Judul : Pengaruh Kebudayaan Dalam Persatuan NKRI
Nama/NPM : Fuad Muhammad Alhamid/1306405023
Data Publikasi : Depok: Universitas Indonesia, 2013, Hal 93-116 ( Buku ajar II
MPKTA)
Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau – sambung menyambung menjadi satu –
itulah Indonesia. Demikian penggalan syair salah satu lagu kebangsaan kita yang
merefleksikan begitu luasnya Indonesia, begitu besarnya Indonesia, begitu kayanya
Indonesia, begitu beragamnya Indonesia sebagai sebuah entitas geografis, entitas kebangsaan,
dan entitas kenegaraan.
Indonesia sebagai negara kepulauan kiranya tidak lagi memerlukan penegasan. Ini
dipahami karena sebahagian besar wilayahnya adalah laut dan terdiri dari ribuan pulau.
Deretan pulau-pulau tersebut membentang dari Sabang diujung barat hingga Papua di ufuk
timur – dari Talaut di utara hingga Rote di perairan selatan. Oleh karenanya dalam konsep
wawasan nusantara terminologi negara kepulauan diasumsikan bahwa laut adalah
penghubung (bukan pemisah) antar pulau. Pemahaman inilah yang berkembang dalam lintas
kearifan lokal bangsa Indonesia dengan menyebut Indonesia sebagai nusantara; nusa berarti
pulau dan antara berarti penghubung.
Realitas historis menunjukkan bahwa nun jauh menembus sekat-sekat masa silam, di
nusantara telah berdiri kerajaan-kerajaan/kesultanan-kesultanan dengan latar belakang etnis
dan budaya yang majemuk. Letak geografisnya yang berada pada titik silang jalur lalulintas
pelayaran dunia serta kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah (tongkat yang ditanam
pun bisa menjadi pohon – seperti syair lagu Koes Ploes) menyebabkan
kerajaan-kerajaan/kesultanan-kesultanan di nusantara turut memainkan peran dalam interaksi
dengan dunia luar yang tidak luput dari tarik menarik kepentingan global. Kondisi ini terus
berlangsung hingga kerajaan-kerajaan/kesultanan-kesultanan lebur dalam satu wadah
kenegaraan; NKRI. Karenanya, Indonesia tumbuh sebagai sebuah nation state(negara-bangsa)
dengan khasanah kesejarahan dan kebudayaan yang majemuk.
Kekayaan yang terefleksi dari kemajemukan etnis, budaya dan agama mengatarkan
Indonesia menjadi sebuah negara dengan kekuatan budaya yang khas di dunia. Warisan
kesejarahan dari sejumlah kerajaan dan kesultanan di nusantara tentu menjadi sumber utama
tatanan nilai lokal yang dapat memberi sumbangan bagi penguatan karakter bangsa (nation
building) sekaligus mengantarkan Indonesia menjadi cermin bangsa-bangsa di dunia yang
mampu menyatu dalam kemajemukannya. Dimensi kemajemukan Indonesia inilah yang
mewujud dalam ajang Festival Keraton Nusantara (FKN) yang pada 2012 ini dipusatkan di
Kota Baubau; kota yang menjadi sentrum kegemilangan peradaban Buton – pusat Negeri
Khalifatul Khamis – kota pemilik benteng terluas di dunia yang terus disiapkan menjadi
ibukota calon Provinsi Buton Raya.
Ajang FKN VIII di Kota Baubau yang berlangsung pada 1 - 4 September telah usai. Para
kafilah peserta pun kini telah kembali ke daerahnya masing-masing dengan membawah
beragam kesan. Namun diluar semua itu, sebagai bangsa – kita akan terus memikul pekerjaan
rumah besar yakni bagaimana menjadikan kemajemukan (cermin kearifan budaya lokal) kita
sebagai kekuatan bangsa. Terhadap persoalan ini, pemberdayaan kearifan lokal sebagai pilar
kekuatan bangsa kiranya adalah jawabnya. Ikhtiar ini antara lain dapat dilakukan melalui
pendidikan yang berbasis karakter. Ke arah itu diperlukan penyesuaian atau reorientasi
kurikulum pendidikan nasional. Beberapa mata pelajaran yang berdimensi pembentukan
karakter bangsa seperti bahasa Indonesia, bahasa daerah, sejarah, PMP/PPKN, antropologi,
sosiologi idealnya memperoleh ruang yang cukup dalam jam pembelajaran. Juga dipandang
perlu penyertaan mata pelajaran akhlak dan budi pekerti. Konten dari deretan mata pelajaran
dimaksud adalah nilai-nilai kearifan lokal yang bersemai dalam kemajemukan budaya
Indonesia. Pemberdayaan intitusi adat (keraton dan semacamnya) juga tidak kalah
pentingnya. Eksistensi keraton atau institusi adat lainnya hendaknya memperoleh payung
regulasi dalam kedudukannya sebagai lembaga pemangku, pelestari dan pesemaian nilai-nilai
budaya. Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat juga mutlak mendapatkan perhatian.
Letupan-letupan konflik (baca: refleksi perlawanan terhadap negara) oleh masyarakat adat
dibeberapa daerah yang mengemuka akhir-akhir ini lebih di determinasi kian terdegradasinya
hak-hak komunal (adat) oleh pembangunan. Terhadap persoalan ini kita berharap, RUU
Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat secepatnya dibahas dan ditetapkan menjadi UU.
Kemajemukan Indonesia sebagaimana terefleksi melalui ajang FKN adalah sebuah
keniscaan. Kecerdasan yang disertai kearifan dalam mengelola kemajemukan itu adalah kunci
bagi kebertahanan dan keberlangsungan Indonesia sebagai sebuah nation state. Indonesia
yang kita cita-citakan adalah Indonesia yang satu, bulat dan utuh dalam kemajemukannya.
Khasanah kesejarahan Buton; salah satu nation state di nusantara yang dapat eksis ±7 abad
adalah sebuah referensi berharga bagi kita anak Indonesia yang hidup hari ini dan yang akan
datang kemudian. Dimensi kebertahanan ini mewujud karena Negeri Khalifatul Khamis itu
mampu mengelola kemajemukannya secara cerdas dan arif.