KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA:
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KEMENTERIAN KESEHATAN
DALAM PENYELENGGARAAN KESEHATAN HAJI
DI KABUPATEN/KOTA PASCA REFORMASI
Disertasi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Doktor dalam Bidang Agama dan Kesehatan
Oleh:
EKA JUSUP SINGKA
(NIM. 11.3.00.1.28.01.0023)
Promotor:
Prof. Dr. dr. M.K Tadjuddin, Sp.And.
Prof. Dr. Murodi, MA.
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015 M/1435 H
i
KATA PENGANTAR
Bismillāh al-raḥmān al-raḥīm. Alḥamdu lillāh atas karunia dan pertolongan Allah SWT disertasi
ini telah penulis selesaikan. Salawat dan salam untuk Nabi Muhammad
SAW, keluarga, sahabat dan umatnya hingga akhir masa.
Penulisan mengenai Kesehatan Haji Pemerintah Indonesia:
Implementasi Kebijakan Kementerian Kesehatan dalam Penyelenggaraan
Kesehatan Haji di Kabupaten/Kota merupakan suatu penulisan yang
mencerminkan apa dan bagaimana proses penyelenggaraan kesehatan haji
Indonesia pasca Reformasi. Telah kita ketahui bersama bahwa Ibadah Haji
sudah dilaksanakan oleh kaum Muslimin Indonesia sejak Agama Islam
masuk ke Nusantara. Proses penyelenggaraan haji terus berlangsung dan
sejak kemerdekaan 1945, negara mengambil alih seluruh penyelenggaraan
ibadah haji dengan tujuan agar seluruh masyarakat Muslim Indonesia dapat
menjalankan ibadah haji-nya dengan baik dan sesuai dengan Syariat Islam.
Penyelenggaraan haji termasuk penyelenggaraan kesehatan haji
dilaksanakan penuh dengan prosedur dan dinamika yang cukup tinggi,
sehingga kompleksitasnya merupakan ciri tersendiri dalam mengelola haji
dan kesehatannya.
Dengan selesainya penulisan disertasi ini, penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi bantuan, bimbingan,
saran, motivasi, dan do’a. Mereka adalah:
1. dr.Ratna Rosita, MPHM selaku Sekretaris Jenderal Kementerian
Kesehatan RI (2010-2012) dan dr. Taufik Tjahjadi, Sp.S selaku Kepala
Pusat Kesehatan Haji Kemkes (2011-2012) yang telah memberikan izin
dan dukungan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3.
2. dr. Untung Suseno Sutardjo, M.Kes. selaku Kepala Badan PPSDM
Kesehatan (2012-2014) dan Suhardjono, SE, MM selaku Sekretaris
Badan PPSDMK (2011-2013) dan Kepala Pusdiklat Aparatur Kesehatan
yang telah memberikan motivasi dan dukungan dalam proses
pembelajaran saat penulis menjalankan pendidikan S3 dan bertugas di
Pusdiklat Aparatur Kesehatan BPPSDMK.
3. Prof. Dr. Dede Rosada, MA., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
ii
4. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Prof. Dr. Suwito, MA., selaku ketua
Program Doktor, dan Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku ketua Program
Magister, yang telah memberikan saran, motivasi, perbaikan dalam
setiap kesempatan dalam meningkatkan kualitas tulisan dalam disertasi
ini.
5. Prof. Dr. MK Tadjuddin, dan Prof. Dr. Murodi, MA sebagai pembimbing
disertasi ini. Pemikiran, saran, dorongan, motivasi, bantuan bahan
pustaka serta bantuan moril sehingga disertasi ini dapat tersusun.
6. Segenap civitas akademika Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta: Bapak dan Ibu dosen yang telah membuka
wawasan intelektual penulis, dan karyawan Sekolah Pascasarjana yang
menciptakan suasana penuh kekeluargaan, keramahan, dan sistem
pelayanan yang optimal.
7. Kepada seluruh staf Pusat Kesehatan Haji, Pusat Perencanaan dan
Pendayagunaan SDMK Luar Negeri dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Aparatur Kesehatan, yang telah memberikan bantuan penulis saat
penulis sekolah sambil bekerja di Kementerian Kesehatan RI.
8. Kepada Ayah, (Alm) Djusra dan Ibunda (Alm) Supriyatin yang telah
mendidik dan membesarkan dengan penuh kasih sayang.
9. Istri tercinta: Royaniwati, dan anakanda Muhammad Zaini, Muhammad
Madani dan Siti Adeliani yang selalu tabah dan sabar dalam mendukung
seluruh proses pendidikan dan penyusunan disertasi ini.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga
kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Semoga
tulisan mengenai kesehatan haji pemerintah Inonesia dapat memberikan
manfaat kepada pembangunan kesehatan di Indonesia. Jazākum Allāh khair wa-Aḥsan al-Jazā’.
Jakarta, Januari 2015
Penulis
EKA JUSUP SINGKA
xx
KESEHATAN HAJI PEMERINTAH INDONESIA:
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KEMENTERIAN KESEHATAN
DALAM PENYELENGGARAAN KESEHATAN HAJI DI
KABUPATEN/KOTA PASCA REFORMASI (1999-2012)
Abstrak:
Kesimpulan disertasi ini adalah semakin terlibatnya negara atau
pemerintahan dalam mengurus dan mengatur proses penyelenggaraan
ibadah bagi masyarakatnya, maka kualitas penyelenggaraan ibadah tersebut
akan semakin baik. Keterlibatan negara yang dimaksud adalah adanya
pengaturan dalam bentuk kebijakan dan tindakan yang terstruktur dan
terencana dengan melibatkan segala sumberdaya negara terhadap
penyelenggaraan ibadah tersebut. Ibadah yang dimaksud adalah ibadah haji.
Pengaturan negara dalam penyelenggaraan kesehatan haji merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan ibadah haji, pelaksanaannya
dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yang berlaku di setiap orde
Pemerintahan Indonesia. Pasca Reformasi, Indonesia menerapkan sistem
penyelenggaraan pemerintahan yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota.
Sistem desentralisasi tersebut mempersulit implementasi kebijakan
kesehatan haji yang dibuat oleh pemerintah pusat di tingkat pelaksana
daerah. Implementasi kebijakan pemerintah pusat yang dimaksud adalah
implementasi kebijakan kesehatan haji yang terdapat dalam Pedoman
Penyelenggaraan Kesehatan Haji (Kepmenkes Nomor 442 Tahun 2009).
Dalam konteks penyelenggaraan kesehatan haji yang sangat erat
hubungannya dengan sistem pemerintahan suatu negara, maka disertasi ini
menolak pendapat Mark Turner & David Hulme (2000) dan Ryaas Rasyid
(2005) yang menyatakan bahwa desentralisasi sebagai faktor determinan
dalam mempercepat pembangunan di daerah. Disertasi ini mendukung
pendapat Joel Sammof (1990), Walter Oyugi (2000), Daniel Treisman
(2000), Richard Tambulasi & Happy Kayuni (2007) yang menyatakan
bahwa desentralisasi bukan faktor penentu bagi terlaksananya pembangunan
di daerah, justru desentralisasi menyebabkan semakin kokohnya kekuasaan
di tangan pemerintah daerah yang mengakibatkan lemahnya kerjasama
antara pemerintah pusat dan daerah sehingga menghambat implementasi
kebijakan pemerintah pusat di tingkat pelaksana di daerah. Berdasarkan
hasil penelitian dari 150 kabupaten/kota, hasil wawancara dan FGD, maka
disertasi ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan kesehatan haji
Pemerintah Indonesia di kabupaten/kota pasca Reformasi mengalami
banyak hambatan.
xxi
Disertasi ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan
menggunakan dua sumber data. Pertama, data primer yang diperoleh dari
studi dokumen, observasi lapangan, Quesioner, In-depth Interview dan
Focus Group Discussion (FGD). Quesioner ditujukan kepada 150 petugas
kesehatan haji kabupaten/kota, In-depth Interview kepada 20 orang yang
terdiri dari tokoh/pejabat pembuat kebijakan kesehatan haji, tokoh
Organisasi Islam dan para petugas kesehatan haji. FGD dilakukan kepada 16
petugas pemeriksa kesehatan jamaah haji di puskesmas dan rumah sakit.
Pemilihan responden/informan menggunakan metode Purposes Sampling Method dimana responden/informan diidentifikasi dan ditentukan sesuai
dengan tema wawancara. Data sekunder adalah data pendukung yang
diperoleh dari buku, jurnal, dan majalah. Untuk menganalisa implementasi
kebijakan, digunakan Teori implementasi kebijakan George Edward III.
Penelitian ini menggunakan pendekatan teori kebijakan kesehatan.
xxii
THE HAJJ-HEALTH OF INDONESIAN GOVERNMENT:
IMPLEMENTATION OF HAJJ-HEALTH POLICY OF MINISTRY OF
HEALTH (MoH) IN DISTRICT/REGENCY
POST-REFORM (1999-2012)
Abstract:
The conclusion of this disertation is the more involvement of state or
government in managing and regulating on the process of citizent’s
worship, the more qualified worship will be gained by citizent of the state.
The involvement of the state or government in this case is the
presence of regulation or policy including its implementation on hajj which
manages including allocates related resources to the hajj-health service
program. The hajj-health services is part of hajj worship and can not be
separated from generally hajj worship. The implementation of hajj-health
policy is closely related to the system of government.
Post-Reform, Indonesia has decentralization system in district/regent
level. The decentralization has made the policy of hajj-health policy
(Kepmenkes Nomor 442 Tahun 2009) in district/regent level can not be
properly implemented.
In the context and relationship of hajj-health services with the
government system of Indonesia especially post-reform, this disertation
opposites to Mark Turner & David Hulme (2000) dan Ryaas Rasyid (2005)
who stating decentralization as a determinant factor for the success of
development in district/regent level.
This disertation support Joel Sammof (1990), Walter Oyugi (2000),
Daniel Treisman (2000), Richard Tambulasi & Happy Kayuni (2007) who
state decentralization as a factor contributing to the weakness of
relationship between central and district/regent government. Consequently,
the hajj-health policy in the district/regent level facing some barrier and can
not be implemented properly. This study informs that if the system of
goverment is strongly decentralized, this condition will worsen and
contributing a weakness of policy implementation of hajj-health policy in
the implementing area.
This disertation is a qualitative study using primary and secondary
data. Primary data was collected from study document, observation,
questioner, in-depth interview and focus group discussion (FGD).
Quesionaries were designed to 150 hajj health staffs working at 150
selected districts. In-depth interviews were performed to 20 persons consist
of policy makers, hajj managemen staffs and non-government organization
persons relating to hajj-health services. FGD was performed to 16 pilgrim-
health examiners working at primary health centers and hospitals in district
xxiii
levels. Respondents and informan were selected based on purposed sampling
methods. Respondents and informan were identified based on the theme of
interviews.
Secondary data were collected from textbooks, journals, and academic
literatures. This study used the Theory of George Edward III in analysing
the implementation of the hajj-health policy in district/regent level. In this
cae, this study was using the knowledge and practices of health policy.
xxiv
الحج للحكومت اإلندونيسيت طبيق قزار الوسارة الصحيتعمليت صحت
الحج لمستوي المنطقت أو المحليت عمليتفي تنفيذ صحت
( 2012-1999)بعد عصز اإلصالح
رائط ز اشساح ار ٠شطذ اثاحس ف١ا أ اضا احىح ف إداسج ذظ١
اضا احىح از ؼ١ ذظ١ . ػ١ح إظشاءاخ اؼثادج عرغ ٠م و١ف١اخ اؼثاداخ
ف حي لشاس ذف١ز ػ حس اخطح امج اؼا١ح رف١ز ف ذه اؼ١اخ اؼثاداخ
ذه ارظ١اخ أ األس ف إظشاءاخ ػ١ح احط ت١ا ذطث١ما . ؼ١ا ػثادج احط
ذطثك ظا اإلداسج احىح اإلذ١س١ح. ٠مرض لشاس احىح اإلذ١س١ا ف و ػظسا
ره احاي ٠ؼمذ ذطث١ك لشاس طحح . ح١حاالشوض٠ح تؼذ ػظش اإلطالغ تى طمح أ
ذف١ز لشاس . حاشوض٠ح ف اسر اإلل١ أ ايحىح ػ١ح احط از لشسذ اداسج ا
احىح اشوض٠ح ف اسؤاي ذف١ز لشاس اظح١ح ااسدج ف اثادا ارظ١ رف١ز
.2009 ف ػا 442 سل Kepmenkesطحح ػ١ح احط
ف س١اق ذف١ز طحح ػ١ح احط ٠شذثظ اسذثاطا ش١ما ظا احى ف تذ ا، فز
از٠ (2005)س٠اط ساشذ (2000)اشساح سفضد سأ اسن ذ١شش د٠ف١ذ
ذذػ ز . ٠أوذ ػ أ االشوض٠ح تاػرثاسا ػاال حاسا ف ار١ح اطم١ح تسشاػا
، 2000))، دا١اي ذش٠سا (2000)، ارش أ٠ظ (1990)اشساح فىشج ظ٠ سف
از٠ ٠أوذ ػ أ االشوض٠ح ١سد ػاال (2007)س٠رشاسد ذثالس حف وا٠
حاسا رف١ز ار١ح ف اطمح، فئ ٠ؤد إ ض٠ذ اسرحضشاخ اسطح ف
احىاخ اح١ح ار ذؤد إ ضؼف ارؼا ت١ احىح اشوض٠ح احىح اح١ح
ز اشساح ذذي . تح١س ذؼق ذف١ز لشاس احىح اشوض٠ح ف اسر ارف١ز ف اطمح
اذ٠ح تؼذ / ػ أ ذف١ز لشاس طح١ح ػ١ح احط حىح اإلذ١س١ح ف طمح
. ػظشاإلطالغ ػذ٠ذ اؼمثاخ
األي، . طش٠ك اثحس اى١ف، ره تاسرخذا ظذس٠اشساحاسرخذد ز
اظذس األساس ار ذ احظي ػ١ا شائك اذساسح، اشالثح، االسرث١ااخ،
ػاي طحح150االسرث١ااخ ظح إ . اماتالخ ارؼمح اماش اعػح ارشوضج
شخظا ٠رى امادج أ 20اذ٠ح، اماتالخ ارؼمح ظح إ / احط تاطمحػ١ح
احط، لادج اظاخ اإلسال١ح اؼا١ ف ػ١حاسؤ١ ااضؼ١ مشاس طحح
افاحض احعاض 16اماش اعػح ارشوضج ظح ا . احط ػ١حعاي طحح
اخر١اس اشاسو١ أ اخثش٠ تاسرخذا طش٠مح . اطث١ح ف اشاوض اظح١ح اسرشف١اخ
اظذس اصا از . أخز اؼ١اخ ار وا اسرطؼ حذدخ فما ضع اماتح
رح١ ذف١ز امشاس ذسرخذ ظش٠ح ذف١ز . ذ احظي ػ١ا اىرة اظحف اعالخ
.اسرخذد ز اشساح اط اظش س١اسح اظح١ح. س١اسح ار١ح ظسض إداسد اصاس
xxv
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Konsonan
B = ب Z = ص f = ف
T = خ S = ط q = ق
Th = ز Sh = ش k = ن
J = ض ṣ = ص l = ي
ḥ = غ ḍ = ع m =
Kh = خ ṭ = ط n =
D = د ẓ = ظ h =
Dh = ع = ‘ ر w =
R = س Gh = ؽ y =
Vokal Pendek : a = ‘ i = u =
Vokal Panjang : ā = ا ī = ū =
Diftong : ay = ا aw = ا
xxvi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
SURAT PERNYATAAN iii
BUKTI PENELUSURAN PLAGIARISMA iv
PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN xix
ABSTRAK xx
PEDOMAN TRANSLITERASI xxv
DAFTAR ISI xxvi
DAFTAR TABEL xxx
DAFTAR DIAGRAM xxxi
DAFTAR GRAFIK xxxii
DAFTAR SINGKATAN xxxiii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Permasalahan 18
1. Identifikasi Masalah 18
2. Pembatasan Masalah 24
3. Perumusan Masalah 24
C. Tujuan Penelitian 25
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian 25
E. Kajian Terdahulu yang Relevan 28
F. Kerangka Pikir 32
G. Metodologi Penelitian 35
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian 36
2. Teknik Pengumpulan Data 36
3. Teknik Analisis Data 37
H. Sistimatika Penelitian 37
BAB II SISTEM PEMERINTAHAN DAN PENYELENGGARAAN
KESEHATAN HAJI INDONESIA 39
A. Sistem Pemerintahan Indonesia 40
B. Desentralisasi dan Sentralisasi 52
1. Desentralisasi : Perspektif Positivis 58
2. Desentralisasi : Perspektif Relativis 60
C. Desentralisasi Kesehatan Haji di Kabupaten/Kota 67
1. Penetapan Standar Pelayanan Kesehatan Haji 85
2. Pengembangan Standar Operasional Prosedur (SOP) 86
3. Pengembangan Survey Kepuasan Pelanggan 86
4. Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan 87
xxvii
BAB III KEBIJAKAN KESEHATAN HAJI
PEMERINTAH INDONESIA 88
A. Perkembangan Kebijakan Kesehatan Haji di Indonesia 88
1. Kesehatan Haji di Masa Orde Lama 95
2. Kesehatan Haji di Masa Orde Baru 96
3. Kesehatan Haji di Masa Reformasi 104
B. Indikator Program Kesehatan Haji Pasca Reformasi 117
1. Indikator Umum 117
2. Indikator Pengerahan Tenaga Kesehatan 118
3. Indikator Bimbingan dan Penyuluhan 118
4. Indikator Pelayanan Kesehatan 118
5. Indikator Pengendalian Penyakit 118
6. Indikator Surveilans 118
7. Indikator Logistik 118
C. Alur Penyelenggaraan Kesehatan Haji Pasca Reformasi 119
D. Strategi Penyelenggaraan Kesehatan Haji Pasca Reformasi 124
1. Pemeriksaan dan Pembinaan Kesehatan Haji 124
a. Pemeriksaan dan Pembinaan Kesehatan di
Kabupaten/Kota
125
b. Pemeriksaan dan Pembinaan Kesehatan di Embarkasi 129
2. Pengendalian Faktor Risiko Kesehatan Haji 131
a. Pengendalian Faktor Risiko Internal 131
b. Pengendalian Faktor Risiko Eksternal 133
3. Komputerisasi Haji Terpadu bidang Kesehatan
(Siskohatkes)
137
4. Pelatihan Petugas Kesehatan Haji 141
a. Pelatihan Petugas Pemeriksa Kesehatan Haji (PKJH) 142
b. Pelatihan Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) 142
c. Pelatihan Panitia Penyelenggara Kesehatan Haji (PPIH) 144
5. Kemitraan dengan Organisasi lainnya 145
6. Evaluasi Penyelenggaraan Kesehatan Haji 146
BAB IV GAMBARAN KESEHATAN HAJI
PASCA REFORMASI 149
A. Gambaran Jamaah Haji dan Pola Penyakitnya 149
1. Jenis Kelamin 150
2. Pendidikan 151
3. Pekerjaan 152
4. Jamaah Haji dengan Risiko Tinggi (Risti) 154
xxviii
5. Angka Kesakitan Jamaah Haji 156
6. Angka Kematian Jamaah Haji 158
7. Penyebab Kematian Jamaah Haji 162
B. Penyelenggaraan Kesehatan Haji Pasca Reformasi 162
1. Penyelenggaraan Kesehatan Haji di Kabupaten/Kota 162
a. Pemeriksaan Kesehatan Haji Tahap Pertama 167
b. Pemeriksaan Kesehatan Haji Tahap Kedua 170
c. Penetapan Kelayakan Kesehatan Jamaah Haji 174
2. Penyelenggaraan Kesehatan Haji di Provinsi 179
3. Penyelenggaraan Kesehatan Haji di Embarkasi 180
4. Penyelenggaraan Kesehatan Haji di Arab Saudi 188
a. Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) 188
b. Pelayanan Kesehatan di Sektor 190
c. Pelayanan Kesehatan di Kloter 192
d. Pelayanan Kesehatan di Arafah, Musdalifah dan Mina 193
e. Evakuasi Jamaah Haji 195
BAB V IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
KESEHATAN HAJI DI KABUPATEN/KOTA 196
A. Teori Implementasi Kebijakan 197
1. Teori George Edward III 198
2. Teori Meter dan Horn 199
3. Teori Grindle 200
4. Teori Mazmanian dan Sabatier 201
5. Teori Shabbir Cheema dan Rondinelli 201
6. Teori Brian Hoogwood dan Gunn 201
B. Implementasi Kebijakan Kesehatan Haji Kabupaten/Kota 202
1. Gambaran Petugas Kesehatan Haji Kabupaten/Kota 205
a. Latar Belakang Pendidikan 205
b. Unit Kerja Petugas Kesehatan Haji di Kabupaten/Kota 205
2. Implementasi Kebijakan Kesehatan Haji 208
a. Komunikasi 208
b. Sumberdaya 217
c. Disposisi 225
d. Struktur Birokrasi 227
xxix
BAB VI PROBLEM DAN SOLUSI PENYELENGGARAAN
KESEHATAN HAJI DI KABUPATEN/KOTA 237
A. Problem Penyelenggaraan Kesehatan Haji 237
1. Lemahnya Implementasi Kebijakan Kesehatan Haji 239
2. Bervariasinya Penyelenggaraan Kesehatan Haji 242
3. Tidak Jelasnya Pembagian Kewenangan antara Pemerintah
Pusat dengan Pemerintah Kabupaten/Kota 245
4. Kurangnya Partisipasi Publik 250
5. Tidak adanya Struktur Pelayanan Kesehatan Haji 251
B. Solusi Penyelenggaraan Kesehatan Haji 253
BAB VII PENUTUP 255
A. Kesimpulan 255
B. Saran 259
DAFTAR PUSTAKA 262
GLOSSARI 276
LAMPIRAN 286
INDEKS 360
BIODATA PENULIS 365
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Penyakit dan Penyebab Kematian Jamaah Haji di
Masa Kolonial 91
Tabel 3.2. Kebijakan Kesehatan Haji di Masa Kolonial 92
Tabel 3.3. Kebijakan Kesehatan Haji di Masa Orde Baru 99
Tabel 3.4. Satuan Kerja di Kemkes yang Memiliki Tugas dalam
Penyelenggaraan Kesehatan Haji di Masa Orde Baru s/d
Reformasi 101
Tabel 3.5. Dasar Hukum dan Peraturan Tentang Penyelenggaraan
Kesehatan Haji Pasca Reformasi 111
Tabel 3.6. Gambaran Pembagian Tugas Pemerintah dalam
Penyelenggaraan Kesehatan Haji Pasca Reformasi 118
Tabel 3.7. Jenis Sumberdaya Kesehatan Haji Pasca Reformasi 119
Tabel 4.1. Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terkait
Haji 152
Tabel 4.2. Penguatan Program Kesehatan Haji di Kabupaten/Kota 167
Tabel 4.3. Lama Hari Operasional dan Jumlah Tenaga Kesehatan
Haji yang Bertugas di KKP Embarkasi/Debarkasi 2011 181
Tabel 5.1. Gambaran Pendidikan Petugas Kesehatan Haji di
Kabupaten/Kota 199
Tabel 5.2. Unit Kerja Petugas Kesehatan Haji di Kabupaten/Kota 200
Tabel 6.1 Problem dan Solusi Penyelenggaraan Kesehatan Haji di
Kabupaten/Kota 247
xv
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 1.1. Kerangka Pikir 34
Diagram 3.1. Alur Penyelenggaraan Kesehatan Haji Pasca Reformasi 117
Diagram 4.1. Gambaran Rata-Rata Jamaah Haji Indonesia Berdasarkan
Jenis Kelamin 2006 s/d 2012 146
Diagram 4.2. Gambaran rata-Rata Jamaah Haji berdasarkan Tingkat
Pendidikan 147
Diagram 4.3. Gambaran Rata-Rata Jamaah Haji berdasarkan Jenis
Pekerjaan 2006 s/d 2012 149
Diagram 4.4. Skema Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Keberangkatan 167
Diagram 4.5. Alur Pencatatan Pemeriksaan Kesehatan Haji 168
Diagram 4.6. Struktur Penyelenggaraan Haji di Embarkasi/Debarkasi 177
Diagram 4.7. Program Penyelenggaraan Kesehatan Haji Pemerintah
Indonesia (Pemeriksaan, Pembinaan dan Pengendalian
Faktor Risiko Kesehatan Haji) 179
Diagram 4.8. Alur Rujukan Pelayanan Kesehatan Haji di Arab Saudi 183
Diagram 5.1 Logic Model 196
Diagram 5.2. Model Implementasi Menurut George Edward III 197
xvi
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1. Gambaran Jamaah Haji Indonesia berdasarkan Jenis
Kelamin 2006 s/d 2012 144
Grafik 4.2. Gambaran Jamaah Haji Indonesia berdasarkan Latar
Belakang Pendidikan 2006 s/d 2012 147
Grafik 4.3. Gambaran Jamaah Haji Indonesia berdasarkan Latar
Belakang Pekerjaan 2006 s/d 2012 148
Grafik 4.4. Gambaran Jamaah Haji dengan Risiko Tinggi 151
Grafik 4.5. Rate Kematian Jamaah Haji Indonesia 1999 s/d 2012 154
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Haji1 merupakan ibadah yang diwajibkan bagi Umat Muslim
sekali seumur hidup. Ibadah haji disyariatkan atau diperintahkan untuk
pertama kali kepada Nabi Muhammad dan umatnya pada tahun ke-enam
Hijriah (6H) atau 628 M.2 Secara umum, pengertian haji adalah pergi
mengunjungi Baitullah dengan niat ikhlas untuk melakukan ibadah
kepada Allah pada waktu dan cara tertentu, dalam rangka mengharap
ridho-Nya.3 Yang di maksud dengan Baitullah (Rumah Allah) adalah
Ka’bah yang berada di Makkah, yang merupakan bangunan suci pertama
di muka bumi ini. Alquran mengabadikan bangunan Ka’bah dalam Al-
Quran Surat Ali Imran ayat 96 sebagai berikut;
Artinya: Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk
manusia ialah Baitullah di Makkah yang diberkahi dan menjadi petunjuk
bagi seluruh alam.
Perjalanan haji umat Islam Nusantara ke Tanah Suci dimulai sejak
awal mula Islam bersentuhan dengan masyarakat di Nusantara dan terus
berlanjut hingga saat ini.4
1 Secara Etimologi, haji berarti “pergi ke suatu tempat”, atau juga dapat
diartikan berkunjung atau ziarah ke suatu tempat.Surat-surat dalam al-Quran yang
berhubungan dengan haji antaralain: QS 3: 97, 22: 27, 2: 196, 9: 2-3, 9: 17, 9: 28, dan 22:
27. Adapun tuntunan yang mesti dilaksanakan adalah Tawaf yang terdapat dalam QS
22: 29 dan 2: 125. Sa’i antara Safa dan Marwa terdapat dalam QS 2: 158, Wukuf dalam
QS 85: 3, 89: 2, dan 2: 198-199, Berkurban dalam QS 89: 2, 22: 28, dan 22: 36 dan
Tahalul atau mencukur rambut terdapat dalam QS 48: 27, 2: 196, dan 22: 29. 2 QS Al-Baqarah (2) ayat 196. Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah
karena Allah.Tetapi jika kamu terkepung, maka sembelihlah Hadyu (hewan yang
disembelih sebagai pengganti Dam) yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur
kepalamu, sebelum Hadyu sampai ditempat penyembelihannya. Jika ada diantara kamu
yang sakit atau ada gangguan dikepalanya (lalu dia bercukur) maka dia wajib berfidyah,
yaitu berpuasa, bersedekah atau berkurban. Apabila kamu dalam keadaan aman maka
barang siapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia wajib menyembelih Hadyu yang
mudah didapat, tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka dia wajib berpuasa 3 hari
dalam musim haji dan 7 hari setelah kembali. Itu seluruhnya 10 hari. Demikian itu bagi
orang-orang yang keluarganya tidak ada (tinggal) disekitar Masjidil Haram.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras hukumannya. 3 Mahbub Marzuki, Istit}a>’ah dalam Ibadah Haji menurut Empat Mazhab
(Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah,2000),12. Lihat Sayyid Sabi, Fiqh as-Sunnah (Beirut:
Dar-al-Fikr,1992),527. 4 Ada dua pendapat mengenai datangnya Islam ke Nusantara. Pendapat pertama
2
Snouck Hurgronje (1857–1936), menyatakan bahwa sebelum
Kepulauan Nusantara jatuh ke tangan Pemerintahan Kolonial Belanda,
sudah banyak kaum pribumi yang melakukan ibadah haji, bahkan sudah
ada kelompok pribumi Nusantara yang bermukim di Makkah5 dan
jumlahnya kian bertambah. Sebagian dari mereka bermukim disana,
untuk sementara waktu atau untuk sepanjang hidupnya dengan tujuan
mempelajari ilmu agama dan hidup dekat dengan Baitullah.6
Haji merupakan rukun Islam ke-lima yang pelaksanaannya hanya
dapat dilakukan pada waktu dan tempat tertentu setiap tahun, yaitu
antara tanggal 8 sampai 13 Dzulhijjah dengan prosesi ibadah dilakukan di
Makkah, Musdalifah, Mina dan Arafah.7 Kewajiban haji diperuntukkan
bagi mereka yang memiliki kesanggupan (istit}a>’ah), seperti yang
tercantum di dalam Al-Quran Surat Ali Imran Ayat 97, sebagai berikut;
Artinya: Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) Maqam Ibrahim. Barang siapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di
antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah
pada abad ke-7, didasarkan pada adanya kontrak perdagangan dan hubungan diplomatik
tiga kerajaan yaitu Dinasti Tang, Ta-cheh dan Kerajaan Sriwijaya. Pendapat kedua pada
abad ke-12 didasarkan adanya tulisan pada batu nisan Sultan Malik al-Shaleh yang
menyatakan sebagai Sultan Atjeh yang berkuasa di Samudra Pasai. Lihat Dien Madjid,
Berhaji di Masa Kolonial (Jakarta: CV Sejahtera,2008), 35. 5 Jamaah haji Nusantara yang bermukim di Mekkah biasanya menetap di
sebuah komunitas yang disebut “Koloni Jawa”. Ikatan kebangsaan dan keagamaan
mereka di Makkah semakin tertanam untuk mempertahankan Indonesia dari penjajahan
Hindia Belanda.Sekembali dari Makkah, mereka semakin taat beribadah dan sebagai
penyebar Islam serta tidak jarang mengibarkan bendera perjuangan melawan Hindia
Belanda. Lihat Dien Madjid, Berhaji di Masa Kolonial (Jakarta: CV Sejahtera, 2008),
123. 6 Faturahman Yahya, et all (ed), Antara Mekah dan Madinah (Jakarta:
Erlangga, 2009), 202. Baitullah Ka’bah dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, di
masa Kabilah Jurhum. Lihat Ali Husni Al-Kharbuthli, Sejarah Kabah Kisah Rumah Suci yang Tak Lapuk dimakan Zaman (Jakarta: Turos),79. dan Al-Azraqi, Akhbar Makkah Wama Jaa Minha Min Atsar (Beirut: Dar Al-Fikr, 1325H),36.
7 QS Al-Baqarah (2):197: “Musim Haji itu pada bulan-bulan yang dimaklumi.
Barang siapa mengerjakan ibadah haji dalam bulan-bulan itu, maka janganlah berkata
jorok (rafas), berbuat maksiat, dan bertengkar dalam melakukan ibadah haji”.
3
haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan
perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh
alam. Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu
(bagi) orang yang sanggup (istit}a>’ah) mengadakan perjalanan ke
Baitullah.
QS Ali-Imran ayat 97 menginformasikan kepada kita, bahwa salah
satu kewajiban Umat Islam adalah mengerjakan haji ke Baitullah, bagi
orang yang mampu (istit}a>’ah), baik fisik maupun materi dan aman dalam
perjalanan, sehingga dalam konteks tersebut, yang dimaksud dengan
istit}a>’ah adalah mampu dalam ekonomi, keamanan dan kesehatan.
istit}a>’ah kesehatan bagi jamaah haji sangat penting karena prosesi
kegiatan ibadah haji sebagian besar banyak melibatkan aktifitas fisik.8
Seluruh jamaah haji, termasuk mereka yang berasal dari Indonesia, harus
memperhatikan ketiga aspek istit}a>’ah tersebut.9
Karena dilaksanakan dalam waktu dan tempat yang bersamaan,
maka proses ibadah haji merupakan pengumpulan massa terbesar di dunia
yang datang dari berbagai negara (penjuru dunia) sehingga dapat
menimbulkan resiko terjangkitnya penyakit, baik penyakit menular
maupun penyakit tidak menular diantara jamaah haji.10
Selain merupakan
proses berkumpulnya massa yang sangat padat, prosesi berhaji juga
merupakan ibadah yang melibatkan aktifitas fisik yang cukup berat.11
Aktifitas tersebut antaralain tawaf, sa’i, ma>bit, dan melontar jumrah,
sehingga dalam menjalankankan ibadah haji, jamaah perlu kondisi
kesehatan fisik dan mental yang baik dan perlu persiapan sebelum
keberangkatan.12
8 Masdalina Pane (ed), Pedoman Manasik Kesehatan Haji (Bimbingan Manasik
Haji Untuk Petugas) (Jakarta: Kemkes, 2011), 1. 9 Dalam menunaikan ibadah haji, jamaah haji tidak hanya harus Istit}a>’ah Maliyah
yaitu kemampuan secara finansial saja, tetapi juga harus Istit}a>’ah Badaniyah, yaitu
kemampuan atau ketahanan fisik, dan Istit}a>’ah Amniyah, yaitu aspek keamanan, baik di
dalam negeri tempat jamaah haji bermukim, maupun di luar negeri, terutama tempat
melaksanakan ibadah haji. Lihat Mahbub, (Istit}a>’ah dalam Ibadah Haji Menurut Empat Mazhab),109. Sumuran Harahap, Penyelenggaraan Haji Indonesia Pasca Kemerdekaan 1945: Masalah dan Kebijakan Pemerintah (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2001),1;
Mawari Eddy (ed), Pedoman Teknis Pemeriksaan Kesehatan Jamaah Haji (Jakarta:
Kemkes, 2011),1. 10
Ahmed Q. A, ed., “Health Risks at the Hajj” dalam The Lancet (2006), 367. 11
Alyssa Fetini.“A Brief History of The Hajj.” Time (25 November 2009),
http://content.time.com/time/world/article/0,8599,1864624,00.html(accessed September
8, 2013). 12
Muhammad Alluyam, “Majalatul Hajji al Musimiyah.” Qafilah Alhidayah 6ed
(1422 H), 30.
4
Muatwalli Asy-sya’rawi (1993) dan Syihabuddin Abi al-Fadil
(1959) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan ibadah haji para jamaah
haji dituntut untuk memiliki kemampuan/kondisi kesehatan yang baik.13
Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia,
yang setiap tahunnya memperoleh kuota haji cukup banyak, selalu
mengirimkan jamaah haji dalam jumlah terbesar di antara jamaah haji
asing lainnya. Untuk melancarkan prosesi ibadah haji, maka jamaah haji
Indonesia harus menjaga dan mempersiapkan kondisi kesehatannya agar
jamaah haji dapat menjalankan ibadahnya sesuai syariat Islam.14
Untuk
itu, setiap muslim yang akan menunaikan ibadah haji disarankan untuk
memeriksakan kondisi kesehatannya sebelum berangkat.15
Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia dan
semakin tingginya minat Umat Muslim Indonesia untuk berhaji,
diperkirakan jumlah jamaah haji Indonesia setiap tahunnya akan semakin
bertambah,16
sehingga masalah dan kendala yang dihadapi dalam
penyelenggaraan haji akan semakin kompleks di masa mendatang.
Pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan haji harus
mengantisipasi kondisi tersebut. Salah satunya adalah dengan
memformulasikan sekaligus menjalankan kebijakan publik (public policy)
tentang penyelenggaraan kesehatan haji yang baik dan professional untuk
13
Mahbub Marzuki, Istit}a>’ah dalam Ibadah Haji menurut Empat Mazhab
(Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2000), 12 dan 108. 14
Menurut Martin Van Bruissen dalam Seeking Knowledge and Merit Indonesia on The Hajj, pada akhir abad ke-19, jumlah jamaah haji asal Nusantara berkisar antara
10-20% dari seluruh jamaah haji. Data yang diperoleh mengenai jumlah jamaah haji
Indonesia pada pertengahan abad ke-18 tercatat sekitar 2.000-5.000 orang setiap
tahunnya. Pada tahun 1890 tercatat ada 7.000 orang jamaah haji, kemudian tahun 1895
dan 1896 mencapai 11.788 orang. Jumlah tersebut meningkat lagi menjadi 14.234 pada
tahun 1910. Lihat Faturahman Yahya, et all (ed), (Antara Mekah dan Madinah), 200. 15
Muhammad Abdul Ali, Sihhatuka fi al-Hajj (Kairo: Dar Akhbar al Yaum,
2001), 17. 16
Pemerintah Arab Saudi menetapkan kuota jamaah haji adalah 1/1,000 dari
jumlah penduduk suatu negara. Hasil sensus 2010, jumlah pendudukIndonesia adalah
237.556.363 orang, berarti kuota haji Indonesia sekitar 230ribu. Angka tersebut, jauh
lebih besar jika dibandingkan dengan kuota negara-negara lain, seperti Malaysia, India,
Pakistan dan Turki yang hanya memperoleh kuota haji berkisar 25,000 s/d 150,000
jamaah. Kenaikan jumlah penduduk setiap tahun menyebabkan bertambahnya kuota
haji. Diplomasi Pemerintah Indonesa kepada Pemerintah Arab Saudi memungkinkan
adanya penambahan kuota haji seperti yang terjadi di tahun 2010 dan 2011, terjadi
penambahan kuota sampai 10,000 jamaah haji. Penambahan kuota diberikan, jika ada
sisa kuota haji dari negara lain karena negara tersebut tidak mengirimkan jamaah
hajinya sesuai kuota yang ditetapkan. Menurut mantan Menteri Agama Mahtuh
Basyumi, jumlah kuota haji Indonesia tahun 2009-2010 berkisar 207,000 s/d 210,000
orang. Lihat Faturahman Yahya, et all (ed), (Antara Mekah dan Madinah), 204.
1
5
kepentingan masyarakat muslim Indonesia.
Menunaikan ibadah haji bagi masyarakat Muslim Indonesia,
merupakan salah satu cita-cita luhur dalam kehidupan sosial
masyarakat.17
Bagi masyarakat Muslim Indonesia, perjalanan ibadah haji
mengandung dua kepentingan, yaitu kepentingan agama untuk
menjalankan Rukun Islam dan kepentingan sosial18
agar memperoleh
status sosial yang tinggi di lingkungan masyarakatnya.19
Berdasarkan data sejarah yang diperoleh, diketahui bahwa
perjalanan umat Islam Nusantara ke Tanah suci untuk melaksanakan haji
dan umrah berlangsung sejak Agama Islam masuk ke Nusantara,20
dimulai pada abad ke-13,21
berlanjut di zaman Kerajaan Islam
Nusantara22
dan masa Kolonial Hindia Belanda (Abad ke-15 s/d ke-19).23
17 Di Pakistan, menunaikan haji memberikan makna bahwa orang yang berhaji
memiliki pengetahuan Agama Islam yang lebih baik, sehingga memperoleh status sosial
yang cukup tinggi di masyarakat. Lihat Hastings Donnan, “Pilgrimate and Islam in
Rural Pakistan.” Etnofoor, Jaarg.8, No.1 (1995), pp 63-82. 18
Muhammad Amin Akkas, Haji Sosial (Jakarta: Mediacita, 2007), 154.
19
Muhammad Amin Akkas, "Identitas Haji dan Kesalehan Sosial", dalam
Dinamika dan Perspektif Haji Indonesia, ed. (Jakarta: Duta Peraga, 2010), 326. Lihat
juga Danarto, Orang Jawa Naik Haji (Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, 1993),38. 20
Sumber lain menyatakan bahwa perjalanan haji pertama kali dilaksanakan oleh
masyarakat Melayu pada abad ke-13. Lihat Abdul Kadir Haji, “Economic Implication of
Moslem Pilgrimate from Malaysia.” Contemporary Southeast Asia Vol.4. No.1 (June
1982): 58-75. 21
Dikutip oleh Dadan Wildan Anas dalam harian Pedoman Rakjat Bandung 17
April 2006, menyebutkan dalam Naskah Carita Parahyangan dikisahkan bahwa pemeluk
Agama Islam yang pertama di Tanah Sunda adalah Bratalegawa, putra kedua
Prabu Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa Kerajaan Galuh (1357-1371). Ia
kemudian menjadi raja menggantikan kakaknya, Prabu Maharaja (1350-1357) yang
gugur dalam Perang Bubat. Lihat Menengok sejarah perjalanan haji tempo dulu,
http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/006/14.html (diunduh 6 Januari, 2012).
Seorang penulis barat Ludivico Di Varthema berkebangsaan Italia dengan nama
samaran H. Yunus Al-Mishri yang berada di Jeddah pada 1504 M melihat banyaknya
jumlah jamaah haji dari greater India (India Mayor - Anak benua India) dan Lesser India
(India Minor, Insular—Kepulauan Nusantara). Lihat Muhammad Abdul Hamid dan
Muhammad Raja'i Athahlawi, Ka’bah Rahasia Kiblat Dunia (Bandung: Hikmah, 2009),
21. Dan Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII (Jakarta: Prenada, 2007), xx.
22 Azra, (Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &
XVIII), xx. 23
Hilir mudik pelayaran jamaah haji membuka mata Pemerintah Belanda untuk
mengkoordinir pemberangkatan dan pemulangan jamaah haji melalui sebuah ordonansi
bernama Ordonantie Voor Vilgreemage yang bekerjasama dengan agen travel milik
Hindia Belanda seperti Agen Herklots dan Firms Alsegoff & CO. Lihat Faturahman
Yahya et all (ed), (Antara Mekah dan Madinah), 204 dan Arsip Nasional RI, Biro Perjalanan Haji di Indonesia Masa Kolonial (Jakarta: Adikarya, 2001), 1 dan 96.
6
Pada abad ke-18 dan awal abad ke-19, telah terjadi perkembangan
yang mendasar dalam pelaksanaan ibadah haji Nusantara, jumlah jamaah
haji setiap tahunnya semakin meningkat.24
Dalam mengurus perjalanan
haji masyarakat muslim Nusantara, Pemerintah Hindia Belanda
melakukan pengecekan berbagai dokumen berupa surat menyurat yang
berhubungan dengan jamaah haji. Pemerintah Hindia Belanda juga
memonitor aktifitas jamaah haji Nusantara di Hijaz melalui kantor
perwakilan atau konsulat di Jeddah yang dibuka pada tahun 1872,25
bahkan Pemerintah Hindia Belanda mengatur penyelenggaraan ibadah
haji dalam suatu Ordonansi Haji.26
Proses pengaturan perjalanan haji masyarakat Muslim Nusantara
kemudian terus berlangsung hingga Indonesia merdeka. Setelah
kemerdekaan 1945, koordinasi dan penyelenggaraan haji dilakukan oleh
Kementerian Agama, bekerja sama dengan kementerian/lembaga terkait
lainnya, termasuk dengan Kementerian Kesehatan.27
Kebijakan yang mengatur penyelenggaraan haji Indonesia, secara
umum terus berkembang dan mengalami perubahan sesuai dengan kondisi
Dibentuknya Ordonantie Voor Vilgreemage karena pihak Hindia Belanda khawatir
dengan semakin banyak Ummat Islam Nusantara yang berhaji, maka akan semakin kuat
gerakan Puritanisme, pemberontakan dan perlawanan terhadap Belanda yang dimotori
oleh para Haji dan Ulama. Dengan Ordonansi, Belanda berusaha agar tidak terjadi
masuknya Pan Islamisme dari luar dan mencegah menyebarnya agitasi anti Belanda ke
Makkah. Dari berbagai dokumen berupa surat menyurat diketahui bahwa antara 1881-
1883M, Belanda mencurigai sejumlah Syekh Haji dan mukimin sebagai musuh yang
berbahaya. Sejumlah orang yang melakukan ibadah haji diawasi dengan ketat.
Muhammad Shaleh Putuhena, Historiografi Haji Indonesia (Yogyakarta: LKiS, 2007),
297. 24
Peningkatan jumlah jamaah haji setiap tahun, menunjukkan adaptasi dan
penerimaan masyarakat Nusantara yang baik terhadap Islam. Bahkan saat ini Indonesia
merupakan Negara Muslim yang mengirimkan jamaah haji terbanyak setiap tahunnya
jika dibandingkan dengan Negara Muslim lainnya di dunia. Faturahman Yahya, et all
(ed), (Antara Mekah dan Madinah), 202. 25
Madjid, (Berhaji di Masa Kolonial),120. 26
Pemerintah Hindia Belanda mengatur penyelenggaraaan haji masyarakat
pribumi, dengan maksud untuk menarik perhatian masyarakat Nusantara dan memberi
kesan bahwa Pemerintah Kolonial tidak menghalangi kebebasan umat Islam
melaksanakan ibadah haji. Ordonansi Haji dibuat untuk kepentingan politik Hindia
Belanda. Berdirinya konsulat di Jeddah dimaksudkan untuk mengatur masalah haji dan
hubungannya dengan para haji negara lain, gerakan politik muslim, dan warisan para haji
yang meninggal. Husnul Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES,
1985). cet. 1.159. 27
Penyelenggaraan kesehatan haji merupakan bagian tidak terpisahkan dalam
penyelenggaraan ibadah haji. Lihat UU Nomor 13 Tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji Pasal 31.
7
sosial, politik28
dan sistem pemerintahan yang berlaku di setiap orde
pemerintahan.
Dalam hal penyelenggaraan kesehatan bagi jamaah haji Indonesia,
pemerintah mengaturnya dalam suatu kebijakan kesehatan haji.
Kebijakan kesehatan haji Pemerintah Indonesia, merupakan instrumen
pemerintah/negara dalam mengatur penyelenggaraan program kesehatan
haji dan pendistribusian sumberdaya yang berhubungan dengan proses
penyelenggaraan kesehatan haji demi tercapainya kepentingan dan tujuan
kesehatan haji Indonesia yang ditetapkan oleh pemerintah.29
Pemerintah Orde Lama (1945-1966) mengkoordinir
penyelenggaraan haji dan bekerjasama dengan pihak ke-tiga dalam
penyediaan transportasi jamaah haji ke Arab Saudi. Perusahaan angkutan
Arafat (PT. Arafat) merupakan pihak ke-tiga yang diserahi urusan
pemberangkatan haji melalui kapal laut. Berbeda pada masa
Pemerintahan Orde Baru (1966-1998), tepatnya mulai tahun 1969,
melalui Keppres Nomor 22 tahun 1969 Tentang Penyelenggaraan Haji,
Pemerintah Indonesia mengambil alih seluruh penyelenggaraan ibadah
haji tanpa ada pihak ke-tiga yang terlibat.
Dimasa Pemerintahan Orde Baru, pemerintah memonopoli semua
urusan haji.30
Monopoli atau dominasi pemerintah dalam
penyelenggaraan haji terus berlangsung hingga masa Reformasi 1999.
Penyelenggaraan haji di masa Reformasi tetap dikoordinir oleh
pemerintah cq Kementerian Agama yang bekerjasama dengan
kementerian teknis lainnya termasuk Kementerian Kesehatan. Disamping
28
Politik merupakan pengaturan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan,
segala urusan dan tindakan kebijakan, siasat, dan sebagainya mengenai pemerintahan
suatu negara atau terhadap negara lainnya. Politik juga bisa diartikan sebagai segala
sesuatu tentang perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Tiga hal pokok yang
harus dipelajari secara holistik dalam politik kesehatan; 1) Regulasi, kebijakan/peraturan
yang berkaitan dengan kesehatan, 2) Distribusidan alokasi sumberdaya kesehatan, 3)
Ekstraktif, penyerapan sumberdaya dari masyarakat lokalmaupun Internasional untuk
mencapai tujuan kesehatan. Sri Handayani, Ilmu Politik dalam Kebijakan Kesehatan (Yogyakarta: Goysen, 2010), 15-16.
29 Donald L.Patrick & Pennifer Erickson, Health Status and Health Policy,
Quality of Life in Health Care Evaluation and Resources Allocation (Oxford: Oxford
University Press, 1993), 419. 30
Penyelenggaraan ibadah haji dimasa Pemerintahan Orde Lama sampai pasca
Reformasi, dikelola oleh pemerintah pusat cq Kementerian Agama. Tugas pokok dan
fungsi Kementerian Agama salah satunya adalah melakukan penyelenggaraan
urusan haji dan umrah, bahkan di dalam UU No 17 tahun 1999 dan UU No 13 tahun
2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang di maksud dengan "Menteri" adalah
menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang agama (Menteri
Agama).
8
itu, dasar hukum penyelenggaraan ibadah haji yang sebelumnya hanya
diatur oleh Keputusan Presiden atau Menteri terkait, mulai pada masa
Reformasi (1999), penyelenggaraan haji diatur oleh konstitusi negara
berupa Undang-Undang.31
Undang-Undang yang pertama mengatur khusus Penyelenggaraan
Ibadah Haji lahir pada masa Reformasi, UU tersebut adalah UU Nomor
17 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 13 Tahun
2008. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 menjadi dasar
terbentuknya suatu kebijakan kesehatan haji yang dituangkan dalam
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1394 Tahun 2002 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji Indonesia, dan UU Nomor 13
Tahun 2008 menjadi dasar terbentuknya Kepmenkes Nomor 442 Tahun
2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji, Kepmenkes
tersebut sekaligus merevisi Kepmenkes Nomor 1394 Tahun 2002.
Mengacu pada sistem pemerintahan dan politik yang berkembang di
setiap orde pemerintahan, sebagaimana diketahui, Pemerintah Orde Lama
dan Orde Baru, menganut sistem pemerintahan yang sentralistik dalam
menjalankan urusan pemerintahannya. Sistem sentralistik, menyebabkan
penyelenggaraan kesehatan haji Indonesia dikoordinasikan dan
dilaksanakan secara terpusat. Pemerintah pusat mengendalikan seluruh
proses penyelenggaraan kesehatan haji, sedangkan pemerintah daerah,
baik itu provinsi/kabupaten/kota wajib mengikuti kebijakan yang
ditetapkan oleh pemerintah pusat tanpa ada hambatan yang berarti.
Sistem sentralisasi memungkinkan pemerintah pusat melakukan
intervensi dan koreksi langsung kepada daerah jika terdapat hal-hal yang
tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara nasional. Tidak ada
kepentingan politik lokal bahkan resistensi terhadap kebijakan
pemerintah pusat oleh pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan
kesehatan haji di masa pemerintahan sentralistik. Pemerintahan yang
sentralistik membuat kewenangan pemerintah pusat sebagai pembuat
kebijakan dalam hal pelaksanaan kebijakan di daerah bersifat absolut,32
31
Penyelenggaraan ibadah haji pada masa Pemerintahan Orde Lama dan Orde
Baru hanya diatur oleh kebijakan setingkat Keputusan Presiden dan/atau Menteri
terkait, di masa Reformasi berubah menjadi Undang-Undang yang mengatur
penyelenggaraan ibadah haji yaitu UU Nomor 17 Tahun 1999 yang kemudian pada
tahun 2008 direvisi menjadi UU Nomor 13 Tahun 2008. Lihat Komisi Pengawas
Persaingan Usaha Republik Indonesia, Evaluasi Kebijakan Pemerintah terkait dengan Persaingan Usaha dalam Rancangan Perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (Jakarta: KPPU, tt),
http://www.kppu.go.id/docs/Positioning_Paper/haji.pdf (accessed September 7, 2013). 32
Pemerintahan sentralistik di masa Orde Baru dianggap mempersulit dan
memperpanjang proses pelayanan publik, apalagi Indonesia merupakan negara dengan
9
dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat tidak mengalami
hambatan dalam implementasinya di tingkat pelaksana, yang umumnya
terjadi di tingkat kabupaten/kota.
Berbeda pada masa Reformasi, sistem pemerintahan sentralistik
tidak diterapkan lagi. Pola pemerintahan desentralistik dalam kerangka
otonomi daerah di kabupaten/kota dianggap lebih efektif dan efisien bagi
pelayanan publik dan pembangunan33
termasuk dalam penyelenggaraan
urusan kesehatan haji.
Pada awal berlakunya sistem desentralisasi otonomi daerah setelah
Reformasi 1999, pelaksanaan desentralisasi dilakukan secara radikal
dengan mengalihkan urusan pemerintahan yang seluas-luasnya ke daerah.
Kondisi ini ternyata menimbulkan berbagai masalah, seperti
ketidakjelasan pembagian urusan antar susunan pemerintahan dan tidak
jelasnya hubungan interelasi dan interdepensi antar tingkatan dan
susunan pemerintahan, khususnya antara pemerintahan daerah dengan
pemerintah pusat dan antara pemerintahan daerah provinsi dengan
pemerintahan daerah kabupaten/kota. Pada saat itu, sering timbul situasi
egosektor antar pemerintahan.
Pada masa Reformasi,34
semangat desentralisasi dan otonomi
daerah35
menjadi dasar seluruh pelaksanaan urusan pemerintahan daerah
di Indonesia. Masa Reformasi,36
telah merubah sistem pemerintahan yang
wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk yang besar dan tersebar dibeberapa
wilayah kepulauan. Lihat Lembaga Penelitian Syaikhu Usman Compiller, Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Kasus Tiga Kabupaten di Sulawesi Utara dan Gorontalo (Manado: Lembaga Penelitian SMERU, 2001),1.
33 Krister Andersson and Clark C Gibson, “Decentralization Governance and
Environmental Change: Local Institutional in Bolivia.” Journal of Policy Analysis and Management Vol.26. No.1 (2007):99-123.
34 Orde Reformasi dimulai sejak lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998. Di masa
Reformasi terjadi perkembangan multi partai dan lahirnya UU Nomor 2 tahun 1998
Tentang Otonomi Daerah dan UU Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
seiring dengan merosotnya kredibilitas pemerintah pusat pada saat itu. Alirman
Hamzah, Kerukunan Antar Umat Beragama (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2007),
37. 35
Otonomi daerah di kabupaten/kota dimaksudkan untuk meningkatkan
pelayanan publik kepada masyarakat di wilayahnya, termasuk dalam pelayanan
kesehatan jamaah haji. Otonomi daerah memiliki nilai atau tujuan "politik" dan
"administrasi". Tujuan politiknya adalah dalam rangka meningkatkan demokratisasi
kehidupan bernegara, sedangkan tujuan administrasinya adalah eflsiensi dan efektifitas
penyelenggaraan negara dalam memberikan pelayanan publik. Lihat Ryaas Rasyid,
“Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya" dalam Desentralisasi dan Otonomi Daerah, ed. Syamsuddin Harris (Jakarta: LIPI Press, 2005), 3.
36 Di Masa Reformasi, lahir UU Nomor 2 tahun 1998 Tentang Otonomi Daerah
dan UU Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah (yang kemudian dirubah
10
semula sentralistis menjadi desentralisasi dalam kerangka otonomi
daerah.37
Dengan demikian, hubungan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah yang sebelumnya "sentralistis",38
berubah menjadi
"desentralisasi”.39
Sistem pemerintahan yang ter-desentralisasi di
kabupaten/kota, sering diterjemahkan sebagai legitimasi daerah untuk
kepentingan politik lokal, daripada memikirkan bagaimana pemerintahan
daerah dapat bersinergi dengan pemerintah pusat dalam rangka
meningkatkan pelayanan publik demi kepentingan kesejahteraan
masyarakatnya, akibat lebih mementingkan kepentingan lokal tersebut,
maka banyak kendala dan hambatan yang dihadapi oleh pemerintah pusat
dalam penerapan atau implementasi kebijakan nasional di daerah.
Pola pemerintahan yang terdesentralisasi pasca Reformasi
(desentralisasi politik), menyebabkan adanya tarik menarik kepentingan
dalam penyelenggaraan kesehatan haji, antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah. Desentralisasi “urusan kesehatan” kepada
pemerintahan daerah, yang terjadi di masa pasca Reformasi tersebut,
menyebabkan penyelenggaraan kesehatan haji40
yang dilaksanakan oleh
menjadi Undang Undang Nomor 32 tahun 2004). Hal tersebut merupakan langkah baru
untuk membenahi penyelenggaraan pemerintahan yang dianggap kurang baik dimasa
Orde Baru. Pada masa Reformasi (1999) lahir pula UU Nomor 17 tahun 1999 Tentang
penyelenggaraan ibadah haji, suatu legislasi baru terhadap kebijakan nasional haji,
sebelumnya penyelenggaraan haji hanya diatur oleh Keputusan Presiden atau Keputusan
Menteri terkait. 37
Hal ini sesuai dengan UU Nomor 2 Tahun 1998 Tentang Otonomi Daerah dan
UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. 38
Pemerintahan Sentralistik lebih efektif dengan sistem komando
penyelenggaraan negara.Kebijakan Pemerintah Pusat dapat langsung dilaksanakan oleh
pemerintah daerah. Pemerintah daerah hanya bagian dari desentralisasi adminsitrasi
saja. Lihat Syarif Hidayat, "Desentralisasi untuk pembangunan daerah, Dialog
Kelompok Positivist dan Relativist "Jentera Jurnal Hukum Edisi 14 Tahun IV” (Oktober
2006), 12. 39
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke
Pemerintah Daerah. Dalam pelaksanaannya, desentralisasi cenderung diterjemahkan
sebagai legitimasi daerah untuk kepentingan politik lokal. Akibat euforia dan arogansi
politik para penguasa di daerah, banyak peraturan Pemerintah Pusat yang tidak
diimplementasikan dengan baik di daerah. Dengan berlangsungnya desentralisasi maka
pemerintah daerah menjadi kekuatan politik lokal dalam sistem pemerintahan reformasi.
Lihat Syarif Hidayat, Desentralisasi untuk Pembangunan Daerah, Dialog Kelompok Positivist dan Realitivist, 5.
40 Tujuan penyelenggaraan kesehatan haji sesuai Kepmenkes No.
442/Menkes/SK/VI/2009 adalah; 1) Meningkatkan kondisi kesehatan jamaah haji
sebelum keberangkatan, 2) Menjaga agar jamaah haji dalam kondisi sehat selama
menunaikan ibadah,sampai tiba kembali di Tanah Air, 3) Mencegah terjadinya transmisi
penyakit menular yang mungkin terbawa keluar/masuk oleh jamaah haji. Pemeriksaan
awal jamaah haji (Health Assessment) dan program pembinaan kesehatan haji (Health
11
pemerintah kabupaten/kota, seringkali tidak sejalan dengan pedoman
kesehatan haji yang ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui Kepmenkes
Nomor 442 Tahun 2009.41
Persoalan utama yang ditemukan dalam
penyelenggaraan kesehatan haji adalah lemahnya implementasi keputusan
menteri tersebut di tingkat pelaksanaan di daerah. Proses pemeriksaan
dan pembinaan atau peningkatan kesehatan jamaah haji yang merupakan
kegiatan penting dan strategis serta menjadi dasar untuk peningkatan
status kesehatan jamaah sebelum keberangkatan, seringkali
penyelenggaraannya tidak sesuai dengan standar pelaksanaan yang
ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Sistem pemerintahan yang menganut prinsip desentralisasi otonomi
politik di kabupaten/kota, berkontribusi terhadap timbulnya berbagai
variasi bahkan deviasi terhadap implementasi kebijakan pemerintah pusat
tentang penyelenggaraan kesehatan haji di kabupaten/kota. Sebaik
apapun isi dari suatu kebijakan, tetapi dalam implementasinya lemah,
maka kebijakan yang dibuat tersebut tidak akan memiliki dampak apa-
apa. Variasi dan deviasi penyelenggaraan kesehatan haji di
kabupaten/kota timbul akibat adanya kewenangan kuat pemerintah
daerah, dalam melakukan kompromi terhadap standarisasi yang telah
ditetapkan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah cenderung
melaksanakan suatu kegiatan terkait penyelenggaraan kesehatan haji di
wilayahnya sesuai situasi, kondisi, keinginan dan kepentingan atau
prioritas pemerintah setempat. Penyelenggaraannya, sering tidak
memenuhi standar dan mutu pelayanan yang ditetapkan dalam pedoman
penyelenggaraan kesehatan haji. Kondisi tersebut akan memperburuk
sistem penyelenggaraan kesehatan haji secara menyeluruh.
Otonomi daerah dipastikan dapat mempersulit implementasi
kebijakan penyelenggaraan kesehatan haji di kabupaten/kota. Lemahnya
implementasi kebijakan penyelenggaraan kesehatan haji42
di
Improvement) diselenggarakan oleh puskesmas atau rumah sakit yang ditentukan oleh
pemerintah kabupaten/kota. Prosesi ibadah haji jika dilakukan dengan benar, disiplin
dan dengan menjaga kebersihan justru akan memperkuat fisik dan kesehatan rohani.
Prosesi ibadah haji dapat menyembuhkan kegelisahan hati, kerisauan dan penyakit
psikologis. Lihat Abdul Ali, (Sihhatuka fi al-Hajj), 13. 41
Kebijakan Nasional tentang penyelenggaraan kesehatan haji seharusnya ditaati
dan dilaksanakan oleh penyelenggara kesehatan haji disetiap tingkatan pemerintahan
terutama di tingkat pelaksana kabupaten/kota, sesuai dengan kewenangan masing-
masing tingkatan pemerintahan. Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
Tentang Pembagian Kewenangan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota. 42
Lemahnya pelayanan dan pemeriksaan kesehatan bagi jamaah haji yang sesuai
standar nasional di kabupaten/kota disebabkan oleh kuatnya fenomena kekuatan politik
12
kabupaten/kota menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya standar
dan mutu pelayanan kesehatan haji di kabupaten/kota.
Sesuai kebijakan kesehatan haji Pemerintah Indonesia yang
tertuang pedoman penyelenggaraan kesehatan haji, secara umum
penyelenggaraan kesehatan haji di kabupaten/kota terdiri dari;
pemeriksaan dan pembinaan kesehatan haji. Keduanya, merupakan
kegiatan penting dan strategis untuk membentuk jamaah calon haji yang
istit}a>’ah. Namun, dalam pelaksanaannya, pemerintah kabupaten/kota
lebih memprioritaskan proses pemeriksaan kesehatan jamaah haji
daripada pembinaan kesehatan, padahal kegiatan keduanya (pemeriksaan
dan pembinaan kesehatan haji) diatur dalam pedoman penyelenggaraan
kesehatan haji (Kepmenkes Nomor 442 Tahun 2009).
Pemeriksaan kesehatan jamaah haji oleh pemerintah kabupaten/kota
dianggap lebih mudah dilaksanakan dan lebih menguntungkan, jika
dibandingkan dengan proses pembinaan kesehatan jamaah haji.
Pemeriksaan kesehatan terhadap jamaah haji tidak memerlukan waktu
yang lama dan dapat menghasilkan pendapatan keuangan bagi
penyelenggara (Puskesmas dan rumah sakit yang ditunjuk oleh
pemerintah daerah) karena dalam prosesnya, jamaah haji membayar
seluruh komponen biaya pemeriksaan kesehatan sesuai jenis pemeriksaan
dan pengobatan yang diberikan oleh para petugas kesehatan haji, jamaah
haji tidak masuk kedalam sistem kesehatan rutin, misalnya mereka yang
memiliki asuransi kesehatan tidak bisa menggunakan asuransi tersebut
dalam pemeriksaan dan pengobatan dalam penyelenggaraan kesehatan
haji.
Berbeda dengan kegiatan pembinaan kesehatan haji, sesuai
pedoman penyelenggaraannya, pembinaan kesehatan bertujuan untuk
melakukan peningkatan status kesehatan jamaah haji sehingga
memerlukan waktu yang cukup lama dan membutuhkan sistem
pengelolaan dana khusus yang harus diupayakan dan disediakan oleh
pemerintah daerah. Pembinaan kesehatan haji merupakan upaya yang
sangat diperlukan untuk meningkatkan kondisi kesehatan jamaah haji
agar mencapai kondisi istit}a>’ah kesehatan, namun proses pembinaan
lokal otonomi daerah dan lemahnya penerapan PP Nomor 38 Tahun 2007 Tentang
pembagian urusan pemerintahan. Praktik euforia otonomi daerah menyebabkan pedoman
kesehatan haji yang tertulis dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 442 Tahun
2009 kurang mendapat perhatian pemerintah daerah. Aparatur pemerintah
kabupaten/kota lebih mengutamakan keputusan dan kebijakan politik yang berasal dari
bupati/walikota dan/atau DPRD kabupaten/kota. Kondisi ini akibat penerapan
desentralisasi di kabupaten/kota pasca Reformasi sesuai UU Nomor 22 Tahun 1999 yang
kemudian direvisi dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
13
kesehatan jamaah haji di sebagian besar kabupaten/kota kurang
mendapatkan perhatian.43
Selain dilaksanakan secara berjenjang mulai di kabupaten/kota,
penyelenggaraan kesehatan haji Pemerintah Indonesia dilaksanakan
secara menyeluruh meliputi upaya kesehatan promotif,44 preventif,45 kuratif,46 dan rehabilitatif.47
Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah
pusat cq Kemkes harus bekerjasama dengan kementerian/badan/lembaga
terkait lainnya, pemerintahan daerah provinsi/kabupaten/kota, para tokoh
masyarakat, ulama serta organisasi masyarakat lainnya yang berkaitan
dengan penyelenggaraan kesehatan haji.
Keterlibatan para Tokoh Agama/Ulama dan Organisasi Masyarakat
Islam dalam memberikan masukan kepada pihak pemerintah, perlu
dilakukan untuk memperkuat “pemahaman para pembuat dan pelaksana
kebijakan” dalam hal “kesehatan” dan “haji” menurut sudut pandang
Agama Islam, sehingga pemerintah cq Kementerian Kesehatan sebagai
“penanggungjawab” penyelenggaraan kesehatan haji secara nasional
dapat membuat kebijakan kesehatan haji yang tidak bertentangan dengan
Syariat Islam.
Untuk mensukseskan penyelenggaraan kesehatan haji secara
menyeluruh, pemerintah pusat harus bekerjasama dengan pemerintahan
daerah provinsi/kabupaten/kota yang merupakan penyelenggara dan
43
Karena adanya desentralisasi kewenangan dalam urusan kesehatan, keputusan
untuk melakukan/implementasi program pembinaan kesehatan haji berada di pemerintah
kabupaten/kota. Lihat PP Nomor 38 Tahun 2007. 44
Promotif atau promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan
pengetahuan, sikap dan perilaku jamaah haji untuk hidup bersih dan sehat dan mampu
sehat mandiri, melalui pembelajaran dari, oleh dan bersama jamaah haji, sesuai sosial
budaya setempat, dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kebijakan
kesehatan haji. Lihat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 442/Menkes/SK/VI/2009
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji, 40. 45
Pelayanan promotif adalah upaya meningkatkan kesehatan masyarakat ke arah
yang lebih baik dan mencegah agar masyarakat terhindar dari penyakit. Lihat Juanita,
"Peran Asuransi Kesehatan Dalam Benchmarking Rumah Sakit Dalam Menghadapi
Krisis Ekonomi," (Medan: FKM Universitas Sumatera Utara, 2002), 1; Kamus Besar
Bahasa Indonesia, http://kamusbahasaindonesia.org/ (diunduh pada 2 Februari 2012). 46
Kuratif adalah proses pengobatan, atau pemberian obat terhadap kasus
penyakit pada individu, menolong menyembuhkan penyakit; mempunyai daya untuk
mengobati. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kamusbahasaindonesia.org/
(diunduh pada 2 Februari 2012). 47
Rehabilitatif adalah proses tindakan atau program untuk meniadakan atau
meminimalisasi dampak suatu penyakit dan penyulitnya atau untuk memperkecil efek
dari suatu kelainan atau akibat dari suatu penyakit. Lihat
http://rnskosim.com/2010/03/tindakan-kiiratif-dan-rehabilitatif (diunduh pada 5 Januari
2009).
14
penanggungjawab pelayanan kesehatan haji di wilayahnya, terlebih lagi
di masa pasca reformasi, “urusan kesehatan” termasuk kesehatan haji
merupakan urusan pemerintahan yang telah didesentralisasikan48
kepada
pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Dalam menyusun kebijakan kesehatan haji, Pemerintah Indonesia
sangat tergantung dengan kondisi dan sistem politik yang berlaku di
dalam negeri dan luar negeri. Kebijakan kesehatan luar negeri yang
menjadi acuan dan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan kesehatan
haji antara lain adalah aturan dan kebijakan politik Kerajaan Arab Saudi
yang biasanya dinyatakan dalam Takli>mat al Hajj49 Kerajaan Arab Saudi.
Selain Takli>mat al Hajj, kebijakan kesehatan haji Pemerintah Indonesia
juga harus memperhatikan rekomendasi kesehatan dari Badan
Internasional Kesehatan Dunia (World Health Organization) tentang
situasi dan kondisi kesehatan masyarakat Internasional yang sedang
berkembang, misalnya saat terjadi epidemi penyakit Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada tahun 2006-2009 dan outbreak Virus flu burung (H5N1) dan flu babi (H1N1) tahun 2008-2010 yang pada saat
itu, WHO dan Kemkes Negara-Negara Arab merekomendasikan agar
anak dibawah 12 tahun dan orang tua diatas 65 tahun tidak diprioritaskan
melakukan ibadah haji, dan seluruh jamaah haji Indonesia harus diberikan
vaksinasi influenza50
sebagai upaya perlindungan terhadap penularan
penyakit SARS dan Flu Burung.
Selain pemberian vaksinasi influenza, keharusan/kewajiban
pemberian vaksin meningitis kepada seluruh jamaah haji Indonesia
merupakan bukti bahwa kebijakan kesehatan haji Pemerintah Indonesia
dipengaruhi oleh Taklimatul Hajj Pemerintah Arab Saudi dan
48
Sesuai Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji bahwa bupati/walikota
adalah penanggungjawab penyelenggaraan program kesehatan haji di kabupaten/kota,
dan gubernur adalah penanggungjawab penyelenggaraan program kesehatan haji di
provinsi. Lihat Kepmenkes Nomor 442 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Kesehatan Haji, 34. 49Takli>mat al Hajj adalah petunjuk atau arahan Pemerintah Arab Saudi yang
harus dipatuhi oleh setiap negara yang akan melakukan ibadah haji di Arab Saudi, antara
lain Pemerintah Arab Saudi mewajibkan seluruh jamaah haji di vaksinasi Meningitis Meningokokus sebagai syarat memperoleh visa Haji. Lihat Julitasari, Eka Jusup Singka,
Thafsin Alfarizi, (eds). Petunjuk Teknis Imunisasi Meningitis Meningokokus (Jakarta:
Kemkes RI, 2010),4. 50
Vaksinasi Influenza adalah jenis vaksinasi untuk kekebalan terhadap virus
penyebab Influenza. Pada saat penyakit SARS dan Flu Burung (Avian Flu) mewabah,
Pemerintah Arab Saudi mewajibkan seluruh jamaah haji divaksinasi Influenza. Penyakit
Influenza merupakan penyakit menular yang penularannya sangat cepat dan kerapkali
menyerang jamaah haji, dan dapat melemahkan kondisi fisik jamaah haji. Abdul Ali,
(Sih}h}atuka fi al Hajj),35.
15
rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO),51
yang menyatakan bahwa
pemberian vaksinasi meningitis merupakan suatu keharusan bagi jamaah
haji yang akan berangkat ke Tanah Suci.52
Menilik sistem penyelenggaraan kesehatan haji yang melibatkan
banyak instansi/organisasi, maka dalam pelaksanaannya penuh dengan
kompleksitas, sehingga menimbulkan banyaknya interaksi kepentingan
antar instansi/organisasi yang terlibat, akibatnya pemerintah sebagai
penyelenggara pelayanan kesehatan haji (implementing) sering menerima
kritik dan tanggapan negatif tentang pelaksanaannya. Kritik dan
tanggapan negatif terhadap pelayanan ibadah haji pada umumnya
disebabkan pelayanan yang diberikan pemerintah kepada jamaah haji53
dianggap belum optimal dan kerapkali, jamaah haji hanya dijadikan
“objek” guna memperoleh keuntungan pihak-pihak tertentu.54
Selain sebagai penyelenggara (implementor), pemerintah Indonesia
juga berperan sebagai penyusun kebijakan kesehatan haji (regulator) bahkan juga bertindak sebagai evaluator terhadap penyelenggaraan
kesehatan haji yang dilaksanakannya sendiri. Peran pemerintah yang
sangat dominan tersebut, menyebabkan lemahnya mekanisme monitoring
dan evaluasi atau pengawasan terhadap penyelenggaraan kesehatan haji
itu sendiri.
Peran pemerintah yang sangat dominan, yaitu sebagai implementor, regulator dan evaluator dalam penyelenggaraan kesehatan haji akan
membuka peluang pemerintah untuk bertindak “subjektif” dalam
membuat regulasi dan evaluasi penyelenggaraan kesehatan haji.
Sehingga, pemerintah Indonesia cenderung melakukan politik
“pencitraan” terkait penyelenggaraan kesehatan haji. Pemerintah akan
mengkondisikan dan membuat image kepada masyarakat bahwa
51
WHO merekomendasikan agar seluruh jamaah haji yang akan masuk ke Tanah
Suci, sebagai tempat pengumpulan massa yang besar di dunia, divaksinasi Meningitis
untuk mencegah terjadinya Pandemi Meningitis. Lihat Memish, ZA. “The Hajj:
Communicable and Non-communicable Health Hazards and Current Guidance for
Pilgrims.” Euro surveilance 15:39. 52
World Health Organization. “Interim Guidance on Public Health Measures for
The Returnee Hajj Pilgrims.” WHO Regional Office for The Eastern Mediterranean (EMRO) (1 December 2009), http://www.emro.who.int/ csr/h1n1/ pdf/interim _guidance
_phc measures_hajj_11_09_pdf. (accessed March 6, 2012). 53
Jamaah haji adalah Warga Negara Indonesia yang beragama Islam yang telah
mendaftarkan diri untuk menunaikan ibadah haji sesuai persyaratan yang ditetapkan.
Lihat UU Nomor 13 tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Kepmenkes
No 442/Menkes/SK/VI/2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji. 54
Mahtuh Basyuni, "Penyelenggaraan Haji Harus Tertib Aturan", dalam Esai-Esai Keagamaan (Jakarta: FDK Press, 2008), 248.
16
penyelenggaraan kesehatan haji yang dikerjakannya selalu sukses
menurut sisi pandang pemerintah sendiri. Kondisi ini akan menyebabkan
kualitas pelayanan kesehatan haji yang bermutu dan sesuai dengan
keinginan dan kebutuhan masyarakat Muslim Indonesia semakin jauh dari
harapan dan sulit tercapai.
Penyelenggaraan kesehatan haji yang dikoordinir dan dikelola
secara dominan oleh pemerintah, cenderung membuat posisi masyarakat
sebagai “objek” penyelenggaraan bukan “subyek”. Masyarakat sering
tidak berdaya dalam memberikan masukan atau kritik untuk memperbaiki
mutu pelayanan kesehatan haji yang sesuai dengan harapan masyarakat.
Hampir setiap tahun, berita seputar kesehatan haji dan rendahnya
kualitas pelayanan kesehatan haji muncul dan menjadi isu perdebatan
sosial masyarakat Indonesia. Rendahnya kualitas pelayanan kesehatan
bagi jamaah haji Indonesia yang dilakukan oleh para tenaga kesehatan di
berbagai tingkatan pemerintahan,55
dapat dibuktikan dengan masih
tingginya jumlah jamaah haji yang memiliki risiko penyakit yang
berbahaya, angka kesakitan dan angka kematian jamaah haji Indonesia
setiap tahunnya. Selain berhubungan dengan penyelenggaraan dan
manajemen kesehatan haji, rendahnya kualitas pelayanan kesehatan haji
juga berkaitan dengan rendahnya kompetensi yang dimiliki oleh para
tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan secara langsung
kepada jamaah haji saat di Tanah Air dan di Arab Saudi.
Sebagai bagian dari sistem penyelenggaraan kesehatan haji di
Indonesia, Tenaga Kesehatan Haji Indonesia, secara umum, terdiri dari
tenaga pemeriksa kesehatan haji di puskesmas dan rumah sakit, tenaga
kesehatan pemberi pelayanan di asrama haji embarkasi/debarkasi dan
tenaga kesehatan haji yang menyertai jamaah di kloter dan yang bertugas
di Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) di Arab Saudi.
Tenaga kesehatan haji yang bertugas di embarkasi dan Arab Saudi
dipilih dan ditentukan melalui mekanisme seleksi oleh Kemkes,
sedangkan tenaga pemeriksa kesehatan haji yang bertugas sebagai tim
pemeriksa kesehatan haji di kabupaten/kota dipilih dan ditetapkan oleh
pemerintah daerah cq dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.56
55
Tingkatan pemerintahan kabupaten/kota, provinsi/embarkasi, dan di Arab
Saudi merupakan tingkatan pelaksanaan pelayanan haji Indonesia. Lihat Kepmenkes
Nomor 1394 Tahun 2002 dan Kepmenkes Nomor 442 Tahun 2009 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Kesehatan Haji. 56
Tenaga kesehatan haji berasal dari berbagai unsur pemerintahan di Indonesia,
mereka berasal dari kementerian pusat dan pemerintahan provinsi/kabupaten/kota
termasuk unsur TNI/Polri dan swasta. Lihat Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
706/2011 Tentang Pedoman Rekruitmen Petugas Kesehatan Haji Indonesia.
17
Rendahnya kualitas pelayanan kesehatan kepada jamaah haji memberikan
kesan bahwa para tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kepada
jamaah haji dianggap tidak profesional dan belum memposisikan jamaah
haji sebagai “client” yang harus diutamakan kebutuhan dan
kepuasannya.57
Menilik sistem penyelenggaraan kesehatan haji Indonesia yang
komprehensif dan berjenjang, dimana seluruh unsur pemerintahan
kabupaten/kota, provinsi dan pusat terlibat. Pemerintah daerah
kabupaten/kota, sebagai bagian dari sistem tersebut, berperan sebagai
penanggungjawab terhadap penyelenggaran pelayanan kesehatan haji di
wilayahnya. Namun, ditataran struktur birokrasi dinas kesehatan
kabupaten/kota, dinas kesehatan kabupaten/kota tidak memiliki struktur
kelembagaan khusus pelayanan kesehatan haji seperti program kesehatan
lainnya. Kondisi tersebut mengakibatkan program penyelenggaraan
kesehatan haji di kabupaten/kota tidak dikelola secara profesional dan
tidak masuk ke dalam sistem pembangunan kesehatan di daerah secara
permanen. Penyelenggaraan kesehatan haji di kabupaten/kota bersifat
temporary/ad hook pada waktu/periode tertentu saja, yang dilaksanakan
pada saat menjelang pendaftaran dan keberangkatan jamaah haji.
Dari masa ke masa penyelenggaraan kesehatan haji banyak
mengalami dinamika yang bermuara pada beberapa persoalan pokok,
antara lain; 1) Masih dirasakan kurang memuaskannya pelayanan
kesehatan haji yang dilakukan oleh para penyelenggara haji disetiap
masa, 2) Masih ditemukan banyaknya jamaah haji yang berangkat ke
Tanah Suci dalam keadaan yang tidak istit}a>’ah kesehatannya, 3) Masih
ditemukan banyaknya persoalan yang dirasakan oleh para jamaah haji
Indonesia selama masa persiapan di Tanah Air dan masa pelaksanaan
prosesi ibadah di Arab Saudi,58
dan 4) Lemahnya implementasi peraturan
atau kebijakan yang dibuat oleh para penyelenggara haji disetiap masa
yang berimplikasi pada kurang optimalnya penyelenggaraan kesehatan
haji Indonesia.59
Pasca reformasi, Kemkes telah mengeluarkan Keputusan Menteri
57 Jamaah haji sebagai Client maksudnya adalah Patient Centered atau Pro-
jamaah. Kepentingan dan keluhan jamaah harus diperhatikan. Jamaah bukan dijadikan
Revenue (untuk meraih keuntungan). 58
Persoalan yang dihadapi oleh jamaah haji di Arab Saudi antaralain disebabkan
oleh adanya perbedaan sosial, budaya, dan cuaca. Perbedaan tersebut dapat
mempengaruhi kondisi fisik dan psikologis jamaah haji Indonesia di Arab Saudi. Lihat
Umar Fahmi, dkk. Buku Manajemen Resiko Kesehatan Haji (Jakarta: Departemen
Kesehatan, 2006), 20. 59
Achmad Nizam, Alatief Hanan, Manajemen Haji, Studi Kasus dan Telaah Implementasi Knowledge Workers (Jakarta; Zikrul Hakim;2003), 21.
18
Kesehatan Nomor 1394 Tahun 2002 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Kesehatan Haji yang selanjutnya direvisi menjadi Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 442 tahun 2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Kesehatan Haji.60
Kebijakan kesehatan haji Pemerintah Indonesia, selalu
berkembang sesuai situasi dan kondisi, serta cenderung mengalami
perbaikan dari waktu ke waktu. Kebijakan yang dibuat bertujuan untuk
mengatur penyelenggaraan kesehatan haji di Indonesia agar lebih
profesional dan akuntabel, tetapi dalam tatanan pelaksanaannya
(implementasi), terutama di masa Reformasi, masih banyak kendala dan
hambatan yang dihadapi di tingkat kabupaten/kota sebagai konsekuensi
dari sistem desentralisasi otonomi daerah.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dari uraian latarbelakang, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan
mengenai penyelenggaraan kesehatan haji pasca Reformasi sebagai
berikut;
1) Lemahnya implementasi kebijakan kesehatan haji Pemerintah
Indonesia (Kepmenkes Nomor 442 Tahun 2009) di tingkat pelaksana
kabupaten/kota.61
Kondisi tersebut dianggap sebagai akar
permasalahan terhadap tidak terstandarnya proses pemeriksaan dan
pembinaan kesehatan jamaah calon haji di kabupaten/kota.
Lemahnya implementasi kebijakan kesehatan haji pemerintah pusat di
kabupaten/kota pasca Reformasi, secara prinsip disebabkan oleh
terkotak-kotaknya sistem pemerintahan di Indonesia akibat
berlakunya sistem desentralisasi otonomi menurut UU Nomor 22
Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun
2004.
Selain berimplikasi terhadap lemahnya implementasi kebijakan,
otonomi daerah di kabupaten/kota, juga menyebabkan proses
pembinaan dan pengawasan program kesehatan haji yang menjadi
tugas pemerintah pusat cq Kemkes kepada pemerintahan
kabupaten/kota mengalami banyak persoalan dan hambatan. Sistem
60
Keduanya merupakan tindaklanjut dari UU Nomor 17 Tahun 1999 dan UU
Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. 61
Kebijakan penyelenggaraan kesehatan haji yang dibuat oleh pemerintah
bertujuan untuk mengatur dan mengatasi berbagai persoalan yang berhubungan dengan
pelaksanaan/pelayanan kesehatan haji di Indonesia di seluruh tingkatan pemerintahan,
termasuk di kabupaten/kota. Kebijakan Kesehatan Haji merupakan tindaklanjut dari
amanah konstitusi Negara dalam UU Nomor 13 Tahun 2008 Pasal 31.
19
desentralisasi, membuat pemerintah daerah, tidak memiliki
tanggungjawab administratif dan politik serta moril secara langsung
kepada pemerintah pusat. Secara politik dan administratif,
pemerintah daerah berada di bawah kekuasaan gubenur dan
bupati/walikota, akibatnya, Satuan Kerja Pemerintahan Daerah
(SKPD) lebih mementingkan dan memperhatikan kebijakan dan
kepentingan politik lokal daripada memperhatikan aturan dan
kebijakan teknis yang dibuat oleh Kementerian Pemerintah Pusat.
Sehingga, dalam hal penyelenggaraan kesehatan haji di
kabupaten/kota, dinas kesehatan kabupaten/kota yang merupakan
satuan kerja pemerintah daerah, yang juga sebagai pelaksana
kebijakan kesehatan haji menjadi semakin sulit dikendalikan oleh
pemerintah pusat. Akibatnya, pemerintah pusat cq Kemkes
mengalami kesulitan untuk melakukan corective action kepada daerah
jika penyelenggaraan kesehatan haji di wilayahnya tidak sesuai
dengan kebijakan nasional yang telah ditetapkan.
Sistem pemerintahan yang terdesentralisasi, menyebabkan
pemerintah daerah kabupaten/kota memiliki kewenangan yang luas
dalam menentukan aturan lokal dan cara kerja/mekanisme
penyelenggaraan kesehatan haji di wilayahnya. Sistem
desentralisasi/otonomi daerah menyebabkan pemerintah pusat cq
Kemkes tidak berdaya dalam melakukan kritik, intervensi dan koreksi
terhadap kabupaten/kota,62
jika penyelenggaraan kesehatan haji yang
dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota tidak sesuai dengan
standar nasional yang telah ditetapkan.63
Kesulitan dan hambatan dalam melakukan implementasi kebijakan
kesehatan haji di kabupaten/kota tidak terlepas dengan kuatnya
praktik desentralisasi otonomi “urusan kesehatan haji” di
kabupaten/kota dan adanya anggapan para aparatur kesehatan di
daerah, bahwa desentralisasi sebagai otonomi penuh pemerintah
kabupaten/kota yang tidak bisa diintervensi oleh pemerintah pusat,
padahal Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan
(Unitarian) yang tidak mengenal pembagian kedaulatan. Negara
Kesatuan hanya mengenal adanya pemberian tugas khusus kepada
bagian-bagian pemerintahan yang ada dalam Negara Kesatuan.
62
Dalam nuansa otonomi daerah, justru daerah yang kerapkali melakukan kritik
interaksi dan koreksi kepada pusat demi kepentingan daerahnya masing-masing. Kondisi
tersebut akibat sistem desentralisasi pasca Reformasi yang menganut desentralisasi
politik. 63
Sri Handayani, Ilmu Politik dalam Kebijakan Kesehatan (Yogyakarta: Goysen,
2010), 16.
20
Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 yang merupakan turunan
dari UU Nomor 32 Tahun 2004, merupakan peraturan pemerintah
yang mengatur tentang pembagian urusan pemerintahan antara
pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur
peran/kewenangan dan tanggungjawab setiap tingkatan pemerintahan
di Indonesia.
Mengacu pada PP Nomor 38 Tahun 2007, "urusan kesehatan" bukan
mutlak urusan pusat, tetapi merupakan "urusan bersama" antara
pemerintahan pusat, pemerintahan provinsi dan pemerintahan
kabupaten/kota. Sesuai peraturan tersebut, pemerintah pusat cq
Kemkes memiliki tugas membuat kebijakan dan peraturan tentang
penyelenggaraan kesehatan haji. Peraturan/kebijakan yang telah
dibuat oleh Kemkes adalah pedoman penyelenggaraan kesehatan haji
yang tertuang dalam Kepmenkes Nomor 442/Menkes/SK/VI/2009.
Dengan memperhatikan PP Nomor 38 tahun 2007, maka pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota harus menjalankan kebijakan kesehatan
haji tersebut dalam bentuk pelaksanaan/implementasi kebijakan
kesehatan haji (Kepmenkes Nomor 442 Tahun 2009) di wilayahnya.
Namun dalam praktiknya, banyak pemerintah daerah yang
menyelenggarakan pemeriksaan dan pembinaan kesehatan haji tidak
mengikuti pedoman kebijakan kesehatan haji yang ditetapkan oleh
pemerintah pusat cq Kemkes. Lemahnya implementasi kebijakan
inilah yang berkontribusi terhadap kurang optimalnya
penyelenggaraan kesehatan haji bagi masyarakat Indonesia.64
2) Lemahnya pengendalian mutu (quality control) pelayanan kesehatan
haji yang diselenggarakan oleh pemerintah. Kondisi tersebut
disebabkan oleh sangat dominannya peran Pemerintah Indonesia
dalam penyelenggaraan kesehatan haji.65
Peran pemerintah yang
64
Peraturan daerah yang timbul terkait penyelenggaraan kesehatan haji di
kabupaten/kota terjadi akibat sistem pemerintahan yang terdesentralisasi dalam
kerangka otonomi daerah yang luas (deentralisasi politik) sesuai UU Nomor 22 Tahun
1999 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah. Dalam penyelenggaraan urusan kesehatan haji, pemerintah daerah lebih patuh
terhadap peraturan daerah atau peraturan bupati/walikota daripada peraturan
kementerian teknis tentang penyelenggaran kesehatan haji. Akibat desentralisasi yang
luas, pemerintah daerah dapat mengeluarkan peraturan daerah terkait penyelenggaraan
kesehatan haji di kabupaten/kota, meskipun menurut UU Nomor 13 Tahun 2008
Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji urusan kesehatan haji merupakan urusan
pemerintah pusat cq Kementerian Kesehatan, tetapi harus tetap dikoordinasikan dengan
pemerintahan daerah. 65
Umat Islam Nusantara telah melakukan perjalanan haji sejak Islam masuk ke
21
sangat dominan tersebut, pada prinsipnya mengacu kepada amanah
konstitusi dan peraturan perundang-undangan tentang
penyelenggaraan ibadah haji. Amanah konstitusi menyatakan bahwa
pemerintah bertanggungjawab dalam penyelenggaraan haji di
Indonesia dan berkewajiban memberikan pelayanan haji kepada
masyarakatnya.
Sebagai institusi yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan
kesehatan haji, pemerintah pusat cq Kemkes mengatur seluruh proses
pelaksanaan kesehatan haji mulai di tingkat kabupaten/kota, provinsi,
embarkasi/debarkasi dan selama di Arab Saudi dalam suatu pedoman
teknis penyelenggaraan kesehatan haji. Kebijakan kesehatan haji telah
mewarnai proses penyelenggaraan kesehatan haji Indonesia, dimasa
Reformasi telah terbit dua kebijakan kesehatan haji yaitu Kepmenkes
Nomor 1394 Tahun 2002 sebagai amanah UU Nomor 17 tahun 1999
dan Kepmenkes Nomor 442 Tahun 2009 sebagai tindaklanjut UU
Nomor 13 tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Dalam
penyelenggaraan haji termasuk penyelenggaraan kesehatan haji,
Pemerintah Indonesia berperan sebagai regulator, implementor bahkan sebagai evaluator terhadap pekerjaannya sendiri sehingga
evaluasi dan pengendalian mutu pelayanan (quality control) terhadap
penyelenggaraan kesehatan haji akan menjadi kurang objektif.
Untuk memperkuat kendali mutu penyelenggraan kesehatan haji,
pelaksanaan pengendalian dan evaluasi harus lebih transparan dan
obyektif, unsur atau lembaga lain di luar pemerintahan seperti
organisasi profesi dan kemasyarakatan perlu dilibatkan secara aktif
sebagai bagian dari partisipasi publik, agar mekanisme kontrol
terhadap penyelenggaraan kesehatan haji berjalan objektif dan
transparan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat
Indonesia.
3) Banyaknya jamaah haji Indonesia yang berangkat ke Tanah Suci
dalam kondisi kesehatan yang memprihatinkan (tidak istit}a>’ah).66
Nusantara dan telah berlangsung sejak lama. Pada masa setelah kemerdekaan 1945,
Negara mengatur dan mengkoordinir penyelenggaraan ibadah haji termasuk
penyelenggaraan kesehatan haji. Pada masa pemerintahan Orde Lama, Orde Baru dan
Reformasi, peran Pemerintah Indonesia dalam penyelenggaraan haji sangat dominan.
Lihat Harahap, (Penyelenggaraan Haji Indonesia Pasca Kemerdekaan 1945: Masalah Kebijakan Pemerintah),39.
66 Istit}a>’ah sebagai syarat wajib menunaikan haji terbagi menjadi 1) Istit}a>’ah
Muba>syarat bi nafsih yaitu mampu mengerjakan sendiri ibadah haji dengan adanya
kemampuan dari segi harta dan keuangan, 2) Istit}a>’ah Bi ghairih yaitu mampu
mengerjakan ibadah haji dengan perantaraan orang lain. Mahbub, (Istit}a>’ah dalam Ibadah Haji menurut Empat Mazhab),64.
22
Mereka berangkat dalam kondisi kesehatan yang kurang stabil dan
memiliki risiko penyakit yang sangat rentan terhadap
keselamatannya. Jamaah haji dengan kondisi kesehatan yang tidak
optimal menyebabkan terbatasnya aktifitas dan kemampuannya
dalam menunaikan ibadah haji.
Tingginya jumlah jamaah haji dengan kondisi kesehatan yang kurang
optimal tersebut dapat dilihat dengan tingginya angka kesakitan
(Morbiditas) dan angka kematian (Mortalitas) jamaah haji Indonesia
saat pelaksanaan haji di Tanah Suci. Rendahnya status kesehatan
jamaah haji Indonesia berhubungan dengan lemahnya sistem
pelayanan dan manajemen kesehatan haji Indonesia dan kurang
maksimalnya proses pemeriksaan dan pembinaan kesehatan jamaah
haji di kabupaten/kota. Banyaknya jamaah haji Indonesia yang
berangkat ke Tanah Suci dalam keadaan kondisi kesehatan yang
kurang prima, juga disebabkan kurang optimalnya peran organisasi di
luar pemerintahan untuk mendukung program penyuluhan masyarakat
tentang haji. Peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam
memberikan fatwa tentang istit}a>’ah kesehatan haji dapat
dimaksimalkan oleh pemerintah.
4) Banyaknya keluhan masyarakat terhadap penyelenggaraan kesehatan
haji merupakan fenomena yang harus dicari akar permasalahannya.
Keluhan tersebut terjadi hampir setiap tahun. Keluhan masyarakat
merupakan gambaran/fenomena dari kondisi pelayanan kesehatan haji
yang dianggap kurang maksimal dan tidak bermutu. Munculnya
keluhan dan kompleksitas penyelenggaraan kesehatan haji dalam
masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor,
antaralain; faktor sosial-budaya, sistem politik pemerintahan,
ekonomi dan lingkungan eksternal lainnya termasuk kebijakan
Pemerintah Arab Saudi terkait pelaksanaan haji yang kerapkali diluar
kendali Pemerintah Indonesia. Kebijakan dan peran Pemerintah Arab
Saudi menjadi sangat penting dan berpengaruh dalam penyusunan
kebijakan penyelenggaraan kesehatan haji Indonesia, misalnya dalam
penentuan keharusan jamaah haji untuk memperoleh vaksinasi
meningitis meningokokus dan influenza.67
Di Indonesia, proses
pemberian vaksin meningitis dan infleunza kepada jamaah haji,
sering menjadi polemik tersendiri dan mewarnai dinamika
67
Shibl A, Tufenkeji H, Khalil M, Memish Z. “Consensus recommendation for
Meningococcal Disease Prevention for Hajj and Umra pilgrimage/travel medicine.” In
Meningococcal Leadership Forum (MLF), Dubai (May, 2010),
http://applications.emro.who.int/emhj/v19/04/EMHJ_2013_19_4_389392.pdf (accessed
Oktober 3, 2013).
23
penyelenggaraan kesehatan haji.
5) Rendahnya mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh petugas
kesehatan haji, merupakan fakta yang harus menjadi perhatian
pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan haji.
Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada jamaah haji oleh para
petugas kesehatan masih dianggap kurang maksimal. Konsep dan
praktik pelayanan prima yang harus diberikan kepada jamaah haji
sebagai client belum dianggap sebagai “nilai-nilai” dalam pelayanan
kesehatan haji. Jamaah haji belum diposisikan sebagai “client” tetapi
masih dianggap sebagai “revenue” oleh penyelenggara. Hal ini terlihat
dari sikap dan praktik pemerintah kabupaten/kota cq dinas kesehatan
kabupaten/kota yang masih membebankan biaya-biaya pemeriksaan
dan pembinaan kesehatan kepada jamaah haji tanpa memperhatikan
kualitas pelayanan kesehatan jamaah, padahal status kesehatan
jamaah haji sebelum berangkat perlu diupayakan secara maksimal
agar jamaah haji dapat mencapai kondisi kesehatan yang optimal (istit}a>’ah).
6) Masih kurangnya pengetahuan para pelaksana kebijakan kesehatan
haji di kabupaten/kota mengenai kebijakan kesehatan haji yang
tertuang dalam pedoman penyelenggaraan kesehatan haji (Kepmenkes
Nomor 442 Tahun 2009). Kurangnya pengetahuan terhadap kebijakan
kesehatan haji mengakibatkan rendahnya komitmen/disposisi para
pengelola kesehatan haji di kabupaten/kota dalam penyelenggaraan
kesehatan haji terutama pada proses pemeriksaan dan pembinaan
kesehatan haji.
7) Belum optimalnya bimbingan dan pengawasan oleh pemerintah
provinsi dan pusat terhadap kualitas kompetensi para tenaga
kesehatan haji yang melakukan pemeriksaan kesehatan tahap pertama
dan tahap kedua di kabupaten/kota. Tidak optimalnya bimbingan dan
pengawasan tersebut antarlain disebabkan kurangnya sumberdaya
dalam menunjang pelaksanaan bimbingan dan pengawasan, serta
berlakunya praktik sistem desentralisasi otonomi urusan kesehatan di
kabupaten/kota, yang menyebabkan pemerintah kabupaten/kota
memiliki otoritas sendiri dalam melakukan pengawasan tenaga
kesehatan di wilayahnya tanpa intervensi pemerintah provinsi dan
pusat.
8) Tidak terkelolanya manajemen program kesehatan haji di
kabupaten/kota secara profesional dan akuntabel, akibat tidak adanya
lembaga dan struktur khusus penyelenggaraan kesehatan haji di dalam
organisasi dinas kesehatan kabupaten/kota, sehingga tidak ada unit
organisasi yang bertanggungjawab dalam program penyelenggaraan
24
kesehatan haji secara menyeluruh dan permanen. Akibat kondisi
tersebut, manajemen penyelenggaraan kesehatan haji di
kabupaten/kota sangat lemah dan tidak terkelola dengan baik. Tidak
adanya struktur organisasi pelayanan kesehatan haji menyebabkan
sistem pelayanan kesehatan haji tidak masuk ke dalam sistem
pelayanan kesehatan secara baku.68
2. Pembatasan Masalah.
Mengingat banyaknya permasalahan yang berhubungan dengan
penyelenggaraan kesehatan haji di Indonesia, maka penelitian disertasi ini
dibatasi hanya pada implementasi kebijakan kesehatan haji pemerintah
Indonesia di kabupaten/kota dalam nuansa desentralisasi otonomi urusan
kesehatan yang terjadi di masa pasca Reformasi (1999-2012). Kebijakan
kesehatan haji yang dimaksud adalah kebijakan kesehatan haji yang
berlaku di masa pasca Reformasi yaitu Kepmenkes Nomor 442 Tahun
2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji Indonesia.
Kepmenkes Nomor 442 Tahun 2009 merupakan upaya Kemkes dalam
mengkoordinir pelayanan kesehatan haji sesuai amanah UU Nomor 13
Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah haji.
Implementasi kebijakan kesehatan haji yang tidak berjalan
sebagaimana mestinya di tingkat pelaksanaan kabupaten/kota, dianggap
sebagai faktor utama penyebab munculnya berbagai persoalan kesehatan
haji di Indonesia.
3. Perumusan Masalah.
Berdasarkan batasan masalah diatas, maka persoalan utama kajian
ini adalah implementasi kebijakan penyelenggaraan kesehatan haji
Pemerintah Indonesia di kabupaten/kota pasca reformasi dalam nuansa
desentralisasi urusan kesehatan di kabupaten/kota. Oleh karena itu,
masalah yang dirumuskan pada disertasi ini adalah;
a. Apa kebijakan penyelenggaraan kesehatan haji di Indonesia di
masa Reformasi?
b. Bagaimana implementasi kebijakan penyelenggaraan kesehatan
haji pemerintah Indonesia di kabupaten/kota dalam nuansa
desentralisasi urusan kesehatan pasca reformasi?;
68
Tidak terlembaganya struktur pelayanan kesehatan haji di kabupaten/kota,
antaralain disebabkan adanya hak otonomi pemerintah daerah dalam menyusun struktur
organisasinya. Selain itu pemerintah daerah tidak memperhatikan kebijakan pemerintah
pusat cq Kemkes Tentang Tentang Pedoman Teknis Pengorganisasian Dinas Kesehatan
Daerah yang tertuang dalam Kepmenkes Nomor 267/Menkes/SK/III/2008.
25
c. Bagaimana perspektif dan pendapat para pembuat kebijakan,
tenaga kesehatan haji, tokoh masyarakat Islam terhadap
implementasi kebijakan kesehatan haji di kabupaten/kota.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat dan menganalisa; 1)
Kebijakan penyelenggaraan kesehatan haji Pemerintah Indonesia di masa
pasca Reformasi, 2) Bagaimana implementasi kebijakan kesehatan haji
Pemerintah Indonesia di kabupaten/kota pasca Reformasi? Pasca
Reformasi, pemerintah cq Kemkes telah menindaklanjuti UU Nomor 17
Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang kemudian
direvisi menjadi UU Nomor 13 Tahun 2008, dalam suatu pedoman
penyelenggaraan kesehatan haji, namun dalam implementasinya masih
perlu dikaji dan dilihat sejauhmana hambatan implementasi kebijakan
kesehatan haji yang dibuat oleh pemerintah pusat di tingkat pelaksana
kebijakan. Untuk itu perlu menganalisis beberapa variabel yang
mempengaruhi implementasi kebijakan kesehatan haji, antaralain;
komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi, sesuai dengan
teori analisis implementasi kebijakan menurut George Edward III, dan 3)
Bagaimana perspektif dan pendapat para penyelenggara kesehatan
terhadap implementasi kebijakan kesehatan haji di daerah. Hasil
penelitian diharapkan akan memberikan gambaran penyelenggaraan
kesehatan haji oleh pemerintah pusat dan daerah serta beberapa
rekomendasi kebijakan penyelenggaraan haji di masa mendatang.
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian
Ada beberapa alasan yang mendasari penelitian ini penting untuk
dilakukan;
1) Pemerintah Indonesia memiliki peran yang sangat dominan dan
strategis dalam penyelenggaraan kesehatan haji sesuai amanah
konstitusi yang diberikan. Sejak kemerdekaan, pemerintah
memposisikan diri sebagai penyelenggara sekaligus pembuat regulasi
penyelenggaraan kesehatan haji, dan juga sebagai evaluator terhadap
penyelenggaraan yang dilaksanakannya sendiri. Kondisi ini
menyebabkan pemerintah memiliki dominasi yang sangat kuat
sebagai agen tunggal penyelenggaraan kesehatan haji, sehingga
cenderung tidak objektif dalam menilai keberhasilan penyelenggaraan
kesehatan haji. Pemerintah juga dinilai lemah dalam melakukan
monitoring dan evaluasi penyelenggaraan kesehatan haji akibat terlalu
dominannya peran pemerintah dalam penyelenggaraan kesehatan haji
Indonesia. Dominasi pemerintah dalam penyelenggaraan kesehatan
26
haji sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dan sistem
penyelenggaraan yang berlaku di setiap orde pemerintahan.
2) Semenjak berakhirnya masa Pemerintahan Orde Baru, periode
Reformasi telah merubah sistem pemerintahan dan ketatanegaraan
Indonesia. Sistem pemerintahan yang berubah, dari “sentralisasi”
menjadi “desentralisasi” akan mempengaruhi kebijakan kesehatan haji
dan penerapannya (implementasinya) di tingkat pelaksana
(kabupaten/kota).
Sistem Pemerintahan Indonesia yang semula bersifat sentralistis
menjadi ter-desentralisasi otonomi di kabupaten/kota, menyebabkan
hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah yang
sebelumnya lebih terstruktur berubah menjadi terkotak-kotak.69
Sistem desentralisasi memberikan kewenangan yang besar bagi
daerah untuk menentukan sendiri program kesehatan dan
pengalokasian dana pembangunan kesehatan di daerahnya, sehingga
sering terjadi variasi atau deviasi metode pelayanan kesehatan haji di
kabupaten/kota yang tidak lagi sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan.
3) Penyelenggaraan kesehatan haji merupakan kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatur dan
memfasilitasi masyarakat Muslim Indonesia yang berhaji. Sistem
penyelenggaraan kesehatan haji merupakan proses pelayanan
kesehatan yang terintegrasi, dimulai pada tahap pemeriksaan
kesehatan pertama dan pemeriksaan tahap kedua (rujukan),70
yang
dilanjutkan pada proses pembinaan kesehatan. Keseluruhan proses
tersebut, dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota cq dinas
kesehatan kabupaten/kota.
Penyelenggaraan kesehatan haji di kabupaten/kota,71
merupakan
kunci keberhasilan program penyelenggaraan kesehatan haji secara
69
Kelompok Positivis memandang desentralisasi sebagai faktor determinan
dalam mempercepat pembangunan daerah, sedangkan kelompok relativis memandang
pembangunan dapat eksis tanpa desentralisasi, pun sebaliknya desentralisasi dapat
terjadi tanpa pembangunan. Lihat Syarif Hidayat, "Desentralisasi untuk Pembangunan,
Dialog Kelompok Positivis dan Realitivis, 5. 70
Pemeriksaan rujukan adalah merupakan pemeriksaan kesehatan kedua setelah
pemeriksaan kesehatan pertama (pemeriksaan dasar) di Puskesmas.Pemeriksaan
kesehatan kedua merupakan pemeriksaan rujukan bagi jamaah yang dirujuk oleh unit
pelaksana pemeriksa kesehatan pertama sesuai dengan status kesehatan setiap jamaah
haji. Lihat Taufik Tjahjadi (ed), Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Haji (Jakarta:Kemkes,2011),13.
71 Penyelenggaraan kesehatan haji di kabupaten/kota merupakan tanggung jawab
bupati/walikota, sedangkan di provinsi merupakan tanggungjawab gubernur. Lihat
27
menyeluruh. Program pembinaan dan peningkatan kesehatan haji
diselenggarakan sebagai upaya dasar agar jamaah haji memperoleh
perbaikan kondisi kesehatannya, sehingga saat berada di Tanah Suci
dapat menjalankan ibadahnya dengan baik dan benar menurut ajaran
Islam. Implementasi kebijakan kesehatan haji di kabupaten/kota
dalam sistem pemerintahan yang ter-desentralisasi perlu dikaji dan
dianalisis efektifitasnya termasuk faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi suksesnya implementasi kebijakan kesehatan haji di
kabupaten/kota.
Disertasi ini akan mengidentifikasi atau mendeskripsikan
kebijakan kesehatan haji Pemerintah Indonesia di masa Reformasi (1999-
2012) dan implementasinya yang tentunya akan dipengaruhi oleh pola
pemerintahan di masa Reformasi yang menganut sistem desentralisasi
otonomi daerah di kabupaten/kota. Kajian kebijakan kesehatan haji, akan
bermanfaat dan memperkaya teori dan praktik kebijakan kesehatan
publik72
di Indonesia. Disertasi ini akan menjadi bahan masukan dan
bermanfaat bagi; 1) Para pembuat keputusan dan para pelaksana
kebijakan kesehatan haji di lingkungan pemerintah pusat (Kementerian
Kesehatan, Kementerian Agama), 2) Pemerintahan daerah (Dinas
Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota), 3) Organisasi Massa Islam (NU,
Muhammadiyah, Persis), 4) Lembaga Non Pemerintahan (Kelompok
Bimbingan Ibadah Haji, Asosiasi Kesehatan Haji Indonesia), 5)
Masyarakat Indonesia. Selain itu disertasi ini akan memperkaya teori
analisis kebijakan kesehatan.
Tjahjadi, (Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Haji), 33 dan UU Nomor 13 Tahun 2008
Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Pasal 9. 72
Kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan
oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan barus dilakukan dan apakah manfaat bagi
kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut
mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya
tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang
diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana
dalam menetapkan suatu kebijakan (Thomas Dye, 1992; 2-4). Lihat Pengertian
Kebijakan Publik, http://adiproio.blogspot.coni/2010/04/ (diunduh 3 Februari 2012).
Kebijakan publik yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia merupakan konsekuensi
peran negara terhadap masyarakatnya. Negara berkewajiban melindungi segenap tumpah
darah rakyat Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum seperti tertuang dalam
pembukaan Undang Undang Dasar 1945.
28
E. Kajian Terdahulu yang Relevan.
Kajian tentang kebijakan kesehatan haji pemerintah Indonesia di
masa pasca reformasi masih belum banyak dilakukan. Sumuran Harahap
meneliti tentang penyelenggaraan haji Indonesia pasca kemerdekaan 1945
(masalah dan kebijakan pemerintah). Kajian kebijakan yang dilakukan
oleh Sumuran adalah kajian kebijakan terhadap pelayanan umum dan
pelayanan ibadah yang dilaksanakan dan dikoordinasi oleh Kementerian
Agama. Kajian lebih difokuskan kepada penertiban terhadap
penyimpangan seputar penyelenggaraan haji, pembangunan dan perbaikan
sarana dan prasarana haji baik di dalam negeri maupun di fasilitas milik
Pemerintah Indonesia yang berada di Arab Saudi, serta kebijakan
transportasi haji.
Ada beberapa informasi penting terkait penyelenggaraan kesehatan
haji yang ditulis oleh Sumuran, antara lain tentang perekrutan
Rombongan Kesehatan Haji Indonesia (RKHI)73
di masa pemerintahan
Orde Lama dan Orde Baru. Hal ini menandakan bahwa Pemerintah
Indonesia sudah melakukan upaya pelayanan kesehatan haji sejak
pemerintahan Orde Lama sampai Orde Baru. Syarat-syarat untuk
keberangkatan jamaah haji juga dibahas, antara lain dengan terlibatnya
dokter pemeriksa kesehatan yang merupakan salah satu anggota panitia
ibadah haji di masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Secara
umum, Sumuran menyatakan bahwa permasalahan penyelenggaraan haji
yang terjadi diakibatkan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Indonesia dianggap belum representatif dan komprehensif, sehingga
belum mampu menyelesaikan permasalahan seperti permasalahan
transportasi udara, paspor haji, manajemen haji dan masalah teknologi
informasi haji. Walaupun yang dibahas oleh Sumuran lebih ditujukan
kepada pelayanan umum dan ibadah yang merupakan tugas dari
Kementerian Agama.74
Telaah kebijakan penyelenggaraan haji yang
dilakukan Sumuran tidak terfokus pada aspek pelayanan kesehatan haji,
tetapi informasi adanya tenaga kesehatan haji yang dikenal dengan istilah
Rombongan Kesehatan Haji Indonesia (RKHI) pada masa pemerintahan
orde lama dan orde baru sampai tahun 1970 dan terlibatnya dokter
kesehatan pelabuhan dalam memeriksa kesehatan jamaah haji dapat
dijadikan acuan, bahwa penyelenggaraan kesehatan haji di masa
73
Saat ini Petugas kesehatan Haji Indonesia (PKHI) terdiri dari Tenaga
Kesehatan Haji Indonesia (TKHI) yang menyertai Kloter dan Panitia Penyelenggara
Ibadah Haji (PPIH) yang merupakan petugas kesehatan Non-kloter, yang bertugas di
sektor, dan Balai Pengobatan Haji Indonesia di Jeddah, Mekkah dan Madinah. Pusat
Kesehatan Haji, (Permenkes Nomor 706/Menkes/Per/IV/2010),3. 74
Harahap, (Penyelenggaraan Haji Indonesia Pasca Kemerdekaan 1945), 13.
29
pemerintahan Orde Lama dan permulaan Orde Baru diselenggarakan oleh
Pemerintah Indonesia.
Kajian kesehatan haji lainnya yang membahas tingginya angka
kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortality) jamaah haji
Indonesia dan membahas faktor-faktor yang menjadi penyebab kesakitan
dan kematian jamaah haji telah dilakukan oleh Masdalina Pane75
dan
Hajar Tiya Lestari tentang verbal otopsi penyebab kematian jamaah
haji.76
Tingginya angka kesakitan dan angka kematian jamaah haji
Indonesia menunjukkan bahwa proses penyelenggaraan kesehatan haji
belum dilaksanakan secara proporsional terhadap pentingnya proses
persiapan dan pembinaan kesehatan haji sebelum keberangkatan. Program
pembinaan kesehatan haji di kabupaten/kota belum dijadikan prioritas
oleh pemerintah daerah.
Penelitian yang dilakukan oleh Masdalina dan Hajar menyatakan
bahwa hampir setiap tahun selama pelaksanaan operasional haji, angka
kematian jamaah haji Indonesia berkisar 2,1-3,2 per 1,000 jamaah yang
menunjukkan 2-3 kali lipat lebih besar dibandingkan pada kondisi normal
di Tanah Air. Sedangkan Ali Sakti menulis tentang pola penyakit paru
pada jamaah haji Indonesia yang umumnya dipengaruhi oleh kondisi awal
status kesehatan jamaah haji dan pengaruh lingkungan, baik di Indonesia
maupun di Arab Saudi.77
Tingginya angka kesakitan dan angka kematian jamaah haji sangat
dipengaruhi oleh kondisi kesehatan jamaah haji sebelum keberangkatan78
dan interaksi dengan lingkungan dan faktor-faktor resiko lainnya selama
perjalanan dan selama menjalankan prosesi ibadah haji di Arab Saudi.79
75
Masdalina Pane, Determinan Kematian Jemaah Haji Indonesia berusia 40 tahun keatas di Mekkah Tahun 1427 H (Jakarta: Universitas Indonesia, 2007), 35.
76 Hajar Tiya Lestari, Gambaran Epidemiologi Kematian dan Studi Reliabilitas
Diagnosis Penyebab Kematian yang Tercatat dalam Sertifikat Kematian dibandingkan Verbal Autopsi menurut Dokter Kloter dengan Verbal Autopsi menurut Dokter Spesialis pada Jemaah Haji Indonesia tahun 1431 H atau 2010 M (Jakarta: FKM-UI, 2011),45.
77 Ali Sakti, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Eksaserbasi Penyakit Paru
Obstruksi Kronik pada Jamaah Haji DKI Jakarta Tahun 2011 (Jakarta: FKUI Press,
2011),7. 78
Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh proses penyelenggaraan kesehatan haji di
kabupaten/kota sebagai pemeriksa dan pelayanan kesehatan awal yang bertugas
memberikan program peningkatan kesehatan jamaah haji. Kepmenkes Nomor 442 tahun
2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji (Jakarta: Kemkes, 2009), 17. 79
Jamaah usia lanjut dengan risiko kesehatan, ancaman penularan penyakit,
terbatasnya sarana pelayanan kesehatan dan kurangnya pembinaan kesehatan merupakan
pemicu tingginya angka kesakitan dan angka kematian. Pane, (Determinan Kematian Jamaah Haji Indonesia Berusia 40 Tahun ke Atas di Mekkah Tahun 1427 H), 5-6; Lihat
Lestari, (Gambaran Epidemiologi Kematian dan Studi Reliabilitas Diagnosis Penyebab
30
Kondisi kesehatan jamaah haji saat menjelang keberangkatan dan saat
melakukan ibadah haji di Arab Saudi sangat dipengaruhi oleh proses
pemeriksaan awal dan pembinaan kesehatan yang dilakukan di puskesmas
dan rumah sakit umum daerah yang merupakan Unit Pelaksana Teknis
(UPT) Pemerintah daerah kabupaten/kota yang merupakan daerah
otonom sebagai konsekuensi dari sistem desentralisasi pemerintahan di
tingkat kabupaten/kota pasca disyahkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 di
masa Reformasi.80
Pertumbuhan otonomi daerah di Indonesia sejak masa
kemerdekaan sampai masa Reformasi telah mengalami perubahan-
perubahan secara dinamik sesuai dengan realitas di lapangan yang dilalui
dengan rezim pemerintahan yang berganti-ganti. Dalam hal pelaksanaan
suatu program pemerintahan dengan sistem desentralisasi, beberapa
penelitian telah mengingatkan mengenai risiko penerapan desentralisasi
dalam pembangunan dan pelayanan publik di negara sedang berkembang.
Rondinelli, menyatakan secara prinsip desentralisasi adalah transfer
tanggung jawab dalam hal perencanaan, manajemen, dan pemunculan
sumberdaya dan alokasinya dari pemerintah pusat kepada unit-unit
lapangan dari; 1). Kementrian pemerintah pusat 2). Unit-unit atau tingkat
pemerintahan yang berada di bawahnya 3). Otoritas atau korporasi publik
semi-otonom 4). Otoritas regional atau fungsional yang berarea luas, atau
5). Organisasi sektor privat dan sukarela.81
Dalam menyikapi dinamika desentralisasi dan sentralisasi, Syarif
Hidayat menyatakan bahwa terdapat dua kelompok tentang pemahaman
dalam desentralisasi. Kelompok Positivis (Mark Turner, David Hulme
dan Ryaas Rasyid) memandang desentralisasi sebagai faktor determinan
dalam mempercepat pembangunan daerah. Bahkan menurut David Hulme
desentralisasi akan mempercepat sistem reformasi pelayanan publik,82
Kematian yang Tercatat dalam Sertifikat Kematian Dibandingkan Verbal Autopsi menurut Dokter Kloter dengan Verbal Autopsi menurut Dokter Spesialis pada Jamaah Haji Indonesia Tahun 1431 H atau 2010 M), 2; Pusat Kesehatan Haji, Laporan Penyelenggaraan Kesehatan Haji Tahun 2009 (Jakarta: Kemkes, 2010),5; Supriyantoro,
Laporan Penyelenggaraan Kesehatan Haji tahun 2010 (Jakarta: Kemkes, 2011), 6. 80
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, kemudian direvisi menjadi UU Nomor
32 tahun 2004. Secara prinsip masih mempertahankan pola desentralisasi politik
sehingga kewenangan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan
sangat luas jika dibandingkan dengan sistem desentralisasi administrasi dalam UU
Nomor 5 Tahun 1978. 81
Muhammad Nur, Memahami Desentralisasi di Indonesia
(Yogyakarta:Interpena,2012),10. 82
Charles Polidano and David Hulme, Public Management Reform in Developing Countries (Manchester: Institute for Development Policy and Management University
31
sedangkan kelompok Relativis (Joel Sammof, Walter Oyugi, Daniel
Treisman, Richard Tambulasi & Happy N Kayumi) memandang bahwa
desentralisasi bukan faktor penentu bagi terlaksananya pembangunan di
daerah, pembangunan dapat eksis tanpa desentralisasi.83
Kelompok
Relativis juga memandang bahwa desentralisasi akan semakin
memperkuat kekuasaan di tangan pemerintah daerah. Bahkan pengalaman
di beberapa negara sedang berkembang di Afrika, menurut Joel Sammof
pelaksanaan desentralisasi menghambat implementasi kebijakan
pemerintah pusat akibat adanya rasa antikolonial terhadap pemerintah
pusat.84
Ryaas Rasyid menyatakan bahwa otonomi daerah di
kabupaten/kota dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik
kepada masyarakat di wilayahnya. Otonomi daerah memiliki nilai dan
tujuan “politik” dan “administrasi”. Tujuan politiknya adalah dalam
rangka meningkatkan demokratisasi kehidupan bernegara, sedangkan
tujuan adminsitrasinya adalah efisiensi dan efekstifitas penyelenggaraan
negara dalam memberikan pelayanan publik.85
Memang pada
kenyataannya, tidak semua negara mengalami kemajuan setelah
melaksanakan desentralisasi. Di beberapa negara desentralisasi justru
telah membuka kesempatan untuk “rent-seeking” dan korupsi.86
Keberhasilan desentralisasi dalam memperbaiki kesejahteraan
rakyat di daerah sangat tergantung pada kesesuaian bentuk, cakupan dan
besaran kewenangan politik yang dialihkan ke daerah, dan cara
pelaksanaan desentralisasi dengan kapasitas pemerintah daerah, dukungan
kementerian dan lembaga sektoral, dan kekuatan masyarakat sipil di
daerah. Oleh sebab itu Mark Turner sangat mendukung proses
desentralisasi terutama bentuk desentralisasi politik.87
Walaupun secara umum desentralisasi dan otonomi daerah mampu
of Manchester, 2007),57. 83
Syarif Hidayat, "Desentralisasi untuk Pembangunan, Dialog Kelompok
Positivis dan Realitivis, 5. 84
Joel Sammof. “Popular Initiatives and Local Government in Tanzania.” The Journal of Developing Areas Vol 24 (October 1989),1-18.
85 Ryaas Rasyid.“Otonomi Daerah: Latar belakang dan Masa Depannya.” Dalam
Desentralisasi dan Otonomi Daerah. ed. Syamsuddin Harris (Jakarta: LIPI Press,
2005),4. 86
Jesse C Ribot, African Decentralization; Local Actors, Powers and Accountability (UNRISD Programme on Democracy, Governance and Human Rights
Paper Number 8, December 2002),4. 87
Mark Turner. “Whatever happened to deconcentration? Recent initiatives in
Cambodia.” Journal of Public Administration and Development Vol 22 (October 2002),
353-364.
32
mendorong munculnya berbagai inovasi, tetapi menurut Walter Oyugi
desentralisasi juga melahirkan banyak masalah baru dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah otonom.88
Permasalahan terkait
implementasi kebijakan Kementerian Kesehatan dalam penyelenggaraan
kesehatan haji di kabupaten/kota juga terjadi di masa pasca Reformasi
Indonesia.
F. Kerangka Pikir.
Disertasi ini membahas implementasi kebijakan penyelenggaraan
kesehatan haji Pemerintah Indonesia di kabupaten/kota pada masa pasca
Reformasi, yang sistem pemerintahannya menganut asas “desentralisasi
urusan kesehatan haji”.
Dimasa Reformasi, telah keluar dua buah Undang-Undang yang
mengatur penyelenggaraan haji. Yang pertama adalah UU Nomor 17
Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 13 Tahun 2008.
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji, dinyatakan bahwa penyelenggaraan ibadah
haji merupakan tanggungjawab pemerintah pusat, karena menjadi
tanggungjawab pemerintah pusat, maka Kementerian Agama ditugaskan
sesuai amanah UU sebagai “penyelenggara” pelayanan ibadah haji,
sedangkan Kementerian Kesehatan bertanggungjawab sebagai
penyelenggara pelayanan kesehatan haji.89
Sebagai instansi yang bertanggungjawab dalam bidang kesehatan
haji, Kemkes membuat kebijakan teknis tentang penyelenggaraan
kesehatan haji Indonesia untuk dilaksanakan di setiap tingkatan
pemerintahan. Kebijakan teknis yang mengatur penyelenggaraan
kesehatan haji dibuat oleh Kemkes sebagai amanah UU Nomor 13 Tahun
2008, Pasal 31 yang menyatakan bahwa Penyelenggaraan kesehatan haji
menjadi tanggungjawab menteri yang menangani masalah kesehatan.
Atas dasar itulah, maka Kemkes membuat pedoman penyelenggaraan
kesehatan haji yang tertulis dalam Keputusan Menteri Kesehatan
(Kepmenkes) Nomor 442 Tahun 2009.
Sesuai kebijakan penyelenggaraan kesehatan haji tersebut
(Kepmenkes Nomor 442 Tahun 2008), pemerintah daerah berperan
88
Walter Oyugi, Democratic Theory and Practices in Africa (Nairobi:East
African Educational Publisher LTD, 1995),67. 89
Dalam kenyataannya, Pemerintah termasuk Kementerian Agama dan
Kementerian Kesehatan berperan sebagai “perencana, penyelenggara, dan sekaligus
evaluator penyelenggaraan haji secara menyeluruh, baik saat di Indonesia maupun di
Arab Saudi. Saleh, (Penyelenggaraan Haji Era Reformasi: Analisis Internal Kebijakan Publik),44.
33
sebagai “implementor” terhadap kebijakan yang telah disusun. Dengan
demikian, pemerintah pusat cq Kemkes sebagai pembuat kebijakan, akan
memposisikan dirinya sebagai koorinator dan lembaga superior dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan haji. Dilain pihak, pada masa Reformasi
berlaku sistem pemerintahan desentralisasi otonomi kesehatan di
kabupaten/kota, akibatnya Kemkes akan berupaya semaksimal mungkin
agar kebijakan kesehatan haji yang dibuatnya dilaksanakan dan ditaati di
setiap tingkatan pemerintah, agar tujuan nasional yang dicita-citakan
dalam dokumen kebijakan kesehatan haji dapat dicapai, sedangkan
pemerintah daerah dalam penyelenggaraan kesehatan haji tetap fokus
pada prinsip-prinsip desentralisasi. Dengan kondisi tersebut maka akan
dipahami jika terjadi hambatan implementasi kebijakan kesehatan haji
pemerintah pusat di tingkat pemerintah daerah di Indonesia.
Penyelenggaraan kesehatan haji merupakan suatu “program”
kesehatan Pemerintah Indonesia yang memiliki kerangka kerja manajerial
yang teratur, mulai dari input, process, output, outcome dan impact,90
yang tercatat dalam suatu dokumen kebijakan.
Input yang dimiliki oleh program kesehatan haji antaralain;1)
Peraturan/kebijakan/Pedoman teknis kesehatan haji, standar operasional
prosedur (SOP), 2) Sumberdaya termasuk sumberdaya manusia/tenaga
kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan haji, anggaran atau dana
yang digunakan untuk kesehatan haji, 3) Cara kerja program (method)
atau mekanisme kerja kesehatan haji yang telah ditetapkan oleh
pemerintah sesuai amanah UU.
Sedangkan proses penyelenggaraan kesehatan haji antaralain
terbagi dalam beberapa tahapan yaitu; 1) Perencanaan (planning), 2)
Pengorganisasian (organizing), 3) Pelaksanaan (actuating), 4) Monitoring
atau kontrol (controlling), 5) Evaluasi (evaluating) penyelenggaraan
kesehatan haji. Output dan outcome program penyelenggaraan kesehatan
haji akan diukur dan dinilai melalui perhitungan kuantitatif yang
merupakan indikator keberhasilan program kesehatan haji. Sesuai
pedoman penyelenggaraan kesehatan haji, tempat pelaksanaannya terbagi
sesuai tingkatan pemerintahan, yaitu di kabupaten/kota, provinsi,
nasional dan di Arab Saudi.
Perspektif atau pendapat terhadap input dan proses
penyelenggaraan kesehatan haji akan digali dari responden/informan yang
berasal dari; 1) Para pengelola atau pelaksana penyelenggaraan kesehatan
haji di kabupaten/kota, 2) Para pembuat kebijakan kesehatan haji di
90
Longest Beaufort, Managing Health Programs and Project (USA: Jossey-Bass,
2004), 35.
34
pemerintahan pusat, 3) Para pemberi pelayanan (petugas kesehatan), 4)
Para jamaah haji termasuk para Organisasi Massa Islam.
Dalam menganalisis kebijakan penyelenggaraan kesehatan haji dan
implementasinya di kabupaten/kota, digunakan teori sistem analisis kebijakan David Easton
91 yang kemudian dikembangkan oleh Longest
Beuffort (2004) dalam teori Logic Model,92 dimana analisis kebijakan
terdiri dari input, process serta output. Untuk menganalisis implementasinya digunakan teori
implementasi kebijakan George Edward III (1980),93
yang menyatakan
bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi/ditentukan oleh empat
variabel yaitu Komunikasi (communication), Sumberdaya (resources),
Disposisi (disposition or attitude) dan Struktur Birokrasi (bureucratic structure).
Kerangka pikir disertasi ini dapat dilihat dalam diagram berikut ini;
Diagram 1.1 Kerangka Pikir.
Dalam menganalisis implementasi kebijakan perlu diperhatikan
tahapan input, proses (implementasi), output dan outcome serta impact
91
Kebijakan publik dapat dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari input,
konversi, dan output. Dalam konteks ini ada dua variabel makro yang mempengaruhi
kebijakan publik yakni lingkungan domestik dan lingkungan Internasional. Lihat Meta
Libriani, Analisis Implementasi Kebijakan Rekruitmen Petugas Kesehatan Haji (Jakarta:
UI, 2013), 37. 92
Longest Beuffort, Managing Health Programs and Project (USA: Jossey-Bass,
2004), 9. 93
Menurut George Edwards III ada empat variabel dalam implementasi kebijakan
publik yaitu komunikasi (Communication), Sumberdaya (Resources), sikap (Disposition
atau Attitudes) dan struktur birokrasi (Bureucratic Structure). Ke-empat faktor di atas
harus dilaksanakan secara simultan karena antara satu dengan yang lainnya memiliki
hubungan yang erat.
INPUT PROSES/
IMPLEMENTASI OUTPUT
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN KESEHATAN HAJI DI KABUPATEN/KOTA
KOMUNIKASI SUMBER DAYA DISPOSISI STRUKTUR
BIROKRASI
35
dari suatu kebijakan yang ada. Penelitian ini hanya berfokus pada proses
implementasi kebijakan penyelenggaraan kesehatan haji di
kabupaten/kota di masa Reformasi yang menganut sistem pemerintahan
yang ter-desentralisasi di kabupaten/kota. Kajian implementasi kebijakan
akan menggunakan Teori Implementasi Kebijakan George Edward III.
Menurut Teori Edward III, Implementasi kebijakan dipengaruhi oleh
komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi.
Dalam penelitian ini variabel komunikasi yang akan dinilai
antaralain proses transmisi, kejelasan dan konsistensi pesan-pesan yang
ada dalam dokumen kebijakan kesehatan haji kepada para pelaksana
kebijakan. Penelitian ini diharapkan dapat menggali informasi yang
berasal dari responden bahwa kebijakan penyelenggaraan kesehatan haji
telah dimengerti dan/atau dipahami oleh para pelaksana kegiatan secara
benar, sehingga para pelaksana dapat menjalankan kebijakan kesehatan
haji dengan sebaik-baiknya.
Dalam variabel/faktor sumberdaya terdapat empat unsur yang
diperhatikan yaitu sumber daya manusia, kewenangan, anggaran dan
fasilitas terkait penyelenggaraan kesehatan haji di tingkat pelaksana yaitu
di kabupaten/kota. Dalam variabel disposisi peneliti hanya mengamati
unsur komitmen para pelaksana atau pengelola program kesehatan haji di
kabupaten/kota dalam menjalankan kebijakan kesehatan haji yang
tertuang dalam Kepmenkes Nomor 442 Tahun 2009 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Kesehatan Haji Indonesia.
Dalam variabel struktur birokrasi maka peneliti memasukkan
unsur mekanisme dan koordinasi antar lembaga dalam penyelenggaraan kesehatan haji di kabupaten/kota. Tujuannya untuk dapat menggali secara
mendalam bagaimana struktur birokrasi dan hubungan antar
lembaga/institusi yang terkait dalam pelaksanaan kebijakan
penyelenggaraan kesehatan haji di kabupaten/kota.
G. Metodologi Penelitian.
Penelitian ini menggunakan desain metode penelitian “kualitatif”.
Penelitian kualitatif digunakan untuk menggali lebih mendalam apa dan
bagaimana pola implementasi kebijakan kesehatan haji di
kabupaten/kota.94
Penelitian ini dilakukan untuk meneliti pelaksanaan atau
implementasi kebijakan Kementerian Kesehatan dalam penyelenggaraan
kesehatan haji di kabupaten/kota pasca reformasi. Kebijakan yang
94
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu sosial lainnya (Jakarta:Kencana,2010), 6.
36
dimaksud adalah Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor 442
Tahun 2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji
Indonesia. Untuk mengetahui bagaimana implementasi suatu kebijakan,
digunakan teori implementasi kebijakan George Edward III yang
menyatakan bahwa implementasi suatu kebijakan dipengaruhi oleh
komunikasi, sumberdaya, disposisi dan stuktur birokrasi.
Pengumpulan data primer diperoleh melalui wawancara mendalam
(in-depth interview), pengisian kuesioner dan Focus Group Discussion
(FGD) terhadap para responden dan informan terpilih. Pemilihan
responden dan informan dilakukan dengan menggunakan metode
purposes sampling method dimana responden dan informan akan
diidentifikasi dan ditentukan sesuai dengan tema wawancara.
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian.
Jenis penelitian merupakan penelitian kualitatif dengan metode
wawancara (in-depth interview) dan Focus Group Discussion (FGD)
terhadap para responden dan informan yang terpilih. Pendekatan
Disertasi yang berjudul “Kesehatan Haji Pemerintah Indonesia:
Implementasi Kebijakan Kementerian Kesehatan dalam Pelaksanaan
Kesehatan Haji Pasca Reformasi”, merupakan disertasi dengan
pendekatan Ilmu Kebijakan Kesehatan.
2. Teknik Pengumpulan Data.
Sumber data yang akan digunakan adalah sumber data primer yang
berhubungan dengan penyelenggaraan kesehatan haji di kabupaten/kota
yang diperoleh dari 150 responden yang berasal dari 150 kabupaten/kota
terpilih (30% dari jumlah total kabupaten/kota di seluruh Indonesia,
mewakili kawasan Indonesia bagian barat dan timur dan memiliki
jumlah jamaah haji cukup besar).
Untuk memperkuat gambaran situasi implementasi kebijakan
kesehatan haji di kabupaten/kota dilakukan wawancara mendalam (in-depth interview) kepada 20 informan yang berasal dari para pejabat
dan/atau staf di lingkungan Kemkes, Kementerian Agama,
lembaga/Organisasi Masyarakat terkait penyelenggaraan kesehatan haji.
Selanjutnya dilakukan Focus Group Discussion (FGD) terhadap para
petugas pemeriksa kesehatan jamaah haji di kabupaten/kota terpilih.
Teknik pengumpulan data diperoleh melalui study dokumen, quesioner, observasi partisipan, in-depth interview dan FGD. Observasi
partisipan dilakukan dengan menggunakan catatan lapangan atau field notes yang berasal dari peneliti.
Responden dalam penelitian ini adalah para pengelola kesehatan haji
37
daerah yang berasal dari 150 dinas kesehatan kabupaten/kota terpilih
yang memiliki jumlah jamaah haji cukup besar.
In-depth interview dilakukan terhadap para pengelola program
kesehatan haji di provinsi, pejabat struktural atau staf yang terlibat
dalam penyelenggaraan haji di lingkungan Kementerian Kesehatan,
Kementerian Agama, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota,
serta beberapa tokoh dan pengurus dari lembaga/institusi di luar
pemerintahan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Asosiasi
Kesehatan Haji Indonesia (AKHI).
Focus Group Discussion dilakukan terhadap para petugas kesehatan
haji di puskesmas dan rumah sakit terpilih. Data sekuder diperoleh dari
beberapa arsip atau dokumen terkait subyek penelitian yang berasal dari
Kemkes dan Kementerian Agama serta instansi lainnya terkait
penyelenggaraan kesehatan haji.
3. Teknik Analisis Data.
Analisis data dilakukan dengan secara deskriptif-kualitatif. Data
primer berupa hasil wawancara dan FGD dari para responden dan
informan terpilih kemudian dicatat dalam suatu transkrip. Untuk
menganalisis implementasi kebijakan kesehatan haji dipergunakan teori
implementasi kebijakan George Edward III.
Data sekunder berupa data kuantitatif tentang kesehatan haji pasca
Reformasi diperoleh dari berbagai sumberdata termasuk data yang
berasal dari Kementerian Kesehatan dan Kementerian Agama serta
sumber lainnya pada kurun waktu 1999-2012. Data kemudian
ditampilkan dalam bentuk tabel, grafik dan diagram.
H. Sistematika Penulisan.
Disertasi ini terdiri dari 7 bab dengan sistematika penulisan
disertasi sebagai berikut; Bab I berisi tentang latarbelakang masalah yang
berkaitan dengan penyelenggaraan kesehatan haji Pemerintah Indonesia
secara umum termasuk di kabupaten/kota, identifikasi permasalahan
seputar penyelenggaraan kesehatan haji Indonesia, rumusan masalah,
metode penelitian, pendekatan dan teknis analisis data serta metode
penelitian yang digunakan.
Selanjutnya pada Bab II berisi tentang sistem pemerintahan dan
penyelenggaraan kesehatan haji Indonesia. Sistem pemerintahan
sentralisasi dan desentralisasi sangat perlu disampaikan pada kajian
disertasi ini. Mengingat sistem pemerintahan suatu negara sangat
mempengaruhi kebijakan yang dibuat dan implementasinya di tingkat
pelaksana. Bab II akan fokus pada sistem pemerintahan yang ter-
38
desentralisasi di masa Reformasi. Sistem desentralisasi dan sentralisasi
akan mewarnai proses penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Bab
ini juga membahas pandangan/perdebatan antara penganut positivis dan
relativis terhadap penyelenggaraan desentralisasi. Pada bab ini juga akan
dibahas bagaimana desentralisasi penyelenggaraan kesehatan haji di
kabupaten/kota pada masa Reformasi.
Bab III berisi tentang apa dan bagaimana kebijakan kesehatan haji
Pemerintah Indonesia. Dalam bab ini juga dikemukakan berbagai jenis
kebijakan kesehatan haji sejak kemerdekaan sampai pasca Reformasi,
termasuk kendala yang dihadapi dalam implementasi kebijakan kesehatan
haji di masa Reformasi.
Selanjutnya dalam Bab IV, disertasi ini memaparkan secara umum
bagaimana gambaran kesehatan haji Indonesia pasca Reformasi (1999-
2012). Pada Bab ini akan dijelaskan bagaimana gambaran atau
karakteristik jamaah haji Indonesia, pola penyakitnya termasuk gambaran
jamaah haji dengan risiko tinggi, dan penyakit-penyakit penyebab
kematian jamah haji termasuk gambaran atau karakteristik para petugas
kesehatan haji di kabupaten/kota. Selain itu pada Bab IV akan dijelaskan
angka kesakitan dan angka kematian jamaah haji setiap tahunnya. Bab IV
juga akan menjelaskan alur penyelengaraan kesehatan haji, termasuk
indikator penyelenggaraan kesehatan haji pasca Reformasi yang tertulis
dalam Kepmenkes Nomor 442 tahun 2009.
Bab V berisi tentang apa dan bagaimana implementasi kebijakan
penyelenggaraan kesehatan haji pasca Reformasi di kabupaten/kota.
Kajian implementasi kebijakan menggunakan Teori George Edward III
dimana implementasi kebijakan dipengaruhi oleh faktor komunikasi,
sumberdaya, disposisi dan struktur birokrasi. Ke-empat faktor tersebut
akan dijadikan analisis penilaian tentang bagaimana proses implementasi
kebijakan kesehatan haji di kabupaten/kota pasca Reformasi.
Bab VI akan berisi tentang problem dan solusi masalah kesehatan
haji pasca Reformasi dengan menitikberatkan pada input, proses, output dan outcome sesuai Teori analisis kebijakan menurut teori sistem dan
teori logic model. Bab VII berisi tentang kesimpulan, saran dan penutup.