Refferat Intrauterine Infection 2003

Embed Size (px)

Citation preview

SMF/lab Obstetri dan Ginekologi Program Studi Kedokteran Umum Universitas Mulawarman

Referat

Infeksi Intrauterin

Disusun Oleh: Elvira Cesarena NIM. 04.45432.00222.09

Pembimbing: dr. H. Syafardi Ibrahim, Sp.OG

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik SMF/lab Obstetri dan Ginekologi Program Studi Kedokteran Umum Universitas Mulawarman

2010

BAB I PENDAHULUAN1.1.Latar Belakang Perubahan maternal pada masa kehamilan diketahui sebagai penyebab mayor dari kerusakan otak fetus, termasuk infeksi. Perubahan maternal sangat berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas dari bayi, peningkatan resiko perdarahan intraventikuler, kerusakan substansia alba pada fetus, dan selanjutnya kemungkinan cerebral palsy. Diperkirakan bahwa kerusakan otak dari keturunan, yang dimiliki oleh ibu yang menderita infeksi intrauterin ataupun peradanagn selama kehamilan, dimediasi oleh neurotoksisitas. Mekanisme dan patofisiologi dari neurotoksisitas yang dialami fetus, diinduksi oleh perubahan maternal yang kompleks dan tidak sepenuhnya dimengerti. Hal ini memungkinkan bahwa infeksi intrauterin atau keradangan yang dimediasi oleh faktor yang mempengaruhi jalur akhir yang biasa dilalui yang memulai kerusakan neuronal, seperti inisiasi dari apoptosis, disfungsi seluler dan kematian. 1 Korioamnionitis klinis diperkirakan sebagai infeksi pada uterus dan isinya selama proses kehamilan. Insidensinya bervariasi diantara 10-20%. Menurut pemeriksaan histology hal ini mempengaruhi 20% dibandingkan 60% kelahiran prematur. Hal ini memperlihatkan bahwa bukti klinis dan histopatologikal dari infeksi plasenta berhubungan dengan peningkatan resiko dari cerebral palsy. Ditambahlagi hubungan diantara korioamnionitis dengan cerenbral palsy yang ditunjukkan dengan penelitian metanalisis. Begitupun terdapat hubungan diantara korioamnionitis dengtan cerebral palsy dan leukomalasia periventrikuler kistik yang dilaporkan dengan tinjauan yang unggul. Diperkirakan peningkatan 12 % dari cerebral palsy spaktik dapat disebabkan oleh infeksi intrauterin dan keradangan. 1,2

2

Terdapat periode spesifik pada pertumbuhan otak selama masa perkembangan neuron dan dapat dipengaruhi oleh berbagai agen lingkungan termasuk infeksi intrauterin selama proses kehamilan. Hal itu menunjukkan bahwa periode dimana dapat diperkirakan sebagai kondisi kritikal pada perkembangan otak adalah ketika sel mulai mengalami mitosis (sel utama untuk didiskusikan adalah sel glia dan neuron) dan juga rangkaian yang benar dan berurutan dari migrasi seluler dan formasi dari mikroarsitektur histological yang tepat. Walaupun proliferasi dan diferensiasi dari astrosit pada tikus terjadi utamanya selama perkembangan otak postnatal, keberadaan dari glia radial (prekursosr dari astrocit) juga ditunjukkan pada otak fetus tikus pada masa hari ke 15 embrionik, dari hari ini ekspresi dari protein spesifik astrocit (GFAP) terlihat pada sel glia. Ditambah lagi adanya microglia pada otak fetus tikus yang diperlihatkan pada hari embrionik ke 17 atau 18. 1,2 1.2. Tujuan 1. Untuk mengetahui patofisiologi terjadinya infeksi intrauterin pada masa kehamilan. 2. Untuk mengetahui akibat yang disebabkan oleh infeksi intrauterin pada kehamilan baik pada segi maternal maupun neonatal. 3. untuk mengetahui penatalaksanaan bagi kondisi infeksi intrauterin.

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA2.1. Definisi Istilah infeksi intrauterine sendiri adalah termasuk kedua kondisi klinis yaitu invasi mikrobial pada kavum amniotic yang simptomatik dan asimptomatik. Korioamnionitis histologis didefinisikan sebagai inflamasi histologis pada amnion dan korion serta korioamnionitis klinis / simptomatik yang ditunjukkan dengan sindroma klinis yang berhubungan dengan invasi mikrobial dari kavitas intraamniotik. Penelitian terbaru yang terfokus kepada patogenesis kelahiran premature menunjukkan bahwa infeksi intrauterine memiliki peran yang penting tehadap persalinan dan kelahiran prematur. 2,3

40-50% kelahiran prematur merupakan kelahiran spontan, dimana 25-40% dihasilkan dari keadaan ketuban pecah dini (KPD) dan 20-25% lainnya adalah merupakan kelahiran premattur elektif. Penyebab utama dari pecahnya ketuban secara prematur atau sebelum waktunya adalah infeksi yang mana merupakan keadaan infeksi intrauterin yang subklinik ataupun klinik. Penyebab lainnya adalah regangan yang berlebihan pada membran amnion atau ketuban ataupun peregangan uterus yang berlebihan serta kehamilan multipel. Kejadian infeksi pada kelahiran4

prematur spontan adalah jarang diantara 34 dan 38, tapi sering terjadi pada usia kehamilan kurang dari 30 minggu. Pada kelahiran prematur dengan selaput amnion yang intak, tanpa bukti klinis adanya infeksi intrauterin, bakteri pathogen dapat terlihat pada cairan amnionnya kira-kira pada 20% wanita dari hasil tes melalui amniosintesis transabdominal. 1,3,4 Infeksi intrauterin berhubungan erat dengan kejadian chorioamnionitis. Infeksi intrauterin seringkali disebabkan oleh infeksi ascending dari vagina dan cervik. Penyebaran hematogen melalui placenta dan kontaminasi mikroba iatrogenik selama amniosintesis atau pengambilan sampel vili chonionik adalah rute lain yang memungkinkan masuknya bakteri kedalam uterus. 4,5

5

Didalam uterus, infeksi bacterial dapat terjadi: 1 1. 2. 3. 4. 5. 6. Diantara jaringan maternal dan membran amnion fetus Didalam membran amnion fetus (chorioamnionitis) Didalam placenta Didalam cairan amnion ( infeksi intra-amniotik, amnionitis) Didalam tali pusat (funitis) Pada fetus

2.2. Mikroorganisme Bakteri yang terbanyak ditemukan pada keadaan kelahiran prematur spontan dengan membran amnion yang intak adalah Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma6

hominis, Gardnerella vaginalis, Peptosterptococcus, dan species Bacteriodes. Ureaplasma urealyticum adalah bakteri yang terbanyak ditemui baik pada keadaan kelahiran prematur dengan rupture prematur membran amnion (ketuban pecah dini) ataupun kelahiran prematur dalam keadaan selaput amnion yang intak. Bakteri yang terbanyak ditemukan pada keadaan chorioamnionitis dan infeksi pada fetus setelah ketuban pecah dini adalah Sterptococcus grup B dan Escherichia coli. Chorioamnionitis terjadi pada paling sedikitnya 50% kehamilan dengan usia kehamilan kurang dari 30 minggu. 3,6,7 Faktor resiko secara umum yang berhubungan dengan berbagai infeksi selama kehamilan Infections Mother Fetus

BacterialUrinary tract infections Approximately 6% of pregnant women have bacteriuria; if untreated, one third will suffer renal invasion 1/1,000 pregnancies are complicated by pneumonia with the greatest incidence occurring in mid trimester; mortality rate is 12.5% without antibiotics, 3.5% with antibiotics Causes an estimated 5,000 maternal deaths annually In patients who experience rupture of membranes without labor for more than 24 hours, incidence approaches 20% In separate reports, 30% to 50% of neonatal deaths were associated with clinically evident Hazard to the fetus is not adequately established

Pneumonia

Greatest proportion of fetal loss occurs in mild trimester; 26% fetal loss without antibiotics, 17% fetal loss with antibiotics

Septic abortion

Chorioamnionitis

7

amnionitis Although present in the vaginal flora of 5% to 15% of pregnant women, these organisms are of little importance in maternal infection Incidence in the pregnant population is 2% to 5% Gonorrhea

Group B -hemolytic streptococci

Serious sepsis occurs in 2 to 3/1,000 live births

Ophthalmia occurs in approximately 1% of infants If mothers are untreated 70% to 100% of infants are affected Congenital tuberculosis is extremely rare but usually fatal

Syphilis

There is an estimated incidence of 1% in most obstetric populations

Tuberculosis Although less than 5% of women become infected during pregnancy,12% to 28% of mothers harbor virus in the third trimester The attack rate is 8/10,000 pregnancies Rubella Occurs in approximately0.3% to 1% of pregnant patients; incidence is dependent on socioeconomic status

ViralCytomegalovirus

Fifty percent of fetuses of mothers primarily infected will shed virus at birth, and one fifth of these are symptomatic If mother is infected during first trimester, 70% of children will show symptoms by age4 years; mortality rate is greater than 30% If herpes genitalis is present at time of birth, approximately one third

Herpes simplex (primarily herpes genitalis)

Jaundice occurs in approxi

8

Hepatitis

mately 0.5 to 1/3,000 pregnancies and is due to viral infection approximately one half of the time

of infants will be affected

Approximately 0.2% of women acquire this disease during pregnancy

Main fetal complication is prematurity resulting from maternal infection, most often seen in developing countries

OthersToxoplasmosis Colonization occurs in approximately 15% to30% of women, half of whom may have symptoms

If the mother acquires the disease, the incidence of fetal acquisition is 30% to 50% Incidence of fetal infection approached 4% in one study

Candidiasis

Bakteri dapat memasuki uterus dengan cara migrasi dari kavum abdomen melalui tuba falopii, kontaminasi jarum yang kurang hati-hati pada saaat amniosintesis atau melakukan pengambilan sampel chorionic-villus, penyebaran hematogen melalui plasenta, atau lintasan melalui cerviks dari vagina. 7,8

9

Pada wanita dengan persalinan prematur spontan dengan selaput ketuban yang intak, bakteri yang paling sering teridentifikasi adalah Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma homini, Gardnerela vaginalis, Peptostreptococci, dan spesies bacteroides, seluruh organisme vaginalis relatif memiliki virulensi yang rendah. Organisme pada wanita yang tidak hamil seringkali berhubungan dengan infeksi traktus genitalis, Neisseria gonorrhoeae dan Clamydia trachomatis adalah organisme yang jarang ditemui didalam uterus sebelum adanya rupture membran amnion, yangmana organisme tersebut seringkali berhubungan erat dengan kejadian choiroamnionitis dan infeksi fetus setelah membran amnion ruptur, sedangkan Sterptococcus grup B dan Escherichia coli terkadang ditemukan pada chorioamnionitis dan infeksi fetus. Jarang terjadi, organisme non traktus genitalis, seperti organisme mulut seperti genus capnocytophaga, ditemukan pada uterus yang berhubungan dengankelahiran prematur dan chorioamnionitis. Organisme ini dapat mencapai uterus melalui plasenta dari sirkulasi atau mungkin melalui kontak oralgenital. Nemun demikian, kebanyakan bakteri yang ditemukan di uterus berhubungan dengan persalinan prematur adalah berasal dari vagina. Walaupun tidak terdapat studi ekstensif mengenai hal ini, infeksi virus intrauterin mungkin bukan merupakan penyebab dari persalinan prematur spontan.8,9,10

10

Organisme vagina terlihat melintas ascenden ke ruang choriodesidua, pada beberapa wanita mereka kemudian melintasi membran chorioamnionitik yang intak menuju cairan amnion, dan beberapa diantaranya pada akhirnya menyebabkan infeksi pada fetus. Kasus dari infeksi melalui rute ini diperoleh melalui studi pada 609 wanita yang menjalani persalinan fetusnya dengan section sesarea sebelum mengalami ruptur membran amnion. Separuh dari 121 wanita dengan hasil kultur membran positif juga memiliki organisme pada cairan amnionnya. Ketika kultur dari kedua bagian positif, organisme yang ditemukan seringkali sama. Kebanyakan bagian terkecil dari fetus memilki kultur darah atau cairan cerebrospinal yang positif saat persalinan. Wanita dengan hasil kultur membran yang positif memiliki respon inflamasi yang positif, diindikasikan dengan penemujan histologist yang menunjukkan leukositosis pada membran amnion dan adanya konsentrasi yang tinggi interleukin-6 pada cairan amnion. Penemuan ini mungkin menjelaskan mengapa wanita dengan hasil kultur negative dari cairan amnion namun memiliki konsentrasi sitokin yang tinggi memiliki resistensi pada obat tokolitik. Ternyata, wanita ini sering mengalami infeksi pada chorioamnion, lokasi yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan kultur sebelum persalinan.7,9

11

Organisme yang dapat menyebabkan infeksi intrauterin dan rute tersering yang dilalui

Hematogenously AcquiredCytomegalovirus Rubella virus Varicella-herpes zoster virus Variola virus Vaccinia virus Listeria monocytogenes Treponema pallidum Toxoplasma gondii Enteric bacteria Mumps virus Rubeola virus Vibrio fetus Coxsackievirus BPoliomyelitis virus

Acquired by Ascending InfectionEscherichia coli Streptococcus faecalis Staphylococci -Hemolytic streptococci groups A and B Anaerobic cocci Bacteroides fragilis Candida albicans Herpes simplex virus Clostridium perfringens Listeria monocytogenes Proteus, klebsiella, and Pseudomonas

Vaginosis bakterialWanita yang mengalami vaginosis bakterial, adalah terjadi penurunan pada spesies lactobacillus normal dan peningkatan yang menyeluruh dari berbagai jenis organisme lainnya, termasuk G. vaginalis, spesies bacteroides, spesies mobiluncus, U. urealyticum, dan M homini, yang memiliki resiko berlipat untuk mengalami persalinan prematur spontan. Tidak diketahui apakah vaginosis bakterial dapat benar-benar menyebabakan persalinan prematur dan persalinan jika organisme nya tidak menuju ke uterus. Vaginosis bakterial dihubungkan dengan peningkatan konsentrasi elastase, misinase, dan sialidase pada vagina dan cerviks. Bagaimanapun juga, sejak meluasnya mayoritas wanita yang mengalami persalinan prematur awal spontan terdapat organisme pada intrauterusnya, maka tidak perlu invoke aksi local dari infeksi vagina sebagai penyebab dari persalinan prematur. Seperti halnya bahwa vaginosis bakterial adalah merupakan marker dari kolonisasi intrauterin dengan rganisme yang sama. Jika hanya infeksi vagina yang terjadi (pada kondisi tidak terdapat infeksi ascending) atau infeksi 12

seperti periodonitis dan infeksi traktus urinarius dapat menyebabkan persalinan prematur spontan, mekanismenya masih belum diketahui. Satu-satunya penjelasan yang mungkin adalah aktivasi dari respon inflamasi lokal oleh sitokin atau endotoksin yang dibawa pada darah darah vagina ke uterus. 11,13

Wanita yang memiliki vaginosis bakterialis, yang didefinisikan sebagai berkurangnya spesies lactobasilus yang normalnya ada dan peningkatan masig organisme lain, termasuk G. vaginalis, bacteroides species, mobiluncus species, U. urealyticum, dan M. hominis, telah melipatgandakan resiko persalinan prematur spontan. Tidak diketahui apakah vaginosis bakterialis bisa menyebabkan persalinan prematur jika organisme tidak naik ke atas ke uterus. Vaginosis bakterialis berhubungan dengan meningkatnya konsentrasi elastase, musinase dan sialidase dalam vagina da n serviks. Namun, karena sebagian besar wanita yang memiliki persalinan prematur spontan dini memiliki organisme dalam uterusnya, tidak diperlukan untuk meminta kerja lokal dari infeksi vagina sebagai penyebab persalinan prematur. Lebih sering bahwa vaginosis bakterialis merupakan marker kolonisasi intra uterine dengan organisme yang sama. Jika infeksi vagina tunggak (tidak ada infeksi yang naik) atau infeksi seperti periodontitis, infeksi saluran kemih bisa menyebabkan persalinan prematur spontan, mekanismenya tidak diketahui. Salah satu penjelasan yang memungkinkan adalah aktivasi respon peradangan lokal oleh sitokin dan endotoksin yang datang dalam darah dari vagina ke uterus.11,13

13

2.3. Waktu infeksi Mengapa persalinan prematur yang sangat awal, dan bukan yang lanjut, yang berhubungan dengan infeksi intrauterin tidak pernah dapat dijelaskan dengan memuaskan. Dan juga belum jelas kapan bakteri mulai melintas secara ascenden dari vagina. Bagaimanapun juga kasus terbaru menunjukkan bahwa infeksi intrauterin dapat terjadi dengan sangat awal pada kehamilan dan dan tetap tidak terdeteksi dalam beberapa bulan. Contohnya, Ureaplasma urealyticum telah dideteksi pada beberapa sampel cairan amnion yang diperoleh saat analisis kromososm rutin pada usia gestasi 15 -18 minggu. Kebanyakan wanita ini mengalami persalinan dalam uasi gestasi sekitar 24 minggu. Oleh karena itu konsentrasi yang tinggi dari interleukin-6 pada cairan amnion pada usia gestasi 1520 minggu berhubungan dengan persalinanprematur spontan paling lama 32-34 minggu. 14,15 Pada contoh lainnya yang menunjukkan adanya infeksi kronik, konsentrasi fibronektin byang tinggi pada cerviks atau vagina pada usia gestasi 24 minggu (menurut marker infeksi pada traktus genitalia atas) dihubungkan dengan perkembangan chorioamnionitis pada rata-rata 7 minggu kemudian. Pada akhirnya, beberapa wanita yang tidak hamil dengan vaginosis bacterial memiliki koloni14

intrauterin yang berhubungan dengan endometritis sel plasma kronik. Oleh karena itu kemungkinan kolonisasi intrauterin berhubungan dengan persalinan prematur spontan adalah saat konsepsi. Adalah penting untuk menegaskan bahwa kebanyakan dari infeksi traktus genitalis atas kronik bersifat asimptomatik dan tidak berhubungan dengan adanya demam, nyeri uterus, leukositosis pada sampel darah perifer.14,15 Jika organisme intrauterin tidak bersih dalam 4 sampai 8 minggu setelah masuk melalui membran ke kavum endometrium pada pertengahan kehamilan, maka infeksi kemudian akan berubah menjadi simptomati dan menghasilkan persalinan prematur spontan atau ruptur dari membran amnion. Menurut scenario ini, jika sekali organisme yang telah berada diuterus dihancurkan oleh sistem imunitas dari ibu, beberapa infeksi intrauterin yang baru akan terjadi selama membran masih dalam keadaan intak, sejak organisme tidak lagi naik dari vagina kearah uterus. Walaupun tidak tebukti, hipotesisi ini dapat dijelaskan seringkali berhubungan dengan infeksi dan persalinan prematur awal..hipotesis alternative untuk menjelaskan hubungan ini berhubungan dengan waktu inisiasi dari respon imunitas fetus. Kemungkinan bahwa hanya dengan maturitas dari sistem imun yang menyebabkan fetus dapat menghasilkan sitokin atau respon hormonal yang dibutuhkan untuk memulai persalinan.5,15 Jika organisme intrauterus tidak jelas dalam empat delapan minggu setelah perkembangan membran yang membungkus kavitas endometrium dekat dengan mid pregnansi, infeksi sering menjadi simptomatis dan menyebabkan persalinan prematur spontan atau pecah ketubah. Sesuai dengan skenario ini, jika organisme yang hampir berada dalam uterus dihancurkan oleh sistem imun ibu, beberapa infeksi intrauterine baru terjadi sepanjang membran masih inta, karena organisme tidak lagi naik ke atas dari vagina ke uterus. Walaupun tidak terbukti, hipotesis ini mungkin menjelaskan hubungan yang sering antara infeksi dan persalinan prematur dini dan kelangkaan relatif infeksi intrauterine karena wanita mendekati aterm. Hipotesis alternatif untuk menjelaskan hubungan ini permulaan respon imun janin.5,15 berkaitan dengan waktu

15

Infeksi bakteri di dalam uterus terjadi antara jaringan ibu dan membran janin (yaitu di dalam rongga koriodesidua), di dalam membran bayi (amnion dan korion), di dalam plasenta, di dalam cairan amnion, atau di dalam tali pusat atau janin (gambar 1). Infeksi membran fetus seperti dicatat oleh temuan histologis atau kultur, disebut korioamnionitis, infeksi tali pusat disebut funisitis dan infeksi cairan amnion disebut amnionitis. Walaupu vili plasenta mungkin terlibat dalam infeksi intrauterin yang berasal dari darah seperti malaria, infeksi bakteri di dalam plasenta (vilitis) jarang terjadi.8,9,17

16

2.4. Marker infeksi Infeksi intrauterine seringnya terjadi kronik dan biasanya asimptomatik hingga persalinan dimulai atau pecah ketubah. Bahkan selama persalinan, kebanyakan wanita yang menunjukkan korioamnionitis kemudian (dengan temuan histologis dan kultur) tidak memiliki gejala selain dari persalinan prematur tidak demam, nyeri perut atau leukositosis darah tepi dan biasanya tidak terdapat takikardia janin. Oleh karena itu, pengidentifikasian wanita dengan infeksi intrauterine merupakan tantangan yang besar. Zat yang ditemukan dalam kuantitas abnormal dalam cairan amnion dan di tempat lain pada wanita dengan infeksi intrauterin. 8,10 Tempat infeksi yang sangat baik diteliti adalag cairan amnion. Seperti halnya bakteri yang terkandung, cairan amnion dari wanita dengan infeksi intrauterine memiliki kadar glukosa yang rendah, jumlah sel darah putih yang tinggi dan tingginya konsentrasi komplemen C3 dan berbagai sitokin dibandingkan cairan dari wanita yang tidak terinfeksi. Namun, pendeteksian bakteri atau pengukuran sitokin dan analit lainnya dalam cairan amnion memerlukan amniosintesis, dan tidak jelas bahwa amniosintesis meningkatkan keluaran kehamilan, bahkan pada wanita dengan gejala persalinan prematur. Saat datang, tidak cocok untuk mengambil cairan amnion secara rutin untuk menguji infeksi intrauterine pada wanita yang sedang tidak dalam persalinan. 7,8

17

Hasil yang positif pada sekret vagina untuk vaginosis bakterialis, apakah yang dilakukan dengan pewarnaan Gram atau dengan menggunakan kriteria Amsel (sekret vagina homogen, sel putih yang dilingkupi bakteri atau bau amina ketika cairan vagina dicampurkan dengan kalium hidroksida dan pH di atas 4,5) berhubungan dengan infeksi intrauterine dan memprediksikan persalinan prematur. Pada wanita dengan persalinan prematur dan wanita asimptomatik, hasil positif terhadap test sekret vagina atau serviks untuk fibronektin, suatu protein membran plasenta, tidak hanya merupakan prediktor terbaik untuk persalinan prematur spontan, tetapi juga sangat berhubungan dengan kelahiran prematur selanjutya dan sepsis neonatorum. Diyakini bahwa infeksi intrauterine mengganggu membran basement koriodesidua ekstraseluler, yang menyebabkan kebocoran protein ini ke dalam serviks dan vagina. 7,9 Pada wanita dengan gejala persalinan prematur, tingginya konsentrasi banyak sitokin di dalam sekret vagina, termasuk tumor necrosis factor, interleukin1, interleukin-6, dan interleukin-8, berhubungan dengan persalinan prematur. Pada wanita yang melakukan ANC rutin, tingginya kadar interleukin-6 serviks juga memprediksi persalinan prematur yang akan terjadi dan menambahkan nilai ukuran prediktif untuk fibronektin. Namun, memprediksi infeksi intrauterine.7,9 Serviks yang pendek, yang ditentukan dengan USG, berhubungan dengan beberapa marker infeksi dan korioamnionitis. Walaupun serviks yang pendek mungkin memfasilitasi kenaikan bakteri ke uterus, ia juga seringnya pada beberapa wanita, serviks memendek sebagai respon terhadap infeksi genital atas yang sedang terjadi. Namun, karena persalinan prematur dini akibat infeksi susah dibedakan dengan yang diakibatkan oleh struktur serviks yang inadekuat, masih tidak jelas apakah panjang serviks memendek sebelum atau setelah infeksi intrauterine silent.9 Wanita dengan gejala dan tanda persalinan prematur yang selanjutnya mengalami persalinan prematur memiliki kadar interleukin-6, interleukin-8, dan tumor necrosis factor serum yang tinggi. Pada wanita tanpa gejala persalinan18

pemeriksaan lain selain untuk vaginosis

bakterialis, tidak ada pemeriksaan vagina atau serviks yang sering digunakan untuk

prematur yang diskrening secara rutin, granulocyte colony-stimulating factor merupakan satu-satunya sitokin yang bersirkulasi dalam serum ditemukan menjadi tinggi sebelum onset persalinan prematur. Marker infeksi nonsitokin meliputi serum C-reactive protein yang tinggi dan kadar ferritin yang tinggi. Pada wanita yang menjalani asuhan prenatal rutin, konsentrasu feritin serum yang rendan menginikasikan cadangan besi yang rendah, tetapi tingginya kadar feritin serum tampaknya merupakan reaksi fase akut dan memprediksikan persalinan prematur. Kadar Feritin serum juga berlipat ganda dalam minggu pertama setelah pecah ketubah, yang mungkin mengindikasikan infeksi intrauterine yang progresif. Tingginya kadar feritin serviks juga memprediksi persalinan prematur spontan selanjutnya.17,18

Pada marker infeksi intrauterine, vaginosis

bakterialis dan riwayat

persalinan prematur dini bisa ditentukan sebelum hamil. Sebelum usia kehamilan 20 minggu, vaginosis bakterialis, kadar fibronektin yang tinggi dalam cairan vagina dan serviks yang pendek seluruhnya berkaitan dengan infeksi kronik. Segera setelah19

pertengahan hamil, pada wanita yang tidak dalam masa persalinan, tingginya kadar fibronektin serviks dan vagina, serviks yang pendek dan konsentrasi beberapa sitokin dalam vagina atau cairan serviks yang tinggi, dan tingginya granulocyte colony-stimulating factor serum dan kadar ferritin yang tinggi telah dihubungkan dengan meningkatnya resiko persalinan prematur spontan. Akhirnya, persalinan prematur antara 20 dan 28 minggu hamil sendirinya berkaitan erat dengan infeksi intrauterine, dan kaitan ini bahkan lebih kuat oada wanita dengan serviks yang pendek, kadar fibronektin vagina atau serviks yang tinggi atau tingginya kadar berbagai sitokin dalam cairan amnion, serviks, atau vagina atau dalam serum. 19 Walaupun ada hubungan ini, tidak satupun marker ditemukan berguna

dalam pengembangan strategi untuk mengurangi prematuritas atau keterlambatan persalinan pada wanita dengan atau tanpa gejala persalinan, kecuali wanita resiko tinggi yang memiliki vaginosis bakterialis mungkin diuntungkan dari terapi antibiotik. Untuk alasan ini, pengukuran marker lain dalam usaha untuk mengurangi frekuensi kelahiran preterm tidak diindikasikan. 5,10 Infeksi intrauterin seringkali merupakan kasus yang kronik. Hal ini seringkali merupakan kasus asimptomatik sampai dengan proses kelahiran dimulai atau membran amnion pecah. Walaupun selama proses kelahiran, kebanyakan wanita yang kemudian menunjukkan tanda-tanda mengidap chorioamnionitis (dengan penemuan histologist atau kultur) tidak memilki gejala dibandingkan kelahiran prematur, tidak terdapat demam, nyeri abdomen, atau leukositisis pada sampel darah perifer, dan seringkali juga tanpa takikardi pada fetusnya. Oleh karena itu, wanita yang teridentifikasi memiliki infeksi intrauterin adalah tantangan besar. Bahan yang ditemukan pada jumlah abnormal dengan keadaan infeksi intrauterin terdapat pada tabel berikut. 4 Penelitian terbaik dari infeksi intrautrin adalah melalui bagian cairan amnion. Selain mengandung bakteri, cairan amnion dari wnita dengan infeksi intrauterin memiliki konsentrasi glukosa yang rendah, hitung sel darah putih yang tinggi dan konsentrasi yang tinggi dari komplemen C3 disertai berbagai jenis sitokin dibandingkan dengan cairan amnion pada wanita yang tidak terinfeksi.20

Bagaimanapun juga mendeteksi bakteri atau mengukur sitokin dan analit lainnya pada caitan amnion, membutuhkan amniosintesis, dan masih belum jelas bahwa amniosintesis dapat mempengaruhi hasil keluaran dari kehamilan, Walaupun pada wanita dengan gejala resiko tinggi kelahiran prematur. Sekarang ini tidak tepat untuk mengambil cairan amnion secara rutin untuk melakukan uji infeksi intrauterin terhadap wanita yang tidak dalam proses kelahiran. 4,5 Hasil positif dari uji pada secret vagina untuk vaginosis bakterial, yang mana dikerjakan dengan pewarnaan gram atau dengan menggunakan kriteria Amsels (homogenus sekret vagina, cincin sel darah putih oleh bakteri, dan bau amin ketika cairan vagina dikombinasikan dengan potassium hidroksida, dan pH lebih dari 4,5), berhibungan dengan infeksi intrauterin dan prediksi untuk mengalami persalinan prematur. Pada wanita yang mengalami persalinan prematur dengan keadaan asimptomatik, hasil yang positif pada uji sekret vagina atau serviks terhadap adanya fibronektin, protein dari membran plasenta, tidak hanya merupakan predictor terbaik untuk persalinan prematur spontan, namun juga memiliki hubungan kuat dengan chorioamnionitis selanjutnya dan kejadian sepsis neonatal. Dipercayai bahwa infeksi intrauterin mengganggu membran dasar choriodesidual ekstraseluler, menyebabkan kebocoran dari protein menuju serviks dan vagina. 7,10 Pada wanita dengan gejala yang menunjukkan resiko persalinan prematur, konsentrasi tinggi dari berbagai sitokin pada sekret vagina atau serviks, termasuk tumor necrtinf factor , interleukin-1, interleukin-6 dan interleukin-8 berhubungan dengan persalinan prematur awal. Pada wanita yang mendapatkan perawatan prenatal yang rutin, konsentrasi yang tinggi dari interleukin-6 pada serviks juga diprediksi sebagai penyebab kejadian presalinan prematur dan menambah nilai prediksi dari pengukuran fibronektin. Bagaimanapun juga selain daripada uji vaginosis bakterial, tidak terdapat uji vaginal atau serviks lain yang biasa dilakukan untuk memprediksi adanya infeksi intrauterin. 16,19 Serviks yang pendek yang dapat ditentukan dengan ultrasonografi, berkorelasi dengan beberapa marker dari infeksi dan chorioamnionitis. Walaupun cerviks yang pendek mungkin memfasilitasi proses ascenden dari bakteri menuju uterus, seperti pada beberapa wanita, pendeknya serviks adalah merupakan respon dari infeksi traktus genitalia atas yang21

telah terjadi sebelumnya. Bagaimanapun juga sejak persalinan prematur awal yang disebabkan oleh infeksi mungkin tak dapat dibedakan dari satu yang dipengaruhi oleh inadekuatnya serviks secara struktural, dan masih belum jelas apakah panjangnya serviks yang memendek sebelum atau sesudah terjadinya infeksi uterin yang silent.16,19 Wanita dengan gejala persalinan prematur yang kemudian mengalami persalinan prematur memiliki konsentrasi serum yang tinggi dari interleukin-6, imterleukin-8, dan tumor necroting factor . Diantara wanita tanpa gejala persalinan prematur yang terskrining secara rutin, hanya granulocyte colonystimulating factor sitokin. 8,10 Metode pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi infeksi yang dapat mempengaruhi fetus Disease Material From Which Etiologic Agent Can be Isolated Serologic Tests Which can Be Performed Indirect hemagglutination Urine, biopsy specimen Neutralizing antibody Complement fixation Fluorescent antibody Herpes simplex Local lesion Rubella Pharynx Hemagglutination inhibition Neutralizing antibody Syphilis Material from lesion (dark-field examination) Fluorescent treponemal antibody-absorption22

Cytomegalovirus infection

Neutralizing antibody Complement fixation

Complement fixation

Toxoplasmosis Infected tissue Neutralizing antibody Complement fixation Sabin-Feldman dye test Indirect fluorescent antibody Varicella-herpes zoster Gonorrhea Vesicular fluid Endocervix, rectum, throat Complement fixation Hemagglutination

2.5. Mekanisme biokimia Prostaglandin memiliki peran dalam proses inisiasi kelahiran. Hal ini didukung dengan obnservasi yang menunjukkan:1.Prostaglandin dan prekursosrnya, asam arakhidonat, menstimulasi abortus

dan partus. 2.Level prostaglandin dan asam arakhidonat meningkat selama proses kelahiran. 3.Inhibitor prostaglandin menahan kontraksi prematur dan menunda mulainya proses kelahiran. Peran dari prostaglandin pada permulaan kelahiran prematur kurang dapat dijelaskan. Namun bagaimanapun juga, wanita dengan kelahiran prematur dan invasi dari mikroba pada kavum amniotik memiliki level yang tinggi dari PGF2 dan PGF 2 pada cairan amniotiknya dibandingkan dengan wanita dengan kelahiran prematur dengan kultur cairan amnion negatif. Sumber dari prostaglandin ini dipostulated yaitu amnion, chorion dan decidua. Indeed, media dari kultur bacterial menstimulasi PGE2 dan PGF 2, diproduksi dari isolasi amnion manusia dan sel desidua Oleh karena itu adanya prostaglandin memainkan perana yang penting pada proses kelahiran prematur pada kondisi infeksi.au pada wanita dengan tanpa kelahiran prematur. 8,2023

didalam cairan amnion

Mekanisme dari kelahiran prematur yang berhubungan dengan infeksi intrauterin atau sindrom respon inflamasi telah diselidiki secara intensif. Salah satu mekanisme hipotesis yaitu: lipopolisakarida dan produksi bacterial lainnya menginduksi sel pada decidua dan placenta untuk memproduksi sitokin proinflamasi, seperti IL-1, TNF-, dan IL-6. Sel-sel inflamasi yang dikeluarkan (monosit dan makrofag) mempengaruhi oleh infeksi yang juga memproduksi sitokin. Konsentrasi dari lipopolisakarida, IL-1, TNF-, dan IL-6 meningkat pada cairan amnion selama proses infeksi intrauterin. Sitokin proinflamasi kemudian meningkatkan formasi dari kemokin, colony-stimulating factor, sitokin lainnya, reseptor, prostaglandin, dan enzim litik, yang merupakan faktor yang dibutuhkan untuk inisiasi dari proses kelahiran. 4, 8

2.6. Persalinan Prematur

24

Persalinan premature adalah masalah utama dalam bidang obstetric saat ini, yang bertanggung jawab kepada 70 persen kematian perinatal dan hampir setengah morbiditas neurologis jangka panjang. Sekitar 10 persen dari seluruh kelahiran adalah prematur, tetapi sebagian besar penyakit yang berat dan kematian dikonsentrasikan pada 1 2 persen infan yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 32 minggu dan berat badannya kurang dari 1500 gram. Diperkirakan 20 persen kelahiran prematur merupakan hasil dari keputusan dokter untuk melakukan persalinan atas dasar indikasi ibu atau janin dan sisanya mengikuti onset persalinan spontan atau ketuban pecah dini. Angka persalinan prematur tidak berkurang dalam beberapa dekade terakhir, tetapi angka harapan hidup infan yang lahir prematur meningkat, sehingga 80% infan yang beratnya 500 1000 gram selamat saat ini. namun, persentase yang selamat dengan kecacatan mengalami sedikit perubahan sehingga jumlah absolut infan prematur yang selamat dengan meningkat.7,10 Persalinan prematur mungkin terjadi dalam hubungannya dengan kecacatan

leukositosis cairan amnion atau korioamnion yang telah lama dikenal. Namun, bukti mikrobiologis penting yang pertama terkait infeksi intrauterus sebelum ketuban pecah menjadi persalinan prematur hanya ditampilkan pada akhir tahun 1970an, ketika bakteri dikultur dari cairan amnion 7 dari 10 wanita dalam persalinan prematur yang memiliki ketuban yang intak. Tinjauan ini menjelajahi bukti yang berkembang dalam dua dekade terakhir terkait infeksi intrauterin dan persalinan prematur.7,10

25

Epidemiologi Persalinan prematur tidak terjadi pada setiap wanita. disparitas yang paling jelas adalah bahwa angka persalinan prematur pada wanita kulit hitam dua kali dibandingkan kelompok wanita ras lainnya di AS, dengan pertentangan yang lebih besar pada angka persalinan prematur sangat dini. Perbedaan ini tidak bisa dijelaskan. Namun, lebih banyak wanita kulit hitam yang memiliki vaginosis bakterialis, korioamnionitis yang didiagnosis secara histologis atau klinis dan endometritis postpartum, infeksi saluran genital mungkin menjelaskan banyaknya persalinan prematur pada wanita tersebut. Faktor resiko utama lainnya untuk persalinan prematur adalah persalinan prematur spontan sebelumnya, khususnya salah satu yang terjadi pada trimester kedua. Beberapa wanita memiliki infeksi intrauterine kronik bahkan antara kehamilannya, yang bisa menyebabkan persalinan prematur spontan berulang.26

Hubungan antara infeksi dan persalinan prematur tidak konsisten sepanjang kehamilan. Infkesi jarang terjadi pada persalinan prematur akhir (pada 34 36 minggu) tetapi muncul pada kebanyakan kasus dimana kelahiran terjadi kurang dari 30 minggu, seperti yang ditunjukkan oleh pemeriksaan histologis membran janin saat persalinan, penelitian cairan amnion dari wanita yang melahirkan dengan ketuban yang intak dan penelitian membran janin dari wanita dengan ketuban yang intak yang menjalani operasi cesar. 2.7. Mekanisme persalinan prematur akibat infeksi Data dari penelitian hewan, in vitro dan manusia seluruhnya memberikan gambaran yang konsisten bagaimana infeksi balteri menyebabkan persalinan prematur spontan (gambar 3). Invasi bakteru rongga koriodesidua, yang bekerja melepaskan endotoksin dan eksotoksin, mengaktivasi desidua dan membran janin untuk menghasilkan sejumlah sitokin, termasuk including tumor necrosis factor, interleukin-1, interleukin-1, interleukin-6, interleukin-8, dan granulocyte colonystimulating factor.selanjutnya, cytokines, endotoxins, dan exotoxins merangsang sistesis prostaglandin dan pelepasan dan juga mengawali neutrophil chemotaxis,27

infiltrasi,

dan

aktivasi,

yang

memuncak

dalam

sistesis

dan

pelepasan

metalloproteases dan zat bioaktif lainnya. Prostaglandin merangsan kontraksi uterus sedangkan metalloprotease menyerang membran korioamnion yang menyebabkan pecah ketuban. Metalloprotease juga meremodeling kolagen dalam serviks dan melembutkannya.21,22

Jalur yang lain mungkin memiliki peranan yang sama baik. Sebagai contoh, prostaglandin dehydrogenase dalam jaringan korionik menginaktivasi prostaglandin yang dihasilkan dalam amnion yang mencegahnya mencapai miometrium dan menyebabkan kontraksi. Infeksi korionik menurunkan aktivitas dehidrogenase ini yang memungkinkan peningkatan kuantitas prostaglandin untuk mencapai miometrium. Jalus lain dimana infeksi menyebabkan persalinan prematur melibatkan janin itu sendiri. Pada janin dengan infeksi, peningkatan hipotalamus fetus dan produksi corticotropin-releasing hormon menyebabkan meningkatnya sekresi kortikotropin janin, yang kembali meningkatkan produksi kortisol adrenal fetus. Meningkatnya sekresi kortisol menyebabkan meningkatnya produksi prostaglandin. Juga, ketika fetus itu sendiri terinfeksi, produksi sitokin fetus meningkat dan waktu untuk persalinan jelas berkurang. Namun, kontribusi relatif

28

kompartemen maternal dan fetal terhadap respon peradangan keseluruhan tidak diketahui. 8,9 Gradasi kerusakan plasenta dengan kejadian infeksi yang mempengaruhi plasenta

Effect on PlacentaSevere Vaccinia virus Varicella virus Variola virus Moderate

Agent

Treponema pallidum Listeria monocytogenes

Mild

Rubella virus Toxoplasma gondii Cytomegalovirus Coxsackievirus B Poliomyelitis virus

Minimal None 2.8. Kerusakan otak fetus

Infeksi intrauterin diperkirakan dapat memepengaruhi otak yang imatur dengan dimulainya hipoperfusi cerebral, yang mana kemudain menghasilkan keadaan kerusakan otak iskemik-hipoksik, dan atau juga menyebabkan produksi sitokin proinflamasi seperti TNF , IL-1 dan IL-6 dari astrosit dan microglia. Sitokin ini kemudaian akan menyebabkan kerusakan pada oligodendrosit progenitor dan kemudian memacu PVL. Dan juga, pengaturan naik metabolism asam arakhidonat pada jaringan otak, atau aktivasi leukosit setelah iskemia dapat memacu produksi dari radikal oksigen. Efek dari molekul ini pada kerusakan sel neuronal, neurogenesis dan neuridifferensiasi pada perkembangan otak telah dibuktikan. 7,11, 14 PVL adalah bentuk predominan dari lesi substansia alba otak pada janin preterm. Hal ini dikarakterisasi dengan regio nekrosis kecil dan multifocal. Astroglia dan mielyn adalah komponen penting pada substansia alba. Inflamasi29

yang terjadi pada CNS ditandai dengan adanya astrogliosis reaktif, yang ditunjukkan dengan proliferasi astrosit atau hipertrofi astrositik. Gambaran ini adalah dibawah pengaturan dari sitokin proinflamasi. Ditambah lagi, ditunjukkan bahwa terjadinya PVL berhubungan dengan peningkatan jumlah astrosit pada lesi substansia alba dari otak janin. . 7,11, 14 Asal mula dari jumlah yang tinggi dari dari sitokin proinflamasi dari otak janin dapat melalui plasenta dan uterus ibu, diikuti dengan inflamasi dan atau infeksi intrauterin dan atau mikroglia dan astrosit otak bayi yang terstimulasi. Seharusnya ditekankan bahwa tidak semua peninggian dari level sitokin pada uterus ibu dan plasenta juga menunjuukkan peningkatan yang sama pada otak janin. . 7,11,14

30

Pemberian sistemik maternal dari lipopolisakarida mempengaruhi myelinasi dan astrogliosis pada pada otak neonatus percobaan pada tikus. Ditambah lagi IL-1 pasa dosis fisiologis, menginhibisi oligodendrosit dari tikus. IL-1 menstimulasi errtumbuhan astrosit dan meningkatakan keberadaan astrosit GFAP reaktif. Pengamatan ini dapat menunjukkan peran potensial dari sitokin dalam memediasi infeksi maternal dan jejas PVL pada bayi baru lahir. . 7,11, 14 Ekspresi dari IL-1 dan TNF MRNA yang meningkat pada otak bayi, diikuti pemberian LPS maternal. Ditambah lagi, level glial fibrillary acidic protein positive astrocyte meningkat dan level protein dasar myelin menurun pada otak keturunannya. Hal ini menunjukkana bahwa infeksi pada plasenta dapat memicu kerusakan otak neonatal dengan meningkatnya level sitokin proinflamasi. Saat ini, level yang tinggi dari TNF , IL-1 dan IL-6 dideteksi pada otak dengan PVL dibandingkan dengan keadaan sehat. Ditambah lagi pengamatan sebelumnya menunjukkan bahwa bayi baru lahir dengan lesi substansia alba otak adalah merupakan bayi dari wanita yang memiliki level sitokin proinflamasi yang tinggi31

pada cairan amnionnya, bagaimanapun juga bayi baru lahir tanpa lesi substansia alba otak adalah merupakan anak dari ibu dengan pemeriksaan level sitokin dalam batas normal. Ditambah lagi, kelinci yang dibuat mengalami infeksi intrauterin dengan menggunakan bakteri, ternyata memicu untuk mendapatkan lesi pada substansia alba dari otak fetus. . 7,11, 14 TNF alfa terlihat dlam meningkatkan permeabilitas dan untuk melewati blood brain barrier. TNF alfa juga mengurangi pengambilan oksigen cerebral, meningkatkan tekanan intracranial, memicu koagulopati intravaskuler yang difus, dan peningkatan permeabilitas kapiler yang menfhasilkan odem cerebral. TNF alfa diduga merupakan agen sitotoksik yang poten [pada jaringan neuronal. Ekspresi dari TNF yang ada pada otak dari fetus yang masih berkembang setelah stimulasi inflamasi, dan pada specimen autopsy pada anak dengan PVL. TNF menyebabkan penurunan jumlah oligodendrosit progenitor, yang juga menyebabkan apoptosis dari oligodendrosit. . 7,11, 14

32

2. 8. Penatalaksanaan Hubungan diantara kerusakan otak pada bayi dari ibu yang mengalami infeksi atau inflamasi selama kehamilan masih belum jelas. Oleh karena itu, beberapa kemungkinan terapi yang dianjurkan berdasarkan kepada mekanisme dari kerusakan otak bayinya. Semenjak infeksi atau inflamasi maternal meningkatkan sitokin pada otak bayinya, yang mana mampu menyebabkan aliran kejadian yang kemudian melukai otak bayinya, hal ini kemungkinan menyebabkan sitokin antiinflamasi dan atau inhibitor spesifik dari peristiwa intraseluler seperti sintesis radikal bebas atau scavengers, inhibitor NOS dan atau scavengers dan agen anti apoptotic sebagai preventif yang memungkinkan atau agen terapiutik yang memungkinkan. Intervensi terapiutik yanvg memungkinkan juga dapat termasuk suplementasi dari faktor topic, yang mana dapat menigkatkan ketahana dan differentiasi dari prekursor oligodendrosit seperti agen antiinflamasi. Seharusnya ditekankan bahwa mekanisme lainnya seperyi peningkatan temperature maternal, kerusakan endothelial plasenta dan peningkatan kecendrungan untuk terjadinya koagulasi, hipoksia fetus atau asidosis, hipotensi fetus dan lainnya yang dapat juga memperburuk kerusakan otak fetus. Ditambah lagi diluar perkiraan, infeksi virus juga dapat menghasilkan kerusakan otak. Pada awal 1970an, penggunaan tetrasiklin dalam jangka panajng, yang dimulai pada trimester ketiga, ditemukan mengurangi frekuensi persalinan prematur baik pada waniya yang memiliki bakteriuria yang asimptomatik dan pada mereka yang tidak. Pengobatan ini jatuh hingga tidak berguna sama sekali, mun gkin karena displasia tulang dan gigi infan terkait tetrasiklin. Hasil pengobatan dengan eritromisin, yang menargetkan ureaplasma atau mikoplasma pada vagina atau33

serviks, telah dicampur. Harus dicatat bahwa ureaplasma merupakan bagian mikroflora vagina pada banyak wanita dan keberadaannya di saluran genitalia bawah, tidak seperti keberadaannya pada saluran genitalia atas, tidak berhubungan dengan meningkatnya resiko persalinan prematur spontan. Pada tahun-tahun terakhir, percobaan pengobatan prenatal untuk mencegah persalinan prematur telah difokuskan pada vaginosis bakterialis, dengan membangkitkan minat tetapi hasilnya bercampur. Hasil keseluruhan menunjukkan bahwa wanita dengan persalinan prematur sebelumnya dan dengan vaginosis bakterialis yang didiagnosis pada trimester kedua, pengo batan selama satu minggu atau lebih dengan metronidazol oral, dan mungkin dengan eritromisin, menyebabkan berkurangnya insiden persalinan prematur secara signifikan. Tidak ada penurunan yang signidikan dalam persalinan prematur ketika antibiotik diberikan intravaginal, ketika penggunaan antibiotik lebih singkat atau regimen antibiotik tidak termasuk metronidazole atau ketika wanita yang diobati memiliki resiko rendah (didefinisikan sebagai tidak memiliki persalinan prematur sebelumnya). Untuk wanita dengan ketuban intak dan dengan gejala persalinan prematur, terapi antibiotik biasanya tidak menunda persalinan, mengurangi resiko persalinan prematur atau meningkatkan keluaran neonatus. Pada percobaan ini, wanita biasanya diobati dengan penisilin dan sefalosporin atau eritromisin. Namun, pada dua percobaan random yang kecil, penggunaan metronidazol dalam jangka waktu lama ditambah ampisilin menyebabakan penundaan yang penting hingga persalinan, meningkatkan berat badan 200 300 gram dalam berat badan lahir rata-rata, dan mengurangi insiden persalinan prematur dan menurunkan morbiditas neonatus jika dibandingkan dengan plasebo. Karena perhatian kami tentang penggunaan antibiotik yang berlebihan selama hamil dan sampel kecil dalam penelitian ini, kami enggan untuk merekomendasikan perubahan dalam praktek saat ini. Untuk wanita yang datang dengan ketuban pecah dini, mencegah persalinan prematur merupakan tujuan yang tidak beralasan. Namun ada bukti penting bahwa terapi antibiotik untuk wanita ini selama seminggu atau lebih meningkatkan waktu34

untuk kelahiran dan mengurangi insiden korioamnionitis dan meningkatkan berbagai ukuran morbiditas neonatus. Persamaannya, pada wanita yang hasil test untuk streptokokus grup B positif dalam vagina, saat ini ada bukti bahwa terapi ampisilin selama perslainan mengurangi angka sepsis neonatorum dengan streptokokus grup B, tetapi bukan mereka dengan persalinan prematur spontan.

BAB III KESIMPULANPeningkatan pengetahuan akhir-akhir ini mengenai infeksi dan persalinan prematur telah memunculkan banyak pertanyaan dan mendukung strategi baru untuk pencegahan. Tidak diketahui bagaimana dan kapan bakteri menginvasi uterus dan apakah infeksi tambahan dengan virus, protozoa atau bakteri lain selain yang telah dijelaskan terlibat dalam persalinan prematur. Dengan memiliki lebih banyak informasi mengenais kronisitas infeksi uterus baik sebelum dan selama35

hamil dan mekanisme dimana ibu dan janin respon terhadap infeksi bakteri adalah penting untuk mengembangkan pemahaman infeksi ini dengan lebih baik. Karena infeksi saluran genitalia atas sangat asimptomatik, lebih banyak marker pemisah untuk mengidentifikasi wanita dengan infeksi ini untuk pemeriksaan dan intervensi dibutuhkan. Akhirnnya pemahaman yang mendalam tentang hubungan antara infeksi intrauterine dan persalinan prematur spontan akan memungkinkan penelitian klinis pengobatan untuk mengurangi persalinan prematur spontan dan mortalitas dan morbitas jangka panjangnya yang berhubungan.

*****

DAFTAR PUSTAKA 1. Huleihel M, Golan H, Hallak M. Intrauterine Infection / Inflammation During Pregnancy and Offspring Brain Damages: Possible Mechanisms Involved. Reproductive Biology and Endocrinology Journal. Israel. 2004 ; 2 (17) : 1-8 rbe 2. Simhan HN, Caritis SN. Prevention of Preterm Delivery. The New England Journal of Medicine. Massachusetts. 2007 ; 357 (5) : 477 87 nejm z

36

3. Cassel GH, Waites KB, Watson HL, Crouse DT, Harasawa R. Ureaplasma

Urealyticum Intrauterine Infection: Role in Prematurity and Disease in Newborn. Clinical Microbiology Reviews. American Society for Microbiology. USA. 1993 ; 6 (1) : 69 87 uuii 4. Thorpe, E M. 1999. Intrauterine Infections and Beyond. Departement of Obstetrics and Gynecologic. University of Tennessee Health Science Center. 5. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Haulth JC, Gilltrop LC, wenstrom KD. 2007. Williams Obstetrics. 22th editions. USA: Mc Graw Hill. 6. Eipstein FH, Goldenberg RL, Hauth JC, Andrews WW. Intrauterine Infection and Preterm Delivery. The New England Journal of Medicine. Massachusetts. 2000 ; 342 (20) : 1500 07 nejm 1500 7. Monga M, Blanco JD. Intrauterine Infection and Preterm Labor. Infectious Diseases in Obstetrics and Gynecology. Houston. Texas. 1995 ; 3 :37 44 8. West KH, Bystrom JM, Wojnarowicz C, Shantz N, Jacobson M, Allan GM, Haines DM, Clark EG, Krakowka S, Mc Neilly F, Konoby C, Martin K, Ellis JA. Myocarditis and Abortion Associated with Intrauterine Infection of Sows with Porcine Circovirus 2. Journal Vet Diagn Invest. Canada. 1999 ; 11 : 530 2 9. Romero Roberto, Chaiworapongsa Tinnakorn, Espinoza Jimmy.

Micronutrients and Intrauterine Infection, Preterm Birth and the Fetal Inflammatory Response Syndrome. The Journal of Nutrition. 2003 ; 133 : 1668 S 73 S 10. Hodges R, Salvador L, DAntona D, Georgiou HM, Wallace EM. Activin A as a Marker of Intrauterine Infection in Women with Preterm Prelabour Rupture of Membranes. Journal of Peronatology. Melbourne. 2010 ; 30 : 22 637

11. JK Grether, KB Nelson, E Walsh. Intrauterine Exposure to Infection and Risk of Cerebral Palsy. Arch Pediatric Adolescent Medicine. American Academy of Pediatrics. USA. 2003 ; 15 : 26 32 12. Cerebral Palsy and International Research Foundation. 1999. Cerebral Palsy and Intrauterine Infection. The United Cerebral Palsy Research and Educational Foundation. USA. 13. O Dammann, A Leviton. Maternal Intrauterine Infection, Cytokines, and Brain Damage in the Preterm Newborn. Pubmed Journal. 1997 ; 42 (1) : 1814. BH Yoon, CW Park, T Chaiworapongsa. Intrauterine Infection and the

Development of Cerebral Palsy. British Journal of Obstetric and Gynecologic. 2003 ; 110 (20) : 124 715. Estrany XC, Aloy JF, Fraile M de la Rosa, Abizanda SS, Castrillo Study

Group. Probable Early-Onset Group B Streptococcal Neonatal Sepsis: A Seroius Clinical Condition Related to Intrauterine Infection. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. Spain. 2008;93:F85-F8916. Mercer, Brian M. Preterm Premature Rupture of the Membranes. The

Global Library of Women's Medicine. Mei 2008. 17. Peebles, DM. Scientific Advisory Committee Opinion. 2002. Intrauterine Infection and Perinatal Brain Injury. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. London 18. Suzuki S, Araki T. Fetomaternal Interface of Cytokine Patterns in Intrauterine Infection. Journal of Maternal Fetal and Neonatal Medicine. 2003; Vol. 13, No. 3 : 211- 219. Berger A, Witt A, Haiden N, Kaider A, Klebermasz K, Fuiko R,

Langgartner M, Pollak A. Intrauterine Infection with Ureaplasma Species in Associated with Adverse Neuromotor Outcome at 1 and 2 Years Adjusted38

Age in Preterm Infants. Vienna Waehringerguertel. Journal of Perinatal Medicine. 2008 ; 37 (1) : 72 8.20. MA Suromo, Budipradigdo Lisyani. Kewaspadaan Terhadap Infeksi

Cytomegalovirus serta Kegunaan Deteksi secara Laboratorik. Dipenogoro university. Institutional Repository. 2007. Semarang.21. Lee, Seung Mi , Lee, Joonho , Seong, Hyo Suk , Lee, Si Eun , Park, Joong

Shin , Romero, Roberto andYoon, Bo Hyun (2009) 'The clinical significance of a positive Amnisure test in women with term labor with intact membranes', The Journal of Maternal-Fetal & Neonatal Medicine, 22:4, 305 31022. Schlesinger, Yechiel.Shaare Zedek Medical Center. The Relation Between

the Maternal Cellular Immune System and Cytomegalovirus Intrauterine Infection. 2010. USA

39