Download docx - LAPORAN KASUS-UVEITIS

Transcript
Page 1: LAPORAN KASUS-UVEITIS

BAB I

PENDAHULUAN

Uveitis merupakan peradangan pada daerah uvea, dimana jaringan uvea

ini terdiri atas iris, badan siliar dan koroid. Secara anatomis, uveitis dibagi

menjadi empat yaitu uveitis anterior, uveitis intermediet, uveitis posterior dan

panuveitis.

Uveitis anterior adalah peradangan yang mengenai iris (iritis) dan

jaringan badan siliar (iridosiklitis) biasanya bersifat unilateral dengan onset akut.

Uveitis merupakan penyebab 10-15% kebutaan di negara berkembang.

Di dunia diperkirakan terdapat 15 kasus baru uveitis per 100.000 populasi per

tahun, atau 38.000 kasus baru per tahun dengan perbandingan yang sama antara

laki-laki dan perempuan. Sekitar 50% pasien dengan uveitis menderita penyakit

sistemik terkait. Pada beberapa Negara seperti Amerika Serikat, Israel, India,

Belanda dan Inggris insiden uveitis banyak terjadi pada usia 20-50 tahun dengan

puncaknya adalah decade ke tiga. Setelah usia 70 tahun, angka kejadian uveitis

mulai berkurang.

Penyebab uveitis anterior diantaranya yaitu: idiopatik (idiopatik

iridosiklitis), penyakit yang berhubungan dengan vaskulitis/arthritis (HLA-B27

iridosiklitis, juvenile rheumatoid arthitis, ankylosing spondilitis, reiter syndrome,

inflammatory bowel disease), penyakit infeksi (Herpes simpleks keratouveitis,

Herpes zoster keratouveitis), penyakit neoplasma (leukemia/lymphoma) dan

1

Page 2: LAPORAN KASUS-UVEITIS

penyebab lain (Fuchs heterochromic iridocyclitis, traumatic iridocyclitis,

glaucomatocyclitis crisis).

Klasifikasi uveitis anterior dibagi menjadi uveitis non-granulomatosa

dan granulomatosa. Nongranulomatosa akut disertai rasa nyeri, fotofobia,

penglihatan buram, keratik presipitat kecil dan pupil mengecil. Sedangkan

granulomatosa akut tidak nyeri, fotofobia ringan, buram, keratik presipitat besar

(mutton fat), benjolan Koeppe atau benjolan Busacca.

Uveitis terjadi akut berupa mata merah, sakit/sakit ringan dan

penglihatan turun perlahan-lahan. Keluhan pasien adalah mata sakit, merah,

fotofobia, penglihatan turun ringan, mata berair dan kadang-kadang disertai

keluhan sulit melihat dekat.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pupil mengecil, fler, bisa disertai

hipopion, terdapat sinekia posterior, tekanan bola mata dapat menurun atau

meningkat. Pemeriksaan penunjang lain untuk mengetahui penyebab uveitis dapat

dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis.

Pengobatan dini diperlukan untuk mencegah kebutaan. Tujuan dari

pengobatan uveitis anterior adalah memperbaiki visual acuity, meredakan nyeri

pada ocular, menghilangkan inflamasi ocular atau mengetahui asal dari

peradangannya, mencegah terjadinya sinekia, dan mengatur tekanan intraocular.

Pengobatan uveitis anterior pada umumnya menggunakan kortikosteroid topical

dan cycloplegics agent. Adakalanya steroid atau nonsteroidal anti inflammatory

(NSAIDs) oral dipergunakan. Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada uveitis

anterior adalah terjadinya glaucoma sekunder.

2

Page 3: LAPORAN KASUS-UVEITIS

BAB II

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

Nama : Nn PMB

Umur : 17 tahun

Jenis kelamin : perempuan

Alamat : Pasir Panjang

Pendidikan : SLTA

Pekerjaan : Mahasiswa

Status perkawinan : belum menikah

Bangsa/suku : Indonesia/ Belu

No MR : 0-34-97-32

Tanggal diperiksa : 11 Juni 2013

Keluhan Utama

Mata kiri merah dan kabur sejak kurang lebih 4 hari sebelum masuk Rumah Sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poliklinik mata RSUD Prof DR W Z Johannes Kupang dengan

keluhan penglihatan tiba-tiba kabur pada mata kiri pasien sejak ± 4 hari SMRS.

Awalnya mata kiri pasien merah ± 4 hari lalu. Kemudian diikuti dengan

penglihatan kabur. Pasien juga mengeluh pandangan menjadi silau saat terpapar

3

Page 4: LAPORAN KASUS-UVEITIS

sinar dan sering berair. Lalu pasien memakai obat tetes mata (INSTO), merah

pada mata kiri pasien berkurang, tetapi penglihatan tetap kabur. Nyeri (-), gatal

(-), sakit kepala (-), mual (-), muntah (-), demam (-).

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mempunyai keluhan/sakit seperti ini sebelumnya.

Riwayat trauma pada mata (-)

Riwayat alergi (-)

Riwayat penyakit paru (-)

Riwayat penyakit persendian (-)

Riwayat penyakit THT (-)

Riwayat sakit gigi (-)

Riwayat operasi mata (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga dengan riwayat penyakit yang sama dengan pasien.

Riwayat Pengobatan

Selama sakit, pasien memakai obat tetes mata (INSTO) yang dibeli sendiri oleh

pasien. Setelah obat ini dipakai, keluhan mata merah berkurang, namun keluhan

penglihatan kabur tetap ada.

Riwayat Kebiasaan

Pasien sering menggosok mata (-), kemasukan benda asing (-).

4

Page 5: LAPORAN KASUS-UVEITIS

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

Tanda-tanda vital

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 74 x/menit

Frekuensi pernapasan : 20 x/menit

Suhu : 36,90C

Status lokalis

Kepala : tidak ada kelainan

Telinga : tidak ada kelainan

Mulut : tidak ada kelainan

Leher : tidak ada kelainan

Paru-paru : dalam batas normal

Jantung : dalam batas normal

Ekstremitas : tidak ada kelainan

Status Oftalmologis

OD OS

Palpebra Edema (-), hiperemi (-), benjolan (-), ptosis (-), entropion (-), ektropion (-),pseudoptosis (-), trikiasis (-), xantelasma (-)

Edema (-), hiperemi (-), benjolan (-), ptosis (-), entropion (-), ektropion (-),pseudoptosis (-), trikiasis (-), xantelasma (-)

Konjungtiva Perdarahan (-), injeksi konjungtiva (-), injeksi siliar (-), secret (-), jaringan fibrovaskuler (+)

Perdarahan (-), injeksi konjungtiva (+), injeksi siliar (+), secret (-), jaringan fibrovaskuler (+)

5

Page 6: LAPORAN KASUS-UVEITIS

Kornea Jernih, abrasi (-), sikatrik (-), keratik presipitat (-), infiltrate (-), ulkus (-), arkus senilis (-), pericorneal vascular injeksi (-)

Keruh (+), abrasi (-), sikatrik (-), keratik presipitat (+), infiltrate (+), ulkus (-), arkus senilis (-), pericorneal vascular injeksi (+)

Chamber Okuli Anterior

Kedalaman  (N), hifema (-), hipopion (-), flare (-)

Kedalaman  (N), hifema (-), hipopion (-), flare (-)

Iris/pupil Bulat, diameter 3 mm, reflex cahaya (+)

Miosis, diameter 2 mm, ireguler

Lensa Jernih, dislokasi lensa (-), afakia (-), pseudoafakia (-)

Jernih, dislokasi lensa (-), afakia (-), pseudoafakia (-)

Visus 5/5 5/30 S-1.75→5/20→koreksi tetap

Gerakan bola mata Bebas ke segala arah, nyeri gerak (-)

Bebas ke segala arah, nyeri gerak (-)

Funduskopi Tidak dilakukan Sulit dinilai

Pemeriksaan Penunjang

Slit Lamp

Gambar hasil pemeriksaan slit lamp pada mata kiri pasien, tampak mutton fat.

6

Mutton fat

Page 7: LAPORAN KASUS-UVEITIS

 Pemeriksaan Laboratorium

HGB : 11.5 g/dL RBC : 4.80 x 106/πL HCT : 37.3% MCV : 77.7 fL MCH : 24 pg MCHC : 30.8 g/dL RDW-SD : 36.8 fL RDW-CV : 13.3 % WBC : 8.19 x 103/πL EO : 6.8 % BASO : 0.2 % NEU : 58.7 % LYMPH : 27 % MONO : 7.3% PLT : 301 x 103/πL PDW : 11.1 fL MPV : 10.0 fL P-LCR : 24.2 % PCT : 0.30% LED : 47 mm/jam

Diagnosis Kerja

Uveitis Anterior OS

Pterigium Grade II ODS

Diagnosis Banding

Konjungtivitis

Keratitis

Glaukoma Akut

Penatalaksanaan

Cendo tropin tetes mata 3 x 1 tetes/hari OS

Xitrol 6 x 1 tts/hari OS

7

Page 8: LAPORAN KASUS-UVEITIS

Ranitidin 2 x 1 tablet

Metilprednisolon 3 x 8 mg/hari

Prognosis

Baik

8

Page 9: LAPORAN KASUS-UVEITIS

BAB III

PEMBAHASAN

Uveitis merupakan peradangan pada daerah uvea, dimana jaringan uvea

ini terdiri atas iris, badan siliar dan koroid. Secara anatomis, uveitis dibagi

menjadi empat yaitu uveitis anterior, uveitis intermediet, uveitis posterior dan

panuveitis. Uveitis anterior adalah peradangan yang mengenai iris (iritis) dan

jaringan badan siliar (iridosiklitis) biasanya bersifat unilateral dengan onset akut.

Penyebab uveitis anterior diantaranya yaitu: idiopatik (idiopatik

iridosiklitis), penyakit yang berhubungan dengan vaskulitis/arthritis (HLA-B27

iridosiklitis, juvenile rheumatoid arthitis, ankylosing spondilitis, reiter syndrome,

inflammatory bowel disease), penyakit infeksi (Herpes simpleks keratouveitis,

Herpes zoster keratouveitis), penyakit neoplasma (leukemia/lymphoma) dan

penyebab lain (Fuchs heterochromic iridocyclitis, traumatic iridocyclitis,

glaucomatocyclitis crisis).

Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh efek

langsung suatu infeksi atau merupakan fenomena alergi. Infeksi piogenik biasanya

mengikuti suatu trauma tembus okuli, walaupun kadang – kadang dapat juga

terjadi sebagai reaksi terhadap zat toksik yang diproduksi oleh mikroba yang

menginfeksi jaringan tubuh diluar mata.

Uveitis yang berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan reaksi

hipersensitivitas terhadap antigen dari luar (antigen eksogen) atau antigen dari

dalam (antigen endogen). Dalam banyak hal antigen luar berasal dari mikroba

9

Page 10: LAPORAN KASUS-UVEITIS

yang infeksius. Sehubungan dengan hal ini peradangan uvea terjadi lama setelah

proses infeksinya yaitu setelah munculnya mekanisme hipersensitivitas.

Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous

Barrier sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam

humor akuos. Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai

flare, yaitu partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndall).

Sel-sel radang yang terdiri dari limfosit, makrofag, sel plasma dapat

membentuk presipitat keratik yaitu sel-sel radang yang menempel pada

permukaan endotel kornea. Apabila prespitat keratik ini besar disebut mutton fat.

Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan

sel-sel radang di dalam bilik mata depan (BMD) yang disebut hipopion, ataupun

migrasi eritrosit ke dalam BMD, dikenal dengan hifema. Akumulasi sel-sel radang

dapat juga terjadi pada perifer pupil yang disebut Koeppe nodules, bila

dipermukaan iris disebut Busacca nodules.

Sel-sel radang, fibrin dan fibroblas dapat menimbulkan perlekatan antara

iris dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun

antara iris dengan endotel kornea yang disebut sinekia anterior. Dapat pula terjadi

perlekatan pada bagian tepi pupil, yang disebut seklusio pupil, atau seluruh pupil

tertutup oleh sel-sel radang, disebut oklusio pupil. Perlekatan-perlekatan tersebut,

ditambah dengan tertutupnya trabekular oleh sel-sel radang, akan menghambat

aliran akuos humor dari bilik mata belakang ke bilik mata depan sehingga akuos

humor tertumpuk di bilik mata belakang dan akan mendorong iris ke depan yang

10

Page 11: LAPORAN KASUS-UVEITIS

tampak sebagai Iris Bombe. Selanjutnya tekanan dalam bola mata semakin

meningkat dan akhirnya terjadi glaukoma sekunder.

Gangguan pada humor akuos terjadi akibat hipofungsi badan siliar

menyebabkan tekanan bola mata turun. Adanya eksudat protein, fibrin dan sel-sel

radang dapat berkumpul di sudut camera okuli anterior sehingga terjadi penutupan

kanal schlemm sehingga terjadi glukoma sekunder.Pada fase akut terjadi

glaucoma sekunder karena gumpalan – gumpalan pada sudut bilik depan,sedang

pada fase lanjut glaucoma sekunder terjadi karena adanya seklusio pupil.Naik

turunnya bola mata disebutkan pula sebagai peran asetilkolin dan prostaglandin.

Klasifikasi uveitis anterior dibagi menjadi uveitis non-granulomatosa

dan granulomatosa. Nongranulomatosa akut disertai rasa nyeri, fotofobia,

penglihatan buram, keratik presipitat kecil dan pupil mengecil. Sedangkan

granulomatosa akut tidak nyeri, fotofobia ringan, buram, keratik presipitat besar

(mutton fat), benjolan Koeppe atau benjolan Busacca. Pada pasien ini tergolong

kelompok yang granulomatosa.

Gejala subyektif yang sering dikeluhkan pada penderrita uveitis anterior

adalah nyeri, fotofobia, lakrimasi dan penglihatan kabur. Sesuai dengan

anamnesis, pasien memiliki keluhan fotofobia, lakrimasi dan penglihatan kabur.

Fotofobia disebabkan spasmus siliar dan kelainan kornea bukan karena sensitif

terhadap cahaya. Lakrimasi disebabkan oleh iritasi saraf pada kornea dan siliar,

jadi berhubungan erat dengan fotofobia.

Pada keluhan kabur, derajat kekaburan bervariasi mulai dari ringan

sedang, berat atau hilang timbul, tergantung penyebab, seperti: pengendapan

11

Page 12: LAPORAN KASUS-UVEITIS

fibrin, edema kornea, kekeruhan akuos dan badan kaca depan karena eksudasi sel

radang dan fibrin dan bisa juga disebabkan oleh kekeruhan lensa, badan kaca, dan

kalsifikasi kornea.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan visus umumnya normal atau

berkurang sedikit., konjungtiva bulbi hiperemis, injeksi konjungtiva dan injeksi

siliar, serta kornea keruh karena udem dan keratik presipitat. Gambaran hiperemi

merupakan hiperemi pembuluh darah siliar sekitar limbus, berwarna ungu

merupakan tanda patognomonik dan gejala dini. Bila hebat hiperemi dapat meluas

sampai pembuluh darah konjungtiva. Selain dari hiperemi dapat disertai gambaran

skleritis dan keratitis marginalis. Hiperemi sekitar kornea disebabkan oleh

peradangan pada pembuluh darah siliar depan dengan refleks aksonal dapat difusi

ke pembuluh darah badan siliar.

Keratik presipitat terjadi karena pengendapan sel radang dalam bilik

mata depan pada endotel kornea akibat aliran konveksi akuoshumor, gaya berat

dan perbedaan potensial listrik endotel kornea. Lokalisasi dapat di bagian tengah

dan bawah dan juga difus. Keratik presipitat dapat dibedakan jadi baru dan lama :

baru bundar dan berwarna putih. lama mengkerut, berpigmen, lebih jernih Jenis

sel : lekosit berinti banyak kemampuan aglutinasi rendah, halus keabuan. Limfosit

kemampuan aglutinasi sedang membentuk kelompok kecil bulat batas tegas,

putih. Makrofag kemampuan aglutinasi tinggi tambahan lagi sifat fagositosis

membentuk kelompok lebih besar dikenal sebagai mutton fat dimana pada pasien

ini ditemukan mutton fat dari hasil pemeriksaan slit lamp. Ukuran dan jumlah sel :

12

Page 13: LAPORAN KASUS-UVEITIS

halus dan banyak terdapat pada iritis dan iridosiklitis akut, retinitis/koroiditis,

uveitis intermedia.

Pupil mengecil karena edema dan pembengkakan stroma iris karena

iritasi akibat peradangan langsung pada sfingter pupil. Reaksi pupil terhadap

cahaya lambat disertai nyeri.

Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan laboratorium darah rutin untuk

mencari kemungkinan penyebab terjadinya uveitis. Akan tetapi hasil pemeriksaan

darah rutin pasien adalah dalam batas normal. Pemeriksaan laboratorium lain yang

dapat dinilai adalah Angiotensin converting enzyme (ACE), Antinuclear antibody (ANA)

testing, Complete blood count (CBC), Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA),

Erythrocyte sedimentation rate (ESR), Human leukocyte antigen - B27 (HLA-B27) typing .

Jika sudah ditemukan penyebabnya, pasien dapat kita konsul ke bagian lain untuk diterapi

penyebabnya.

Pengobatan yang diberikan pada pasien ini adalah Cendo tropin tetes

mata mengandung atropine sulfat yang merupakan kelompok midriatik

siklopegik. Semua sikloplegik merupakan agen antagonis kolinergik yang bekerja

dengan menghambat neurotransmiter pada reseptor sfingter iris dan korpus silier.

Pada pengobatan uveitis anterior sikloplegik bekerja dengan 3 cara yaitu:

mengurangi nyeri karena imobilisasi iris, mencegah adesi iris ke kapsula lensa

anterior (sinekia posterior), yang dapat meningkatkan tekanan intraokular dan

menyebabkan glaukoma sekunder, menyetabilkan blood-aqueous barrier dan

mencegah terjadinya flare.

Xitrol 6 x 1 tts/hari adalah obat tetes mata yang mengandung kombinasi

kortikosteroid dan antibiotic. Kortikosteroid topikal adalah terapi awal dan

13

Page 14: LAPORAN KASUS-UVEITIS

secepatnya diberikan. Tujuan penggunaan kortikosteroid untuk pengobatan uveitis

anterior adalah mengurangi peradangan, yaitu mengurangi produksi eksudat,

menstabilkan membran sel, menghambat penglepasan lysozym oleh granulosit,

dan menekan sirkulasi limposit.

Efek terapeutik kortikosteroid topikal pada mata dipengaruhi oleh sifat

kornea sebagai sawar terhadap penetrasi obat topikal ke dalam mata, sehingga

daya tembus obat topikal akan tergantung pada konsentrasi dan frekuensi

pemberian, jenis kortikosteroid, jenis pelarut yang dipakai, bentuk larutan.

Konsentrasi dan frekuensi pemberian, makin tinggi konsentrasi obat dan

makin sering frekuensi pemakaiannya, maka makin tinggi pula efek

antiinflamasinya. Peradangan pada kornea bagian dalam dan uveitis diberikan

preparat dexametason, betametason dan prednisolon karena penetrasi intra okular

baik, sedangkan preparat medryson, fluorometolon dan hidrokortison hanya

dipakai pada peradangan pada palpebra, konjungtiva dan kornea superfisial.

Kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan suspensi.

Keuntungan bentuk suspensi adalah penetrasi intra okular lebih baik daripada

bentuk solutio karena bersifat biphasic, tapi kerugiannya bentuk suspensi ini

memerlukan pengocokan terlebih dahulu sebelum dipakai. Pemakaian steroid tetes

mata akan mengakibatkan komplikasi seperti: Glaukoma, katarak, penebalan

kornea, aktivasi infeksi, midriasis pupil, pseudoptosis dan lain-lain.

Prednisone oral (Metilprednisolon) dipergunakan pada uveitis anterior

yang dengan penggunaan steroid topical hanya berespon sedikit. Penghambat

prostaglandin, NSAIDs ( biasanya aspirin dan ibuprofen ) dapat mengurangi

14

Page 15: LAPORAN KASUS-UVEITIS

peradangan yang terjadi. Sebagai catatan, NSAIDs dipergunakan untuk

mengurang peradangan yang dihubungkan dengan cystoids macular edema yang

menyertai uveitis anterior.

Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat akibat

peradangan dan perpanjangan periode remisi. Banyak dipakai preparat prednison

dengan dosis awal antara 1 2 mg/kg BB/hari, yang selanjutnya diturunkan

perlahan selang sehari(alternatingsingle dose). Dosis prednison diturunkan

sebesar 20% dosis awal selama 2 minggu pengobatan, sedangkan preparat

prednison dan dexametaxon dosis diturunkan tiap 1 mg dari dosis awal selama 2

minggu.

Indikasi pemberian kortikosteroid sistemik adalah Uveitis posterior,

Uveitis bilateral, Edema macula, Uveitis anterior kronik (JRA, Reiter). Pemakaian

kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama akan terjadi efek samping yang

tidak diingini seperti Sindrom Cushing, hipertensi, Diabetes mellitus,

osteoporosis, tukak lambung, infeksi, hambatan pertumbuhan anak, hirsutisme,

dan lain-lain.

Sementara pemberian Ranitidin 2 x 1 tablet pada pasien ini adalah untuk

mencegah efek samping prednisone yaitu tukak lambung.

Diagnosis banding pada kasus ini adalah konjungtivitis, dimana pada

konjungtivitis penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, ada sekret mata dan

umumnya tidak ada sakit, fotofobia, atau injeksi siliaris. Keratitis atau

keratokunjungtivitis: penglihatan dapat kabur dan ada rasa sakit dan fotofobia.

Beberapa penyebab keratitis seperti herpes simpleks dan herpes zooster dapat

15

Page 16: LAPORAN KASUS-UVEITIS

menyertai uveitis anterior sebenarnya. Glaukoma akut: pupil melebar, tidak ada

sinekia posterior, dan korneanya beruap.

Kebanyakan kasus uveitis anterior berespon baik jika dapat didiagnosis

secara awal dan diberi pengobatan. uveitis anterior mungkin berulang, terutama

jika ada penyebab sistemiknya. Karena baik para klinisi dan pasien harus lebih

waspada terhadap tanda dan mengobati dengan segera. Prognosis visual pada iritis

kebanyak akan pulih dengan baik, tanp adanya katarak, glaucoma atau posterior

uveitis.

16

Page 17: LAPORAN KASUS-UVEITIS

BAB IV

PENUTUP

Telah dilaporkan laporan kasus tentang uveitis anterior dengan pasien atas nama

Nn PMB, 17 tahun, yang datang ke poliklinik mata RSUD Prof DR W Z Johannes

Kupang pada tanggal 11 Juni 2013 dengan keluhan merah dan kabur pada mata

kiri pasien sejak ± 4 hari SMRS. Awalnya mata kiri pasien merah ± 4 hari lalu.

Kemudian diikuti dengan penglihatan kabur. Pasien juga mengeluh pandangan

menjadi silau saat terpapar sinar dan sering berair. Lalu pasien memakai obat tetes

mata (INSTO), merah pada mata kiri pasien berkurang, tetapi penglihatan tetap

kabur. Pada pemeriksaan fisik didapatkan injeksi konjungtiva dan injesksi siliar,

jaringan fibrovaskular, konjungtiva sedikit hiperemis, pupil mengecil, VOD :5/5,

VOS : 5/30 S-1.75→5/20→koreksi tetap. Sementara pada pemeriksaan slit lamp

ditemukan adanya mutton fat. Pasien mendapatkan terapi Cendo tropin tetes mata

3 x 1 tetes/hari OS, Xitrol 6 x 1 tts/hari OS, Ranitidin 2 x 1 tablet,

Metilprednisolon 3 x 8 mg/hari. Prognosis pada pasien ini baik, jika pasien

berobat teratur.

17

Page 18: LAPORAN KASUS-UVEITIS

DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Fawaz A, Levinson, Ralph D. Uveitis, Anterior, Granulomatose. 2010. Diakses tanggal 12 Juni 2013, dari www.emedicine.medscape.com

2. Farooqui S, Zohra F.C, Stephen S. Uveitis, Classification. 2008. Diakses tanggal 12 Juni 2013, dari www.emedicine.medscape.com

3. Gordon K. Iritis and Uveitis. 2009. Diakses tanggal 12 Juni 2013, dari www.emedicine.medscape.com

4. Guyton A.C, Hall J.E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta :EGC. 1997

5. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke-2. Jakarta : Sagung Seto. 2002

6. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005

7. Janigian R.H. Uveitis, Evaluation and Treatment.2010. Diakses tanggal 12Juni 2013, dari www.emedicine.medscape.com

8. Janigian R.H, Brian A.Uveitis, Intermediate. 2008. Diakses tanggal 12 Juni 2013, dariwww.emedicine.medscape.com

9. Jusuf A, Aulia. Sistem Penglihatan.2003. Diakses tanggal 12 Juni 2013, dari www.staff.ui.ac.id/internal

10. Vaughan D.G, Asbury, Taylor, Riordan E.P. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta : Widya Medika. 2000

18