M e n g e n a l Ko n s e p M u d h a ra b a h
Allah menciptakan manusia makhluk yang berinteraksi sosial dan saling membutuhkan
satu sama lainnya. Ada yang memiliki kelebihan harta namun tidak memiliki waktu dan
keahlian dalam mengelola dan mengembangkannya, di sisi lain ada yang memiliki skill
kemampuan namun tidak memiliki modal. Dengan berkumpulnya dua jenis orang ini
diharapkan dapat saling melengkapi dan mempermudah pengembangan harta dan
kemampuan tersebut. Untuk itulah Islam memperbolehkan syarikat dalam usaha
diantaranya Al Mudharabah.
Pengertian Al Mudharabah
Syarikat Mudhaarabah memiliki dua istilah yaitu Al Mudharabah dan Al Qiradh sesuai
dengan penggunaannya di kalangan kaum muslimin. Penduduk Irak menggunakan
istilah Al Mudharabah untuk mengungkapkan transaksi syarikat ini. Disebut sebagai
mudharabah karena diambil dari kata dharb di muka bumi yang artinya melakukan
perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang, Allah berfirman:
وآخرون الله فضل من يبتغون األرض في يضربون وآخرون مرضى منكم سيكون أن علم
ر ما فاقرءوا الله سبيل في يقاتلون منه تيس“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-
orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang
yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu)
dari al-Qur’an.” (Qs. Al Muzammil: 20)
Ada juga yang mengatakan diambil dari kata: dharb (mengambil) keuntungan dengan
saham yang dimiliki.
Dalam istilah bahasa Hijaaz disebut juga sebagai qiraadh, karena diambil dari
katamuqaaradhah yang arinya penyamaan dan penyeimbangan. Seperti yang dikatakan
الشاعران تقارض“Dua orang penyair melakukan muqaaradhah,” yakni saling membandingkan syair-syair
mereka. Disini perbandingan antara usaha pengelola modal dan modal yang dimiliki
pihak pemodal, sehingga keduanya seimbang. Ada juga yang menyatakan bahwa kata
itu diambil dari qardh yakni memotong. Tikus itu melakukan qardh terhadap kain, yakni
menggigitnya hingga putus. Dalam kasus ini, pemilik modal memotong sebagian
hartanya untuk diserahkan kepada pengelola modal, dan dia juga akan memotong
keuntungan usahanya. [1]
Sedangkan dalam istilah para ulama Syarikat Mudhaarabah memiliki pengertian:
Pihak pemodal (Investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk
diperdagangkan. Dan berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan.[2] Dengan
kata lain Al Mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak dimana salah satu
pihak menyerahkan harta kepada yang lain agar diperdagangkan dengan pembagian
keuntungan diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan.3 Sehingga Al Mudharabah
adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (Shahib Al
Mal/Investor) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (Mudharib) dengan
suatu perjanjian pembagian keuntungan.[4] Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan
kontribusi 100% modal dari Shahib Al Mal dan keahlian dari Mudharib.
Hukum Al Mudharabah Dalam Islam
Para ulama sepakat bahwa sistem penanaman modal ini dibolehkan. Dasar hukum dari
sistem jual beli ini adalah ijma’ ulama yang membolehkannya. Seperti dinukilkan Ibnul
Mundzir[5], Ibnu Hazm[6] Ibnu Taimiyah[7] dan lainnya.
Ibnu Hazm menyatakan: “Semua bab dalam fiqih selalu memiliki dasar dalam Al Qur’an
dan Sunnah yang kita ketahui -Alhamdulillah- kecuali Al Qiraadh (Al Mudharabah (pen).
Kami tidak mendapati satu dasarpun untuknya dalam Al Qur’an dan Sunnah. Namun
dasarnya adalah ijma’ yang benar. Yang dapat kami pastikan bahwa hal ini ada
dizamanshallallahu’alaihi wa sallam, beliau ketahui dan setujui dan seandainya tidak
demikian maka tidak boleh.”[8]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengomentari pernyataan Ibnu Hazm di atas dengan
menyatakan: “Ada kritikan atas pernyataan beliau ini:
1. Bukan termasuk madzhab beliau membenarkan ijma’ tanpa diketahui sandarannya
dari Al Qur’an dan Sunnah dan ia sendiri mengakui bahwa ia tidak mendapatkan
dasar dalil Mudharabah dalam Al Qur’an dan Sunah.
2. Beliau tidak memandang bahwa tidak adanya yang menyelisihi adalah ijma’, padahal
ia tidak memiliki disini kecuali ketidak tahuan adanya yang menyelisihinya.
3. Beliau mengakui persetujuan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam setelah mengetahui
sistem muamalah ini. Taqrier (persetujuan) Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam termasuk satu jenis sunnah, sehingga (pengakuan beliau) tidak adanya dasar
dari sunnah menentang pernyataan beliau tentang taqrir ini.
4. Jual beli (perdagangan) dengan keridhaan kedua belah fihak yang ada dalam Al
Qur’an meliputi juga Al Qiradh dan Mudharabah
5. Madzhab beliau menyatakan harus ada nash dalam Al Qur’an dan Sunnah atas setiap
permasalahan, lalu bagaimana disini meniadakan dasar dalil Al Qiradh dalam Al
Qur’an dan Sunnah
6. Tidak ditemukannya dalil tidak menunjukkan ketidak adaannya
7. Atsar yang ada dalam hal ini dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak sampai
pada derajat pasti (Qath’i) dengan semua kandungannya, padahal penulis (Ibnu
Hazm) memastikan persetujuan Nabi dalam permasalahan ini.[9]
Demikian juga Syaikh Al Albani mengkritik pernyataan Ibnu Hazm diatas dengan
menyatakan: “Ada beberapa bantahan (atas pernyataan beliau), yang terpenting bahwa
asal dalam Muamalah adalah boleh kecuali ada nas (yang melarang) beda dengan
ibadah, pada asalnya dalam ibadah dilarang kecuali ada nas, sebagaimana dijelaskan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Al Qiradh dan Mudharabah jelas termasuk yang pertama.
Juga ada nash dalam Al Qur’an yang membolehkan perdagangan dengan keridhoan dan
ini jelas mencakup Al Qiraadh. Ini semua cukup sebagai dalil kebolehannya dan
dikuatkan dengan ijma’ yang beliau akui sendiri.”[10]
Dalam kesempatan lain Ibnu Taimiyah menyatakan: “Sebagian orang menjelaskan
beberapa permasalahan yang ada ijma’ padanya namun tidak memiliki dasar nas,
seperti Al Mudharabah, hal itu tidak demikian. Mudharabah sudah masyhur dikalangan
bangsa Arab dijahiliyah apalagi pada bangsa Quraisy, karena umumnya perniagaan jadi
pekerjaan mereka. Pemilik harta menyerahkan hartanya kepada pengelola (‘umaal).
Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam sendiri pernah berangkat membawa harta orang
lain sebelum kenabian sebagaimana telah berangkat dalam perniagaan harta Khadijah.
Juga kafilah dagang yang dipimpin Abu Sufyan kebanyakannya dengan
sistemmudharabah dengan Abu Sufyan dan selainnya. Ketika datang islam
Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam menyetujuinya dan para sahabatpun berangkat
dalam perniagaan harta orang lain secara Mudharabah dan beliau shallallahu’alaihi wa
sallamtidak melarangnya. Sunnah disini adalah perkataan, pebuatan dan persetujuan
beliau, ketiak beliau setujui maka mudharabah dibenarkan dengan sunnah.[11]
Juga hukum ini dikuatkan dengan adanya amalan sebagian sahabat
Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam diantaranya yang diriwayatkan dalam Al-
Muwattha’ [12] dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya bahwa ia menceritakan: Abdullah dan
Ubaidillah bin Umar bin Al-Khattab pernah keluar dalam satu pasukan ke negeri Iraaq.
Ketika mereka kembali, mereka lewat di hadapan Abu Musa Al-Asy’ari, yakni gubernur
Bashrah. Beliau menyambut mereka berdua dan menerima mereka sebagai tamu
dengan suka cita. Beliau berkata: “Kalau aku bisa melakukan sesuatu yang berguna buat
kalian, pasti akan kulakukan.” Kemudian beliau berkata: “Sepertinya aku bisa
melakukannya. Ini ada uang dari Allah yang akan kukirimkan kepada Amirul Mukminin.
Beliau meminjamkannya kepada kalian untuk kalian belikan sesuau di Iraaq ini,
kemudian kalian jugal di kota Al-Madinah. Kalian kembalikan modalnya kepada Amirul
Mukminin, dan keuntungannya kalian ambil.” Mereka berkata: “Kami suka itu.” Maka
beliau menyerahkan uang itu kepada mereka dan menulis surat untuk disampaikan
kepada Umar bin Al-Khattab agar Amirul Mukminin itu mengambil dari mereka uang
yang dia titipkan. Sesampainya di kota Al-Madinah, mereka menjual barang itu dan
mendapatkan keuntungan. Ketika mereka membayarkan uang itu kepada Umar. Umar
lantas bertanya: “Apakah setiap anggota pasukan diberi pinjaman oleh Abu Musa
seperti yang diberikan kepada kalian berdua?” Mereka menjawab: “Tidak.” Beliau
berkata: “Apakah karena kalian adalah anak-anak Amirul Mukminin sehingga ia
memberi kalian pinjaman?” Kembalikan uang itu beserta keuntungannya.” Adapun
Abdullah, hanya membungkam saja. Sementara Ubaidillah langsung angkat bicara:
“Tidak sepantasnya engkau berbuat demikian wahai Amirul Mukminin! Kalau uang ini
berkurang atau habis, pasti kami akan bertanggungjawab.” Umar tetap berkata:
“Berikan uang itu semaunya.” Abdullah tetap diam, sementara Ubaidillah tetap
membantah. Tiba-tiba salah seorang di antara penggawa Umar berkata: “Bagaimana
bila engkau menjadikannya sebagai investasi modal wahai Umar?” Umar menjawab:
“Ya. Aku jadikan itu sebagai investasi modal.” Umar segera mengambil modal beserta
setengah keuntungannya, sementara Abdullah dan Ubaidillah mengambil setengah
keuntungan sisanya.[13]
Kaum muslimin sudah terbiasa melakukan akad kerja sama semacam itu hingga jaman
kiwari ini di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini
merupakan konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan bangsa
Quraisy secara turun temurun dari jaman jahiliyah hingga zaman Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam, kemudian beliau mengetahui, melakukan dan tidak mengingkarinya.
Tentulah sangat bijak, bila pengembangan modal dan peningkatan nilainya merupakan
salah satu tujuan yang disyariatkan. Sementara modal itu hanya bisa dikembangkan
dengan dikelola dan diperniagakan. Sementara tidak setiap orang yang mempunyai
harta mampu berniaga, juga tidak setiap yang berkeahlian dagang mempunyai modal.
Maka masing-masing kelebihan itu dibutuhkan oleh pihak lain. Oleh sebab itu
Mudharabah ini disyariatkan oleh Allah demi kepentingan kedua belah pihak.
Hikmah Disyariatkannya Al Mudharabah
Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena
sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada
juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola
dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa
saling mengambil manfaat diantara mereka. Shohib Al Mal (investor) memanfaatkan
keahlianMudhorib (pengelola) dan Mudhorib (pengelola) memanfaatkan harta dan
dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah Ta’ala tidak
mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak
kerusakan.[14]
Jenis Al Mudharabah
Para ulama membagi Al Mudharabah menjadi dua jenis:
1. Al Mudharabah Al Muthlaqah (Mudharabah bebas). Pengertiannya adalah sistem
mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib Al Mal) menyerahkan modal
kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan
siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan
kepada Mudhorib(pengelola modal) melakukan apa saja yang dipandang dapat
mewujudkan kemaslahatan.
2. Al Mudharabah Al Muqayyadah (Mudharabah terbatas). Pengertiannya pemilik
modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis
usaha atau tempat atau waktu atau orang yang akan bertransaksi dengan Mudharib.
[15] Jenis kedua ini diperselisihkan para ulama keabsahan syaratnya, namun yang
rajih bahwa pembatasan tersebut berguna dan tidak sama sekali menyelisihi dalil
syar’i, itu hanya sekedar ijtihad dan dilakukan dengan kesepakatan dan keridhoan
kedua belah pihak sehingga wajib ditunaikan.[16]
Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai
permintaan investor.
Rukun Al Mudharabah
Al Mudharabah seperti usaha pengelolaan usaha lainnya memiliki tiga rukun:
1. Adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola
(mudharib).
2. Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan.
3. Pelafalan perjanjian.
Sedangkan imam Al Syarbini dalam Syarh Al Minhaaj menjelasakan bahwa
rukunMudharabah ada lima, yaitu Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan transaksi
dan dua pelaku transaksi.17 Ini semua ditinjau dari perinciannya dan semuanya tetap
kembali kepada tiga rukun di atas.
Rukun pertama: adanya dua atau lebih pelaku.
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Disyaratkan
pada rukun pertama ini keduanya memiliki kompetensi beraktifitas (Jaiz Al Tasharruf)
dalam pengertian mereka berdua baligh, berakal, Rasyid dan tidak dilarang beraktivitas
pada hartanya[18]. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya harus muslim atau
pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan melakukan perbuatan
riba atau perkara haram.[19] Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut,
sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya dengan
syarat harus terbukti adanya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari
pihak muslim sehingga terlepas dari praktek riba dan haram.[20]
Rukun kedua: objek Transaksi.
Objek transaksi dalam Mudharabah mencakup modal, jenis usaha dan keuntungan.
a. Modal
Dalam sistem Mudharabah ada empat syarat modal yang harus dipenuhi:
1. Modal harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya adalah
ijma’[21] atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang
rojih. [22]
2. Modal yang diserahkan harus jelas diketahui.[23]
3. Modal yang diserahkan harus tertentu.
4. Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola menerimanya
langsung dan dapat beraktivitas dengannya.[24]
Jadi dalam Mudharabah disyaratkan modal yang diserahkan harus diketahui dan
penyerahan jumlah modal kepada Mudharib (pengelola modal) harus berupa alat tukar
seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa
barang kecuali bila ditentukan nilai barang tersebut dengan nilai mata uang ketika akad
transaksi, sehingga nilai barang tersebut yang menjadi modal Mudharabah. Contohnya
seorang memiliki sebuah mobil toyota kijang lalu diserahkan
kepada Mudharib(pengelola modal), maka ketika akad kerja sama tersebut disepakati
wajib ditentukan harga mobil tersebut dengan mata uang, misalnya Rp 80 juta; maka
modal Mudharabah tersebut adalah Rp 80 juta.
Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat karena menentukan pembagian keuntungan.
Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa
jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya seiring berjalannya waktu, sehingga
memiliki konsekuensi ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan.
b. Jenis Usaha
Jenis usaha di sini disyaratkan beberapa syarat:
1. Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
2. Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya,
seperti ditentukan jenis yang sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang
permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya. [25]
Asal dari usaha dalam Mudharabah adalah di bidang perniagaan dan bidang yang terkait
dengannya yang tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi
perdagangan barang-barang haram seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya.
[26]
Pembatasan Waktu Penanaman Modal
Diperbolehkan membatasi waktu usaha dengan penanaman modal menurut pendapat
madzhab Hambaliyyah.[27] Dengan dasar dikiyaskan (dianalogikan) dengan sistem
sponsorship pada satu sisi, dan dengan berbagai kriteria lain yang dibolehkan, pada sisi
yang lainnya.[28]
c. Keuntungan
Setiap usaha dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, demikian juga Mudharabah.
Namun dalam Mudharabah disyaratkan pada keuntungan tersebut empat syarat:
1. Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu pemilik modal
(investor) dan pengelola modal. Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan
untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan: ‘Mudharabah dengan pembagian
1/3 keuntungan untukmu, 1/3 untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau orang lain,
maka tidak sah kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut,
sehingga menjadi qiraadh bersama dua orang.[29] Seandainya dikatakan: ’separuh
keuntungan untukku dan separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku
untuk istriku’, maka ini sah karena ini akad janji hadiyah kepada istri.[30]
2. Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja.
Seandainya dikatakan: ‘Saya bekerja sama Mudharabah denganmu dengan
keuntungan sepenuhnya untukmu’ maka ini dalam madzhab Syafi’i tidak sah.[31]
3. Keuntungan harus diketahui secara jelas.
4. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal
(investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan persentase
bersifat merata seperti setengah, sepertiga atau seperempat.[32] Apa bila ditentuan
nilainya, contohnya dikatakan kita bekerja sama Mudharabah dengan pembagian
keuntungan untukmu satu juta dan sisanya untukku’ maka akadnya tidak sah.
Demikian juga bila tidak jelas persentase-nya seperti sebagian untukmu dan
sebagian lainnya untukku.
Dalam pembagian keuntungan perlu sekali melihat hal-hal berikut:
1. Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya
ditanggung pemilik modal.[33] Ibnu Qudamah dalam Syarhul Kabir menyatakan:
“Keuntungan sesuai dengan kesepakatan berdua.” Lalu dijelaskan dengan
pernyataan: “Maksudnya dalam seluruh jenis syarikat dan hal itu tidak ada
perselisihannya dalam Al Mudharabah murni.” Ibnul Mundzir menyatakan: “Para
ulama bersepakat bahwa pengelola berhak memberikan syarat atas pemilik modal
1/3 keuntungan atau ½ atau sesuai kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui
dengan jelas dalam bentuk persentase.” [34]
2. Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungan. Apabila
keduanya tidak menentukan hal tersebut maka pengelola mendapatkan gaji yang
umum dan seluruh keuntungan milik pemilik modal (investor).[35] Ibnu Qudamah
menyatakan: “Diantara syarat sah Mudharabah adalah penentuan bagian (bagian)
pengelola modal karena ia berhak mendapatkan keuntungan dengan syarat
sehingga tidak ditetapkan kecuali dengannya. Seandainya dikatakan: Ambil harta ini
secara mudharabah dan tidak disebutkan (ketika akad) bagian pengelola sedikitpun
dari keuntungan, maka keuntungan seluruhnya untuk pemilik modal dan kerugian
ditanggung pemilik modal sedangkan pengelola modal mendapat gaji umumnya.
Inilah pendapat Al Tsauri, Al Syafi’i, Ishaaq, Abu Tsaur dan Ashhab Al Ra’i
(Hanafiyah).” [36] Beliaupun merajihkan pendapat ini.
3. Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum menyerahkan
kembali modal secara sempurna. Berarti tidak seorangpun berhak mengambil
bagian keuntungan sampai modal doserahkan kepada pemilik modal, apabila ada
kerugian dan keuntungan maka kerugian ditutupi dari keuntungan tersebut, baik
baik kerugian dan keuntungannya dalam satu kali atau kerugian dalam satu
perniagaan dan keuntungan dari perniagaan yang lainnya atau yang satu dalam satu
perjalanan niaga dan yang lainnya dalam perjalanan lain. Karena mkna keuntungan
adalah kelebihan dari modal dan yang tidak ada kelebihannya maka bukan
keuntungan. Kami tidak tahu ada perselisihan dalam hal ini.[37]
4. Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan kecuali apabila kedua
pihak saling ridha dan sepakat.[38] Ibnu Qudamah menyatakan: “Keuntungan jika
tampak dalam mudharabah, maka pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun
darinya tanpa izin pemilik modal. Kami tidak mengetahui dalam hal ini ada
perbedaan diantara para ulama.
Tidak dapat melakukannya karena tiga hal:
1. Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan tidak ada
kerugian yang dapat ditutupi dengan keuntungan tersebut.sehingga berakhir hal itu
tidak menjadi keuntungan
2. Pemilik modal adalah mitrra usaha pengelola sehingga ia tidak memiliki hak
membagi keuntungan tersebut untuk dirinya.
3. Kepemilikannya tas hal itu tidak tetap, karena mungkin sekali keluar dari tangannya
untuk menutupi kerugian.
Namun apabila pemilik modal mengizinkan untuk mengambil sebagiannya, maka
diperbolehkan; karena hak tersebut milik mereka berdua.”[39]
Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum dilakukan
perhitungan akhir terhadap usaha tersebut. Sesungguhnya hak kepemilikan masing-
masing pihak terhadap keuntungan yang dibagikan adalah hak yang labil dan tidak akan
bersikap permanen sebelum diberakhirkannya perjanjian dan disaring seluruh bentuk
usaha bersama yang ada. Adapun sebelum itu, keuntungan yang dibagikan itupun masih
bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi kerugian yang bisa saja terjadi
kemudian sebelum dilakukan perhitungan akhir.
Perhitungan akhir yang mempermanenkan hak kepemilikan keuntungan, aplikasinya
bisa dua macam:
Pertama: perhitungan akhir terhadap usaha. Yakni dengan cara itu pemilik modal bisa
menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua belah
pihak.
Kedua: Finish cleansing terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan cara penguangan
aset dan menghadirkannya lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif, di mana apabila
pemilik modal mau dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali,
berarti harus dilakukan perjanjian usaha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu.[40]
Rukun ketiga: Pelafalan Perjanjian (Shighoh Transaksi).
Shighah adalah ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi yang
menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri dari ijab qabul.
TransaksiMudharabah atau Syarikat dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan
yang menunjukkan maksudnya.[41]
Syarat Dalam Mudharabah [42]
Pengertian syarat dalam Al Mudharabah adalah syarat-syarat yang ditetapkan salah
satu pihak yang mengadakan kerjasama berkaitan dengan Mudharabah. Syarat dalam Al
Mudharabah ini ada dua:
1. Syarat yang shahih (dibenarkan) yaitu syarat yang tidak menyelisihi tuntutan akad
dan tidak pula maksudnya serta memiliki maslahat untuk akad tersebut. Contohnya
Pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola tidak membawa pergi harta tersebut
keluar negeri atau membawanya keluar negeri atau melakukan perniagaannya khusus
dinegeri tertentu atau jenis tertentu yang gampang didapatkan. Maka syarat-syarat ini
dibenarkan menurut kesepakatan para ulama dan wajib dipenuhi, karena ada
kemaslahatannya dan tidak menyelisihi tuntutan dan maksud akad perjanjian
mudharabah.
2. Syarat yang fasad (tidak benar). Syarat ini terbagi tiga:
Syarat yang meniadakan tuntutan konsekuensi akad, seperti mensyaratkan tidak
membeli sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau tidak menjual kecuali dengan
harga modal atau dibawah modalnya. Syarat ini disepakati ketidak benarannya,
karena menyelisihi tuntutan dan maksud akad kerja sama yaitu mencari
keuntungan.
Syarat yang bukan dari kemaslahatan dan tuntutan akah, seperti mensyaratkan
kepada pengelola untuk memberikan Mudharabah kepadanya dari harta yang
lainnya.
Syarat yang berakibat tidak jelasnya keuntungan seperti mensyaratkan kepada
pengelola bagian keuntungan yang tidak jelas atau mensyaratkan keuntungan satu
dari dua usaha yang dikelola, keuntungan usaha ini untuk pemilik modal dan yang
satunya untuk pengelola atau menentukan nilai satuan uang tertentu sebagai
keuntungan. Syarat ini disepakati kerusakannya karena mengakibatkan keuntungan
yang tidak jelas dari salah satu pihak atau malah tidak dapat keuntungan sama
sekali. Sehingga akadnya batal.
Berakhirnya Usaha Mudharabah
Mudharabah termasuk akad kerjasama yang diperbolehkan. Usaha ini berakhir dengan
pembatalan dari salah satu pihak. Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus
menerus dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan
transaksi kapan saja dia menghendaki. Transaksi Mudharabah ini juga bisa berakhir
dengan meninggalnya salah satu pihak transaktor, atau karena ia gila atau idiot.
Imam Ibnu Qudamah (wafat tahun 620 H) menyatakan: “Al Mudharabah termasuk jenis
akad yang diperbolehkan. Ia berakhir dengan pembatalan salah seorang dari kedua
belah pihak -siapa saja-, dengan kematian, gila atau dibatasi karena idiot; hal itu karena
ia beraktivitas pada harta orang lain dengan sezinnya, maka ia seperti wakieldan tidak
ada bedanya antara sebelum beraktivitas dan sesudahnya.[43] Sedangkan Imam Al
Nawawi menyatakan: Penghentian qiraadh boleh, karena ia diawalnya adalah
perwakilan dan setelah itu menjadi syarikat. Apabila terdapat keuntungan maka setiap
dari kedua belah pihak boleh memberhentikannya kapan suka dan tidak butuh
kehadiran dan keridoan mitranya. Apabila meninggal atau gila atau hilang akal maka
berakhir usaha terbut.” [44]
Imam Syafi’i menyatakan: “Kapan pemilik modal ingin mengambil modalnya sebelum
diusahakan dan sesudahnya dan kapan pengelola ingin keluar dari qiraadh maka ia
keluar darinya.” [45]
Apabila telah dihentikan dan harta (modal) utuh, namun tidak memiliki keuntungan
maka harta tersebut diambil pemilik modal. Apabila terdapat keuntungan maka
keduanya membagi keuntungan tersebut sesuai dengan kesepakatan. Apabila berhenti
dan harta berbentuk barang, lalu keduanya sepakat menjualnya atau membaginya maka
diperbolehkan, karena hak milik kedua belah pihak. Apabila pengelola minta
menjualnya sedang pemilik modal menolak dan tampak dalam usaha tersebut ada
keuntungan, maka penilik modal dipaksa menjualnya; karena hak pengelola ada pada
keuntungan dan tidak tampak decuali dengan dijual. Namun bila tidak tampak
keuntungannya maka pemilik modal tidak dipaksa.[46]
Tampak sekali dari sini keadilan syariat islam yang sangat memperhatikan keadaan dua
belah pihak yang bertransaksi mudharabah. Sehingga seharusnya kembali memotivasi
diri kita untuk belajar dan mengetahu tata aturan syariat dalam muamalah sehari-hari.
Demikianlah sebagian pembahasn tentang Mudharabah semoga yang sedikit ini
bermanfaat bagi kita semua…
Footnotes:
1. Lihat Al Mughni karya Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin Abdulmuhsin Al Turki,
cetakan kedua tahun 1412H, penerbit Hajr. (7/133), Al Syarh Al Mumti”Ala Zaad Al
Mustaqni’ karya Ibnu Utsaimin tahqiq Abu Bilal Jamaal Abdul ‘Aal, cetakan pertama
tahun 1423 H, penerbit Dar Ibnu Al Haitsam, Kairo, Mesir (4/266), Al Fiqhu Al
Muyassar -bag. Fiqih Muamalah- karya Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al
Thoyaar, Prop. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin
Ibrohim Alimusaa. Cetakan pertama tahun 1425H Hal. 185, Al Bunuk Al Islamiyah
Baina An Nadzoriyat Wa Tathbiq, karya Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al
Thoyaar, cetakan kedua tahun 1414 H, Muassasah Al Jurais, Riyaadh, KSA hal 122
2. Al Mughni op.cit 7/133
3. Al Bunuk Al Islamiyah Baina An Nadzoriyat Wa Tathbiq, op.cit hal 122
4. Al Fiqhu Al Muyassar op.cit. hal 185. Hal inipun diakui PKES (pusat Komunikasi
Ekonomi Syari’at) indonesia dalam buku saku perbankan Syari’at hal 37.
5. Al Mugnhi op.cit 7/133
6. Maratib Al Ijma’ karya Ibnu Hazm, tanpa tahun dan cetakan, penerbit Dar Al Kutub
Al Ilmiyah, Bairut. hal 91.
7. Majmu’ Fatawa 29/101
8. Maratib Al Ijma’ op.cit hal 91-92.
9. Naqdh Maratib Al Ijma’ karya Syeikh Islam yang dicetak sebagai foot note kitab
Maratib Al Ijma hal 91-92.
10. Irwa’ Al Gholil Fi Takhrij Ahaadits Manar Al Sabil karya Syeikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani, cetakan kedua tahun 1405 H. Al maktab Islami, Baerut.
5/294
11. Majmu’ Fatawa 19/195-196
12. Dalam kitab al-Qiraadh bab 1 halaman 687 dan dibawakan juga oelh Syeikhul Islam
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ fatawa 19/196
13. Dinilai Shohih Oleh Syeikh Al Albani dalam Irwa Al Gholil 5/290-291
14. Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal 123.
15. Al Fiqh Al Muyassar op.cit hal 186.
16. Demikianlah yang dirojihkan penulis kitab Al Fiqh Al Muyassar hal 187.
17. Lihat Takmilah AL Majmu’ Syarhu Al Muhadzab imam nawawi oleh Muhammad
Najieb Al Muthi’i yang digabung dengan kitab Majmu’ Syatrhul Muhadzab 15/148
18. Al Fiqh Al Muyassar op.cit hal169.
19. Lihat Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal 123.
20. Lihat kitab Maa La Yasa’u Al Taajir Jahlulu, karya prof. DR Abdullah Al Mushlih dan
prof. DR. Shalah Al Showi yang diterjemahkan dalam edisi bahasa Indonesia oleh
Abu Umar Basyir dengan judul Fiqh Ekonimi Keuangan Islam, penerbit Darul Haq,
Jakarta hal. 173.
21. Lihat Maratib Al Ijma’ hal 92 dan Takmilah AL Majmu’ op.cit 15/143
22. Pendapat inilah yang dirojihkan syeikh Ibnu Utsaimin dalam Al Syarhu Al Mumti’.
Op.cit. 4/258Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal. 123 dan Takmilah AL Majmu’ op.cit
15/144
23. Takmilah AL Majmu’ op.cit 15/145
24. ibid 15/146-147
25. lihat Fiqih Ekonomi Keuangan Islam op.cit hal 176
26. Al Mughni op.cit 7/177
27. fikih Ekonomi Keuangan Islam op.cit. 177
28. lihat juga Al Mughni op.cit 7/144
29. Takmilah Al Majmu’ op.cit 15/160
30. ibid 15/159
31. lihat Maratib Al Ijma’ op.cit hal 92, Al Syarhu Al Mumti’ op.cit 4/259 dan takmilah Al
Majmu’ op.cit 15/159-160
32. untuk masalah kerugian dalam Mudharabah silahkan lihat makalah Ustadz Abu
Ihsan dalam mabhas ini.
33. Al Mughni op.cit 7/138
34. Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal 123.
35. Al Mughni op.cit 7/140.
36. Ibid 7/165.
37. Al Bunuk Al Islamiyah op.cit 123.
38. Al Mughni op.cit 7/172
39. Fiqih Ekonomi Keuangan Islam op.cit hal 181-182.
40. Al Fiqh Al Muyassar op.cit hal 169.
41. Diambil dari catatan penulis dari pelajaran fiqih dari Syeikh prof. DR. Hamd Al
Hamaad ditahun keempat pada kuliah hadits di Universitas Islam Madinah tahun
1419H dan kitab Al Mughni op.cit 7/175-177
42. Al Mughni op.cit 7/172
43. Majmu’ Syarhu Almuhadzab op.cit 15/176.
44. Ibid 15/191.
45. Al Mughni op.cit 7/172