Aspek Hukum, Etika, dan Disiplin Kedokteran
dalam Hubungan Antar Dokter Pasien
1. Pendahuluan
Dokter dipandang sebagai seseorang dengan profesi dengan pengetahuannya sangat
diperlukan untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Kedudukan dan peran dokter dihormati,
tetapi tidak lagi disertai unsur pemujaan. Dokter dituntut suatu kecakapan ilmiah oleh karena
dokterlah yang diharapkan oleh masyarakat atau diberi kepercayaan dalam keyakinan mereka
untuk mencapai kebebasan atau pencegahan dari penyakit namun dewasa ini dokter sering
menemukan masalah dalam menentukan apakah perbuatan atau tindakan yang dilakukan itu
baik atau buruk, benar atau salah untuk pasien . Apabila seorang dokter melakukan sesuatu
yang dianggap salah oleh masyarakat, seringkali tindakan kita tersebut dikatakan tidak etis
atau tidak sesuai dengan etika. Di dalam dunia profesi, tentunya sangat dibutuhkan etika itu.
Di dalam dunia kedokteran kita mengenal istilah etika kedokteran. Saat ini tidak jarang
ditemui kasus-kasus antara dokter dan pasien, dimana pasien menuntut sang dokter. Situasi
tersebut bisa dikarenakan kesalahan seorang dokter maupun bukan kesalahan dokter. Tidak
jarang juga karena tindakan yang dilakukan seorang dokter sampai menyebabkan pasien
meninggal. Sebagai seorang dokter harus melakukan segala sesuatu dengan baik dan benar
sesuai ketentuan yang berlaku. Meskipun begitu sering kali sebagai seorang dokter lupa akan
apa yang harus dilakukan dan yang tidak harus dilakukan.
Oleh karena itu pentingnya komunikasi antara dokter dengan pasien dimana kita juga
mengenal adanya hubungan antar pasien dan dokter. Hubungan antara dokter dan pasien
adalah hubungan yang berdasarkan kepercayaan. Pasien harus merasa bebas dan aman
mengungkapkan segala keluhan baik fisik maupun mental bahkan rahasia pribadinya kepada
dokter. Pasien harus percaya bahwa dokter tidak akan menceritakan persoalan pribadinya
kepada orang lain. Pasien menganggap bahwa dokter yang lebih mengetahui tentang
penyakitnya dan pasrah saja akan apa yang akan dilakukan dokter terhadapnya.
2. Pembahasan
Istilah abortus yaitu menggugurkan kandungan yang berarti pengeluaran hasil konsepsi
(pertemuan sel telur dan sel sperma) sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. World
Health Organization (WHO) memberikan definisi bahwa aborsi adalah terhentinya kehidupan
buah kehamilan di bawah 28 minggu atau berat janin kurang dari 1000 gram. Secara garis
besar, Aborsi dapat kita bagi menjadi: abortus spontan adalah keadaan di mana gugurnya
kandungan seorang wanita yang dapat disebabkan karena adanya kelainan dari mudigah atau
fetus maupun adanya penyakit pada ibu. Diperkirakan antara 10-20% dari kehamilan akan
berakhir dengan abortus secara spontan, dan secara yuridis tidak membawa implikasi apa-
apa. Aborsi Spontan ini masih terdiri dari berbagai macam tahap yakni: a. abortus Imminens
yakni abortus tingkat permulaan, terjadi perdarahan per vaginam, sedangkan jalan lahir masih
tertutup dan hasil konsepsi masih baik di dalam rahim. Abortus imminens terjadinya pada
kehamilan sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya
dilatasi serviks. b. abortus Inkomplitus secara sederhana bisa disebut Aborsi tak lengkap,
artinya sudah terjadi pengeluaran hasil konsepsi tetapi tidak komplit. c. bortus Komplitus.
Disebut juga Aborsi lengkap, yakni pengeluaran seluruh hasil konsepsi dari rahim pada
kehamilan kurang dari 20 minggu. d. abortus Insipiens merupakan abortus yang sedang
mengancam yang ditandai dengan serviks yang telah mendatar, sedangkan hasil konsepsi
masih berada lengkap di dalam rahim. e. missed abortion, abortus yang ditandai dengan
embrio atau fetus telah meninggal dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil
konsepsi seluruhnya masih dalam kandungan. f. abortus habitualis yakni abortus yang terjadi
sebanyak tiga kali berturut turut atau lebih. Aborsi Provokatus (sengaja) masih terbagi dua
bagian kategori besar yakni : a. abortus provocatus medicinalis atau abortus theurapeticus
yaitu penghentian kehamilan dengan tujuan agar kesehatan si-ibu baik agar nyawanya dapat
diselamatkan. Abortus yang dilakukan atas dasar pengobatan (indikasi medis), biasanya baru
dikerjakan bila kehamilan mengganggu kesehatan atau membahayakan nyawa si ibu,
misalnya bila si ibu menderita kanker atau penyakit lain yang akan mendatangkan bahaya
maut bila kehamilan tidak dihentikan. Dengan adanya kemajuan di dalam dunia kedokteran,
khususnya kemajuan pengobatan maka kriteria penyakit yang membahayakan atau dapat
menyebabkan kematian si ibu akan selalu mengalami perubahan, hal mana tentunya akan
memberi pengaruh didalam penyidikan khususnya perundang-undangan pada umumnya,
demikian pula dengan definisi sehat menurut WHO dimana selain sehat dalam arti
jasmani/fisik juga termasuk sehat dalam arti kata rohani dan keadaan sosial-ekonomi dari si
ibu. Dengan demikian didalam menghadapi kasus semacam ini penyidik harus memahami
permasalahan, bila perlu penyidik meminta bantuan kepada organisasi proteksi yang
bersangkutan. b. abortus provocatus criminalis merupakan tindakan abortus yang tidak
mempunyai alasan medis yang dapat dipertanggungjawabkan atau tanpa mempunyai arti
medis yang bermakna. Jelas tindakan penguguran kandungan di sini semata-mata untuk
tujuan yang tidak baik dan melawan hukum. Tindakan abortus tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara medis, dan dilakukan hanya untuk kepentingan si-pelaku,
walaupun ada kepentingan juga dari si-ibu yang malu akan kehamilannya. Kejahatan jenis ini
sulit untuk melacaknya oleh karena kedua belah pihak menginginkan agar abortus dapat
terlaksana dengan baik (crime without victim, walaupun sebenarnya korbannya ada yaitu bayi
yang dikandung).1
Indikasi medis melakukan tindakan abortus yaitu abortus yang mengancam (threatened
abortion) disertai dengan perdarahan yang terus menerus, atau jika janin telah meninggal
(missed abortion), mola Hidatidosa atau hidramnion akut, kelainan bawaan (trisomi 13,18),
infeksi uterus akibat tindakan abortus kriminalis, penyakit keganasan pada saluran jalan lahir,
misalnya kanker serviks atau jika dengan adanya kehamilan akan menghalangi pengobatan
untuk penyakit keganasan lainnya pada tubuh seperti kanker payudara, prolaps uterus gravid
yang tidak bisa diatasi, telah berulang kali mengalami operasi caesar, penyakit-penyakit dari
ibu yang sedang mengandung, misalnya penyakit jantung organik dengan kegagalan jantung,
hipertensi, nephritis, tuberkulosis paru aktif, toksemia gravidarum yang berat, penyakit-
penyakit metabolik (misalnya diabetes yang tidak terkontrol yang disertai komplikasi
vaskuler, hipertiroid, dll), epilepsi, sklerosis yang luas dan berat, hiperemesis gravidarum
yang berat, dan chorea gravidarum, gangguan jiwa, disertai dengan kecenderungan untuk
bunuh diri. Pada kasus seperti ini sebelum melakukan tindakan abortus harus berkonsultasi
dengan psikiater. Ada 2 macam resiko kesehatan terhadap wanita yang melakukan aborsi:
resiko kesehatan dan keselamatan fisik pada saat melakukan aborsi dan setelah melakukan
aborsi ada beberapa resiko yang akan dihadapi seorang wanita, seperti yang dijelaskan dalam
buku “Facts of Life” yang ditulis oleh Brian Clowes, Phd yaitu: kematian mendadak karena
pendarahan hebat, kematian mendadak karena pembiusan yang gagal, kematian secara lambat
akibat infeksi serius disekitar kandungan, rahim yang sobek (Uterine Perforation), kerusakan
leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya,
kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita), kanker indung
telur (Ovarian Cancer), kanker leher rahim (Cervical Cancer), kanker hati (Liver
Cancer),kelainan pada placenta/ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat pada
anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya, menjadi mandul/tidak
mampu memiliki keturunan lagi (Ectopic Pregnancy)Infeksi rongga panggul (Pelvic
Inflammatory Disease), infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis). Resiko kesehatan mental
pada proses aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan
dan keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang sangat hebat
terhadap keadaan mental seorang wanita. Gejala ini dikenal dalam dunia psikologi
sebagai “Post-Abortion Syndrome” (Sindrom Paska-Aborsi) atau PAS, misalnya depresi,
frustasi, ingin bunuh diri dsb. Para wanita yang melakukan aborsi akan dipenuhi perasaan
bersalah yang tidak hilang selama bertahun-tahun dalam hidupnya.1
2.1 Hubungan dokter dan pasien
Hubungan hukum antara dokter dengan pasien ini berawal dari pola hubungan vertikal
paternalistik seperti antara bapak dengan anak yang bertolak dari prinsip “father knows best”
yang melahirkan hubungan yang bersifat paternalistik. Hubungan hukum timbul bila pasien
menghubungi dokter karena ia merasa ada sesuatu yang dirasakannya membahayakan
kesehatannya. Keadaan psikobiologisnya memberikan peringatan bahwa ia merasa sakit, dan
dalam hal ini dokterlah yang dianggapnya mampu menolongnya dan memberikan bantuan
pertolongan. Jadi, kedudukan dokter dianggap lebih tinggi oleh pasien dan peranannya lebih
penting daripada pasien.2 Dalam praktik sehari-hari, dapat dilihat berbagai hal yang
menyebabkan timbulnya hubungan antara pasien dengan dokter, hubungan itu terjadi
terutama karena beberapa sebab antara lain karena pasien sendiri yang mendatangi dokter
untuk meminta pertolongan mengobati sakit yang dideritanya. Dalam keadaan seperti ini
terjadi persetujuan kehendak antara kedua belah pihak, artinya para pihak sudah sepenuhnya
setuju untuk mengadakan hubungan hukum. Hubungan hukum ini bersumber pada
kepercayaan pasien terhadap dokter sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan
tindakan medis (informed consent), yaitu suatu persetujuan pasien untuk menerima upaya
medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hal ini dilakukan setelah ia mendapat informasi dari
dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, termasuk
memperoleh informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi. Di Indonesia, informed
consent dalam pelayanan kesehatan telah memperoleh pembenaran secara yuridis melalui
Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia No.585/Menkes/1989. Persoalan ini telah
diatur secara hukum, sehingga ada kekuatan bagi kedua belah pihak untuk melakukan
tindakan secara hukum.3,4
Hubungan antara dokter dengan pasien yang terjadi seperti ini merupakan salah satu cirri
transaksi terapeutik yang membedakannya dengan perjanjian biasa sebagaimana diatur dalam
KUHPerdata. Alasan lain yang menyebabkan timbulnya hubungan antara pasien dengan
dokter, adalah karena keadaan pasien yang sangat mendesak untuk segera mendapatkan
pertolongan dari dokter, misalnya karena terjadi kecelakaan lalu lintas, terjadi bencana alam,
maupun karena situasi lain yang menyebabkan keadaan pasien sudah gawat, sehingga sangat
sulit bagi dokter yang menangani untuk mengetahui dengan pasti kehendak pasien. Dalam
keadaan seperti ini, dokter langsung melakukan apa yang disebut dengan zaakwaarneming
sebagai mana diatur dalam pasal 1354 KUHPerdata, yaitu suatu bentuk hubungan hukum
yang timbul karena adanya “persetujuan tindakan medis” terlebih dahulu, melainkan karena
keadaan yang memaksa atau keadaan darurat. Dari hubungan pasien dengan dokter yang
demikian tadi, timbul persetujuan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam pasal 1601 KUHPerdata. Bagi seorang dokter hal ini berarti bahwa ia telah
bersedia untuk berusaha dengan segala kemampuannya memenuhi isi perjanjian itu, yakni
merawat atau menyembuhkan pasien. Sedangkan pasien berkewajiban untuk mematuhi
aturan-aturan yang ditentukan oleh dokter termasuk memberikan imbalan jasa. Hubungan
hukum kontraktual yang terjadi antara pasien dan dokter tidak dimulai dari saat pasien
memasuki tempat praktek dokter sebagaimana yang diduga banyak orang, tetapi justru sejak
dokter menyatakan kesediaannya yang dinyatakan secara lisan (oral statement) atau yang
tersirat (implied statement) dengan menunjukkan sikap atau tindakan yang menyimpulkan
kesediaan, seperti misalnya menerima pendaftaran, memberikan nomor urut, menyediakan
serta mencatat rekam medisnya dan sebagainya. Dengan kata lain hubungan terapeutik juga
memerlukan kesediaan dokter. Hal ini sesuai dengan asas konsensual dan berkontrak.3
Mengenai syarat sahnya transaksi terapeutik didasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa untuk syarat sahnya perjanjian diperlukan 4
(empat) syarat sebagai berikut: Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (toestemming van
degene die zich verbinden), secara yuridis, yang dimaksud adanya kesepakatan adalah tidak
adanya kekhilafan, atau paksaan, atau penipuan (Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata). Saat terjadinya perjanjian bila dikaitkan dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata merupakan saat terjadinya kesepakatan antara dokter dengan pasien yaitu
pada saat pasien menyatakan keluhannya dan ditanggapi oleh dokter. Di sini antara pasien
dengan dokter saling mengikatkan diri pada suatu perjanjian terapeutik yang obyeknya adalah
upaya penyembuhan. Bila kesembuhan adalah tujuan utama maka akan mempersulit dokter
karena tingkat keparahan penyakit maupun daya tahan tubuh terhadap obat setiap pasien
adalah tidak sama. Obat yang sama tidak pasti dapat hasil yang sama pada masing-masing
penderita.5 Kecakapan untuk membuat perikatan (bekwaamheid om eene verbintenis aan te
gaan), secara yuridis, yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan adalah
kemampuan seseorang untuk mengikatkan diri, karena tidak dilarang oleh undang-undang.
Hal ini didasarkan pasal 1329 dan 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut
pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa setiap orang adalah cakap untuk
membuat perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Kemudian, di
dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disebutkan orang-orang yang
dinyatakan tidak cakap yaitu orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah
pengampuan,orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada
umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang dibuat perjanjian
teretentu.5 Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp), kedua belah pihak harus mengetahui
secara pasti dan jelas apa yang diperjanjikan serta tujuan perjanjian itu. Dalam hubungan
dokter-pasien, objeknya adalah suatu usaha penyembuhan oleh dokter terhadap pasiennya ,
bukanlah sembuh atau tidaknya pasien.2-4 Suatu sebab yang halal (geoorloofde oorzaak),
suatu sebab yang halal yaitu suatu sebab yang diizinkan atau lazim, tidak bertentangan
dengan hukum, kesusilaan, ketertiban umum atau masyarakat. Pasal 1335 KUHPerdata
menyebutkan “suatu perjanjian tanpa sebab atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau
sebab yang tidak diizinkan, apabila dilarang oleh undang-undang, atau bertentangan dengan
kesusilaan atau ketertiban umum”.4
2.2 Informed consent
Informed Consent terdiri atas dua kata yaitu “informed” yang berarti telah mendapat
penjelasan atau keterangan (informasi), dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi
izin. Jadi “informed consent” mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan
setelah mendapat informasi. Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan sebagai
persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.5
Dalam memberikan pelayanan kesehatan, petugas medis harus terlebih dahulu
memberikan informed consent kepada pasien. Informed consent berasal dari hak legal dan
etis individu untuk memutuskan apa yang akan dilakukan terhadap tubuhnya, dan kewajiban
etik dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk meyakinkan individu yang bersangkutan
untuk membuat keputusan tentang pelayanan kesehatan terhadap diri mereka sendiri.bDalam
peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
pasal 22 ayat 1 disebutkan bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas
profesinya berkewajiban untuk diantaranya adalah kewajiban untuk menghormati hak pasien,
memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan, dan
kewajiban untuk meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan.1
Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada pengetahuan medis
pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga diberitahu mengenai tanggung jawab orang
lain yang berperan serta dalam pengobatan pasien.2 Pasien memiliki hak atas informasi
tentang kecurigaan dokter akan adanya penyakit tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang
telah dilakukan inkonklusif. Hak-hak pasien dalam pemberian inform consent adalah: 2 Hak
atas informasi (informasi yang diberikan meliputi diagnosis penyakit yang diderita, tindakan
medik apa yang hendak dilakukan, kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut
dan tindakan untuk mengatasinya, alternatif terapi lainnya, prognosanya, perkiraan biaya
pengobatan). Hak atas persetujuan (Consent merupakan suatu tindakan atau aksi beralasan yg
diberikan tanpa paksaan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan cukup tentang keputusan
yang ia berikan ,dimana orang tersebut secara hukum mampu memberikan consent.
Kriteria consent yang syah yaitu tertulis, ditandatangani oleh klien atau orang yang
betanggung jawab, hanya ada salah satu prosedur yang tepat dilakukan, memenuhi beberapa
elemen penting, penjelasan tentang kondisi, prosedur dan konsekuensinya). Dalam Pasal 45
UU No. 29 Tahun 2009 tentang Persetujuan Tindakan Medik dinyatakan bahwa dokter harus
menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien atau keluarga diminta atau tidak
diminta, jadi informasi harus disampaikan. Secara garis besar dalam melakukan tindakan
medis pada pasien, dokter harus menjelaskan beberapa hal, yaitu : diagnosis tentang tujuan
dan prospek keberhasilan tindakan medis yang ada dilakukan (purhate of medical procedure),
tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (consenpleated medical procedure),
tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, tentang alternatif tindakan medis lain
yang tersedia dan risiko-risikonya (alternative medical procedure and risk), dan tentang
prognosis penyakit, bila tindakan dilakukan. Sebaiknya, diberikan juga penjelasan yang
berkaitan dengan pembiayaan. Penjelasan seharusnya diberikan oleh dokter yang akan
melakukan tindakan medis itu sendiri, bukan oleh orang lain, misalnya perawat. Penjelasan
diberikan dengan bahasa dan kata-kata yang dapat dipahami oleh pasien sesuai dengan
tingkat pendidikan dan kematangannya, serta situasi emosionalnya. Dokter harus berusaha
mengecek apakah penjelasannya memang dipahami dan diterima pasien. Jika belum, dokter
harus mengulangi lagi uraiannya sampai pasien memahami benar. Dokter tidak boleh
berusaha mempengaruhi atau mengarahkan pasien untuk menerima dan menyetujui tindakan
medis yang sebenarnya diinginkan dokter.5
Pada hakikatnya Informed Consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan
pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada
kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah
cukup. Penandatanganan formulir Informed Consent secara tertulis hanya merupakan
pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya.Tujuan penjelasan yang lengkap
adalah agar pasien menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan pilihan dia sendiri
(informed decision). Karena itu, pasien juga berhak untuk menolak tindakan medis yang
dianjurkan. Pasien juga berhak untuk meminta pendapat dokter lain (second opinion), dan
dokter yang merawatnya. Yang berhak memberikan persetujuan atau menyatakan menolak
tindakan medis pada dasarnya, pasien sendiri jika ia dewasa dan sadar sepenuhnya. Namun,
menurut Penjelasan Pasal 45 UU Nomor 29 Tahun 2004 tersebut di atas, apabila pasien
sendiri berada di bawah pengampuan, persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat
diberikan oleh keluarga terdekat, antara lain suami/isteri, ayah/ibu kandung, anak-anak
kandung atau saudara-saudara kandung. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan
jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi
yang sudah memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan. Pasal 4
PerMenKes No.290 tahun 2008 tentang persetujuan tindakan : dalam keadaan gawat darurat,
untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan
tindakan kedokteran, Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat di dalam rekam
medik, Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien
setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat. Informed consent dapat diberikan secara
tertulis, secara lisan, atau secara isyarat. Dalam bahasa aslinya, yang terakhir ini dinamakan
implied consent. Untuk tindakan medis dengan risiko tinggi (misalnya pembedahan atau
tindakan invasive lainnya), persetujuan harus secara tertulis, ditandatangani oleh pasien
sendiri atau orang lain yang berhak dan sebaiknya juga saksi dari pihak keluarga. 6
Informed consent memiliki tujuan sebagai berikut perlindungan pasien untuk segala
tindakan medik. Perlakuan medik tidak diketahui atau disadari pasien atau keluarga, yang
seharusnya tidak dilakukan ataupun yang merugikan/membahayakan diri pasien dan
Perlindungan tenaga kesehatan terhadap terjadinya akibat yang tidak terduga serta dianggap
meragukan pihak lain. Tak selamanya tindakan dokter berhasil, tak terduga malah merugikan
pasien meskipun dengan sangat hati-hati, sesuai dengan SOP. Peristiwa tersebut bisa ”risk of
treatment” ataupun ”error judgement”. Bentuk-bentuk informed consent adalah sebagai
berikut6 Implied Constructive Consent (Keadaan Biasa) merupakan tindakan yang biasa
dilakukan, telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat umum, sehingga tidak perlu lagi
dibuat tertulis. Misalnya pengambilan darah untuk laboratorium, suntikan, atau hecting luka
terbuka. Implied Emergency Consent (Keadaan Gawat Darurat) apabila pasien dalam kondiri
gawat darurat sedangkan dokter perlu melakukan tindakan segera untuk menyelematkan
nyawa pasien sementara pasien dan keluarganya tidak bisa membuat persetujuan segera.
Seperti kasus sesak nafas, henti nafas, henti jantung. Expressed Consent (Bisa Lisan/Tertulis
Bersifat Khusus) ialah persetujuan yang dinyatakan baik lisan ataupun tertulis, bila yang akan
dilakukan melebihi prosedur pemeriksaan atau tindakan biasa. Misalnya pemeriksaan
vaginal, pencabutan kuku, tindakan pembedahan/operasi, ataupun pengobatan/tindakan
invasive. 5,6
Dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap merupakan hal yang paling penting
walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling utama adalah tindakan
menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun Informed consent tidak boleh
menjadi penghalang atau penghambat bagi pelaksanaan emergency care sebab dalam keadaan
kritis dimana dokter berpacu dengan maut, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk
menjelaskan sampai pasien benar-benar menyadari kondisi dan kebutuhannya serta
memberikan keputusannya. Dokter juga tidak mempunyai banyak waktu untuk menunggu
kedatangan keluarga pasien. Kalaupun keluarga pasien telah hadir dan kemudian tidak
menyetujui tindakan dokter, maka berdasarkan doctrine of necessity, dokter tetap harus
melakukan tindakan medik. Hal ini dijabarkan dalam PerMenKes Nomor
585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, bahwa dalam keadaan
emergency tidak diperlukan Informed consent. Ketiadaan informed consent dapat
menyebabkan tindakan malpraktek dokter, khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi
terhadap tubuh pasiennya. Hukum yang umum diberbagai Negara menyatakan bahwa akibat
dari ketiadaan informed consent setara dengan kelalaian/keteledoran. Akan tetapi, dalam
beberapa hal, ketiadaan informed consent tersebut setara dengan perbuatan kesengajaan,
sehingga derajat kesalahan dokter pelaku tindakan tersebut lebih tinggi. Tindakan malpraktek
dokter yang dianggap setara dengan kesengajaan adalah sebagai berikut : Pasien sebelumnya
menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter, tetapi dokter tetap melakukan tindakan
tersebut. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko dan akibat
dari tindakan medis yang diambilnya. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko
dan akibat dari tindakan medis yang diambilnya. Informed consent diberikan terhadap
prosedur medis yang berbeda secara substansial dengan yang dilakukan oleh dokter.5,7
2.3 Aspek Hukum
Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang
sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu. Aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan
dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma
hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika. Selama ini profesi
menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap
profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran
etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum. Kemungkinan terjadinya peningkatan
ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter atau rumah sakit atau tenaga kesehatan lainnya
dapat terjadi sebagai akibat dari semakin tinggi pendidikan rata-rata masyarakat sehingga
membuat mereka lebih tahu tentang haknya dan lebih asertif, semakin tingginya harapan
masyarakat kepada layanan kedokteran sebagai hasil dari luasnya arus informasi,
komersialisasi dan tingginya biaya layanan kedokteran dan kesehatan sehingga masyarakat
semakin tidak toleran terhadap layanan yang tidak sempurna, dan provokasi oleh ahli hukum
dan oleh tenaga kesehatan sendiri. Praktek kedokteran berpegang kepada prinsip-prinsip
moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan
dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau
tindakan medis dilihat dari segi moral. Akan tetapi banyak sekali kelalaian dalam standar
profesional yang berlaku umum atau sebuah proses dimana terjadi kesalahan dalam prosedur
dalam penanganan seorang pasien yang dilakukan dokter, kesalahan ini dapat berupa
kesalahan diagnosa, kesalahan pemberian terapi, maupun kesalahan dalam hal penanganan
pasien dokter, serta pelanggaran atas tugas yang menyebabkan seseorang menderita kerugian,
akan tetapi bukan hanya dirugikan secara materil, namun yang lebih utama adalah kerugian
pada kejiwaan dan mental pasien serta keluarganya. Hal ini dilakukan oleh seorang
profesional ataupun bawahannya, agen atas nama klien atau pasien yang menyebabkan
kerugian bagi klien atau pasien. Hal seperti ini kita sebut sebagai Malpraktik. Abortus buatan
legal hanya dilakukan sebagai suatu tindakan terapeutik yang keputusanya disetujui secara
tertulis oleh 2 orang dokter yang dipilih berkat kompetensi profesional mereka dan prosedur
operasionalnya dilakukan oleh seorang dokter yang kompeten diinstalasi yang diakui suatu
otoritas yang sah, dengan syarat tindakan tersebut disetujui oleh ibu hamil bersangkutan,
suami, atau keluarga (Deklarasi Oslo 1970). Aborsi yang ilegal atau tanpa indikasi medis adalah
salah satu contoh dari pelanggaran sumpah dan kode etik kedokteran di Indonesia. Hal ini
juga tertulis dalam lafal sumpah dokter yang berbunyi “Saya akan menghormati setiap hidup
insani mulai saat pembuahan”. Banyak negara yang tidak mengizinkan aborsi ilegal, seperti
Indonesia, karena aborsi ilegal adalah tindakan penghentian kehamilan sebelum janin dapat
hidup di luar kandungan (sebelum usia 20 minggu kehamilan), bukan semata untuk
menyelamatkan jiwa ibu hamil dalam keadaan darurat tapi juga bisa karena sang ibu tidak
menghendaki kehamilan itu. Saat ini aborsi masih merupakan masalah kontroversial di
masyarakat Indonesia. Namun terlepas dari kontorversi tersebut, aborsi diindikasikan
merupakan masalah kesehatan masyarakat karena memberikan dampak pada kesakitan dan
kematian ibu. Sebagaimana diketahui penyebab utama kematian ibu hamil dan melahirkan
adalah perdarahan, infeksi dan eklampsia.Adapun para penyebab dari kejadian aborsi ini
antara lain adalah: Faktor ekonomi, di mana dari pihak pasangan suami isteri yang sudah
tidak mau menambah anak lagi karena kesulitan biaya hidup, namun tidak memasang
kontrasepsi, atau dapat juga karena kontrasepsi yang gagal. Faktor penyakit herediter, di
mana ternyata pada ibu hamil yang sudah melakukan pemeriksaan kehamilan mendapatkan
kenyataan bahwa bayi yang dikandungnya cacat secara fisik. Faktor psikologis, di mana pada
para perempuan korban pemerkosaan yang hamil harus menanggung akibatnya. Dapat juga
menimpa para perempuan korban hasil hubungan saudara sedarah (incest), atau anak-anak
perempuan oleh ayah kandung, ayah tiri ataupun anggota keluarga dalam lingkup rumah
tangganya. Faktor usia, di mana para pasangan muda-mudi yang masih muda yang masih
belum dewasa & matang secara psikologis karena pihak perempuannya terlanjur hamil, harus
membangun suatu keluarga yang prematur. Faktor penyakit ibu, di mana dalam perjalanan
kehamilan ternyata berkembang menjadi pencetus, seperti penyakit pre-eklampsia atau
eklampsia yang mengancam nyawa ibu. Faktor lainnya, seperti para pekerja seks komersial,
‘perempuan simpanan’, pasangan yang belum menikah dengan kehidupan seks bebas atau
pasangan yang salah satu/keduanya sudah bersuami/beristri (perselingkuhan) yang terlanjur
hamil.7,8
Abortus buatan legal, yaitu abortus buatan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan
sebagaimana diatur dalam pasal 15 UU No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan, yakni harus
memenuhi hal sebagai berikut : 1. Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan
dengan alasan apapun, dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama,
norma kesusilaan dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk
menyelamatkan jiwa ibu atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis
tertentu. 2. a. Indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil
tindakan medis tertentu sebab tanpa tindakan medis tertentu itu,ibu hamil dan janinnya
terancam bahaya maut, b. Tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu
adalah tenaga yang memiliki keahlian dan wewenang untuk melakukannya yaitu seorang
dokter ahli kandungan seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan, c. Hak utama
untuk memberikan persetujuan ada ibu hamil yang bersangkutan kecuali dalam keadaan tidak
sadar atau tidak dapat memberikan persetujuannya ,dapat diminta dari semua atau
keluarganya, d. Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan
peralatan yang memadai untuk tindakan tersebut dan ditunjuk oleh pemerintah. 3. Dalam
Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanan dari pasal ini dijabarkan antara lain mengenal
keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya,tenaga kesehatan
mempunyai keahlian dan wewenang bentuk persetujuan, sarana kesehatan yang ditunjuk. Ada
3 aturan aborsi di Indonesia yang berlaku hingga saat ini yaitu : Undang-Undang RI No. 1
Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menjelaskan dengan
alasan apapun, aborsi adalah tindakan melanggar hukum. Sampai saat ini masih diterapkan.
Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang
kesehatan yang menuliskan dalam kondisi tertentu, bisa dilakukan tindakan medis tertentu
(aborsi).9
Ketentuan Hukumnya dalam KUHP Bab XIX Pasal 346 s/d 350 dinyatakan sebagai
berikut:2 Pasal 346 : “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun”. Pasal 347 : 1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun. 2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita
tersebut,diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Pasal 348 : 1. Barang
siapa dengan sengaja menggunakan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. 2. Jika
perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,diancam dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun. Pasal 349 : “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu
melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun membantu melakukan salah satu
kejahatan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat
ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam
mana kejahatan dilakukan”.8,9
2.4 Aspek Etika
Dokter sebagai tenaga professional bertanggung jawab dalam setiap tindakan medis yang
dilakukan terhadap pasaien. Dalam menjalankan tugas profesionalnya didasarkan pada niat
baik yaitu berupaya dengan sungguh-sungguh berdasarkan pengetahuannya yang dilandasi
dengan sumpah dokter, kode etik kedokteran dan standar profesinya untuk menyembuhkan
atau menolong pasien. Peraturan yang mengatur tanggung jawab etis dari seorang dokter
adalah Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Lafal Sumpah Dokter. Kode etik adalah
pedoman perilaku. Kode Etik Kedokteran Indonesia dikeluarkan dengan Surat Keputusan
Menteri Kesehatan no. 434 / Men.Kes/SK/X/1983. Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun
dengan mempertimbangkan International Code of Medical Ethics dengan landasan idiil
Pancasila dan landasan strukturil Undang-undang Dasar 1945. Kode Etik Kedokteran
Indonesia ini mengatur hubungan antar manusia yang mencakup kewajiban umum seorang
dokter, hubungan dokter dengan pasiennya, kewajiban dokter terhadap sejawatnya dan
kewajiban dokter terhadap diri sendiri. 54 pelanggaran terhadap butir-butir Kode Etik
Kedokteran Indonesia ada yang merupakan pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang
merupakan pelanggaran etik dan sekaligus pelanggaran hukum. Pelanggaran etik tidak selalu
berarti pelanggaran hukum, begitu juga sebaliknya. Pada kasus abortus provokatus kode etik
yang dilanggar berupa KODEKI Bab II butir 7d yang berbunyi “Seorang dokter harus
senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani”.7-9
Contoh pelanggaran etik murni antara lain menarik imbalan yang tidak wajar atau
menarik imbalan jasa dari keluarga sejawat dokter dan dokter gigi, mengambil alih pasien
tanpa persetujuan sejawatnya, memuji diri sendiri di depan pasien, tidak pernah mengikuti
pendidikan kedokteran yang berkesinambungan, dokter mengabaikan kesehatannya sendiri.
Contoh pelanggaran etikolegal adalah pelayanan dokter di bawah standar, menerbitkan surat
keterangan palsu, membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter, abortus provokatus.8,9
2.5 Aspek Disiplin Medis
Bentuk pelanggaran disiplin kedokteran yakni melakukan praktik kedokteran dengan
tidak kompeten, dalam menjalankan asuhan klinis kepada pasien, tenaga medik harus bekerja
dalam batas-batas kompetensinya, baik dalam penegakkan diagnosis maupun dalam
penatalaksanaan pasien. Tidak merujuk pasien kepada tenaga medik lain yang memiliki
kompetensi sesuai, dalam menangani penyakit atau kondisi pasien diluar kompetensinya
(karena keterbatasan pengetahuan, ketrampilan ataupun peralatan yang tersedia), maka dokter
atau dokter gigi wajib menawarkan kepada pasien untuk dirujuk atau dikonsultasikan kepada
dokter atau dokter gigi lain atau sarana pelayanan kesehatan lain yang lebih sesuai, upaya
perujukan tidak dilakukan pada keadaan-keadaan antara lain : a. sifat sakit pasien tidak
memungkinkan untuk dirujuk, b. keberadaan tenaga medik lain dan atau sarana kesehatan
yang lebih tepat sulit dijangkau, c. atas kehendak pasien. Mendelegasikan pekerjaan kepada
tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan
tersebut , a. dokter atau dokter gigi dapat mendelegasikan tindakan atau prosedur kedokteran
tertentu kepada tenaga kesehatan tertentu yang sesuai dengan ruang lingkup ketrampilan
mereka. b. dokter harus yakin bahwa tenaga kesehatan yang menerima pendelegasian
memiliki kompetensi untuk itu. c. dokter tetap bertanggung jawab atas penatalaksanaan
pasien tersebut. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti yang tidak memiliki
kompetensi dan kewenangan yang sesuai atau tidak memberitahukan penggantian tersebut; a.
bila dokter berhalangan menjalankan praktik kedokteran, maka dapat menyediakan dokter
atau dokter gigi pengganti yang memiliki kompetensi sama dan memiliki SIP. b. dalam
kondisi keterbatasan tenaga dokter/dokter gigi dalam bidang tertentu sehingga tidak
memungkinkan tersedianya dokter/dokter gigi pengganti yang memiliki kompetensi yang
sama, maka dapat disediakan dokter/dokter gigi pengganti lainnya. c. SIP dokter atau dokter
gigi pengganti tidak harus SIP di tempat yang harus digantikan. d. ketidakhadiran dokter
bersangkutan dan kehadiran dokter atau dokter gigi pengganti pada saat dokter berhalangan
praktik, harus diinformasikan kepada pasien. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi
tingkat kesehatan fisik ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat
membahayakan pasien; a. Dalam melaksanakan praktik, tenaga medik yang mengalami
gangguan kesehatan fisik atau mental tertentu dapat dinyatakan tidak kompeten (unfit to
practice) karena dapat membahayakan pasien. b. dokter bersangkutan baru dapat dibenarkan
untuk kembali melakukan praktik kedokteran/kedokteran gigi bilamana kesehatan fisik
maupun mentalnya telah pulih untuk praktik (fit to practice). c. pernyatakan layak atau tidak
layak untuk melaksanakan praktik kedokteran dilakukan oleh “komite kesehatan” yang
dibentuk KKI. (diskusi dan usulan utk KKI). Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang
seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan
tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat
membahayakan pasien, dokter atau dokter gigi wajib melakukan penatalaksanaan pasien
dengan teliti, tepat, hati-hati, etis dan penuh kepedulian dalam hal-hal sebagai berikut: a.
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan mental, bilamana perlu pemeriksaan penunjang diagnostik.
b. Penilaian riwayat penyakit, gejala dan tanda-tanda pada kondisi pasien. c. Tindakan dan
pengobatan secara professional. c. indakan yang tepat dan cepat terhadap keadaan yang
memerlukan intervensi kedokteran. d. kesiapan untuk berkonsultasi pada sejawat yang sesuai,
bilamana diperlukan Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai
dengan kebutuhan pasien : a. dokter atau dokter gigi melakukan pemeriksaan atau pemberian
terapi, ditujukan hanya untuk kebutuhan medik pasien. b. pemeriksaan atau pemberian terapi
yang berlebihan, dapat membebani pasien dari segi biaya maupun kenyamanan dan bahkan
dapat menimbulkan bahaya bagi pasien. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan
memadai (adequate information) kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik
kedokteran : a. pasien mempunyai hak atas informasi tentang kesehatannya (the right to
information), dan oleh karenanya, dokter wajib memberikan informasi dengan bahasa yang
dipahami oleh pasien atau penterjemahnya, kecuali bila informasi tersebut dapat
membahayakan kesehatan pasien. b. informasi yang berkaitan dengan tindakan medik yang
akan dilakukan meliputi: diagnosis medik, tata cara tindakan medik, tujuan tindakan medik,
alternatif tindakan medik lain, risiko tindakan medik, komplikasi yang mungkin terjadi serta
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. c. pasien juga berhak memperoleh informasi
tentang biaya pelayanan kesehatan yang akan dijalaninya. d. keluarga pasien berhak
memperoleh informasi tentang sebab-sebab terjadinya kematian pasien, kecuali atas
kehendak pasien. Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau
keluarga dekat atau wali atau pengampunya. a. setelah menerima informasi yang cukup dari
dokter dan memahami maknanya (well informed) sehingga pasien dapat mengambil
keputusan bagi dirinya sendiri (the right to self determination) untuk menyetujui (consent)
atau menolak (refuse) tindakan medik yang akan dilakukan dokter kepadanya. b. setiap
tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien, mensyaratkan persetujuan (otorisasi)
dari pasien yang bersangkutan. Dalam kondisi dimana pasien tidak dapat memberikan
persetujuan secara pribadi (dibawah umur atau keadaan fisik/mental tidak memungkinkan),
maka persetujuan dapat diberikan oleh keluarga terdekat (suami/istri, bapak/ibu, anak atau
saudara kandung) atau wali atau pengampunya (proxy). c. persetujuan tindakan medik
(informed consent) dapat dinyatakan secara tertulis atau lisan, termasuk dengan
menggunakan bahasa tubuh. Setiap tindakan medik yang mempunyai risiko tinggi
mensyaratkan persetujuan tertulis. d. dalam kondisi dimana pasien tidak memberikan
persetujuan dan tidak memiliki pendamping, maka dengan tujuan untuk penyelamatan atau
mencegah kecacatan pasien yang berada dalam keadaan darurat, tindakan medik dapat
dilakukan tanpa persetujuan pasien. e. dalam hal tindakan medik yang menyangkut kesehatan
reproduksi persetujuan harus dari pihak suami/istri. F. dalam hal tindakan medik yang
menyangkut kepentingan publik (antara lain imunisasi massal, wabah dan lain-lain) tidak
diperlukan persetujuan medis. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi : a. dalam
melaksanakan praktik kedokteran, tenaga medik wajib membuat rekam medik secara benar
dan lengkap serta menyimpan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b.
dalam hal dokter berpraktik di sarana pelayanan kesehatan, maka penyimpanan rekam medik
merupakan tanggung jawab sarana pelayanan kesehatan yang bersangkutan. Melakukan
perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan etika profesi : a. penghentian
(terminasi) kehamilan hanya dapat dilakukan atas indikasi medik yang mengharuskan
tindakan tersebut. b. penentuan tindakan penghentian kehamilan pada pasien tertentu yang
mengorbankan nyawa janinnya, dilakukan oleh setidaknya dua orang dokter. Melakukan
perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri dan atau
keluarganya, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan etika profesi: a.
setiap dokter tidak dibenarkan melakukan perbuatan yang bertujuan mengakhiri kehidupan
manusia, karena selain bertentangan dengan sumpah kedokteran dan atau etika kedokteran
dan atau tujuan profesi kedokteran, juga bertentangan dengan aturan hukum pidana. b. pada
kondisi sakit mencapai keadaan terminal, dimana upaya kedokteran kepada pasien
merupakan kesia-siaan (futile) menurut state of the art (SOTA) ilmu kedokteran, maka
dengan persetujuan pasien dan atau keluarga dekatnya, dokter dapat menghentikan
pengobatan, akan tetapi tetap memberikan perawatan (ordinary care). Dalam keadaan
tersebut, dokter dianjurkan untuk berkonsultasi dengan sejawatnya atau komite etik rumah
sakit bersangkutan. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan atau
ketrampilan atau teknologi yang belum diterima atau diluar tatacara praktik kedokteran yang
layak: a. dalam rangka menjaga keselamatan pasien, setiap dokter dan dokter gigi wajib
menggunakan pengetahuan, ketrampilan dan tata cara praktik kedokteran yang telah diterima
oleh profesi kedokteran. b . setiap pengetahuan, ketrampilan dan tata cara baru harus melalui
penelitian / uji klinik tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan manusia sebagai subjek penelitian
tanpa persetujuan etik ( ethical clearance) , dalam praktik kedokteran dimungkinkan untuk
menggunakan pasien atau klien sebagai subjek penelitian asal mendapat ethical clearance dari
komisi etik penelitian. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,
padahal tidak membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan
mampu melakukannya: a. menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan adalah
kewajiban yang mendasar bagi setiap manusia, khususnya bagi dokter atau dokter gigi di
sarana pelayanan kesehatan. b. kewajiban tersebut dapat diabaikan apabila membahayakan
dirinya atau apabila telah ada individu lain yang mau dan mampu melakukannya atau karena
ada ketentuan lain yang telah diatur oleh sarana pelayanan kesehatan tertentu. Menolak atau
menghentikan tindakan pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi: a. tugas
profesional medik adalah melakukan pelayanan kesehatan terhadap pasien secara tuntas. b.
beberapa alasan yang dibenarkan bagi dokter untuk menolak atau mengakhiri pelayanan
kepada pasiennya (memutuskan hubungan dokter pasien) : pasien melakukan intimidasi
terhadap dokter/dokter gigi, pasien melakukan kekerasan terhadap dokter/dokter gigi dan
pasien berperilaku merusak hubungan saling percaya tanpa alasan.Dalam hal diatas dokter
wajib memberitahukan secara lisan atau tertulis kepada pasiennya dan menjamin
kelangsungan pengobatan pasien dengan cara merujuk dan menyertakan keterangan
medisnya. c dokter tidak boleh melakukan penolakan atau memutuskan hubungan dokter
pasien terapeutik semata-mata karena keluhan pasien (complaint), alasan finansial, suku, ras,
jender, politik, agama dan kepercayaan. Membuka rahasia kedokteran sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi: a. dokter atau dokter gigi wajib
menjaga rahasia pasiennya. Bila dipandang perlu untuk menyampaikan informasi tanpa
persetujuan pasien atau keluarga, maka dokter tersebut harus mempunyai alasan pembenaran.
b. alasan pembenaran yang dimaksud adalah: permintaan Majelis Pemeriksa MKDKI,
permintaan Majelis Hakim Sidang Pengadilan; dan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan . Membuat keterangan medis yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang
diketahuinya secara benar dan patut : a. profesional medik harus jujur dan dapat dipercaya
dalam memberikan keterangan medik baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. b. tenaga
medik tidak dibenarkan membuat atau memberikan keterangan palsu. c. dalam hal membuat
keterangan medik berbentuk tulisan (hardcopy), dokter wajib membaca secara teliti setiap
dokumen yang akan ditanda tangani, agar tidak terjadi kesalahan penjelasan yang dapat
menyesatkan. Turut serta di dalam perbuatan yang termasuk ke dalam tindakan penyiksaan
( torture ) atau eksekusi hukuman mati , prinsip tugas mulia seorang profesional medik adalah
memelihara kesehatan fisik, mental dan sosial penerima jasa pelayanan kesehatan. Oleh
karenanya, seorang profesional medik tidak dibenarkan turut serta dalam pelaksanaan
tindakan yang bertentangan dengan tugas tersebut termasuk tindakan penyiksaan atau
pelaksanaan hukuman mati. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dan etika profesi, dokter dibenarkan memberikan obat golongan narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya sepanjang sesuai dengan indikasi medis dan peraturan
perundang-undangan. Melakukan pelecehan seksual atau tindakan intimidasi atau tindakan
kekerasan terhadap pasien; penjelasan: Seorang profesional medik tidak boleh menggunakan
hubungan personal (seperti hubungan seks atau emosional) yang merusak hubungan dokter –
pasien. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya, dalam
melaksanakan hubungan dokter-pasien, seorang dokter/dokter gigi hanya dibenarkan
menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi sesuai dengan kemampuan, kewenangan
dan ketentuan perundang-undangan. Penggunaan gelar dan sebutan lain yang tidak sesuai,
dinilai dapat menyesatkan masyarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan. Menerima
imbalan sebagai hasil dari rujukan atau permintaan pemeriksaan atau pemberian resep obat/
alat kesehatan, dalam melakukan rujukan (pasien, laboratorium, teknologi) kepada dokter
lain/ sarana penunjang lain, atau pembuatan resep/ pemberian obat, seorang dokter/dokter
gigi hanya dibenarkan bekerja untuk kepentingan pasien. Oleh karenanya, dokter tidak
dibenarkan meminta atau menerima imbalan jasa diluar ketentuan etika profesi yang dapat
mempengaruhi indepedensi dokter (kick-back atau fee-splitting). Mengiklankan
kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/ pelayanan yang dimiliki, baik lisan
ataupun tulisan, yang bertentangan dengan etika profesi, masyarakat sebagai pengguna jasa
pelayanan medik, membutuhkan informasi tentang kemampuan/pelayanan seorang
dokter/dokter gigi untuk kepentingan pengobatan dan rujukan. Oleh karenanya, profesional
medik hanya dibenarkan memberikan informasi yang memenuhi ketentuan umum yakni: sah,
patut, jujur, akurat dan dapat dipercaya. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika,
alkohol serta zat adiktif lainnya, penggunaan narkotika, psikotropika, alkohol serta zat
adiktif lainnya (NAPZA) dapat menurunkan kemampuan seorang dokter/dokter gigi
sehingga berpotensi membahayakan pengguna pelayanan medik. Berpraktik dengan
menggunakan STR atau SIP dan/atau sertifikat kompetensi yang tidak sah, seorang
dokter/dokter gigi yang diduga memiliki STR dan atau SIP dengan menggunakan
persyaratan yang tidak sah dapat diajukan ke MKDKI. Apabila terbukti pelanggaran tersebut
maka STR akan dicabut oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Ketidak jujuran dalam
bertransaksi dengan pasien dalam memberikan pelayanan medik , dokter/dokter gigi harus
jujur meminta imbalan jasa sesuai dengan tindakan yang dilakukan. Dikenai hukuman pidana
yang telah berkekuatan tetap atas perbuatan pidana yang berkaitan dengan
keluhuran/martabat profesi kedokteran atau disiplin profesi atau etika profesi, MKDKI dapat
memperoleh informasi dari instansi resmi maupun dari media massa. Berdasarkan hal
tersebut KKI secara aktif meminta amar keputusan. Sanksi disiplin yang dapat dikenakan
oleh MKDKI berdasarkan Undang- undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
pada Pasal 69 ayat (3) adalah : a. pemberian peringatan tertulis, b. rekomendasi pencabutan
Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik; dan/atau c. kewajiban mengikuti pendidikan
atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi. Rekomendasi
pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik yang dimaksud dapat berupa
Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik sementara selama-
lamanya 1 (satu) tahun, atau Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin
Praktik tetap atau selamannya;Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi yang dimaksud dapat berupa: a) pendidikan
formal, b) pelatihan dalam pengetahuan dan atau ketrampilan, magang di institusi pendidikan
atau sarana pelayanan kesehatan jejaringnya atau sarana pelayanan kesehatan yang ditunjuk,
sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun.2,3,6,9
Kesimpulan
Daftar Pustaka
1. Asmarawati T. Hukum dan abortus. Yogyakarta: Penerbit Deepulish; 2013.h.12-35
2. Hanafiah JM. Etika kedokteran dan hukum kesehatan edisi 4.Jakarta: EGC; 2009.h.1-6,
25-30, 160-9.
3. Chang, William. Bioetika sebuah pengantar. Yogyakarta : Penerbit Kanisius; 2009.h. 13-
9.
4. Haryani S. Sengketa medik: alternatif penyelesaian antara dokter dengan pasien. Jakarta:
Penerbit Diadit Media; 2005.h.10-25.
5. Gunawandi J. Persetujuan tindakan medis (informed consent) pasien, dokter, dan hukum.
Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.h.2-10, 24-30, 72-
9,135-7.
6. Samil RS. Etika kedokteran Indonesia. Jakarta: Penerbit Yayasan Bina Pustaka; 2005.h.
45-57.
7. Jacobalis,Samsi. Perkembangan ilmu kedokteran, etika medis, dan Bioetika. Jakarta :
Sagung Seto, 2005. Hal 228, 238-40
8. Prodjodikoro W.T. tindak-tindak pidana tertentu di Indonesia. Bandung: Penerbit Refika
Aditama; 2008.h.21-9.
9. Bertens K. Dokumen Etika dan Hukum Kedokteran. Jakarta: Universitas Atmajaya;
2007.h.351-64
Recommended