I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pulau Ternate dilihat dari aspek pemasaran sangat strategis karena merupakan
pusat pasar dan ekspor dari propinsi Maluku Utara yang telah memiliki sarana dan
prasarana pendukung antara lain: pelabuhan Ahmad Yani, Pelabuhan Perikanan
Nusantara Bastiong, dan pusat pendaratan ikan Dufa-Dufa. Dibukanya Bandara
Baabulah juga menunjang aksesibilitas komoditas perikanan maupun produk lain dari
sentra produksi ke pasaran interinsuler maupun eksport.
Jumlah nelayan di kota Ternate terdiri dari nelayan tetap sebesar 91 % dan
nelayan sambilan sebesar 9 %. Kegiatan nelayan di Kota Ternate ada dua jenis yaitu
kegiatan perikanan rakyat dan kegiatan perikanan industri. Kegiatan perikanan rakyat
lebih mendominasi kegiatan perikanan di Kota Ternate, karena teknologi yang
digunakan masih sangat sederhana. Di Kota Ternate Jumlah rumah tangga (RTP)
sebanyak 2.017 KK dan kelompok nelayan sebanyak 124 .
Dari segi produksi, hasil perikanan Kota Ternate didominasi oleh perikanan
laut. Secara umum produksi perikanan pada tahun 2007 menunjukkan peningkatan
dibandingkan dengan tahun 2006. Produksi perikanan Kota Ternate pada tahun 2006
sebesar 10.912,2 ton, naik menjadi 11.239,56 ton pada tahun 2007 atau naik sekitar 3
persen.
Bila dilihat menurut kecamatan, produksi perikanan terbesar berasal dari
Kecamatan Ternate Utara dan Kecamatan Pulau Ternate yaitu masing–masing
sebesar 43,67% dan 30,92% dari total produksi perikanan di wilayah Kota Ternate.
Perikanan huhate, merupakan kegiatan usaha penangkapan ikan yang populer di
wilayah ini, manajemen usahanya sebagian besar dilakukan dengan sistem
kekeluargaan, Nakhoda yang biasanya juga pemilik usaha mempekerjakan ABK atau
karyawan yang masih mempunyai hubungan kekerabatan.
Dengan sistim manajemen ini, maka Nakhoda dituntut atau diposisikan harus
memberikan makan kepada ABK atau karyawan setiap hari, sehingga apapun status
kemampuan tangkap yang diperoleh, maka Nakhoda melakukan kegiatan operasional
setiap hari. Kelemahan lain dari manajemen tradisional ini, kegiatan usaha tidak
memiliki catatan sehingga status atau kondisi unit usaha tidak dapat diketahui dengan
tepat dan cepat.
B. Maksud dan tujuan
Pola operasional kapal Huhate yang ”melaut” setiap hari, merupakan usaha
penangkapan ikan yang terbentuk secara alami yang diwariskan oleh generasi
sebelumnya, maka perekayasaan optimalisasi pola operasional kapal huhate dengan
maksud melakukan modifikasi terhadap kegiatan pola melaut setiap hari dengan
tujuan untuk mendapatkan hal-hal sebagai berikut :
1. Melakukan identifikasi dan inventarisasi kondisi obyektif pola operasional kapal
huhate
2. Menganalisa optimalisasi pola operasional dealam p-emanfaatan jumlah hari
operasional setiap tahunnya.
3. Mendisain pola operasional penangkapan ikan secara optimal kapal huhate di
perairan Ternate.
II. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keragaan unit penangkapan
Usaha penangkapan ikan laut menggunakan alat tangkap Pool & Line, pada
dasarnya merupakan satu unit usaha yang melibatkan beberapa tenaga kerja ABK
(Anak Buah Kapal) yang terstruktur sesuai dengan keahlian masing-masing yang
jumlahnya bervariasi sesuai dengan
ukuran besarnya kapal.
Secara struktur pekerjaan, peranan nahkoda disamping berfungsi sebagai
kapten sekaligus pengemudi kapal yang juga berperan rangkap sebagai manajer
penangkapan yang secara langsung bertanggung jawab pula terhadap keberhasilan
usaha penangkapan ikan dilaut. Sementara tenaga kerja (ABK) lainnya merupakan
tenaga kerja biasa yang dibagi dalam dua
klasifikasi yaitu :
1. Pertama: adalah tenaga kerja yang memiliki ketrampilan khusus seperti ahli
umpan, ahli pancing, ahli mesin, ahli masak.
2. Kedua, tenaga kerja biasa yang berfungsi sebagai pembantu pemancing, pembersih
palka kapal maupun ikan hasil tangkapan dan kegiatan sejenisnya.
Usaha penangkapan ikan Tuna/Cakalang dengan menggunakan alat tangkap
huhate atau Pool & Line, merupakan usaha penangkapan yang berkarakteristik “One
day fishing”, berangkat sore pulang sore atau berangkat pagi pulang pagi
keberhasilan dalam usaha penangkapan ikan akan ditentukan oleh beberapa faktor,
antara lain :
1. Jumlah pemancing
2. Ketersediaan umpan hidup
3. Alat bantu pengumpul ikan.
4. Ketepatan waktu
Operasi penangkapan ikan yang dilaksanakan di KM Cakalang 05 dengan alat
tangkap pancing huhate adalah sebagai berikut:
1. Mencari ikan umpan
Daerah penangkapan ikan umpan pada umumnya berada di dekat pantai yang
teduh / terlindung atau di teluk. Para nakhoda kapal sudah mempunyai langganan
nelayan penangkap ikan umpan hidup, ataulangsung mendatangi nelayan penangkap
ikan umpan yang banyak beroperasi di teluk-teluk. Teluk yang mudah dijangkau oleh
nelayan Ternate adalah Teluk Jailolo jaraknya ± 15 Mil laut atau sekitar 1 jam 30
menit
Kendala yang dihadapi oleh pemancing huhate ini adalah apabila bulan
purnama. Pada saat bulan purnama dan terang bulan yang berlangsung antara 6
sampai 10 hari, ikan teri tidak dapat ditangkap dengan bagan perahu, meskipun sudah
menggunakan lampu sebagai atraktor, sehingga praktis armada kapal huhate ini
apabila tidak mendapatkan ikan umpan maka tidak beroperasi.
2. Daerah Penangkapan Ikan Pancing Huhate
Apabila kapal sudah memperoleh umpan hidup, maka kapal langsung menuju
ke daerah penangkapan (fishing ground). Lokasi penangkapan yang dituju merupakan
salah satu dari beberapa rumpon payaous yang terdapat diwilayah tersebut, dan satu
diantaranya adalah rumpon payaos yang berada pada posisi sekitar 01° 35' 55" LU
dan 126° 31' 27" BT yang terterletak di utara Pulau Mayau.
Disekitar Pulau Mayau dan Pulau Tifure terdapat beberapa rumpon payaos
yang dimanfaatkan oleh umum. Dari wawancara dengan nakhoda maupun beberapa
awak kapal, tidak diketahui siapa yang menanam dan pemilik rumpon tersebut,
namun para nelayan dapat menangkap dan memanfaatkan ikan yang berada disekitar
rumpon tersebut
3. Rumpon
Keberhasilan dalam usaha penangkapan ikan dilaut pada dasarnya adalah
bagaimana mengetahui daerah penangkapan ikan (fishing ground), adanya
kelimpahan ikan yang menjadi sasaran tangkap serta keberhasilan dalam proses
penangkapan ikan tersebut. Salah satu cara pemanfaatkan pengetahuan tentang sifat-
sifat biologi dan tingkah laku ikan sebagai dasar metoda penangkapan ikan adalah
penggunaan rumpon payaos sebagai alat bantu penangkapan ikan.
Sebelum adanya rumpon para nelayan huhate dalam melakukan penangkapan
ikan cakalang masih menggunakan cara berburu mencari dan mengejar gerombolan
ikan. Dengan cara ini maka faktor keberuntungan juga menjadi penentu, artinya
dalam mencari dan mengejar gerombolan ikan cakalang belum tentu segera
mendapatkan schooling ikan tersebut, sehingga hal ini akan menyebabkan
pemborosan bahan bakar minyak (BBM) dan waktu tempuh, namun dengan adanya
tehnologi rumpon , maka salah satu kendala pada penangkapan ikan menggunakan
pancing huhate dapat teratasi.
Dengan menggunakan rumpon, maka peluang untuk mendapatkan hasil
tangkapan menjadi lebih besar dan waktu yang diperlukan untuk menuju dan kembali
ke daerah penangkapan ikan (fishing ground) menjadi lebih pasti.
Rumpon yang terdapat di Maluku Utara adalah rumpon laut dalam type
payaos yang berasal dari Philipina dan sudah di adopsi dan digunakan hampir
disebagian besar wilayah Indonesia Timur. Rumpon yang menjadi tujuan
penangkapan para nelayan Ternate ada beberapa pilihan, tetapi kebanyakan para
nelayan memilih rumpon yang berada di perairan Pulau Mayau dan Pulau Tifure yang
lokasinya terletak di pertengahan antara Pulau Halmahera dan Sulawesi Utara.
Selain nelayan huhate, banyak nelayan dengan alat tangkap lainnya secara
bersamasama memanfaatkan keberadaan rumpon dengan melakukan penangkapan
ikan disekitar rumpon payaous tersebut, seperti nelayan, pancing tonda, pancing ulur
nelayan purse seine dll. Komponen rumpon payaos terdiri dari pontoon atau rakit,
atraktor (gara-gara), tali dan pemberat.
4. Cara Penangkapan
Dalam penangkapan ikan dengan menggunakan pancing huhate terdapat
beberapa langkah-langkah yang perlu dipersiapkan dan dilakukan agar dapat berhasil
dengan baik , sehingga memperoleh hasil tangkapan seperti yang diharapkan.
Langkah langkah yang dilakukan adalah setelah memperoleh ikan umpan
hidup, kemudian kapal segera menuju ke daerah penangkapan, yaitu disekitar Pulau
Batang Dua (P. Mayau dan Tifure). Pada saat menuju daerah penangkapan ini , ABK
mempersiapkan alatalat penangkapan, seperti : memasang pancing dan tali pancing
pada tali joran, menyiapkan ikan umpan hidup pada bak yang telah disiapkan di
geladak, mengalirkan air penyemprot disekeliling pela-pela (haluan/forecastle) dan
apabila persiapan selesai maka para pemancing segera menuju ke haluan dan siap
duduk di pela-pela haluan beserta dengan alat pancingnya masing-masing.
Pada umumnya masing-masing pemancing membawa sendiri mata
pancingnya, sedangkan pihak kapal hanya menyediakan joran dan tali jorannya.
Sesampai pada pontoon payaous yang dituju, sekitar pukul 06.00 waktu setempat,
kapal perlahan-lahan bergerak menuju ke posisi diatas arus dari pontoon, dan pada
saat yang bersamaan, boy-boy (nelayan yang bertugas sebagai pelempar umpan
hidup) segera melempar beberapa ikan umpan ke depan dan samping kapal untuk
menarik ikan cakalang muncul ke permukaan. Apabila ikan cakalang sudah muncul
dan berada disekitar permukaan, para pemancing segera beraksi melakukan
pemancingan.
Selama ikan cakalang masih bisa dipancing, maka boy-boy akan melakukan
penebaran/ pelemparan umpan hidup secara terus menerus sampai ikan umpan
tersebut habis, namun apabila ikan cakalang yang ada disekitar pontoon tersebut tidak
mau makan ikan umpan yang dilemparkan oleh boy-boy, maka nakhoda kapal segera
pindah lokasi pada pontoon payaous yang lain.
5. Alat Tangkap Pancing Huhate
Alat tangkap yang digunakan dalam kegiatan ini adalah alat tangkap pancing
huhate yang terdapat di kapal yang diikuti
6. Operasional penangkapan ikan
Secara umum ada 3 (tiga) kegiatan utama dalam operasi penangkapan ikan
dengan menggunakan alat Pool & line, yaitu :
a. Tahap persiapan yang ditandai dengan beberapa kegiatan pokok antara lain
pengisian bahan bakar, pengadaan ransum lauk pauk untuk kebutuhan nelayan ABK,
pengisian es sebagai bahan pengawet mutu ikan dan persiapan sarana alat tangkap
termasuk didalamnya pengisian ikan umpan hidup serta kegiatan persiapan sarana
pendukung lainnya seperti mempersiapkan bahan makanan dan lauk-pauk untuk
kebutuhan konsumsi ABK selama di perjalanan.
b. Tahap proses penangkapan, dalam tahap ini aktivitas yang ada antara lain
menyiapkan sarana pemancingan termasuk ikan umpan sampai dengan proses
pemancingan yang terdiri dari penebaran ikan umpan, memancing, membersihkan
dan memasukkan ikan hasil tangkapan kedalam palka kapal sampai dengan
membersihkan dan merapihkan geladak kapal dan peralatan penangkapan lainnya
(ember, jaring, pancing, dll).
c. Tahap pembongkaran ikan hasil tangkapan dan proses pemasaran. Dalam tahapan
ini aktivitas yang ada didalamnya antara lain membongkar dan mengangkut ikan hasil
tangkapan dari dalam palka kapal ke atas mobil pengangkut serta membersihkan
geladak dan palka kapal.
Operasi penangkapan ikan dengan menggunakan huhate atau pole & line,
membentuk
suatu jaringan antara sub kegiatan satu dengan sub kegiatan yang lain yang masing-
masing diikat dalam satuan waktu secara berurutan.
Terdapat 3 (tiga) waktu terpenting yang perlu diperhatikan dalam operasi
pensangkapan ikan :
a. Waktu awal sebelum ada kapal lain yang mendahului tiba di daerah penangkapan
khususnya pada rumpon yang menjadi target. Apabila terjadi demikian maka pada
rumpon tersebut sudah tidak ada ikan lagi.
b. Waktu ikan cakalang saat mencari makan atau mangsa yang berdasarkan
pengalaman nelayan terjadi pada jam 6.00 sampai dengan 9.00 pagi dan antara jam
15.00 sampai dengam jam 18.00 sore,
c. Waktu yang diperhitungkan untuk kebutuhan perbekalan, terutama bahan bakar
mengingat jarak antara fishing base, tempat pengambilan umpan dengan fishing
ground (rumpon) cukup jauh.
Berkaitan dengan satuan waktu dalam proses operasional penangkapan ikan,
suatu kapal huhate yang memulai persiapan dari jam 13.00, maka akan dapat
melakukan penangkapan ikan di daerah penangkapan ikan pada esok harinya.
TAHAP PERSIAPAN
1. Isi es + kebutuhan ransum, bersamaan dengan Isi bahan bakar solar 60 menit
2. Perjalanan menuju bagan tempat penangkapan umpan, bersamaan dengan
kegiatan persiapan makan malam, termasuk memasak 120 menit
3. Makan malam (secara bergantian) termasuk di dalamnya membereskan
peralatan dapur, bersaamaan persiapan pengisian umpan dan pengisian air laut
ke palka tempat umpan 45 menit
4. Pengambilan umpan (50 ember, jenis umpan ikan puni dan ikan make),
pengangkutan umpan dari bagan ke palksa dilakukan secara estafet 240 menit
5. Perjalanan menuju rumpon (fishing ground). 360 menit
6. Pencarian dan pendeteksian rumpon 60 menit
TAHAP PROSES PENANGKAPAN IKAN
7. Penangkapan ikan pada rumpon I (kegiatan meliputi mengambil dan
menebar ikan umpan dilakukan oleh 3 tenaga dan memancing ikan 10 orang. 60
menit
8. Membersihkan ikan, memasukkan ikan ke palka dan membersihkan geladak
kapal. 30 menit
9. Persiapan konsumsi untuk makan pagi dan makan pagi bergiliran 30 menit
10. Membersihkan ikan, memasukkan ikan ke palka dan membersihkan
geladak kapal, bersamaan membersihkan dapur 60 menit
11. Perjalanan pulang, bersamaan dengan pembersihan geladak kapal, palka
umpan dan merapihkan peralatan tangkap, mandi, cuci, dan persiapan makan
siang, makan secara bergilir (istirahat dalam perjalanan, bernavigasi sampai
kapal mendarat. 420 menit
TAHAP PENDARATAN IKAN
12. Kapal merapat di TPI, membongkar dan menurunkan ikan hasil tangkapan.
60 menit
13. Membersihkan palka dan geladak kapal dilanjutkan istirahat. 60 menit
JUMLAH 1.605 menit
Kegiatan-kegiatan diatas berjalan secara rutin dan terpola secara mapan.
Dalam manajemen usaha penangkapan seperti ini petugas didarat diposisikan secara
pasif untuk memenuhi permintaan Nakhoda, saat kapan perbekalan harus disiapkan
dan pada saat mana BBM harus disediakan, saat kapan hasil tangkapan harus
dibongkar, dan lain sebagainya.
Nakhoda mempunyai keleluasaan hak dalam menentukan pola operasional,
apalagi Nakhoda juga sebagai pemilik usaha. Kegiatan usaha penangkapan ikan yang
dilakukan dengan melaut sesering mungkin juga dipengaruhi oleh manajemen
tradisional seperti ini. Nakhoda dengan mempekerjakan ABK yang biasanya karena
faktor famili dituntut untuk untuk dapat memberikan “makan” harian kepada mereka.
Sehingga terbentuk pola setiap hari harus melaut dengan apapun hasilnya (rugi, impas
atau untung).
Apalagi dalam hal ini Nakhoda dianggap sebagai satu-satunya penentu
keberhasilan dalam penangkapan ikan yang berhubungan dengan ritme biologis ikan
cakalang pada saat mencari mangsa, sehingga proses persiapan diatur sedemikian
rupa agar pada saat sampai di daerah penangkapan ikan, Nakhoda akan
memanfaatkan kesempatan periode pemancingan pagi (jam 6.00 sampai dengan 9.00)
atau sore (jam 15.00 sampai dengam jam 18.00).
Dari hasil analisa kebutuhan waktu untuk 1 (satu) proses operasi penangkapan
ikan yang disebut ”oneday – fishing”, ternyata dalam satuan proses tersebut mulai
dari persiapan sampai dengan pendaratan ikan hasil tangkapan memerlukan waktu
1.605 menit atau 26 jam 45 menit, sehingga dalam usaha penangkapan ikan terjadi
pergeseran operasional, misalnya pada awal operasional memanfaatkan periode pagi
hari, maka berikutnya nelayan akan mempersiapkan untuk operasi penangkapan
periode sore hari.
Kalau diperhatikan lebih teliti, maka dalam pola operasional tersebut terdapat
”inefisiensi”, dimana kegiatan penangkapan yang hanya dilakukan selama 60 menit
ternyata perlu dipersiapan kegiatan lain sebanyak 1.545 menit.
B. Desain manajemen operasional
Beberapa alternatif untuk meningkatkan produksi telah diuraikan diatas,
peluang lain untuk peningkatan produksi memungkinkan pula dilakukan melalui
modifikasi terhadap kemampuan pelaksanaan kegiatan dalam 1 (satu) hari
operasional, terutama yang berkaitan dengan kapasitas ”oneday – fishing”, yang
memakan waktu selama 1.605 menit atau 26 jam 45 menit.
Perekayasaan pola kegiatan operasional dalam 1 (satu) hari penangkapan
ditujukan untuk optimalisasi upaya penangkapan ikan agar proses penangkapan ikan
yang meliputi tahap persiapan, tahap penangkapan ikan, dan tahap pembongkaran
ikan hasil tangkapan dapat dilakukan dalam waktu maksimal 24 jam dan dapat
memanfaatkan 2 (dua) buah rumpon. Adapun langkah-langkah yang ditempuh,
sebagai berikut :
1. Optimalisasi kegiatan dalam perekayasaan ini adalah merubah perilaku Nakhoda
yang otoriter menjadi sikap kooperatif dengan memposisikan peran manajemen darat
menjadi aktif, antara lain :
a. Menggunakan perangkat komunikasi, sehingga sebelum kapal tiba di Pelabuhan,
Nakhoda akan menginformasikan waktu kedatangan, jumlah ikan yang dibawa, dan
hal-hal yang diperlukan untuk kebutuhan melaut kembali.
b. Petugas manajemen darat akan dengan cepat dan tepat dalam menyediakan :
• perbekalan ransom, es, dan BBM,
• persiapan untuk pembongkaran ikan hasil tangkapan, bila mana diperlukan dapat
dipersiapkan tempat penampungan ikan hasil tangkapan,
• penyediaan alat tangkap ikan yang perlu diganti atau direkondisi,
• penyediaan suku cadang yang dibutuhkan,
• pengurusan perijinan yang diperlukan,
• bila diperlukan dapat disiapkan ABK pengganti.
2. Penggunaan GPS sebagai alat Bantu navigasi, terutama untuk menentukan posisi
rumpon, sehingga memudahkan penetapan posisi penangkapan dan tidak perlu harus
melalui proses pencarian.
C. Perolehan nilai tambah
Perubahan pola operasional diutamakan masih tetap mempertimbangkan
hubungan kekerabatan, namun semua personalia dituntut untuk bekerja lebih keras,
yaitu memanfaatkan waktu-waktu yang sekiranya dapat digunakan untuk melakukan
kegiatan secara simultan, sehingga dari aspek pemanfaatan waktu dapat dilakukan
lebih efisien.
Penghematan waktu proses usaha penangkapan ikan dari 26 jam menjadi 22
jam ternyata dapat memberikan dampak yang lebih menguntungkan. Disisi lain,
pemanfaatan peralatan GPS dalam bernavigasi terutama dalam menentukan posisi
daerah penangkapan ikan atau rumpon ternyata dapat menghemat waktu, sehingga
waktu untuk proses pencarian rumpon secara manual dapat dimanfaatkan untuk
melakukan penangkapan ikan pada rumpon yang lain. Secara logika, kemampuan
tangkap yang semula dari 1 (satu) rumpon menjadi 2 (dua) rumpon akan
meningkatkan kemampuan tangkap menjadi 2 (dua) kali lebih besar.
perekayasaan sistim menunjukkan adanya hasil nilaitambah, sebagai berikut :
1. Efisiensi waktu yang diperlukan untuk proses kegiatan penangkapan ikan sebesar
15,38%
2. Peningkatan jumlah hari/trip penangkapan ikan sebesar 37,27%
3. Peningkatan kemampuan tangkap sebesar 100%
4. Peningkatan produksi ikan hasil tangkapan sebesar 68,63%
III. IDENTIFIKASI USAHA
Pada hasil yang ada diatas dapat disimpulkan bahwa perubahan pola
operasional diutamakan masih tetap mempertimbangkan hubungan kekerabatan,
namun semua personalia dituntut untuk bekerja lebih keras, yaitu memanfaatkan
waktu-waktu yang sekiranya dapat digunakan untuk melakukan kegiatan secara
simultan, sehingga dari aspek pemanfaatan waktu dapat dilakukan lebih efisien,
dengan hasil-hasil sebagai berikut :
1. Efisiensi waktu yang diperlukan untuk proses kegiatan penangkapan ikan sebesar
15,38%
2. Peningkatan jumlah hari/trip penangkapan ikan sebesar 37,27%
3. Peningkatan kemampuan tangkap sebesar 100%
4. Peningkatan produksi ikan hasil tangkapan sebesar 318%
Dari penulis sendiri dapat menyarankan beberapa hal dalam perekayasaan
optimalisasi pola operasional kapal huhate GT 20 dapat dicapai dengan melakukan
perubahan yang semata-mata tidak hanya melaut setiap hari tetapi juga melakukan
perubahan manajemen. Antara lain sebagai berikut :
1. Awak kapal agar melakukan efisiensi dalam pemanfaatan waktu dalam
melaksanakan kegiatan proses penangkapan ikan, sehingga kegiatan yang sekiranya
dapat dilaksanakan secara simultan langsung dikerjakan tanpa harus menunggu.
2. Awak kapal harus mampu menggunakan alat bantu navigasi GPS dalam
bernavigasi pencarian rumpon, sehingga tidak ada waktu terbuang dalam upaya
mencari rumpon
3. Pemilik usaha harus melakukan pencatatan atau pembukuan kegiatan usahanya,
sehingga sewaktu-waktu dapat mengetahui status kegiatan usahanya.
4. Pemilik unit usaha memiliki wawasan yang cukup atas pentingnya pemeliharaan
dan perawatan unit usaha, sehingga kegiatan usaha penangkapan ikan berjalan lancar