hegemonic’ power. Since the history of the ruling classes is realized in the state,

history being the history of states and dominant groups, Gramsci was interested in the

historiography of the subaltern classes. The group – formed by Ranajit Guha, and

initially including Shahid Amin, David Arnold, Partha Chatterjee, David Hardiman

and Gyan Pandey – has produced five volumes of Subaltern Studies: essays relating to

the history, politics, economics and sociology of subalterneity ‘as well as the attitudes,

ideologies and belief systems – in short, the culture informing that condition’ (vii).

(Ashscroft, Griffith & Tiffin. 1998 : p. 215 – 216 )

Page 9: Danu dean asmoro   post colonial and environmentalist

Danu Dean Asmoro – FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta | 9

Subaltern adalah subyek yang berhadapan dengan hegemoni. Group ini terancam

dengan adanya kekuatan hegemoni. Kajian mengenai subaltern dikaitkan dengan sejarah,

politik, ekonomi, dan sosiologi termasuk dalam sikap, ideology, dan sistem kepercayaan.

Subaltern juga sering dikaitkan sebagai orang pribumi.

Syncretism

A term sometimes used to avoid the problems some critics have associated with the

idea of hybridity in identifying the fusion of two distinct traditions to produce a new

and distinctive whole (see synergy). (Ashscroft, Griffith & Tiffin. 1998 :

p. 229 )

Syncretism digunakan dalam peleburan dua tradisi yang berbeda untuk memroduksi

suatu konstruk yang baru. Kita dapat memahaminya dalam konteks lingkungan, bagaimana

cara Barat dengan cara Indonesia melebur menjadi satu.

Ecological Imperialsim

The current famines in sub – Saharan Africa can be directly related to the European

insistence on the repetitive cultivation of cash crops for export to the metropolitan

centres in place of the traditional crop rotation that had kept the desert at bay. As a

major from of Euro – spatialization, and as a most effective means of social and

territorial control, ecological imperialism cannot be underestimated. Its range of

meaning can be extended into the neo-colonial arena in the current Western (or

‘multinational’) patenting of ‘third world’ plant and animal species and in the global

destruction (sponsored by both Western and Asian companies) of, for instance,

rainforests. (Ashscroft, Griffith & Tiffin. 1998 :

p.77 )

Penjajahan secara ekologis, bukan hanya dapat kita lihat pada bagaimana perusahaan

asing mengeksploitasi suatu kekayaan wilayah. Ekolgis ini merupakan suatu asset yang

bukan hanya diperjuangkan oleh industry, tetapi juga organisasi lingkungan. Mereka

mencoba untuk menyadarkan masyarakat dan meminta uang masyarakat untuk dapat tetap

bertahan. Bedanya uang ini disebut sebagai ‘bantuan’. Cara – cara pendekatan juga

dilakukan dengan tidak mempertimbangkan konteks yang ada.

Ide sentral mengenai solusi lingkungan yang diajukan oleh WWF Indonesia juga

berasal dari Barat. Kita juga dapat melihat bagaimana masyarakat Indonesia, diposisikan

sebagai masyarakat yang tidak/ kurang peduli terhadap lingkungan. Contoh mudahnya,

dapat kita lihat dalam misi WWF Indonesia. Misinya adalah sebagai berikut :

Page 10: Danu dean asmoro   post colonial and environmentalist

Danu Dean Asmoro – FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta | 10

Mempromosikan etika pelestarian yang kuat, kesadaran serta aksi di kalangan

masyarakat Indonesia. Misi yang pertama menunjukkan bahwa masyarakat

Indonesia tidak mempunyai etika pelestarian lingkungan yang kuat. Masyarakat

Indonesia tidak mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi. Promosi ini berasal dari

Barat, dan nilainya – pun dipastikan juga sangat Eurocentrism.

Memfasilitasi upaya multi pihak untuk melindungi keanekaragaman hayati dan

proses ekologis dalam skala ekoregional. Jika diartikan bahwa WWF Indonesia

adalah fasilitator, maka WWF Indonesia mempunyai power dalam menjadi

fasilitator.

Melakukan advokasi kebijakan, hukum dan penegakan hukum yang mendukung

upaya pelestarian. Dalam hal ini, WWF Indonesia berhubungan dengan para

stakeholder untuk dapat mempengaruhi kebijakan yang diterapkan di Indonesia,

misalnya pemerintahan atau juga media massa.

Mempromosikan pelestarian bagi kesejahteraan masyarakat, melalui pemanfaatan

sumber daya alam secara berkelanjutan. Bahasa promosi adalah bahasa dimana

masyarakat belum secara optimal melestarikan lingkungan.

KESIMPULAN

Ignoring the spectacular racism and arrogance that such writing reveal, we find at list

three common themes that are of relevance to the argument in this paper : (1) tropical

colonies of the West possessed the necessary raw materials and natural resources for

progress, development and enlightenment; ( 2 ) the peoples inhabiting these regions

were, however, incapable of embarking on journeys toward progress on their own; ( 3

) therefore, the inhabitants of the Western nations, who in some sense controlled the

ability to release the dynamic of development, had the duty to provide the necessary

techniques and institutions to further enlightened progress in these undeveloped

regions. ( Agrawal. 1997 : p. 466 – 467 )

Dari tulisan Agrawal terdapat beberapa poin yang menarik. Pertama colonial dari

Barat muncul pada bagaimana mereka mempunyai keinginan dalam pemenuhan kebutuhan

melalui perkembangan, pembangunan, dan pencerahan. Poin pertama member isyarat

bahwa solusi lingkungan di Indonesia, dipilihkan oleh dunia Barat melalui WWF

Indonesia. Kedua, masyarakat Indonesia dianggap tidak cakap dan tidak mampu untuk

Page 11: Danu dean asmoro   post colonial and environmentalist

Danu Dean Asmoro – FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta | 11

menyelesaikan sendiri permasalahan lingkungan. Ketiga adalah kontrol yang diberikan

WWF Indonesia yang pada akhirnya memupuk power yang mereka bangun.

Memetakan power melalui post – colonial memang tidaklah mudah. Pertama, kajian

ini masih jarang di Indonesia. Kedua, persepsi bahwa organisasi lingkungan tidak mungkin

merupakan agen colonial. Mengapa masyarakat Indonesia tidak mempunyai solusi sendiri,

atas permasalahan yang terjadi di lingkungannya? Apakah Barat menganggap Indonesia

seperti anak kecil, yang harus dibimbing berjalan?

REFERENSI

Book and Journal

----- Agrawal, Arun. 1997. The Politics of Development and Conservation : Legacies of

Colonialism. Peace & Change, Vol 22 No. 4, October 1997 463 – 482.

----- Ashcroft, Bill; Griffith, Gareth & Tiffin, Helen. 1998. Key Concepts in Post – Colonial

Studies. London & New York : Routledge.

----- Childs, Peter & Williams, Patrick. 1997. An Introduction to Post – Colonial Theory.

London : Prentice Hall.

----- Nelson, Robert H. 2003. “Saving” Africa from Africans. The Independent Review, v.

VIII, n.1, Summer 2003, ISSN 1086-1653, Copyright © 2003, pp. 65– 86.

On – Line Source

http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/whoweare/