BAB I
PENDAHULUAN
Rinitis adalah masalah klinis yang paling umum terjadi di seluruh dunia.
Rinitis dapat didefinisikan sebagai inflamasi pada membran mukosa hidung yang
dapat disebabkan oleh beberapa proses patologis yang berbeda. Rinitis ditandai
dengan adanya hidung tersumbat, rinorea, bersin, gatal hidung, post nasal drip
(PND), ataupun kombinasi dari gejala-gejala tersebut.
Rinitis memiliki konstribusi terhadap berbagai masalah kesehatan,
termasuk asma dan rinosinusitis. Rinitis dibagi menjadi dua, rinitis alergi dan non
alergi. Yang paling sering terjadi adalah rinitis alergi.
1
II. RINITIS ALERGI
2.1 Definisi
Rinitis alergi secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung
yang terjadi setelah paparan alergen melalui inflamasi yang diperantarai IgE pada
mukosa hidung.
2.2 Epidemiologi
Rinitis adalah masalah klinis yang paling umum terjadi pada pasien
dengan alergi. Rinitis secara konsisten berada pada urutan enam penyakit kronis
utama di Amerika Serikat. Morbiditas dari rinitis menyebabkan kualitas hidup
yang menurun dikarenakan sakit kepala, mudah lelah, gangguan kognisi, dan efek
samping obat-obatan. Rinitis alergi dapat menurunkan kualitas hidup, antara lain
fungsi fisik, problem bekerja, nyeri badan, vitalitas, fungsi sosial, stabilitas emosi,
bahkan kesehatan mental.
2.3 Prevalensi
Rinitis alergi telah menjadi masalah kesehatan global yang ditemukan di
seluruh dunia, sedikitnya terdapat 10-25 % populasi dengan prevalensi yang
semakin meningkat sehingga berdampak pada kehidupan sosial, kenerja di
sekolah serta produktivitas kerja. Diperkirakan biaya yang dihabiskan baik secara
langsung maupun tidak langsung akibat rinitis alergi ini sekitar 5,3 miliar dolar
amerika pertahun.
Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 40 juta orang menderita rinitis
alergi atau sekitar 20% dari populasi. Secara akumulatif prevalensi rinitis alergi
sekitar 15% pada laki-laki dan 14% pada wanita, bervariasi pada tiap negara. Ini
mungkin diakibatkan karena perbedaan geografik, tipe dan potensi alergen.
Rinitis alergi dapat terjadi pada semua ras, prevalensinya berbeda-beda
tergantung perbedaan genetik, faktor geografi, lingkungan serta jumlah populasi.
Dalam hubungannya dengan jenis kelamin, jika rinitis alergi terjadi pada masa
kanak-kanak maka laki-laki lebih tinggi daripada wanita namun pada masa
2
dewasa prevalensinya sama antara laki-laki dan wanita. Dilihat dari segi onset
rinitis alergi umumnya terjadi pada masa kanak-kanak, remaja dan dewasa muda.
Dilaporkan bahwa rinitis alergi 40% terjadi pada masa kanak-kanak. Pada laki-
laki terjadi antara onset 8-11 tahun, namun demikian rinitis alergi dapat terjadi
pada semua umur.
2.4 Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi.
Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan
ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan.
Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa
pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis
alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial
(sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau
yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur,
binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.. Faktor resiko untuk
terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang
tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor
resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Riwayat hobi berkebun/rekreasi ke
pegunungan membantu identifikasi untuk terpaparnya serbuk sari.
Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa
faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau
merangsang, perubahan cuaca, dan kelembaban yang tinggi.
2.5 Klasifikasi
Rinitis alergi sebelumnya dibagi berdasarkan waktu pajanan menjadi
rinitis alergi musiman (seasonal), sepanjang tahun (perenial) dan akibat kerja
(occasional). Rinitis alergi musiman hanya ada di negara yang memiliki empat
3
musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari dan spora jamur. Gejala
ketiganya hampir sama, hanya sifat berlangsungnya yang berbeda. Gejala rinitis
alergi sepanjang tahun timbul terus menerus atau intermiten.
Namun sekarang klasifikasi rinitis alergi menggunakan parameter gejala
dan kualitas hidup, berdasarkan lamanya dibagi menjadi intermiten dengan gejala
≤4 hari perminggu atau ≤4 minggu dan persisten dengan gejala >4 hari perminggu
dan >4 minggu. Berdasarkan beratnya penyakit dibagi dalam ringan dan sedang-
berat tergantung dari gejala dan kualitas hidup. Dikatakan ringan yaitu tidak
ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, olah raga, belajar,
bekerja dan lain-lain yang mengganggu. Dikatakan sedang-berat jika terdapat satu
atau lebih gangguan tersebut di atas.
Intermiten
Gejala
≤ 4 hari per minggu
atau ≤ 4 minggu
Persisten
Gejala
> 4 hari per minggu
dan > 4 minggu
Ringan
tidur normal
aktivitas sehari-hari, saat olah
raga dan santai normal
bekerja dan sekolah normal
tidak ada keluhan yang
mengganggu
Sedang-Berat
Satu atau lebih gejala
tidur terganggu
aktivitas sehari-hari, saat olah
raga dan santai terganggu
masalah dalam sekolah dan
bekerja
ada keluhan yang mengganggu
Gambar 1. Klasifikasi Rinitis Alergi
2.6 Patofisiologi
Awal terjadinya reaksi alergi dimulai dengan respon pengenalan
alergen/antigen oleh sel darah putih yang dinamai sel makrofag, monosit dan atau
sel dendrit. Sel-sel tersebut berperan sebagai sel penyaji ( antigen presenting
4
cell/sel APC), dan berada di mukosa saluran pernafasan. Antigen yang menempel
pada permukaan mukosa tersebut ditangkap oleh sel-sel APC, kemudian dari
antigen terbentuk fragmen peptida imunogenik. Fragmen pendek peptida ini
bergabung dengan MHC-II yang berada pada permukaan sel APC. Komplek
peptida-MHC-II ini akan dipresentasikan ke limfosit T yang diberi nama Helper-T
cells (TH0). Apabila sel TH0 memiliki reseptor spesifik terhadap molekul komplek
peptida-MHC-II tersebut, maka akan terjadi penggabungan kedua molekul
tesebut.
Sel APC akan melepas sitokin yang salah satunya adalah IL-1. IL-1 akan
mengaktivasi TH0 menjadi TH1 dan TH2. Sel TH2 melepas sitokin antara lain IL-3, IL-
4, IL-5 dan IL-13. IL-4 dan IL-13 akan ditangkap resptornya pada permukaan
limfosit-B, akibatnya akan terjadi aktivasi limfosit-B. Limfosit-B aktif ini
memproduksi IgE.
Molekul IgE beredar dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan
ditangkap eleh reseptor IgE pada permukaan sel mastosit atau sel basofil. Maka
akan terjadi degranulasi sel mastosit dengan akibat terlepasnya mediator
alergis.Mediator yang terlepas terutama histamin. Histamin menyebabkan kelenjar
mukosa dan goblet mengalami hipersekresi, sehingga hidung beringus. Efek
lainnya berupa gatal hidung, bersin-bersin, vasodilatasi dan penurunan
permeabilitas pembuluh darah dengan akibat pembengkakan mukosa sehingga
terjadi gejala sumbatan hidung.
Reaksi alergi yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan
reaksi alergi fase cepat (RAFC), yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit
pasca paparan alergen dan berakhir pada sekitar 60 menit kemudian. Sepanjang
RAFC mastosit juga melepas molekul-molekul kemotaktik yang terdiri dari
ECFA (eosinophil chemotactic factor of anaphylatic) dan NCEA (neutrophil
chemotactic factor of anaphylatic). Kedua molekul tersebut menyebabkan
penumpukkan sel eosinofil dan neutrofil di organ sasaran.
Reaksi alergi fase cepat ini dapat berlanjut terus sebagai reaksi alergi fase
lambat (RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian. Tanda khas RAFL adalah
terlihatnya pertambahan jenis dan jumlah sel-sel inflamasi yangberakumulasi di
5
jaringan sasaran dengan puncak akumulasi antara 4-8 jam. Sel yang paling
konstan bertambah banyak jumlahnya dalam mukosa hidung dan menunjukkan
korelasi dengan tingkat beratnya gejala pasca paparan adalah eosinofil.
2.7 Penilaian Klinis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
2.7.1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting karena seringkali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Diagnosis rinitis alergi ditegakkan dari anamnesis dengan
adanya trias gejala yaitu beringus (rinorea), bersin dan sumbatan hidung,
ditambah gatal hidung. Perlu diperhatikan juga gejala alergi di luar hidung (asma,
dermatitis atopi, injeksi konjungtiva, dan lain sebagainya).
2.7.2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik untuk rinitis alergi berfokus pada hidung, tetapi
pemeriksaan wajah, mata, telinga, leher, paru-paru, dan kulit juga penting.
a. Wajah
- Allergic shiners yaitu dark circles di sekitar mata dan berhubungan
dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung
- Nasal crease yaitu lipatan horizontal (horizontal crease) yang
melalui setengah bagian bawah hidung akibat kebiasaan
menggosok hidung keatas dengan tangan.
b. Hidung
- Pada pemeriksaan hidung digunakan nasal speculum atau bagi
spesialis dapat menggunakan rhinolaringoskopi
- Pada rinoskopi akan tampak mukosa edema, basah, berwarna
pucat, disertai adanya sekret encer yang banyak.
- Tentukan karakteristik dan kuantitas mukus hidung. Pada rinitis
alergi mukus encer dan tipis. Jika kental dan purulen biasanya
berhubungan dengan sinusitis. Namun, mukus yang kental,
purulen dan berwarna dapat timbul pada rinitis alergi.
6
- Periksa septum nasi untuk melihat adanya deviasi atau perforasi
septum yang dapat disebabkan oleh rinitis alergi kronis, penyakit
granulomatus.
- Periksa rongga hidung untuk melihat adanya massa seperti polip
dan tumor. Polip berupa massa yang berwarna abu-abu dengan
tangkai. Dengan dekongestant topikal polip tidak akan menyusut.
Sedangkan mukosa hidung akan menyusut.
c. Telinga, mata dan orofaring
- Dengan otoskopi perhatikan adanya retraksi membran timpani, air-
fluid level, atau bubbles. Kelainan mobilitas dari membran timpani
dapat dilihat dengan menggunakan otoskopi pneumatik. Kelaianan
tersebut dapat terjadi pada rinitis alergi yang disertai dengan
disfungsi tuba eustachius dan otitis media sekunder.
- Pada pemeriksaan mata
- Akan ditemukan injeksi dan pembengkakkan konjungtiva palpebral
yang disertai dengan produksi air mata.
d. Leher. Perhatikan adanya limfadenopati
e. Paru-paru. Perhatikan adanya tanda-tanda asmaf. Kulit. Kemungkinaan adanya dermatitis atopi.
2.7.3. Pemeriksaan sitologi hidung.
Tidak dapat memastikan diagnosis pasti, tetap berguna sebagai
pemeriksaan pelengkap. Ditemukan eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalen. Jika basofil mungkin disebabkan alergi makanan,
sedangkan jika ditemukan PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
2.7.4. Hitung eosinofil dalam darah tepi.
Jumlah eosinofil dapat meningkat atau normal. Begitu juga dengan
pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, Kecuali bila tanda
alergi pada pasien lebih dari satu penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga
menderita asma bronkial atau urtikaria.
7
2.7.5. Uji kulit.
Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo. Ada beberapa cara,
yaitu uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET), uji cukit (Prick Test), dan uji gores (Scratch Test). Kedalaman
kulit yang dicapai pada kedua uji kulit (uji cukit dan uji gores) sama. SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi yang bertingkat kepekaannya. Keuntungan SET, selain alergen
penyebab, juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat
diketahui.
2.7.6. Tes penunjang lainnya
Yng lebih bermakna namun tidak selalu dikerjakan adalah tes IgE spesifik
dengan RAST (Radio Immunosorbent test) atau ELISA (Enzyme linked immuno
assay). IgE total > 200 IgE RAST untuk alergen –alergen dengan tingkat skor 1+
s/d 4+.
2.8 Ko-Morbiditas
Inflamasi alergi tidak terbatas hanya pada rongga hidung. Berbagai
komorbiditas telah diketahui berhubungan dengan rinitis.
2.8.1. Asma
- Mukosa nasal dan bronkus mempunyai banyak kesamaan
- Banyak penderita rinitis rinitis alergi mengalami peningkatan
hipereaktivitas bronkus yang non-spesifi
- Banyak penderita rinitis juga menderita asma
- Saluran nafas atas dan bawah diduga diepngaruhi oleh suatu proses
inflamasi yang serupa yang mungkin dapat menetap dan
diperberat oleh mekanisme yang saling berhubungan ini.
- Penyakit alergi dapat bersifat sistemik.Provokasi bronkial
menyebabkan inflamasi nasal dan provokasi nasal menyebabkan
inflamasi bronkial.
8
2.8.2. Sinusitis dan konjungtivitis
2.8.3. Hubungan antara rinitis alergi, polip nasal dan otitis media belum dipahami
dengan baik.
2.9 Penatalaksanaan
Menurut ARIA penatalaksanaan rinitis alergi meliputi :
a. Penghindaran alergen.
Merupakan terapi yang paling ideal. Cara pengobatan ini bertujuan untuk
mencegah kontak antara alergen dengan IgE spesifik dapat dihindari sehingga
degranulasi sel mastosit tidak berlangsung dan gejalapun dapat dihindari.
Namun, dalam praktek adalah sangat sulit mencegah kontak dengan alergen
tersebut. Masih banyak data yang diperlukan untuk mengetahui pentingnya
peranan penghindaran alergen.
b. Pengobatan medikamentosa
Cara penngobatan ini merupakan konsep untuk mencegah dan atau
menetralisasi kinerja molekul-molekul mediator yang dilepas sel-sel inflamasi
alergis dan atau mencegah pecahnya dinding sel dengan harapan gejala dapat
dihilangkan. Obat-obat yang digunakan untuk rinitis pada umumnya diberikan
intranasal atau oral.
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan
preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama
pengobatan rinitis alergi. Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan cepat dan
mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti
rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi obstruksi hidung pada
fase lambat.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi denfgan antihistamin
atau topikal. Namun pemakaian secara topiukal hanya boleh untuk beberapa
hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis alergi medikamentosa.
9
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respons
fase lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Kortikosteroid topikal bekerja
untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah
pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit.
Preparat antikolinergik topikal bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena
aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Pengobatan
baru lainnya untuk rinitis alergi di masa yang akan datang adalah anti
leukotrien, anti IgE, DNA rekombinan.
Obat-obat tidak memiliki efek jangka panjang setelah dihentikan.
Karenanya pada penyakit yang persisten, diperlukan terapi pemeliharaan.
Tabel 1. Efek terapi terhadap gejala-gejala rinitis
Bersin Rinorea Sumbatan
hidung
Gatal
hidung
Keluhan
mata
H1-antihistamin
- oral
- intranasal
- intaokular
++
++
0
++
++
0
+
+
0
+++
++
0
++
0
+++
Kortikosteroid
- intranasal ++++ +++ +++ ++ ++
Kromolin
-Intranasal
-Intraokular
+
0
+
0
+
0
+
0
0
++
Dekongestan
- Intranasal
- Oral
0
0
0
0
++++
+
0
0
0
0
Antikolinergik 0 ++ 0 0 0
Anti-leukotrin 0 + ++ 0 ++
10
c. Imunoterapi spesifik
Imunoterapi spesifik efektif jika diberikan secara optimal. Imunoterapi
subkutan masih menimbulkan pertentangan dalam efektifitas dan
keamanan. Oleh karena itu, dianjurkan penggunaan dosis optimal vaksin
yang diberi label dalam unit biologis atau dalam ukuran masa dari alergen
utama. Dosis optimal untuk sebagian besar alergen utama adalah 5 sampai
20 g. Imunoterapi subkutan harus dilakukan oleh tenaga terlatih dan
penderita harus dipantau selama 20 menit setelah pemberian subkutan.
Indikasi imunoterapi spesifik subkutan
- Penderita yang tidak terkontrol baik dengan farmakoterapi
konvensional
- Penderita yang gejala-gejalanya tidak dapat dikontrol baik dengan
antihistamin H1 dan farmakoterapi
- Prnderita yang tidak menginginkan farmakoterapi
- Penderita dengan farmakoterapi yang menimbulkan efek samping
yang tidak diinginkan
- Penderita yang tidak ingin menerima terapi farmakologis jangka
panjang.
Imunoterapi spesifik nasal dan sublingual dosis tinggi-imunoterapi
spesifik oral
- Dapat digunakan dengan dosis sekurang-kurangnya 50-100 kali
lebih besar dari pada yang digunakan untuk imunoterapi subkutan.
- Pada penderita yang mempunyai efek samping atau menolak
imunoterapi subkutan
- Indikasinya mengikuti indikasi dari suntikan subsukatan
Pada anak-anak, imunoterapi spesifik adalah efektif. Namun tidak
direkomendasikan untuk melakukan imunoterapi pada anak dibawah umur
5 tahun.
d. Imunoterapi non-spesifik
Imunoterapi non-spesifik menggunakan steroid topikal. Hasil akhir
sama seperti pengobatan imunoterapi spesifik-alergen konvensional yaitu
11
sama-sama mampu menekan reaksi inflamasi, namun ditinjau dari aspek
biomolekuler terdapat mekanisme yang sangat berbeda.
Glukokortikosteroid (GCSs) berikatan dengan reseptor GCS yang
berada di dalam sitoplasma sel, kemudian menembus membran inti sel dan
mempengaruhi DNA sehingga tidak membentuk mRNA. Akibat
selanjutnya menghambat produksi sitokin pro-inflammatory.
e. Edukasi
Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui
berkhasiat dalam menurunkan gejala alergis. Mekanisme biomolekulernya
terajadi pada peningkatan populasi limfosit TH yang berguna pada
penghambatan reaksi alergis, serta melalui mekanisme
imunopsikoneurologis.
f. Operatif
Tindakan bedah dilakukan sebagai tindakan tambahan pada beberapa
penderita yang sangat selektif. Seperti tindakan konkotomi (pemotongan
konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan
tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 %
atau triklor asetat.
2.10. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung. Polip hidung biasanya tumbuh di meatus medius dan merupakan
manifestasi utama akibat proses inflamasi kronis yang menimbulkan
sumbatan sekitar ostia sinus di meatus medius. Polip memiliki tanda
patognomonis : inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi
yang luar biasa banyaknya (lebih-lebih eosinofil dan limfosit T CD4+),
hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
12
Ditemukan juga mRNA untuk GM-CSF, TNF-alfa, IL-4 dan IL-5 yang
berperan meningkatkan reaksi alergis.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak
3. Sinusitis paranasal
Merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi
akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa. Edema
mukosa ostia menyebabkan sumbatan ostia. Penyumbatan tersebut akan
menyebabkan penimbunan mukus sehingga terjadi penurunan oksigenasi
dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan
pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob. Selain dari itu, proses
alergi akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat
dekstruksi mukosa oleh mediator-mediator protein basa yang dilepas sel
eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.
Pengobatan komplikasi rinits alergi harus ditujukan untuk menghilangkan
obstruksi ostia sinus dan tuba eustachius, serta menetralisasi atau menghentikan
reaksi humoral maupun seluler yang terjadi lebih meningkat. Untuk tujuan ini
maka pengobatab rasionalnya adalah pemberian antihistamin, dekongestan,
antiinflamasi, antibiotia adekuat, imunoterapi dan bila perlu operatif.
13
BAB III
RINITIS NON ALERGI
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, rinitis non-alergi dapat dibagi
menjadi rinitis akut dan rinitis kronis.
3.1 Rinitis Akut
Rinitis akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh
infeksi virus atau bakteri. Selain itu, rinitis akut dapat juga timbul sebagai reaksi
sekunder akibat iritasi lokal atau trauma. Penyakit ini seringkali ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari. Yang termasuk ke dalam rinitis akut diantaranya adalah
rinitis simpleks, rinitis influenza dan rinitis bakteri akut supuratif.
3.1.1 Rinitis Simpleks
Rinitis simpleks disebut juga pilek, salesma, common cold, dan coryza.
Penyakit ini merupakan penyakit yang paling sering ditemukan pada manusia.
3.1.1.1 Etiologi
Penyebab rinitis simpleks ialah beberapa jenis virus, yang diklasifikasikan
berdasarkan komposisi biokimia virus. Virus RNA termasuk kelompok seperti
rinovirus, ekhovirus, virus influenza, parainfluenza, dan campak. Sedangkan virus
DNA termasuk kelompok adenovirus dan herpes virus.
3.1.1.2 Gambaran Klinik
Pada stadium prodromal yang berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa
panas, kering dan gatal di dalam hidung. Kemudian memasuki stadium pertama
yang biasanya terbatas tiga hingga lima hari. Pada stadium ini timbul bersin
berulang-ulang, hidung tersumbat, sekret hidung mula-mula encer dan banyak,
kemudian menjadi mukoid, lebih kental dan lengket. Biasanya disertai demam dan
nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak.
Penyakit dapat berakhir pada stadium pertama, namun pada kebanyakan
pasien penyakit berlanjut ke stadium invasi bakteri yang ditandai dengan suatu
rinore purulen, sumbatan di hidung bertambah, demam, sensasi kecap dan bau
berkurang dan sakit tenggorokan. Stadium ini dapat berlangsung hingga dua
minggu.
14
Rinovirus tidak menyebabkan terjadinya kerusakan epitel mukosa hidung,
sedangkan adenovirus dapat menimbulkan kerusakan epitel mukosa hidung.
3.1.1.3 Terapi
Terapi terbaik pada rinitis virus tanpa komplikasi adalah istirahat, obat-
obatan simtomatis seperti analgetika, antipiretik dan dekongestan. Selama fase
infeksi bakteri sekunder, dapat diberikan antibiotika.
3.1.2 Rinitis Influenza
3.1.2.1 Etiologi
Rinitis influenza disebabkan oleh virus A, B dan C dari golongan
ortomiksovirus.
3.1.2.2 Gambaran Klinik
Gejala yang sering timbul ialah sekret hidung berair, dan hidung
tersumbat. Lebih sering terjadi infeksi bakteri sekunder dan nekrosis epitel
bersilia dibandingkan common cold.
3.1.2.3 Terapi
Terapi rinitis influenza tidak ada yang spesifik, sama dengan rinitis
simpleks, terapi terbaik adalah istirahat, analgetika, antipiretik dan dekongestan,
serta antibiotika bila terdapat infeksi sekunder.
3.1.3 Rinitis Bakteri Akut Supuratif
3.1.3.1 Etiologi
Penyebab rinitis bakteri akut supuratif adalah Pneumococcus,
Staphylococcus, dan Streptococcus.
3.1.3.2 Gambaran Klinik
Rinitis bakteri akut supuratif merupakan infeksi bakteri sekunder pada
rinitis virus. Pada orang dewasa seringkali disertai sinusitis bakterialis, dan pada
anak sering disertai adenoiditis. Namun pada anak kecil dapat terjadi rinitis
bakterialis primer yang gejalanya mirip common cold.
3.1.3.3 Terapi
Terapi yang tepat adalah antibiotika, obat cuci hidung, dekongestan dan
analgesik.
3.2 Rinitis Kronis
15
Yang termasuk dalam rinitis kronis adalah rinitis hipertrofi, rinitis sika dan
rinitis spesifik. Meskipun penyebabnya bukan radang, rinitis vasomotor dan rinitis
medikamentosa juga dimasukkan dalam rinitis kronis.
3.2.1 Rinitis Hipertrofi
3.2.1.1 Etiologi
Rinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dalam hidung dan
sinus, atau sebagai lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor.
3.2.1.2 Gambaran Klinis
Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak,
mukopurulen dan sering ada keluhan nyeri kepala. Konka inferior hipertrofi,
permukaannya berbenjol-benjol ditutupi oleh mukosa yang juga hipertrofi.
3.2.1.3 Terapi
Pengobatan yang tepat adalah mengobati faktor penyebab timbulnya rinitis
hipertrofi. Kauterisasi konka dengan zat kimia (nitras argenti atau asam
trikloroasetat) atau dengan kauter listrik dan bila tidak menolong perlu dilakukan
konkotomi.
3.2.2 Rinitis Sika
3.2.2.1 Etiologi
Penyakit ini biasanya ditemukan pada orang tua dan pada orang yang
bekerja di lingkungan yang berdebu, panas dan kering. Juga pada pasien dengan
anemia, peminum alkohol, dan gizi buruk.
3.2.2.2 Gambaran Klinis
Pada rinitis sika mukosa hidung kering, krusta biasanya sedikit atau tidak
ada. Pasien mengeluh rasa iritasi atau rasa kering di hidung dan kadang –kadang
disertai epitaksis.
3.2.2.3 Terapi
Pengobatan tergantung penyebabnya. Dapat diberikan obat cuci hidung.
3.2.3 Rinitis Spesifik
Yang termasuk ke dalam rinitis spesifik adalah:
3.2.3.1 Rinitis Difteri
16
3.2.3.1.1 Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae.
3.2.3.1.2 Gambaran klinis
Gejala rinitis difteri akut adalah demam, toksemia, limfadenitis, paralisis,
sekret hidung bercampur darah, ditemukan pseudomembran putih yang mudah
berdarah, terdapat krusta coklat di nares dan kavum nasi. Sedangkan rinitis difteri
kronik gejalanya lebih ringan.
3.2.3.1.3 Terapi
Terapi rinitis difteri kronis adalah ADS (anti difteri serum), penisilin lokal
dan intramuskuler.
3.2.3.2 Rinitis Atrofi
3.2.3.2.1 Etiologi
Ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab rinitis atrofi, yaitu
infeksi kuman Klebsiela, defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis kronis,
kelainan hormonal dan penyakit kolagen.
3.2.3.2.2 Gambaran Klinis
Rinitis atrofi ditandai dengan adanya atrofi progresif mukosa dan tulang
hidung. Mukosa hidung menghasilkan sekret kental dan cepat mengering,
sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Keluhan biasanya nafas berbau,
ingus kental berwarna hijau, ada krusta hijau, gangguan penghidu, sakit kepala
dan hidung tersumbat.
3.2.3.2.3 Terapi
Karena etiologinya belum diketahui maka belum ada pengobatan yang
baku. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif dengan memberikan
antibiotika berspektrum luas, obat cuci hidung, vitamin A dan preparat Fe. Jika
tidak ada perbaikan maka dilakukan operasi penutupan lubang hidung untuk
mengistirahatkan mukosa hidung sehingga mukosa menjadi normal kembali.
3.2.3.3 Rinitis Sifilis
3.2.3.3.1 Etiologi
Penyebab rinitis sifilis adalah kuman Treponema pallidum.
3.2.3.3.2 Gambaran klinis
17
Gejala rinitis sifilis yang primer dan sekunder serupa dengan rinitis akut
lainnya. Hanya pada rinitis sifilis terdapat bercak pada mukosa. Sedangkan pada
rinitis sifilis tertier ditemukan gumma atau ulkus yang dapat mengakibatkan
perforasi septum. Sekret yang dihasilkan merupakan sekret mukopurulen yang
berbau.
3.2.3.3.3 Terapi
Sebagai pengobatan diberikan penisilin dan obat cuci hidung.
3.2.3.4 Rinitis Tuberkulosa
3.2.3.4.1 Etiologi
Penyebab rinitis tuberkulosa adalah kuman Mycobacterium tuberculosis.
3.2.3.4.2 Gambaran Klinis
Terdapat keluhan hidung tersumbat karena dihasilkannya sekret yang
mukopurulen dan krusta. Tuberkulosis pada hidung dapat berbentuk noduler atau
ulkus, jika mengenai tulang rawan septum dapat mengakibatkan perforasi.
3.2.3.4.3 Terapi
Pengobatannya diberikan antituberkulosis dan obat cuci hidung.
3.2.3.5 Rinitis Lepra
3.2.3.5.1 Etiologi
Rinitis lepra disebabkan oleh Mycobacterium leprae.
3.2.3.5.2 Gambaran Klinis
Gangguan hidung terjadi pada 97% penderita lepra. Gejala yang timbul
diantaranya adalah hidung tersumbat, gangguan bau, dan produksi sekret yang
sangat infeksius Deformitas dapat terjadi karena adanya destruksi tulang dan
kartilago hidung.
3.2.3.5.3 Terapi
Pengobatan rinitis lepra adalah dengan pemberian dapson, rifampisin dan
clofazimin selama beberapa tahun atau dapat pula seumur hidup.
3.2.3.6 Rinitis Jamur
3.2.3.6.1 Etiologi
18
Penyebab rinitis jamur, diantaranya adalah Aspergillus yang menyebabkan
aspergilosis, Rhizopus oryzae yang menyebabkan mukormikosis, dan Candida
yang menyebabkan kandidiasis.
3.2.3.6.2 Gambaran Klinis
Pada aspergilosis yang khas adalah sekret mukopurulen yang berwarna
hijau kecoklatan. Pada mukormikosis biasanya pasien datang dengan keluhan
nyeri kepala, demam, oftalmoplegia interna dan eksterna, sinusitis paranasalis dan
sekret hidung yang pekat, gelap, dan berdarah.
3.2.3.6.3 Terapi
Untuk terapinya diberikan obat anti jamur, yaitu amfoterisin B dan obat
cuci hidung.
3.2.4 Rinitis Vasomotor
3.2.4.1 Etiologi
Rinitis vasomotor adalah gangguan fisiologi mukosa hidung yang
disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Saraf otonom mukosa
hidung berasal dari n. vidianus yang mngandung serat saraf simpatis dan
parasimpatis. Rangsangan pada saraf parasimpatis menyebabkan dilatasi
pembuluh darah dalam konka serta meningkatkan permeabilitas kapiler dan
sekresi kelenjar. Rangsangan simpatis sebaliknya. Keseimbangan vasomotor ini
dipengaruhi berbagai faktor yang berlangsung temporer seperti emosi, posisi
tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani, dsb. Pada pasien
rhinitis vasomotor, saraf parasimpatis cenderung lebih aktif.
3.2.4.2 Gambaran Klinis
Gejala dari rinitis vasomotor adalah hidung tersumbat tergantung posisi
pasien, rinore yang mucus/serus, jarang disertai bersin dan gatal pada mata, gejala
memburuk pada pagi hari karena adanya perubahan suhu. Mukosa hidung edema,
merah gelap, permukaan konka licin atau berbenjol, sekret mukoid.
3.2.4.3 Terapi
Pengobatan yang tepat untuk rinitis vasomotor adalah dengan menghindari
penyebab, memberikan obat simtomatis (dekongestan oral, kauterisasi konka yang
19
hipertrofi, kortikosteroid topikal), konkotomi konka inferior, neurektomi n.
Vidianus.
3.2.5 Rinitis Medikamentosa
3.2.5.1 Etiologi
Rinitis medikamentosa adalah kelainan hidung berupa gangguan respon
normal vasomotor sebagai akibat pemakaian vasokontriktor topical dalam waktu
lama dan berlebihan sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.
Obat vasokonstriktor topikal dari golongan simpatomimetik akan
menyebabkan siklus nasal terganggu dan dakan berfungsi kembali bila pemakaian
dihentikan. Pemakaian vasokontriktor topical yang berulang dan waktu lama akan
menyebabkan terjadinya fase dilatasi ulang (rebound dilatation) setelah
vasokontriksi, sehingga timbul obstruksi. Bila pemakaian obat diteruskan maka
akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan, perttambahan mukosa jaringan dan
rangsangan sel-sel mukoid sehingga sumbatan akan menetap dan produksi sekret
berlebihan.
Selain vasokontriktor topikal, obat-obatan yang dapat menyebabkan
edema mukosa diantaranya adalah asam salisilat, kontrasepsi oral, hydantoin,
estrogen, fenotiazin, dan guanetidin. Sedangkan obat-obatan yang menyebabkan
kekeringan pada mukosa hidung adalah atropin, beladona, kortikosteroid dan
derivat katekolamin.
3.2.5.2 Gambaran Klinis
Pada rhinitis medikamentosa terdapat gejala hidung tersumbat terus
menerus, berair, edema konka.
3.2.5.3 Terapi
Pengobatan rinitis medikamentosa adalah dengan menghentikan obat
tetes/semprot hidung, kortikosteroid secara penurunan bertahap untuk mengatasi
sumbatan berulang, dekongestan oral.
BAB IV
KESIMPULAN
20
Rinitis adalah masalah yang signifikan dalam kesehatan individu, dan
timbul dengan gejala hidung tersumbat, rhinorrhea, gatal hidung. Rinitis
berkaitan dengan berbagai penyakit antara lain rhinosinusitis, asma dan otitis
media. Sangat penting untuk memeriksa gejala pada setiap pasien untuk
menentukan patofisiologi yang terjadi dalam tiap rinitis dan untuk merencanakan
pengobatan sehingga bisa memudahkan pemulihan dengan efek samping yang
minimal. Rinitis terbagi menjadi dua, yakni rinitis alergi dan non-alergi.
Rinitis alergi adalah penyakit imunologi yang paling umum pada manusia.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan belum menjelaskan patofisiologi dan
pengobatan yang tepat untuk rinitis alergi. Adanya komponen inflamasi pada
reaksi alergi hidung fase lambat pada rinitis telah membantu kita memahami
hiperaktifitas jalan nafas dan penatalaksanaannya yang tepat.
Sebagian besar penyebab rinitis non-alergi tidak diketahui. Secara
keseluruhan, penatalaksanaan rinitis non-alergi masih belum dimengerti dan jauh
dari optimal. Macam-macam gejala yang timbul dapat membantu dalam
menentukan penatalaksanaan yang tepat. Untuk itu, dibutuhkan penelitian yang
lebih lanjut untuk memperbaiki keadaan ini.
DAFTAR PUSTAKA
21
1. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi
ke lima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004.
2. Adams G., Boies L., Higler P. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 1997.
3. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Edisi ke
delapan. McGrawl-Hill. 2003.
4. Becker, W., Naumann, H., Pfaltz, C. Ear, Nose, and Throat Disease. Edisi
ke dua. Thieme. New York:1994.
5. Newlands, Shawn D. Bailey, Biron J. et al.. Textbook of Head and Neck
Surgery-Otolaryngology. 3rd edition. Volume 1. Lippincot: Williams &
Wilkins. Philadelphia. 273-9. 2000.
6. Mygind, Niehls. Nacleria, Robert M. Alergic and Nonallergic Rhinitis,
Clinical Aspecst. 1st Edition. Munksgaard. Copenhagen. 159-165. 1993.
7. Krouse, John H. Chadwick, Stephen J. Gordon, Bruce R. Derebery, M.
Jennifer. Allergy and Immunology, An Otolaryngic Approach. Lippincott
Williams&Wilkins. USA. 209-219. 2002.
8. Sumarman, Iwin. Patogenesis, Komplikasi, Pengobatan dan Pencegahan
Rinitis Alergis, Tinjauan Aspek Biomolekuler. Bandung : FK UNPAD. 1-
17. 2000.
9. Mansjoer, Arif dkk.. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid
Pertama. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 106-108. 2001.
10. Bousquet, J. Cauwenberge, P. ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on
Asthma Initiative).
22
REFERAT
RINITIS
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan
Di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL
Disusun oleh :
Stephen Kuswanto C11050182
Rizna Tyrani Rumanti C11050187
Fitra Diena Shefrianti C11050198
Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D)
Periode 22 Agustus – 9 September 2006
Preceptor :
Melati Sudiro, dr., M. Kes., SpTHT-KL
BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK – KEPALA LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARANRS.Dr.HASAN SADIKIN
BANDUNG2006
23
24